Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH PHARMACEUTICAL CARE SARAF RENAL

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

Disusun Oleh :
FSMB 2018

Claris Fransiskan Bulu Kian 188114052


Pisga Chrisita Dewi 188114057
Anastasia Melin Fitria W. 188114067
Corina Febrianti Isabel 188114069
Yoanes Fransiskus Regis W. 188114076
Anandha Nabila P. 188114078
Adithya Guntur Wicaksana 188114084
Monica Selena 188114086
Antonia Brigita Putri L. 188114095

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA

2021
BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)
KELUHAN UTAMA

“Saya menggunakan dua macam obat untuk gangguan prostat saya, tetapi aliran kencing saya
masih terlalu lemah. Biasanya saya kencing pada siang dan malam hari. Namun, sepertinya
setiap kali kencing saya tidak bisa merasa tuntas. Bahkan, kadang-kadang saya belum sempat
tiba di kamar mandi, saya sudah ngompol di celana (inkontinensia). "

RIWAYAT KELUHAN SAAT INI

Goldi adalah pria 73 tahun mengalami gejala saluran kemih bawah (LUTS) sejak lama yang
kemudian ditangani oleh ahli urologi setelah gagal dalam proses terapi untuk BPH nya. Dia
telah mengkonsumsi terazosin 20 mg secara oral dan finasteride 5 mg secara oral setiap hari
selama 9 bulan. Keluhannya saat ini termasuk urgensi dengan ngompol mendadak, nokturia
(kencing di malam hari) dua hingga tiga kali semalam, aliran urin lemah, dan volumenya
sedikit. Dia menyangkal adanya hematuria, disuria, nyeri suprapubik atau panggul. Dia tidak
demam, menggigil, mual, atau muntah. Skor gejala International Prostate Symptom Score
(IPSS) adalah 30 (gejala berat).

RIWAYAT PENGOBATAN

Hipertensi primer selama 10 tahun

Hiperlipidemia selama 10 tahun

Obesitas, BMI 35,36 kg/m2

Osteoartritis dengan nyeri punggung bawah kronis selama 5 tahun

Riwayat perdarahan tukak sekunder akibat penggunaan aspirin berlebihan pasca


transurethral incision of the prostate (TUIP) pada tahun 2016.

RIWAYAT KELUARGA

Ayah meninggal karena stroke. Ibu meninggal karena kanker payudara. Adik perempuannya
masih hidup, namun menderita kanker payudara.

RIWAYAT SOSIAL

Sudah menikah selama 45 tahun; memiliki dua anak: putra dan putri, keduanya hidup dan
sehat. Goldi tidak pernah merokok.

ALERGI
Sulfonamida; menyebabkan gatal-gatal dan sesak napas pada saat terpapar.

Tidak dapat menggunakan Bactrim (trimethoprim/ sulfamethoxazole).

OBAT-OBATAN YANG RUTIN DIMINUM (Saat Ini)

Laxatab 100 mg PO setiap hari

Finasteride 5 mg PO setiap hari

Furosemide 40 mg PO setiap hari

Lisinopril 40 mg PO setiap hari

Metoprolol 50 mg PO dua kali sehari

Adalat OROS 60 mg dua tablet PO setiap hari

Terazosin 20 mg PO sebelum tidur

Simvastatin 80 mg PO sebelum tidur

Tramazed dua tablet PO dua kali sehari

KAJIAN SISTEM ORGAN

Pasien mengalami nyeri punggung bawah kronis yang cukup parah yang hanya berkurang
sedikit dengan pemberian analgesik.

Dia minum analgesik hanya bila diperlukan saja.

Untuk mencegah sembelit, ia mengkonsumsi docusate-Na dan makan makanan berserat


tinggi.

Pengobatan hipertensi membuatnya merasa pusing, terutama saat berlutut atau tiba-tiba
berganti posisi tubuh (dari duduk kemudian berdiri).

Dia paling terganggu oleh inkontinensia nya. Dia terpaksa harus menghentikan beberapa
kegiatan sosial karena gangguan-gangguan tersebut.

HASIL PEMERIKSAAN FISIK

Kondisi Umum

Nampak baik

Tanda-tanda vital
BP 132/64 mmHg; Nadi 62; RR 14; Suhu 37 °C; Berat 101 kg

Tinggi 169 cm

Genitourinari

Pemeriksaan colok dubur menunjukkan prostat ukuran besar (50 g), lunak dan simetris tanpa
nyeri tekan.

LABORATORIUM

Sampel darah:

Na 143 mEq/L Hb 13,8 g/dL

K 4,6 mEq/L Hct 40,7%

Cl 107 mEq/L WBC 6,7 x 103/mm3

CO2 27,1 mEq/L Platelet 167 x 103/mm3

BUN 30 mg/dL Albumin 3,8 g/dL

SCr 1,6 mg/dL Kolesterol Total 123 mg/dL

GDP 95 mg/dL LDL 63 mg/dL

Ca Ca mg/dL HDL 32 mg/dL

Sampel urin:

Organoleptis Kuning, jernih

pH 5

Gravitasi spesifik 1,027

WBC 2/lpf

RBC 0/lpf

Protein terdeteksi

Glukosa (-)

Keton (-)
Darah (-)

Hyaline casts 6-10/lpf

lpf: low-powered field (satuan pemeriksaan mikroskop)

Lembar Kerja DTP IDENTIFIKASI MASALAH TERAPI OBAT (DTP)


DAN RENCANA TINDAKAN
Begitu anda telah mengidentifikasi masalah terapi obat untuk pasien, memprioritaskan
masalah, mencantumkan DTP sesuai urutan rencana anda untuk mengatasinya. Pendekatan
setiap masalah secara sistematis berdasarkan:

- Mengidentifikasi mengapa hal itu merupakan masalah (faktor pasien atau penyakit)
- Menentukan tujuan anda dalam mengatasi masalah (bagaimana anda tahu masalahnya
telah teratasi atau dikelola)
- Menilai semua kemungkinan solusi untuk mengatasi masalah ini
- Menentukan solusi mana yang paling sesuai dengan tujuan pasien tertentu
- Melaksanakan solusi yang dipilih
- Monitoring untuk mengetahui apakah solusinya memenuhi tujuan dan tidak
menimbulkan masalah baru

Prioritas ke

1 Masalah Terapi Obat : P1.1 No effect of drug treatment/therapy failure


Tidak tercapainya efek terapi obat Terazosin 20mg dan Finasteride
5mg

Alasan Target
Pasien telah mengkonsumsi Specific
terazosin 20 mg secara oral dan Berkurangnya keluhan urgensi yang
finasteride 5 mg secara oral setiap dialami pasien yaitu ngompol
hari selama 9 bulan. Keluhannya mendadak, nokturia (kencing di
saat ini termasuk urgensi dengan malam hari) dua hingga tiga kali
ngompol mendadak, nokturia semalam, aliran urin lemah, dan
(kencing di malam hari) dua volumenya sedikit.
hingga tiga kali semalam, aliran
urin lemah, dan volumenya Measurable
sedikit. Monitoring skor IPSS, intensitas
berkemih di malam hari dan volume
Penyebab (DRP): urine
C7.1 Patient uses/takes less drug
than prescribed or does not take Achievable
the drug at all Intensitas berkemih menurun,
Tablet Terazosin yang beredar di volume urine meningkat (keadaan
Indonesia yaitu 2 mg. Jika pasien normal), dan Skor IPSS menjadi
diberikan resep 20 mg/hari maka klasifikasi sedang (8-19) atau bahkan
harus mengkonsumsi 10 tablet ringan (0-7) (IAUI, 2017).
Terazosin/hari, hal ini dapat
memicu ketidakpatuhan pasien Relevant
minum obat sehingga efek terapi Semua keluhan dapat teratasi
yang diharapkan tidak tercapai. sehingga meningkatkan kualitas
hidup pasien.
C8.1 No or Inappropriate
Outcome Monitoring Time-based
Pada kondisi pasien tidak Lebih dari 1 tahun
mendapatkan layanan pengobatan
dengan maksimal, seperti hanya
datang ke rumah sakit untuk
menebus obat tanpa adanya
monitoring atau pasien tidak
datang untuk kontrol setiap
bulannya.

C8.2 Other cause


Pasien kurang jujur tentang
kondisi yang dialami.

Kemungkinan solusi: Implementasi


- I1.4 Intervention discussed - Berdiskusi dengan dokter penulis
with prescriber resep untuk mengganti Terazosin
- I2.1 Patient (drug) dengan Tamsulosin.
counselling - Konseling pasien dilakukan untuk
- 12.4 Spoken to family menjelaskan kepada pasien bahwa
member/caregiver ada penggantian obat.
- I3.1 Drug changed to - Pasien dianjurkan untuk rajin
- I3.5 Drug stopped melaksanakan kontrol sesuai
- 14.1 Other Intervention jadwal yang sudah ditentukan dan
(Specify) berterus terang dengan segala
keluhan yang selama ini
dirasakan.

Monitoring
- Durasi berkemih, volume urine
pasien, dan skor IPSS,
- Efek samping Tamsulosin
- Interaksi Tamsulosin dengan obat
lain

2 Masalah Terapi Obat : P2.1 Adverse drug event (possibly) occurring


Kejadian efek samping karena interaksi obat BPH-antihipertensi dan
antihipertensi-antihipertensi (mungkin) terjadi
Alasan : Target
Pasien mungkin mengalami Specific
hipotensi diastolik dengan Berkurangnya hipotensi pada
tekanan darah 132/64 mmHg pasien/hipotensi dapat teratasi.
(target tekanan darah normal pada
usia 65-79 tahun adalah 130- Measurable
139/80-79 mmHg) (PDHI, 2019). Tekanan darah pasien.

Penyebab (DRP): Achievable


C1.4 Inappropriate combination Tekanan darah berada di rentang
of drugs or drugs herbal normal yang diperbolehkan untuk
medication usia 65-79 tahun (130/80 sampai
Obat antihipertensi lisinopril, 139/79) (PDHI, 2019).
metoprolol, dan furosemid
memiliki efek samping hipotensi, Relevant
serta adalat atau nifedipin Kejadian hipotensi pada pasien
memiliki efek samping pusing menjadi berkurang.
(Pionas, 2015).
Terdapat interaksi antara: Time-based
● Terazosin + adalat : keduanya Sampai tekanan darah berada pada
meningkatkan efek rentang normal yang diperbolehkan
antihipertensi channel untuk usia > 65-79 tahun dan
blocking. dilanjutkan sesuai arahan dokter.
● Terazosin + metoprolol:
keduanya meningkatkan efek
antihipertensi channel
blocking.
● Lisinopril + terazosin:
memiliki kerja
farmakodinamik yang sinergis,
dapat menyebabkan hipotensi.
● Lisinopril + furosemide:
memiliki kerja
farmakodinamik yang sinergis,
risiko terjadi hipotensi akut.
● Metoprolol +furosemide:
meningkatkan efek metoprolol
● Metoprolol + adalat oros:
keduanya meningkatkan efek
antihipertensi channel
blocking (Medscape, 2021).
Kemungkinan solusi: Implementasi
- I1.4 Intervention discussed - Berdiskusi dengan dokter terkait
with prescriber efek hipotensi yang disebabkan
- 13.1 Drug Changed to oleh kombinasi beberapa obat
- I3.5 Drug stopped antihipertensi dan mendiskusikan
kombinasi obat yang tepat
diberikan untuk pasien.
- Menghentikan penggunaan obat
metoprolol dan furosemide.

Monitoring
- Monitoring tekanan darah (berada
di rentang 130-139/80-79 mmHg)
- Monitoring interaksi dan efek
samping masing-masing obat
antihipertensi terutama kejadian
hipotensi yang terjadi pada
pasien.

Masalah Terapi Obat : P2.1 Adverse drug event (possibly) occurring


Kejadian efek samping obat Simvastatin (mungkin) terjadi

Alasan 1 : Target
Penggunaan simvastatin dan Alasan 1 :
adalat oros secara bersamaan Specific
dapat meningkatkan efek Mengurangi peningkatan kadar atau
simvastatin (Medscape, 2021). resiko efek samping yang
ditimbulkan simvastatin
Penyebab (DRP):
C1.4 Inappropriate combination Measurable
of drugs or drugs herbal -
medication
Simvastatin + adalat oros: adalat Achievable
oros meningkatkan kadar atau Tidak terjadi efek samping dari
efek simvastatin dengan simvastatin
mempengaruhi metabolisme
enzim hati / usus CYP3A4 Relevant
(Medscape, 2021). Tidak terjadi efek samping dari
simvastatin

Time-based
-

Alasan 2 : Alasan 2 :
Pasien menggunakan simvastatin Specific Berkurangnya resiko
dalam jangka waktu panjang, dan kerusakan ginjal menjadi lebih
terdapat protein yang terdeteksi parah. Measurable Pemeriksaan urin
dalam urinnya. Penggunaan atau fungsi ginjal.
simvastatin dapat menyebabkan Achievable
rabdomiolisis sehingga Hasil pemeriksaan urin (tidak
menyebabkan protein terdeteksi terdapat protein) dan fungsi ginjal
dalam sampel urin (Liman dkk, normal.
2012).
Relevant
Penyebab (DRP): Tidak terjadi kerusakan ginjal
C3.2 Drug dose too high menjadi lebih parah sehingga
Dosis penggunaan simvastatin meningkatkan kualitas hidup pasien.
terlalu tinggi dimana dosis
lazimnya yaitu 10-40 mg sekali Time-based
sehari pada malam hari (Pionas, Hingga kadar lipid normal dan tidak
2015) sedangkan pasien muncul lagi gejala kerusakan ginjal.
mengkonsumsi 80 mg sekali
sehari pada malam hari.

C8.2 Other Cause


Simvastatin dapat menyebabkan
rabdomiolisis yang merupakan
gangguan jaringan otot yang
melepaskan protein ke dalam
darah. Kerusakan jaringan otot ini
kemudian menyebabkan
pelepasan protein (mioglobin) ke
dalam darah. Penggunaan
simvastatin dalam jangka waktu
panjang kemungkinan dapat
memperparah keadaan pasien
sehingga mioglobin dapat
merusak ginjal. (Liman dkk,
2002).

Kemungkinan solusi: Implementasi


- I1.3 Intervention discussed to - Berdiskusi dengan dokter terkait
prescriber interaksi dan efek samping
- 13.1 Drugs changed to… simvastatin yang dialami pasien
- 13.2 Dosage changed to.. - Mengubah terapi Simvastatin
- I3.5 Drug stopped menjadi Niacin 1 tablet (500 mg)
1 x sehari pada malam hari.

Monitoring
- Monitoring profil lipid dalam
darah
- Monitoring profil urin atau gejala
kerusakan ginjal
- Monitoring efek samping obat
- Monitoring interaksi obat Niacin
dengan obat lain
Masalah Terapi Obat : P2.1 Adverse drug event (possibly) occurring
Pasien menggunakan Tramazed dalam jangka waktu yang panjang.

Alasan Target
Penggunaan tramazed yang Specific
mengandung tramadol, terdapat Menghindari terjadinya resiko
risiko kecanduan. kecanduan akibat penggunaan
tramazed yang mengandung
Penyebab (DRP): tramadol.
C8.2 Other Cause
Tramazed mengandung tramadol Measurable
37,5 mg + paracetamol 325 mg. Pengukuran skala nyeri pasien
Tramadol mempunyai efek
euphoria dan menyebabkan Achievable
ketergantungan (Maesaroh dan Berkurangnya atau tidak terjadinya
Rahmawati, 2018). efek euforia pada pasien BPH akibat
penggunaan tramazed.

Relevant
Tidak terjadi efek euforia dan
ketergantungan.

Time-based
Hingga tidak terjadinya efek euforia
yang disebabkan oleh tramazed.

Kemungkinan solusi: Implementasi


- I1.3 Intervention discussed to - Berdiskusi dengan dokter sebagai
prescriber penulis resep untuk mengganti
- I2.1 Patient (drug) Tramazed dengan obat golongan
counselling NSAID, yaitu Meloxicam 7,5 mg,
- 13.1 Drugs changed to... 1 x sehari bersama makan.
- 13.5 Drug stopped - Penggunaan paracetamol tetap
dilanjutkan untuk memperkuat
atau memberikan efek sinergis
terhadap meloxicam, agar nyeri
dapat teratasi. Dosis paracetamol
@500 mg 3 x sehari diminum
sebelum atau sesudah makan
secara peroral.
- Pasien diberikan konseling terkait
adanya perubahan obat tramazed
menjadi meloxicam.

Monitoring
- Monitoring efek samping obat
terutama penggunaan jangka
panjang yang dapat menyebabkan
hepatotoksik
- Monitoring efek samping NSAID
Prioritas ke

meloxicam terkait risiko


terjadinya tukak gastrointestinal
- Monitoring skala nyeri. Skala
nyeri yang dapat digunakan
adalah skala numerik, skala
deskriptif dan analog visual

3 Masalah Terapi Obat: P1.2 Effect of drug treatment not optimal


Efek terapi Tramazed tidak optimal

Alasan : Target
Pasien memiliki riwayat penyakit Specific
Osteoartritis dengan nyeri menurunnya berat badan pasien
punggung bawah kronis selama 5 hingga BMI mencapai 18,5 - 25,
tahun dan mendapatkan terapi sehingga tulang tidak menopang
obat Tramazed (tramadol 37,5 mg beban tubuh secara berlebihan dan
+ paracetamol 325 mg) sebagai nyeri dapat berkurang
analgesik. Pasien mengalami
nyeri punggung bawah kronis Measurable
yang cukup parah yang hanya Pengukuran berat badan dan
berkurang sedikit dengan pengukuran skala nyeri
pemberian analgesik. Pasien
minum analgesik hanya bila Achievable
diperlukan saja. Walaupun telah BMI mencapai 18,5-25 dan rasa
mendapat terapi analgesik namun nyeri berkurang atau hilang
pasien tetap mengeluhkan nyeri.
Relevant
Penyebab (DRP): rasa nyeri berkurang atau hilang dan
C8.2 Other cause kualitas hidup meningkat
Pasien mengalami obesitas BMI =
35,36 kg/m2 sehingga pasien tetap Time-based
merasakan nyeri walaupun telah sampai berat badan mencapai BMI
diberikan terapi pereda nyeri 18,5-25 dan sampai rasa nyeri
karena tulang dipaksa untuk berkurang atau hilang
menopang tubuh secara
berlebihan.

Kemungkinan solusi: Implementasi


- 11.4 Intervention proposed to - Mengusulkan kepada dokter agar
prescriber dokter dapat menyarankan pasien
- 12.4 Spoken to family untuk berkonsultasi pada ahli
member/caregiver gizi.
- 13.1 Drugs changed to… - Edukasi kepada keluarga pasien,
- 14.1 Other Intervention untuk membantu pasien dalam
(specify) menjalankan program dietnya
(menjaga menu dan pola makan
pasien)
Prioritas ke

Edukasi pasien:
- Pasien diberi edukasi terkait cara
menghitung BMI
- Untuk menurunkan berat
badannya. pasien harus
melakukan program penurunan
berat badan, hingga mencapai
target BMI 18,5-25
(PRI, 2014).

Monitoring
- Monitoring skala nyeri
menggunakan (WOMAC)
Composite index
- Monitoring berat badan

Masalah Terapi Obat: P1.2 Effect of drug treatment not optimal


Efek terapi simvastatin tidak optimal

Alasan : Target
Pasien mempunyai riwayat Alasan :
hiperlipidemia dan sudah Specific
diberikan terapi simvastatin, meningkatnya kadar HDL dan profil
namun saat pemeriksaan darah lipid terkontrol.
diketahui bahwa kadar HDL
pasien dibawah normal. Measurable
Pemeriksaan profil lipid pasien.
Penyebab (DRP):
C1.2 Inappropriate Drug Achievable
(Within Guidelines Otherwise kadar HDL meningkat sampai 40
Contra-indicated) mg/dL atau lebih dan profil lipid
Terapi statin tepat untuk pasien terkontrol.
yang mengalami dislipidemia dan
hipertensi (untuk memperbaiki Relevant
luaran jangka panjang). Meningkatnya kadar HDL sampai
Simvastatin dapat menurunkan optimal.
LDL 18-55%, trigliserid 7-30%,
dan menaikkan HDL sebesar 5- Time-based
15% (Perkeni, 2019), sehingga sampai profil lipid terkontrol dengan
pengobatan simvastatin kurang baik terutama peningkatan kadar
tepat untuk pasien dengan kadar HDL.
HDL rendah karena perlu obat
peningkat HDL yang lebih kuat.

C8.2 Other cause


Kemungkinan pasien tidak
menjaga pola makan yang
Prioritas ke

menyebabkan kadar HDL


menurun.

Kemungkinan solusi: Implementasi


- 11.4 Intervention discussed to - Berdiskusi dengan dokter penulis
prescriber resep untuk mengganti
- I2.1 Patient (drug) simvastatin dengan golongan
counselling asam nikotinat dengan dosis
- 12.4 Spoken to family Niacin 1 tablet (500 mg) 1 x
member/caregiver sehari pada malam hari dan
- 13.1 Drug Changed to menyarankan pada pasien untuk
- 13.5 Drug stopped berkonsultasi pada ahli gizi.
- Edukasi kepada keluarga pasien,
untuk membantu pasien dalam
menjalankan program dietnya
(menjaga menu dan pola makan
pasien)
- Pasien diberikan konseling terkait
obat simvastatin yang diganti
menjadi niacin beserta aturan
pakainya.

Monitoring
- Monitoring profil lipid.
- Monitoring berat badan

Masalah Terapi Obat: P3.2 Unnecessary drug-treatment


Pasien mendapatkan terapi Furosemide

Alasan Target
Pasien menggunakan Furosemide Alasan
pada kondisi BPH Specific
Penyebab (DRP): Menghindari terjadinya perburukan
kondisi akibat penggunaan
C1.1 Inappropriate drug furosemid pada pasien BPH
according to
guidelines/formulary Measurable
Furosemide menjadi “special Monitoring skor IPSS (International
precautions” pada pasien yang Prostate Symptom Score)
mengalami BPH Achievable
Nilai IPSS normal

Relevant
Tidak terjadi perburukan kondisi
akibat penggunaan furosemid pada
pasien BPH sehingga kualitas hidup
pasien meningkat.
Prioritas ke

Time-based
-

Kemungkinan Solusi: Implementasi


- 13.5 Drug stopped Menghentikan penggunaan
- 13.1 Drug Changed to... Furosemide.

Monitoring
Monitoring terkait nilai IPSS,
uroflowmetry, dan pengukuran
volume residu urine pasca berkemih
(IAUI, 2017).

4 Masalah Terapi Obat: P3.2 Unnecessary drug-treatment


Penggunaan Laxatab belum diperlukan

Alasan : Target
Penggunaan Laxatab belum Specific
dibutuhkan karena sejauh ini Mengatasi kemungkinan terjadinya
pasien tidak mengeluhkan adanya konstipasi
konstipasi (Laxatab tidak perlu
dikonsumsi apabila pasien tidak Measurable
mengalami konstipasi) (Novianty Pemeriksaan kondisi pasien apabila
dan Nurdini, 2019), namun mengeluhkan konstipasi
Laxatab tetap diberikan jika
terdapat kemungkinan risiko Achievable
sembelit dikemudian hari. Risiko Konstipasi dapat teratasi
terjadinya konstipasi dapat dipicu
dari kondisi pasien yang Relevant
mengalami BPH dan salah satu Tidak terjadi / berkurangnya keluhan
efek samping yang mungkin konstipasi jangka panjang yang
terjadi dari penggunaan lisinopril mengganggu aktivitas pasien
(Pionas, 2015).
Time-based
Penyebab (DRP): Digunakan hingga konstipasi mereda
C5.2 Necessary Information Not / sembuh
Provided
Tidak diberikan informasi (tidak
dituliskan) bahwa Laxatab hanya
digunakan ketika pasien
mengalami sembelit

C6.1 Inappropriate Timing of


Administration and/or dosing
intervals
Aturan pakai Laxatab 100 mg
Prioritas ke

“setiap hari”

Kemungkinan solusi: Implementasi


- I1.4 Intervention discussed Mengusulkan kepada dokter
with prescriber mengenai penggantian aturan
- I3.4 Instructions for Used penggunaan laxatab.
Changed to
- 13.5 Drug stopped Monitoring
Monitoring terjadinya konstipasi
yang mungkin terjadi karena efek
BPH atau penggunaan lisinopril

Masalah Terapi Obat: P3.2 Unnecessary drug-treatment


Penggunaan Metoprolol tidak diperlukan

Alasan : Target
Pasien mungkin mengalami Specific
hipotensi diastolik dengan Berkurangnya risiko efek samping
tekanan darah 132/64 mmHg hipotensi
(target tekanan darah normal pada
usia 65-79 tahun adalah 130- Measurable
139/80-79 mmHg), namun perlu Pemeriksaan tekanan darah pasien
dilakukan pemeriksaan kembali
minimal dalam waktu 3 hari Achievable
untuk memastikan diagnosa Tekanan darah pasien 130-139/89-79
(PDHI, 2019). Selain itu pasien mmHg
juga merasa pusing, terutama saat
berlutut atau tiba-tiba berganti Relevant
posisi tubuh (dari duduk Tidak terjadi efek samping hipotensi
kemudian berdiri).
Time-based
Penyebab (DRP): -
C1.1 Inappropriate Drug
According to
Guideline/Formulary

C1.7 Too many drugs prescribed


for indication
Menurut guideline, terapi untuk
pasien hipertensi adalah
kombinasi tiga obat yang terdiri
dari RAS blocker (ACEi atau
ARB), CCB, dan diuretik jika TD
tidak terkontrol oleh kombinasi
dua obat (PDHI, 2019). Pasien
mendapatkan obat ACEi
(Lisinopril), CCB (Adalat Oros),
Prioritas ke

diuretik (Furosemid), dan beta


blocker (Metoprolol). Sehingga
penggunaan Metoprolol kurang
sesuai dengan guideline.

Kemungkinan solusi: Implementasi


- I1.4 Intervention discussed to Mengusulkan kepada dokter terkait
prescriber penghentian obat metoprolol.
- I3.1 Drug Changed to
- I3.5 Drug Stopped Monitoring
Monitoring tekanan darah pasien.

Permasalahan lain (non terapi)

● Pasien kurang jujur terhadap kondisi yang dialami sehingga mempengaruhi


keberhasilan terapi karena hasil monitoring yang tidak tepat.
● Pasien memiliki BMI 35,36 kg/m2 yang termasuk dalam kategori obesitas sehingga
kondisi tersebut memperburuk OA yang dialami oleh pasien sejak 5 tahun yang lalu 2.
● Kemungkinan pasien tidak menjaga pola makan yang menyebabkan kadar HDL
menurun.

Pembahasan

Pasien mengalami BPH dengan keluhannya yang termasuk urgensi dengan ngompol
mendadak, nokturia 2-3x semalam, aliran urin lemah, dan volumenya sedikit. Skor gejala
International Prostate Symptom Score (IPSS) adalah 30, termasuk gejala berat. Pasien
menyangkal adanya hematuria, disuria, nyeri suprapubik atau panggul. Pasien tidak demam,
menggigil, mual, atau muntah. Pasien telah mengkonsumsi terazosin 20 mg secara oral dan
finasteride 5 mg secara oral setiap hari selama 9 bulan, pemilihan obat ini sudah sesuai
namun terjadinya keluhan yang ada kemungkinan besar disebabkan oleh ketidakpatuhan
pasien minum obat. Target SMART yang dikehendaki mengalami penurunan intensitas
berkemih, volume urine meningkat (keadaan normal), dan Skor IPSS menjadi klasifikasi
sedang (8-19) atau bahkan ringan (0-7) (IAUI, 2017).

Pasien telah mengkonsumsi terazosin 20 mg secara oral dan finasteride 5 mg secara


oral setiap hari selama 9 bulan. Namun keluhannya saat ini termasuk urgensi dengan
ngompol mendadak, nokturia (kencing di malam hari) dua hingga tiga kali semalam, aliran
urin lemah, dan volumenya sedikit. Sehingga dapat dikatakan pasien tidak merasakan efek
obat/terapi gagal. Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal diantaranya (1) Pemberian
kombinasi obat α 1 -blocker yaitu terazosin dan 5α -reduktase yaitu finasteride sudah tepat
(IAUI, 2017), namun dosis tablet Terazosin yang beredar di Indonesia yaitu 2 mg. Jika pasien
diberikan resep 20 mg/hari maka harus mengkonsumsi 10 tablet Terazosin/hari, hal ini dapat
memicu ketidakpatuhan pasien minum obat sehingga efek terapi yang diharapkan tidak
tercapai; (2) Pada kondisi pasien tidak mendapatkan layanan pengobatan dengan maksimal,
seperti hanya datang ke rumah sakit untuk menebus obat tanpa adanya monitoring atau pasien
tidak datang untuk kontrol setiap bulannya. Monitoring atau konsultasi kondisi pasien baru
dilakukan saat pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan yang mengganggu, yaitu pada
bulan ke 9 setelah pemberian obat, sedangkan efek klinis finasteride seharusnya sudah dapat
terlihat setelah 6 bulan pemakaian. Pasien yang mendapat terapi 5 alfa reduktase inhibitor
harus dinilai ulang setelah 12 minggu dan 6 bulan untuk menilai respon obat dan efek
samping obat (IAUI, 2017). Selain itu penyebab lain adalah pasien yang tidak patuh kontrol
sehingga monitoring outcome tidak berjalan maksimal; dan (3) Pasien kurang jujur tentang
kondisi yang dialami sehingga mempengaruhi keberhasilan terapi karena hasil monitoring
yang tidak tepat. Hal ini diperkuat dengan pernyataan bahwa pasien menyangkal adanya
hematuria, disuria, nyeri suprapubik atau panggul. Kemungkinan solusi yang dapat diberikan
adalah Intervention discussed with prescriber, Patient (drug) counselling, Spoken to family
member/caregiver, Drug changed to, Drug stopped, dan Other Intervention (Specify).
Berdasarkan solusi tersebut, dipilih solusi Intervention discussed with prescriber yaitu
berdiskusi dengan dokter penulis resep untuk mengganti Terazosin dengan Tamsulosin. Hal
ini karena Terazosin digunakan 1 x sehari 10 tablet (2 mg) sehingga memungkinkan pasien
untuk tidak rutin mengkonsumsi obat sehingga efek terapi tidak tercapai. Penggantian
Tamsulosin karena sama-sama dari golongan a-blocker dan penggunaannya lebih mudah
yaitu 1 x sehari 1 tablet (400 mcg) (Pionas, 2015), sehingga dapat meningkatkan kepatuhan
pasien dalam konsumsi obat dan efek yang diharapkan dapat tercapai; Patient (drug)
counselling yaitu konseling pasien dilakukan untuk menjelaskan kepada pasien bahwa ada
penggantian obat; dan Drug changed to, Other Intervention (Specify) yaitu menganjurkan
pasien untuk rajin melaksanakan kontrol sesuai jadwal yang sudah ditentukan dan berterus
terang dengan segala keluhan yang selama ini dirasakan. Ketiga solusi tersebut dipilih karena
berhubungan langsung dengan pengobatan dan pasien. Sedangkan solusi Drug stopped tidak
dipilih karena obat Terazosin diganti dengan Tamsulosin dan Spoken to family
member/caregiver tidak dipilih karena dengan harapan pasien sudah memiliki kesadaran
untuk patuh dalam mengkonsumsi obat karena demi kesembuhannya. Solusi tersebut baru
akan dipilih ketika ada indikasi pasien tidak patuh, sehingga perlu bantuan keluarga untuk
mengingatkan konsumsi obat atau kontrol. Monitoring yang perlu dilakukan adalah durasi
berkemih, volume urine pasien, dan skor IPSS; monitoring efek samping Tamsulosin
terutama yang lebih dari 10% yaitu sakit kepala, hipotensi ortostatik, rinitis,ejakulasi
abnormal, pusing, arthralgia, dan infeksi (Medscape, 2021); dan monitoring interaksi
Tamsulosin dengan obat lain

Masalah terapi obat prioritas ke-2 terkait kejadian efek samping karena interaksi obat
BPH-antihipertensi dan antihipertensi-antihipertensi (mungkin) terjadi. Efek samping tersebut
berupa hipotensi diastolik karena tekanan darah pasien 132/64 mmHg (target tekanan darah
normal pada usia 65-79 tahun adalah 130-139/80-79 mmHg) (PDHI, 2019). Namun perlu
dilakukan pemeriksaan kembali minimal dalam waktu 3 hari untuk memastikan diagnosa
tersebut (PDHI, 2019). Selain itu pasien juga merasa pusing, terutama saat berlutut atau tiba-
tiba berganti posisi tubuh (dari duduk kemudian berdiri). Penyebab atau DRP yang mungkin
terjadi adalah kombinasi obat yang tidak cocok dimana pemberian lisinopril, metoprolol dan
furosemid secara bersamaan memiliki efek samping hipotensi dan nifedipin memiliki efek
samping berupa pusing (Pionas, 2015). Kemungkinan solusi yang ditawarkan untuk pasien
tersebut adalah intervensi untuk berdiskusi dengan pembuat resep (dokter), penggantian obat
dan penghentian obat. Berdasarkan 3 solusi tersebut, solusi yang dipilih untuk
diimplementasikan adalah melakukan diskusi dengan dokter dan penghentian obat. Diskusi
dengan dokter dilakukan terkait efek hipotensi yang disebabkan oleh kombinasi beberapa
obat antihipertensi dan berdiskusi tentang kombinasi obat yang tepat untuk pasien tersebut.
Penghentian obat metoprolol dan furosemid juga dilakukan karena kedua obat tersebut
memiliki indikasi yang sama dengan obat antihipertensi lainnya yang sedang digunakan oleh
pasien sehingga penggunaan kombinasi obat antihipertensi yang berlebihan dapat
meningkatkan efek hipotensi. Penggantian obat tidak dipilih dikarenakan, penggantian obat
tetap akan menambah resiko hipotensi pada pasien tersebut dikarenakan sebagian obat
hipertensi memiliki efek hipotensi sehingga alasan yang tepat adalah dilakukan
pemberhentian obat furosemid dan metoprolol serta berdiskusi dengan dokter. Menurut
guideline AHA dikatakan juga bahwa pengobatan optimal untuk pasien hipertensi dapat
dilakukan dengan kombinasi 2 obat berupa RAS blocker (ACEi atau ARB) dan CCB (Unger
et al, 2020) sehingga penggunaan obat diuretik dan beta blocker untuk pasien tersebut tidak
perlu diberikan. Pasien ini juga perlu dimonitoring terkait tekanan darah dimana outcome
yang hendak dicapai adalah tekanan darah pasien berada pada rentang 130-139/80-79 mmHg
karena usia pasien berada dalam rentang 65-79 tahun (PDHI< 2019) dan dilakukan juga
monitoring terhadap efek samping dari obat antihipertensi yang digunakan oleh pasien
terutama monitoring kejadian hipotensi.

Pada masalah terapi obat prioritas ke-2 terkait kejadian efek samping obat Simvastatin
(mungkin) terjadi. Hal ini dikarenakan penggunaan simvastatin dan adalat oros secara
bersamaan dapat meningkatkan efek simvastatin (Medscape, 2021) sehingga penyebab yang
terjadi yaitu kombinasi obat tidak tepat dimana pemberian simvastatin dengan adalat oros
secara bersamaan dapat menyebabkan adalat oros meningkatkan kadar atau efek simvastatin
dengan mempengaruhi metabolisme enzim hati/usus CYP3A4 (Medscape, 2021). Pasien
menggunakan simvastatin dalam jangka waktu yang panjang, dan terdapat protein yang
terdeteksi dalam urinnya. Penyebab atau DRP yang terjadi karena dosis penggunaan
simvastatin terlalu tinggi dimana dosis lazimnya yaitu 10-40 mg sekali sehari pada malam
hari (Pionas, 2015) sedangkan pasien mengkonsumsi 80 mg sekali sehari pada malam hari.
Penyebab lainnya yaitu simvastatin dapat menyebabkan rabdomiolisis yang merupakan
gangguan jaringan otot yang melepaskan protein ke dalam darah. Kerusakan jaringan otot ini
kemudian menyebabkan pelepasan protein (mioglobin) ke dalam darah. Penggunaan
simvastatin dalam jangka waktu panjang kemungkinan dapat memperparah keadaan pasien
sehingga mioglobin dapat merusak ginjal (Liman dkk, 2002) sebab protein terdeteksi dalam
sampel urin (Liman dkk, 2012). Kemungkinan solusi yang diberikan yaitu intervensi untuk
berdiskusi dengan pembuat resep (dokter), penggantian obat, penggantian dosis, dan
penghentian obat. Dari ke 4 solusi tersebut solusi yang dipilih untuk dilakukan yaitu
intervensi berdiskusi dengan dokter dan penggantian obat. Berdiskusi dengan dokter terkait
interaksi dan efek samping simvastatin yang dialami pasien, kemudian penggantian obat
niacin dengan memulai terapi Niacin 1 tablet (500 mg) 1 x sehari pada malam hari. Niacin ini
merupakan golongan asam nikotinat, tidak kontraindikasi terhadap pasien yang mengalami
kerusakan ginjal dan dapat meningkatkan kadar HDL lebih tinggi dibanding dengan
simvastatin (Perkeni, 2019). Pasien ini perlu dimonitoring terkait profil lipid dalam darah,
profil urin atau gejala kerusakan ginjal, efek samping obat yang diberikan, dan interaksi obat
Niacin dengan obat lain.

Penggunaan furosemid pada pasien penderita BPH menyebabkan special precaution,


dimana akibat dari penggunaan furosemid adalah nyeri saat berkemih karena besarnya
tekanan dari kantung kemih akibat volume urin yang meningkat. Peningkatan volume urin ini
terjadi karena efek dari furosemid dalam upaya menekan tekanan darah yang berlebih. Untuk
menghindari terjadinya perburukan, ada 2 kemungkinan solusi yang bisa dipilih dari masalah
ini yaitu drug change to (penggantian obat dari furosemide ke obat lain) dan drug stopped
(penghentian konsumsi furosemid). Dari kedua solusi di atas, dipilih opsi untuk penghentian
konsumsi furosemid untuk mengurangi nyeri akibat volume dan tekanan urin yang berlebih.
Setelah penggunaan furosemid dihentikan, perlu dilakukan monitoring terkait nilai IPSS,
uroflowmetry, dan pengukuran volume residu urine pasca berkemih (IAUI, 2017).

Pasien memiliki riwayat penyakit Osteoartritis dengan nyeri punggung bawah kronis
selama 5 tahun dan mendapatkan terapi obat Tramazed (tramadol 37,5 mg + paracetamol 325
mg) sebagai analgesik. Namun setelah menerima terapi tersebut pasien masih mengalami
nyeri punggung bawah kronis yang cukup parah dan hanya berkurang sedikit. Efek terapi
yang tidak optimal mungkin disebabkan oleh kondisi pasien yang mengalami obesitas yang
ditunjukkan oleh hasil BMI yaitu 35,36 kg/m 2 sehingga pasien tetap merasakan nyeri
walaupun telah diberikan terapi pereda nyeri karena tulang dipaksa untuk menopang tubuh
secara berlebihan. Solusi yang mungkin diberikan adalah Intervention proposed to prescriber
yaitu mengusulkan kepada dokter agar dokter dapat menyarankan pada pasien untuk
berkonsultasi pada ahli gizi; Spoken to family member/caregiver yaitu mengedukasi keluarga
pasien, untuk membantu pasien dalam menjalankan program dietnya (menjaga menu dan pola
makan pasien); Other Intervention (specify) yaitu mengedukasi pasien terkait cara
menghitung BMI, dan diberi tahu bahwa BMI pasien saat ini diatas BMI normal atau pasien
mengalami obesitas serta memberitahu pasien untuk melakukan program penurunan berat
badan, hingga mencapai target BMI 18,5-25; Drugs changed to yaitu terapi farmakologi
untuk pasien yang diberikan sebelumnya diganti dengan obat yang lain. Berdasarkan empat
kemungkinan solusi tersebut, yang dipilih adalah Intervention proposed to prescriber,
Spoken to family member/caregiver, dan Other Intervention (specify), sedangkan Drugs
changed to atau penggantian obat tidak dipilih, karena penyebab yang diduga berhubungan
dengan kondisi fisiologis pasien yaitu BMI melebihi normal (obesitas) sehingga solusi yang
dipilih fokus untuk mengatasi permasalahan terkait kondisi obesitas pasien. Monitoring yang
dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan atau pemantauan rasa nyeri menggunakan skala
nyeri (WOMAC) Composite index, serta dilakukan pula monitoring berat badan untuk
memastikan BMI pasien mencapai target yaitu 18,5-25.

Pasien mempunyai riwayat hiperlipidemia dan sudah diberikan terapi simvastatin,


namun saat pemeriksaan darah diketahui bahwa kadar HDL pasien dibawah normal.
Simvastatin dapat menurunkan LDL 18-55%, trigliserida 7-30%, dan menaikkan HDL
sebesar 5-15% (Perkeni, 2019), namun pengobatan simvastatin kurang tepat untuk pasien
dengan kadar HDL rendah karena perlu obat peningkat HDL yang lebih kuat, selain itu
kemungkinan pasien tidak menjaga pola makan yang menyebabkan kadar HDL menurun. Hal
ini disebabkan oleh Inappropriate Drug (Within Guidelines Otherwise Contra-indicated) dan
Other cause. Sehingga kemungkinan solusi yang dapat diberikan adalah Intervention
discussed to prescriber, Patient (drug) counselling, Spoken to family member/caregiver,
Drug Changed to, dan Drug stopped. Dari kemungkinan solusi tersebut dipilih Intervention
discussed to prescriber, Patient (drug) counselling, Spoken to family member/caregiver, dan
Drug Changed to. Sehingga dilakukan diskusi dengan dokter penulis resep terkait
penggantian simvastatin yang diganti dengan golongan asam nikotinat karena asam nikotinat
dapat meningkatkan HDL lebih tinggi dari pada simvastatin yaitu 15-35% dan tidak ada
interaksi dengan obat lain dan menyarankan pasien untuk konsultasi ke ahli gizi terkait pola
makan untuk program diet. Golongan asam nikotinat yang dipilih adalah niacin, dengan
memulai terapi Niacin 1 tablet (500 mg) 1 x sehari pada malam hari. Golongan asam
nikotinat dapat menurunkan kadar LDL 5-25%, trigliserida 20-50%, dan meningkatkan HDL
lebih tinggi daripada statin yaitu 15-35% (Perkeni, 2019). Edukasi kepada keluarga pasien,
untuk membantu pasien dalam menjalankan program dietnya (menjaga menu dan pola makan
pasien) dan memberikan konseling kepada pasien maupun keluarga terkait obat simvastatin
yang diganti dengan niacin dan aturan pakainya. Serta dilakukan pula monitoring berat badan
untuk memastikan BMI pasien mencapai target yaitu 18,5-25 dan profil lipid.

Masalah terapi obat pasien menggunakan tramazed dalam jangka waktu panjang.
Penggunaan tramazed yang mengandung tramadol, terdapat risiko kecanduan. Tramazed
mengandung tramadol 37,5 mg + paracetamol 325 mg. Tramadol mempunyai efek euphoria
dan menyebabkan ketergantungan (Maesaroh dan Rahmawati, 2018). Kemungkinan solusi
yaitu ada intervention discussed to prescriber, patient (drug) konseling, drug changed to, dan
drug stopped. Maka dari solusi tersebut dipilih intervention discussed to prescriber dimana
melakukan diskusi kepada dokter sebagai penulis resep; patient (drug) konseling dimana
melakukan konseling kepada pasien; dan drug changed to lebih dipilih daripada drug stopped
karena apabila mengganti suatu obat maka otomatis obat sebelumnya yang digunakan
kemudian diganti dengan obat yang baru. Perlu dilakukan diskusi dengan dokter sebagai
penulis resep untuk mengganti Tramazed karena Tramazed tersebut memiliki efek euforia
dan dapat menyebabkan ketergantungan. Sehingga perlu dilakukan pergantian terapi dengan
menggunakan obat golongan NSAID, yaitu Meloxicam 7,5 mg, 1 x sehari bersama makan.
Meloxicam terbukti memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih rendah dibanding
Natrium diklofenak atau Piroxicam sebagai anti nyeri untuk osteoarthritis (Pionas, 2015;
Hendera dkk., 2015). Cara kerja utama dari Meloxicam adalah inhibisi secara selektif dari
enzim siklooksigenase-2 (COX-2) (Pinandita dkk, 2018). Untuk penggunaan paracetamol
tetap dilanjutkan untuk memperkuat atau memberikan efek sinergis terhadap meloxicam, agar
nyeri dapat teratasi dengan dosis @500 mg, 3 x sehari secara peroral diminum sesudah atau
sebelum makan. Paracetamol dapat menghambat siklooksigenase (COX) pusat lebih kuat
sehingga menyebabkan paracetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada
pusat pengaturan panas dan hanya mempunyai efek ringan pada COX perifer sehingga
mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Namun, penggunaan berlebihan atau jangka
panjang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sel hati (hepatotoksik) sehingga
penggunaanya harus hati-hati dan jika diperlukan saja. Pasien juga diberikan konseling terkait
adanya perubahan obat tramazed menjadi meloxicam. Untuk penggunaan terapi-terapi
tersebut juga perlu dilakukan monitoring terkait efek samping obat terutama penggunaan
jangka panjang yang dapat menyebabkan hepatotoksik, efek samping NSAID meloxicam
terkait risiko terjadinya tukak gastrointestinal dan monitoring skala nyeri yang dialami
pasien.

Obat laxatab 100 mg per hari yang diberikan kepada pasien tidak sesuai, hal ini
disebabkan karena Necessary Information Not Provided dan Inappropriate Timing of
Administration and/or dosing intervals. Seharusnya laxatab hanya diberikan ketika pasien
mengeluhkan konstipasi (Novianty dan Nurdini, 2019). Kemungkinan solusi yang dapat
diberikan yaitu Drug stopped, Intervention discussed with prescriber, dan Instructions for
Used Changed to.. Hingga saat ini pasien belum mengeluhkan adanya konstipasi sehingga
bisa saja dipilih solusi Drug stopped namun dengan adanya pertimbangan bahwa terdapat
kemungkinan risiko sembelit di kemudian hari maka Laxatab tetap diberikan. Risiko
terjadinya konstipasi dapat dipicu dari kondisi pasien yang mengalami BPH dan salah satu
efek samping yang mungkin terjadi dari penggunaan lisinopril (Pionas, 2015). Maka
diperlukan diskusi bersama dokter (Intervention discussed with prescriber) mengenai
penggantian aturan penggunaan laxatab (Instructions for Used Changed to..) dari 100 mg
setiap hari diganti menjadi Laxatab 1 x sehari 2 tablet @50mg setelah makan, diminum jika
perlu (saat pasien mengalami konstipasi), maksimal 5 x sehari 2 tablet @50mg (Pionas,
2015).
Pasien mengalami hipotensi diastolik dengan tekanan darah 132/64 mmHg (target
tekanan darah normal pada usia 65-79 tahun adalah 130-139/80-79 mmHg), serta pasien juga
merasa pusing, terutama saat berlutut atau tiba-tiba berganti posisi tubuh (dari duduk
kemudian berdiri). Hal ini dapat disebabkan oleh Inappropriate Drug According to
Guideline/Formulary dan Too many drugs prescribed for indication. Sehingga kemungkinan
solusi yang dapat diberikan adalah Intervention discussed to prescriber, Drug Changed to,
dan Drug Stopped. Dari kemungkinan solusi tersebut dipilih Intervention discussed to
prescriber dan Drug Stopped sehingga dilakukan diskusi dengan dokter untuk menghentikan
penggunaan obat metoprolol karena kombinasi obat yang diberikan ke pasien yaitu ACEi,
CCB, dan diuretik (tanpa metoprolol) sudah sesuai dengan guideline. Solusi Drug Changed
to tidak diberikan karena menurut guideline, terapi untuk pasien hipertensi adalah kombinasi
tiga obat yang terdiri dari RAS blocker (ACEi atau ARB), CCB, dan diuretik jika tekanan
darah tidak terkontrol oleh kombinasi dua obat (PDHI, 2019).

Kesimpulan

1. Masalah terapi obat berupa tidak tercapainya efek terapi obat Terazosin 20mg dan
Finasteride 5mg, dapat terjadi karena beberapa penyebab yaitu pasien tidak
mengkonsumsi obat kurang dari dosis atau tidak mengkonsumsi obat sama sekali,
tidak atau kurangnya monitoring outcome, dan pasien kurang jujur tentang kondisi
yang dialami. Solusi yang diberikan adalah berdiskusi dengan dokter penulis resep
untuk mengganti Terazosin dengan Tamsulosin karena sama-sama dari golongan a-
blocker dan penggunaannya lebih mudah yaitu 1 x sehari 1 tablet (400 mcg),
konseling pasien dilakukan untuk menjelaskan kepada pasien bahwa ada penggantian
obat, serta menganjurkan pasien untuk rajin melaksanakan kontrol sesuai jadwal yang
sudah ditentukan dan berterus terang dengan segala keluhan yang selama ini
dirasakan. Monitoring yang perlu dilakukan adalah durasi berkemih, volume urine
pasien, dan skor IPSS; monitoring efek samping dan interaksi Tamsulosin dengan
obat lain.
2. Terkait efek samping hipotensi yang dialami pasien, kemungkinan disebabkan oleh
kombinasi obat yang diberikan pada pasien tersebut terlalu banyak sehingga
kemungkinan solusi yang ditawarkan adalah berdiskusi dengan dokter terkait
kombinasi obat yang tepat dan penghentian obat furosemid dan metoprolol. Obat yang
dilanjutkan pada pasien berupa ACEi yaitu lisinopril dan adalat oros (CCB).
3. Penggunaan Furosemid dihentikan untuk mengurangi nyeri berkelanjutan akibat
special precaution yang terjadi. Setelah penghentian tetap dilakukan monitoring
terkait IPSS uroflowmetri dan volume residu urin pasca berkemih.
4. Pasien tidak mengeluhkan adanya konstipasi namun pemberian Laxatab tetap
dilanjutkan dengan dosis dan cara penggunaan yang telah disesuaikan (1 x sehari 2
tablet @50mg setelah makan). Laxatab hanya digunakan jika pasien mengalami
konstipasi akibat efek samping BPH atau penggunaan lisinopril.
5. Penggunaan terapi tramazed jangka panjang menyebabkan efek euphoria dan
menyebabkan ketergantungan sehingga solusi yang diberikan adalah berdiskusi
dengan dokter sebagai penulis resep untuk penggantian terapi tramazed dengan
meloxicam dan dikombinasikan dengan paracetamol dengan dosis dan cara
penggunaan yang telah disesuaikan (1x sehari, 1 tablet @7,5 mg dan paracetamol 3 x
sehari , 1 tablet @500 mg) dan memberikan konseling kepada pasien terkait
penggantian terapi tersebut.
6. Tekanan darah pasien 132/64 mmHg menunjukkan bahwa pasien mengalami
hipotensi diastolik. Hal ini dapat disebabkan oleh penggunaan obat hipertensi yang
terlalu banyak sehingga dapat menimbulkan efek samping hipotensi. Menurut
guideline, untuk pasien hipertensi terapi yang diberikan adalah kombinasi tiga obat
yang terdiri dari RAS blocker (ACEi atau ARB), CCB, dan diuretik jika tekanan
darah tidak terkontrol oleh kombinasi dua obat. Maka, penggunaan Metoprolol
dihentikan.
7. Terkait terapi yang tidak optimal pada pasien osteoartritis, kemungkinan disebabkan
oleh kondisi pasien yang mengalami obesitas, maka solusi yang dapat diberikan
adalah berdiskusi dengan dokter agar menyarankan pasien untuk berkonsultasi dengan
ahli gizi untuk mendukung program diet serta memberi edukasi kepada pasien untuk
melakukan program penurunan berat badan agar tercapai target BMI normal, serta
pemberian edukasi kepada keluarga pasien agar mendukung program dan membantu
menjaga pola makan pasien.
8. Penggunaan terapi simvastatin kurang optimal dalam meningkatkan kadar HDL (>40
mg/dL), sehingga mengusulkan kepada dokter untuk mengganti dengan golongan
asam nikotinat yaitu niasin dengan dosis 1 tablet (500 mg) 1 x sehari pada malam
hari, dan menyarankan pasien untuk konsultasi ke ahli gizi untuk program dietnya
serta edukasi ke pihak keluarga agar membantu menjaga pola makan dan memberikan
konseling terkait penggantian obat simvastatin menjadi niacin dan aturan pakainya.
DAFTAR PUSTAKA

Hendera, Suryana, B. P., Yulistiani., 2015. Gastrointestinal Tolerability Of Diclofenac


Sodium And Meloxicam In Osteoarthritis Patient. Folia Medica Indonesiana, 51(1),
35-39.
IAUI., 2017. Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic
Hyperplasia/BPH). Ikatan Urologi Indonesia, Jakarta, pp 4, 16.
Liman, H. H., Hartadi, C., 2002. Rabdomiolisis Efek Samping yang Mungkin Dijumpai pada
Penggunaan Preparat Statin. Jurnal Kedokteran Meditek, 9 (26), 54-60.
Maesaroh, I., Rahmawati, R. A., 2018.Gambaran Tingkat Pengetahuan Siswa Kelas Xi
Terhadap Bahaya Penyalahgunaan Obat Tramadol Di Smk “X” Di Kabupaten
Kuningan. Publikasi Penelitian Terapan dan Kebijakan, 1(1), 1-5.
Medscape, 2021., https://reference.medscape.com/drug-interactionchecker, diakses
pada 14 Mei 2021.
Medscape, 2021., https://reference.medscape.com/drug/ultracet-tramadol-
acetaminophen-343353, diakses pada 14 Mei 2021.
Medscape, 2021., https://reference.medscape.com/drug/flomax-tamsulosin-342839#4,
diakses pada 29 Mei 2021.
Novianty, L., Nurdini, R., 2020. Studi Kasus Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post
Transurethral Resection Of The Prostate (Turp) Dengan Masalah Risiko Perdarahan Di
Rsud Dr. Chasbullah Abdul Madjid Kota Bekasi. Jurnal Kesehatan Bhakti Husada,
5(2), 4-4.
PDHI, 2019. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019. Perhimpunan Dokter Hipertensi
Indonesia, Jakarta, pp. 18, 47.
Perkeni, 2019., Pedoman Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia 2019. PB Perkeni, Jakarta,
pp. 16.
Perki, 2013., Pedoman Tatalaksana Dislipidemia. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskuler Indonesia. Jakarta, pp 1-33.
Pinandita, T., Ismono, D., Ismiarto, Y., Chaldir, M., 2018. Efek Pemberian Meloxicam Yang
Diberikan Selama Fase Inflamasi Terhadap Proses Penyembuhan Tulang Tikus Pasca
Open Reduction Internal Fixation K-Wire Dinilai Secara Radiologis. JSK, 3(3), 135-
141.
Pionas 2015., Adalat Oros. http://pionas.pom.go.id/obat/adalat-oros, diakses 14 Mei 2021.
Pionas, 2015. Fenofibrat, http://pionas.pom.go.id/monografi/fenofibrat, diakses 22 Mei 2021.
Pionas, 2015. Furosemid. http://pionas.pom.go.id/monografi/furosemid, diakses pada 14 Mei
2021.
Pionas, 2015. Kaptopril. http://pionas.pom.go.id/monografi/kaptopril, diakses pada 14 Mei
2021.
Pionas, 2015., Metoprolol. http://pionas.pom.go.id/monografi/metoprolol-tartrat, diakses
pada 14 Mei 2021.
Pionas, 2015., Laxatab, http://pionas.pom.go.id/monografi/natrium-dokusat-natrium-dioktil-
sulfosuksinat, diakses pada 14 Mei 2021.
Pionas, 2015. Meloxicam. http://pionas.pom.go.id/monografi/meloksikam, diakses 29 Mei
2021.
Pionas, 2015. Nifedipin. http://pionas.pom.go.id/monografi/nifedipin, diakses pada 14 Mei
2021.
Pionas, 2015. Tamsulosin Hidroklorida. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-7-obstetrik-
ginekologik-dan-saluran-kemih/74-gangguan-saluran-kemih/741-retensi-urin, diakses
pada 29 Mei 2021.
PRI, 2014. Rekomendasi IRA untuk Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoartritis.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Jakarta.
Unger, T., Borghi, C., Charchar, F., Khan, N. A., Poulter, N. R., Prabhakaran, D., Schutte, A.
E., 2020. 2020 International Society of Hypertension global hypertension practice
guidelines. Hypertension, 75(6), 1334-1357.

Anda mungkin juga menyukai