OLEH
KELOMPOK 1
FAKULTAS FARMASI
YOGYAKARTA
2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui penatalaksanaan dari penyakit Sindrom Koroner Akut
1.3.2 Untuk mengetahui terapi farmakologi pada penyakit Sindrom Koroner Akut
1.3.3 Untuk mengetahui mekanisme, aturan pakai, interaksi, indikasi, dan kontraindikasi
obat Sindrom Koroner Akut
BAB II
ISI
(PERKI, 2015).
2.1.4 Tatalaksana Reperfusi STEMI
Pasien dari IGD/UGD dengan SKA dikirim ke ICCU/CVC untuk penatalaksanaan
selanjutnya yaitu sebagaimana penatalaksanaan STEMI/IMA yakni sebagai berikut:
2.1.4.1 Secara Umum
1. Pasang infus intravena: dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
2. Pantau tanda vital: setiap ½ jam sampai stabil, kemudian tiap 4 jam atau sesuai
dengan kebutuhan, catat jika frekuensi jantung < 60 kali/menit atau > 110
kali/menit; tekanan darah < 90 mmHg atau > 150 mmHg; frekuensi nafas < 8
kali/mnt atau > 22 kali/mnt.
3. Aktivitas istirahat di tempat tidur dengan kursi commode di samping tempat
tidur dan mobilisasi sesuai toleransi setelah 12 jam.
4. Diet: puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair. Selanjutnya diet jantung
(kompleks karbohidrat 50-55% dari kalori, monounsaturated dan unsaturated
fats < 30% dari kalori), termasuk makanan tinggi kalium (sayur, buah),
magnesium (sayuran hijau, makanan laut) dan serat (buah segar, sayur, sereal).
5. Medika mentosa :
● Oksigen nasal mulai 2 l/mnt: dalam 2-3 jam pertama; dilanjutkan jika saturasi
oksigen arteri rendah (< 90%)
● Mengatasi rasa nyeri: Morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap
lima menit sampai dosis total 20 mg, atau Petidin 25-50 mg intravena, atau
Tramadol 25-50 mg intravena. Nitrat sublingual/patch, intravena jika nyeri
berulang dan berkepanjangan.
6. Terapi reperfusi (trombolitik) streptokinase atau tPa:
● Tujuan: door to needle time < 30 menit, door to dilatation < 60 mnt.
● Rekomendasi:
- Elevasi ST > 0,1 mV pada dua atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan
atau > 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial berdampingan, waktu
mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia < 75 tahun; Blok cabang berkas
(BBB) dan anamnesis dicurigai infark miokard akut.
- Dosis obat-obat trombolitik:
Streptokinase: 1,5 juta UI dalam 1 jam; Aktivator plasminogen jaringan
(tPA): bolus 15 mg, dilanjutkan 0,75 mg/kgBB (maksimal 50 mg) dalam jam
pertama dan 0,5 mg/kgBB (maksimal 35 mg) dalam 60 menit.
7. Antitrombotik :
● Aspirin (160-325 mg hisap atau telan)
● Heparin direkomendasi pada:
- Pasien yang menjalani terapi revaskularisasi perkutan atau bedah.
- Diberikan intravena pada pasien yang menjalani terapi reperfusi dengan
alteplase: dosis yang direkomendasikan 70 UI/kgBB bolus pada saat mulai
infus alteplase, dilanjutkan lebih dari 48 jam terbatas hanya pada pasien
dengan risiko tinggi terjadi tromboemboli sistemik atau vena.
- Diberikan intravena pada infark non-Q.
- Diberikan subkutan (SK) 2 x 7500 UI (heparin intravena merupakan
trombolitik yang tidak ada kontraindikasi heparin). Pada pasien fibrilasi
atrial, riwayat emboli, atau diketahui ada trombus di ventrikel kiri.
- Diberikan intravena pada pasien yang mendapat terapi obat-obat trombolitik
non-selektif (streptokinase, anisreplase, urokinase) yang merupakan risiko
tinggi terjadinya emboli sistemik seperti di atas. Keterangan: heparin
direkomendasikan ditunda sampai 4 jam dan pada saat itu diperiksa aPTT.
Heparin mulai diberikan jika aPTT < 2 kali kontrol (sekitar 70 detik),
kemudian infus dipertahankan dengan target aPTT 1,5-2 kali kontrol (infus
awal sekitar 1000 UI/jam). Setelah 48 jam dapat dipertimbangkan diganti
heparin subkutan, warfarin, atau aspirin saja.
8. Mengatasi rasa takut dan cemas: diazepam 3 x 2-5 mg oral atau intravena.
9. Obat pelunak tinja: laktulosa (laksadin) 2 x 15 ml.
10. Terapi tambahan: Penyekat beta; jika tidak ada kontraindikasi. Penghambat
ACE terutama pada: IMA luas atau anterior, gagal jantung tanpa hipotensi,
riwayat infark miokard. Antagonis kalsium: diltiazem pada IMA non-Q.
Rekomendasi ACC/AHA yang baru tahun 2002, menganjurkan untuk
memberikan klopidogrel bersama aspirin pada semua pasien SKA di samping terapi
standar. Juga dianjurkan pemberian LMWH untuk mengantikan peran heparin pada
semua pasien SKA baik untuk pasien yang dirawat konservatif maupun mereka yang
akan dilakukan tindakan invasif. Dari beberapa penelitian menganjurkan, pasien IMA
yang diberi terapi fibrinolitik juga diberi tambahan LMWH enoksaparin bersama-
sama aspirin.
Pasien dengan gejala nyeri dada khas yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi
segmen ST yang menetap atau left bundle branch block (LBBB) yang (terduga) baru
memiliki indikasi dilakukan terapi reperfusi segera dengan percutaneous coronary
intervention (PCI) atau farmakologis (Andrianto, 2020). Terapi reperfusi (sebisa
mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG
adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12
jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat.
(PERKI, 2015).
Penentuan risiko rendah berdasarkan risk score seperti TIMI juga dapat berguna dalam
pengambilan keputusan untuk menggunakan strategi konservatif. Risk Score > 3
menurut TIMI menunjukkan pasien memerlukan revaskularisasi. Timing
revaskularisasi dapat ditentukan berdasarkan penjelasan diatas.
(PERKI, 2015).
1. Pengobatan untuk pasien dengan risiko rendah
- Aspirin & Klopidogrel
Jika aspirin intoleransi dan klopidogrel tidak dapat digunakan, gunakan:
- Ticlopidine
- Nitrat
- Tablet sublingual atau spray atau IV
(kontraindikasi pada pasien yang menerima sildenafil dalam 24 jam ke
belakang. Gunakan dengan perhatian pada pasien dengan gagal RV)
- β-bloker oral (jika tidak kontra indikasi)
- antagonis kalsium non-dihidropiridin jika sukar untuk meneruskan
pengobatan yang terdahulu.
- Senyawa penurun lipid
- Inhibitor HMG-CoA reduktase & diet LDL-c> 2.6 mmol/L (100 mg/dL)
dimulai dalam 24-96 jam setelah masuk RS.Dilanjutkan pada saat keluar
RS
- Fibrat atau niasin jika HDL-c < 1 mmol/L (40 mg/dL) muncul sendiri atau
dalam kombinasi dengan obnormalitas lipid lain
- Heparin
(tidak dilanjutkan jika diagnosa enzim kardiak sekunder normal)
test stress direkomendasikan meskipun selama berada di RS atau dalam 72 jam
Perjanjian follow-up dalam 2-6 minggu
● Propranolol
Aturan Pemakaian obat
2 x 20-80 mg/hari, diberikan sebelum makan (PERKI, 2015).
Kemungkinan Interaksi
Abametapir dengan propanolol akan meningkatkan kadar atau efek propanolol
dengan mempengaruhi metabolisme enzim hati CYPIA2, selama 2 minggu
setelah aplikasi abametapir, hindari penggunaan obat yang berstatus CYPIA2.
Propanolol dengan atenolol, betaxolol bisoprolol, timolol,metoprolol akan
meningkatkan pemblokiran saluran hipertensi. Propanolol dengan afatinib akan
meningkatkan kadar pengangkut limbah P-glikoprotein(MDR1), kurangi dosis
harian afanatib sebesar 10 mg jika tidak dapat ditoleransi bila bersamaan dengan
penghambat P-gp. Artemether/lumefantrine akan meningkatkan kadar atau efek
propanolol dengan mempengaruhi enzim hati CYP2D6. Propranolol dengan
digoxin, diltiazem mampu meningkatkan toksisitas dan risiko bradikardia.
Propanolol dengan epinephrine meningkatkan efek epinefrin melalui sinergisme
farmakodinamik, hindari atau gunakan obat alternatif (Medscape, 2020).
Indikasi
Hipertensi; feokromositoma; angina; aritmia, kardiomiopati obstruktif
hipertrofik, takikardi ansietas, dan tirotoksikosis (tambahan); profilaksis setelah
infark miokard; profilaksis migren dan tremor esensial.
Kontraindikasi
Asma, gagal jantung yang tak terkendali, bradikardi yang nyata, hipotensi,
sindrom penyakit sinus, blok AV derajat dua atau tiga, syok kardiogenik,
feokromositoma
(BPOM, 2020).
c. Antagonis Kalsium atau Calcium channel blockers (CCBs)
Mekanisme kerja setiap obat golongan Calcium channel blockers (CCBs)
Antagonis Kalsium mengurangi influks kalsium yang melalui membran sel. Obat ini
menghambat kontraksi miokard dan otot polos pembuluh darah, melambatkan
konduksi AV dan depresi nodus SA. Efek vasodilatasi, inotropik, blok AV dan
depresi nodus SA (Depkes, 2006). Contoh obat golongan CCBs yang sering
digunakan:
● Diltiazem
Aturan pemakaian obat
Lepas cepat : 30-120 mg per oral 3x sehari sebelum makan
Sustained release: 120-360 mg per oral 1x sehari (malam hari) sebelum makan
(PERKI, 2015).
Kemungkinan Interaksi
Terdapat peringatan ketika beta-blocker dan calcium channel blocker
digabungkan, karena keduanya bekerja secara sinergi untuk menekan fungsi
ventrikel kiri dan sinus dan konduksi node atrioventrikular (ACC/AHA, 2014).
Selain itu, diltiazem juga berinteraksi dengan simvastatin dimana diltiazem akan
meningkatkan konsentrasi serum dari simvastatin (Drugbank, 2020).
Indikasi
Untuk pasien NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta. Angina
pektoris; profilaksis angina pektoris varian; hipertensi esensial ringan sampai
sedang (BPOM, 2020).
Kontraindikasi
Pasien dengan edema paru atau disfungsi ventrikel kiri yang parah (ACC/AHA,
2014).
● Verapamil
Aturan pemakaian obat
Lepas lambat : 100-360 mg 1 kali sehari sebelum makan
Lepas cepat : 40-160 mg 3x sehari sebelum makan (PERKI, 2015).
Kemungkinan Interaksi
Terdapat peringatan ketika beta-blocker dan calcium channel blocker
digabungkan, karena keduanya bekerja secara sinergi untuk menekan fungsi
ventrikel kiri dan sinus dan konduksi node atrioventrikular (ACC/AHA, 2014).
Selain itu, verapamil juga berinteraksi dengan simvastatin dimana dapat
meningkatkan efek simvastatin dengan metabolisme enzim CYP3A4 sehingga
dapat meningkatkan resiko terjadinya miopati/rhabdomyolysis (Medscape, 2020).
Indikasi
Untuk pasien NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta (PERKI,
2015).
Kontraindikasi
Pasien dengan edema paru atau disfungsi ventrikel kiri yang parah (ACC/AHA,
2014). Penderita hipersensitivitas, syok kardiogenik, infark miokard akut dengan
komplikasi, AV blok tingkat II-III (kecuali pada pasien dengan pacu jantung),
sindroma sick sinus (kecuali pada pasien dengan pacu jantung), gagal jantung
kongestif, fluter atau fibrilasi atrium dengan jalur by pass (misal sindroma Wolf-
Parkinson-White, sindroma Lown-Gonong-Levine) (BPOM, 2020).
● Nifedipine
Aturan pemakaian obat
Angina : dosis awal 10 mg (usia lanjut dan gangguan hati 5 mg) 3 kali sehari
dengan atau setelah makan; dosis penunjang lazim 5-20 mg 3 kali sehari; untuk
efek yang segera pada angina: gigit kapsul dan telan dengan cairan (BPOM,
2020).
Kemungkinan Interaksi
Terdapat peringatan ketika beta-blocker dan calcium channel blocker
digabungkan, karena keduanya bekerja secara sinergi untuk menekan fungsi
ventrikel kiri dan sinus dan konduksi node atrioventrikular (ACC/AHA, 2014).
Nifedipine juga dapat berinteraksi dengan simvastatin dimana nifedipine akan
meningkatkan level atau effect simvastatin dengan cara mempengaruhi
metabolisme hepatik/intestinal enzim yakni CYP3A4 (Medscape, 2020).
Indikasi
Untuk mengurangi gejala bagi pasien yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat
beta (PERKI, 2015).
Kontraindikasi
Jika beta blocker tidak digunakan pada orang dengan NSTEMI, nifedipine lepas
cepat merupakan kontraindikasi dan juga tidak boleh digunakan (AAFP, 2015).
Selain itu, kontraindikasi juga pada syok kardiogenik, stenosis aorta lanjut dan
porfiria (BPOM, 2020).
● Amlodipine
Aturan pemakaian obat
Dosis awal 5 mg/hari sekali sehari (pagi/malam hari) sebelum atau sesudah makan
dengan dosis maksimal 10 mg/hari sekali sehari (BPOM, 2020).
Kemungkinan Interaksi
Terdapat peringatan ketika beta-blocker dan calcium channel blocker
digabungkan, karena keduanya bekerja secara sinergi untuk menekan fungsi
ventrikel kiri dan sinus dan konduksi node atrioventrikular (ACC/AHA, 2014).
Amlodipine juga berinteraksi dengan simvastatin dimana amlodipine dapat
meningkatkan level/kadar simvastatin sehingga dapat berpotensi meningkatkan
resiko terjadi miopati/rhabdomiolisis (Medscape, 2020).
Indikasi
Digunakan pada pasien-pasien dengan angina berulang atau berkelanjutan
walaupun telah mendapatkan nitrat dan penghambat beta dengan dosis adekuat,
atau pasien-pasien yang tidak dapat bertoleransi dengan nitrat dan penghambat
beta dengan dosis adekuat, angina prinzmetal (angina varian), sindrom koroner
akut, arteri koroner dan hipertensi (PERKI, 2015).
Kontraindikasi
Syok kardiogenik, angina tidak stabil, stenosis aorta yang signifikan (BPOM,
2020).
d. Morfin
Mekanisme kerja Morfin
Morfin berikatan dan mengaktivasi reseptor µ-opioid pada sistem saraf pusat.
Aktivasi dari reseptor ini akan menghasilkan efek analgesia, sedasi, physical
dependence, euforia dan respiratory depression (Heri & Subarnas, 2020)
Aturan pemakaian obat
Bolus IV: 2-5 mg (dapat diberikan dosis berulang). Harus hati-hati bila dosis IV
diatas 10 mg dan obat anti emetic IV diberikan bersamaan (PERKI, 2015).
Kemungkinan interaksi
Clopidogrel: Morfin akan menurunkan level atau efek clopidogrel (pemberian
clopidogrel bersama morfin akan menunda atau mengurangi absorbsi clopidogrel
karena pengosongan lambung yang lambat sehingga mengakibatkan penurunan
paparan metabolitnya) sehingga penggunaan antiplatelet parenteral pada SKA
dengan morfin harus dipertimbangkan. Metoclopramide meningkatkan laju
absorpsi morfin oral dan memperburuk efek sedatifnya. Penggunaan bersama
Rifampisin secara signifikan mengurangi konsentrasi plasma puncak morfin dan
AUC serta efek analgesik morfin. Efek depresan pernapasan dari morfin meningkat
secara signifikan oleh alkohol (Medscape, 2020).
Indikasi
Untuk meredakan dan menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan
analgetik non narkotik yaitu nyeri akibat trombosis koroner, neoplasma, kolik renal
atau kolik empedu, oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmoner atau koroner,
perikarditis akut, pleuritis dan pneumotoraks spontan, trauma misal luka bakar,
fraktur dan nyeri pasca bedah.
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, nyeri akut dan setelah operasi, asma, anak, kehamilan, saat proses
melahirkan, menyusui, penurunan fungsi hati berat, insufisiensi pernapasan, nyeri
perut akut, dalam terapi penghambat MAO (Monoamin Oksidase) atau masih dalam
14 hari setelah penggunaan penghambat MAO, terapi dengan buprenorfin, nalbufin,
atau pentazosin, pasien koma, juga pada kondisi di mana hambatan peristaltik harus
dihindari, pada saat kejang perut, atau kondisi diare akut seperti kolitis ulseratif akut
atau kolitis akibat antibiotik
(BPOM, 2020).
4. Fondaparinuks
Aturan pemakaian obat
Dosisnya 2,5 mg IV (intravena) diikuti 2,5 mg SC (subkutan) 1 kali sehari.
Dimulai pada hari kedua saat dirawat di rumah sakit (Dipiro et al, 2015).
Kemungkinan interaksi
Interaksi dengan abciximab, anagrelide, cilostazol, dipyridamole,
eptifibatide, ticlopidine, tirofiban, dan clopidogrel dapat meningkatkan
resiko hemorrhage (pendarahan). Interaksi dengan bazedoxifene, konjugat
estrogen, estradiol, estropipate, mestranol dapat meningkatkan resiko
gangguan tromboemboli.Interaksi dengan obat kortikosteroid (seperti
prednisolone, prednisone, cortisone, budesonide) mengakibatkan
kortikosteroid mengurangi efek antikoagulan dengan cara meningkatkan
koagulasi darah sehingga dapat merusak integritas vaskuler dan dapat
meningkatkan resiko bleeding (perdarahan) (MedScape, 2020).
Indikasi
Pengobatan angina tidak stabil atau non-ST segmen elevasi infark miokard
(UA / NSTEMI) pada pasien kritis (<120 menit) manajemen invasif
[Intervensi Koroner Perkutan (PCI)] tidak diindikasikan, pengobatan
tambahan dari ST segmen elevasi infark miokard (STEMI) pada pasien
yang sedang melakukan pengobatan dengan trombolitik, pencegahan
venous thromboembolic events (VTE) pada pasien yang menjalani
pembedahan ortopedi mayor pada anggota badan bagian bawah seperti
fraktur tulang pinggul, operasi penggantian lutut atau pinggul, pasien yang
menjalani operasi perut yang berisiko komplikasi tromboemboli, pasien
yang berisiko komplikasi tromboemboli karena penyakit akut, pengobatan
akut deep vein thrombosis (DVT), pengobatan akut pulmonary embolism
(PE)
Kontraindikasi
hipersensitivitas, perdarahan aktif, endokarditis bakterial akut, gangguan
ginjal berat (kreatinin klirens < 20 mL/menit).
(BPOM, 2020).
3.1 Kesimpulan
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan
ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh kurangnya oksigen ke otot
jantung (miokardium). Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma
pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Sindrom koroner akut mencakup penyakit
jantung koroner yang bervariasi mulai dari angina pektoris tidak stabil dan infark miokard
tanpa ST-elevasi sampai infark miokard dengan ST-elevasi. Penatalaksanaan terapi untuk
Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi 2 berdasarkan jenis penyakit yaitu penatalaksanaan
untuk jenis STEMI dan untuk jenis NSTEMI. Pilihan terapi Sindrom Koroner Akut meliputi
terapi anti-iskemik, anti trombotik, penghambat reseptor glikoprotein, antikoagulan,
fibrinolitik, dan terapi jangka panjang.
3.2 Saran
Pemberian terapi obat pada pasien SKA harus diperhatikan untuk keadaan tertentu
misalnya apakah terdapat kontraindikasi dengan keadaan pasien atau tidak dan diperhatikan
interaksi obat yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA