Anda di halaman 1dari 21

EVALUASI INTERAKSI PASIEN ANTIHIPETENSI RAWAT INAP RS RAWALUMBU BEKASI

PERIODE JULI - DESEMBER 2019

PROPOSAL SKRIPSI

Disusun sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar sarjana farmasi

Dosen pebimbing:

Apt,.Putu Rika V., M.Farm-Klin

Dr.Refdanita,.M.Si

Disusun oleh:

Adila Putri 19330735

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

FAKULTAS FARMASI

TAHUN AJARAN 2021


i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hipertensi merupakan “silent killer“ yang secara luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat
umum. Tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang dapat menimbulkan risiko terhadap penyakit
stroke, gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal (Palmer,Anna& Bryan Williams, 2007)

Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90
mmHg (Kalpan dan Weber, 2010). Peningkatan tekanan darah merupakan faktor risiko utama untuk
penyakit jantung koroner dan iskemik serta stroke hemoragik. Tingkat tekanan darah telah terbukti
positif dan terus berhubungan dengan risiko stroke dan penyakit jantung koroner. Dalam beberapa
kelompok usia, risiko penyakit kardiovaskular dua kali lipat untuk setiap kenaikan 20/10 mmHg tekanan
darah, mulai dari 115/75 mmHg. Selain penyakit jantung koroner dan stroke, komplikasi tekanan darah
mengangkat termasuk gagal jantung, penyakit pembuluh darah perifer, gangguan ginjal, perdarahan
retina dan gangguan penglihatan (World Health Organization, 2015).

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan masalah yang ditemukan pada masyarakat baik di
negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia. Hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi dua
jenis yaitu hipertensi primer atau esensial yang penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder
yang dapat disebabkan oleh penyakit ginjal, penyakit endokrin, penyakit jantung, dan gangguan anak
ginjal. Hipertensi seringkali tidak menimbulkan gejala, sementara tekanan darah yang terus-menerus
tinggi dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu, hipertensi perlu
dideteksi dini yaitu dengan pemeriksaan tekanan darah secara berkala (Sidabutar, 2009).

Hipertensi sangat erat hubungannya dengan faktor gaya hidup dan pola makan. Gaya hidup sangat
berpengaruh pada bentuk perilaku atau kebiasaan seseorang yang mempunyai pengaruh positif maupun
negatif pada kesehatan. Hipertensi belum banyak diketahui sebagai penyakit yang berbahaya, padahal
hipertensi termasuk penyakit pembunuh diam-diam, karena penderita hipertensi merasa sehat dan
tanpa keluhan berarti sehingga menganggap ringan penyakitnya. Sehingga pemeriksaan hipertensi
ditemukan ketika dilakukan pemeriksaan rutin/saat pasien datang dengan keluhan lain. Dampak
gawatnya hipertensi ketika telah terjadi komplikasi, jadi baru disadari ketika telah menyebabkan
gangguan organ seperti gangguan fungsi jantung koroner, fungsi ginjal, gangguan fungsi kognitif/stroke.
Hipertensi pada dasarnya mengurangi harapan hidup para penderitanya. Penyakit ini menjadi muara
beragam penyakit degeneratif yang bisa mengakibatkan kematian. Hipertensi selain mengakibatkan
angka kematian yang tinggi juga berdampak kepada mahalnya pengobatan dan perawatan yang harus
ditanggung para penderitanya. Perlu pula diingat hipertensi berdampak pula bagi penurunan kualitas
hidup. Bila seseorang mengalami tekanan darah tinggi dan tidak mendapatkan pengobatan secara rutin
dan pengontrolan secara teratur, maka hal ini akan membawa penderita ke dalam kasus-kasus serius
bahkan kematian. Tekanan darah tinggi yang terus menerus mengakibatkan kerja jantung ekstra keras,
akhirnya kondisi ini berakibat terjadi kerusakan pembuluh darah jantung, ginjal, otak dan mata (Wolff,
2006).

Secara global, prevalensi peningkatan tekanan darah pada orang dewasa berusia 25 tahun ke atas sekitar
40% pada tahun 2008. Faktor pertumbuhan penduduk dan penuaan, jumlah penderita hipertensi yang
tidak terkontrol meningkat dari 600 juta pada tahun 1980 menjadi hampir 1 miliar pada tahun 2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3
(World Health Organization, 2013). Hipertensi menjangkiti kira-kira 50 juta penduduk United State dan
kirakira 1 milyar penduduk belahan dunia lain. Data terakhir dari Framingham Heart Study mengatakan
bahwa individu yang termasuk normotensi pada umur 55 tahun mempunyai waktu hidup 90% dengan
risiko hipertensi (Chobanian,2003). Berdasarkan data prevalensi hipertensi di Jawa Barat (Riskesdas 2007)
berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah adalah 28,8% dan hanya berdasarkan diagnosis oleh tenaga
kesehatan adalah 10,1%, sementara prevalensi berdasarkan diagnosis dan riwayat minum obat hipertensi
adalah 10,5%.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul
Evaluasi Interaksi Antihipertensi pasien rawat Inap RS Rawalumbu Bekasi periode Juli-Desember 2019.

Rumusan Masalah

Seperti apakah profil penggunaan obat antihipertensi yang diberikan pada pasien rawat inap di RS
Rawalumbu Bekasi periode juli-desember 2019?

Seperti apakah interaksi penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat inap di RS Rawalumbu
Bekasi periode juli-desember 2019?

Tujuan Penelitian

Untuk mengkaji interaksi penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat inap di RS Rawalumbu
Bekasi periode juli-desember 2019

Untuk mengidentifikasi profil penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat inap di RS Rawalumbu
Bekasi periode juli-desember 2019

1.4 Manfaat Penelitian

Evaluasi ini diharapkan agar dapat meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian.

Dapat digunakan sebagai bahan evaluasi penggunaan obat antihipertensi di RS Rawalumbu Bekasi
termasuk bagian rawat inap.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Hipertensi

A.Definisi

Hipertensi merupakan tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal dan diukur paling tidak pada tiga
kesempatan yang berbeda. Seseorang dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih
tinggi dari 140/90 mmHg (Elizabeth dalam Ardiansyah M., 2012).

Menurut Price (dalam Nurarif A.H., & Kusuma H. (2016), Hipertensi adalah sebagai peningkatan tekanan
darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Hipertensi tidak hanya
beresiko tinggi menderita penyakit jantung, tetapi juga menderita penyakit lain seperti penyakit saraf,
ginjal, dan pembuluh darah dan makin tinggi tekanan darah, makin besar resikonya.

Sedangkan menurut Hananta I.P.Y., & Freitag H. (2011), Hipertensi adalah suatu peningkatan abnormal
tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus-menerus lebih dari suatu periode. Hipertensi
dipengaruhi oleh faktor risiko ganda, baik yang bersifat endogen seperti usia, jenis kelamin dan
genetik/keturunan, maupun yang bersifat eksogen seperti obesitas, konsumsi garam, rokok dan kopi.

Menurut American Heart Association atau AHA dalam Kemenkes (2018), hipertensi merupakan silent
killer dimana gejalanya sangat bermacam-macam pada setiap individu dan hampir sama dengan penyakit
lain. Gejala-gejala tersebut adalah sakit kepala atau rasa berat ditengkuk. Vertigo, jantung berdebar-
debar, mudah lelah, penglihatan kabur, telinga berdenging atau tinnitus dan mimisan.

2.2 Etiologi

Berdasarkan penyebab hipertensi dibagi menjadi 2 golongan (Ardiansyah M., 2012) :

1) Hipertensi primer (esensial) Hipertensi primer adalah hipertensi esensial atau hiperetnsi yang 90%
tidak diketahui penyebabnya. Beberapa faktor yang diduga berkaitan dengan berkembangnya hipertensi
esensial diantaranya :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5
a) Genetik Individu dengan keluarga hipertensi memiliki potensi lebih tinggi mendapatkan penyakit
hipertensi.

b) Jenis kelamin dan usia Lelaki berusia 35-50 tahun dan wanita yang telah menopause berisiko tinggi
mengalami penyakit hipertensi.

c) Konsumsi tinggi garam atau kandungan lemak. Konsumsi garam yang tinggi atau konsumsi makanan
dengan kandungan lemak yang tinggi secara langsung berkaitan dengan berkembangnya penyakit
hipertensi.

d) Berat badan obesitas Berat badan yang 25% melebihi berat badan ideal sering dikaitkan dengan
berkembangnya hipertensi.

e) Gaya hidup merokok dan konsumsi alkohol Merokok dan konsumsi alkohol sering dikaitkan dengan
berkembangnya hipertensi karena reaksi bahan atau zat yang terkandung dalam keduanya.

2) Hipertensi sekunder Hipertensi sekunder adalah jenis hipertensi yang diketahui penyebabnya.
Hipertensi sekunder disebabkan oleh beberapa penyakit, yaitu :

a) Coarctationaorta, yaitu penyempitan aorta congenital yang mungkin terjadi beberapa tingkat pada
aorta toraksi atau aorta abdominal. Penyembitan pada aorta tersebut dapat menghambat aliran darah
sehingga terjadi peningkatan tekanan darah diatas area kontriksi.

b) Penyakit parenkim dan vaskular ginjal. Penyakit ini merupakan penyakit utama penyebab hipertensi
sekunder. Hipertensi renovaskuler berhubungan dengan penyempitan

c) satu atau lebih arteri besar, yang secara langsung membawa darah ke ginjal. Sekitar 90% lesi arteri
renal pada pasien dengan hipertensi disebabkan oleh aterosklerosis atau fibrous dyplasia (pertumbuhan
abnormal jaringan fibrous). Penyakit parenkim ginjal terkait dengan infeksi, inflamasi, serta perubahan
struktur serta fungsi ginjal.

d) Penggunanaan kontrasepsi hormonal (esterogen). Kontrasepsi secara oral yang memiliki kandungan
esterogen dapat menyebabkan terjadinya hipertensi melalui mekanisme renin-aldosteron-mediate
volume expantion. Pada hipertensi ini, tekanan darah akan kembali normal setelah beberapa bulan
penghentian oral kontrasepsi.

e) Gangguan endokrin. Disfungsi medulla adrenal atau korteks adrenal dapat menyebabkan hipertensi
sekunder. Adrenalmediate hypertension disebabkan kelebihan primer aldosteron, kortisol, dan
katekolamin.

f) Kegemukan (obesitas) dan malas berolahraga.

g) Stres, yang cenderung menyebabkan peningkatan tekanan darah untuk sementara waktu.

h) Kehamilan

i) Luka bakar

j) Peningkatan tekanan vaskuler

k) Merokok.

Nikotin dalam rokok merangsang pelepasan katekolamin. Peningkatan katekolamin mengakibatkan


iritabilitas miokardial, peningkatan denyut jantung serta menyebabkan vasokortison yang kemudian
menyebabkan kenaikan tekanan darah.

Hipertensi primer terjadi karena keturunan hal ini menunjukkan faktor genetik berperan didalamnya.
Pada hipertensi sekunder, disfungsi renal akibat penyakit gagal ginjal kronik merupakan penyebab yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6
paling sering selain penyakit-penyakit komorbid dan penggunaan obat-obatan tertentu yang dapat
meningkatkan tekanan darah (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

Hipertensi dapat disebabkan oleh penyebab yang spesifik (hipertensi sekunder) dan dapat disebabkan
karena etiologi yang tidak spesifik (hipertensi primer atau esensial). Kurang dari 10% hipertensi sekunder
disebabkan oleh penyakit gagal ginjal kronis (CKD) atau renovaskular (Wells, 2015). Renovaskular
merupakan penyakit pada parenkim ginjal seperti glomerulonephritis akut dan menahun (Tambyong,
2000).

2.3 Klasifikasi Hipertensi

Menurut Tambayong (dalam Nurarif A.H., & Kusuma H. 2016), klasifikasi hipertensi klinis berdasarkan
tekanan darah sistolik dan diastolik yaitu :

Tabel 1 Klasifikasi derajat hipertensi secara klinis

No Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik(mmHg)

1 Optimal <120 <80


2 Normal 120-129 80-84
3 High Normal 130-139 85-89
4 Hipertensi
5 Grade 1(ringan) 140-159 90-99
6 Grade 2 (sedang) 160-179 100-109
7 Grade 3 (berat) 180-209 100-119
8 Grade 4 (sangat berat) >=210 >=210

2.4 Patofisiologi

Sistem Renin-angiotensin Aldosteron (RAAS)

RAAS adalah sistem endogen kompleks yang terlibat dalam pengaturan regulasi untuk mempertahankan
tekanan darah arteri. Aktivasi dan regulasi terutama diatur oleh ginjal. RAAS mengatur natrium, kalium,
dan keseimbangan cairan. Akibatnya, sistem ini secara signifikan mempengaruhi tonus pembuluh darah
dan aktivitas sistem saraf simpatik dan merupakan kontributor paling berpengaruh terhadap peraturan
homeostatis dari tekanan darah. Renin adalah enzim yang disimpan dalam sel juxtaglomerular, yang
terletak di arteriol aferen ginjal. Sekresi renin dimodulasi oleh beberapa faktor: faktor intrarenal
(misalnya, tekanan ginjal perfusi, katekolamin, angiotensin II), dan faktor ekstrarenal (misalnya, natrium,
klorida, dan kalium). Renin disekresikan ketika terjadi penurunan natrium, klorida, tekanan arteri dan
aliran darah ginjal. Katekolamin meningkatkan pelepasan renin dengan merangsang saraf simpatis pada
arteriol aferen kemudian akan mengaktifkan sel juxtaglomerular (Gray, 2005). Renin mengkatalisis
konversi angiotensinogen menjadi angiotensin dalam darah. Angiotensin I yang kemudian dikonversi
menjadi angiotensin II oleh angiotensin-converting enzyme (ACE). Setelah mengikat pada reseptor
tertentu (diklasifikasikan sebagai subtipe AT1 atau AT2), angiotensin II memberikan efek biologis di
beberapa jaringan. Reseptor AT1 terletak di otak, ginjal, miokardium, pembuluh darah perifer, dan
kelenjar adrenal. Reseptor ini penting untuk kardiovaskular dan fungsi ginjal. Reseptor AT2 terletak di
jaringan medulaadrenal, uterus, dan otak. Stimulasi reseptor AT2 tidak mempengaruhi regulasi tekanan
darah.

Angiotensin II dapat menyebabkan vasokonstriksi langsung, stimulasi pengeluaran katekolamin dari


medula adrenal, danpeningkatan aktivitas sistem saraf simpatik. Angiotensin II juga merangsang sintesis
aldosteron dari korteks adrenal. Hal ini menyebabkan meningkatnya reabsorbsi natrium dan air yang
akibatnya terjadi peningkatan volume plasma, resistensi perifer total, dan akhirnya tekanan darah
menjadi tinggi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7
b.Disfungsi endothelium

Endotelium pembuluh darah dan otot polos memiliki peran penting dalammengatur regulasi tekanan
darahyang dimediasi melalui zat vasoaktif yang disintesis oleh sel endotel. Kekurangan zat vasodilatasi
(prostasiklin dan bradikinin) atau kelebihan zat vasokonstriksi (angiotensin II dan endothelin I) dapat
mengakibatkan terjadinya hipertensi esensial, aterosklerosis, danpenyakit kardiovaskular lainnya (Dipiro,
2008). Oksida nitrat merupakan vasodilator yang diproduksi di endothelium, berfungsi melemaskan sel
epitel pembuluh darah. Pasien dengan hipertensimungkin memiliki kekurangan oksida nitrat, yang
mengakibatkan vasodilatasi yang tidak memadai (Gray, 2005).

2.5 Manifestasi Klinis

Secara unum pasien hipertensi tidak memunculkan manifestasi klinis yang khas. Pasien hipertensi akan
terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah memiliki faktor risiko tambahan tetapi kebanyakan
asimptomatik (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

2.6 Diagnosis

Hipertensi sering dikenal dengan istilah “silent killer” karena pasien dengan hipertensi primer biasanya
tanpa gejala. Meningkatnya tekanan darah dalam pemeriksaan merupakan tanda pemeriksaan fisik yang
dapat dijumpai pada pasien hipertensi. Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan berdasarkan satu kali
pengukuran tekanan darah. Diagnosis hipertensi dapat dilakukan jika dalam minimal dua kali pengukuran
tekanan darah yang dilakukan selama dua atau lebih pertemuan klinis memberikan nilai rata-rata
tekanan darah. Nilai rata-rata tekanan datah kemudian digunakan untuk menetapkan diagnosis dan
untuk mengklasifiksikan tahap hipertensi (Dipiro, 2005).

2.7 Komplikasi Hipertensi

Hipertensi yang terjadi dalam jangka waktu lama akan merusak endotel arteri dan mempercepat proses
aterosklerosis. Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita hipertensi adalah rusaknya organ tubuh
seperti jantung, mata, ginjal, otak dan pembuluh darah besar. Hipertensi juga menjadi faktor risiko utama
untuk penyakit serebrovaskular (stroke dan transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark
miokard dan angina), gagal ginjal, demensia dan arterial fibralasi. Pasien dengan hipertensi memiliki
peningkatan risiko untuk penyakit coroner, stroke, penyakit arteri perifer dan gagal jantung (Dosh, 2001)

2.8 Terapi Hipertensi

2.8.1.Target Terapi Hipertensi

Tujuan terapi hipertensi adalah menurunkan nilai mortilitas dan morbiditas yang berhubungan dengan
hipertensi. Mortilitas dan morbiditas ini berhubungan dengan kerusakan organ target (misalkan kejadian
kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal jantung, penyakit ginjal) (Direktorat Bina Farmas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8
Komunitas dan Klinik, 2006). Target terapi hipertensi berdasarkan JNC8 adalah sebagai berikut:

Populasi umum usia ≥ 60 tahun: menurunkan tekanan darah sistolik menjadi <150 mmHg dan diastolik
menjadi <90 mmHg

Populasi umum berumur< 60 tahun, terapi dimulai ketika tekanan darah diastoliknya ≥ 90 mmHg. Target
penurunan tekanan darahnya adalah < 90 mmHg.

Populasi umum usia < 60 tahun, terapi dimulai ketika tekanan darah sistoliknya ≥ 140 mmHg. Target
terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 140 mmHg

Populasi usia ≥ 18 tahun menderita penyakit ginjal kronik, terapi dimulai ketika tekanan darah sistoliknya
≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastoliknya ≥ 90 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan
darah sistolik menjadi < 140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg.

Populasi usia 18 tahun yang menderita diabetes, terapi dimulai ketika tekanan darah sistoliknya ≥ 140
mmHg atau diatoliknya ≥ 90 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi <
140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg (James, 2014).

Terapi Non Farmakologi

Penderita hipertensi perlu melakukan perubahan dalam gaya hidup untuk mengurangi perkembangan
hipertensi.

Terapi Farmakologi

Terdapat 4 golongan obat yang menjadi lini pertama dalam terapi hipertensi golongan obat tersebut
adalah Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEi), angiotensin II receptor blockers (ARB), calcium
channel blockers (CCB), Diuretik (Wells, 2015).

Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEi)

ACE inhibitor merupakan pilihan obat lini pertama bekerja dengan memblok konversi angiotensin I
menjadi angiotensin II. ACE inhibitor adalah suatu vasokonstriktor poten dan stimulator sekresi
aldosteron. ACE inhibitor juga menghambat degradasi dari bradikinin dan merangsang sintesis zat
vasodilatasi lainnya, termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin. Dosis awal penggunaan ACE inhibitor
harus rendah dengan titrasi dosis lambat. Ace inhibitor menurunkan aldosteron dan dapat
meningkatkan konsentrasi kalium serum, namun hiperkalemia dapat terjadi terutama pada pasien
dengan CKD (Wells, 2015)

Tabel 2. Obat golongan Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEi), dosis dan frekuensi
penggunaannya (Dipiro, 2008)

Obat Dosis Penggunaan Frekuensi

(mg/hari) (penggunaan/hari)

Benzepril 10-40 1 atau 2


Captopril 25-150 2 atau 3

Enalapril 5-40 1 atau 2


Fosinopril 10-40 1

Lisinopril 10-40 1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9
Moexipril 7.5-30 1 atau 2

Perindopril 4-16 1
Quinapril 10-80 1 atau 2

Ramipril 2.5-10 1 atau 2


Trandolapril 1-4 1

Angiotensin II receptor blockers (ARB)

Angiotensin II yang dihasilkan oleh sistem renin angiotensin (yang melibatkan ACE) dan jalur alternatif
yang menggunakan enzim lain seperti chymases. ACE inhibitor memblokir hanya jalur renin-angiotensin,
sedangkan ARB memblok reseptor angiotensin II sehingga angiotensin II tidak dapat berikatan dengan
reseptornya (Wells, 2015) yaitu reseptor AT1 yang berpengaruh pada regulasi tekanan darah (Suparsari,
2006).

Tabel 3. Obat golongan Angiotensin II Receptor Blocker (ARB), dosis dan frekuensi penggunaannya

Obat Dosis Penggunaan (mg/hari) Frekuensi

(penggunaan/hari)
Candesartan 8-32 1 atau 2

Eposartan 600-800 2 atau 3


Irbesartan 150-300 1

Losartan 50-100 1 atau 2


Olmesartan 20-40 1

Telmisartan 20-80 1
Valsartan 80-320 1

C. Calcium channel blockers (CCB)

Tabel 4. Obat golongan Calcium Channel Blocker (CCB), dosis dan frekuensi penggunaannya (Dipiro, 2008)

Dosis Frekuensi
(penggunaan/hari)
Golongan Obat Penggunaan
(mg/hari)
Amlodipin 2.5-10 1

Felodopin 5-20 1
Isradipin 5-10 2

Dihidropiridin Isradipin SR 5-20 1


Nicardipin 60-120 2

Nicardipin 30-90 1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

10
long acting

Nisodipin 10-40 1
Diltiazem SR 180-360 2

Non Dihidropiridin Verapamil SR 180-480 1 atau 2


Verapamil ER 180-420 1 (malam)

Verapamil oral 100-400 1 (malam)

Calcium channel blockers (CCBs) penyebabkan relaksasi otot jantung dan mengurangi sensitifitas kanal
kalsium, sehingga mengurangi masuknya kalsium yang ada di ekstraseluler ke dalam sel. Hal ini
menyebabkan vasodilatasi dan menurunnya tekanan darah. Kanal kalsium non dihidropiridin dapat
menyebabkan aktivasi reflex simpatis, (kecuali amlodipine dan felodipin)

mungkin memiliki efek negative ionotropik. Dihidropiridin menyebabkan peningkatan refleks


baroreseptor yang dimediasi denyut jantung karena adanya efek vasodilatasi perifer. (Wells, 2015)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

11
d.Diuretik

Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan diuresis yang mengakibatkan turunya volume
plasma turunnya cardiak output. Diuretik thiazide adalah diuretik yang sering digunakan untuk sebagian
besar pasien hipertensi (Wells, 2015).

Diuretik thiazide bekerja pada segmen awal tubulus distal dengan menghambat reabsorbsi NaCl
(Suparsari, 2006) sehingga dapat menyebabkan penurunan resistensi pembuluh darah perifer dan
akibatnya akan menurunkan tekanan darah (Wells, 2015). Penggunaan diuretik tiazid pada pasien dengan
riwayat gout atau hiperglikemia memerlukan pemantauan (Dipiro, 2008) karena dapat menghambat
ekskrei urat oleh ginjal sehingga meningkatkan kasar asam urat serta menghambat pelepasan insulin dari
pankreas (Komala, 2008).

Diuretik loop bekerja pada segmen angsa henle asendens dengan menghanbat reabsorbsi NaCl. Diuretik
loop memiliki efek diuresis yang lebih kuat dari diuretik thiazide namun bukan yang ideal jika digunakan
untuk pasien hipertensi kecuali untuk pasien hipertensi yang mengalami edema akibat CKD yang dialami
pasien ketika nilai GFR kurang dari 30 ml/menit/1, 732m2 (Dipiro, 2008) selain digunakan untuk pasien
yang memiliki nilai GFR rendah, diuretik loop digunakan juga untuk pasien yang mengalami kedaruratan
hipertensi dan juga digunakan untuk menurunkan kadar serum kalium (Chandranata, 2004).

Penggunaan diuretik loop perlu diperhatikan karena penggunaan dengan dosis tinggi dapat menginduksi
perubahan komposisi elektrolit dalam endolimfe dan menyebabkan ketulian (Suparsari, 2006).

Diuretik hemat kalium merupakan diuretik yang penggunaannya sering dikombinasikan dengan diuretik
lainnya yang akan membuang kalium (Wells, 2015). Diuretik hemat kalium bekerja dengan menurunkan
reabsorbsi Na+ dengan memblok kanal Na+ sehingga potensial listrk epitel tubulus menurun akibatnya
sekresi K+ terhambat (Suparsari, 2006).

Spironolakton dan Eplerenon merupakan diuretik yang bekerja dengan menurunkan reabsorbsi Na+
dengan mekanisme antagonis aldosterone sehingga terjadi retensi Na+ (Suparsari 2006), Spironolakton
memiliki kerja serupa dengan diuretik hemat kalium (Chandranata, 2004).

Tabel 5. Obat golongan Diuretik, dosis dan frekuensi penggunaannya (Dipiro, 2008)
Golongan Obat Range dosis Frekuensi

(mg/hari) pemakaian

Klortalidon 12.5-25 1

Diuretik tiazid Hidroklortiazid 12.5-25 1


Idapamide 12.5-25 1

Metolazon 2.5-5 1
Bumetanid 0.5-4 2

Diuretik Loop Furosenmid 20-80 2


Torsemid 5-10 1

Diuretik Hemat Amilorid 5-10 1 atau 2


Kalium
Triamterin 50-100 1 atau 2

Antagonis Eplerenon 50-100 1 atau 2


Aldosteron
Spironolakton 25-50 1 atau 2

B. Interaksi

1.Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat (drug-related
problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat
mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat terjadi ketika
farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu
atau lebih zat yang berinteraksi (Piscitelli, 2005). Dua atau lebih obat yang diberikan
pada waktu yang sama dapat berubah efeknya secara tidak langsung atau dapat
berinteraksi.

Interaksi bisa bersifat potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau
adakalanya beberapa efek lainnya (BNF 58, 2009). Suatu interaksi terjadi ketika efek
suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen
kimia lainnya dalam lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah
ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir
bersama satu dengan yang lainnya (Stockley, 2008). Interaksi obat dianggap penting
secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas
obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang
sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-
obat sitostatik (Setiawati, 2007).

Mekanisme interaksi obat


Mekanisme Interaksi Obat Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat
lainnya (B) dengan satu dari dua mekanisme berikut:

1. Modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di cairan


jaringan (interaksi farmakodinamik).

2. Mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya (interaksi


farmakokinetik).

a. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B sempit
(misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan menyebabkan kehilangan efikasi dan atau
peningkatan sedikit saja efek akan menyebabkan toksisitas).

b. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena kurva dosis-respon curam (sehingga
perubahan sedikit saja konsentrasi plasma akan menyebabkan perubahan efek secara
substansial).

c. Untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan yang sedikit besar
konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik seperti penisilin hampir tidak
menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas keamanannya lebar.

d. Sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas terapi yang
sempit, interaksi obat dapat menyebabkan masalah utama, sebagai contohnya obat
antitrombotik, antidisritmik, antiepilepsi, litium, sejumlah antineoplastik dan obat-obat
imunosupresan. (Hashem, 2005).

Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat :

1. Interaksi Farmakokinetik Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat


mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga
meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek
farmakologisnya (BNF 58, 2009). Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :

a. Interaksi pada absorbsi obat

i. Efek perubahan pH gastrointestinal Obat melintasi membran mukosa dengan difusi


pasif tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak
terionkan. Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi
usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh
adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada
pada pH tinggi (Stockley, 2008).

ii. Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek Arang aktif dimaksudkan
bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau
untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan
obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah
besar obat-obatan. Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat
dengan sejumlah ion logam divalen dan trivalen, seperti kalsium, bismut aluminium, dan
besi, membentuk kompleks yang kurang diserap dan mengurangi efek antibakteri
(Stockley, 2008).
iii. Perubahan motilitas gastrointestinal Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap
di bagian atas usus kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat
mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya, menghambat pengosongan lambung dan
mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminofen), sedangkan metoklopramid
memiliki efek sebaliknya (Stockley, 2008).

iv. Induksi atau inhibisi protein transporter obat Ketersediaan hayati beberapa obat
dibatasi oleh aksi protein transporter obat. Saat ini, transporter obat yang
terkarakteristik paling baik adalah Pglikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein,
dan obat-obatan yang menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi
ketersediaan hayati digoksin (Stockley, 2008).

v. Malabsorbsi dikarenakan obat Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan


dapat mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan
metotreksat (Stockley, 2008).

b.Interaksi pada distribusi obat

i. Interaksi ikatan protein Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh
tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak
yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat
dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat
reversibel, kesetimbangan dib 26 molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya
molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).

ii. Induksi dan inhibisi protein transport obat Distribusi obat ke otak, dan beberapa
organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-
glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat
berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan
penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS
(Stockley, 2008).

c. Interaksi pada metabolisme obat

i. Perubahan pada metabolisme fase pertama Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari
tubuh dalam bentuk tidak berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah
menjadi senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika
tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan
efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme,
biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadangkadang detoksifikasi. Beberapa
metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar
dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati.
Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan
oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar.
Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam
glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) 27 untuk membuat senyawa yang tidak
aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley,
2008).
ii. Induksi Enzim Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus
dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang sama,
alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga
meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008).

iii. Inhibisi enzim Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat,


sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang
mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk berkembang
sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3 hari, sehingga terjadi
perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat
adalah fase I oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak
interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika
serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis
(Stockley, 2008).

iv. Faktor genetik dalam metabolisme obat Peningkatan pemahaman genetika telah
menunjukkan bahwa beberapa isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik,
yang berarti bahwa beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda
aktivitas. Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian 28 kecil populasi
memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai metabolisme lambat. Sebagian
lainnya memiliki isoenzim cepat atau metabolisme ekstensif. Kemampuan yang berbeda
dalam metabolisme obat-obatan tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien
berkembang mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang lain bebas dari
gejala (Stockley, 2008).

v. Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi Siklosporin dimetabolisme
oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim ini, sedangkan ketokonazol
menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek
siklosporin sementara ketokonazol meningkatkannya (Stockley, 2008).

d. Interaksi pada ekskresi obat

i. Perubahan pH urin Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-
7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak dapat
berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari
tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan demikian,
perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan
hilangnya obat (Stockley, 2008).

ii. Perubahan ekskresi aktif tubular renal Obat yang menggunakan sistem transportasi
aktif yang sama di tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi.
Sebagai contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. Dengan 29
meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada ginjal, sekarang
diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal banyak obat anionik lain dengan
transporter anion organik (OATs) (Stockley, 2008).

iii. Perubahan aliran darah renal Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi
vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi
beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).
Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek
farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi
karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obatobat yang bekerja pada sistem
fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang
farmakologi obat-obat yang berinteraksi (BNF 58, 2009).

a. Interaksi aditif atau sinergis Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama
diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP,
jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya
ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang-
kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas,
depresi sumsum tulang dan perpanjangan interval QT) (Stockley, 2008).

b. Interaksi antagonis atau berlawanan Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa
pasang obat dengan kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin
dapat memperpanjang waktu pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat
efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat
dan waktu protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat terapi
pengobatan antikoagulan (Stockley, 2008).

C Faktor-faktor Penyebab Interaksi Obat

Sekarang ini, potensi efek yang tidak terduga sebagai akibat dari interaksi antara obat
dan obat lain atau makanan telah ditetapkan. Risiko interaksi obat akan meningkat
seiring dengan peningkatan jumlah obat yang digunakan oleh individu. Hal ini juga
menyiratkan risiko yang lebih besar pada orang tua dan mengalami penyakit kronis,
karena mereka akan menggunakan obat-obatan lebih banyak daripada populasi umum.
Risiko juga meningkat bila rejimen pasien berasal dari beberapa resep. Peresepan dari
satu apotek saja mungkin dapat menurunkan risiko interaksi yang tidak terdeteksi
(McCabe, et.al., 2003). Interaksi obat potensial seringkali terjadi pada pasien rawat inap
yang diresepkan banyak pengobatan. Prevalensi interaksi obat meningkat secara linear
seiring dengan peningkatan jumlah obat yang diresepkan, jumlah kelas obat dalam
terapi, jenis kelamin dan usia pasien (Mara and Carlos, 2006).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Dan Rancangan Penelitian

Penelitian interaksi obat antihipertensi pada pasien rawat inap di RS Rawalumbu Bekasi
periode juli- desember 2019 merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan
penelitian case series yang bersifat prospektif.

Penelitian deskriptif adalah penelitian yang menggambarkan atau mendeskripsikan


suatu fenomena, kejadian, kondisi, fakta, dan lain-lain. Penelitian observasional tidak
membandingkan satu kelompok dengan kelompok lainnya dan tidak memerlukan
hipotesis, sehingga tidak perlu melakukan uji statistik (Swarjana, 2012).

Penelitian case series adalah penelitian yang terdiri dari sekelompok pasien yang telah
terdiagnosis dengan kondisi yang sama selama periode tertentu dimana tidak terdapat
kelompok pembanding. Case series menetapkan kasus tunggal spesifik dan
menjadikannya dalam satu laporan. Penelitian prospektif merupakan salah satu
penelitian yang mengikuti proses perjalanan penyakit kedepan berdasarkan urutan
waktu (Apparasu, 2015).

Variable Penelitian Dan Definisi Opersional

Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini berupa hasil pemeriksaan laboratorium, penggunaan obat
antihipertensi dan kondisi pasien rawat inap di RS Rawalumbu Bekasi periode Juli-
Desember 2019.

Definisi operasional

Hasil pemeriksaan laboratorium yang dimaksud adalah hasil pemeriksaan hematologi,


hitung jenis, fungsi hati, fungsi ginjal, glukosa sewaktu, dan elektrolit. Hasil pemeriksaan
laboratorium ini digunakan untuk melihat apakah efek interaksi obat terjadi pada
pasien.

Obat antihipertensi adalah obat-obat yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah
dan efeknya dapat terlihat melalui penurunan tekanan darah saat dilakukan pengukuran
yaitu golongan ACEi, ARB, CCB dan diuretik golongan tiazid (JNC 8, 2014).

Kondisi pasien yang dimaksud adalah pemeriksaan tanda vital yang terdapat dalam
rekam medis meliputi suhu, tekanan darah, laju pernapasan dan denyut nadi.

Evaluasi interaksi penggunaan obat dilakukan dengan membedakan interaksi


berdasarkan kriteria sifat interaksi meliputi minor, signifikan, serius dan mekanisme
interaksi meliputi interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik.
Interaksi obat adalah kemungkin terjadinya interaksi antara obat antihipertensi dengan
obat lain yang digunakan pasien selama menjalani pengobatan di rumah sakit
berdasarkan Medscape (2015).

Interaksi minor adalah jika kemungkinan potensial interaksi kecil dan efek interaksi yang
terjadi tidak menimbulkan perubahan pada status klinis pasien.

Interaksi signifikan adalah kemungkinan potensial interaksi dan efek interaksi yang
terjadi mengakibatkan perubahan pada kondisi klinis pasien.

Interaksi serius adalah jika kemungkinan kejadian interaksi tinggi dan efek samping
interaksi yang terjadi dapat membahayakan nyawa pasien.

Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang menyebabkan perubahan pada proses


absorbsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi dari suatu obat karena pengaruh obat
lain.

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang bekerja pada
sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologis yang sama sehingga dapat
menimbulkan efek yang aditif, sinergis, atau antagonis tanpa mempengaruhi kadar obat
dalam plasma.

Interaksi aktual adalah interaksi yang berdasarkan referensi menunjukkan adanya


interaksi obat dan interaksi tersebut terjadi pada pasien yang dilihat dari kondisi klinis
pasien berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dan tanda vital. Sedangkan interaksi
potensial adalah interaksi yang berdasarkan referensi menunjukkan adanya interaksi
tetapi interaksi tersebut tidak terjadi pada pasien. Interaksi tidak diketahui adalah
interaksi yang tidak dapat dikategorikan interaksi aktual atau potensial karena tidak
terdapat hasil pemeriksaan laboratorium sebagai indicator.

Komplikasi penyakit hipertensi yang dimaksud adalah gangguan pada jantung, mata,
ginjal, otak dan pembuluh darah besar, penyakit arteri koroner, gagal ginjal, demensia
dan arterial fibralasi.

Penyakit penyerta yang dimaksud adalah anemia, vertigo, pneumonia, bronkhitis kronis,
infeksi saluran kemih, dan GERD.

Kasus yang dimaksud adalah setiap hari rawat masing masing pasien selama menjalani
rawat inap. Kasus yang dievaluasi adalah setiap hari rawat subjek penelitian.

C Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan obat


pada pasien terdiagnosa hipertensi yang dirawat inap RS Rawalumbu Bekasi periode juli-
desember 2019.
DAFTAR PUSTAKA

Anna Palmer dan Bryan Williams. (2007). Tekanan Darah Tinggi. Jakarta:Erlangga

Ardiansyah, M. 2012. Medikal Bedah. Yogyakarta: DIVA Press.

Apparasu, R. R. and Bentley, J. P., 2015, Principles of Research Design and Drug
Literature Evaluation, John & Bartlett Learning, Burlington, p. 36, 106.

Chandranata, L., 2004, Belajar Mudah Farmakologi, Penerbit Buku Kedokteran ECG,
Jakarta, Hal. 76-91.

Chobanian, A. V. 2003. Classification of Blood Pressure dalam The Seventh

Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection Evaluation, and


Treatment of High Blood Pressure. National Heart, Lung,and Blood Institute. pp : 3-19

Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., Posey, L. M., 2008,
Pharmacotherapy Apathophysiologic Approach, 7th edition, McGraw Hill Education, USA,
pp. 139-167

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006, Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Hipertensi, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI,
Jakarta, hal. 3, 7, 10.

Dosh, S.A. 2001. The Diagnosis of Essential and Secondary Hypertension in Adults.
J. Fam Pract 50:707-712.

Gray, H.H., Dawkins, K.D., Morgan, J.M., Simpson, I.A. 2005. Hipertensi. Lecture Notes
Kardiologi. Edisi ke-4. Jakarta: Erlangga. p.57-69

Hananta I.P.Y., Freitag H (2011). Deteksi Dini dan Pencegahan Hipertensi dan
Stroke.Yogyakarta : MedPress.

James, P.A., Oparil, S., Carter, B.L., Cushman, W.C., Himmelfarb, C.D., Handler, J., et al,
2014, 2014 Evidence Based Guideline For The Management of High Blood Pressure in
Adult: Report Form The Panel Member Appointed to Eight Joint National Committee
(JNC 8), JAMA, 311 (5), pp. 507-520

Komala, S., 2008, Catatan Kuliah Farmakologi klinik, edisi 4, Penerbit buku
kedokteran EGC, Jakarta, hal. 87-103.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan


Penerapan Diagnosa Nanda, Nic, Noc dalam Berbagai Kasus. Yogyakarta: Penerbit
Mediaction

[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.

Setiawati, A., 2007, Interaksi Obat dalam: Farmakologi dan Terapi, Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, Jakarta, Hal. 862- 867.

Suparsari, J., 2006, Farmakologi Medis, edisi ke-5, Penerbit erlangga, Jakarta, hal.

34-37.

Stockley, I.H., 2008, Stockley’s Drug Interaction, Eighth Edition, Pharmaceutical Press,
London, p. 2-11, 23, 36.

Swarjana, I. K. 2012, Metodologi Penelitian Kesehatan, Penerbit Andi, Yogyakarta, hal.


51-52.

Tambyong, J., 2000, Patofisiologi Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
hal. 96.

Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V., 2015, Pharmacotherapy
Handbook, 9th Edition, McGraw Hill Education, USA, pp. 87, 88, 90-99.

World Health Organization, 2013, A Global Brief on Hypertension, WHO Press, Geneva,
pp. 10.

World Health Organzation,


2015http://www.who.int/gho/ncd/risk_factors/blood_pressure

_prevalence_text/en/diakses tanggal 8 maret 2015

Wolff, H. P. 2006. Hipertensi. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, Gramedia

Anda mungkin juga menyukai