Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN

PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

Efek Lokal Obat (Metode Anastesi Lokal)

Disusun Oleh

Nama : Adila Putri

NIM : 19330735

PROGRAM STUDI FARMASI


INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

 Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat


berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik
yang minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress
secara lebih sempurna.
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan
ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat
metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudo-
kolinesterase di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis di
hati. Perbedaan ini juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi, dimana
golongan ester turunan dari p-amino-benzoic acid memiliki frekwensi kecenderungan alergi
lebih besar. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita untuk golongan ester adalah
prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan bupivakain.  Mekanisme kerja obat
anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan menghambat
pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada membrane saraf.
Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan  perlambatan kecepatan
depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai  sehingga potensial aksi tidak
disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah potensial istirahat transmembran atau ambang
batas potensial.  Farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
Komplikasi obat anestesi lokal yaitu efek samping lokal pada tempat suntikan dapat timbul
hematom dan abses sedangkan efek samping sistemik antara lain neurologis pada Susunan
Saraf  Pusat, respirasi, kardiovaskuler, imunologi ,muskuloskeletal dan hematologi  Beberapa
interaksi obat anestesi lokal antara lain pemberian bersamaan dapat meningkatkan potensi
masing-masing obat. penurunan metabolisme dari anestesi lokal  serta meningkatkan potensi
intoksikasi.

2. Tujuan
1. Mengenal berbagai teknik untuk menyebabkan anastesi local pada hewan coba.
2. Memahami faktor yang melandasi perbedaan dalam sifat dan potensi kerja anastetika local.
3. Memahami faktor yang mempengaruhi potensi kerja anastetika local.
3. PRINSIP PERCOBAAN
1.      Penandaan hewan dilakukan dengan cara menandai bagian ekor hewan dengan
menggunakan spidol permanen dengan bentuk-bentuk tertentu
2.     Dengan membandingkan faktor yang mempengaruhi efek utama.anastetik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. TEORI DASAR

Obat yang digunakan dalam menimbulkan anastesia disebut sebagai anestetik, dan


kelompok obat ini dibedakan dalam anastetik umum dan anastetik local. Bergantung  pada
dalamnya pembiusan, anastetik umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya
sensasi nyeri , atau efek anestesia yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran,
sedangkan aestetik local hanya dapat menimbulkan efek analgesia. Anestetik umum bekerja
di susunan saraf  pusat  sedangkan anesteti local bekerja langsung pada serabut saraf di perifer

Dasar saraf pusat sangat peka terhadap obat-obatan,akibatnya sebagian besar obat-
obatan jika diberikan dalam dosis yang cukup besar menimbulkan efek yang mencolok
terhadap neurotransmisi diberbagai system saraf pusat. Kerja neurotransmitter di pascasinaps
akan diikuti dengan pembentukan  second messenger dalam hal ini cAMP yang selanjutnya
mengubah tansmisi di neuron. Disamping asetilkolin sebagai neurotransmitter klasik, dikenal
juga katekolamin, serotonin, GABA, adenosine serta berbagai asam amino dan peptide
endogen yang bertindak sebagai neurotransmitter atau yang memodulasi neurotransmitter di
SSP, misalnya asam glutamate dengan mekanisme hambatan pada reseptor NMDA (N- metal-
D- Aspartat).

Anastetik umum dikelompokkan berdasarkan bentuk fisiknya, tetapi pembagian ini


tidak sejalan dengan penggunaan di klinik yang pada dasarnya dibedakan atas 2 cara, yaitu
secara inhalasi atau intravena. Eter, halotan, enfluran, isofluran, metoksifluran, etiklorida,
trikloretilen, dan fluroksen merupakan cairan yang mudah menguap  Yang dieliminasi
melalui saluran pernapasan.meskipun zat-zat ini kontak dengan pasien hanya beberapa jam
saja, namun dapat menimbulkan aritmia pada jantung selama proses anastetika berlangsung

Terlepas dari cara penggunaannya suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus
memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal sebagai” Trias Anastesia”, yaitu efek hipnotik
(menidurkan), efek analgesia, dan efek relaksasi otot.

Secara tradisional, efek anastetika dibagi dalam 4 tahap  menurut kedalaman depresi sistem
saraf pusat (SSP) :

1.Tahap Analgesia
Pada awalnya penderita mengalami analgesia tanpa amnesia. Analgesia dan amnesia akan
terjadi pada tahap pertama.

2.Tahap Eksitasi  (Excitement)


Pada tahap ini penderita akan mengigau dan tampak gelisah meskipun dalam kondisi amnesia.
Kecepatan dan volume napas tidak beraturan. Penderita dapat meronta muntah dan kadang
tidak dapat mengendalikan pengeluaran urin. Oleh karena itu alasan – alasan di atas, berbagai
usaha telah dilakukan untuk membatasi lamanya tahap ini yang diakhiri dengan normalnya
kembali nafas.

3.Tahap Pembedahan
Tahap ini diawali dengan kembalinya nafas secara normal hingga berhentinya nafas secara
mendadak. Empat tingkatan pada tahap ke tiga ditandai dengan perubahan gerakan bola mata,
refleks mata dan ukuran pupil, yang dalam kondisi tertentu gejala makin dalamnya anastesi.

4.Tahap Depresi Medula


Tahap keempat diawali dengan berhenti totalnya nafas spontan. Tahap ini meliputi depresi
berat pada pusat vasomotor dan pusat nafas di medula. Tanpa bantuan bantuan penuh dari alat
bantu sirkulasi dan nafas maka kematian akan terjadi dengan cepat.

Anastetika local adalah obat yang menghambat konduksi saraf apabila dikenakan secara local
pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Contoh anastetika local adalah kokain dan ester
asam para amino benzoate (PABA) yaitu prokain dan lidokain. Beberapa teknik untuk
menyebabkan anastesi local pada hewan coba di antaranya:

- Anastesi local metode permukaan Efek anastesi ini tercapai ketika anastetika local
ditempatkan di daerah yang ingin dianastesi.

- Anastesi local metode regnier Mata normal apabila disentuh pada kornea akan memberikan
respon refleks ocular (mata berkedip). Jika diteteskan anstestika local, respon refleks ocular
timbul setelah beberapa kali kornea disentuh sebanding dengan kekuatan kerja anastetika dan
besaran sentuhan yang diberikan. Tidak adanya respon refleks ocular setelah kornea disentuh
100 kali dianggap sebagai tanda adanya anastesi total.

- Anastesi local metode infiltrasi Anastetika local yang disuntikkan ke dalam jaringan akan
mengakibatkan kehilangan sensasi pada struktur sekitarnya.

- Anastesi local metode konduksi Respon anastesi local yang disuntikkan ke dalam jaringan
dilihat dari ada/ tidaknya respon Haffner. Respon Haffner adalah refleks mencit yang apabila
ekornya dijepit, maka terjadi respon angkat ekor/ mencit bersuara
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 ALAT DAN BAHAN

Alat BAHAN

Anastesi Lokal Metode Permukaan

Gunting Tetes mata prokain HCl 2% sebanyak 1-2 tetes

Aplikator Tetes mata lidokain HCl 2% sebanyak 1-2 tetes

kotak kelinci Kelinci (jumlah 1 ekor),

stop watch

3.2 PROSEDUR KERJA

1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu aplikator.

2. Sebelum pemberian obat, cek ada/ tidaknya respon refleks ocular mata (mata berkedip) dengan
menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-0.

CATATAN: Jangan terlalu keras menggunakan aplikator dan ritme harus diatur.

3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci: a. Mata kanan : tetes mata prokain HCL 2%
sebanyak 1-2 tetes b. Mata kiri : tetes mata lidokain HCl 2% sebanyak 1-2 tetes

4. Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama satu menit.

5. Cek ada/ tidaknya respon refleks ocular mata (mata berkedip) dengan menggunakan aplikator pada
kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-5, 10, 15, 20, 30, 45, 60.

6. Catat dan tabelkan pengamatan.

7. Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada kedua mata kelinci.

3.3 ALAT DAN BAHAN

Anastesi Lokal Metode Regnier

Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ±1,5 kg

BAHAN : - Tetes mata prokain HCl 2% sebanyak 1-2 tetes - Tetes mata lidokain HCl 2% sebanyak
1-2 tetes

ALAT: Gunting, aplikator, kotak kelinci, stop watch


3.4 PROSEDUR KERJA:

1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu aplikator.

2. Sebelum pemberian obat, cek ada/ tidaknya respon refleks ocular mata (mata berkedip) dengan
menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-0. CATATAN: Jangan
terlalu keras menggunakan aplikator dan ritme harus diatur.

3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci: a. Mata kanan : tetes mata prokain HCl 2%
sebanyak 1-2 tetes b. Mata kiri : tetes mata lidokain HCl 2% sebanyak 1-2 tetes

4. Tutup kelopak mata kelinci selama satu menit.

5. Cek ada/ tidaknya respon refleks ocular mata (mata berkedip) dengan menggunakan aplikator pada
kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-8, 15, 20, 25, 30, 40, 50, 60.

6. Ketentuan metode Regnier:

a. Pada menit ke-8: - Jika pemberian aplikator sampai 100 kali tidak ada respon refleks okuler

 maka dicatat angka 100 sebagai respon negative. - Jika pemberian aplikator sebelum 100 kali
terdapat respon refleks okuler

 maka dicatat angka terakhir saat memberikan respon sebagai respon negative.

b. Pada menit ke-15, 20, 25, 30, 40, 50, 60:

- Jika pemberian aplikator pada sentuhan pertama terdapat respon refleks okuler  maka dicatat
angka 1 sebagai respon negative dan menit-menit yang tersisa juga diberi angka 1.

c. Jumlah respon refleks okuler negative dimulai dari menit ke-8 hingga menit ke60. Jumlah ini
menunjukkan angka Regnier dimana efek anastetika local dicapai pada angka Regnier minimal 13
dan maksimal 800.

7. Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada mata kanan dan kiri
kelinci.

8. Catat dan tabelkan pengamatan


DAFTAR PUSTAKA

Katzung, Bertram. G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika : Jakarta.

Ernst Mutschler. 1986. Dinamika Obat, Farmakologi dan Toksikologi (terjemahan),


ITB : Bandung

http://www.academia.edu/5420364/Jurnal_Anestesiologi_Indonesia

Mardjono,Mahar.(1995).Farmakologi dan Terapi Edisi 4,Jakarta,Gaya Baru.

Mardjono, Mahar.(2007). Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Jakarta, Gaya Baru.

Anda mungkin juga menyukai