Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH SINDROM KORONER AKUT

OLEH
KELOMPOK 1

Ruben James Sibarani 168114129


Bianca Levie Tania 188114049
Abtyastuti Fileanita 188114050
Claris Fransiskan Bulu Kian 188114052
Maria Agatha Febriani 188114053
Yobelin L. Somalinggi 188114055
Enjeliberty Y Selan 188114074
Yoanes Fransiskus R. W. U 188114076

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan
ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh kurangnya oksigen ke
otot jantung (miokardium). Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak
ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi.
Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan
menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau
menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu
terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner
menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-
lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis atau infark miokard
(Perki, 2015). Sindrom koroner akut mencakup penyakit jantung koroner yang
bervariasi mulai dari angina pektoris tidak stabil dan infark miokard tanpa ST-elevasi
sampai infark miokard dengan ST-elevasi.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit Sindrom Koroner Akut?
1.2.2 Apa saja terapi farmakologi penyakit Sindrom Koroner Akut?
1.2.3 Bagaimana mekanisme, aturan pakai, interaksi, indikasi, dan kontraindikasi obat
Sindrom Koroner Akut?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui penatalaksanaan dari penyakit Sindrom Koroner Akut
1.3.2 Untuk mengetahui terapi farmakologi pada penyakit Sindrom Koroner Akut
1.3.3 Untuk mengetahui mekanisme, aturan pakai, interaksi, indikasi, dan kontraindikasi
obat Sindrom Koroner Akut
BAB II
ISI

2.1 Penata Laksana Sindrom Koroner Akut


Prinsip tatalaksana sindrom koroner akut adalah memperbaiki keseimbangan supply dan
demand oksigen miokard akibat oklusi parsial atau total arteri koroner karena ruptur plak
aterosklerosis secepat mungkin untuk menghindari kerusakan sel miokard yang luas
(Andrianto, 2020). Terapi IMA harus dimulai sedini mungkin, reperfusi/rekanalisasi
sudah harus terlaksana sebelum 4-6 jam (Depkes, 2006).

2.1.1 Tatalaksana Sebelum Ke Rumah Sakit (RS)


a. Jika riwayat dan anamnesa curiga adanya SKA
● Berikan asetil salisilat (ASA) 300 mg dikunyah
● Berikan nitrat sublingual
● Rekam EKG 12 sadapan atau kirim ke fasilitas yang memungkinkan
● Jika mungkin periksa petanda biokimia
b. Jika EKG dan petanda biokimia curiga adanya SKA
Kirim pasien ke fasilitas kesehatan terdekat dimana terapi defenitif dapat
diberikan
c. Jika EKG dan petanda biokimia tidak pasti akan SKA
● Pasien risiko rendah : dapat dirujuk ke fasilitas rawat jalan
● Pasien risiko tinggi : pasien harus dirawat
Semua pasien dengan kecurigaan atau diagnosis pasti SKA harus dikirim
dengan ambulan dan fasilitas monitoring dari tanda vital. Pasien harus diberikan
penghilang rasa sakit, nitrat dan oksigen nasal. Pasien harus ditandu dengan posisi
yang menyenangkan, dianjurkan elevasi kepala 40 derajat dan harus terpasang
akses intravena. Sebaiknya digunakan ambulan/ambulan khusus.
(Depkes, 2006).

2.1.2 Tatalaksana di Rumah Sakit


Instalasi Gawat Darurat
1. Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah:
a. Pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan,
b. Periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT,
c. Berikan segera: 02, infus NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%,
d. Pasang monitoring EKG secara kontiniu,
e. Pemberian obat:
● Nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi
bila TD sistolik < 90 mmHg), bradikardia (< 50 kali/menit), takikardia. Bila
nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap
lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan bila
tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. Bila tidak tersedia
NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.
Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual untuk nyeri dada yang masih
berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat.
● Aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti dengan dipiridamol,
ticlopidine atau clopidogrel.
● Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
I. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI
yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik atau
II. Dosis awal clopidogrel 300 mg dilanjutkan dosis pemeliharaan 75
mg/hari bagi pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi
menggunakan fibrinolitik atau disarankan dengan dosis lebih tinggi
yaitu dosis loading 600 mg untuk reperfusi dengan primary
percutaneous coronary intervention.
● Mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5
menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau
tramadol 25-50 mg intravena.

2. Hasil penilaian EKG, bila:


a. Elevasi segmen ST > 0,1 mV pada 2 atau lebih sadapan ekstremitas
berdampingan atau > 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial
berdampingan atau blok berkas (BBB) dan anamnesis dicurigai adanya IMA
maka sikap yang diambil adalah dilakukan reperfusi dengan :
- terapi trombolitik bila waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia
< 75 tahun dan tidak ada kontraindikasi.
- angioplasti koroner (PTCA) primer bila fasilitas alat dan tenaga
memungkinkan. PTCA primer sebagai terapi alternatif trombolitik atau
bila syok kardiogenik atau bila ada kontraindikasi terapi trombolitik
b. Bila sangat mencurigai ada iskemia (depresi segmen ST, insersi T), diberi
terapi anti-iskemia, maka segera dirawat di ICCU; dan
c. EKG normal atau nondiagnostik, maka pemantauan dilanjutkan di UGD.
Perhatikan monitoring EKG dan ulang secara serial dalam pemantauan 12 jam
pemeriksaan enzim jantung dari mulai nyeri dada dan bila pada evaluasi
selama 12 jam, bila:
- EKG normal dan enzim jantung normal, pasien berobat jalan untuk
evaluasi stress test atau rawat inap di ruangan (bukan di ICCU), dan
- EKG ada perubahan bermakna atau enzim jantung meningkat, pasien
dirawat di ICCU.
(Depkes, 2006)
2.1.3 Algoritma Evaluasi dan Tata Laksana SKA

(PERKI, 2015).
2.1.4 Tatalaksana Reperfusi STEMI
Pasien dari IGD/UGD dengan SKA dikirim ke ICCU/CVC untuk penatalaksanaan
selanjutnya yaitu sebagaimana penatalaksanaan STEMI/IMA yakni sebagai berikut:
2.1.4.1 Secara Umum
1. Pasang infus intravena: dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
2. Pantau tanda vital: setiap ½ jam sampai stabil, kemudian tiap 4 jam atau sesuai
dengan kebutuhan, catat jika frekuensi jantung < 60 kali/menit atau > 110
kali/menit; tekanan darah < 90 mmHg atau > 150 mmHg; frekuensi nafas < 8
kali/mnt atau > 22 kali/mnt.
3. Aktivitas istirahat di tempat tidur dengan kursi commode di samping tempat
tidur dan mobilisasi sesuai toleransi setelah 12 jam.
4. Diet: puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair. Selanjutnya diet jantung
(kompleks karbohidrat 50-55% dari kalori, monounsaturated dan unsaturated
fats < 30% dari kalori), termasuk makanan tinggi kalium (sayur, buah),
magnesium (sayuran hijau, makanan laut) dan serat (buah segar, sayur, sereal).
5. Medika mentosa :
● Oksigen nasal mulai 2 l/mnt: dalam 2-3 jam pertama; dilanjutkan jika saturasi
oksigen arteri rendah (< 90%)
● Mengatasi rasa nyeri: Morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap
lima menit sampai dosis total 20 mg, atau Petidin 25-50 mg intravena, atau
Tramadol 25-50 mg intravena. Nitrat sublingual/patch, intravena jika nyeri
berulang dan berkepanjangan.
6. Terapi reperfusi (trombolitik) streptokinase atau tPa:
● Tujuan: door to needle time < 30 menit, door to dilatation < 60 mnt.
● Rekomendasi:
- Elevasi ST > 0,1 mV pada dua atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan
atau > 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial berdampingan, waktu
mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia < 75 tahun; Blok cabang berkas
(BBB) dan anamnesis dicurigai infark miokard akut.
- Dosis obat-obat trombolitik:
Streptokinase: 1,5 juta UI dalam 1 jam; Aktivator plasminogen jaringan
(tPA): bolus 15 mg, dilanjutkan 0,75 mg/kgBB (maksimal 50 mg) dalam jam
pertama dan 0,5 mg/kgBB (maksimal 35 mg) dalam 60 menit.
7. Antitrombotik :
● Aspirin (160-325 mg hisap atau telan)
● Heparin direkomendasi pada:
- Pasien yang menjalani terapi revaskularisasi perkutan atau bedah.
- Diberikan intravena pada pasien yang menjalani terapi reperfusi dengan
alteplase: dosis yang direkomendasikan 70 UI/kgBB bolus pada saat mulai
infus alteplase, dilanjutkan lebih dari 48 jam terbatas hanya pada pasien
dengan risiko tinggi terjadi tromboemboli sistemik atau vena.
- Diberikan intravena pada infark non-Q.
- Diberikan subkutan (SK) 2 x 7500 UI (heparin intravena merupakan
trombolitik yang tidak ada kontraindikasi heparin). Pada pasien fibrilasi
atrial, riwayat emboli, atau diketahui ada trombus di ventrikel kiri.
- Diberikan intravena pada pasien yang mendapat terapi obat-obat trombolitik
non-selektif (streptokinase, anisreplase, urokinase) yang merupakan risiko
tinggi terjadinya emboli sistemik seperti di atas. Keterangan: heparin
direkomendasikan ditunda sampai 4 jam dan pada saat itu diperiksa aPTT.
Heparin mulai diberikan jika aPTT < 2 kali kontrol (sekitar 70 detik),
kemudian infus dipertahankan dengan target aPTT 1,5-2 kali kontrol (infus
awal sekitar 1000 UI/jam). Setelah 48 jam dapat dipertimbangkan diganti
heparin subkutan, warfarin, atau aspirin saja.
8. Mengatasi rasa takut dan cemas: diazepam 3 x 2-5 mg oral atau intravena.
9. Obat pelunak tinja: laktulosa (laksadin) 2 x 15 ml.
10. Terapi tambahan: Penyekat beta; jika tidak ada kontraindikasi. Penghambat
ACE terutama pada: IMA luas atau anterior, gagal jantung tanpa hipotensi,
riwayat infark miokard. Antagonis kalsium: diltiazem pada IMA non-Q.
Rekomendasi ACC/AHA yang baru tahun 2002, menganjurkan untuk
memberikan klopidogrel bersama aspirin pada semua pasien SKA di samping terapi
standar. Juga dianjurkan pemberian LMWH untuk mengantikan peran heparin pada
semua pasien SKA baik untuk pasien yang dirawat konservatif maupun mereka yang
akan dilakukan tindakan invasif. Dari beberapa penelitian menganjurkan, pasien IMA
yang diberi terapi fibrinolitik juga diberi tambahan LMWH enoksaparin bersama-
sama aspirin.
Pasien dengan gejala nyeri dada khas yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi
segmen ST yang menetap atau left bundle branch block (LBBB) yang (terduga) baru
memiliki indikasi dilakukan terapi reperfusi segera dengan percutaneous coronary
intervention (PCI) atau farmakologis (Andrianto, 2020). Terapi reperfusi (sebisa
mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG
adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12
jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat.
(PERKI, 2015).

2.1.4.2 Intervensi koroner perkutan primer (IKPK)


Intervensi koroner perkutan primer (IKPK) dilakukan pada arteri yang infark (infarct-
related artery/IRA) tanpa terapi fibrinolitik sebelumnya. IKP primer diindikasikan
untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila
diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang dengan
awitan gejala yang telah lama (PERKI, 2015). Tidak disarankan melakukan IKPK
rutin pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala
dengan pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan
fibrinolisis (Andrianto, 2020).

2.1.4.3 Terapi Fibrinolitik


Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi pada tempat yang tidak dapat melakukan
IKPK pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan (Andrianto, 2020). Terapi
fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-
pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama. Pada pasien-pasien yang
datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko
perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis
pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang
gawat darurat.Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenecteplase, alteplase, reteplase)
lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin
(streptokinase) (PERKI, 2015).
(PERKI, 2015)
2.1.5 Tatalaksana Reperfusi UA dan NSTEMI
a. Strategi invasif segera (Urgent) (< 2 jam)
Pasien risiko sangat tinggi direkomendasikan untuk menjalani strategi ini, tanpa
menghiraukan hasil EKG maupun biomarka jantung. Pasien yang sadar harus segera
menjalani angiografi koroner, sedangkan pasien koma harus terlebih dahulu menjalani
pemeriksaan non-kardiak dan angiografi koroner dilakukan setelah pasti tidak
ditemukan penyebab henti jantung non-koroner (Andrianto, 2020). Strategi ini juga
dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi (very high risk)
(PERKI, 2015).
b. Strategi invasif dini (early) (dalam 24 jam)
Pada strategi ini angiografi koroner dilakukan dalam waktu 24 jam setelah pasien
dirawat untuk pasien dengan risiko tinggi (Andrianto, 2020). Strategi ini juga
dilakukan bila pasien memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu kriteria
risiko tinggi (high risk) primer (PERKI, 2015).
c. Strategi invasif (dalam 72 jam)
Strategi ini direkomendasikan untuk pasien dengan minimal I kriteria risiko
intermediate, gejala rekuren, atau pemeriksaan iskemia non-invasif (Andrianto, 2020)
d. Strategi invasif selektif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif
Strategi invasif dapat dilakukan secara selektif atau sebelum pasien pulang dari rumah
sakit (Andiranto, 2020). Dalam strategi konservatif, evaluasi invasif awal tidak
dilakukan secara rutin. Strategi ini dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi
kriteria risiko tinggi dan dianggap memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria
berikut ini:
- Nyeri dada tidak berulang
- Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung
- Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam ke-6
hingga 9)
- Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam ke-6
hingga 9)
- Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia)

Penentuan risiko rendah berdasarkan risk score seperti TIMI juga dapat berguna dalam
pengambilan keputusan untuk menggunakan strategi konservatif. Risk Score > 3
menurut TIMI menunjukkan pasien memerlukan revaskularisasi. Timing
revaskularisasi dapat ditentukan berdasarkan penjelasan diatas.

(PERKI, 2015).
1. Pengobatan untuk pasien dengan risiko rendah
- Aspirin & Klopidogrel
Jika aspirin intoleransi dan klopidogrel tidak dapat digunakan, gunakan:
- Ticlopidine
- Nitrat
- Tablet sublingual atau spray atau IV
(kontraindikasi pada pasien yang menerima sildenafil dalam 24 jam ke
belakang. Gunakan dengan perhatian pada pasien dengan gagal RV)
- β-bloker oral (jika tidak kontra indikasi)
- antagonis kalsium non-dihidropiridin jika sukar untuk meneruskan
pengobatan yang terdahulu.
- Senyawa penurun lipid
- Inhibitor HMG-CoA reduktase & diet LDL-c> 2.6 mmol/L (100 mg/dL)
dimulai dalam 24-96 jam setelah masuk RS.Dilanjutkan pada saat keluar
RS
- Fibrat atau niasin jika HDL-c < 1 mmol/L (40 mg/dL) muncul sendiri atau
dalam kombinasi dengan obnormalitas lipid lain
- Heparin
(tidak dilanjutkan jika diagnosa enzim kardiak sekunder normal)
test stress direkomendasikan meskipun selama berada di RS atau dalam 72 jam
Perjanjian follow-up dalam 2-6 minggu

2. Pengobatan Untuk Pasien Berisiko Tinggi


● Istirahat di kasur dengan monitoring EKG yang tetap berlangsung
● Suplemen oksigen untuk mempertahankan kejenuhan O2 > 90%.
Pengobatan sakit Iskemia
Nitrat
● Tablet sublingual atau spray (max 3 dosis)
● Jika sakit tidak berkurang, lanjutkan dengan pemakaian IV
● Nitrogliserin IV lazimnya diganti dengan nitrat oral dalam 24 jam periode
bebas sakit
● Regimen dosis oral seharusnya memiliki interval bebas nitrat untuk
mencegah berkembangnya toleransi
● Kontraindikasi pada pasien yang menerima sildenafil dalam 24 jam yang
lalu
● Gunakan dengan perhatian pada pasien dengan gagal RV
β-bloker
● Direkomendasikan jika tidak ada kontraindikasi
● Jika sakit dada berlanjut, gunakan dosis pertama IV yang diikuti dengan
tablet oral
● Semua β-bloker itu keefektifannya sama, tetapi β-bloker tanpa aktivitas
simpatomimetik intrinsik lebih disukai
Morfin sulfat
● Direkomendasikan jika sakit tidak kurang dengan terapi anti iskemia yang
cukup dan jika terdapat kongesti pulmonary atau agitasi parah
● Dapat digunakan dengan nitrat selama tekanan darah dimonitor
● 1-5 mg IV setiap 5-30 menit jika diperlukan
● Perlu diberikan juga obat anti muntah
● Penggunaan disertai perhatian jika terjadi hipotensi pada penggunaan awal
nitrat
Pilihan Pengobatan Lain Untuk Iskemia :
Antagonis Kalsium
● Dapat digunakan ketika β-bloker kontra indikasi (verapamil & diltiazem
lebih disukai)
● Antagonis kalsium dihidropiridin dapat digunakan pada pasien yang sulit
sembuh hanya setelah gagal menggunakan nitrat dan β-bloker
Inhibitor ACE
● Diindikasikan pada hipertensi yang tetap (walaupun sedang menjalani
pengobatan dengan nitrat dan β-bloker), disfungsi sistolik LV,CHF.
Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan
● Esensial untuk memodifikasi proses penyakit & kemungkinan
perkembangannya menuju kematian, MI atau MI berulang.
Aspirin dan Klopidogrel
● Sebaiknya diinisiasi dengan baik
Untuk pasien intoleransi aspirin & ketika clopidogrel tidak dapat
digunakan:
Heparin
● Heparin bobot molekul rendah (LMWH = low molecular weight heparin)
secara subkutan atau heparin tidak terfraksinasi (UFH = unfractioned
heparin) secara IV dapat ditambahkan sebagai terapi antiplatelet.
Antagonis GP IIb/IIIa
● Penggunaannya direkomendasikan sebagai tambahan aspirin & UFH pada
pasien dengan iskemia berlanjut atau dengan risiko tinggi lainnya & untuk
pasien yang intervensi koroner percutaneous direncanakan
Modifikasi risiko :
Senyawa menurun lipid
- Inhibitor HMG-CoA reduktase & diet untuk LDL-c> 2,6 mmol/L
(100mg/dL) dimulai dengan 24- 96 jam setelah masuk RS Diteruskan
saat keluar RS
- Fibrat atau niasin jika HDL-c < 1 mmol/L (40 mg/dL) muncul sendiri
atau kombinasi dengan abnormalitas lipid lain.

3. Terapi saat “Hospital Discharge”


Melanjutkan senyawa anti iskemia oral jika:
● Cardiovascular revascularization tidak dibuat
● Revacularization yang tidak berhasil
● Munculnya gejala lagi walaupun sudah dilakukan revaskularisasi
Nitrat
● Nitrat sublingual dapat diberikan kepada seluruh pasien ketika
dibutuhkan untuk angina
Aspirin dilanjutkan tanpa batas clopidogrel dilanjutkan untuk 1 bulan- 1 tahun.
Untuk pasien intoleransi aspirin dan yang clopidogrel tidak dapat digunakan:
● Ticlopidine
● β-bloker oral jika tidak ada kontraindikasi
● Inhibitor ACE
● Pada pasien dengan CHF, disfungsi LV atau diabetes
4. Tindakan Pencegahan Sekunder
● Perubahan pola hidup
● Senyawa penurun lipid
● Inhibitor HMG-CoA reduktase & diet untuk LDL-c > 2,6 mmol/L
(100mg/Dl)
● Fitbar atau niasin jika HDL-c < 1 mmol/L (40 mg/dL) muncul sendiri atau
dalam kombinasi.
Follow up:
● Revascularization pasien dapat kembali dalam 2-6 minggu
● Pasien risiko tinggi dapat kembali dalam 1-2 minggu
(Depkes, 2006).

2.2 Pilihan Terapi Sindrom Koroner Akut


2.2.1 Terapi Anti-Iskemik
Tujuan terapi adalah untuk mengurangi iskemia dan mencegah terjadinya
kemungkinan yang lebih buruk, seperti infark miokard atau kematian
a. Nitrat
Mekanisme Kerja Obat Golongan Nitrat
Bekerja dengan mendilatasi arteri yang menurunkan resistensi vaskular perifer dan
tekanan sistolik ventrikel kiri sehingga mengakibatkan meningkatnya curah jantung,
atau dilatasi vena yang menyebabkan meningkatnya kapasitas vena, dan berkurangnya
aliran balik vena menuju jantung (menurunkan tekanan diastolik ventrikel kiri)
(BPOM, 2020). Contoh obat golongan nitrat yang dapat digunakan dalam SKA
adalah:
● Isosorbide dinitrate (ISDN)
Aturan pemakaian obat
Sublingual 2,5-10 mg/jam (onset 3-4 menit) (DEPKES, 2006), oral 15-80 mg/hari
dibagi 2-3 dosis, untuk mencegah serangan dimalam hari tablet diminum sebelum
tidur, intravena 1,25-5 mg/jam (PERKI, 2015)
Kemungkinan Interaksi
Isosorbid dinitrat dapat meningkatkan efek dari beberapa obat antara lain
methyllergonovine, cabergoline, ergolid mesylates serta ergotamine dengan
menurunkan metabolisme obat tersebut, dengan risiko peningkatan SBP, angina
pektoris. Hindari atau Gunakan Obat Alternatif. Selain itu juga terjadi interaksi
antara isosorbid dinitrat dan captopril yang mana diketahui dapat meningkatkan
efek yang lain dengan sinergisme farmakodinamik, gunakan secara hati-hati / harus
dimonitor. kedua obat tersebut menurunkan tekanan darah. Selalu pantau tekanan
darah (Medscape, 2020).
Indikasi
Profilaksis dan pengobatan angina; gagal jantung kiri.
Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap nitrat; hipotensi atau hipovolemia; kardiopati obstruktif
hipertrofik, stenosis aorta, tamponade jantung, perikarditis konstruktif, stenosis
mitral, anemia berat, trauma kepala, perdarahan otak glaukoma sudut sempit
(BPOM, 2020).
● Isosorbide 5 mononitrate
Aturan pemakaian obat
Oral 2 x 20 mg/hari, oral (slow release) 120-240 mg/hari. Diminum 30 menit
sebelum makan atau saat perut kosong (PERKI, 2015).
Kemungkinan Interaksi
Isosorbid mononitrat dapat meningkatkan efek dari beberapa obat antara lain
cabergoline, ergoloid mesylates, ergotamine, serta methylergonovine dengan
menurunkan metabolisme obat tersebut, dengan risiko peningkatan SBP, angina
pektoris. Hindari atau Gunakan Obat Alternatif. Selain itu juga terjadi interaksi
antara isosorbid mononitrat dan captopril yang mana diketahui dapat meningkatkan
efek yang lain dengan sinergisme farmakodinamik, gunakan secara hati-hati / harus
dimonitor. kedua obat tersebut menurunkan tekanan darah. Selalu pantau tekanan
darah (Medscape, 2020).
Indikasi
Profilaksis dan pengobatan angina; gagal jantung kiri.
Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap nitrat; hipotensi atau hipovolemia; kardiopati obstruktif
hipertrofik, stenosis aorta, tamponade jantung, perikarditis konstruktif, stenosis
mitral; anemia berat, trauma kepala, perdarahan otak glaukoma sudut sempit
(BPOM, 2020).
● Nitroglycerin (trinitrin,TNT, glyceryl trinitrate)
Aturan pemakaian obat:
Sublingual tablet 0,3-0,6mg-1,5 mg dosis diulang setiap 5 menit, maksimal 3 kali
konsumsi. Jika setelah 15 menit angina tidak kunjung mereda, segera ke rumah
sakit; Intravena 5-200 mcg/menit (PERKI, 2015)
Kemungkinan Interaksi
Nitroglycerin dapat meningkatkan efek dari beberapa obat antara lain cabergoline,
ergoloid mesylates, ergotamine, serta methylergonovine dengan menurunkan
metabolisme obat tersebut, dengan risiko peningkatan SBP, angina pektoris.
Hindari atau Gunakan Obat Alternatif. Nitroglycerin sublingual dapat berinteraksi
dengan nifedipin dan amlodipin yang mana dapat meningkatkan toksisitas dengan
vasodilatasi aditif. Selain itu, penggunaan bersama aspirin dapat meningkatkan
efek nitrogliserin sublingual dengan vasodilatasi aditif. gunakan hati-hati / monitor.
efek vasodilatasi dan hemodinamik dari NTG dapat ditingkatkan dengan pemberian
bersama dengan aspirin (efek aditif diperlukan untuk pengobatan darurat).
Penggunaan nitroglycerin IV dapat menurunkan efek heparin dengan mekanisme
interaksi yang tidak ditentukan. minor / signifikansi tidak diketahui (Medscape,
2020).
Indikasi
Profilaksis dan pengobatan angina; gagal jantung kiri.
Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap nitrat; hipotensi atau hipovolemia; kardiopati obstruktif
hipertrofik, stenosis aorta, tamponade jantung, perikarditis konstruktif, stenosis
mitral; anemia berat, trauma kepala, perdarahan otak glaukoma sudut sempit.
(BPOM, 2020)
b. Penyekat-β (β-blocker)
Mekanisme kerja setiap obat
Obat beta blocker adalah obat gagal jantung yang memblok sistem saraf simpatis
dengan cara menghambat aksi katekolamin endogen pada reseptor adrenergik
(Destiani dkk, 2018). Penyekat beta mengurangi konsumsi oksigen miokard melalui
pengurangan kontraktilitas miokard, denyut jantung (laju sinus), konduksi AV dan
tekanan darah sistolik. Obat golongan β-blocker yang dapat digunakan dalam
SKA:
● Atenolol
Aturan Pemakaian obat
50-200mg/hari, Obat atenolol dapat diberikan bersama atau tanpa makanan
(PERKI, 2015).
Kemungkinan Interaksi:
Atenolol dengan clonidine, digoxin, diltiazem, verapamil mampu meningkatkan
toksisitas yang mampu meningkatkan bradikardia. Atenolol dan acebutolol,
betaxolol, bisoprolol,carvedilol, celiprolol, esmolol, labetalol, metoprolol,
nadolol, nebivolol,penbutolol, pindolol, propranolol, sotalol, timolol mampu
meningkatkan pemblokiran antihipertensi. Atenolol dengan rivastigmine,
lofexidine mampu meningkatkan toksisitas rivastigmine dengan sinergisme
farmakodinamik efek bradikardia aditif dapat menyebabkan sinkop (pingsan
secara tiba-tiba), Atenolol dan saquinavir mampu meningkatkan toksisitas dengan
sinergisme farmakodinamik, adanya resiko aritmia jantung (Medscape, 2020).
Indikasi
Infark Miokard, angina pectoris, aritmia, hipertensi (Medscape,2020)
Kontraindikasi:
Gangguan hati kronik berat, kerusakan ginjal, keadaan akut atau gagal jantung
dekompensasi yang menghendaki pemberian inotropik intravena, blok sino-atrial
(BPOM, 2020).
● Bisoprolol
Aturan Pemakaian obat
10 mg/hari (PERKI, 2015). Diminum pada pagi hari sebelum atau sesudah makan
(BPOM, 2020).
Kemungkinan Interaksi
Interaksi bisoprolol dengan atenolol, betaxolol, carvedilol, celiprolol, esmolol,
labetalol, metoprolol, nadolol, nebivolol, penbutolol, pindolol, propranolol,
sotalol maupun timolol dapat meningkatkan pemblokiran saluran antihipertensi
sehingga hindari atau gunakan obat alternatif. Interaksi bisoprolol dengan
aminolevulinic acid oral, clonidine, cyclophosphamide, cyclosporine, diltiazem,
methyl aminolevulinate, rivastigmine, tretinoin topical dapat meningkatkan
toksisitas satu sama lain dengan sinergi farmakodinamik. Interaksi bisoprolol dan
lofexidine akan mengurangi efek obat satu sama lain melalui sinergi
farmakodinamik (Medscape, 2020).
Indikasi
Hipertensi dan angina, gagal jantung kronik, hipotensi.
Kontraindikasi
Asma, gagal jantung yang tak terkendali, bradikardi yang nyata, hipotensi,
sindrom penyakit sinus, blok AV derajat dua atau tiga, syok kardiogenik;
feokromositoma, keadaan akut atau gagal jantung dekompensasi yang
menghendaki pemberian inotropik intravena; blok sinoatrial
(BPOM, 2020).
● Carvedilol
Aturan Pemakaian obat
2 x 6,25 mg/hari titrasi sampai maksimum 2 x 2,5 mg/hari (PERKI, 2015).
Kemungkinan Interaksi
Interaksi carvedilol dan metoprolol, propanolol dapat meningkatkan pemblokiran
saluran antihipertensi sehingga hindari atau gunakan alternatif obat yang lain.
Interaksi carvedilol dan chlorpromazine, thioridazine maupun thiothixene dapat
menaikkan kadar satu sama lain dengan menurunkan metabolisme sehingga
kontraindikasi (Medscape, 2020).
Indikasi
Hipertensi esensial sebagai terapi tunggal atau kombinasi dengan antihipertensi
lain terutama diuretika tiazid, gagal jantung kongestif: tidak sebagai terapi tunggal
tetapi sebagai terapi kombinasi bersama terapi standar dengan digitalis, diuretika
dan penghambat ACE.
Kontraindikasi
Asma, gagal jantung yang tak terkendali, bradikardi yang nyata, hipotensi,
sindrom penyakit sinus, blok AV derajat dua atau tiga, syok kardiogenik;
feokromositoma, gagal hati kronik yang berat, kerusakan hati
(BPOM, 2020).
● Metoprolol
Aturan Pemakaian obat
50-200 mg/hari diberikan sebelum atau sesudah makan (PERKI, 2015).
Kemungkinan Interaksi:
Metoprolol dengan thiothixene, thioridazine, chlorpromazine mampu
meningkatkan kadar lain yang dapat menurunkan metabolisme. Kontraindikasi:
tidak semua penghambat beta berbagi dengan interaksi ini(misalnya atenolol,
nadolol, sotalol tidak berinteraksi). Metoprolol dengan Clonidine mampu
meningkatkan toksisitas dan meningkatkan resiko bradikardia. Metoprolol
dengan dacomitinib akan meningkatkan level atau efek metabolisme, hindari
penggunaan CYP2D6 dimana sedikit peningkatan konsentrasi CYPD26 dapat
menyebabkan nyawa terancam (Medscape, 2020).
Indikasi:
Hipertensi, infark miokard akut, angina, gagal jantung kongestif (Medscape,
2020).
Kontraindikasi:
Gangguan hati kronik berat, kerusakan ginjal, keadaan akut atau gagal jantung
dekompensasi yang menghendaki pemberian inotropik intravena, blok sinoatrial
(gangguan irama jantung), hipotensi postural (BPOM, 2020).

● Propranolol
Aturan Pemakaian obat
2 x 20-80 mg/hari, diberikan sebelum makan (PERKI, 2015).
Kemungkinan Interaksi
Abametapir dengan propanolol akan meningkatkan kadar atau efek propanolol
dengan mempengaruhi metabolisme enzim hati CYPIA2, selama 2 minggu
setelah aplikasi abametapir, hindari penggunaan obat yang berstatus CYPIA2.
Propanolol dengan atenolol, betaxolol bisoprolol, timolol,metoprolol akan
meningkatkan pemblokiran saluran hipertensi. Propanolol dengan afatinib akan
meningkatkan kadar pengangkut limbah P-glikoprotein(MDR1), kurangi dosis
harian afanatib sebesar 10 mg jika tidak dapat ditoleransi bila bersamaan dengan
penghambat P-gp. Artemether/lumefantrine akan meningkatkan kadar atau efek
propanolol dengan mempengaruhi enzim hati CYP2D6. Propranolol dengan
digoxin, diltiazem mampu meningkatkan toksisitas dan risiko bradikardia.
Propanolol dengan epinephrine meningkatkan efek epinefrin melalui sinergisme
farmakodinamik, hindari atau gunakan obat alternatif (Medscape, 2020).
Indikasi
Hipertensi; feokromositoma; angina; aritmia, kardiomiopati obstruktif
hipertrofik, takikardi ansietas, dan tirotoksikosis (tambahan); profilaksis setelah
infark miokard; profilaksis migren dan tremor esensial.
Kontraindikasi
Asma, gagal jantung yang tak terkendali, bradikardi yang nyata, hipotensi,
sindrom penyakit sinus, blok AV derajat dua atau tiga, syok kardiogenik,
feokromositoma
(BPOM, 2020).
c. Antagonis Kalsium atau Calcium channel blockers (CCBs)
Mekanisme kerja setiap obat golongan Calcium channel blockers (CCBs)
Antagonis Kalsium mengurangi influks kalsium yang melalui membran sel. Obat ini
menghambat kontraksi miokard dan otot polos pembuluh darah, melambatkan
konduksi AV dan depresi nodus SA. Efek vasodilatasi, inotropik, blok AV dan
depresi nodus SA (Depkes, 2006). Contoh obat golongan CCBs yang sering
digunakan:
● Diltiazem
Aturan pemakaian obat
Lepas cepat : 30-120 mg per oral 3x sehari sebelum makan
Sustained release: 120-360 mg per oral 1x sehari (malam hari) sebelum makan
(PERKI, 2015).
Kemungkinan Interaksi
Terdapat peringatan ketika beta-blocker dan calcium channel blocker
digabungkan, karena keduanya bekerja secara sinergi untuk menekan fungsi
ventrikel kiri dan sinus dan konduksi node atrioventrikular (ACC/AHA, 2014).
Selain itu, diltiazem juga berinteraksi dengan simvastatin dimana diltiazem akan
meningkatkan konsentrasi serum dari simvastatin (Drugbank, 2020).
Indikasi
Untuk pasien NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta. Angina
pektoris; profilaksis angina pektoris varian; hipertensi esensial ringan sampai
sedang (BPOM, 2020).
Kontraindikasi
Pasien dengan edema paru atau disfungsi ventrikel kiri yang parah (ACC/AHA,
2014).
● Verapamil
Aturan pemakaian obat
Lepas lambat : 100-360 mg 1 kali sehari sebelum makan
Lepas cepat : 40-160 mg 3x sehari sebelum makan (PERKI, 2015).
Kemungkinan Interaksi
Terdapat peringatan ketika beta-blocker dan calcium channel blocker
digabungkan, karena keduanya bekerja secara sinergi untuk menekan fungsi
ventrikel kiri dan sinus dan konduksi node atrioventrikular (ACC/AHA, 2014).
Selain itu, verapamil juga berinteraksi dengan simvastatin dimana dapat
meningkatkan efek simvastatin dengan metabolisme enzim CYP3A4 sehingga
dapat meningkatkan resiko terjadinya miopati/rhabdomyolysis (Medscape, 2020).
Indikasi
Untuk pasien NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta (PERKI,
2015).
Kontraindikasi
Pasien dengan edema paru atau disfungsi ventrikel kiri yang parah (ACC/AHA,
2014). Penderita hipersensitivitas, syok kardiogenik, infark miokard akut dengan
komplikasi, AV blok tingkat II-III (kecuali pada pasien dengan pacu jantung),
sindroma sick sinus (kecuali pada pasien dengan pacu jantung), gagal jantung
kongestif, fluter atau fibrilasi atrium dengan jalur by pass (misal sindroma Wolf-
Parkinson-White, sindroma Lown-Gonong-Levine) (BPOM, 2020).
● Nifedipine
Aturan pemakaian obat
Angina : dosis awal 10 mg (usia lanjut dan gangguan hati 5 mg) 3 kali sehari
dengan atau setelah makan; dosis penunjang lazim 5-20 mg 3 kali sehari; untuk
efek yang segera pada angina: gigit kapsul dan telan dengan cairan (BPOM,
2020).
Kemungkinan Interaksi
Terdapat peringatan ketika beta-blocker dan calcium channel blocker
digabungkan, karena keduanya bekerja secara sinergi untuk menekan fungsi
ventrikel kiri dan sinus dan konduksi node atrioventrikular (ACC/AHA, 2014).
Nifedipine juga dapat berinteraksi dengan simvastatin dimana nifedipine akan
meningkatkan level atau effect simvastatin dengan cara mempengaruhi
metabolisme hepatik/intestinal enzim yakni CYP3A4 (Medscape, 2020).
Indikasi
Untuk mengurangi gejala bagi pasien yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat
beta (PERKI, 2015).
Kontraindikasi
Jika beta blocker tidak digunakan pada orang dengan NSTEMI, nifedipine lepas
cepat merupakan kontraindikasi dan juga tidak boleh digunakan (AAFP, 2015).
Selain itu, kontraindikasi juga pada syok kardiogenik, stenosis aorta lanjut dan
porfiria (BPOM, 2020).
● Amlodipine
Aturan pemakaian obat
Dosis awal 5 mg/hari sekali sehari (pagi/malam hari) sebelum atau sesudah makan
dengan dosis maksimal 10 mg/hari sekali sehari (BPOM, 2020).
Kemungkinan Interaksi
Terdapat peringatan ketika beta-blocker dan calcium channel blocker
digabungkan, karena keduanya bekerja secara sinergi untuk menekan fungsi
ventrikel kiri dan sinus dan konduksi node atrioventrikular (ACC/AHA, 2014).
Amlodipine juga berinteraksi dengan simvastatin dimana amlodipine dapat
meningkatkan level/kadar simvastatin sehingga dapat berpotensi meningkatkan
resiko terjadi miopati/rhabdomiolisis (Medscape, 2020).
Indikasi
Digunakan pada pasien-pasien dengan angina berulang atau berkelanjutan
walaupun telah mendapatkan nitrat dan penghambat beta dengan dosis adekuat,
atau pasien-pasien yang tidak dapat bertoleransi dengan nitrat dan penghambat
beta dengan dosis adekuat, angina prinzmetal (angina varian), sindrom koroner
akut, arteri koroner dan hipertensi (PERKI, 2015).
Kontraindikasi
Syok kardiogenik, angina tidak stabil, stenosis aorta yang signifikan (BPOM,
2020).

d. Morfin
Mekanisme kerja Morfin
Morfin berikatan dan mengaktivasi reseptor µ-opioid pada sistem saraf pusat.
Aktivasi dari reseptor ini akan menghasilkan efek analgesia, sedasi, physical
dependence, euforia dan respiratory depression (Heri & Subarnas, 2020)
Aturan pemakaian obat
Bolus IV: 2-5 mg (dapat diberikan dosis berulang). Harus hati-hati bila dosis IV
diatas 10 mg dan obat anti emetic IV diberikan bersamaan (PERKI, 2015).
Kemungkinan interaksi
Clopidogrel: Morfin akan menurunkan level atau efek clopidogrel (pemberian
clopidogrel bersama morfin akan menunda atau mengurangi absorbsi clopidogrel
karena pengosongan lambung yang lambat sehingga mengakibatkan penurunan
paparan metabolitnya) sehingga penggunaan antiplatelet parenteral pada SKA
dengan morfin harus dipertimbangkan. Metoclopramide meningkatkan laju
absorpsi morfin oral dan memperburuk efek sedatifnya. Penggunaan bersama
Rifampisin secara signifikan mengurangi konsentrasi plasma puncak morfin dan
AUC serta efek analgesik morfin. Efek depresan pernapasan dari morfin meningkat
secara signifikan oleh alkohol (Medscape, 2020).
Indikasi
Untuk meredakan dan menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan
analgetik non narkotik yaitu nyeri akibat trombosis koroner, neoplasma, kolik renal
atau kolik empedu, oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmoner atau koroner,
perikarditis akut, pleuritis dan pneumotoraks spontan, trauma misal luka bakar,
fraktur dan nyeri pasca bedah.
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, nyeri akut dan setelah operasi, asma, anak, kehamilan, saat proses
melahirkan, menyusui, penurunan fungsi hati berat, insufisiensi pernapasan, nyeri
perut akut, dalam terapi penghambat MAO (Monoamin Oksidase) atau masih dalam
14 hari setelah penggunaan penghambat MAO, terapi dengan buprenorfin, nalbufin,
atau pentazosin, pasien koma, juga pada kondisi di mana hambatan peristaltik harus
dihindari, pada saat kejang perut, atau kondisi diare akut seperti kolitis ulseratif akut
atau kolitis akibat antibiotik
(BPOM, 2020).

2.2.2 Terapi Antitrombotik


Terapi antitrombotik sangat penting dalam memperbaiki hasil dan menurunkan
risiko kematian, IMA atau IMA berulang.
a. Obat Penghambat Siklo-Oksigenase (COX), contoh obat golongan
penghambat COX untuk SKA adalah Aspirin.
● Aspirin/Asam Asetil Salisilat (ASA)
Mekanisme kerja obat Aspirin
Aspirin bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase
(cyclooxygenase/COX), yang mengkatalisis perubahan asam arakidonat
menjadi prostaglandin H2, prostaglandin E2, dan tromboksan A2 (Miladia,
2012). Sebagai antiplatelet Aspirin bekerja terutama dengan cara menekan
pembentukan tromboksan A2 di dalam platelet (trombosit) melalui asetilasi
yang ireversibel (Depkes, 2006). Karena platelet tidak mempunyai nukleus,
maka selama hidupnya platelet tidak mampu membentuk enzim COX ini.
Akibatnya sintesis tromboksan A2 (TXA2) yang berperan besar dalam
agregasi trombosit terhambat (Miladia, 2012).
Aturan pemakaian obat
Dosis loading (Loading dose): 160-325 mg secara peroral. Pasien PCI
yang sebelumnya tidak mengkonsumsi aspirin dapat diberikan 325 mg
aspirin non-enterik (Dapat dikunyah untuk pasien yang belum mendapat
aspirin untuk mendapatkan kadar/konsentrasi aspirin dalam darah yang
optimal dan dalam waktu cepat). Dosis pemeliharaan: 75-100 mg 1x sehari
(pagi hari) setelah makan setiap harinya untuk jangka panjang (PERKI,
2015).
Kemungkinan interaksi
Obat-obat golongan ACE-I (captopril, lisinopril, enalapril, dll) : Aspirin
dapat mengurangi efek antihipertensi dari ACE inhibitor (dimana
interaksinya sama seperti aspirin mengurangi sintesis faktor yang
mempengaruhi vasodilatasi dan prostaglandin)
Dichlorphenamide: Dapat meningkatkan kadar aspirin dengan mekanisme
yang tidak diketahui. Pemberian dichlorphenamide bersama dengan aspirin
dosis tinggi dapat meningkatkan kadar salisilat yang dapat menyebabkan
anoreksia, takipnea, lesu, dan koma.
Mifepristone: Aktivitas antiplatelet yang diinduksi aspirin dapat
menyebabkan perdarahan yang berlebihan setelah aborsi dengan
mifepristone.
(Medscape, 2020).
Indikasi
Digunakan sebagai antitrombotik untuk pasien yang mengalami Sindrom
Koroner Akut, atherosclerotic cardiovascular disease (ASCVD) primer,
Stroke Iskemik, Serangan Iskemik Transien, kanker kolorektal. Selain itu
juga digunakan untuk mengatasi demam dan nyeri (Medscape, 2020).
Kontraindikasi
Riwayat maupun sedang menderita tukak saluran cerna; hemofilia,
penderita gout (karena aspirin dosis kecil dapat meningkatkan konsentrasi
asam urat), dan juga tidak boleh diberikan kepada penderita dengan riwayat
hipersensitivitas terhadap asetosal atau AINS lain. Selain itu tidak boleh
diberikan kepada penderita asma; angioudema; urtikaria atau rinitis yang
ditimbulkan oleh asetosal atau AINS lain. Aspirin juga tidak
direkomendasikan untuk diberikan kepada anak remaja dibawah 16 tahun
karena karena risiko terjadinya sindrom Reye (ditandai dengan ensefalopati
non inflamatorik akut dan hepatopati berat) (Miladia, 2012).

b. Antagonis Reseptor Adenosin Diphospat


Obat ini bekerja berbeda dari jalur ASA-tromboksan A2 dengan menghambat
adenosin diphospat (ADP), menghasilkan penghambatan agregasi trombosit.
1. Ticlopidine
Mekanisme Kerja Obat Ticlopidine
Tiklopidin merupakan derivat tienopiridin (obat pilihan lain dalam
pengobatan SKA selain aspirin). Obat ini bekerja dengan menghambat ADP
sehingga karenanya agregasi trombosit dan perubahan reseptor fibrinogen
trombosit menjadi bentuk yang mempunyai afinitas kuat juga dihambat
(Depkes, 2006).
Aturan pemakaian obat
Dosis loading 180 mg
Dosis pemeliharaan 2 x90 mg/hari (PERKI, 2015) dengan makanan
(BPOM, 2020).
Kemungkinan interaksi
Clopidogrel: Ticlopidine dapat menurunkan efek clopidogrel dengan cara
mempengaruhi metabolisme enzim CYP2C19.
Selain itu, interaksi dengan antithrombin alfa, antithrombin III, argatroban,
bivalirudin, dalteparin, enoxaparin, fondaparinux, heparin, protamin, dan
warfarin dapat meningkatkan resiko perdarahan.
(Medscape, 2020).
Indikasi
Mengurangi risiko terjadinya stroke dan stroke kambuhan pada pasien yang
pernah mengalami stroke tromboemboli, stroke iskemik, minor stroke,
reversible ischemic neurological deficit (RIND), transient ischemic attack
(TIA) termasuk transient monocular blindness (TMB); Pencegahan
kejadian mayor ischemic accident, terutama pada koroner, pada pasien
dengan arteri kronis dari anggota tubuh bagian bawah pada tahap
intermitten claudication; pencegahan dan perbaikan kerusakan fungsi
platelet karena misalnya hemodialisis berulang; pencegahan oklusi subakut
yang diikuti implantasi STENT koroner (BPOM, 2020).
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, Neutropenia, trombositopenia, gangguan hemostatik atau
perdarahan aktif (GI berdarah, ICH), gangguan hati berat, riwayat purpura
trombotik trombositopenik (TTP) atau anemia aplastik, Penggunaan obat
antikoagulan lain (Medscape, 2020)
2. Clopidogrel
Mekanisme Kerja Obat Clopidogrel
Clopidogrel bekerja dengan memblok reseptor adenosin difosfat (ADP)
sehingga tidak terjadi aktivasi platelet dan pembekuan darah (PERKI,
2015).
Aturan pemakaian obat
Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75 mg/hari (PERKI, 2015).
dengan atau tanpa makanan (BPOM, 2020).
Kemungkinan interaksi
Clopidogrel dapat berinteraksi dengan fondaparinux, protamin, dalteparin,
bivalirudin, argatroban, antithrombin alfa dan antithrombin III, heparin
sehingga dapat meningkatkan resiko perdarahan (hemorrhage) (Medscape,
2020)
Indikasi
Menurunkan kejadian aterosklerotik (infark miokardia, stroke, dan
kematian vaskuler) pada pasien dengan riwayat aterosklerosis yang ditandai
dengan serangan stroke yang baru terjadi, infark miokardia yang baru terjadi
atau penyakit arteri perifer yang menetap.
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, perdarahan aktif seperti ulkus peptikum atau perdarahan
intrakranial, menyusui.
(BPOM, 2020).

2.2.3 Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Mekanisme kerja obat Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa
Reseptor glikoprotein (GP) IIb/IIIa adalah mencegah jalur akhir yang umum dari
agregasi platelet. Agent ini menghambat agregasi platelet yang disebabkan oleh
semua jenis rangsangan.reseptor penting pada proses akhir agregasi trombosit,
yang akan berikatan dengan fibrinogen plasma. Ikatan ini akan menjadi “jembatan“
antar trombosit yang berdekatan untuk saling berikatan, dan seterusnya berikatan
satu sama lain sedemikian rupa sehingga akhirnya terbentuk “sumbat“ hemostatik
Trombosis dapat dihambat secara efektif dengan penghambatan reseptor ini
(PERKI, 2015). Obat-obat golongan penghambat Reseptor Glikoprotein
IIb/IIIa yang digunakan dalam SKA terdiri dari:
● Abciximab
Abciximab merupakan inhibitor non spesifik dengan daya ikatan reseptor kuat
dan reversibilitas hambatan trombosit lambat pulih walaupun terapi sudah
dihentikan (Depkes, 2006).
Aturan pemakaian obat
Upstream : Bolus IV 0,25 mg/kg selama 18-24 jam sebelum prosedur, diikuti
dengan infus 0,125mcg/kg per menit (maksimum 10 mcg/menit selama 12 jam)
PCI : 0,25 mg/kg IV bolus diberikan 10-60 menit sebelum memulai PCI, diikuti
dengan 0,125 mcg/kg/menit (maksimum 10 mcg/menit) untuk 12 jam (Dipiro et
al, 2015).
Kemungkinan interaksi
Jika digunakan bersama enoxaparin, fondaparinux, heparin, warfarin,
protamine, dalteparin, bivalirudin, bemiparin, aspirin rectal, antithrombin III dan
antithrombin alfa dapat meningkatkan resiko perdarahan (hemorrhage)
(MedScape, 2020).
Indikasi
Digunakan sebagai terapi tambahan pada heparin dan asetosal untuk mencegah
komplikasi iskemik pada pasien dengan risiko tinggi yang menjalani
percutaneous transluminal coronary intervention (PCI). Obat ini digunakan
hanya sekali untuk menghindari risiko tambahan trombositopenia.
Kontraindikasi
Berkontra-indikasi dengan pasien yang mengalami perdarahan, yang dalam
waktu kurang dari 6 minggu baru mengalami perdarahan GI atau GU klinis yang
signifikan, riwayat CVA dalam 2 tahun terakhir, atau CVA dengan kekurangan
neurologis, perdarahan diathesis, thrombocytopenia, anticoagulant dalam 7 hari
terakhir.
(BPOM, 2020).
● Eptifibatide
Aturan pemakaian obat
Upstream : Bolus IV 180 mcg/kg diikuti dengan infus 2 mcg/kg per menit
selama 72 jam atau sampai dipulangkan dari RS. Bila dilakukan PCI, infuse
harus diteruskan sampai 96 jam (Dipiro et al, 2015).
PCI: 180 mcg/kg IV bolus, diulangi setiap 10 menit, diikuti infus 2
mcg/kg/menit untuk 18-24 jam setelah PCI.
Kemungkinan interaksi
Jika digunakan bersama enoxaparin, fondaparinux, heparin, warfarin,
protamine, dalteparin, bivalirudin, bemiparin, aspirin rectal, antithrombin III dan
antithrombin alfa dapat meningkatkan resiko perdarahan (hemorrhage)
(MedScape, 2020).
Indikasi
Digunakan bersama dengan heparin dan asetosal untuk mencegah infark
miokard dini pada pasien angina tidak stabil atau infark miokard non-ST-
segment elevation (NSTEMI). sebagai pengobatan pada pasien dengan sindrom
koroner akut termasuk pada pasien yang akan atau sedang menjalani intervensi
koroner perkutan (PCI, Percutaneous Coronary Intervention); termasuk yang
sedang menjalani intrakoroner stenting.
Kontraindikasi
Pendarahan abnormal dalam 30 hari, operasi besar atau trauma parah dalam 6
minggu, stroke dalam 30 hari terakhir atau riwayat hemoragik stroke, penyakit
inttoakular (aneurism, malformasi arteriveha atau neoplasma) hipertensi berat,
diathesis hemoragik, peningkatan waktu protrombin atau INR, trombositopenia,
gangguan fungsi hati signifikan, pasien pada perawatan dialisis ginjal,
hipersensitif terhadap komponen obat; menyusui; penggunaan bersama atau
rencana penggunaan bersamaan dengan penghambat glikoprotein IIb / IIIa
parenteral.
(BPOM, 2020).
● Tirofiban
Aturan pemakaian obat
Upstream: Bolus IV 0,4 mcg/kg permenit selama 30 menit. Diikuti infus 0,1
mcg/kg/mnt selama 48 jam-108 jam. Bila dilakukan PCI, infuse harus
diteruskan sampai 12- 24 jam sesudah PCI.
PCI: Bolus IV 10 mcg/kg selama 3 menit. Diikuti infuse 0.15 mcg/kg/mnt
selama 36 jam (Dipiro et al, 2015).
Kemungkinan interaksi
Jika digunakan bersama enoxaparin, fondaparinux, heparin, warfarin,
protamine, dalteparin, bivalirudin, bemiparin, aspirin rectal, antithrombin III
dan antithrombin alfa dapat meningkatkan resiko perdarahan (hemorrhage)
(MedScape, 2020).
Indikasi
Digunakan bersama dengan heparin dan asetosal untuk mencegah infark
miokard dini pada pasien angina tidak stabil atau infark miokard non-ST-
segment elevation (NSTEMI).
Kontraindikasi
Berkontra-indikasi pada pasien dengan perdarahan aktif, riwayat pendarahan
intrakranial, intrakranial neoplasma, malformasi arteriovenous atau aneurysm,
pembedahan utama atau trauma dalam bulan terakhir, riwayat pembedahan
aortik, hipertensi akut yang tak terkontrol, radang kantung jantung akut,
pendarahan retinophaty, anemia, kerusakan serius pada hati.
(BPOM, 2020).

2.2.4. Terapi Antikoagulan


Mekanisme kerja obat antikoagulan
Terapi antikoagulan bekerja dengan cara meningkatkan fungsi Antitrombin III
(AT3). Antitrombin III (AT3) adalah peptida yang menghambat beberapa faktor
pembekuan yang diaktifkan (Harter et al, 2015). Terapi antikoagulan yang
disarankan untuk SKA seperti Unfractionated Heparin (UFH) merupakan
glikosaminoglikan yang terbentuk dari rantai polisakarida dengan berat molekul
antara 3000-30.000 (Depkes, 2006) bekerja dengan cara mengikat dan
meningkatkan aktivitas antitrombin III dengan menginduksi perubahan
konformasi ke Faktor Xa, yang pada akhirnya menyebabkan penghambatan pada
Xa dan IIa dalam rasio 1: 1. Kemudian yang kedua adalah Heparin dengan berat
molekul rendah (LMWH) bekerja dengan cara mengikat AT3, lebih kecil dan
memiliki dampak proporsional yang lebih tinggi pada Xa, dibandingkan IIa,
dalam rasio 3: 1 (Harter et al, 2015).
● Unfractionated Heparin (UFH)
Aturan pemakaian obat
Bolus IV: 60 – 70 U/kg (maksimum 5000 u)
Infus i.v. 12 U/kg selama 24-48 jam dengan dosis maksimal 1000 U/jam target
aPTT (Activated Partial Thromboplastin Time) 1,5-2x kontrol
Target APTT: 1,5 – 2,0 kali atau tepatnya 60 - 80 detik (harus dalam
monitoring dan pengukuran)
Kemungkinan interaksi
Interaksi dengan obat-obatan seperti clopidogrel, abciximab, anagrelide,
cilostazol, dipyridamole, eptifibatide, prasugrel, ticlopidine, tirofiban dapat
menyebabkan hemorrhage (Pendarahan). Interaksi dengan bezedoxifine,
konjugat estrogen, estropipate, ethynil estradiol, mestranol meningkatkan
terjadinya gangguan tromboemboli. Interaksi dengan obat golongan ACE-I
seperti captopril, lisinopril, enalapril: Heparin dapat meningkatkan toksisitas
captopril/lisinopril/enalapril jika digunakan bersama (MedScape, 2020).
Indikasi
Pengobatan dan profilaksis tromboemboli vena (VTE), profilaksis trombus
pada fibrilasi atrium, dan pengobatan koagulasi intravaskular diseminata
(Harter et al, 2015). Pengobatan SKA, embolisme paru, angina tidak stabil,
profilaksis pada bedah umum, infark miokard
Kontraindikasi
Hemofilia dan gangguan hemorhagik lain, trombositopenia, tukak lambung,
perpendarahan serebral yang baru terjadi. Hipertensi berat, penyakit hati berat
(temasuk varises esofagus), gagal ginjal, sehabis cedera berat atau pembedahan
(termasuk pada mata atau susunan saraf), hipersensitivitas terhadap heparin.
(BPOM, 2020).
● Heparin dengan berat molekul rendah/Low Molecular Weight Heparin
(LMWH), contohnya:
1. Enoxaparin
Aturan pemakaian obat
1 mg/Kg SC (Subkutan) setiap 12 jam apabila Creatine Clearance (Clcr) ≥
30 mL/menit atau 24 jam jika mengalami gangguan ginjal dengan Clcr 15-
29 mL/menit. Untuk pasien STEMI yang juga menerima fibrinolitik,
enoxaparin 30 mg IV bolus diberikan segera sebanyak 1 mg/kg SC setiap
12 jam jika pasien berusia < 75 tahun. Jika pasien berumur ≥ 75 tahun maka
enoxaparin diberikan 0,75 mg/kg SC setiap 12 jam dilanjutkan dengan
enoxaparin selama perawatan di rumah sakit sampai 8 hari (Dipiro et al,
2015).
Kemungkinan interaksi
Interaksi dengan obat-obat golongan ACEI (seperti captopril, enalapril,
lisinopril): Enoxaparin dapat meningkatkan toksisitas captopril. Enoxaparin
termasuk LMWH sehingga dapat menekan sekresi adrenal aldosterone yang
dapat berpotensi menyebabkan hiperglikemia. Interaksi dengan abciximab,
anagrelide, cilostazol, dipyridamole, eptifibatide, ticlopidine, tirofiban, dan
clopidogrel dapat meningkatkan resiko hemorrhage (pendarahan). Interaksi
dengan bazedoxifene, konjugat estrogen, estradiol, estropipate, mestranol
dapat meningkatkan resiko gangguan tromboemboli. Interaksi dengan obat
kortikosteroid (seperti prednisolone, prednisone, cortisone, budesonide)
mengakibatkan kortikosteroid mengurangi efek antikoagulan dengan cara
meningkatkan koagulasi darah sehingga dapat merusak integritas vaskular
dan dapat meningkatkan resiko bleeding (perdarahan) (MedScape, 2020).
Indikasi
Pengobatan angina tidak stabil, infark miokard non Q wave. Pengobatan
trombosis vena yang berhubungan dengan operasi ortopedi atau operasi
umum, pengobatan trombosis vena pada pasien yang dirawat akibat
penyakit akut termasuk insufisiensi kardiak, gagal pernapasan, infeksi
parah, penyakit rematik, selama hemodialisis; profilaksis trombosis vena
dalam, dikonsumsi bersamaan dengan asam asetil salisilat; pencegahan
trombus pada sirkulasi ekstrakorporeal
Kontraindikasi
Hemofilia dan gangguan hemoragik lain, trombositopenia, tukak lambung,
per perdarahan serebral yang baru terjadi, hipertensi arteri sedang sampai
berat yang tidak terkontrol dengan gagal ginjal (bersihan kreatinin 30-60
mL/menit) dan hipersensitif terhadap enoksaparin.
(BPOM, 2020).
2. Bivalirudin
Aturan pemakaian obat
Dosis untuk Percutaneous Coronary Intervention (PCI) STEMI adalah 0,75
mg/kg IV (intravena) bolus, diikuti 1,75 mg/kg/jam infus. Kemudian pada
akhir PCI dilanjutkan 0,25 mg/kg/jam dilanjutkan apabila terapi koagulan
diperlukan (Dipiro et al, 2015).
Kemungkinan interaksi
Interaksi dengan abciximab, anagrelide, cilostazol, dipyridamole,
eptifibatide, ticlopidine, tirofiban, dan clopidogrel dapat meningkatkan
resiko hemorrhage (pendarahan). Interaksi dengan bazedoxifene, konjugat
estrogen, estradiol, estropipate, mestranol dapat meningkatkan resiko
gangguan tromboemboli.Interaksi dengan obat kortikosteroid (seperti
prednisolone, prednisone, cortisone, budesonide) mengakibatkan
kortikosteroid mengurangi efek antikoagulan dengan cara meningkatkan
koagulasi darah sehingga dapat merusak integritas vaskuler dan dapat
meningkatkan resiko bleeding (perdarahan) (MedScape, 2020).
Indikasi
Digunakan untuk mencegah penggumpalan darah pada penderita angina
atau kondisi lainnya yang menjalani prosedur yang disebut angioplasty
(untuk membuka arteri yang tertutup) dan gangguan koroner perkutan
Kontraindikasi
Berkontra-indikasi pada pasien dengan perdarahan aktif, kerusakan ginjal
akut dan Hipersensitifitas bivalirudin
(BPOM, 2020).
3. Nadroparin
Aturan pemakaian obat
0,1 ml/10 kg, SC (subkutan) Pemberian secara subkutan diberikan 2 kali
sehari setiap 12 jam (Depkes, 2006).
Kemungkinan interaksi
Interaksi dengan abciximab, anagrelide, cilostazol, dipyridamole,
eptifibatide, ticlopidine, tirofiban, dan clopidogrel dapat meningkatkan
resiko hemorrhage (pendarahan). Interaksi dengan bazedoxifene, konjugat
estrogen, estradiol, estropipate, mestranol dapat meningkatkan resiko
gangguan tromboemboli. Interaksi dengan obat kortikosteroid (seperti
prednisolone, prednisone, cortisone, budesonide) mengakibatkan
kortikosteroid mengurangi efek antikoagulan dengan cara meningkatkan
koagulasi darah sehingga dapat merusak integritas vaskuler dan dapat
meningkatkan resiko bleeding (perdarahan) (MedScape, 2020).
Indikasi
Profilaksis pencegahan tromboemboli vena pada pembedahan pasien
dengan resiko sedang atau tinggi, pencegahan koagulasi pada extracorporal
circulation loop dialisis, pengobatan trombosis vena dalam yang sudah
established, angina tidak stabil dan infark miokard non-Q wave pada fase
akut dalam kombinasi dengan terapi standard. Indikasi nadroparin forte:
Pengobatan trombosis vena dalam (DVT).
Kontraindikasi
Sebagai terapi pencegahan/profilaksis: hipersensitif, riwayat trombopenia
berat tipe II yang diinduksi heparin, tanda-tanda perdarahan yang terkait
hemostasis, lesi organ yang mengarah ke perdarahan. Sebagai terapi kuratif:
perdarahan intra serebral, gagal ginjal berat (kreatinin klirens 30 mL/menit);
anastesi epidural atau spinal. Tidak dianjurkan pada pemberian sebagai
kuratif: iskemik serebrovaskular fase akut, infeksi endokarditis akut, gagal
ginjal ringan-sedang.
(BPOM, 2020).

4. Fondaparinuks
Aturan pemakaian obat
Dosisnya 2,5 mg IV (intravena) diikuti 2,5 mg SC (subkutan) 1 kali sehari.
Dimulai pada hari kedua saat dirawat di rumah sakit (Dipiro et al, 2015).
Kemungkinan interaksi
Interaksi dengan abciximab, anagrelide, cilostazol, dipyridamole,
eptifibatide, ticlopidine, tirofiban, dan clopidogrel dapat meningkatkan
resiko hemorrhage (pendarahan). Interaksi dengan bazedoxifene, konjugat
estrogen, estradiol, estropipate, mestranol dapat meningkatkan resiko
gangguan tromboemboli.Interaksi dengan obat kortikosteroid (seperti
prednisolone, prednisone, cortisone, budesonide) mengakibatkan
kortikosteroid mengurangi efek antikoagulan dengan cara meningkatkan
koagulasi darah sehingga dapat merusak integritas vaskuler dan dapat
meningkatkan resiko bleeding (perdarahan) (MedScape, 2020).
Indikasi
Pengobatan angina tidak stabil atau non-ST segmen elevasi infark miokard
(UA / NSTEMI) pada pasien kritis (<120 menit) manajemen invasif
[Intervensi Koroner Perkutan (PCI)] tidak diindikasikan, pengobatan
tambahan dari ST segmen elevasi infark miokard (STEMI) pada pasien
yang sedang melakukan pengobatan dengan trombolitik, pencegahan
venous thromboembolic events (VTE) pada pasien yang menjalani
pembedahan ortopedi mayor pada anggota badan bagian bawah seperti
fraktur tulang pinggul, operasi penggantian lutut atau pinggul, pasien yang
menjalani operasi perut yang berisiko komplikasi tromboemboli, pasien
yang berisiko komplikasi tromboemboli karena penyakit akut, pengobatan
akut deep vein thrombosis (DVT), pengobatan akut pulmonary embolism
(PE)
Kontraindikasi
hipersensitivitas, perdarahan aktif, endokarditis bakterial akut, gangguan
ginjal berat (kreatinin klirens < 20 mL/menit).
(BPOM, 2020).

2.2.5 Terapi Fibrinolitik


Mekanisme Kerja Obat Fibrinolitik
Fibrinolitik bekerja sebagai trombolitik dengan cara mengaktifkan plasminogen
untuk membentuk plasmin, yang mendegradasi fibrin dan kemudian memecah
trombus. Terapi fibrinolitik untuk SKA terdiri dari:
● Streptokinase
Aturan pemakaian obat
1,5 juta unit dalam 100 mL Dextrose 5% atau larutan salin 0,9% dalam waktu
30-60 menit (Perki, 2015). Trombosis vena dalam, embolisme paru,
tromboembolisme arterial akut, vena retina pusat atau trombosis erfercil: infus
intravena, 250.000 unit selama 30 menit, kemudian 100.000 unit setiap jam
selama sampai dengan 24-72 jam menurut kondisi Infark miokard, 1.500.000
unit selama 60 menit (BPOM, 2020).
Kemungkinan interaksi
Risiko atau tingkat keparahan perdarahan dapat meningkat bila Streptokinase
dikombinasikan dengan warfarin. Risiko atau tingkat keparahan perdarahan
dapat meningkat bila Streptokinase dikombinasikan dengan Alteplase.
Urokinase dapat meningkatkan aktivitas antikoagulan Streptokinase (DrugBank,
2020).
Indikasi
Trombosis vena dalam, embolisme paru, tromboembolisme arterial akut,
trombosis lintas arteriovena; infark miokard akut (BPOM, 2020).
Kontraindikasi
Perdarahan, trauma, atau pembedahan (termasuk cabut gigi) yang baru terjadi,
kelainan koagulasi, diatesis pendarahan, diseksi aorta, koma, riwayat penyakit
serebrovaskuler terutama serangan terakhir atau dengan berakhir cacat, gejala-
gejala tukak peptik yang baru terjadi, perdarahan vaginal berat, hipertensi berat,
penyakit paru dengan kavitasi, pankreatitis akut, penyakit hati berat, varises
esofagus; juga dalam hal streptokinase atau anistreplase, reaksi alergi
sebelumnya terhadap salah satu dari kedua obat tersebut (BPOM, 2020).
● Alteplase (tPa)
Aturan pemakaian obat
Bolus 15 mg intravena. Heparin i.v. 0,75 mg/kg selama 30 menit, selama 24-48
kemudian 0,5 mg/kg selama jam 60 menit. Dosis total tidak lebih dari 100 mg
(Perki, 2015).
Kemungkinan interaksi
Penggunaan alteplase dengan defibrotide meningkatkan efek alteplase oleh
sinergisme farmakodinamik. Pemberian defibrotide secara bersamaan
dikontraindikasikan dengan obat antitrombotik / fibrinolitik (Medscape, 2020).
Risiko atau keparahan perdarahan dapat meningkat bila Defibrotide
dikombinasikan dengan Alteplase (DrugBank, 2020).
Indikasi
Terapi trombolitik pada infark miokard akut, embolisme paru dan stroke iskemik
akut (BPOM, 2020).
Kontraindikasi
Stroke akut, kejang yang menyertai stroke, stroke berat, riwayat stroke pada
pasien diabetes, stroke 3 bulan sebelumnya, hipoglikemi, hiperglikemi (BPOM,
2020).
● Urokinase
Aturan pemakaian obat
Instilasi ke dalam lintas arteriovena, 5000-25.000 UI dalam 2-3 mL injeksi NaCl
0,9%. Infus intravena, 4400 UI/kgBB selama 10 menit, kemudian 4400 unit/kg
bb/jam selama 12 jam pada embolisme paru atau 12-24 jam pada trombosis vena
dalam. Penggunaan intraokuler 5000 UI dalam 2 mL injeksi NaCl 0,9% (BPOM,
2020).
Kemungkinan interaksi
Risiko atau tingkat keparahan angioedema dapat meningkat bila Urokinase
dikombinasikan dengan Captopril. Urokinase dapat meningkatkan aktivitas
antikoagulan Alteplase. Urokinase dapat meningkatkan aktivitas antikoagulan
Streptokinase. Risiko atau keparahan perdarahan dapat meningkat bila
Amphetamine dikombinasikan dengan Urokinase (DrugBank, 2020).
Indikasi
Trombosis lintas arterioena dan kanula intravena; trombolisis pada mata;
trombosis vena dalam, embolisme paru, oklusi vaskuler perifer (BPOM, 2020).
Kontraindikasi
Perdarahan, trauma, atau pembedahan (termasuk cabut gigi) yang baru terjadi,
kelainan koagulasi, diatesis pendarahan, diseksi aorta, koma, riwayat penyakit
serebrovaskuler terutama serangan terakhir atau dengan berakhir cacat, gejala-
gejala tukak peptik yang baru terjadi, perdarahan vaginal berat, hipertensi berat,
penyakit paru dengan kavitasi, pankreatitis akut, penyakit hati berat, varises
esofagus (BPOM, 2020).

2.2.6 Terapi Jangka Panjang


a. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (ACE-I)
Mekanisme kerja setiap obat
Penghambat ACE (ACE-I) bekerja dengan cara menghambat enzim ACE
secara kompetitif melalui ikatan pada active catalytic enzim tersebut, dengan
demikian akan terjadi hambatan perubahan angiotensin I menjadi angiotensin
II. Hambatan tersebut selain terjadi pada sirkulasi sistemik juga terjadi pada
ACE jaringan yang dihasilkan oleh sel sel endotel jantung, ginjal, otak dan
kelenjar adrenal. Penghambat ACE juga berperan dalam menghambat
degradasi bradikinin, yang merupakan vasodilator.
Contoh obat ACE-I yang digunakan dalam terapi SKA:
1. Captopril
Aturan pemakaian obat
Dosis awal 6,25 - 12,5 mg di bawah pengawasan medis yang ketat, dosis
penunjang lazim 25 mg 2 - 3 kali sehari; maksimal 150 mg sehari; diminum
saat perut kosong (BPOM, 2020)
Kemungkinan interaksi
Aliskiren
Captopril dapat menurunkan efek aliskiren. Penggunaan aliskiren
dikontraindikasikan dengan ACE-inhibitor pada pasien diabetes; hindari
pemberian bersama dengan ACE-inhibitor jika GFR. Pada pasien usia
lanjut, volume-depleted (termasuk mereka yang menjalani terapi diuretik),
atau dengan gangguan fungsi ginjal, pemberian ACE-inhibitor secara
bersamaan dengan obat yang mempengaruhi RAAS dapat meningkatkan
risiko gangguan ginjal (termasuk gagal ginjal akut) dan menyebabkan
hilangnya efek antihipertensi. Pantau fungsi ginjal secara berkala. Selain itu
penggunaan kedua obat secara bersamaan dapat meningkatkan toksisitas
dari keduanya melalui sinergi farmakodinamik.
Sacubitril / Valsartan
Pemberian bersama inhibitor neprilysin (misalnya, sacubitril) dengan ACE
inhibitor dapat meningkatkan risiko angioedema; jangan berikan inhibitor
ACE dalam waktu 36 jam setelah beralih ke atau dari sacubitril / valsartan.
(Medscape, 2020)
Indikasi
Hipertensi ringan sampai sedang (sendiri atau dengan terapi tiazid) dan
hipertensi berat yang resisten terhadap pengobatan lain; gagal jantung
kongestif (tambahan); setelah infark miokard; nefropati diabetik
(mikroalbuminuria lebih dari 30 mg/hari) pada diabetes tergantung insulin.
(BPOM, 2020)
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap penghambat ACE (termasuk angioedema); penyakit
renovaskular (pasti atau dugaan); stenosis aorta atau obstruksi keluarnya
darah dari jantung; kehamilan; porfiria (BPOM, 2020).
2. Lisinopril
Aturan pemakaian obat
Dosis awal 2,5 mg sehari di bawah pengawasan medis yang ketat; dosis
penunjang 5-20 mg sehari. Profilaksis setelah infark miokard, sistolik lebih
dari 120 mm Hg, 5 mg dalam 24 jam diikuti dengan 5 mg lagi 24 jam
berikutnya, kemudian 10 mg setelah 24 jam berikutnya, dan lanjutkan
dengan 10 mg sekali sehari selama 6 minggu (lanjutkan pada gagal jantung);
sistolik 100-120 mmHg, dosis awal 2,5 mg, tingkatkan sampai dosis
penunjang 5 mg sekali sehari; dikonsumsi setelah makan (BPOM, 2020).
Kemungkinan interaksi
Aliskiren
Captopril dapat menurunkan efek aliskiren. Penggunaan aliskiren
dikontraindikasikan dengan ACE-inhibitor pada pasien diabetes; hindari
pemberian bersama dengan ACE-inhibitor jika GFR. Pada pasien usia
lanjut, volume-depleted (termasuk mereka yang menjalani terapi diuretik),
atau dengan gangguan fungsi ginjal, pemberian ACE-inhibitor secara
bersamaan dengan obat yang mempengaruhi RAAS dapat meningkatkan
risiko gangguan ginjal (termasuk gagal ginjal akut) dan menyebabkan
hilangnya efek antihipertensi. Pantau fungsi ginjal secara berkala. Selain itu
penggunaan kedua obat secara bersamaan dapat meningkatkan toksisitas
dari keduanya melalui sinergi farmakodinamik
Sacubitril / Valsartan
Pemberian bersama inhibitor neprilysin (misalnya, sacubitril) dengan ACE
inhibitor dapat meningkatkan risiko angioedema; jangan berikan inhibitor
ACE dalam waktu 36 jam setelah beralih ke atau dari sacubitril / valsartan.
(Medscape, 2020).
Indikasi
Semua tingkat hipertensi; gagal jantung kongestif (tambahan); setelah
infark miokard pada pasien yang secara hemodinamik stabil (BPOM, 2020)
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap penghambat ACE (termasuk angioedema); penyakit
renovaskular (pasti atau dugaan); stenosis aorta atau obstruksi keluarnya
darah dari jantung; kehamilan; porfiria
(BPOM, 2020).
3. Ramipril
Aturan pemakaian obat
Pasien dengan penyakit jantung berat, hipotensi, gangguan fungsi ginjal,
gangguan elektrolit dan pasien dengan gagal jantung berat harus diawasi
dengan pengawasan.
Pengurangan mortalitas (kematian) pada gagal jantung setelah fase infark
miokard akut, terapi dimulai 3 hari pertama sesudah kejadian infark. Dosis
awal yang sesuai 1,25-2,5 mg dua kali sehari dan terapi harus dilakukan
dengan pengawasan tekanan darah dan fungsi ginjal yang ketat. Dosis
ditingkatkan paling sedikit 2 hari menjadi 2,5-5 mg dua kali sehari dan
target dosis 5 mg dua kali sehari dapat dicapai; dikonsumsi setelah makan.
(BPOM, 2020)
Kemungkinan interaksi
Aliskiren
Captopril dapat menurunkan efek aliskiren. Penggunaan aliskiren
dikontraindikasikan dengan ACE-inhibitor pada pasien diabetes; hindari
pemberian bersama dengan ACE-inhibitor jika GFR. Pada pasien usia
lanjut, volume-depleted (termasuk mereka yang menjalani terapi diuretik),
atau dengan gangguan fungsi ginjal, pemberian ACE-inhibitor secara
bersamaan dengan obat yang mempengaruhi RAAS dapat meningkatkan
risiko gangguan ginjal (termasuk gagal ginjal akut) dan menyebabkan
hilangnya efek antihipertensi. Pantau fungsi ginjal secara berkala. Selain itu
penggunaan kedua obat secara bersamaan dapat meningkatkan toksisitas
dari keduanya melalui sinergi farmakodinamik. (Medscape, 2020)
Sacubitril / Valsartan
Pemberian bersama inhibitor neprilysin (misalnya, sacubitril) dengan ACE
inhibitor dapat meningkatkan risiko angioedema; jangan berikan inhibitor
ACE dalam waktu 36 jam setelah beralih ke atau dari sacubitril / valsartan.
(Medscape, 2020)
Indikasi
Hipertensi ringan sampai sedang; gagal jantung kongestif (tambahan);
setelah infark miokard pada pasien dengan gagal jantung yang terbukti
secara klinis; pasien rentan usia diatas 55 tahun, pencegahan infark miokard,
stroke, kematian kardiovaskular atau membutuhkan revaskularisasi.
(BPOM, 2020)
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap penghambat ACE (termasuk angioedema); penyakit
renovaskular (pasti atau dugaan); stenosis aorta atau obstruksi keluarnya
darah dari jantung; kehamilan; porfiria
(BPOM, 2020).
b. Statin
Mekanisme kerja setiap obat
Obat golongan ini dikenal juga dengan obat penghambat HMGCoA reduktase.
HMGCoA reduktase adalah suatu enzim yang dapat mengontrol biosintesis
kolesterol. Dengan dihambatnya sintesis kolesterol di hati dan hal ini akan
menurunkan kadar LDL dan kolesterol total serta meningkatkan HDL plasma.
Kontraindikasi
Pasien dengan hipersensitivitas, penyakit hati yang aktif dan pada kehamilan
dan menyusui (BPOM, 2020). Contoh obat statin yang digunakan dalam
terapi SKA:
● Rosuvastatin
Aturan pemakaian obat
Dosis awal 10 mg jika perlu ditingkatkan menjadi 20 mg sehari sekali
setelah 4 minggu. Dosis 40 mg sekali sehari hanya boleh diberikan pada
pasien dengan hiperkolesterol berat yang tidak memberikan hasil dengan 20
mg (BPOM, 2020).
Kemungkinan interaksi
Ketoconazole: meningkatkan toksisitas dari rosuvastatin (inhibitor
OATP1B1 mungkin meningkatkan resiko miopati). Niacin : salah satu dari
niacin dan rosuvastatin akan meningkatkan toksisitas yang satunya dengan
cara sinergisme farmakodinamik (Medscape, 2020).
Indikasi
Untuk mengurangi insiden kejadian koroner klinis dan memperlambat
progresi aterosklerosis koroner pada pasien dengan penyakit jantung
koroner dan kadar kolesterol 5,5 mmol/l atau lebih. Selain itu juga dapat
mengatasi hiperkolesterol primer (tipe IIa termasuk heterozigot familial)
atau dislipidemia campuran (tipe IIb) sebagai terapi tambahan jika upaya
diet dan olahraga tidak mencukupi.
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap obat dan komponennya, penyakit liver aktif, miopati,
memperoleh siklosporin, hamil dan menyusui.
(BPOM, 2020).
● Simvastatin
Aturan pemakaian obat
Untuk penyakit jantung koroner, awalnya 20 mg sehari pada malam hari
Kemungkinan interaksi
Kloramfenikol: kloramfenikol akan meningkatkan efek dari simvastatin
dengan mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati atau usus.
Methylprednisolone: Methylprednisolone akan menurunkan efek dari
simvastatin dengan mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati atau
usus (Medscape, 2020).
Indikasi
Mengurangi insiden kejadian koroner klinis dan memperlambat progresi
aterosklerosis koroner pada pasien dan kadar kolesterol 5,5 mmol/l atau
lebih (BPOM, 2020).
Kontraindikasi
Hipersensitif, porfiria (BPOM, 2020).
● Atorvastatin
Aturan pemakaian obat
Hiperkolesterolemia primer dan hiperlipidemia campuran, biasanya 10 mg
sehari sekali, bila perlu dapat ditingkatkan dengan interval 4 minggu hingga
maksimal 80 mg sekali sehari. Anak 10-17 tahun dosis awal 10 mg sekali
sehari. Hiperkolesterolemia turunan, dosisi awal 10 mg sehari, tingkatkan
dengan interval 4 minggu sampai 40 mg sekali sehari. Bila perlu
ditingkatkan lebih lanjut hingga 80 mg sekali sehari. Untuk anak 10-17
tahun hingga 20 mg sekali sehari (BPOM, 2020).
Kemungkinan interaksi
Simetidin : simetidin akan meningkatkan efek dari atorvastatin dengan
mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati atau usus.
Niacin : salah satu dari niacin dan atorvastatin akan meningkatkan toksisitas
yang satunya dengan cara sinergisme farmakodinamik (Medscape, 2020).
Indikasi
Mengurangi peningkatan kolesterol total, c-LDL, apolipoprotein B dan
trigliserida pada pasien dengan hiperkolesterolemia primer, kombinasi
hiperlipidemia
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap komponen obat
(BPOM, 2020).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan
ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh kurangnya oksigen ke otot
jantung (miokardium). Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma
pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Sindrom koroner akut mencakup penyakit
jantung koroner yang bervariasi mulai dari angina pektoris tidak stabil dan infark miokard
tanpa ST-elevasi sampai infark miokard dengan ST-elevasi. Penatalaksanaan terapi untuk
Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi 2 berdasarkan jenis penyakit yaitu penatalaksanaan
untuk jenis STEMI dan untuk jenis NSTEMI. Pilihan terapi Sindrom Koroner Akut meliputi
terapi anti-iskemik, anti trombotik, penghambat reseptor glikoprotein, antikoagulan,
fibrinolitik, dan terapi jangka panjang.

3.2 Saran
Pemberian terapi obat pada pasien SKA harus diperhatikan untuk keadaan tertentu
misalnya apakah terdapat kontraindikasi dengan keadaan pasien atau tidak dan diperhatikan
interaksi obat yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

AAFP., 2015. Management of Non–ST Elevation Acute Coronary Syndrome: A Guideline


from the AHA and ACC. American Family Physician. 92, (2).
ACC/AHA., 2014. Guidelines for the Management of Patients With Unstable
Angina/Non–ST-Elevation Myocardial Infarction: Executive Summary.
Circulation.116, 803– 877.
Andrianto., 2020. Buku Ajar Kegawatdaruratan Kardiovaskular Berbasis Standar
Nasional Pendidikan Profesi Dokter 2019. Unair Press: Surabaya.
Badan Pengawas Obat dan Makanan., 2020. Antagonis Kalsium.
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-2-sistem-kardiovaskuler-0/24-anti-angina/242-
antagonis-kalsium. Diakses pada 5 Oktober 2020.
Badan Pengawas Obat dan Makanan., 2020. Atenolol.
http://pionas.pom.go.id/monografi/atenolol. Diakses pada 7 Oktober 2020.
Badan Pengawas Obat dan Makanan., 2020. Atorvastatin.
http://pionas.pom.go.id/monografi/atorvastatin. Diakses pada 7 Oktober 2020
Badan Pengawas Obat dan Makanan., 2020. Beta Bloker. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-
2-sistem-kardiovaskuler-0/23-antihipertensi/234-beta-bloker. Diakses pada 6 Oktober
2020
Badan Pengawas Obat dan Makanan., 2020. Bisoprolol.
http://pionas.pom.go.id/monografi/bisoprolol-fumarat. Diakses pada 6 Oktober 2020.
Badan Pengawas Obat dan Makanan., 2020. Clopidogrel.
http://pionas.pom.go.id/monografi/klopidogrel. Diakses pada 6 Oktober 2020.
Badan Pengawas Obat dan Makanan., 2020. Enoxaparin.
http://pionas.pom.go.id/monografi/enoksaparin. Diakses pada 7 Oktober 2020.
Badan Pengawas Obat dan Makanan., 2020. Eptifibatid.
http://pionas.pom.go.id/monografi/eptifibatid. Diakses 8 Oktober 2020.
Badan Pengawas Obat dan Makanan., 2020. Fondaparinkus.
http://pionas.pom.go.id/monografi/natrium-fondaparinuks. Diakses 8 Oktober 2020.
Badan Pengawas Obat dan Makanan., 2020. Metoprolol.
http://pionas.pom.go.id/monografi/metoprolol-tartrat . Diakses pada 7 Oktober 2020.
Badan Pengawas Obat dan Makanan., 2020. Nadroparin.
http://pionas.pom.go.id/monografi/nadroparin-kalsium Diakses pada 7 Oktober 2020.
Badan Pengawas Obat dan Makanan., 2020. Heparin.
http://pionas.pom.go.id/monografi/heparin. Diakses pada 7 Oktober 2020.
Badan Pengawas Obat dan Makanan., 2020. Karvedilol.
http://pionas.pom.go.id/monografi/karvedilol. Diakses pada 7 Oktober 2020.
Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2020. Nitrat. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-2-
sistem-kardiovaskuler-0/24-anti-angina/241-nitra. Diakses pada 6 Oktober 2020.
Badan Pengawas Obat dan Makanan., 2020. Morfin. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-4-
sistem-saraf-pusat/47-analgesik/472-analgesik-opioid. Diakses pada 6 Oktober 2020.
Badan Pengawas Obat dan Makanan., 2020. Rosuvastatin.
http://pionas.pom.go.id/monografi/rosuvastatin-kalsium. Diakses pada 7 Oktober
2020.
Badan Pengawas Obat dan Makanan., 2020. Simvastatin.
http://pionas.pom.go.id/monografi/simvastatin. Diakses pada 7 Oktober
Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2020. Statin. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-2-
sistem-kardiovaskuler-0/210-hipolipidemik/2104-statin. Diakses pada 6 Oktober
2020
Badan Pengawas Obat dan Makanan., 2020. Penghambat ACE.
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-2-sistem-kardiovaskuler-0/23-antihipertensi/235-
penghambat-ace. Diakses pada 7 Februari 2020
Depkes RI., 2006. Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner: Fokus
Sindrom Koroner Akut. Depkes RI: Jakarta.
Destiani, M., Uddin, I., Ardhianto, P., 2018. Gambaran Peresepan Obat Beta Blocker Pada
Pasien Gagal Jantung Sistolik yang Dirawat Jalan di RSUP dr. Kariadi Semarang.
Jurnal Kedokteran Diponegoro. 7(2), 1530-1541
Dipiro, J.T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., and Posey, L. M.,
2015. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Edisi 9. USA : The McGraw-
Hill Companies.
Drug Bank., 2020. Alteplase. https://go.drugbank.com/drugs/DB00009 . Diakses pada 8
Oktober 2020
Drug bank., 2020. Diltiazem. https://go.drugbank.com/drugs/DB00343. Diakses pada 8
oktober 2020.
Drug Bank., 2020. Streptokinase. https://go.drugbank.com/drugs/DB00086 . Diakses pada
8 Oktober 2020
Drug Bank., 2020. Urokinase. https://go.drugbank.com/drugs/DB00013 . Diakses pada 8
Oktober 2020
Harter, K., Levine, M., & Henderson, S. O., 2015. Anticoagulation Drug Therapy: a
Review. Western Journal of Emergency Medicine. 16(1), 11.
Heri, A., A., P., Subarnas, A., 2020. Morfin: Penggunaan Klinis dan Aspek Aspeknya.
Farmaka. 17(3)
Miladiyah, I., 2012. Therapeutic Drug Monitoring Aspirin sebagai Antireumatik. Sains
Medika. 4, 210-226.
Medscape., 2020. Alteplase. https://reference.medscape.com/drug/activase-tpa-alteplase-
342287#3. Diakses pada 7 Oktober 2020.
Medscape., 2020. Aspirin. https://reference.medscape.com/drug/bayer-ecotrin-aspirin-
343279#10. Diakses pada 7 Oktober 2020.
Medscape., 2020. Atenolol. https://reference.medscape.com/drug/tenormin-atenolol-
342356. Diakses pada 7 Oktober 2020.
Medscape., 2020. Atorvastatin.
https://reference.medscape.com/drug/342446?src=mbl_msp_android&ref=share#3.
Diakses pada 7 Oktober 2020.
Medscape., 2020. Bisoprolol. https://reference.medscape.com/drug/ziac-bisoprolol-
hydrochlorothiazide-999421#3. Diakses pada 7 Oktober 2020 pukul 21.40.
Medscape., 2020. Captopril. https://reference.medscape.com/drug/capoten-captoril-
captopril-342315#3. Diakses pada 7 Oktober 2020.
Medscape., 2020. Carvedilol. https://reference.medscape.com/drug/coreg-cr-carvedilol-
342357#3. Diakses pada 7 Oktober.
Medscape., 2020. Clopidogrel. https://reference.medscape.com/drug/plavix-clopidogrel-
342141#3. Diakses pada 7 Oktober 2020.
Medscape., 2020. Metoprolol. https://reference.medscape.com/drug/lopressor-toprol-xl-
metoprolol-342360. Diakses pada 7 Oktober 2020.
Medscape., 2020. Propranolol. https://reference.medscape.com/drug/inderal-inderal-la-
propranolol-342364
Diakses pada 7 Oktober 2020.
Medscape., 2020. Rosuvastatin.
https://reference.medscape.com/drug/342467?src=mbl_msp_android&ref=share#3.
Diakses pada 7 Oktober 2020.
Medscape., 2020. Simvastatin.
https://reference.medscape.com/drug/342463?src=mbl_msp_android&ref=share#3.
Diakses pada 7 Oktober 2020.
Medscape., 2020. Ticlopidine. https://reference.medscape.com/drug/ticlid-ticlopidine-
342184#5. Diakses pada 7 Oktober 2020.
PERKI., 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Centra Communications:
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai