Anda di halaman 1dari 8

LO 9 Tatalaksana Medikamentosa dan Non-Medikamentosa pada Acute Coronary Syndrome

A. Pendahuluan

Sindrom Koroner Akut merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia, World Health
Organization (WHO) pada tahun 2015 melaporkan penyakit kardiovaskuler menyebabkan
17,5 juta kematian atau sekitar 31% dari keseluruhan kematian secara global dan yang
diakibatkan sindrom koroner akut sebesar 7,4 juta. Penyakit ini diperkirakan akan mencapai
23,3 juta kematian pada tahun 2030 (Susilo, 2015; Tumade et al., 2014).

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu penyakit tidak menular dimana terjadi
perubahan patologis atau kelainan dalam dinding arteri koroner yang dapat menyebabkan
terjadinya iskemik miokardium dan UAP (Unstable Angina Pectoris) serta Infark Miokard
Akut (IMA) seperti Non-ST Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI) dan ST Elevation
Myocardial Infarct (STEMI) (Tumade et al., 2014).

Sindrom koroner akut disebabkan oleh aterosklerosis yaitu proses terbentuknya plak yang
berdampak pada intima dari arteri, yang mengakibatkan terbentuknya trombus sehingga
membuat lumen menyempit, yang menyebabkan terjadinya gangguan suplai darah sehingga
kekuatan kontraksi otot jantung menurun. Jika thrombus pecah sebelum terjadinya nekrosis
total jaringan distal, maka terjadilah infark pada miokardium (Asikin et al., 2016).

Terjadinya sindrom koroner akut dihubungkan oleh beberapa faktor risiko meliputi faktor
yang tidak dapat dimodifikasi seperti umur, jenis kelamin, keturunan, dan faktor yang dapat
dimodifikasi seperti merokok, hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, dan obesitas (Ghani
et al., 2016; Indrawati, 2014).

B. Patofisiologi

Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang
koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung
fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit
dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).
Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun
parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal.
Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner
menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20
menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).

Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi
subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia
dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah
gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia
hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel).
Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial
(Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat
diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP).
Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat
menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.

C. Klasifikasi Acute Coronary Syndrome ( Sindrom Koroner Akut )

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan


pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:

1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial


infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation
myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian
oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi
untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa
menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi
segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.

Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat keluhan angina
pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T,
gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan.
Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark
miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim
digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung
terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non
Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak
stabil marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai
ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai
normal atas (upper limits of normal, ULN).

Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan
kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan
diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran
nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama
12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang .

D. Terapi Medikamentosa

Terapi awal

Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan kepada pasien
dengan diagnosis kerja kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di
ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau biomarka jantung.
Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat
MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.

1. Pada semua pasien IMA-EST direkomendasikan untuk mengukur saturasi oksigen


perifer

a. Oksigen diiindikasikan pada pasien dengan hipoksemia ( SaO2 < 90% atau
PaO2 < 60mmHg). Oksigen dapat diberikan melalui kanul nasal dengan kecepatan
2-4L/menit untuk menjaga SaO2 lebih dari 90%
b. Oksigen rutin tidak direkomendasikan pada pasien dengan SaO 2 lebih atau
sama dengan 90%

2. Pasien dapat diberikan aspirin dengan dosis 160-320mg diberikan secepat mungkin
setelah serangan timbul, kecuali ada kontraindikasi. Aspirin tidak bersalut lebih terpilih
mengingat absorpsi sublingual (dibawah lidah) yang lebih cepat. Aspirin menghambat
agregasi trombosit dan vasokonstriksi dengan menghambat produksi tromboksan A2.
Aspirin dikontraindikasikan terhadap pasien dengan ulkus peptikum, kelainan perdarahan,
dan alergi terhadap penisilin.
3. Nitrogliserin ( NTG) spray / tablet sublingual (0,3-0,4 mg) untuk pasien APTS( Angina
Pectoris Tidak Stabil) / IMA-NEST ( NSTEMI) harus diberikan setiap lima menit, hingga
maksimal tiga kali pemberian , setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat
intravena jika tidak ada kontraindikasi. Dosis nitrogliserin intravena 10-20 mcg per menit
dan perlahan-lahan dititrasi 10 mcg setiap 3- 5 menit hingga rasa nyerinya berkurang atau
pasien menjadi hipotensi. Dosis maksimum adalah 200 mcg per menit. Nitrogliserin
menyebabkan dilatasi arteri dan vena, yang akan menurunkan baik preload dan afterload
dan menurunkan kebutuhan oksigen jantung.

a. Nitrat tidak diberikan kepada pasien dengan tekanan darah sistolik<90mmHg


atau >30mmHg dibawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali/menit),
takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan
b. Nitrogliserin dikontraindikasikan pada pasien yang telah mengkonsumsi
penghambat fosfodiesterase :sildenafil dalam 24jam, tadalafil dalam 48jam

Tabel 9.1 Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA

4. Jika pasien tidak membaik setelah pemberian nitrogliserin, maka dapat diberikan
morfin sulfat 1-5mg intravena , dapat diulang setiap 10-30 menit ,bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual. Morfin menyebabkan
vasodilatasi arteri dan vena, menurunkan preload dan afterload, dan kemampuan
analgesiknya dapat mengurangi nyeri dan kecemasan yang diakibatkan SKA.
Namun, morfin dapat menyebabkan hipotensi dan depresi pernapasan, sehingga
tekanan darah, frekuensi napas, tingkat SaO2 harus dimonitor.
Terapi lanjutan

Terapi lanjutan dimaksudkan untuk memperbaiki outcome pasien SKA.

1. Beta-blocker direkomendasikan pada APTS atau IMA-NEST, terutama jika terdapat


hiperteni dan/atau takikardia , dan selama tidak terdapat kontraindikasi. Penyekat beta
oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama. Penyekat beta juga diindikasikan
untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada kontraindikasi.
Pasien yang mendapat terapi beta bloker harus dimonitor untuk keadaan hipotensi,
bradikardi, gejala gagal jantung, hipoglikemi, dan bronkospasme.

Tabel 9.2 Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA

2. ACE inhibitor dan Angiotensin Receptor Blocker . ACE inhibitor menurunkan resiko
disfungsi ventrikel kanan dan kematian pada pasien dengan SKA dan harus diberikan dalam
waktu 24 jam dan diteruskan kecuali terdpaat kontraindikasi. Perlu diawasi untuk keadaan
hipotensi, jumlah urin berkurang, batuk, hiperkalemia, dan insufisiensi ginjal pada pengguna
ACE inhibitor.

a. Pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri  40%, pasien dengan diabetes
melitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik, penghambat ACE diindikasikan
penggunaan untuk jangka panjang, kecuali terdapat kontraindikasi. Penghambat
reseptor angiotensin merupakan alternatif pada pasien yang intoleran terhadap
penghambat ACE.

Tabel 9.3 Jenis dan dosis penghambat ACE untuk IMA

3. Statin harus diberikan pada pasien SKA dengan kadar kolesterol lebih dari 100
mg/dL. Kadar lemak dan kolesterol harus selalu dikontrol pada pasien SKA.
Tabel 9.4 Jenis dan obat statin intensitas tinggi

4. Clopidogrel (plavix) menghambat agregasi trombosit dan dapat diberikan pada


pasien angina tidak stabil atau NSTEMI yang alergi terhadap penisilin. Clopidogrel
juga dapat diberikan sebagai tambahan pada terapi aspirin dan tidak boleh diberikan
pada pasien yang akan menjalani operasi bypass arteri koroner dalam waktu 5 hingga
7 hari ke depan karena menignkatkan resiko perdarahan. Clopidogrel
direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor. Dosis
loading clopidogrel adalah 300mg, dilanjutkan 75mg setiap hari.

Tabel 9.5 Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA

5. Inhibitor Glikoprotein IIb/IIIa merupakan antikoagulan yang digunakan untuk


angina tak stabil dan NSTEMI yang dijadwalkan akan dilakukan tindakan diagnostik
invasif. Pilihan untuk terapi antikoagulan pada pasien dengan angina tak stabil atau
NSTEMI antara lain enoxaparin (Lovenox), unfractionated heparin, bivalirudin
(Angiomax) dan fondaparinux (Arixtra). Enoxaparin dan unfractionated heparin
sangat direkomendasikan pada pasien yang memilih panegobatan konservatif, namun
fondaparinux dipilih unutk mereka yang memiliki resiko tinggi perdarahan.

Tabel 9.6 Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA

6. Terapi Fibrinolitik

Waktu onset untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting luas infark dan
outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan trombus sangat
tergantung waktu. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak
awitan gejala pada pasien , terkadang menghentikan infark miokard dan secara
dramatis menurunkan angka kematian .

Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat
beberapa macam obat fibrinolitik yaitu : tissue plasminogen activator (tPA),
streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rpA). Semua obat ini bekerja dengan
cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan
trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok, yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan
nonspesifik fibrin seperti streptokinase.

Tabel 9.7 Dosis fibrinolitik

Tabel 9.8 Kontraindikasi terapi fibrinolitik

E. Terapi Non-Medikamentosa

1. Tindakan Revaskularisasi

Termasuk di sini yaitu operasi pintas koroner (coronary artery bypass grafting, CABG) dan
PCI (angioplasti koroner atau percutaneous transluminal coronary angioplasty / PTCA) dan
tindakan terkait seperti misalnya pemasangan stent, aterektomi rotablasi, dan aterektomi
direksional). Pasien yang mempunyai komorbiditas berat yang menyebabkan risiko CABG
menjadi tinggi dapat dipertimbangkan untuk menjalani tindakan PCI bertahap. Pasien left
main disease disertai komorbiditas berat dapat dipertimbangkan menjalani PCI dengan
pemasangan stent. Indikasi tindakan revaskularisasi spesifik (CABG, PCI konvensional,
stent, aterektomi) banyak tergantung kepada anatomi koroner, faal ventrikel kiri, pengalaman
dokter (kardiolog intervensional atau dokter bedah), adanya penyakit penyerta dan pilihan
pasien sendiri.

2. Rehabilitasi Medik
Dilakukan rehabilitasi medik dengan maksud untuk mengoptimalkan fisik, fisiologi dan
sosial pada pasien-pasien yang sebelumnya menderita kejadian kardiovaskular.

3. Modifikasi Faktor Risiko

 Berhenti merokok
 Berat Badan
 Latihan
 Diet ( mengonsumsi makanan kolesterol / lemak rendah). Target primer kolesterol
LDL < 100mg/dl
 Target tekanan darah < 130/80 mmHg
 DM kontrol optimal hiperglikemia pada DM

Referensi

 Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular. Pedoman Tatalaksana Sindrom


Koroner Akut. Edisi III. Jakarta: PERKI. 2015.
 Muhibbah, Wahid A, Agustiana R, Illiandri O. Karakteristik pasien sindrom
koroner akut pada pasien rawat inap di Ruang Tulip RSUD Ulin Banjarmasin.
Indones J Heal Sci. 2019;3(1):6–12.
 Sanjani RD, Nurkusumasari N. Sindrom koroner akut. Publ Ilm UMS.
2020;99(1):397–409
 Muchid, dkk., 2006, Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung
Koroner : Fokus Sindrom Koroner Akut, Penerbit Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, Departemen Kesehatan, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai