Anda di halaman 1dari 7

LO6 Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan Pengelolaan pembuangan kotoran

manusia

A. Tinja

Selain air hujan, tinja dan limbah cair merupakan komponen limbah cair yang timbul
secara alami dari kegiatan alam dan kehidupan manusia. Tinja adalah limbah yang
dilepaskan dari tubuh manusia melalui anus dan merupakan sisa dari proses
pencernaan makanan di sepanjang sistem saluran pencernaan (Soeparman &
Suparmin, 2002).

B. Lumpur Tinja

Lumpur tinja merupakan hasil proses penguraian tinja manusia ke dalam tanki septic .
Proses pengolahan utama yang terjadi dalam tanki septic adalah sebagai berikut
(Polprasert dan Rajput ,1982).
a. Penyisihan padatan tersuspensi
b. Pencernaan lumpur dan scum
c. Stabilisasi cairan
d. Pertumbuhan mikroorganisme

Lumpur tinja berasal dari teknologi on-site sanitasi dan belum diangkut melalui
saluran pembuangan dengan kondisi belum diolah atau sebagian telah diolah dalam
bentuk bubur atau semipadat, dan merupakan hasil dari pengumpulan, penyimpanan
atau pengolahan dari kombinasi kotoran dan blackwater, dengan atau tanpa
greywater. Contoh on-site teknologi adalah lubang kakus, tangki septik, penukaran
termasuk jamban, tempat wudhu yang tidak memiliki selokan air, septic tank, aqua
privies, dan toilet kering.

Biasanya lumpur tinja ditandai dengan kandungan pasir dan lemak dalam jumlah
besar, bau yang menusuk hidung, mudah terbentuk busa ketika pengadukan, sulit
pengendap, serta kandungan zat padat dan zat organiknya tinggi. Sesuai dengan
sumber asalnya, maka lumpur tinja mempunyai komposisi yang berbeda di setiap
saatnya. Buangan tubuh manusia yang berupa tinja dan urin memiliki fraksi organik
yang sangat tinggi, antara lain: karbohidrat, protein, dan lemak. Air limbah yang
berasal dari tanki septik terdiri dari kotoran-kotoran yang sebagian besar berbentuk
larutan dan zat padat tersuspensi yang mengandung bahan-bahan organik, yaitu tinja
dan urin.

C. Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)

Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) adalah instalasi pengolahan air limbah
yang dirancang hanya menerima dan mengolah lumpur tinja yang akan diangkut
melalui mobil (truk tinja). Pengolahan lumpur tinja di IPLT merupakan pengolahan
lanjutan karena lumpur tinja yang telah diolah di tangki septik , belum layak dibuang
di media lingkungan. Lumpur tinja yang terakumulasi di cubluk dan tangki septik
yang secara reguler dikuras atau dikosongkan kemudian diangkut ke IPLT dengan
menggunakan truk tinja. IPLT merupakan salah satu upaya terencana untuk
meningkatkan pengolahan dan pembuangan limbah yang akrab lingkungan. Lokasi
IPLT berada dalam satu wilayah dengan lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

IPLT dirancang untuk mengolah lumpur tinja sehingga tidak membahayakan bagi
kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Pengolahan lumpur tinja dilakukan dengan tujuan utama, yaitu :

1. Menurunkan kandungan zat organik dari dalam lumpur tinja.


2. Menghilangkan atau menurunkan kandungan mikroorganisme patogen (bakteri, virus,
jamur dan lain sebagainya)

D. Proses Pengolahan Lumpur Tinja

Operasional IPLT diawali dengan masuknya Lumpur Tinja ke Bak Pemisah Lumpur
(Solid Separation Chamber, SSC). Proses pengisian lumpur tinja ini mengakibatkan
terjadinya proses filtrasi dan pengendapan zat padat (solid). Air resapan hasil filtrasi
(filtrat) masuk ke Kolam Anaerobik, sedangkan lumpur tinja akan mengendap dan
tertiriskan pada bak SSC. Apabila pengisian SSC sudah mencapai batas pelimpah air
(overflow), maka akan terjadi pula pelimpahan air supernatan melalui Gutter dan
dialirkan menuju Kolam Anaerobik.

Padatan (solid) yang terkumpul di SSC apabila telah mencapai batas tertentu dan telah
cukup kering (dikarenakan filtrat & supernatan telah dipisahkan melalui proses
dekantasi), maka operator dapat melakukan pengambilan dan pemindahan lumpur
menuju Kolam Pengering Lumpur (Drying Area) secara manual. Dalam kolam drying
area akan terjadi proses pengeringan lebih lanjut melalui penguapan dan penyaringan.

Apabila lumpur yang dihamparkan pada drying area telah kering dengan waktu
pengeringan selama kurang lebih 10-15 hari, lumpur tersebut sudah aman dibuang ke
TPA sampah sebagai cover soil atau dimanfaatkan untuk kompos.
Gambar 6.1 Diagram Proses Pengolahan Lumpur Tinja

Adapun rangkaian unit pengolahan IPLT meliputi:

1. Bak Pemisah Padatan (Solid Separation Chamber , SSC)

Proses pengolahan limbah yang terjadi di SSC adalah:


a) Proses pengendapan
Proses ini terjadi selama pengoperasian bak SSC.
b) Proses penyaringan
Limbah tinja yang mengalami proses pengendapan akan melewati media
kerikil penyaring. Partikel-partikel akan terperangkap di media dan
sebagian lolos menuju bak pengumpul filtrat. Selama lebih kurang 7 hari
pori-pori media sudah terisi penuh partikel yang tertangkap, sehingga
media ini sudah tidak mampu menyaring lagi.
c) Proses dekantasi (pengambilan / Drain Supernatant)
Karena proses penyaringan di media sudah berhenti, maka akan terjadi
proses pengendapan diatas lapisan media, sehingga akan terpisah antara
lapisan padatan dan cairan. Pengambilan cairan ini dilakukan dengan
mengalirkannya melalui Gutter. Pengaliran dilakukan dengan mengatur
pintu air yaitu dengan menurunkannya secara perlahan dari titik ketinggian
tertentu.
d) Proses pengeringan
Setelah diturunkan sampai mencapai lapisan padatan (dasar Gutter),
penurunan dihentikan sehingga proses pengeringan terjadi pada saat ini.

2. Kolam Anaerobik

Kolam Anaerobik menerima supernatant dari bak Solid Separation Chamber


(SSC). Dengan kedalaman dasar kolam antara 3,5 – 4 m maka proses biodegradasi
secara anaerobic akan terjadi pada kolam ini. Pada unit Anaerobik ini bahan
organik dalam air limbah akan di manfaatkan oleh mikroorganisme anaerobik
untuk metabolisme dan tumbuh. Mikroorganisme yang mati dan akan mengendap
di bagian bawah. Supernatant hasil proses unit anaerobik akan mengalir keluar
menuju kolam Fakultatif.

3. Kolam Fakultatif

Di dalam sistem kolam fakultatif, air limbah berada pada kondisi aerobik dan
anaerobik pada waktu yang bersamaan. Zona aerobik terdapat pada lapisan atas
atau permukaan sedangkan zona anaerobik berada pada lapisan bawah atau dasar
kolam. Batas antara zona aerobik dan anaerobik tidak tetap, dipengaruhi oleh
adanya pengadukan (mixing) oleh angin serta penetrasi sinar matahari. Efisiensi
penyisihan di kolam fakultatif ini sebesar 75%, BOD5 yang terkandung setelah
mengalami penyisihan sebesar 75% di kolam anaerobik.

4. Kolam Maturasi

Tahap terakhir dari kolam stabilisasi adalah kolam maturasi atau disebut juga
kolam pematangan. Berhubung semakin rendahnya kandungan BOD 5 , maka
kondisi aerobik akan terwujud di seluruh bagian kedalam bak. Prinsip pengolahan
ini adalah bahan organik dioksidasi oleh bakteri aerobik dan fakultatif dengan
menggunakan oksigen yang terlarut dalam air. Ciri-ciri fisik kolam ini jika dilihat
kondisinya, hampir sama dengan kolam anaerobik dan fakultatif hanya
menampung lumpur tinja dengan kadar air yang tinggi akibat pengenceran.
Sehingga dipastikan kondisi kolam aerobic sepenuhnya. Efisiensi penyisihan
BOD5 dalam kolam ini sebesar 75 %, influen BOD5 dari kolam fakultatif.

Kolam maturasi berfungsi untuk :


 Peningkatan kualitas efluen (Penyisihan BOD)
 Penyisihan bakteri pathogen akibat sinar UV matahari
 Penyisihan nutrien (N dan P)

5. Wetland

Lahan basah buatan (aliran horizontal di bawah permukaan) merupakan saluran


yang diisi pasir dan kerikil dan ditanami dengan vegetasi air. Air limbah domestik
mengalir horizontal melalui saluran yang berisi material penyaring yang
mendegradasi zat organik. Tujuannya untuk meniru proses alami yang terjadi di
daerah rawa dan payau. Sistem ini memiliki dasar dengan lapisan atau saluran
yang diisi dengan pasir atau media (batu, kerikil, pasir, tanah). Saluran atau
mangkuk dilapisi dengan penghalang yang tidak tembus air (tanah liat atau
geotekstil) untuk mencegah rembesan air limbah domestik. Vegetasi asli (seperti
cattail, alang-alang dan/atau sulur-sulur) dibiarkan tumbuh di bagian dasar volume
bak lahan basah buatan secara mudahnya dapat dihitung berdasarkan kriteria
waktu penahanan hidrolis 3-7 hari.

6. Bak Pengeringan Lumpur (Drying Area / Septage Drying Lagoon)

Proses pengolahan yang terjadi di bak Drying Area (DA) ini sebagian besar
adalah proses pengeringan, sedikit proses penyaringan dan proses desinfeksi
dengan sinar matahari. Padatan/lumpur (pasir atau material anorganik, sedikit
material organik, serta scum kering).

Pemindahan Lumpur ke Drying Area dilakukan dengan menggunakan Kereta


Dorong (Hand Cart) dan alat-alat perata seperti cangkul dan sekop. Ketinggian
maksimal, untuk mengeringkan lumpur adalah 30 cm. Perataan lumpur dilakukan
dengan tenaga manusia. Dikeringkan selama 10 - 15 hari baru bisa dimanfaatkan
untuk cover Sanitary Landfill atau pupuk organik.

E. Sarana Pembuangan Tinja

Jamban adalah suatu bangunan yang di gunakan untuk membuang dan mengumpulkan
kotoran manusia(tinja) yang lazim disebut kakus atau wc, sehingga kotoran atau najis
tersebut tersimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyakit dan
mengotori lingkungan pemukiman (DepKes, 2010).

Tipe Jamban Sehat

Pembuangan tinja atau buang air besar disebut secara eksplisit dalam dokumen Millenium
Development Goals (MDGs). Dalam nomenklatur ini buang air besar disebut sebagai sanitasi
yang antra lain meliputi jenis pemakaian atau penggunaan tempat buang air besar, jenis kloset
yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs 2010,
kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas tempat BAB milik
sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis ‘latrine’ dan tempat pembuangan
akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah atau SPAL.

Menurut kriterian Depkes RI (1985), syarat sebuah jamban keluarga dikatagorikan jamban
sehat, jika memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Tidak mencemari sumber air minum, untuk itu letak lubang penampungan kotoran
paling sedikit berjarak 10 meter dari sumur (SPT SGL maupun jenis sumur lainnya).
Perkecualian jarak ini menjadi lebih jauh pada kondisi tanah liat atau berkapur yang
terkait dengan porositas tanah. Juga akan berbeda pada kondisi topografi yang
menjadikan posisi jamban diatas muka dan arah aliran air tanah.
2. Tidak berbau serta tidak memungkinkan serangga dapat masuk ke penampungan tinja.
Hal ini misalnya dapat dilakukan dengan menutup lubang jamban atau dengan sistem
leher angsa.
3. Air seni, air pembersih dan air penggelontor tidak mencemari tanah di sekitarnya. Hal
ini dapat dilakukan dengan membuat lantai jamban dengan luas minimal 1×1 meter,
dengan sudut kemiringan yang cukup kearah lubang jamban.
4. Mudah dibersihkan, aman digunakan, untuk itu harus dibuat dari bahan-bahan yang
kuat dan tahan lama dan agar tidak mahal hendaknya dipergunakan bahan-bahan yang
ada setempat;
5. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna terang;
6. Cukup penerangan;
7. Lantai kedap air;
8. Luas ruangan cukup, atau tidak terlalu rendah;
9. Ventilasi cukup baik, dan
10. Tersedia air dan alat pembersih.

Tangki septik (septic tank) terdiri dari tangki sedimentasi yang kedap air, dimana tinja dan air
buangan masuk mengalami dekomposisi. Dalam tangki ini tinja akan berada selama beberapa
hari.

Selama waktu tersebut tinja akan mengalami 2 proses, yaitu proses kimiawi dan proses
biologis. Pada proses kimiawi, sebagian tinja (60- 70%), akan mengalami penghancuran dan
direduksi. Sebagian besar zat-zat padat akan mengendap di dalam tangki sebagai sludge . Zat-
zat yang tidak dapat hancur bersama-sama dengan lemak dan busa akan mengapung dan
membentuk lapisan yang menutup permukaan air dalam tangki tersebut. Lapisan ini disebut
scum yang berfungsi mempertahankan suasana anaerob dari cairan di bawahnya, yang
memungkinkan bakteri-bakteri anaerob dan fakultatif anaerob dapat tumbuh subur, yang akan
berfungsi pada proses selanjutnya.
Dalam proses biologis, terjadi dekomposisi melalui aktivitas bakteri anaerob dan fakultatif
anaerob yang memakan zat-zat organik alam sludge dan scum. Hasilnya selain terbentuknya
gas dan zat cair lainnya, adalah juga pengurangan volume sludge, sehingga memungkinkan
septic tank tidak cepat penuh. Kemudian cairan influent sudah tidak mengandung bagian-
bagian tinja dan mempunyai BOD yang relatif rendah. Selanjutnya cairan influent dialirkan
melalui pipa, untuk dilakukan proses peresapan dalam tanah atau dialirkan melalui pipa pada
fasilitas riol kota.

REFERENSI

Soeparman, H.M dan Suparmin. 2002. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair, Suatu Pengantar. Buku Kedokteran EGC:
Jakarta
Riskesdas 2010, Depkes RI.

Notoatmodjo (2000) , Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni , Jakarta

Anda mungkin juga menyukai