Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN HIPERTENSI

A. Definisi

Menurut WHO, Hipertensi adalah suatu kondisi dimana pembuluh darah memiliki
tekanan darah tinggi (tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥
90 mmHg) (Sunarwinadi, 2017).
Hipertensi sering dijuluki sebagai silent killer atau pembunuh diam-diam karena
dapat menyerang siapa saja secara tiba-tiba serta merupakan salah satu penyakit yang
dapat mengakibatkan kematian. Hipertensi juga beresiko menimbulkan berbagai macam
penyakit lainnya yaitu seperti gagal jantung, jantung koroner, penyakit ginjal dan stroke,
sehingga penanganannya harus segera dilakukan sebelum komplikasi dan akibat buruk
lainnya terjadi seperti dapat menurunkan umur harapan hidup penderitanya. (Sulastri,
Elmatris, and Ramadhani, 2012).
Hipertensi pada lansia dibedakan atas hipertensi dimana tekanan sistolik
sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan atau tekanan diastolik sama atau lebih
besar dari 90 mmHg, serta hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik
lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg
(NOC, 2015).

B. Etiologi

Faktor penyebab penyakit hipertensi yaitu faktor demografi seperti umur, jenis
kelamin, keturunan dan etnis, faktor perilaku seperti obesitas, stress, kebiasaan merokok
dan konsumsi alkohol, serta asupan yang salah.
a. Faktor Demografi
1) Umur
Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
hipertensi. Tekanan darah akan naik dengan bertambahnya umur terutama
setelah umur 40 tahun. Hal ini disebabkan oleh perubahan struktur pada
pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding
pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibat dari peningkatan tekanan
darah sistolik. (Anggi K, 2008).

2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin sangat berpengaruh pada terjadinya hipertensi. Pada
umumnya pria lebih rentan terkena penyakit hipertensi dibandingkan dengan
wanita. Seorang ahli mengatakan bahwa pria lebih banyak menderita hipertensi
dibandingkan wanita dengan rasio 2.29 mmHg untuk peningkatan darah
sistolik. Hal ini dipengaruhi oleh hormon estrogen pada wanita yang
meningkatkan kadar HDL sehingga melindungi wanita dari
hipertensi (Kartikasari, 2012). Namun apabila wanita memasuki masa menopause maka
resiko hipertensi meningkat sehingga prevalensinya lebih tinggi dibandingkan dengan
pria. Hal ini disebabkan oleh produksi hormone estrogen menurun pada saat menopause
sehingga menyebabkan meningkatnya tekanan darah
(Artiyaningrum, 2016).

3) Keturunan (Genetik)
Salah satu faktor hipertensi adalah tingginya peranan faktor keturunan yang
mempegaruhi. Faktor genetik berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin
membran sel. Menurut Davidson bila kedua orang tuanya menderita hipertensi maka
sekitar 45% akan diturunkan kepada anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya
menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun kepada anak-anaknya.
4) Konsumsi Alkohol
Mengonsumsi alkohol dapat mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit
salah satunya yaitu hipertensi, karena zat-zat yang terkandung dalam alkohol sangat
berbahaya bagi tubuh sehingga dapat memicu timbulnya berbagai macam penyakit.(Intan,
2012)

C. Patofisiologi
Pada hipertensi essensial, faktor genetik, lingkungan serta gaya hidup dapat
mempengaruhi fungsi dan struktur sistem kardiovaskular, ginjal, dan neurohormonal hingga
menimbulkan peningkatan tekanan darah kronik.
Terkait faktor genetik, polimorfisme lokus-lokus gen yang terlibat dalam regulasireseptor
angiotensin I dan aldosterone synthase berisiko menimbulkan hipertensi.[5] Dalam suatu studi,
pada pasien hipertensi dengan partisipan etnis Cina didapatkan mutasi gen α-adducin yang
berperan dalam aktivitas enzimatik pompa ion Na+/K+/ATPase terkait absorpsi sodium di
ginjal mengakibatkan peningkatan sensitivitas terhadap garam.
Perubahan sistem kardiovaskular, neurohormonal dan ginjal sangat berperan.
Peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat memicu peningkatan kerja jantung yang berakibat
peningkatan curah jantung. Kelainan pada pembuluh darah berperan terhadap total resistensi
perifer. Vasokonstriksi dapat disebakan peningkatan akitivitas saraf simpatis, gangguan
regulasi faktor lokal (nitrit oxide, faktor natriuretik, dan endothelin) yang berperan dalam
pengaturan tonus vaskular. Kelainan pada ginjal berupa defek kanal ion Na+/K+/ATPase,
abnormalitas regulasi hormon renin-angiotensin-aldosteron serta gangguan aliran darah ke
ginjal. Gangguan pada tekanan natriuresis juga dapat mengganggu pengaturan eksresi sodium
hingga mengakibatkan retensi garam dan cairan. Peningkatan kadar vasokonstriktor seperti
angiotensin II atau endotelin berhubungan dengan peningkatan total resistensi perifer dan
tekanan darah.
Pola diet tinggi garam terutama pada pasien dengan sensitivitas garam yang tinggi
berkontribusi dalam menimbulkan tekanan darah tinggi. Pola hidup yang tidak sehat seperti
inaktivitas fisik dan pola diet yang salah dapat menimbulkan obesitas. Obesitas juga berperan
dalam meningkatkan risiko hipertensi esensial sebagaimana suatu studi menunjukkan
penurunan berat badan diikuti penurunan tekanan darah. Obesitas dapat memicu hipertensi
melalui beberapa mekanisme di antaranya kompresi ginjal oleh lemak retroperitoneal dan
visceral. Peningkatan lemak visceral terutama lemak retroperitoneal dapat memberikan efek
kompresi pada vena dan parenkim renal sehingga meningkatkan tekanan intrarenal,
mengganggu natriuresis tekanan hingga mengakibatkan hipertensi.
Selain itu peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat dipicu oleh leptin. Studi
menunjukkan ikatan leptin pada reseptornya terutama pada neuron proopiomelanocortin
(POMC) di hipotalamus dan batang otak berperan dalam peningkatan tersebut. Perangsangan
saraf simpatis menyebabkan peningkatan kadar angiotensin II dan aldosterone. Pada obesitas,
peningkatan jaringan lemak dan laju metabolik meningkatkan curah jantung sebagai usaha
untuk memenuhi kebutuhan aliran darah. Tak hanya itu, obesitas juga berkaitan dengan
sindroma metabolik.
Peningkatan tekanan darah dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan perubahan
struktural pembuluh darah. Perubahan struktur meliputi perubahan struktur makro dan
mikrovaskular. Perubahan makrovaskular berupa arteri menjadi kaku serta perubahan
amplifikasi tekanan sentral ke perifer. Perubahan mikrovaskular berupa perubahan rasio
dinding pembuluh darah dan lumen pada arteriol besar, abnormalitas tonus vasomotor serta
‘structural rarefaction’ (hilangnya mikrovaskular akibat aliran darah tidak mengalir di semua
mikrovaskular demi mempertahankan perfusi ke kapiler tertentu).
Perubahan struktur tersebut akan mengganggu perfusi jaringan. Oleh karena tu dalam
jangka waktu lama dapat timbul kerusakan organ target. Walaupun autoregulasi tubuh terhadap
tekanan darah akan berusaha mempertahankan aliran darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolik, kemampuan regulasi tersebut menurun pada pasien hipertensi. Organ target yang
dapat rusak meliputi jantung, ginjal, mata serta otak.

D. Manifestasi Klinis
Sebagian besar penderita hipertensi tidak dijumpai kelainan apapun selain peningkatan
tekanan darah yang merupakan satu-satunya gejala. Setelah beberapa tahun penderita akan
mengalami beberapa keluhan seperti nyeri kepala di pagi hari sebelum bangun tidur, nyeri ini
biasanya hilang setelah bangun. Jika terdapat gejala, maka gejala tersebut menunjukkan adanya
kerusakan vaskuler dengan manifestasi khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh
pembuluh darah bersangkutan.
Melalui survey dan berbagai hasil penelitian di Indonesia, menunjukkan bahwa keluhan
penderita hipertensi yang tercatat berupa pusing, telinga berdengung, cepat marah, sukar tidur,
sesak nafas, rasa berat di tengkuk, mudah lelah, sakit kepala, mata berkunang-kunang,
gangguan neurologi, jantung, gagal ginjal kronik juga tidak jarang dijumpai. Dengan adanya
gejala tersebut merupakan pertanda bahwa hipertensi perlu segera ditangani dengan baik dan
patuh.

E. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Udjianti, Wajan Juni (2010), pemeriksaan penunjang pada penderita


hipertensi meliputi :
1. Hitung darah lengkap (Complete Blood cells Count) meliputi
pemeriksaan hemoglobin, hematokrit untuk melihat vaskositas dan indikator
faktor risiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.

2. Kimia darah
a. BUN, kreatinin : peningkatan kadar menandakan penurunan perfusi atau fungsi renal.
b. Serum glukosa : hiperglisemia (DM adalah faktor presipitator hipertensi) akibat dari
peningkatan kadar katekolamin.
c. Kadar kolesterol/trigliserida : peningkatan kadar mengindikasikan predisposis
pemebntukan plak ateroma.
d. Kadar serum aldosterone : menilai adanya aldosteronisme primer.
e. Studi tiroid (T3 dan T4) : menilai adanya hipertiroidisme yang berkontribusi terhadap
vasokonstriksi dan hipertensi.
f. Asam urat : hiperurisemia merupakan implikasi faktor hipertensi.

3. Elektrolit
a. Serum potasium atau kalium : hipoklemia menandakan adanya aldosteronisme atau efek
samping terapi diuretik.
b. Serum kalsium : jika terdapat peningkatan akan berkontribusi pada hipertensi

4. Urin
a. Analisa urin : adanya protein urien, glukosa dalam urin mengindikasikan adanya
disfungsi renal atau diabetes
b. Urine VMA (Catecholamine Metabolite) : peningkatan kadar mengindikasikan adanya
pheochromacytoma.
c. Sterodi urin : peningkatan kadar mengindikasikan adanya hiperadrenalisme,
pheochromacytoma, atau disfungsi pituary, sindrome chusing’s; kadar renin juga
meningkat.

5. Radiologi
a. Intra Venous Pyelografi (IVP) : untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti
renal parenchhymal disease, urolithiasis, benigna prostate hyperplasia (BPH).
b. Rontgen toraks : untuk menilai adanya kalsifikasi obstruktif katup jantung, deposit
kalsium pada aorta, dan pembesaran jantung.

F. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada klien dengan hipertensi adalah mencegah terjadinya
morbiditas dan mortilitas penyerta dengan mencapai dan mempertahankan tekanan darah
dibawah 140/90 mmHg. Efektivitas setiap program ditentukan oleh derajat hipertensi,
komplikasi, biaya perawatan, dan kualitas hidup sehubungan dengan terapi (Arif
Muttaqin, 2009).
1. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2015),
menjalani pola hidup yang sehat dapat menurunkan tekanan darah, dan sangat bermanfaat
dalam menurunkan risiko permasalahan kardiovaskular lainnya. Pada pasien hipertensi
derajat satu, tanpa factor risiko kardiovaskular lain, maka strategi mengubah pola hidup
sehat merupakan penatalaksanaan tahap awal dan harusdilakukan kurang lebih selama 4
sampai 6 bulan. Apabila setelah jangka waktu tersebut tidak mengalami penurunan
tekanan darah atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat
dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi.
Adapun pola hidup sehat yang dianjurkan oleh guidelines adalah :
a. Penurunan berat badan.
Mengganti makanan tidak sehat dengan cara memperbanyak konsumsi sayuran
dan buah-buahan yang dapat memberikan manfaat lebih selain penurunan tekanan darah,
seperti menghindari diabetes dan dislipidemia.
b. Mengurangi asupan garam.
Diet rendah garam bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada
pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari.
c. Olahraga
Olahraga dapat dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/ hari, minimal 3
hari/ minggu. Olahraga dapat menurunkan tekanan darah. Pada pasien yang tidak
memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk
berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di
tempat kerjanya.
d. Mengurangi konsumsi alkohol
Meskipun mengkonsumsi alkohol belum menjadi pola hidup yang umum di
Indonesia, namun jumlah seseorang yang mengkonsumsi alkohol mengalami peningkatan
seiring dengan perkembangan pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar.
Konsumsi alcohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita,
dapat meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian menghindarikonsumsi alkohol
sangat membantu dalam penurunan tekanan darah.
e. Berhenti merokok
Meskipun belum terbukti berefek langsung dapat menurunkan tekanan darah, akan
tetapi merokok merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular,
sehingga pasien yang mengalami hipertensi sangat dianjurkan untuk berhenti merokok.

2. Penatalaksanaan Farmakologis
Menurut Arif Muttaqin (2009), obat-obatan antihipertensi dapat dipakai sebagai
obat tunggal atau dicampur dengan obat lain. Obat-obatan ini diklasifikasikan menjadi
lima kategori yaitu :
a. Diuretik
Hidroklorotiazid adalah diuretik yang paling sering diresepkan untuk mengobati
hipertensi ringan. Hidroklorotiazid dapat diberikan sendiri pada pasien dengan hipertensi
ringan atau pasien yang baru. Banyak obat antihipertensi yang dapat menyebabkan
retensi cairan; karena itu, seringkali diuretic diberikan bersama dengan antihipertensi.
b. Simpatolitik
Penghambat (adrenergic bekerja di sentral simpatolitik), penghambat adrenergic
alfa, dan penghambat neuron adrenergic diklasifikasikan sebagai penekan simpatetik, atau
simpatolitik. Penghambat adrenergic beta, dibahas sebelumnya juga dianggap sebagai
simpatolitik menghambat reseptor beta.
c. Penghambat Adrenergik-Alfa
Golongan obat ini memblock reseptor adrenergic alfa 1, menyebabkan
vasodilatasidan penurunan tekanan darah. Penghambat beta juga menurunkan lipoprotein
berdensitas sangat rendah (very low-density lipoprotein-VLDL) dan lipoproteinberdesitas
rendah (low-density lipoprotein-LDL) yang bertanggungjawab dalam penimbunan lemak
di arteri (arteriosklerosis).
d. Penghambat Neuron Adrenergik (Simpatolitik yang bekerja perifer)
Penghambat neuron adrenergik merupakan obat antihipertensi yang kuat yang
menghambat norepinephrine dari ujung saraf simpatis, sehingga pelepasan
norepinephrine menjadi berkurang dan ini menyebabkan baik curah jantung maupun
tahanan vaskular perifer menurun. Reserpine dan guanetidin (dua obat yang paling kuat)
dipakai untuk mengendalikan hipertensi berat. Hipertensi ortostatik merupakan efek
samping yang sering terjadi,pasien harus ajarkan untuk bangkit perlahan-lahan dari posisi
berbaring atau dari posisi duduk. Obat-obat dalam kelompok ini dapat menyebabkan
retensi natrium dan air.
e. Vasodilator Arteriol yang Bekerja Langsung
Vasodilator yang bekerja langsung adalah obat tahap 3 yang bekerja dengan
merelaksasikan otot-otot polos pembuuh darah, terutama arteri, sehingga menyebabkan
vasodilatasi. Dengan terjadinya vasodilatasi, tekanan darah akan turun dan natrium serta
air tertahan sehingga terjadi edema perifer. Diuretik dapat diberikan bersama-sama
dengan vasodilator yang bekerja langsung untuk mengurangi edema. Reflek takikardia
disebabkan oleh vasodilatasi dan menurunnya tekanan darah.
f. Antagonis Angiotensin (ACE Inhibitor)
Obat dalam golongan ini menghambat enzim mengubah angiotensin (ACE), yang
nantinya akan menghambat pembentukan angiotensin II (vasokonstriktor) dan
menghambat pelepasan aldosterone. Aldosterone meningkatkan retensi natrium natrium
dan ekskresi kalium. Jika aldosterone dihambat, natrium diekskresikan bersama-sama
dengan air. Kaptropil, enalapril, dan lisonopril adalah ketiga antagonis angiotensin. Obat-
obatan ini dipakai pada pasien dengan kadar renin serum yang tinggi.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Tujuan pengkajian adalah mengumpulkan data objektif dan subjektif dari klien.
Adapun data yang terkumpul mencakup informasi klien, keluarga, masyarakat,
lingkungan, atau budaya. (Deswani, 2011)
Menurut (Wijaya, 2013), yang harus dikaji pada klien hipertensi yaitu:
a. Data biografi
Nama, alamat, umur, pekerjaan, tanggal masuk rumah sakit , nama penanggung
jawab dan catatan kedatangan.
b. Riwayat kesehatan:
1) Keluhan utama
Alasan utama klien datang kerumah sakit atau pelayanan kesehatan.
2) Riwayat kesehatansekarang
Keluhan klien yang dirasakan saat melakukan pengkajian.
3) Riwayat kesehatandahulu
Riwayat kesehatan terdahulu biasanya penyakit hipertensi adalah penyakit yang
sudah lama dialami oleh klien dan biasanya dilakukan pengkajian tentang riwayatminum
obat klien.
4) Riwayat kesehatankeluarga
Riwayat kesehatan keluarga adalah mengkaji riwayat keluarga apakah ada yang
menderita penyakit yang sama.
c. Data fisiologis, menyangkut pengkajian pada respirasi, nutrisi/cairan,
eliminasi, aktivitas/istirahat, neurosensori, reproduksi/seksualitas, psikologi,
perilaku,relasional dan lingkungan. Pada lansia dengan defisit pengetahuan, sub
katagori penyuluhan dan pembelajaran perawat harus mengkaji data, tanda, dan
gejala mayor serta minor yang telah tercantum dalam buku Standar Diagnosa
Keperawatan Republik Indonesia 2016,yaitu:
1) Tanda dan gejala mayor
a) Subyektif: klien menanyakan masalah yang dihadapi
b) Objektif: klien menunjukkan perilaku tidak sesuai anjuran, dan kl
ien menunjukkan persepsi yang keliru terhadap masalah
2) Tanda dan gejala minor
a) Subyektif: (tidak tersedia)
b) Obyektif: klien menjalani pemeriksaan yang tidak tepat, dan menunjukkan
perilaku berlebihan (misalnya apatis, bermusuhan, agitasi, histeria)

B. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
C. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI


Setelah dilakukan tindakan
Nyeri akut b.d agen Manajemen Nyeri
Keperawatan 2 x 24 jam
pencedera fisik
diharapkan nyeri menurun dengan Observasi
kriteria hasil :  Identifikasi local, karakteristik, durasi,
 Keluhan nyeri menurun frekuensi, kualitas, intensitas nyeri,.
 Gelisah menurun  Identifikasi skala nyeri.
 Meringis menurun  Identifikasi respon nyeri nonverbal.
 Skala nyeri dari 4 menjadi  Identifikasi faktor yang memperberat
2 dan memperingan nyeri
Terapeutik
 Berikan teknik non farmakologis
untuk mengurangi nyeri.
 Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
 Jelaskan penyebab ,periode dan
pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu
D. Implementasi

Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) merupakan tolok ikur yang.


dipergunakan sebagai panduan dalam penyusunan intervensi keperawatan dalam. rangka
memberikan asuhan keperawatan yang aman, efektif dan etis. Standar ini.merupakan salah satu
komitmen keprawatan dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat sebagai klien
asuhan keperawatan yang dilakukan oleh anggota profes perawat. Standar Intervensi ini dalam
penyusunannya telah disesuaikan dan dikembangkan dari Standar Praktik Keperawatan
Indonesia yang dikeluarkan oleh PPNI tahun 2009.

E. Evaluasi

Merupakan tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan


seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaan yang sudah berasil di
capai. Melalui evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor yang terjadi selama tahap
pengkajian, analisa data, perencanaan dan pelaksanaan tindakan. Evaluasi adalah tahap akhir
dari proses keperawatan yang menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang
telah direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil
yang telah dibuat pada tahap perencanaan (Nursalam, 2001).
DAFTAR PUSTAKA

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan


indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kritea


Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan


Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Scribd. (2022). LAPORAN PENDAHULUAN HIPERTENSI.


https://id.scribd.com/doc/238678798/LAPORAN-PENDAHULUAN-HIPERTENSI
Pathway

Anda mungkin juga menyukai