Anda di halaman 1dari 4

1.

Definisi SKA
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu istilah untuk
menggambarkan spektrum penyakit arteri koroner yang bersifat trombotik.
Kelainan dasarnya adalah aterosklerosis yang menyebabkan terjadinya plaque
aterom. Pecahnya plaque aterom ini akan menimbulkan trombus yang nantinya
dapat menyebabkan iskemik sampai infark miokard.1
2. Faktor Risiko2
SKA merupakan manifestasi dari penyakit jantung koroner dan biasanya
disebabkan oleh gangguan plak pada pembuluh darah koroner (aterosklerosis).
Faktor risiko penyakit ini adalah:
a. Merokok
b. Hipertensi
c. Diabetes
d. Hiperlipidemia
e. Jenis kelamin; laki-laki
f. Aktivitas fisik
g. Obesitas
h. Penyalahgunaan narkoba
i. Riwayat keluarga dengan infark miokard dini (usia 55 tahun)
3. Patofisiologi
ACS dimulai ketika plak aterosklerotik yang terganggu di arteri koroner
dan merangsang agregasi trombosit dan pembentukan trombus (menyumbat
pembuluh darah) yang akan mencegah dari perfusi miokard. Sel miokard
membutuhkan oksigen dan adenosin 5-trifosfat (ATP) untuk mempertahankan
kontraktilitas dan stabilitas listrik yang diperlukan untuk konduksi normal. Ketika
sel miokard kekurangan oksigen dan metabolisme glikogen anaerob mengambil
alih, lebih sedikit ATP yang diproduksi, menyebabkan kegagalan pompa natrium-
kalium dan kalsium dan akumulasi ion hidrogen dan laktat, yang mengakibatkan
asidosis dan pada fase ini terjadi kematian sel atau nekrosis.
Selama fase iskemik, terjadi metabolisme aerobik dan anaerobik. Pada fase
cedera maka perfusi miokard terus menurun, metabolisme aerobik berhenti dan
akhirnya metabolisme anaerobik akan berkurang secara signifikan dan apabila
perfusi tidak pulih salam sekitar 20 menit akan terjadi nekrosis miokard dan
kerusakannya tidak dapat dipulihkan atau permanen. Gangguan kontraktilitas pada
miokard, mengakibatkan jaringan parut menggantikan jaringan sehat di area yang
rusak sehingga akan menurunkan curah jantung (cardiac output), membatasi perfusi
ke organ vital dan jaringan perifer dan akhirnya berkontribusi pada tanda dan gejala
syok. Manifestasi klinis meliputi perubahan tingkat kesadaran, sianosis, kulit dingin
dan lembap, hipotensi, takikardia, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu,
pasien yang pernah mengalami MI berisiko mengalami syok kardiogenik.
Dalam upaya untuk mendukung fungsi vital, sistem saraf simpatis
merespons perubahan iskemik pada miokardium. Awalnya, curah jantung (cardiac
output) dan tekanan darah menurun, merangsang pelepasan hormon epinefrin dan
norepinefrin, yang dalam upaya tubuh untuk mengkompensasi peningkatan denyut
jantung, tekanan darah, dan afterload, akhirnya meningkatkan kebutuhan oksigen
miokard. Karena kebutuhan oksigen meningkat pada saat yang sama pasokannya ke
otot jantung berkurang, jaringan iskemik dapat menjadi nekrotik. Curah jantung
(cardiac output) yang rendah juga menyebabkan penurunan perfusi ginjal, yang
pada gilirannya merangsang pelepasan renin dan angiotensin, menghasilkan
vasokonstriksi lebih lanjut. Selain itu, pelepasan hormon aldosteron dan
antidiuretik meningkatkan reabsorpsi natrium dan air, meningkatkan preload dan
beban kerja miokardium.
4. Tatalaksana STEMI
Penatalaksanaan IMA-EST dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk
diagnosis dan pengobatan. Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang
terlibat dalam penanganan pasien IMA-EST harus mencatat dan mengawasi segala
penundaan yang terjadi dan berusaha untuk mencapai dan mempertahankan target
kualitas berikut ini:
a. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10 menit
b. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
 Untuk fibrinolisis ≤30 menit
 Untuk IKP primer ≤90 menit di faskes dengan kemampuan fasilitas
IKP primer (kurang dari 120 menit bila pasien perlu ditransfer ke
faskes yang melakukan IKP primer).

Jika diagnosis IMA-EST dibuat oleh personel LMD sebelum tiba di faskes
dan pasien harus menjalani IKP primer, maka pasien dapat langsung dibawa ke
laboratorium kateter, tanpa harus melewati IGD (menghemat waktu 20 menit dari
KMP ke wire crossing) mengantarkan pasien langsung ke Cathlab ta pa berhenti di
IGD dapat mempersingkat waktu KMP ke wire crossing, 20 menit.

Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan


untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi
segmen ST yang menetap atau left bundle branch block (LBBB). Dalam
menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah
sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi
fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit
atau klinik) ke RS tersebut apakah kurang atau lebih dari 2 jam. Jika membutuhkan
waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik
selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas
IKP.

Farmakoterapi

Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi


antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera
mungkin sebelum angiografi, disertai dengan antikoagulan intravena. Terapi awal
yang diberikan saat di berada di instalasi gawat darurat;

a. Tirah baring
b. Pada semua pasien IMA-EST direkomendasikan untuk mengukur
saturasi oksigen perifer
 Oksigen diindikasikan pada pasien dengan hipoksemia SaO2
<90%
 Oksigen rutin tidak direkomendasikan pada pasien dengan SaO2
≥90%
c. Anti Platelet
 Aspirin; loading dose 150-300 mg p.o dan maintenance 75-100
mg/hari
d. Pengahambat reseptor ADP
 Clopidogrel; loading dose 600 mg p.o dan maintenance 75
mg/hari
 Ticagrelor; loading dose 180 mg p.o dan maintenance 90 mg 2x1
hari
e. Antikoagulan
 UFH;
Bolus 70-100 IU/kg i.v jika tidak diberikan penghambat GP
lib/Illa
Bolus 50-70 IU/kg i.v jika diberikan penghambat GP lib/Illa
 Enoxaparin Bolus 0,5 mg/kg i.v

Terapi fibrinolitik

Direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-


pasien tanpa kontraindikasi apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama.

a. Streptokinase 1,5 juta unit i.v selama 30-60 menit


Kontraindikasi spesifik: terapi streptokinase atau anistreplase
sebelumnya
b. Alteplase (tPA)
 Bolus 15 mg i.v
 0,75 mg/kg i.v selama 30 menit (sampai 50 mg)
 Kemudian 0,5 mg/kg i.v selama 60 menit (sampai 35 mg)
c. Reteplase (rPA) 10 unit + bolus 10 unit i.v diberikan dengan interval 30
menit
d. Tenecteplase (TNK-tPA) Bolus tunggal i.v:
 30 mg (6000 IU) jika BB < 60 kg
 35 mg (7000 IU) jika BB 60 sampai <70 kg
 40 mg (8000 IU) jika BB 70 sampai <80 kg
 45 mg (9000 IU) jika BB 80 sampai <90 kg
 50 mg (10000 IU) jika BB ≥90 kg
Direkomendasikan untuk mengurangi sampai separuh dosis pada pasien
usia ≥75 tahun

Anda mungkin juga menyukai