Anda di halaman 1dari 9

Pengaruh Gaya Hidup Terhadap Hipertensi

I. Latar Belakang
Penyakit hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan peningkatan
tekanan darah persisten yang juga dijuluki pembunuh diam-diam atau silent killer,
karena tidak memiliki gejala yang khas sehingga seseorang yang mengidap
hipertensi selama bertahun-tahun tidak menyadari sampai terjadi kerusakan organ
vital yang cukup berat yang bahkan dapat menyebabkan kematian (Hafiz, Weta, &
Ratnawati, 2016). Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2015,
diperkirakan tahun 2020 sekitar 1,56 miliar orang dewasa akan hidup dengan
hipertensi. Penduduk Amerika usia diatas 20 tahun yang menderita hipertensi
telah mencapai angka hingga 74,5 juta jiwa (Kemenkes RI, 2014).
Hipertensi di Indonesia menjadi masalah kesehatan dengan prevalensi yang
tinggi yaitu sebesar 25,8%. Prevalensi tertinggi di Bangka Belitung (30,9%),
diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%), Jawa Barat
(29,4%), Gorontalo (29,4%) dan Sumatera Utara (25%). Prevalensi hipertensi
meningkat dikarenakan tidak mendapat penanganan yang baik sehingga
menyebabkan komplikasi seperti stroke, penyakit jantung koroner, diabetes, gagal
ginjal dan kebutaan (Kemenkes RI, 2014). Prevalensi hipertensi akan semakin
meningkat apabila penanganan hipertensi tidak dilakukan sejak dini. Hal ini
sejalan dengan penelitian Novian (2013) yang mengemukakan bahwa bagi
individu yang mempunyai faktor risiko hipertensi harus waspada serta melakukan
upaya pencegahan sedini mungkin.
Penanganan hipertensi terdiri dari penatalaksanaan farmakologi atau dengan
obat yang saat ini memang telah mengalami kemajuan, tetapi terdapat banyak
laporan yang menyampaikan bahwa penderita hipertensi yang datang ke Rumah
Sakit akan datang lagi dengan keluhan tekanan darahnya tidak mengalami
penurunan bermakna meskipun sudah minum obat sehingga harus diikuti dengan
penatalaksanaan nonfarmakologi yaitu dengan memodifikasi gaya hidup (Suoth,
Bidjuni, & Malara, 2014).

II. Tinjauan Pustaka


II.1Hipertensi
Hipertensi merupakan tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal dan
diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda. Seseorang dianggap
mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi dari 140/90
mmHg. Menurut Price (dalam Nurarif A.H., & Kusuma H. (2016), Hipertensi
adalah sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau
tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Hipertensi tidak hanya beresiko tinggi
menderita penyakit jantung, tetapi juga menderita penyakit lain seperti
penyakit saraf, ginjal, dan pembuluh darah dan makin tinggi tekanan darah,
makin besar resikonya.
Menurut Hananta I.P.Y., & Freitag H. (2011), hipertensi adalah suatu
peningkatan abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara
terus-menerus lebih dari suatu periode. Hipertensi dipengaruhi oleh faktor
risiko ganda, baik yang bersifat endogen seperti usia, jenis kelamin dan
genetik/keturunan, maupun yang bersifat eksogen seperti obesitas, konsumsi
garam, rokok dan kopi.
Menurut American Heart Association atau AHA dalam Kemenkes (2018),
hipertensi merupakan silent killer dimana gejalanya sangat bermacam-macam
pada setiap individu dan hampir sama dengan penyakit lain. Gejala-gejala
tersebut adalah sakit kepala atau rasa berat ditengkuk. Vertigo, jantung
berdebar-debar, mudah lelah, penglihatan kabur, telinga berdenging atau
tinnitus dan mimisan.

2.1.1. Etiologi Hipertensi

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2 golongan


(Ardiansyah M., 2012) :
1) Hipertensi primer (esensial)
Hipertensi primer adalah hipertensi esensial atau hipertensi
yang 90% tidak diketahui penyebabnya. Beberapa faktor yang
diduga berkaitan dengan berkembangnya hipertensi esensial
diantaranya :
a) Genetik Individu dengan keluarga hipertensi memiliki potensi
lebih tinggi mendapatkan penyakit hipertensi.
b) Jenis kelamin dan usia Lelaki berusia 35-50 tahun dan wanita
yang telah menopause berisiko tinggi mengalami penyakit
hipertensi.
c) Diit konsumsi tinggi garam atau kandungan lemak.
Konsumsi garam yang tinggi atau konsumsi makanan dengan kandungan lemak
yang tinggi secara langsung berkaitan dengan berkembangnya penyakit
hipertensi.
d) Berat badan obesitas Berat badan yang 25% melebihi berat badan ideal sering
dikaitkan dengan berkembangnya hipertensi.
e) Gaya hidup merokok dan konsumsi alkohol Merokok dan konsumsi alkohol
sering dikaitkan dengan berkembangnya hipertensi karena reaksi bahan atau zat
yang terkandung dalam keduanya.
2) Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah jenis hipertensi yang diketahui penyebabnya.
Hipertensi sekunder disebabkan oleh beberapa penyakit, yaitu :
a) Coarctationaorta, yaitu penyempitan aorta congenital yang mungkin terjadi
beberapa tingkat pada aorta toraksi atau aorta abdominal. Penyembitan pada
aorta tersebut dapat menghambat aliran darah sehingga terjadi peningkatan
tekanan darah diatas area kontriksi.
b) Penyakit parenkim dan vaskular ginjal. Penyakit ini merupakan penyakit utama
penyebab hipertensi sekunder. Hipertensi renovaskuler berhubungan dengan
penyempitan.
c) satu atau lebih arteri besar, yang secara langsung membawa darah ke ginjal.
Sekitar 90% lesi arteri renal pada pasien dengan hipertensi disebabkan oleh
aterosklerosis atau fibrous dyplasia (pertumbuhan abnormal jaringan fibrous).
Penyakit parenkim ginjal terkait dengan infeksi, inflamasi, serta perubahan
struktur serta fungsi ginjal.
d) Penggunanaan kontrasepsi hormonal (esterogen). Kontrasepsi secara oral yang
memiliki kandungan esterogen dapat menyebabkan terjadinya hipertensi melalui
mekanisme renin-aldosteron-mediate volume expantion. Pada hipertensi ini,
tekanan darah akan kembali normal setelah beberapa bulan penghentian oral
kontrasepsi.
e) Gangguan endokrin. Disfungsi medulla adrenal atau korteks
adrenal dapat menyebabkan hipertensi sekunder. Adrenalmediate
hypertension disebabkan kelebihan primer aldosteron, kortisol,
dan katekolamin.

f) Kegemukan (obesitas) dan malas berolahraga.


g) Stres, yang cenderung menyebabkan peningkatan tekanan darah untuk sementara
waktu.
h) Kehamilan
i) Luka bakar
j) Peningkatan tekanan vaskuler
k) Merokok.
Nikotin dalam rokok merangsang pelepasan katekolamin. Peningkatan
katekolamin mengakibatkan iritabilitas miokardial, peningkatan denyut jantung
serta menyebabkan vasokortison yang kemudian menyebabkan kenaikan tekanan
darah

2.1.2 Dampak Hipertensi


Prospective Studies Collaboration oleh Lewington dkk memperlihatkan bahwa
makin tinggi tekanan darah, baik sistolik (TDS), maupun diastolik (TDD), makin
tinggi pula risiko kejadian kardiovaskular. Peningkatan angka kejadian kematian
karena penyakit jantung iskemik (IHD, ischaemic heart disease) pada setiap dekade
meningkat seiring peningkatan TDS maupun TDD. Hal yang sama dijumpai untuk
kejadian kematian karena stroke. Di samping itu, penelitian MRFIT (Multiple Risk
Factor Intervention Trial) memperlihatkan bahwa peningkatan TDS berhubungan
dengan peningkatan kejadian ESRD (End Stage Renal Disease). Selain
mengakibatkan komplikasi kejadian kardiovaskular, serebrovaskular, renovaskular,
data WHO tahun 2000 juga memperlihatkan bahwa hipertensi mempunyai dampak
paling besar terhadap kematian global dibandingkan faktor-faktor risiko lain.
Tujuan terapi hipertensi adalah mencegah komplikasi, menurunkan kejadian
kardiovaskular, serebrovaskular, dan renovaskular, dengan kata lain menurunkan
efek terkanan darah tinggi terhadap kerusakan end-organ. Secara umum, target
tekanan darah yang harus dicapai adalah 140/90 mmHg, sedangkan untuk pasien
diabetes atau dengan penyakit ginjal kronik (chronic kidney diseases, CKD), target
tekanan darah adalah 130/80 mmHg (JNC 7, ESC/ESH).
Hipertensi yang paling umum dijumpai adalah hipertensi primer, mencakup
90% dari semua penderita hipertensi, sisanya 10% hipertensi sekunder.
Kemungkinan hipertensi sekunder harus dipikirkan pada hipertensi yang resisten
terhadap terapi (membutuhkan ≥3 golongan antihipertensi). Penyebab utama
hipertensi sekunder adalah gangguan yang berhubungan dengan kelainan ginjal dan
sistim endokrin. Gangguan ginjal dapat disebabkan karena penyakit parenkim
ginjal (glomerulonefritis, polycystic kidney disease), maupun penyakit ginjal
vaskular (stenosis arteri renalis dan displasia bromuskuler). Penyebab endokrin di
antaranya adalah penyakit tiroid, penyakit adrenal (sindrom Cushing,
aldosteronisme primer dan feokromositoma).
Selain itu, klinisi juga perlu memperkirakan penyebab sekunder lainnya seperti
coarctatio aorta, hipertensi karena kehamilan, sindrom obstructive sleep apnea,
hipertensi akibat obat-obatan, alkohol, kokain. Beberapa tanda klinis yang
mengarah pada hipertensi renovaskular di antaranya adalah bising abdominal di
daerah periumbilikal, hipertensi yang cepat memberat atau hipertensi maligna,
ginjal yang mengecil unilateral, hipertensi berat pada anak-anak atau di atas usia 50
tahun, hipertensi akut, hipertensi dengan gangguan ginjal yang tidak dapat
dijelaskan, perburukan fungsi ginjal akut, hipertensi refrakter terhadap 3 golongan
antihipertensi.
2.1.3 Penatalaksanaan Hipertensi
Meskipun mekanisme regulasi tekanan darah belum diketahui sempurna,
pada saat ini diketahui ada tiga sistem yang sangat berperan dalam homeostasis
tekanan darah. Ketiga sistem tersebut adalah: sistem saraf simpatis, sistem RAAS
(Renin-Angiotensin-Aldosterone System), dan keseimbangan natrium-cairan tubuh
(ADH/aldosteron). Hal yang perlu diingat dalam penatalaksanaan hipertensi adalah
bahwa patoi siologi peningkatan tekanan darah pada tiap pasien berbeda-beda.
Pada pasien 1, peningkatan tekanan darah terutama terjadi karena sistem RAAS-
nya, sedangkan faktor lainnya (seperti sistem saraf simpatis dan natrium tubuh
total) berperan lebih kecil. Berbeda dengan pasien 2, kadar natrium dalam tubuh
yang terutama mempengaruhi peningkatan tekanan darah. Lain lagi dengan pasien
3, pengaruh tekanan darah paling besar dihasilkan oleh sistem saraf simpatis.
Penelitian INTERSALT (International Study of Sodium, Potassium, and
Blood Pressure) untuk mengetahui hubungan antara asupan garam dengan tekanan
darah adalah contoh/ilustrasi yang baik tentang peranan keseimbangan natrium dan
cairan tubuh terhadap hipertensi. Penelitan ini merupakan penelitian epidemiologi
dengan sampel sebesar 10.079 pasien pria dan wanita dengan usia 20 – 59 tahun
dari 52 negara. Hasilnya memperlihatkan bahwa makin tinggi asupan garam
seseorang, makin tinggi pula tekanan darah rata-rata orang tersebut. Dengan
menurunkan asupan garam, terjadi penurunan tekanan darah yang diikuti dengan
penurunan kejadian PJK (Penyakit Jantung Koroner) dan penurunan risiko stroke.
AHA (American Heart Association) merekomendasikan pada hipertensi
asupan Natrium yang ideal adalah 1,5 gram sehari atau ekuivalen dengan 3,8 gram
NaCl sehari. Hal lain yang perlu diketahui dalam patofisiologi hipertensi adalah
perihal resistensi insulin. Peningkatan tekanan darah karena resistensi insulin dapat
karena beberapa penyebab, di antaranya adalah peningkatan: a) produksi
angiotensinogen oleh jaringan adiposa jaringan viseral yang resisten terhadap
insulin; b) penurunan kadar NO karena resistensi insulin yang dapat menyebabkan
disfungsi endotel; c) peningkatan reseptor AT1 dan ekspresi endotelin-1; d)
peningkatan reabsorpsi natrium di tubulus proksimal serta, e) peningkatan aktii tas
simpatik.7 Pasien-pasien ini pada umumnya lebih resisten dan membutuhkan terapi
kombinasi untuk kontrol hipertensinya. Pasien hipertensi dan juga diabetes melitus,
yang melibatkan resistensi insulin, lebih sulit diterapi dan pada umumnya
membutuhkan dua golongan obat antihipertensi atau lebih.
Guideline tata laksana hipertensi di antaranya adalah dari JNC 7 (2003) dan dari
ESC/ ESH (2007). Keduanya merupakan rujukan utama tatalaksana hipertensi.
Selain itu, para ahli juga menganjurkan jangan hanya memusatkan perhatian pada
angka tekanan darah, namun juga harus ditelusuri faktor-faktor risiko
kadiovaskular lainnya, adanya kerusakan target organ serta adanya penyakit
penyerta (komorbiditas). Dengan perkataan lain para ahli menyarankan pendekatan
holistik dalam tata laksana hipertensi.
Faktor risiko kardiovaskular yang perlu mendapatkan perhatian dalam terapi
hipertensi, di antaranya adalah usia lanjut, kelebihan berat badan atau obesitas,
dislipidemia yang ditandai dengan peningkatan kadar LDL ≥ 130 mg/ dL, kadar
kolesterol HDL < 40 mg/dL untuk pria dan < 50 mg/ dL untuk wanita, kadar
trigliserida ≥ 150 mg/ dL, peningkatan kadar gula darah puasa, dan resistensi
insulin serta diabetes melitus, merokok, riwayat kejadian kardiovaskular dini dalam
keluarga (pria ≤ 50 tahun, wanita > 60 tahun), gaya hidup tidak sehat (kurang
berolah raga, sedentary). Para dokter sebaiknya juga mengetahui beberapa petanda
awal/subklinis hipertensi yang harus dideteksi sebelum terjadi kerusakan end-
organ. Petanda awal ini umumnya terjadi pada beberapa organ seperti jantung,
vaskular, ginjal dan retina. Pada pemeriksaan dapat ditemukan tanda-tanda
peningkatan pulse wave velocity, small artery stif ness, penebalan intima media
(IMT) karotis, kalsii kasi koroner dan disfungsi endotel. Pada ginjal dapat
ditemukan tanda-tanda mikroalbuminuria, (albumin urin 30-300 mg sehari),
peningkatan kadar kreatinin serum serta penurunan eGFR (estimated glomerular i
ltration rate) antara 60- 90 mL/ menit. Pada funduskopi dapat dilihat perubahan
pada fundus akibat hipertensi. Pasien seringkali sudah mengalami kerusakan target
organ saat datang berobat, karena petanda awal hipertensi berlangsung
asimptomatik. Kerusakan organ target yang perlu mendapatkan perhatian di
antaranya pada jantung, vaskular, ginjal dan otak. Kerusakan jantung seperti
penebalan dinding ventrikel kiri (LVH, left ventricular hypertrophy), disfungsi
jantung sistolik dan diastolik, gagal jantung simptomatik, infark miokard, angina
pektoris, serta penyakit jantung iskemik. Gangguan vaskular yang dapat terjadi
adalah penyakit arteri perifer, stenosis arteri karotis, serta aneurisma aorta.
Gangguan pada ginjal di antaranya adalah albuminuria (> 300 mg sehari) dan
CKD. Gangguan pada otak seperti riwayat stroke atau TIA (Transient Ischemic
Attack).

II.2Gaya Hidup Pasien Hipertensi


Gaya hidup sehat menjadi bagian yang penting dalam penanganan hipertensi
dengan mengurangi berat badan untuk individu yang gemuk, mengadopsi pola
makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension), melakukan aktifitas
fisik/olahraga, menghindari alkohol, kafein dan kebiasaan merokok agar tidak
menimbulkan hipertensi berat yang mungkin disertai dengan komplikasi yang
berbahaya.
Semua pasien hipertensi harus melakukan perubahan pola hidup (therapeutic
lifestyle changes), seperti berolahraga teratur, menurunkan berat badan bagi yang
kelebihan berat badan, berhenti merokok, mengurangi asupan garam, dan lain-lain.
Pasien hipertensi dengan risiko kardiovaskuler tinggi harus diobati lebih agresif
dengan target tekanan darah yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang
memiliki risiko kardiovaskular lebih rendah. Dalam memodifikasi gaya hidup,
pasien hipertensi harus memiliki self efficacy yang tinggi untuk memotivasi dan
meyakinkan diri sendiri mampu mencapai gaya hidup yang sehat.
Gaya hidup sehat pada pasien hipertensi berguna untuk pengelolaan dan
pengendalian faktor resiko komplikasi yang mungkin terjadi dan juga mengurangi
tingkat keparahan pada pasien yang sudah mengalami komplikasi. Gaya hidup
sehat meliputi pengendalian berat badan, tidak merokok, tidak minum-minuman
beralkohol dan berkafein, berolahraga dan memonitoring/mengecek tekanan darah
secara teratur. Gaya hidup yang efektif dapat meningkatkan kemandirian,
kepercayaan diri serta kualitas hidup pasien hipertensi (Indah, Mamat, & Supriadi,
2014).

DAFTAR PUSTAKA

Amila, Sinaga J, Sembiring E, 2018. Self Efficacy dan Gaya Hidup


Pasien Hipertensi. Jurnal Kesehatan, vol 9 no.3 ; 360-365.

Hafiz, M., Weta, I. W., & Ratnawati, N. L. K. A. 2016. Faktor-Faktor


Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi Pada Kelompok Lanjut Usia
di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Petang I Kabupaten Badung Tahun 2016.
E-Jurnal Medika, 5(7), 1–23.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pusdatin Hipertensi.


Infodatin, (Hipertensi).

Lewington S, Clarke R, Qizilbash N, Peto R, Collins R. Prospective


Studies Collaboration. Age-specii c relevance of usual blood pressure to
vascular mortality: A meta-analysis of individual data for one million adults in
61 prospective studies. Lancet. 2002;360:1903-13

Novian, A. 2014. Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Diit


Pasien Hipertensi (Studi Pada Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Islam
Sultan Agung Semarang Tahun 2013). Unnes Journal of Public Health, 3(3).
Suoth, M., Bidjuni, H., & Malara, R. T. 2014. Hubungan Gaya Hidup
dengan Kejadian Hipertensi di Puskesmas Kolongan Kecamatan Kalawat
Kabupaten Minahasa Utara. Ejournal Keperawaan (E-Kp), 2(1), 1–10.

Tedjasukmana P, 2012. Tatalaksana Hipertensi. CDK-192/ vol. 39 no.


4 ; 251-255.

Anda mungkin juga menyukai