Anda di halaman 1dari 96

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hipertensi adalah penyakit kardiovaskular yang paling sering terjadi.

Prevalensi penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia. Peningkatan

tekanan arteri menyebabkan perubahan patologis pada jaringan vaskular dan

hipertrofiventrikel kiri. Hipertensi merupakan penyebab utama stroke, faktor

risiko utama penyakit arteri koroner dan komplikasinya, dan kontributor utama

gagal jantung, insufisiensi ginjal, dan aneurisme Aortalapah. Hipertensi

didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah terus-menerus sebesar >l40/l90

mmHg, suatu kriteria yang menunjukkan bahwa risiko penyakit kardiovaskular

yang berkaitan dengan hipertensi cukup tinggi sehingga perlumen dapat perhatian

medis. Risiko penyakit kardiovaskular fatal dan nonfatal pada orang dewasa

paling rendah bila TD sistolik <120 mmHg dan TD diastolik <80 mmHg dan

meningkat secara progresif bila tekanan darah sistolik dan diastolik lebih tinggi

(Goodman & Gilman. 2008: 507).

Hipertensi sistolik terisolasi (kadang ditetapkan dengan TD sistolik >140-

160 mmHg dengan TD diastolik <90 mmHg) sebagian besar terbatas pada orang

berusia >60 tahun. Pada tekanan darah yang sangat tinggi (sistolik > 210 dan /

atau diastolik >120 mmHg), beberapa pasien mengalami anerio patifulminan yang

ditandai oleh luka pada endotel dan proliferasi intima yang nyata, yang pada

akhirnya mengakibatkan oklusiarteriol dan sindrom hipertensi yang seketika fatal.

Hal ini terjadi karena penyakit oklusi pada mikro vaskular secara progresif dan

cepat pada ginjal (dengan gagal ginjal), otak (ensefalopati hipertensif), gagal

jantung kongestif, dan edema pulmoner, dan umumnya membutuhkan

penatalaksanaan darurat dirumah sakit untuk mempercepat penurunan tekanan


darah (Goodman & Gilman. 2008: 507-508).
Curah jantung dipengaruhi oleh frekuensi denyut jantung dan curah

sekuncup. Frekuensi denyut dipengaruhi oleh sistem syaraf simpatetik ( reseptor

beta adrenergik), sedangkan curah sekuncup dipengaruhi kontraktilitas jantung

dan ukuran kompratemen vaskular. Di lain pihak, aliran darah berbanding terbalik

dengan resistensi perifer. Di samping itu, resistensi perifer juga dipengaruhi

struktur permbuluh darah. Pada saat kontraksi maka diameternya mengecil dan

pada saat dilatasi diameternya membesar. Curah jantung bersama dengan

resistensi perifer menentukan tekanan darah arteri. Artinya, tekanan darah tinggi

diakibatkan 1) volume darah besar dibandingkan ruangan yang tersedia pada

pembuluh darah; dan 2) volume darah yang dipompa oleh jantung terlalu cepat.

Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan suatu kondisi kronik dimana

tekanan darah arteri sistemik meningkat melebihi ambang normal. Tekanan darah

dinilai baik dari tekanan darah pada saat kondisi diastol maupun sistol. Tekanan

darah normal berkisar 60-80 mmHg untuk diastol, dan 90-120 mmHg untuk sistol.

Penderita dikatakan hipertensi jika tekanan darahnya lebih 90 mmg untuk diastol,

dan 140 untuk sistol. Sedangkan pada kisaran 80-90 mmHg pada diastol, dan 120-

140 pada sistol termasuk kondisi prehipertensi. Pada kondisi prehipertensi ini,

meskipun belum hipertensi namun penderita harus mulai melakukan terapi

terutama terapi non farmakologi, dan mencegah aktivitas yang dapat

meningkatkan tekanan darah (Prof. Agung, 2011: 103)

Terapi nonfarmakologis merupakan bagian penting pengobatan semua

pasien hipertensi. Pada beberapa pasien hipertensi stadium 1, tekanan darah dapat

cukup terkontrol dengan kombinasi penurunan berat badan (pada individu yang

kelebihan berat badan), membatasi asupan natrium, memperbanyak olahraga

aerobik, dan mengurangi konsumsial kohol. Perubahan gaya hidup ini juga dapat
memudahkan pengontrolan tekanan darah secara farmakologi (Goodman &

Gilman. 2008: 507-508).

Obat menurunkan tekanan darah dengan memengaruhi tahanan perifer,

curah jantung, atau keduanya. Pada pasien hipertensi sistolik terisolasi,

hemodinamika kompleks pada sistem arteri yang kaku berperan dalam

peningkatan tekanan darah, efekobat dapat diperantarai oleh perubahan tahanan

perifer, tetapi juga melalui efek pada kekakuan arteri besar. Obat-obatan

tihipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan tempat atau mekanisme kerjanya.

Efek-efek hemodinamik senyawa antihi pertensi memberikan dasar pertimbangan

kemungkinan efeksaling melengkapi terapi bersama dengan dua atau lebih obat.

Penggunaan bersama obat-obat dari golongan yang berbeda merupakan strategi

yang efektif untuk memperoleh konrol tekanan darah yang efektif sekaligus

meminimalkan efek merugikan terkait dosis (Goodman & Gilman. 2008: 507-

508).

Tabel 1.1 Kriteria Hipertensi pada orang dewasa

KLASIFIKASI TEKANAN DARAH (mmHg)

Sistolik Diastolik

Normal <120 <80

Pre hipertensi 120-139 80-89

Hipertensi, stadium 1 140-159 90-99

Hipertensi, stadium 2 ≥160 ≤100

Gambar 1.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi


BAB II
PEMBAHASAN

A. Patofisiologi penyakit
Hipertensi merupakan penyakit heterogen yang dapat disebabkan oleh

penyebab yang spesifik (hipertensi sekunder) atau mekanisme patofisiologi yang

tidak diketahui penyebabnya (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi sekunde

bernilai kurang dari 10% kasus hiperteni, pada umumnya kasus tersebut

disebabkan oleh penyakit ginjal kronik atau renovacular. Kondisi lain yang dapat

menyebabkan hipertensi sekunder antara lain pheocrhromcytoma, sindrom

cushing, hipertiroid, hiperparatiroid, aldosteron primer, kehamilan, obstruktif

sleep apnea, dan kerusakan aorta (Elin yulina. 2009:119)

Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri dalam

millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur, tekanan darah

sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS diperoleh selama

kontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik jantung

diisi.Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial

dalam terbentuknya hipertensi, faktor-faktor tersebut adalah

a) Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau variasi

diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons terhadap

stress psikososial dll

b) Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor

Asupan natrium (garam) berlebihan

c) Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium

d) Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi

angiotensin II dan aldosteron

e) Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan peptide

Natriuretik

f) Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi tonus

vaskular dan penanganan garam oleh ginjal


g) Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada pembuluh

darah kecil di ginjal

h) Diabetes mellitus

i) Resistensi insulin

j) Obesitas

k) Meningkatnya aktivitas vascular growth factors

l) Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung,

m) karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vaskular

n) Berubahnya transpor ion dalam sel ( Depkes RI, 2006 : 16)

10% hipertensi berkaitan dengan gangguan ginjal dan endokrin, dimana

ginjal dan pembuluh darah berusaha untuk menagtur dan mepertahankan agar

tekanan darah tetap normal. Ginjal mengatur tekanan darah melaui sistem renin-

angiontensin, yang merangsang produksi angiotensin II. Yang mnyebabkan

pelepasan aldoseteron. Hipertensi natrium dan air menyebabkan volume cairan

bertambah, sehingga meningkatkan tekanan darah ( Joyce, L. 1996 ; 479).

Klasifikasi Hipertensi berdasarkan etiologi, dibagi menjadi hipertensial

essensial dan hipertens sekunder.Hipertensi essensial atau hiperetensi primer atu

idiopati adalah hipertensi tanpa kelainan dasar patologi yang jelas. Lebih dari 90%

kasus merupakan hipertensi essensial. Penyebab multifaktorial meliputi faktor

genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap

natrium, kepekaan terhadap stres, reaktivitas pembuluh darah, vasokinstriktor,

resistensi insulin, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan

antara lain, diet, kebiasaan merokok, stres emosi dan obesitas. Hipertensi

sekunder termasuk dalam 5-10% kasus hipertensi. Termasuk dalam kelompok

hipertensi akibat penyakt ginjal( hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan

saraf pusat, obat-obatan dan lain-lain (Amir Syarif,dkk. 2016 ; 346).


B. Epidemiologi

Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya (± 50 juta jiwa) menderita

tekanan darah tinggi (= 140/90 mmHg); dengan persentase biaya kesehatan cukup

besar setiap tahunnya. Menurut National Health and Nutrition Examination

Survey (NHNES), insiden hipertensi pada orang dewasa di Amerika tahun 1999-

2000 adalah sekitar 29-31%, yang berarti bahwa terdapat 58-65 juta orang

menderita hipertensi, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHNES III tahun

1988-1991. Tekanan darah tinggi merupakan salah satu penyakit degeneratif.

Umumnya tekanan darah bertambah secara perlahan dengan bertambahnya umur.

Risiko untuk menderita hipertensi pada populasi = 55 tahun yang tadinya tekanan

darahnya normal adalah 90%. Kebanyakan pasien mempunyai tekanan darah

prehipertensi sebelum mereka didiagnosis. Dengan hipertensi, dan kebanyakan

diagnosis hipertensi terjadi pada umur diantara dekade ketiga dan dekade kelima

Sampai dengan umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi

dibanding perempuan. Dari umur 55 s/d 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan

dibanding laki-laki yang menderita hipertensi. Pada populasi lansia (umur =

60tahun), prevalensi untuk hipertensi sebesar 65.4 % (Depkes RI, 2006 : 13).

Meskipun hipetensi dapat terjadi akibat proses penyakit lain, lebih dari

90% pasien menderita penyakitt hipertensi essensial, suatu penyakit pada

pengaturan tekanan darah yang tidak diketahui penyebabya. Riwayat hipertensi

dalam keluarga meningkatkan kemungkinan seseorang mendapat hipertensi.

Hipertensi essensial terjadi 4 kali lebih banyak pada orang kulit hitam dibanding

kulit putih dan lebih sering pada pria umur pertengahan dibanding wanita pada

kelompok umur yang sama. Faktor-faktor lingkungan seperti cara hidup dengan

stres, diet tinggi natrium, kegemukan dan merokok merupakan faktor redisposisi

pribadi terjadinya hipertensi ( Mary, J.1989: 181).


Data World Health Organization (WHO) tahun 2011 menunjukkan 1

milyar orang di dunia menderita hipertensi, 2/3 diantaranya berada di negara

berkembang yang penghasilan rendah sampai sedang. Prevalensi hipertensi akan

terus meningkat tajam dan diprediksi pada tahun 2025 sebanyak 29% orang

dewasa di seluruh dunia terkena hipertensi. Hipertensi telah mengakibatkan

kematian sekitar 8 juta orang setiap tahun, dimana 1,5 juta kematian terjadi di

Asia Tenggara yang 1/3 populasinya menderita hipertensi sehingga dapat

menyebabkan peningkatan beban biaya kesehatan.

Hasil riset Kesehatan Dasar (Rikesdes) 2007 menunjukkan, sebagian besar

kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis. Hal ini terlihat dari hasil

pengukuran tekanan darah pada usia 18 tahun keatas ditemukan prevalensi

hipertensi di indonesia sebesar 31,7%, dimana hanya 7,2% penduduk yang sudah

mengetahui memiliki hipertensi dan hanya 0,4% kasus yang minim obat hiprtensi

(Riskesdas, 2007).

C. Penggolongan dan mekanisme kerja obat

Adapun Penggolongan obat hipertensi dan mekanisme kerjanya

1. Golongan diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air, dan klorida sehingga

menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan

curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik

juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek

ini diduga akibat penurunan natrium di ruang interstial dan didalam sel otot polos

pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium. Hal ini terlihat

jelas pada diuretik tertentu seperti golongan tiazid yang mulai menurunkan efek
hipotensif pada dosis kecil sebelum timbulnya diuresis yang nyata. Penelitian
besar membuktikan bahwa efek proteksi kardiovaskular diuretik belum

terkalahkan oleh obat lain, sehingga diuretik dianjurkan untu sebagian bear kasus

hipertensi ringan dan sedang bahkan bila menggunakan kombinasi dua atau lebih

antihipertensi, maka salah satunya dianjurkan diuretik. Diuretik, terutama

golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk kebanyakan pasien dengan

hipertensi.

Bila terapi kombinasi diperlukan untuk mengontrol tekanan darah, diuretik

salah satu obat yang direkomendasikan. Empat sub kelas diuretik digunakan untuk

mengobati hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis

aldosteron. Diuretik penahan kalium adalah obat antihipertensi yang lemah bila

digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan

golongan tiazid atau loop. Selanjutnya diuretik ini dapat menggantikan kalium

dan magnesium yang hilang akibat pemakaian diuretik lain. Antagonis aldosteron

(spironolakton) dapat dianggap lebih poten dengan mula kerja yang lambat (s/d 6

minggu untuk spironolakton). Tetapi, JNC 7 melihatnya sebagai kelas yang

independen karena bukti mendukung indikasi khusus. Pada pasien dengan fungsi

ginjal cukup (± GFR> 30 ml/menit), tiazid paling efektif untuk menurunkan

tekanan darah. Bila fungsi ginjal berkurang, diuretik yang lebih kuat diperlukan

untuk mengatasi peningkatan retensi sodium dan air. Furosemid 2x/hari dapat

digunakan. Jadwal minum diuretik harus pagi hari untuk yang 1x/hari, pagi dan

sore untuk yang 2x/hari untuk meminimalkan diuresis pada malam hari. Dengan

penggunaan secara kronis, diuretik tiazide, diuretik penahan kalium, dan

antagonis aldosteron jarang menyebabkan diuresis yang nyata. Perbedaan

farmakokinetik yang penting dalam golongan tiazid adalah waktu paruh dan lama

efek diuretiknya. Hubungan perbedaan ini secara klinis tidak diketahui karena

waktu paruh dari kebanyakan obat antihipertensi tidak berhubungan dengan lama
kerja hipotensinya. Lagi pula, diuretik dapat menurunkan tekanan darah terutama

dengan mekanisme extrarenal. Diuretik sangat efektif menurunkan tekanan darah

bila dikombinasi dengan kebanyakan obat antihipertensif lain. Kebanyakan obat

antihipertensi menimbulkan retensi natrium dan air; masalah ini diatasi dengan

pemberian diuretik bersamaan.

Efek samping diuretik tiazid termasuk hipokalemia, hipomagnesia,

hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi

seksual. Diuretik loop dapat menyebabkan efek samping yang sama, walau efek

pada lemak serum dan glukosa tidak begitu bermakna, dan kadang-kadang dapat

terjadi hipokalsemia. Studi jangka pendek menunjukkan kalau indapamide tidak

mempengaruhi lemak atau glukosa atau disfungsi seksual. Semua efek samping

diatas berhubungan dengan dosis. Kebanyakan efek samping ini teridentifikasi

dengan pemberian tiazid dosis tinggi (misalnya HCT 100mg/hari). Guideline

sekarang menyarankan dosis HCT atau klortalidone 12.5 – 25 mg/hari, dimana

efek samping metabolik akan sangat berkurang. Diuretik penahan kalium dapat

menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis

atau diabetes dan pada pasien yang menerima ACEI, ARB, NSAID, atau

supplemen kalium. Hiperkalemia sangat bermasalah terutama dengan eplerenone,

antagonis aldosteron yang terbaru. Karena sangat selektif antagonis aldosteron,

kemampuannya menyebabkan hiperkalemia melebihi diuretik penahan kalium

lainnya, bahkan spironolakton. Eplerenone dikontraindikasikan untuk pasien

dengan gangguan fungsi ginjal atau diabetes tipe 2 dengan proteinuria. Kalau

spironolakton menyebabkan gynecomastia pada ± 10% pasien, dengan eplerenon

gynecomastia jarang terjadi.

a) Golongan diuretic tiazid


Thiazide adalah golongan yang dipilih untuk menangani hipertensi, golongan

lainnya efektif juga untuk menurunkan tekanan darah. Penderita dengan fungsi

ginjal yang kurang baik Laju Filrasi Glomerulus (LFG) diatas 30 mL/menit,

thiazide merupakan agen diuretik yang paling efektif untuk menurunkan tekanan

darah. Dengan menurunnya fungsi ginjal, natrium dan cairan akan terakumulasi

maka diuretik jerat hendle perlu digunakan untuk mengatasi efek, dari

peningkatan volume dan natrium tersebut. Hal ini akan mempengaruhi tekanan

darah arteri. Mekanisme kerja golongan ini adalah meningkatkan ekskresi

natrium, air, dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstra

seluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain

mekanisme tersebut, beberapa diuretic juga menurunkan resistensi perifer

sehingga menambah efek hipotensinya. Contoh obat:

1. Klortalidon

2. Hidroklorotiazid

3. Indapamide

4. Metolazone

Efek samping: tiazid, terutama dalam dosis tinggi dapat menyebabkan

hipokalemia yang dapat berbahaya pada pasien yang dapat digitalis. Efek samping

ini dapat dihindari bila tiazid diberikan dalam dosis rendah atau dikombinasi

dengan obat lain seperti Diuretik hemat kalium, atau penghambat enzim konversi

angiotensin (ACE Inhibitor) sedangkan suplemen kalium tidak lebih efektif.

Tiazid juga dapat menyebabkan hiponatremia dan hipomagnesemia serta

hiperkalsemia. Selain itu tiazid dapat menghambat ekskresi asam urat dari ginjal,

dan pada pasien hiperurisemia dapat mencetukan serangan gout akut. Untuk

menghindari efek metabolik ini, tiazid harus digunakan dalam dosis rendah dan
dilakukan pengaturan diet. Tendensi hiperkalsemia oleh tiazid dilaporkan dapat

mengurangi resiko osteoporosis (Amir Syarif,dkk. 2016: 349 ).

b) Diuretic loop

Diuretic loop bekerja diansa hendle assendence bagian epitel tebal dengan

cara menghambat kontraspor Na+, K+, Cl- dan menghambat reabsorbsi air dan

elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat dari pada

golongan tiazid, oleh karna itu diuretic kuat jarang digunakan sebagai anti

hipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatin serum
lebih dari 2,5 mg/dl) atau gagal jantung. Contoh obat:

1. Furosemid

2. Torasemid

3. Bumetanid

4. Asam etakrinat

Efek samping diuretic kuat hampir sama adengan tiazid kecuali bahwa

diuretik kuat menimbulkan hiperkalsiuria dan menurunkan kalsium darah,

sedangkan tiazid menimbulkan hipokalsiuria dan meningkatkan kadar kalsium

darah (Amir Syarif. 2016: 349 ).

c) Diuretic hemat kalium

Diuretik hemat kalium merupakan antihipertensi yang lemah jika

digunakan tunggal. Efek hipotensi akan terjadi apabila diuretik dikombinasikan

dengan diuretik hemat kalium thiazide atau jerat hendle. Diuretik hemat kalium

dapat mengatasi kekurangan kalium dan natrium yang disebabkan oleh diuretik

lainnya. Amilorid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretic lemah.

Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretic lain untuk mencegah

hipokalemia. Diuretic hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia bila


diberikan pada pasien dengan gagal jantung, atau bila dikombinasi dengan

penghambat ACE, ARB , β- bloker , AINC dengan suplemen kalium. Penggunaan

harus dihindarkan bila kreatinin serum lebih dari 2,5 mg/dl. Efek samping diuretik

hemat kalium antara lain ginekomastia, mastodinia, gangguan menstruasi, dan

penurunan libido pada pria. Contoh obat:

1. Amolorid

2. Spironolakton

3. Triamteren

2. Penghambat sistem renin angiotensin

a) ACE inhibitor

ACE membantu produksi angiotensin II (berperan penting dalam regulasi

tekanan darah arteri). ACE didistibusikan pada beberapa jaringan dan ada pada

beberapa tipe sel yang berbeda tetapi pada prinsipnya merupakan sel endothelial.

Kemudian, tempat utama produksi angiotensin II adalah pembuluh darah bukan

ginjal. Inhibitor ACE mencegah perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II

(vasokonstriktor potensial dan stimulus sekresi aldosteron). Inhibitor ACE juga

mencegah degradasi bradikinin dan menstimulasi sintesis senyawa vasodilator

lainnya termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin. Pada kenyataannya, inhibitor

ACE menurunkan tekanan darah pada penderita dengan aktivitas renin plasma

normal, bradikinin, dan produksi jaringan ACE yang penting dalam hipertensi.

ACE inhibitor bekerja dengan menghambat perubahan angiotensin 1 menjadi

angiotensin 2 sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron.

Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah sedangkan

berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium dan retensi

kalium Contoh obat:

1. Kaptopril
2. Benazepril

3. Enalapril

4. Fosinopril

5. Lisinopril

Efek samping:

a) Hipotensi, dapat terjadi pada awal pemberia ACE inhibitor, terutama pada

hipertensi dengan aktivitas renin yang tinggi.

b) Batu kering, merupakan efek samping yang paling sering terjadi dengan

insiden 5-20%, lebih sering pada wanita dan lebih sering terjadi pada

malam hari.

c) Hiperkalemia, dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal

atau pasien yang juga mendapat diuretik hemat kalium, AINS, subnemen

kalium, atau beta bloker

d) Rash dan gangguan pengecapan lain, sering terjadi denga captopril, tetapi

juga dapat terjadi dengan ACE inhibitor yang lain.

e) Edema angioneurotik, terjadi pada 0,1-0,2% pasien berupa pembengkakan

di hidung, bibir, tenggorokan, dan laring, sebagai sumbatan jalan napas

yang bisa berakibat fatal.

f) Gagal ginjal akut yang reversible dapat terjadi pada pasien dengan stenosis

arteri renalis bilateral atau pada satu-satunya ginjal yang berfungsi

g) Proteinuria , jarang-jarang bisa terjadi, tapi hubungan kausualnya sulit

diterangkan. Secara umum, ACE inhibitor diinikasikan untuk mengurangi

proteinuria.

h) Efek teratogenik, terutama terjadi pada pemberian selama trimester 2 dan 3

kehamilan
(Amir Syarif. 2016: 360 ).

b) ARB (angiotensin reseptor bloker)

Angiotensin II digenerasikan oleh jalur renin-angiotensin (termasuk ACE)

dan jalur alternatif yang digunakan untuk enzim lain seperti chymases. Inhibitor

ACE hanya menutup jalur renin-angiotensin, ARB menahan langsung reseptor

angiotensin tipe 1 (AT1), reseptor yang memperantarai efek angiotensin II

(vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon

antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferen glomerulus). Tidak seperti inhibitor

ACE, ARB tidak mencegah pemecahan radikinin. Hal ini tidak memberikan efek

samping batuk, banyak konsekuensi negatif karena beberapa efek inhibitor ACE

dapat menyebabkan meningkatnya level bradikinin. Bradikinin cukup penting

untuk regresi hipertropi miosit dan fibrosis, serta meningkatnya level aktivator

jaringan plasminogen. Reseptor angiotensin 2 terdiri dari 2 kelompok besar yaitu

reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 terdapat terutama diotot polos, pembuluh

darah dan diotot jantung. Selain itu terdapat juga diginjal, otak dan kelenjar

adrenal. Reseptor AT1 memperantarai semua efek fisiologis angiotensin2,

terutama yang berperan dalam honeostatis kardiovaskuler. Reseptor AT2 terdapat

dimedula adrenal dan mungkin juga di SSP, tapi sampai sekarang fungsinya

belum jelas. Contoh obat:

1. Losartan

2. Valsartan

3. Irbesartan

4. Telmisartan

5. Candesartan

Efek samping dan perhatian. Hipotensi dapat terjadi pada pasien dengan
kadar renin tinggi seperti hipofolemia, gagal jantung, hipertensi renovaskular, dan
sirosis hepatis. Hiperkalemia biasanya terjadi dalam keadaan tertentu seperti

insufisiensi ginjal, atau bila dikombinasikan dengan obat-obat yang cenderung

meretensi kalium seperti diuretik hemat kalium dan AINS.

c) Penghambat renin inhibitor

Bekerja secara spesifik dan langsung pada actifesite enzim renin yang

merupakan ratelimiting step dalam rangka yang reaksi sistem renin angiotensin,

akibtnya sistem renin plasma akan turun dan menghambat konversi

angiotensinogen menjadi angiotensin I. Efek samping: aliskiren relatif aman efek


samping yang pernah dilaporkan antara lain rasa lelah, sakit kepala, pusing, diare,

nasofaringithis, dan nyeri punggung. Aliskiren tidak mempengaruhi kadar

bradikinin sehingga diharapkan tidak menimbulkan efek samping batuk kering

seperti, ACE-1. Contoh obat : Aliskiren

1.3 Adrenergik inhibitor

a) Penghambat alfa blocker

Mekanisme kerjanya : hambatn reseptor a1 menyebabkan vasodilatasi di

arterior dan venula sehingga menurunkan resistensi perifer. Disamping itu

venoldilatasi menyebabkan aliran balik vena berkurang yang selanjutnya

menurunkan curah jantung. Vanodilatasi ini menyebakan hipotensi artostatik

terutama pada pemberian dosis awal dan meyebabkan refleks taki kardia dan

peningkatan aktivitas renin plasma, pada pemakaian jangka panjang refleks

kompensasi ini akan hilang, sedangkan efek antihistamin akan tetap bertahan.

Contoh obat :

1. Prazosin

2. Terazosin

3. Bonazosin
4. Doxazosin
Efek samping : Hipotensi ortostatik sering terjadi pada pemberian dosis

awal atau pada peningkatan dosis terutama dengan obat yang kerjanya singkat

seperti razosin. Efek samping lain antara lain sakit kepala, palpitasi, edema

periver, hidung tersumbat, mual dan lain-lain.

b) Penghambat adrenergic beta blocker

Mekanisme kerja : 1. Menurunkan frekuensi detak jantung, dan

kontraliksitas miokard serta menurunkan curah jantung, 2. Hambatan sekresi renin

di sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan produksi angiotensin


II. 3. Efek sentral yang mempengaruhi aktifitas saraf simpatis , perubahan pada

sensitivits baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan

peningkatan biosintesis prostasiklin. Contoh obat :

1. Propanolol

2. Carvedilol

3. Metaprolol

4. Bisoprolol

5. Atenolol

Efek samping, perhatian dan kontraindikasi : beta bloker dapat

menyebabkan bradikardia, blokade AV, hambatan nodus SA dan menurunkan

kekuatan kontraksi miokard oleh karena itu obat golongan ini dikontraindikasikan

pada keadaan bradikardia blokade AV derajat dua dan tiga.

c) Central simpatolitik

Mekanisme kerja : menurunkan aktivitas saraf simpatis. Obat golongan ini

merupakan pilihan utama bagi pasien hipertensi yang memiliki aktivitas saraf

simpatis yang tinggi seperti takikardi, gelisah,hiperhidrosis, dll. Contoh obat :

1. Reserpine
2. Clonidine

3. Methyldopa

1.3. Vasodilator

Mekanisme kerja : membuka dan melebarkan pembuluh darah, obat ini

bekerja pada oto dinding pembuluh darah dalam arteri dan vena. Dengan

mencegah otot tersebut berkontraksi sehingga rongga pembuluh darah akan

melebar. Aliran darah akan semakin lancer melalui rongga pembuluh darah.

Jantung tidak terlalu sulit memompa darah keseluruh tubuh sehingga tekanan

darah juga akan meurun. Contoh obat :

1. Hydralazine

2. Minoxidil

3. Sodium nitroprusside.

1.4. Calcium channel Blocker (CCB)

CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat

saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan (voltage sensitive), sehingga

mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler kedalam sel. Relaksasi otot polos

vaskular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi tekanan

darah. Antagois kanal kalsium dihidropiridini dapat menyebabkan aktifasi refleks

simpatetik dan semua golongan ini (kecuali amilodipine) memberi efek inotropik

negative. Mekanisme kerja : pemberian CCB akan menghambat kalsium masuk ke

dalam sel sehingga salah satu efeknya adalah menyebabkan vasodilatasi,

memperlambat laju jantung, dan menurunkan kontraktilitas miokard sehingga

menurunkan tekanan darah.

a) CCB golongan dihidropinin Contoh obat :

1. Nifedipine

2. Amlodipine
3. Nicardipine

b) CCB golongan fenilalkilamin Contoh obat :

1. Verapamil.

c) CCB golongan bensotiazepine Contoh obat :

1. Diltiazem

(Amir Syarif, 2016; 345-364).

D. Kasus
1. Kasus Hipertensi 1

Seorang pasien bernama Tn.Hn berumur 45 tahun, masuk rumah sakit


dengan keluhan nyeri ulu hati (+), sakit kepala, pusing (-), mual (+) , muntah (-) ,
sakit dada jika nyeri ulu hati timbul dialami sejak 3 hari yang lalu, sesak (-), BAB
dan BAK lancar. Pasien memiliki BB 50 Kg dan TB 156 cm2. Data klinik
menunjukkan TD: 200/100mmHg , Nadi : 96x/mnt, Pernapasan : 24x/ mnt, Suhu :
36,4 OC. Abdomen ( Inspeksi: keram datar, palposi :nyeri tekan perut kiri
bawah, auskubasi: peristaltic). Diagnosis utama pasien adalah gastritis dan
diagnosis sekunder adalah Hipertensi grade II.

Data Klinik :

N Data Klinik Data Normal Hasil Keteranga


O Pemeriksaan n
1 TD 120/80 mmHg 200/100 Tinggi
2 Nadi 60-100x/menit 96 Normal
3 Suhu 36-37,5 36,4 Normal
4 RR (x/menit 15-20 x/menit 24
5 Muntah - Tidak
pernah
6 Nyeri ulu hati ++ Sering
7 Sakit kepala + Jarang
8 Mual ++ Sering
9 Pusing - Tidak
pernah
10 Sesak - Tidak
pernah
11 BAB Lancar Normal
12 BAK Baik Normal
13 Nyeri bagian perut kiri +++ Sangat
sering
14 Nyeri bagian belakang + Jarang
kepala
15 Perut agak keras ++ Sering
16 Nyeri perut + Jarang
17 Kembung ++ Sering
18 Nyeri akibat infus + Jarang

Riwayat Pengobatan :

N Jenis Obat Regimen Tanggal Pemberian


O Dosis 02/03 03/03 04/03 05/03 06/03
1 Infus RL 20 ˅ ˅ ˅ ˅ ˅
2 Amlodiphine 1x1 ˅ ˅ - - -
10 mg
3 Pumpitor 1 ˅ ˅ ˅ ˅ ˅
botol/har
i
4 Antasida 3x1 ˅ ˅ - - -
5 Micardis - ˅
(malam
)
6 Diltiazem - - ˅ - -
7 Inj. Ketorolac - - - ˅ ˅
1%
8 HCT 2x1 - - - - ˅
9 PCT infus 12 jam - - - ˅ -
10 Tramadol 12 jam - - - - ˅
Infus
11 Aspilet 80 g - - - - ˅
12 PCT 500mg - - - - ˅
13 Cefadroxil - - - - ˅
1500 mg

Assessment

Berdasarkan pada data lab dan gejala klinis yang di ketahui pada kasus
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut mengidap penyakit
hipertensi stadium 2. Dapat dilihat dari data klinisnya, bahwa tekanan darahnya
yang sangat tinggi melebihi dari batas normal, tingginya nilai dari tekanan darah
ini merupakan salah satu yang dapat dijadikan penanda bahwa pasien tersebut
mengidap hipertensi.

Selain itu, nilai RR yang mingkat dibandingkan dari pada normalnya dapat
menjadi salah satu pemicu dan penegasan bahwa pasien tersebut mengidap
penyakit hipertensi. Ketika jantung berkontraksi dengan cepat dapat menimbulkan
atau memicu terjadinya hipertensi. Selain itu nyeri ulu hati terjadi, Karena adanya
peningkatan asam lambung yang dapat mengakibatkan pasien mengalami mual.
karena peningkatan asam lambung yang sering terjadi, sehingga dapat
menyebabkan nyeri perut bagian kiri. Setelah itu perut akan menjdi kembung dan
dapat menyebabkan kekerasan pada bagian perut. Adapun nyeri kepala kadang
terjadi apabila tekanan darah pada tubuh terlalu tinggi, sehingga jantung
memompa darah dengan cepat, dan pembuluh darah yang berada dikepala
menerima aliran darah dengan sangat besar dengan tiba tiba, sehingga dapat
menyebabkan nyeri kepala

Planning

1. Terapi Farmakologi
Berdasarkan dari data dan pemberian obat diatas, bahwa pasien
diberikan Infus RL, yang mana infus ini ditujukan untuk menggantikan
kehilangan akut cairan tubuh dan memudahkan dalam pemberian terapi
obat obat parental. Pemberian obat Pumpitor(proton inhibitor)
mengandung obat omeprazol. Omeprazol bekerja dengan menghambat
sekresi asam lambung dengan cara berikatan pada pompa H+ K+ ATPase
dan mengaktifkannya sehingga terjadi pertukaran ion K dan ion H dalam
lumen sel. Selanjutnya pemberian obat Antasida yang bekerja dengan
untuk menetralkan asam lambung dengan cara menigkatkan pH lumen
asam lambung. Selanjutnya dilakukan pemberian obat Amlodipine bekerja
dengan cara menghambat influks (masuknya) ion kalsium melalui
membran ke dalam otot polos vaskular dan otot jantung sehingga
mmpengaruhi kontraksi otot polos vaskular dan otot jantung. Adapun
pemberian obat PCT inj diberikan pada pasien karena suhu badannya
meningkat diatas normal. Selang 12 jam suhu panas badan pasien tidak
turun – turun dan pasien tetap merasakan menggigil, maka PCT digantikan
dengan Tromadol. Adapun pemberian obat Cefadroxil, dilakukan karena
Obat ini digunakan untuk mengobati infeksi pada kulit pasien.
Selain obat diatas, terdapat juga obat obat yang tidak cocok untuk
digunakan oleh pasien, yaitu : pada obat Diltiazem yang juga digunakan
sebagai obat antihipertensi. Pada kasus di atas penggunaan obat ini tidak
tepat diberikan pada pasien karena digunakan bersamaan dengan obat
Amlodipine. Penggunaan obat ini secara bersamaan dapat menyebabkan
polifarmasi karena obat Amlodipine dan Diltiazem termasuk 1 golongan
yaitu CCB yang memiliki mekanisme kerja yang sama. Sedangkan terapi
algoritma pada hipertensi stage 2 adalah Diuretik kombinasi dengan CCB
Atau IRB. Sedangkan pada obat HCT yang merupakan golongan diuretik.
Obat ini seharusnya sudah tepat diberikan akan tetapi, pemberian obat nya
bersamaan dengan micardis, amlodipine, diltiazem. Hal ini menyebabkan
polifarmasi sehingga akan sulit untuk mencapai efek terapinya. Sehingga
sebaiknya penggunaan obat amlodipine, dialtizem, dan HCT sebaiknya di
hentikan.

2. Terapi non farmakologi


- Menghindari makanan yang memiliki kadar sodium yang tinggi
- Menghindari makanan yang memiliki kandungan lemak berlebih
- Memperbanyak makan makanan yang mengandung serat
- Berolahraga ringan
- Istirahat yang cukup

2. Kasus Hipertensi II

. Seorang pasien atas nama Ny. Dona berumur 52 tahun menderita Diabetes
hiperglikemia dengan kadar glukosa 400/20 mg/dl. Riwayat penyakit hipertensi
170/110 dan riwayat pengobatan glukodex 2x untuk Dmnya, untuk Htnya minum
dltiazem 3x30 mg, kaptropril 1xsehari dan aspirin 1x100 mg.
Dari kasus yang didapatkan diatas maka analisis SOAPnya yaitu :
a. Subjek
1. Nama nyonya Dona
2. Umur 52 tahun
3. perempuan
b. Objek
1. Kadar glukosa 400/20 mg/dl
2. Riwayat penyakit hipertensi 170/110 mmg/Hb
c. Ascesment
1. Obat-obat yang digunakan glukodex 2x
2. Diltiazem 3x30 mg
3. Kaptropril 1xsehari
4. Aspirin 1x100 mg
Terapi yang digunakan ada beberapa yang sudah cocok tapi ada yang tidak
sesuai. Karena pada dasarnya obat yang digunakan dapat mewakili dari penyakit
hipertensi dan diabetes melitus.

d. Planning
Dari kasus yang dianalisis maka pasien dikeathui menderita penyakit
hiperglikemia dengan Kadar glukosa 400/20 mg/dl. Selain itu juga ternyata pasien
memiliki rowayat penyakit hipertensi dengan tekanan darah 170/110 mmg/Hb.
Tapi pasien ini telah mengonsumsi obat untuk diabetes melitusnya yaitu glukodex
2xsehari dan untuk penyakit hipertensinya yaitu kaptropril 30x30 mg, diltiazem
1xsehari dan aspirin 1x100 sehari.
Menurut buku Dipiro Farmakoterapi halaman 182 untuk terapi pada pasien
yang menderita penyakit hipertensi yang komplikasi dengan diabetes melitus
maka cukup diberikan obat obat ACEI (kaptropril, lisinopril) atau ARB (lasartan,
dan valsartan).
Jadi obat-obat yang dikonsumsi selain dari obat yang dijelaskan pada buku
Dipiro maka seharusnya pasien tidak usah mengonsumsi obat tersebut karena
penyakit yang diderita dapat diatasi dengan cukup mengonsumsi obat ACEI atau
ARB. Tapi obat yang digunakan aspirin itu tidak perlu karena penyakitnya
merupakan penyakit yang memang sering terjadi komplikasi pada seseorang dan
aspirin sendri tidak memiliki fungsi yang spesifik dengan pasien. Sedangkan
untuk terapi diltiazem sudah cocok untuk pasien karena dapat membantu
meningkatkan kerja dari obat antihipertensi tetapi tidak cocok untuk dikonsumsi
bersama dengan obat Beta Bloker. Adapun Cara Kerja Obat obat diltiazem yaitu :
Diltiazem adalah derivate benzodiazepin yang merupakan prototip dari
antagonis kalsium. Mekanisme kerja senyawa ini adalah mendepresi fungsi nodus
SA dan AV, juga vasodilatasi arteri dan arteriol koroner serta perifer. Dengan
demikian maka diltiazem akan menurunkan denyut jantung dan kontraktiiitas otot
jantung, sehingga terjadi keseimbangan antara persediaan dan pemakaian oksigen
pada iskhemik jantung. Diltiazem efektif terhadap angina yang disebabkan oieh
vasospasme koroner maupun aterosklerosis koroner. Pemberian 'diltiazem akan
mengurangi frekuensi serangan angina dan menurunkan kebutuhan pemakaian
obat nitrogliserin. Pada pemberian dengan oral diltiazem diabsorpsi kira-kira 80 -
90% dan berikatan dengan protein plasma. Efek mulai tampak kurang dari 30
menit setelah pemberian dan konsentrasi puncak dalam plasma tercapai setelah 2
jam dengan waktu paruh 4 jam. Senyawa ini diekskresi dalam bentuk metabolit
melaiui urin (35%) dan feses (60%). Untuk dosis Dewasa : 4 x 30 mg sehari, bila
perlu dapat ditingkatkan sampai 360 mg sehari, diberikan sebelum makan dan
waktu hendak tidur.
Jadi kesimpulannya untuk terapi farmakologi yaitu : bisa dengan golongan
obat ACEI atau ARB dengan obat diltiazem. Sedangkan untuk terapi non
farmakologinya yaitu
Perubahan gaya hidup, antara lain : menurunkan berat badan, meningkatkan
aktifitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta mengurangi konsumsi
garam.
E. Penatalaksanaan klinik

Penatalaksanaan hipertensi merupakan langkah-langkah yang dilakukan

dengan terapi farmakologi dan non-farmakologi. Tujuan dilakukannya pengobatan

hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan

dengan hipertensi. Berdasarkan JNC VIII, untuk tahap penatalaksanaan hipertensi

dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Untuk populasi umum tanpa diabetes atau gagal ginjal kronik (CKD):

a) Di atas usia 60 tahun (target tekanan darah; SBP <150 mmHg, DBP <90

mmHg)

b) Di bawah usia 60 tahun (target tekanan darah; SBP <140 mmHg, DBP <90

mmHg)

Pengobatan dilakukan berdasarkan ras seseorang, untuk ras berkulit hitam

dilakukan pengobatan dengan tiazid tipe diuretik atau CCB (Calsium Chain

Blocker) diminum dengan dosis single atau kombinasi. Sedangkan untuk ras tidak

berkulit hitam dilakukan pengobatan dengan tiazid tipe diuretic atau ACEI (ACE

inhibitor) atau ARB (Angiotensin Renin Blocker) atau CCB diminum dengan

dosis tunggal atau kombinasi.

2. Untuk populasi dengan resiko diabetes atau gagal ginjal kronik (CKD)

a) Dengan resiko diabetes tanpa gagal ginjal kronik (target tekanan darah;

SBP <140 mmHg, DBP <90 mmHg)

Pengobatan dilakukan berdasarkan ras pasien. Untuk ras berkulit hitam

dilakukan pengobatan dengan tiazid tipe diuretik atau CCB (Calsium

Chain Blocker) diminum dengan dosis single atau kombinasi. Sedangkan

untuk ras tidak berkulit hitam dilakukan pengobatan dengan tiazid tipe

diuretic atau ACEI (ACE inhibitor) atau ARB (Angiotensin Renin

Blocker) atau CCB diminum dengan dosis tunggal atau kombinasi.


b) Dengan resiko gagal ginjal kronik dengan atau tanpa resiko diabetes

(target tekanan darah; SBP <140 mmHg, DBP <90 mmHg).

Pengobatan dilakukan dengan ACEI atau ARB, baik dosis tunggal maupun

kombinasi dengan tipe obat lainnya.

Selanjutnya dilakukan pemilihan strategi pengobatan yang dilakukan dengan

mempertahankan:

1. Maksimalkan dahulu pengobatan tingkat pertama

2. Tambahkan pengobatan second-line sebelum mencapai dosis maksimum

dari firt-line pengobatan

3. Mulai lakukan kedua tahap pengobatan secara terpisah atau dengan

membuatnya menjadi FDC (Fixed Dose Combination)

Ketika tekanan darah belum mencapai target, maka perkuat kepatuhan

pengobatan dan gaya hidup yang sudah dianjurkan. Untuk strategi 1 dan 2,

tambahkan dengan tiazid tipe diuretic atau ACEI atau ARB atau CCB (hindari

penggunaan kombinasi antara ACEI dan ARB). Untuk strategi 2, lakukan dosis

obat awal hingga dosis maksimal. Sebagai lanjutan, teruskan kepatuhan

pengobatan dari pasien dengan menambahkan tiazid tipe diuretik atau ACEI atau

ARB atau CCB (hindari penggunaan kombinasi antara ACEI dan ARB). Jika

target tekanan darah belum mencapai atau belum sesuai, maka tetap lanjutkan

dengan pengobatan terakhir yang dilakukan disertai dengan monitoring.

Selanjutnya untuk terapi non-farmakologi, meliputi perbaikan gaya hidup

dengan dilakukan pengurangan berat badan untuk individu yang mengalami

obesitas atau kegemukan, mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to

Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium, diet rendah natrium,

aktifitas fisik dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja.

Manifestasi klinik
Penderita hipertensi primer yang sederhana pada umumnya tidak disertai gejala.

Penderita hipertensi sekuder dapat disertai gejala suatu penyakit. Penderita

feokromositoma dapat mengalami sakit kepala paroksimal, berkeringat,

kakikardia, palpitasi, dan hipotensi ortostatik. Pada aldosteronemia primer yang

mungkin terjadi adalah gejala hipokalemia keram otot dan kelelahan. Penderita

hipertensi sekunder pada sindrom cushing dapat terjadi peningkatan berat badan,

poliuria, edema, iregular menstruasi, jerawat atau kelelahan otot.

Pendekatan secara umum

Walaupun hipertensi merupakan salah satu kondisi medis yang umum

dijumpai,Tetapi kontrol tekanan darah masih buruk. Kebanyakan pasien dengan

hipertensiTekanan darah diastoliknya sudah tercapai tetapi tekanan darah sistolik

masih tinggi. Diperkirakan dari populasi pasien hipertensi yang diobati tetapi

belum

terkontrol, 76.9% mempunyai tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan

darah diastolic ≤90 mmHg. Pada kebanyakan pasien, tekanan darah diastolik yang

diinginkan akan tercapai apabila tekanan darah sistolik yang diiginkan sudah

tercapai. Karena kenyataannya tekanan darah sistolik berkaitan dengan resiko

kardiovaskular dibanding tekanan darah diastolik, maka tekanan darah sistolik

harus digunakan sebagai petanda klinis utama untuk pengontrolan penyakit pada

hipertensi. Modifikasi gaya hidup saja bisa dianggap cukup untuk pasien dengan

prehipertensi, tetapi tidak cukup untuk pasien-pasien dengan hipertensi atau untuk

pasien-pasien dengan target tekanan darah ≤ 130/80 mmHg (DM dan penyakit

ginjal). Pemilihan obat tergantung berapa tingginya tekanan darah dan adanya

indikasi khusus. Kebanyakan pasien dengan hipertensi tingkat 1 harus diobati

pertama-tama dengan diuretik tiazid. Pada kebanyakan pasien dengan tekanan

darah lebih tinggi (hipertensi tingkat 2), disarankan kombinasi terapi obat, dengan
salah satunya diuretik tipe tiazid. Terdapat enam indikasi khusus dimana kelas-

kelas obat antihipertensi tertentu menunjukkan bukti keuntungan yang unik.

KEPUSTAKAAN

Amir Syarif, dkk.Farmakologi dan Terapi Edisi VI: Jakarta. Universitas


Indonesia. 2016.

Agung Endro Nugroho, Farmakologi. Pustaka Pelajar. Jakarta: 2011

Ditjen. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Buku Saku Penatalaksanaan


Kasus Malaria. Kementrian Kesehatan. 2017.

Dipiro. J. T. Pharmacoteraphy: A Pathophysiology Apparoach Seventh Edition.


Mc. Graw Hill Medical: USA. 2008.

Depkes RI. Pharmaceutical Care. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi dan Klinik.
2006.

Goodman & Gilman. Manual Farmakologi & Terapi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2008.

Herwati. Terkontrolnya Tekanan Darah Penderita Hipertensi Berdasarkan Pola


Diet dan Keberadaan Olahraga di Padang Tahun 2012. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Vol. 8 No. 1. September 2013.

James, Paul. Evidence Based Guadeline For The Management High Blood
Pressure In Adults Report From The Panel Members Appointed To The
English Joint National Commite (JNC 8). J Am Med Assoc. 2014.

Joyce L. Kee, Evelyn R. Hayes. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan,


E, Alih Bahasa Peter Anugrah. Jakarta: EGC. 1996.

Mycek, Mary J., Richard A. Harvey, and Pamela C. Champe, Farmakologi


Ulusan Bergambar Edisi 2. Jakarta: Widya Medika. 2001.

[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan. Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. Jakarta. 2007.

US. Departement Of Health and Human Services JNC 7 Express Prevention,


Detection, Evaluation and Treatment Of High Blood Preasure. National
Institute Of Health: USA. 2003.

Yuliana Elin, Andrajat Retnosari, ISO Farmakoterapi. Jakarta: ISFI. 2009.


Hipertensi

1. Tekanan darah ditentukan oleh 2 faktor yaitu.....


a. Curah jantung dan resistensi vaskular perifer
b. Elastisitas pb darah dan tonus pembuluh darah
c. Frekuensi denyut jantung dan resistensi vaskular perifer
d. Resisten perifer dan volume darah
e. Frekuensi denyut jantung dan volume darah
2. Berapa sistol dan distol seseorang dikatakan mengalami hipertensi.....
a. 130/ 80 mmHg
b. Kurang 120/80 mmHg
c. 140/80 mmHg
d. Lebih 140/90 mmHg
e. 120/90 mmHg
3. Apa yang menyebabkan terjadinya hipertensi essensial atau hipertensi primer,
kecuali.....
a. Faktor genetik
b. Diet
c. Penggunaan obat sebelumnya
d. Obesitas
e. Kebiasaan merokok
4. Berikut yang tidak termasuk golongan obat antihipertensi adalah....
a. Diuretik
b. Aminoglikosida
c. ACE Inhibitor
d. ARB
e. CCB
5. Berapa tekanan darah seseorang dikatakan hipertensi stage 1.....
a. 130/ 80 mmHg
b. 120-139/80-89 mmHg
c. 130-180/80-90 mmHg
d. 140-159/90-99 mmHg
e. 120/80 mmHg
6. Contoh golongan obat dari ACE Inhibitor, kecuali.....
a. Captopril
b. Ramipril
c. Spironolactone
d. Enalapril
e. Lisinopril
7. Memblokade reseptor AT1 sehingga menyebabkan vasodilatasi, peningkatan
ekskresi Na dan cairan serta menurunkan hipertrofi vaskular adalah mekanisme
kerja dari golongan obat......
a. ARB
b. ACEI
c. Diuretik
d. Penghambat adrenergik
e. CCB
8. Contoh obat diuretik yang indikasinya untuk hipertensi pada lansia adalah.....
a. Spironolactone
b. Furosemid
c. Nidefipine
d. Hidroklortiazid
e. Kaptopril
9. Contoh obat diuretik yang penggunaanya pada penderita retensi cairan yang
berat......
a. HCT
b. Furosemid
c. Lisinopril
d. Kaptopril
e. Spironolactone
10. Meningkatkan ekskresi natrium, air, dan klorida sehingga menurunkan volume
darah dan cairan ekstraseluler adalah mekanisme kerja golongan obat.....
a. Diuretik
b. ACE Inhibitor
c. ARB
d. Penghambat adrenergik
e. CCB
11. Apa yang terjadi jika ACE Inhibitor dikombinasikan dengan diuretik hemat kalium.....
a. Gagal jantung
b. Hipokalemia
c. Hipoglikemia
d. Hiperkalemia
e. hiponatremia
12. Contoh obat golongan CCB golongan Bensotiazepine adalah.....
a. Nifedipine
b. Diltiazem
c. Amlodipine
d. Verapamil
e. Nicardipine
13. Reseptor β1 dan β3 teletak dibagian.....
a. Pada otot polos dan jaringan lemak
b. Pada otot polos dan bronkus
c. Pada pembuluh darah dan miokard
d. Pada miokard dan jaringan lemak
e. Pada miokard dan otot polos pembuluh darah
14. Golongan β-blocker terdiri atas 2 jenis yaitu kardioselektif dan nonselektif,contoh
obat β bloker nonselektif yaitu,kecuali.....
a. Propranolol
b. Carvediol
c. Timolol
d. Alprenolol
e. Bisoprol

15. Berikut terapi non farmakologi untuk pasien hipertensi, kecuali......


a. Berhenti merokok
b. Berhenti mengonsumsi alkohol
c. Menurunkan berat badan
d. Membatasi diet tinggi lemak
e. Tidak Mengonsumsi makanan yang berserat
16. Bekerja dengan menghambat aktivitas saraf simpatis ( saraf yang bekerja pada saat
kita bekerja) adalah mekanisme kerja golongan obat.....
a. Penghambat adrenergik
b. ACE Inhibitor
c. ARB
d. CCB
e. Diuretik
17. Bekerja sebagai diuretik lemah yang bekerja terutama pada tubulus distal ginjal dan
meningkatkan ekskresi Na dan mengurangi ekskresi K adalah mekanisme kerja
golongan obat......
a. Diuretik tiazid
b. Loop diuretik
c. Diuretik hemat kalium
d. Β-blocker
e. Penghambat adrenergik
18. Pada penderita hipertensi perlu dilakukan evaluasi dengan tujuan untuk.....
a. Menurunkan gejala-gejalanya
b. Menyembuhkan penyakitnya
c. Meringankan efeknya
d. Menilai gaya hidup,mencari penyebab hipertensi, dan menentukan ada
tidaknya kerusakan jaringan
e. Menilai pengobatan yang dilakukan
19. Merasakan pusing,muka merah, sakit kepala, keluar darah dari hidung secara tiba-
tiba,tengkuk secara pegal adalah .......hipertensi
a. Diagnosa
b. Penyebab
c. Gejala dan Tanda
d. Faktor-Faktor
e. Penatalaksanaan Klinik
20. Berikut terapi non farmakologi untuk pasien hipertensi, kecuali......
a. Berhenti merokok
b. Berhenti mengonsumsi alkohol
c. Menurunkan berat badan
d. Membatasi diet tinggi lemak
e. Tidak Mengonsumsi makanan yang berserat
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Malaria ditemukan hampir di seluruh bagian dunia, terutama di negara-
negara yang beriklim tropis dan subtropis. Penduduk yang berisiko terkena
malaria berjumlah sekitar 2,3 miliar atau 41% dari jumlah penduduk dunia. Setiap
tahun, kasusnya berjumlah sekitar 300-500 juta kasus dan mengakibatkan 1,5- 2,7
juta kematian, terutama di negara-negara benua Afrika (Depkes RI. 2008).
Sejak tahun 1997 sampai dengan pertengahan 2004 kasus malaria
cenderung meningkat, penyebabnya antara lain adanya perubahan lingkungan,
pembangunan yang tidak berwawasan kesehatan, mobilitas penduduk tinggi,
situasi politik antara lain (konflik sosial, krisis ekonomi, bencana alam),
pemantauan dan analisis data malaria yang belum optimal di setiap jenjang serta
meningkatnya resistensi parasit malaria terhadap obat-obatan yang diandalkan
pemerintah saat ini. Selain itu sistem pelayanan kesehatan yang lemah terutama
dengan adanya desentralisasi terjadi kelesuan dalam penanggulangan malaria dan
keterbatasan sumber daya dalam sistem kesehatan, akseabilitas pengobatan dan
surveilans yang melemah, timbul resistensi nyamuk terhadap pestisida dan
resistensi parasit terhadap obat antimalaria, untuk itu program pemberantasan
malaria sudah harus memikirkan obat standar untuk malaria (WHO. 1999).
Sejak tahun 1973 ditemukan pertama kali kasus resisten Plasmodium
falsiparum terhadap klorokuin di Kalimantan Timur. Sejak itu resisten terhadap
klorokuin semakin meluas bahkan pada tahun 1990 dilaporkan telah terjadi
resistensi parasit Plasmodium falsiparum terhadap klorokuin di seluruh propinsi di
Indonesia. Selain itu dilaporkan juga adanya kasus resistensi Plasmodium
falsiparum terhadap Sulfadoksin-Pirimethamin (SP) di beberapa tempat di
Indonesia. Keadaan seperti ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
akibat penyakit malaria. Upaya untuk menanggulangi masalah resistensi tersebut
(multiple drug resistence), maka pemerintah telah merekomendasikan obat pilihan
pengganti klorokuin dan SP terhadap Plasmodium falsiparum dengan terapi
kombinasi artemisinin (artemisinin combination therapy). Hal ini sejalan dengan
rekomendasi WHO (Depkes RI. 2008).
Malaria ditemukan hampir di seluruh bagian dunia, terutama di negara -
negara yang beriklim tropis dan subtropis. Penduduk yang berisiko terkena
malaria berjumlah sekitar 2,3 miliar atau 41% dari jumlah penduduk dunia. Setiap
tahun, kasusnya berjumlah sekitar 300-500 juta kasus dan mengakibatkan 1,5- 2,7
juta kematian, terutama di negara-negara benua Afrika. Istilah malaria berasal dari
bahasa ltalia (mala = jelek; aria : udara), jadi dahulu orang menduga bahwa
penyakit malaria disebabkan oleh udara yang kotor. Dalam penelitian yang lebih
modern ternyata penyakit malaria disebabkan oleh parasit bersel tunggal yang
disebut protozoa dan dipindahkan ke dalam tubuh manusia melalui nyamuk
anopheles. Malaria adalah penyakit infeksi yang paling luas penyebarannya di
dunia dan diperkirakan 1/3 penduduk di dunia terkena penyakit infeksi ini
sehingga mempunyai pengaruh sosial. Penelitian yang dijalankan menjelang dan
selama perang Dunia I menunjukkan bahwa obat-obat yang dapat
menanggulanginya ialah obat-obat sintetis. 20 tahun kemudian ternyata setelah
obat-obat sintetis ini dapat dibuat dan sangat manjur. Manfaat obat-obat sintetis
tersebut menurun karena penyakit malaria tersebut menjadi sangat resisten
sehingga akhirnya orang kembali memakai obat kuno yaitu kina. Malaria adalah
penyakit infeksi dengan demam berkala yang disebabkan oleh parasit Plasmodium
dan ditularkan dengan sejenis nyamuk (Tjay: 2015: 175).
Pemerintah memandang malaria masih sebagai ancaman terhadap status
kesehatan masyarakat terutama pada rakyat yang hidup di daerah terpencil. Hal ini
tercermin dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No.2 Tahun 2015 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2005-2009 dimana
malaria termasuk penyakit prioritas yang perlu ditanggulangi (Depkes RI, 2017:
3).
Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat
menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak
balita, ibu hamil, selain itu malaria secara langsung menyebabkan anemia dan
dapat menurunkan produktivitas kerja (Depkes RI, 2017: 1).
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi
masalah kesehatan di masyarakat luas dan mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan bangsa Indonesia. Komitmen untuk pengendalian penyakit malaria ini
diharapkan menjadi perhatian kita semua, tidak hanya secara nasional namun juga
regional dan global sebagaimana yang dihasilkan pada pertemuan World Health
Assembly (WHA) ke-60 pada tahun 2007 di Geneva tentang eliminasi malaria
(Depkes RI, 2017: 1).
Dan juga faktor penyebabnya yaitu nyamuk sendiri telah menjadi resisten
terhadap insektisida DDT, walaupun dahulu sangal ampuh. Karena ini penelitian
di bidang ini sekarang masih dilaksanakan dan belum berhasil didapatkan
imunisasi terhadap malaria. Dahulu pemberantasan penyakit malaria di Indonesia
dilakukan oleh Komando Operasi Pembasmian Malaria (KOPM) yang
mempunyai tugas utama yaitu membasmi pembawa penyakit malaria yaitu
nyamuk anopheles, dan ini sekarang termasuk P3M (Pencegahan Pembasmian
Penyakit Menular). Malaria merupakan penyakit protozoa yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk Anopheles. Penyakit ini paling penting di antara penyakit parasit
pada manusia yang menjangkiti 103 negara yang endemis dengan jumlah populasi
lebih dari 2,5 milyar orang dan menyebabkan 1 hingga 3 juta kematian setiap
tahunnya. Penyakit malaria kini telah terbasmi di Amerika Utara, Eropa, dan
Rusia; namun demikian, kendati ada upaya pengendalian yang luar biasa, penyakit
ini tampak timbul kembali pada banyak kawasan tropis. Di samping itu, resistensi
parasit malaria terhadap pengobatan menyebabkan peningkatan permasalahan di
sebagian besar daerah malaria. Malaria tetap terdapat pada saat ini seperti yang
terdapat untuk berabad-abad lamanya, menjadi beban utama bagi masyarakat yang
tinggal di kawasan tropis dan merupakan ancaman bahaya untuk para pelancong
(Iiselbacher. 2000: 1001-1002).
Dan juga faktor penyebabnya yaitu nyamuk sendiri telah menjadi resisten
terhadap insektisida DDT, walaupun dahulu sangal ampuh. Karena ini penelitian
di bidang ini sekarang masih dilaksanakan dan belum berhasil didapatkan
imunisasi terhadap malaria. Dahulu pemberantasan penyakit malaria di Indonesia
dilakukan oleh Komando Operasi Pembasmian Malaria (KOPM) yang
mempunyai tugas utama yaitu membasmi pembawa penyakit malaria yaitu
nyamuk anopheles, dan ini sekarang termasuk P3M (Pencegahan Pembasmian
Penyakit Menular). Malaria merupakan penyakit protozoa yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk Anopheles. Penyakit ini paling penting di antara penyakit parasit
pada manusia yang menjangkiti 103 negara yang endemis dengan jumlah populasi
lebih dari 2,5 milyar orang dan menyebabkan 1 hingga 3 juta kematian setiap
tahunnya. Penyakit malaria kini telah terbasmi di Amerika Utara, Eropa, dan
Rusia; namun demikian, kendati ada upaya pengendalian yang luar biasa, penyakit
ini tampak timbul kembali pada banyak kawasan tropis. Di samping itu, resistensi
parasit malaria terhadap pengobatan menyebabkan peningkatan permasalahan di
sebagian besar daerah malaria. Malaria tetap terdapat pada saat ini seperti yang
terdapat untuk berabad-abad lamanya, menjadi beban utama bagi masyarakat yang
tinggal di kawasan tropis dan merupakan ancaman bahaya untuk para pelancong
(Iiselbacher. 2000: 1001-1002).
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium,
termasuk dalam family Plasmodiae. Parasit ini menyerang eritrosit dan ditandai
dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Pembiakan seksual
Plasmodium terjadi di dalam tubuh nyamuk yaitu anopheles betina. Selain
menginfeksi manusia, Plasmodium juga menginfeksi binatang seperti golongan
burung, reptil dan mamalia. Pada manusia, Plasmodium menginfeksi sel darah
merah dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit (Depkes
RI, 2008: 5).
Dikenal 5 (lima) macam spesies Plasmodium, yaitu: Plasmodium
falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae dan
Plasmodium knowlesi. Parasit yang terakhir disebutkan ini belum banyak
dilaporkan di Indonesia (Depkes RI, 2017: 4).
Secara umum, setiap oramg dapat terinfeksi malaria, tetapi ada juga orang
yang memiliki kekebalan terhadap parasit malaria, baik yang bersifat
bawaan/alamiah maupun didapat. Orang yang paling beresiko terinfeksi malaria
adalah anak balita, wanita hamil, serta penduduk non-imun yang mengunjungi
daerah edemis malaria, seperti para pengungsi, transmigran, dan wisatawan
(Depkes RI, 2008: 8).
Gejala-gejala penyakit malaria dipengaruhi oleh daya tahan tubuh
penderita, jenis Plasmodium malaria, serta jumlah parasite yang menginfeksinya.
Waktu terjadinya infeksi pertama kali sampai timbulnya gejala penyakit disebut
masa inkubasi, sedangkan waktu antara terjadinya infeksi sampai ditemukannya
parasit malaria di dalam darah disebut periode prapaten. Masa inkubasi maupun
periode prapaten ditentukan oleh jenis plasmodiumnya (Depkes RI, 2008: 10)
Salah satu tantangan terbesar dalam upaya pengobatan malaria di
Indonesia adalah terjadinya penurunan efikasi pada penggunaan beberapa obat
antimalaria, bahkan terdapat resistensi terhadap klorokuin. Hal ini dapat
disebabkan antara lain oleh karena penggunaan obat antimalarial yang tidak
rasional. Sejak tahun 2004, obat pilihan utama untuk malaria falciparum adalah
obat kombinasi derivat Artemisinin yang dikenal dengan Artemisinin-based
Combination Therapy (ACT). Kombinasi Artemisinin dipilih untuk meningkatkan
mutu pengobatan malaria yang sudah resisten terhadap klorokuin dimana
Artemsinin ini mempunyai efek terapeutik yang lebih baik (Depkes RI, 2017: 3).
BAB II
PEMBAHASAN

A. Patofisiologi
Di seluruh dunia terdapat sekitar 2.000 spesies anopheles, 60
spesiesdiantaranya diketahui sebagai penular malaria. Di Indonesia ada sekitar 80
jenis anopheles, 24 spesies di antaranya telah terbukti penular malaria. Sifat
masing-masing spesies berbeda-beda tergantung banyak faktor, seperti
penyebaran geografis, iklim, dan tempat perindukannya. Semua nyamuk malaria
hidup sesuai dengan kondisi ekologi setempat, contohnya nyamuk malaria yang
hidup di air payau (Anopheles sundaicus dan Anopheles subpictus), di sawah
(Anopheles aconitus), atau air bersih di pegunungan (Anopheles maculatus).
Nyamuk anopheles hidup di daerah iklim tropis dan subtropis, tetapi juga bias
hidup di daerah yang beriklim sedang. Nyamuk ini jarang ditemukan pada daerah
dengan ketinggian lebih dari 2.000 – 2.500 meter. Tempat perindukannya
bervariasi tergantung spesies, dan dapat dibagi menjadi tiga kawasan, yaitu pantai,
pedalaman dan kaki gunung. Biasanya, nyamuk anopheles betina menggigit
manusia pada malam hari atau sejak senja hingga subuh. Jarak terbangnya tidak
lebih dari 0,5 – 3 km dari tempat perindukannya, kecuali jika ada tiupan angin
kencang bisa terbawa sejauh 20 – 30 km. Nyamuk anopheles juga dapat terbawa
mobil, pesawat terbang atau kapal laut, dan menyebarkan malaria ke daerah non-
endemis. Umur nyamuk anopheles dewasa di alam bebas belum banyak diketahui,
tetapi di laboratorium dapat mencapai 3 – 5 minggu.
Penyakit malaria ini disebabkan oleh parasit plasmodium. Species
plasmodium pada manusia ada, yaitu: (Clyde DF. 2000: 328-334).
1. Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika.
2. Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana.
3. Plasmodium malariae, penyebab malaria malariae (quartana)
4. Plasmodium ovale, penyebab malaria ovale.
Kini plasmodium yang selama ini dikenal hanya ada pada monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis), ditemukan pula ditubuh manusia. Penelitian
sebuah tim internasional yang dimuat jurnal Clinical Infectious Diseases
memaparkan hasil tes pada 150 pasien malaria di rumah sakit Serawak, Malaysia,
Juli 2006 sampai Januari 2008, menunjukkan, dua pertiga kasus malaria
disebabkan infeksi plasmodium knowlesi Plasmodium falciparum merupakan
penyebab infeksi yang berat dan bahkan dapat menimbukan suatu variasi
manisfestasi-manifestasi akut dan jika tidak diobati, dapat menyebabkan
kematian.5,6 Seorang dapat menginfeksi lebih dari satu jenis plasmodium, dikenal
sebagai infeksi campuran / majemuk (mixed infection). Pada umumnya lebih
banyak dijumpai dua jenis plasmodium, yaitu campuran antara plasmodium
falciparum dan plasmodium vivax atau plasmodium malariae. Kadangkadang
dijumpai tiga jenis plasmodium sekaligus, meskipun hal ini jarang terjadi. Infeksi
campuran biasanya terdapat di daerah dengan angka penualaran tinggi (Band JD.
2004.953- 958).
P.falciparum dan P.Malariae umumnya terdapat pada hampir semua
negara dengan malaria, P.Falciparum terdapat di Afrika, Haiti, dan Papua Nugini,
sedangkan P.vivax banyak di Amerika Latin. Di Amerika Selatan, Asia Tenggara,
negara Oceania dan India umumnya P.falciparum dan P.vivax. Dan P.ovale
biasanya hanya terdapat di Afrika. Di Indonesia timur : Kalimantan, Sulawesi
Tengah sampai Utara, Maluku, Papua dan Lombok sampai Nusa Tenggara Timur
merupakan daerah endemis malaria dengan P.falciparum dan P.vivax. (Depkes RI.
2008)
Seorang penderita dapat dihinggapi lebih dari satu jenis plasmodium.
Infeksi demikian disebut infeksi campuran (mixed infection). Biasanya, penderita
paling banyak dihinggapi dua jenis parasit malaria, yakni campuran antara
P.falciparum dan P.vivax atau P.ovale.
Ciri utama genus plasmodium adalah adanya dua siklus hidup, yaitu siklus
hidup aseksual dan siklus seksual (Depkes RI. 2008)
a. Fase aseksual
Dimulai ketika anopheles betina menggigit manusia dan memasukkan
sporozoit yang terdapat dalam air liurnya ke dalam sirkulasi darah manusia.
Dalam waktu 30 menit – 1 jam, sporozoit masuk kedalam sel parenkhim hati
dan berkembang biak membentuk skizon hati yang mengandung ribuan
merozoit. Proses ini disebut intrahepatic schizogony atau pre-erythrocyte
schizogony atau skizogoni eksoeritrosit, karena parasit belum masuk kedalm
eritrosit (sel darah merah). Lamanya fase ini berbeda-beda untuk tiap spesies
plasmodium; butuh waktu 5,5 hari untuk P.falciparum dan 15 hari untuk
P.malariae. Pada akhir fase terjadi sporulasi, dimana skizon hati pecah dan
banyak mengeluarkan merozoit ke dalam sirkulasi darah. Pada P.vivax dan
P.ovale, sebagian sporozoit membentuk hipnozoit dalam hati yang dapat
bertahan sampai bertahun-tahun, atau dikenal sebagai sporozoit “tidur” yang
dapat mengakibatkan relaps pada malaria, yaitu kambuhnya penyakit setelah
tampak mereda selama periode tertentu. Fase eritrosit dimulai saat merozoit
dalam sirkulasi menyerang sel darah merah melalui reseptor permukaan
eritrosit dan membentuk trofozoit. Reseptor pada P.vivax berhubungan dengan
faktor antigen Duffy Fya dan Fyb. Oleh karena itu individu dengan golongan
darah Duffy negatif tidak terinfeksi malaria vivax. Reseptor P.falciparum
diduga merupakan suatu glikoforin, sedangkan pada P.malariae dan P.ovale
belum diketahui. Dalam kurang dari 12 jam parasit berubah menjadi bentuk
cincin; pada P.falciparum berubah menjadi bentuk stereo-headphones didalam
sitoplasma yang intinya mengandung kromatin. Parasit malaria tumbuh dengan
mengonsumsi hemoglobin. Bentuk eritrosit yang mengandung parasit menjadi
lebih elastis dan berbentuk lonjong. Setelah 36 jam menginvasi eritrosit, parasit
berubah menjadi skizon. Setiap skizon yang pecah akan mengeluarkan 6-36
merozoit yang siap menginfeksi eritrosit lain. Siklus aseksual P.falciparum,
P.vivax, dan P.ovale adalah 48 jam dan P.malariae adalah 72 jam. Dengan
kata lain, proses menjadi trofozoit – skizon – merozoit. Setelah dua sampai tiga
generasi merozoit terbentuk, sebagian berubah menjadi bentuk seksual, gamet
jantan dan gamet betina.
b. Fase seksual
Jika nyamuk anopheles betina mengisap darah manusia yang
mengandung parasit malaria, parasit bentuk seksual masuk ke dalam perut
nyamuk. Bentuk ini mengalami pematangan menjadi mikrogametosit dan
makrogametosit, yang kemudian terjadi pembuahan membentuk zygote
(ookinet). Selanjutnya, ookinet menembus dinding lambung nyamuk dan
menjadi ookista. Jika ookista pecah, ribuan sporozoit dilepaskan dan
bermigrasi mencapai kelenjar air liur nyamuk. Pada saat itu sporozoit siap
menginfeksi jika nyamuk menggigit manusia.

B. EPIDEMIOLOGI MALARIA
Di indonesia terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kematian setiap
tahunnya (survei kesehatan rumah tangga, 2001). Diperkirakan 35 % penduduk
undonesia tinggal di daerah yang beresiko tertular malaria. Dari 293 kabupaten /
kota yang ada di indonesia, 167 kabupaten / kota merupakn daerah endemis
malaria. Upaya penanggulangan malaria telah menunjukkan peningkatan mulai
dari tahun1997 s/d 2004 (Depkes RI. 2005: 1-37).
Data malaria dikumpulkan dengan dua cara dalam Riskesdes 2013 yaitu
wawancara terstruktur menggunakan kuesioner dan pemeriksaan darah
menggunakan dipstick (Rapid Diagnostic Test/RDT) yang disebut dengan point
prevalence. Besarnya sampel untuk pemeriksaan RDT merupakan subsampel dari
sampel kesehatan masyarakat dan jumlah sampel yang dapat dianalisis adalah
46.394 (92,92% dari jumlah sampel 49.931). Point prevalence malaria menurut
riskesdas tahun 2013 adalah 1,3%, namun hal ini tidak menggambarkan kondisi
indonesia secara keseluruhan dalam satu tahun karena malaria mempunyai masa-
masa peak kasusnya yang berbeda-beda. Bila dibandingkan dengan riskesdas
tahub 2010 point prevalence-nya malaria tahun 2013 meningkat sekitar dua kali
lipat dari point prevalence malaria tahun 2010(Kemenkes RI, 1: 2016).
Sementara itu, pada kelompok rentan, seperti anak-anak umur 1-9 tahun
dan bumil, didapatkan angka positif malaria yang cukup tinggi (1,9%)
dibandingkan denhan kelompok lainnya. Proporsi penduduk perdesaann yang
positif juga sekitar dua kali lipat lebih banyak (1,7%) dibandingkan dengan
penduduk perkotaan (0,8%). Proporsi malaria berdasarkan spesies parasit malaria
yang menginfeksi, yaitu plasmodium falciparum, plasmodium vivax atau infeksi
campuran (p. Falciparum dan p. Vivax). Walaupun secara keseluruhan besarnya
infeksi p. Falciparum sama dengan p.vivax berdasrakan pengelompokkan umur,
jenis kelamin dan ibu hamil didapatkan bahwa infeksi p. Falciparum terlihay demi
dominan dengan angka kesakitan pada anak berumur 1-9 tahun sebesar 1,2 persen
dan 1,3 persen pada ibu hamil. Berdasarkan lokasi tempat tinggal didapatkan
bahwa di daerah perkotaan infeksi dengan p. Vivax (0,5%) lebih tinggi
dibandingkan infeksi p. Falciparum (0,3%), sebaliknya de daerah perdesaan
didapatkan infeksi p. Falciparum lebih tinggi(Kemenkes RI, 2 : 2016)
C. Upaya pengendalian malaria
Salah satu bentuk komitmen pemerintah terhadap upaya pengendalian
malaria, telah diterbitkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 239/MENKES/SK/IV/2009 tanggal 28 april 2009 tentang Eliminasi
Malaria di Indonesia. Eliminasi malaria bertujuan untuk mewujudkan masyarakat
yang hidup sehat, yang terbebas dari penularan malaria secara bertahap sampai
dengan tahun 2030. Penetapan sasran wilayah eliminasi malaria dilaksanakan
secara bertahap. Wilayah tersebut yaitu :
1. Kepulauan seribu (Provinsi DKI Jakarta), Pulau Bali, dan Pulau Batam
pada tahun 2010.
2. Pulau Jawa, Provinsi Aceh, dan Provinsi Kepulauan Riau pada tahun
2015.
3. Pulau Sumatera (kecuali Provinsi Kepulauan Riau), Provinsi NTB, Pulau
Kalimantan, dan Pulau Sulawesi pada tahun 2020.
4. Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Maluku, Provinsi Nusa
Tenggara Timur dan Provinsi Maluku Utara, pada tahun 2030.
Eliminasi malaria memiliki kegiatan utama yang terdiri dari :
1. Peningkatan kualitas dan akses terhadap penemuan dini dan pengobatan
malaria.
2. Peminjaman kualitas diagnosis malaria melalui pemeriksaan laboratorium
maupun Rapid Diagnostic Test (RDT).
3. Perlindungan terhadap kelompok rentan terutama ibu hamil dan balita di
daerah endemis tinggi.
4. Penguatan penanganan kejadian luar biasa (KLB) dan srveilens kasus
malaria.
5. Intervensi vektor temasuk surveilans vektor.
6. Penguatan sistem pengelolaan logistik malaria .
Berdasarkan cakupan konfirmasi laboratorium belum semua suspek
malaria dilakukan pemeriksaan sediaan darahnya baik secara mikroskopis
(laboratorium) maupun dengan Rapid Diagnosis Test (RDT) Malaria. Dari tahun
2008 sampai dengan tahun 2012, pemeriksaan sediaan darah terhadap jumlah
suspek malaria terus meningkat secara signifikan yaitu pada tahun 2008 sebesar
48% meningkat menjadi 93% pada tahun 2012(Kemenkes RI, 4 : 2016)

D. Penggolongan obat Malaria


1. Artemisinin dan derivatik
Mekanisme kerja : antemisin dan analognya merupakan antimalaria yang
sangat poten, bekerja cepat sebagai skizontosida darah pada berbagai parsit
malaria. Artemisinin tidak bekerja pada Tahap dihati. Artemisinin bekerja sebagai
antimalaria berdasarkan adanya struktur 1,2,4 trioksal dengan cara membentuk
radikal bebas yang berinti karbon dengan pembuatan Fe2+
2. Obat partner artemisinin
a. Lumefantrin
Lumefantrin memiliki struktur arilamino alkohol seperti meflikuin
dan halofantrin. Lumifantrin diformulasi bersama dengan artemeter
waktu paru lumefantrin dalam kombinasi sekitar 4 hari. Kadar obat
dalam darah akan dipengaruhi interaksi dengan obat lain yang
dimetabolisme oleh CYP3A4. Absorbsi lumefantrin sangat
dipengaruhi oleh makanan seperti pemberian makanan dengan lemak
yang tinggi dapat meningkatkan absorbs
b. Amodiakuin
Mekanisme kerjanya : serupa dengan klorokuin. Amodiakuin telah
digunakan secara luas dalam terapi malaria, amodiakuin
dimetabolisme menjadi metabolit desetilamodiakuin (DEAQ) oleh
CYP2C8. Pembentukan desetilamediakuin telah terjadi dengan cepat
dan eliminasinya sangat lambat dengan t1/2 lebih dari 100 jam. Kadar
plasma BEAQ 7-8 kali lebih tinggi dari dari amodiakuin
c. Piperakiun
Mekanisme kerjanya: piperakuin diabsorbsi dengan baik dengan
tema 2 jam setelah dosis tunggal. Diduga mekanisme piperakuin
terhadap galur yang resisten terhadap lorokuin adalah penghambatan
transforter efluks yang mengeluarkan klorokuin dan vakuola makanan
parasit serta penghambatan jalur digesti hem pada vakuola makanan
parasit.
d. Meflokuin
Mekanisme kerjanya: meflokuin diabsorbsi dengan baik dan
konsentrasi plasma puncak dicapai dalam 18 jam. Meflokuin terikat
dengan protein dan dieliminasi secara lambat setelah pemberian dosis
tunggal. Waktu paruh terminal sekitar 20 haru, sehingga dapat
diberikan 1 kali seminggu untuk kemoprofilaxis.
e. Pironalidin
Mekanisme kerjanya: bekerja sebagai antimalaria dengan cara
mengganggu vakuola makanan parasit. Yang diikuti dengan
pembentukan kompleks dengan tropozoid. Pironalidin juga
menghambat pembentukan β hematin serupa dengan klorokuin dengan
menghambat terjadinya hemolisis akibat hematin
3. Kuinolon dan senyawa turunannya
a. Kuinin dan kuinidin
Mekanisme kerjanya kini bekerja dalam bentuk eritrisitik aseksual
parasit serta tidak memiliki efek pada bentuk hepatic parasit malaria.
Mekanisme kerja kina serupa dengan klorokuin karna memiliki gugus
kuinolon. Kina bekerja dalam vakuola makanan P. falsifarum dengan cara
menghambat aktivitas enzim heme polymerase sehingga menyebabkan
penumpukan terhadap parasit. Heme merupakan hasil sampingan dari
penghancuran hemoglobin dalam vakuola makanan parasit yang akan
diubah menjadi pigmen parasit (hemozoin) oleh heme polymerase.
b. Primakuin
Mekanisme kerja dia bekerja di hati hingga saat ini belum diketahui
dengan pasti mekanismenya, namun diduga oleh gangguan fungsi
ubikuinon di mitokondria sebagai pembawa elektron pada rantai
pernapasan. Dugaan lain adalah primakuin menghasilkan metabolit yang
sangat reaktif yang menyebabkan oksidasi intra seluler.
c. Klorokuin
Mekanisme kerja menghasilkan radikan dan heme sebagai produk
sisa yang sangat reaktif. Heme diubah oleh parasit menjadi pigmen yang
tidak larut melalui proses sekuesterasi yang disebut hemozoin. Klorokuin
bekerja dengan cara mengganggu proses sekuesterasi heme menjadi
hemozoin. Klorokuin dan obat sejenis berikatan dengan heme,
menghambat proses detoksikasi yang selanjutnya mnghasilkan kompleks
yang mematikan bagi membrane dan enzim divakuola makanan parasit.
4. Tetrasiklin
Tetrasiklin serta doksisiklin merupakan skizontosida eritrositik
pada seluruh parasit malaria. Keduanya tidak aktif terhadap fase hepatic
parasit. Doksisiklin digunakan bersama kina untuk malaria falsi parum
yang berat. Doksisiklin digunakan setelah pemberian awal kina, kuingidin
atau artesunat. Pada semua kasus, pemberian doksisiklin diberikan selama
1 minggu.
Tetrasiklin bersedia dalam bentuk kapsul yang mengandung 250
mg atau 250 mg titrasiklin HCL, sedangkan doksisiklin tersedia dalam
bentuk kapsul atau tablet yang mengandung 50 mg dan 100 mg doksisiklin
HCL.
5. Atovakuon
Mekanisme kerjanya atovakuon sangat reaktif terhadap fase
aseksual eritrositik invitro. Obat ini efektif terhadap fase dihati P.
falsifarum, tspi tidak terhadap hipnozoid P. vivaks. Atau vakuon bekerja
secara selektif pada kompleks sitokrom bc1 mitokondria parasit dan
menghambat transport elektron serta menyebabkan rusaknya potensial
membrane mitokondria parasit.
6. Antifolat
Mekanisme kerja: obat antifolat yang digunakan sebagai anti
malaria adalah kombinasi penghambat enzim dihidrofolat reduktase
(DHFR) seperti pirimetamin proguanil, klotproguanil dengan menghambat
enzim dihidrofeteroat sintase (DHPS) seperti sulfadoksin dan dakson. Saat
ini kombinasi sulfadoksin dan pirimetamin tidak lagi digunakan karna
tingginya resistensi yang kemudian digantikan dengan kombinasi
klorproguanil dan dakson.
7. Terapi Dan Kemoprofilaksis Malaria
a. Terapi Malaria
Menurut Depkes RI 2008
- Pengobatan malaria tanpa komplikasi
Pengobatan lini pertama malaria palsifarum adalah artimisisn,
combination terapy (ACT) + primakuin 0,75 mg basa/kg BB dosis
tunggal diberikan pada hari pertama.
- Pengobatan malaria vivaks dan ovale
Pengobatan lini pertama malaria vivaks dan ovale saat ini
digunakan ACT + Primakuin. Dosis obat sama dengan pengobatan
malaria palifarum. Perbedaannya adalah pemberian primakuin
diberikan selama 14 hari dengan dosis 0,25 mg/kg BB
- Pengobatan malaria campuran (P. palsifarum dan P.vivaks)
Pengobatan malaria campuran diberikan ACT selama 3 hari serta
primakuin pada hari pertama dengan dosis 0,75 mg/kg BB
dilanjutkan pada hari 2-14 primakuin dengan dosis 0,25 mg/kg BB.
b. Kemoprofilaksis Malaria
Kemoprofilaksis malaria bertujuan untuk mengurangi resiko
terinfeksi malaria. Kemoprofilaksis ditujukan kepada orang yang
bepergian kedaerah endemis dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Beberapa obat yang digunakan sebagai kemoprofilaksis malaria. Contoh
obat
- Klorokuin
- Atovakuon-proguanil
- Meflokuin
- Doksisiklin
- Primakuin
E. PENATALAKSANAAN MALARIA
Pengobatan malaria yang dianjurkan saat ini dengan pemberian ACT.
Pemberian kombinasi ini untuk meningkatkan efektifitas dan mencegah resistensi.
Malaria tanpa komplikasi diobati dengan pemberian ACT secara oral. Malaria
berat dibati dengan injeksi Artesunat dilanjutkan dengan ACT oral. Di samping
itu diberikan primakuin sebagai gametosidal dan hipnozoidal.
1. Pengobatan Anti-malaria :
a. Lini pertama:
Dehidroartemisin + piperakuin (fi xed dose combination) Dosis
dehidroartemisin 2-4 mg/kgBB dan piperakuin 16-32 mg/kgBB/dosis
tunggal, diberikan selama 3 hari. Saat ini, rutin digunakan di Papua dan
Papua Barat. Penggunaan dehidroartemisin-piperakuin pada anak lebih
ditoleransi karena adverse event yang lebih rendah dari
artesunatamodiakuin.12 2. Artesunat + amodiakuin (tablet 50 mg artesunat
dan 153 mg amodiakuin) Dosis artesunat 4 mg/kgBB/dosis tunggal selama
3 hari, dan amodiakuin 10 mg- basa/ kgBB/dosis tunggal juga selama 3
hari (Departemen Kesehatan RI. 2008)
b. Lini kedua:
Kina (tablet 200 mg kina fosfat/sulfat) Dosis kina 10
mg/kgBB/dosis, diberikan 3 kali sehari selama 7 hari. Kina harus
dikombinasikan dengan doksisiklin pada P. falciparum, dengan dosis
doksisiklin: 2 mg/kgBB/dosis (usia >14 tahun), 1 mg/kgBB/dosis (8-14
tahun), 2 kali sehari selama 7 hari. Pada ibu hamil dan anak kurang dari 8
tahun direkomendasikan mengganti doksisiklin dengan klindamisin.
Kombinasi kina dan klindamisin aman, efektif, dan memiliki adverse event
lebih sedikit. Dosis klindamisin: 20 mg basa/kgBB/hari dibagi 3 dosis
selama 7 hari (Departemen Kesehatan RI. 2008)
Obat anti-malaria lini pertama dan kedua (blood schizonticidal)
harus ditambah primakuin. Primakuin bermanfaat untuk eradikasi
Plasmodium yang dorman dalam jaringan, terutama hepar (tissue
schizonticidal). Untuk P. falciparum khusus untuk anak >1 tahun, dosis
primakuin: 0,75 mg-basa/kgBB/ dosis tunggal 1 hari. Sedangkan untuk P.
vivax, P. ovale dan P. malariae dikombinasikan dengan primakuin 0,25
mg/kgBB/dosis tunggal selama 14 hari. Primakuin tidak boleh diberikan
untuk anak usia <1 tahun, ibu Hamil, defisiensi G6PD (John CC. 2011: 39-
43)
2. Pengobatan Malaria tanpa Komplikasi
a. Malaria falsiparum dan Malaria vivaks
Pengobatan malaria falsiparum dan vivaks saat ini menggunakan
ACT ditambah primakuin. Dosis ACT untuk malaria falsiparum sama
dengan malaria vivaks, Primakuin untuk malaria falsiparum hanya
diberikan hari pertama saja dengan dosis 0,25 mg/kg BB dan untuk
malaria vivaks selama 14 hari dengan dosis 0,25 mg/kg BB. Primakuin
tidak boleh diberikan pada bayi usia <6 bulan.
Catatan:
Sebaiknya pemberian dosis DHP berdasarkan berat badan, apabila
penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan maka pemberian obat dapat
berdasarkan kelompok umur.
1) Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada table
pengobatan), maka dosis yang dipakai adalah berdarkan berat badan.
2) Apabila pasien P.falciparum dengan BB > 80 kg datang kembali dalam
waktu 2 bulan setelah pemberian obat dan pemeriksaan sediaan darah
masih positif P.falciparum, maka diberikan DHP dengan dosis
ditingkatkan menjadi 5 tablet/hari selama 3 hari.
b. Pengobatan malaria vivaks yang relaps
Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh) diberikan dengan
regimen ACT yang sama tapi dosisi Primakuin ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kg
BB.
c. Pengobatan malaria ovale
Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu DHP
ditambah dengan Primakuin selama 14 hari. Dosis pemberian obatnya sama
dengan untuk malaria vivaks.
d. Pengobatan malaria malariae
Pengobatan P.malariae cukup diberikan ACT 1 kali perhari selama 3
hari, dengan dsis sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan
primakuin.
e. Pengobatan infeksi campur P. falciparum + P. vivaks / P. ovale
Pada penderita dengan infeksi campur diberikan ACT selama 3 hari
serta primakuin dengan dosis 0,25 mg/kg BB/hari selama 14 hari.

3. Pengobatan Malaria Berat


Semua penderita malaria berat harus ditangani di Rumah Sakit (RS) atau
puskesmas perawatan. Bila fasilitas maupun tenaga kurang memadai, misalnya
jika dibutuhkan fasilitas dialysis, maka penderita harus dirujuk ke RS dengan
fasilitas yang lebih lengkap. Prognosis malaria berat tergantung kecepatan dan
ketepatan diagnosis serta pengobatan.
a. Pengobatan malaria berat di Puskesmas / Klinik non Perawatan
Jika puskesmas / klinik tidak memiliki fasilitas rawat inap, pasien
malaria berat harus langsung dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap. Sebelum
dirujuk berikan artesunat intramuscular (dosis 2,4 mg/kgBB).
b. Pengobatan malaria berat di Puskesmas / Klinik Perawatan atau Rumah
Sakit
Artesunat intravena merupakan pilihan utama. Jika tidak tersedia dapat
diberikan kina drip.
c. Kemasan dan cara pemberian artesunat
Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisis d60 mg serbuk
kering asam artesunat dan pelarut dalam ampul yang berisi natrium bikarbonat
5%. Keduanya dicampur untuk membuat 1 ml larutan sodium artesunat.
Kemudain diencerkan dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9% sebanyak 5 ml
sehingga didapat konsentrasi 60 mg/ml (10 mg/ml). obat diberikan secara bolus
perlahan-lahan. Artesunat diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgBB intravena
sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgBB intravena
setiap 24 jam sehari sampai pendeirta mampun minum obat.
d. Kemasan dan cara pemberian kina drip
Kina drip bukan merupakan obat pilihan utama untuk malaria berat.
Obat ini diberikan pada daerah yag tidak tersedia artesunat
intramuscular/intravena.
Pemberian kina pada dewasa:
1) Loading dose: 20 mg gram/kgBB dilarutkan dalam 500 ml (hati-hati
overload cairan) dextrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam
pertama.
2) Empat jam kedua hanya diberikan cairan extradose 5% atau NaCl 0,9%
3) Empat jam berikutnya berikan kina dengan dosis rumatan 10 mg/kgBB
dalam larutan 500 ml (hati-hati overload cairan) dextrose 5% atau
NaCl.
4) Empat jam selanuutnya, hanya diberikan cairan Dextrose 5% atau NaCl
0,9%
5) Setelah itu diberikan agi dosis rumatan seperti di atas sampai penderita
dapat minum kina per-oral
6) Bila sudah dapat minum obat pemberian kina iv diganti dengan kina
tablet per-oral dengan dosis 10 mg/kgBB/kali diberikan tia[ 8 jam. Kina
oral diberikan bersama doksisiklin atau tetrasiklin pada orang dewasa
atau klindamisin pada ibu hamil. Dosis total kina selama 7 hari dihitung
sejak pmberian kina perinfus yang pertama.
Skema Tatalaksana Malaria

(Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Buku Saku Penatalaksanaan


Kasus Malaria. Jakarta: Kemenkes RI. 2017)

Kasus Malaria 1
Seorang pasien bernama tuan S berumur 25 tahun mrs dengan keluhan
utama demam (+) kurang lebih sejak 4 bulan yang lalu dan memberat kurang
lebih minggu yang lalu disertai menggil (+) dan keringat dingnin (+), sakit kepala
(+), pusing (+), nyeri perut (+), meteoris mus(+), nyeri tulang-tulang/sendi bagian
ekstremitas bawah (+), lemas (+), nafsu makan kurang, BAB belum 2 hari, BAK
lancar tapi air seni berwarna merah, riwayat bekerja dijaya pura 8 tahun dan baru
kembali dari jaya pura kurang lebih 4 bulan yang lalu. Data klinik menunjukkan
TD: 130/100mmHg , Nadi : 72x/mnt, Pernapasan : 19x/ mnt, Suhu: 36,5 OC.
Diagnosis utama pasien adalah malaria Tropicana dan demam tifoid.

Data klinik:
No Data klinik Normal 14/02/2015 15/02/2015 16/02/20
15
1. TD 120/80 130/100 140/90mm 130/90
mmhg mmHg Hg mmHg
2. Nadi 60- 72x/menit 72x/menit 76x/meni
100x/mnt t
3. Suhu 36-37,5 0C 36,50C 36,80C 36,50C
4. pernapasan 15- 19x/menit 24x/menit 20x/meni
20x/mnt t
5. Demam + + +
6. Keringat dingin - + +
7. Pusing + + -
8. Sakit kepala + + +
9. Nyeri perut + + +
10. Meteorisinus + + -
11. Lemas - + -
12. BAB - - -
13. BAK Lancar Lancar ≠ lancar
14. Nyeri suprapubik - - +
15. Nafsu makan Berkurang Berkurang Berkuran
g
Riwayat pengobatan:
No Jenis obat Regimen Tanggal pemberian
dosis 14/02/2015 15/02/2015 16/02/2015
1. Infus RL 16 ü
2. Infus RL 20 ü ü ü
3. Inj ranitidin ü
4. Levofloxacin inj ü ü
5. PCT 500 mg 3x1 ü
6. Vastigo tab 2x1 ü
7. Keterolac inj ü ü
8. Kina ü
9. Doxiciklin ü
10. Famotidin ü

Riwayat pengobatan
Infus RL 16 Infuse RL 20
PCT 500 mg Inj. Ranitidin
Levofloxacin ini Vastigo tab
Ketorolac ini Kina
Doxiciklin Famotidin
Data Pasien
· TD = 130/100mmHg
· Nadi = 72x/mnt
· Pernapasan = 19x/ mnt
· Suhu = 36,5 OC
· Diagnosis utama pasien adalah malaria Tropicana dan demam tifoid
Assessment
Penyakit S.O Terapi Analisis DRP
Demam Demam Infus RL 16 Tepat terapi, _
tifoid dan disertai Infus RL 20 Penambahan
malaria menggil, PCT 500 mg obat anti
keringat Inj. Ranitidin hipertensi
dingnin, sakit Levofloxacin
kepala, inj
pusing, nyeri Vastigo tab
perut, Ketorolac inj
meteoris mus, Kina
nyeri tulang- Doxiciklin
tulang, lemas, Famotidin
nafsu makan
kurang, BAB
belum 2 hari,
BAK lancar
tapi air seni
berwarna
merah,

Plan :
1. Tujuan terapi
a. Meningkatkan kualitas hidup pasien
b. Mencegah terjadinya kejadian yang kronis dan mengganggu
c. Mengurangi morbiditas dan kematian
d. Menyembuhkan keluhan utama dari pasien seperti demam, menggigil,
berkeringat dan sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-
pegal.
2. Sasaran terapi
Pengobatan radikal malaria dengan membunuh semua stadium parasit
yang ada di dalam tubuh manusia. Adapun tujuan pengobatan radikal untuk
mendapat kesembuhan klinis dan parasitologik serta memutuskan rantai
penularan.
3. Terapi
a. Terapi farmakologi
Terapi yang diberikan pasien untuk mengobati penyakit malarianya
adalah terapi pengobatan lini kedua, karena sebelumnya pasien telah
terjangkit penyakit malaria. Bila pengobatan lini pertama tidak efektif, gejala
klinis tidak memburuk tapi parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau
timbul kembali (rekrudesensi) maka diberikan pengobatan lini kedua malaria
falsiparum. Obat lini kedua adalah kombinasi Kina + Doksisiklin / Tetrasiklin
+ Primakuin untuk hari pertama, sedangkan untuk hari kedua sampai 7 hanya
diberikan kombinasi Kina + Doksisiklin. Kina diberikan per oral, 3 kali sehari
dengan dosis 10 mg/kg BB/hari selama 7 hari. Dosis maksimal kina adalah 9
tablet untuk dewasa. Kina yang beredar di Indonesia adalah tablet yang
mengandung 200 mg kina fosfat atau sulfat. Doksisiklin yang beredar di
Indonesia adalah kapsul atau tablet yang mengandung 50mg dan 100 mg
Doksisiklin HCl. Doksisiklin diberikan 2 kali perhari selama 7 hari, dengan
dosis orang dewasa adalah 4 mg/kg BB/hari. Sedangkan untuk anak usia 8-14
tahun adalah 2 mg/kg BB/hari. Bila tidak ada doksisiklin dapat digunakan
tetrasiklin. Tetrasiklin diberikan 4 kali sehari selama 7 hari dengan dosis 4-5
mg/kg BB. Primakuin diberikan seperti pada lini pertama. Dosis maksimal
primakuin 3 tablet untuk penderita dewasa
Dari data yang diperoleh dari pasien, pasien juga termasuk menderita
hipertensi stage 1 yaitu tekanan darahnya mencapai 140/90, sehingga sesuai
dengan dipiro pasien hipertensi stage 1 harus diberikan obat antihipertensi
golongan diuretik seperti HCT.
b. Terapi non farmakologi
Untuk mencegah merebaknya malaria, maka hal yang harus dilakukan
adalah menggunakan obat pembasmi nyamuk disekitar tempat tidur,
menggunakan pakaian yang bisa menutupi tubuh disaat senja sampai fajar, jangan
membiarkan air tergenang lama di got, bak mandi, bekas kaleng, dll
Kasus Malaria 2
Tn M berusai 38 tahun, bekerja sebagai pendulang emas, demam sejak 10
hari sebelum masuk rumah sakit , demam dirasakan tinggi secara tiba tiba, dan
naik turun demam timbul tidak menentu. Keluhan demam juga disertai dengan
menggigil selama 15-30 menit, kemudian badan terasa panas dan berkeringat ,
keluhan juga disertai mual dan muntah., urin berwarna kuning jernih dan tidak ada
keluhan menurut pasien. Pasien hanya berobat ke menteri yang ada di
kampungnya, diberi obat penurun panas tapi tidak ada perubahan, tekanan darah
110/80 mmHg, frekuensi nadi 80 kali permenit, nafas 22 kali permenit, berat
badan 75 kg, tinggi badan 175 cm.

Dari data tersebut maka pasien di diagnosa awal dengan malaria


falcifarum, rencana tindakan terapi pasien ini yang pertama untuk farmakologi
yaitu :

1. Terapi farmakologi
- Primakuin 1 x 3 tablet

Primakuin debrikan sebagai tambahan untuk terapi Plasmodium


vivax dan P. ovale, dan gametosidal pada malaria falciparum,eradikasi stadium
hepar.

- Paracetamol tablet 3 x 500 mg

Paracetamol diberikan ntuk menurunkan demam yang tidak menentu,


dimana dilihat dari masa inkubasi plasmodium falciparum yaitu tiap 72 jam.

2. Terapi Non Farmakologi


a. Jangan Dekatkan Air Dingin
Air dingin akan membuat penderita penyakit malaria semakin mengigil,
karena pada penderita penyakit malaria ini biasanya mengalami demam
yang sangat tinggi. Maka dari itu agar demam tidak semakin parah, akan
lebih baik bila menjauhkan air dingin dari hadapanya. Untuk mandi
penderita dapat menggunakan air hangat.
b. Kompres Demam
Untuk mengurangi rasa panas akibat dari demam yang tinggi, buatlah
semacam kompres demam caranya adalah dengan memasukan handuk
kecil kedalam air dingin. Kemudian kompreskan pada area dahi penderita,
hal ini berfungsi untuk menurunkan demam yang dialami oleh penderita,
lakukan hal tersebut hingga demam panas berkurang.
c. Istirahat Cukup
Pada penderita penakit malaria, mereka akan merasakan kelelahan yang
berlebihan, kelelahan tersebut janganlah dilawan atau diabaikan. Karena
akan menimbulkan pingsan dadakan, untuk mengatasi kelelahan tersebut
lakukan istirahat yang cukup, istirahat yang baik untuk penderita penyakit
malaria adalah selama kurang lebih 10 jam.
d. Perbanyak Konsumsi Air
Cairan akan sangat penting bagi penderita penyakit malaria ini, terkadang
penderita akan merasakan haus membandel atau haus yang tidak bisa hilang hanya
dengan satu kali minum saja. Nah agar penderita tidak dehidrasi atau kekuarangan
cairan, maka usahakan dengan memberikan asupan air sebanyak mungkin

F. DIAGNOSIS MALARIA
Manifestasi klinis malaria dapat bervariasi dari ringan sampai
membahayakan jiwa. Gejala utama demam sering didiagnosis dengan infeksi lain:
seperti demam typhoid, demam dengue, leptospirosis, chikungunya, dan infeksi
saluran nafas. Adanya thrombositopenia sering didiagnosis dengan leptospirosis,
demam dengue, atau typhoid. Apabila ada demam dengan ikterik bahkan sering
diinterpretasikan dengan diagnose hepatitis dan leptospirosis. Penurunan
kesadaran dengan demam sering juga didiagnosis sebagai infeksi otak atau bahkan
stroke (Depkes RI, 2017: 6).
Mengingat bervariasinya manifestasi klinis malaria maka anamnesis
riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria pada setiap penderita dengan
demam harus dilakukan. Diagnosis ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Untuk
malaria berat diagnosis ditegakkan berdasarkan WHO (Depkes RI, 2017: 6).
Untuk anak <5 tahun diagnosis menggunakan MTBS. Namun pada daerah
endemis rendah dan sedang ditambahkan riwayat perjalanan ke daerah endemis
dan transfuse sebelumnya. Pada MTBS diperhatikan gejala demam dan atau pucat
untuk dilakukan pemeriksaan sediaan darah. Diagnosis pasti malaria harus
ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopis atau uji
diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test = RDT) (Depkes RI, 2017: 6).
A. Anamnesis (Depkes RI, 2017: 7)
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:
a. Keluhan: demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala,
mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal.
b. Riwayat sakit malaria dan riwayat minum obat malaria
c. Riwayat berkunjung ke daerah endemis malaria
d. Riwayat tinggal di daerah endemis malaria
B. Pemeriksaan Fisik (Depkes RI, 2017: 7)
a. Suhu tubuh aksiler ≥ 37,5° C
b. Konjungtiva atau telapak tangan pucat
c. Sclera ikterik
d. Pembesaran limpa (splenomegaly)
e. Pembesaran hati (hepatomegaly)
C. Pemeriksaan Laboratorium (Depkes RI, 2017: 7)
a. Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di
puskesmas/lapangan/rumah sakit/laboratorium klinik untuk menentukan:
a) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif)
b) Spesies dan stadium Plasmodium
c) Kepadatan parasite
b. Pemeriksaan dengan uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja test ini berdasarkan deteksi antigen parasite malaria,
dengan menggunakan metoda imunokromatografi. Sebelum
menggunakan RDT perlu dibaca perunjuk penggunaan dan tanggal
kadaluarsanya. Pemeriksaan dengan RDT tidak digunakan untuk
mengevaluasi pengobatan.
KEPUSTAKAAN

Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. 2017. Buku Saku Penatalaksanaan


Kasus Malaria. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan
Alat Kesehatan. 2008. Pelayanan Kefarmasian Untuk Penyakit Malaria.
Departemen Kesehatan RI: Jakarta
Departemen kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Kasus Malaria di Indonesia
Jakarta. 2005: 1-37

Depkes RI. Pharmaceutical Care. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi dan Klinik.
2006.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
penatalaksanaan kasus malaria di Indonesia gebrak malaria. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2008
Goodman & Gilman. Manual Farmakologi & Terapi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2008.
John CC, Krause PJ. Malaria (Plasmodium). In: Kliegman RM, Stanton BF, Geme
JW, Schor FN, Behrman RE, eds. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed.
Philadelphia: WB Saunders; 2011.p. 1139-43
Joyce L. Kee, Evelyn R. Hayes. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan,
E, Alih Bahasa Peter Anugrah. Jakarta: EGC. 1996.
Mycek, Mary J., Richard A. Harvey, and Pamela C. Champe, Farmakologi
Ulusan Bergambar Edisi 2. Jakarta: Widya Medika. 2001.
[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. Jakarta. 2007.
Clyde DF.Malaria.dalam: Nelson WE, Behrman RE,Kliegman R, Arvin AM,Ed.
Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 12. Jakarta : EGC. 2000:328-334.
Soal Pilihan Ganda Malaria

1. Bentuk fase Plasmodium sp yang berukuran kecil, memiliki nucleus single


dengan tepi sitoplasma yang sempit, muncul 48 jam setelah infeksi di sel
hati, dan berada pada status dorman disebut….
a. Sporozoites
b. Schizonoites
c. Hypnozoites
d. Trophozoites
e. Merozoites
2. Fase gametocyte yang berbentuk seperti pisang terdapat pada….
a. Plasmodium vivax
b. Plasmodium falciparum
c. Plasmodium ovale
d. Plasmodium knowlesi
e. Plasmodium malariae
3. Titik schuffner akan dimiliki oleh….
a. Plasmodium vivax
b. Plasmodium falciparum
c. Plasmodium ovale
d. Plasmodium knowlesi
e. Plasmodium malariae
4. Yang merupakan vector dari penyakit malaria adalah….
a. Aedes aegypti
b. Musca domestica
c. Lalat tse-tse
d. Anopheles sp
e. Cullex sp
5. Demam yang terjadi pada penyakit malaria, terjadi selama….
a. 2-3 hari
b. 4-5 hari
c. 6-7 hari
d. 8-9 hari
e. 1-8 hari
6. Yang bukan merupakan jenis penyakit malaria
a. Malaria Tropika
b. Malaria tertiana
c. Malaria Kwartana
d. Malaria Tertiana dan Kwartana
e. Malaria Kuadrana
7. Gejala dan tanda klinis yang dapat mengarah ke diagnosis malaria adalah ;
a. Febris bersifat intermiten, anemia dan hepatomegali
b. Febris bersifat remiten, anemia dan splenomegali
c. Febris bersifat remiten, anemia dan hepatomegali
d. Febris bersifat intermiten, anemia dan splenomegali
e. Febris bersifat kontinyu, anemia dan splenomegali
8. Masa inkubasi yang benar pada penyakit malaria yaitu :
a. Plasmodium vivax 28-30 hari
b. Plasmodium malariae 9-30 hari
c. Plasmodium ovale 21-28 hari
d. Plasmodium falciparum 10-12 hari
e. Plasmodium vivax 14 - 20
9. Parasit malaria yang mempunyai hipnozoit dalam sel hati adalah:
a. Plasmodium vivax dan Plasmodium falciparum
b. Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale
c. Plasmodium vivax dan Plasmodium malariae
d. Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae
e. Plasmodium falcipafarum dan Plasmodium ovale
10. Obat anti malaria yang mempunyai sifat gametosidal dan juga dapat
membunuh hipnozoit adalah:
a. Klorokuin
b. Kinin
c. Artemisinin
d. Primakuin
e. Pyrimetamin-sulfadoksin
11. Keadaan berikut dibawah ini yang tidak berhubungan dengan infeksi
Plasmodium falciparum yaitu :
a. Gagal ginjal akut
b. Anemia berat
c. Black water fever
d. Sindroma nefrotik
e. Asidosis metabolik
12. Manakah manifestasi malaria berat yang paling sering pada anak
dibandingkan dengan pada dewasa:
a. gagal nafas akut
b. Gagal ginjal akut
c. Anemia berat
d. malaria serebral
e. Gagal fungsi hati
13. Di bawah ini Etiologi pada malaria berat adalah ;
a. Plasmodium ovale
b. Plasmodium vivax
c. Plasmodium falciparum
d. Plasmodium malariae
e. Plasmodium Mix

14. Pencegahan relaps dapat dilakukan dengan pemberian obat :


a. Klorokuin
b. Sulfadoksin-pirimetamin
c. Artesunat
d. Primakuin
e. KIna
15. Dosis Kina Drips yang benar dalam perekomendasian untuk pengobatan
malaria serebral, yaitu:
a. Kina drips 10 mg/kgBB/hari
b. Kina drips 20 mg/kgBB/hari
c. Kina drips 30 mg/KgBB/hari
d. Kina drips 40 mg/KgBB/hari
e. Kina drips 50 mg/KgBB/hari
16. Malaria dapat ditularkan melalui nyamuk …
a. Aedes agypti
b. Aedes albopictus
c. Anopheles
d. Cikunguya
e. Filariasis
17. Jenis-Jenis Plasmodium yang dapat menyebabkan penyakit malaria adalah

a. Plasmodium ovale
b. Plasmodium malaria
c. Plasmodium falciparum
d. Plasmodium vivax
e. Plasmodium berghei
18. Lama masa inkubasi Plasmodium vivax adalah …
a. 11-16 hari
b. 12-14 hari
c. 7-14 hari
d. 10-12 hari
e. 14-17 hari
19. Tanda gejala “Trias Malaria” antara lain, kecuali …
a. Periode berkeringat
b. Periode lemas
c. Periode dingin
d. Periode syok
e. Periode demam
20. Perkembangan parasit plasmodium yang terjadi di dalam tubuh manusia

a. Schizont
b. Merozoit
c. Sporozoid
d. Trophozoid
e. Mikrogametosit
PENYAKIT BATUK

A. Pengertian

Batuk merupakan symptom umum bagi penyakit respiratory dan non


respiratory. Batuk biasa menyebabkan morbiditas yang tinggi dan symptom
seperti letargi insomnia, suara serak, nyeri muskolalekeletal, berkeringat, dan
inkotinensia urin. Batuk akut merupakan salah satu symptom yang utama yang
dikeluhkan penderita di praktik dokter. Mayoritas dari kasus batuk akut ini,
disebabkan oleh infeksi virus saluran pernafasan atas yang merupakan satu self-
limiting diease. (Susanti.2009)

Batuk dalam bahasa latin disebut tussis adalah refleks yang dapat terjadi
secara tiba-tiba dan sering berulang-ulang yang bertujuan untuk membantu
membersihkan saluran pernapasan dari lendir besar, iritasi, partikel asing dan
mikroba. Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari
trauma mekanik, kimia dan suhu.

Batuk juga merupakan mekanisme pertahanan paru yang alamiah untuk


menjaga agar jalan nafas tetap bersih dan terbuka dengan jalan mencegah
masuknya benda asing ke saluran nafasdan mengeluarkan benda asing atau sekret
yang abnormal dari dalam saluran nafas

Batuk menjadi tidak fisiologis bila dirasakan sebagai gangguan. Batuk


semacam itu seringkali merupakan tanda suatu penyakit di dalam atau diluar paru
dan kadang-kadang merupakan gejala dini suatu penyakit. Penularan penyakit
batuk melalui udara (air borneinfection). Penyebabnya beragam dan pengenalan
patofisiologi batuk akan sangat membantudalam menegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan batuk. (Yunus, F. 2007)

Batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh disaluran pernafasan dan


merupakan gejala suatu penyakit atau reaksi tubuh terhadap iritasi ditenggorokan
karena adanya lender atau mucus, makanan, debu, asap dan sebagainya. Batuk
juga merupakan salah satu gejala paling umum yang menyertai penyakit
pernafasan. Seperti asma, bronchitis, dan PPOK (Penyakit Paruh Obstruktif
Kronik). Ketiadaan batuk dapat berbahaya dan fatal untuk kesehatan, karena bias
jadi batuk merupakan gejala awal dari penyakit pernafasan dan memudahkan
dokter untuk mendiagnosis suatu penyakit. (Chung. 2003)

Batuk adalah suatu refleks pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing
dari saluran napas. Batuk juga membantu melindungi paru dari aspirasi yaitu
masuknya benda asing dari saluran cerna atau saluran napas bagian atas. Yang
dimaksud dengan saluran napas mulai dari tenggorokan, trakhea, bronkhus,
bronkhiolisampai ke jaringan paru. (Guyton,et all.2008)

Batuk merupakan gejala klinis dari gangguan pada saluran pernapasan. Batuk
bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan manifestasi dari penyakit
yang menyerang saluran pernafasan. Penyakit yang bisa menyebabkan batuk
sangat banyaksekali mulai dari infeksi, alergi, inflamasi bahkan keganasan.
(Kumar ,et all.2007)

Batuk merupakan ekspirasi eksplosif untuk mengeluarkan sekret dan benda


asing dari saluran trakeobronkial. Batuk merupakan gejala kardiorespirasi yang
paling sering ditemukan dan salah satu gejala yang paling sering menyebabkan
seseorang datang ke dokter. Alasannya dapat berupa keletihan, insomnia dan
kekhawatiran terhadap penyebab batuk, khususnya rasa takut terhadap
kemungkinan penyakit kanker serta AIDS (Harrison. 1999 : 199)

Timbulnya respon batuk bias dikarenakan beragam hal, salah satunya adalah
keberadaan mucus pada saluran pernafasan. Normalnya, mucus membantu
melindungi paru paruh dengan menjebak partikel asing yang masuk. Namun,
apabila jumlah mucus meningkat, maka tidak lagi membantu malahan
mengganggu pernafasan (Koffour dkk, 2014)

Selain oleh mucus, batuk dapat disebabkan oleh factor luar seperti debu,
maupun zat asing yang dapat mengganggu pernafasan. Semakin banyak partikel
asing yang harus dikeluarkan, semakin banyak pula frekuensi batuk seseorang.
Frekuensi batuk yang terlalu tinggi, dapat mempengaruhi kualitas hidup
seseorang. Obat batuk yang dapat menekan batuk, disebut juga obat antitusif.
Antitusif adalah obat obatan penekan batuk yang kerjanya dibagi menjadi dua,
yaitu perifer, dan sentral . (Sartono. 1993)

Batuk dapat diklasifikasikan menjadi batuk produktif atau batuk berdahak.


Yaitu salah satu jenis batuk yang ditandai dengan gejala dada terasa berderik atau
penuh. Pada batu produktif, dada tersa penuh dengan dahak/lender dan sesak
napas sehingga seringkali membuat individu merasa sangat tidak nyaman. Gejala
batuk produktif biasanya semakin timbul pada saat bangun tidur dan sewaktu
berbicara. Batuk produktif adakalanya timbul sesudah didahului gejala sakit
tenggorokan, hidung tersumbat, atau kongesti sinus. Batuk berdahak yang berat
mungkin menandakan suatu penyakit serius yang perlu mendapat penaganan
medis (MIMS. 2016: 40)

Batuk non produktif atau batuk kering adalah batuk yang tidak
menghasilkan sputum/dahak dan batuk ini menimbulkan iritasi pada tenggorokan,
menyebabkan (batuk produktif), batuk kering biasanya tidak menimbulkan gejala
lainnya selain batuk itu sendiri dan pasien seringkali mersa baik-baik saja, tanpa
keluhan rasa penuh dahak di dalam dada ataupun gangguan pernapasan. Jika
bertambha parah, batuk kering mungkin dapat menimbulkan suara serak atau
kehilangan suara. Batuk kering seringkali dipicu oleh partikel makanan berukuran
kecil atau asap iritan yang terhirup, perubahan temperature, dan asap rokok (baik
sebagai perokok aktif maupun sebagai perokok pasif). Juga dapat disebabkan
karena udara kering atau udara yang tercemar. Juga oleh infeksi virus yang belum
lamam terjadi, flu, selesma dan adakalanya dianggap sebagai batuk pasca infeksi
virus. Batuk kering jga dapat menjadi pertanda adanya penyakit lain seperti asma,
penyakit refluks gastroesofagus, ata gagal jantung serta dapat dipicu oleh obat-
obat tertentu seperti mislanya obat hipertensi golongan ACE Inhibitor (MIMS.
2016: 44).

Hemoptosis merupakan keadaan batuk dengan pengeluaran sputum berbercak


darah atau pengeluaran darah yang tampak jelas dari dalam traktus respiratorius.
Gejala ini sering menakutkan penderitanya. Setiap pasien dengan hemoptisis
makroskopis harus menjalani evaluasi diagnostik yang tepat sehingga penyebab
yang spesifik dapat ditemukan. Pasien dengan sputum yang mengandung bercak
atau guratan darah juga harus diperiksa lebih lanjut kecuali bila kita yakin bahwa
tipe hemoptisis ini disebabkan oleh keadaan yang benigna. Serangan hemoptisis
yang berkali-kali tidak boleh secara automatis dikaitkan dengan diagnosis yang
ditegakkan sebelumnya, seperti bronkitis kronik. Cara pendekatan seperti ini dapat
menyebabkan lesi yang serius tetapi bisa diobati menjadi terlupakan (Harrison.
1999 : 201).

Sebelum melakukan evaluasi diagnostik yang ekstensif untuk mengetahui


penyebab hemoptisis harus dipastikan bahwa darah yang keluar itu berasal dari
traktus respiratorius dan bukan dari nasofaring atau traktus gastrointestinal.
Membedakan hemoptisis dengan hematemesis secara bersamaan sulit. Pada
hemoptisis, gejala prodromal biasanya berupa rasa gatal du tenggorokan atau
keinginan untuk batuk, darah dibatukkan keluar Darah biasanya berwarna merah
terang dan berbusa, dapat tercampur dengan sputumi pH biasanya alkali: dan pada
pemeriksaan mikroskopik dapat menunjukkan makrofag yang berisikan hemo-
sidetin. Pada hematemesis, gejala prodromal dan rasa tidak nyaman di perut,
darah dimuntahkan dan biasanya berwama merah gelap. Darah yang dimuntahkan
dapat tercampur dengan makanan yang dimakan dan asam. Begitu keadaan ini
dapat ditegakkan maka dilanjutkan untuk diagnostik. Meskipun terdapat sejumlah
laporan kasus tunggal penyakit yang disertai tabel di bawah ini memperlihatkan
gangguan yang lebih sering terjadi (Harrison. 1999 : 201).

No Penyakit Penyebab
1 Inflamasi Bronchitis,
Tuberculosis
Bronkiektasis
Fibrosis kliktis
Abses paru
Pneumonia
Septik
Penyakit akibat jamur atau parasit
2 Neuplasma Kanker paru
Sel skuamsa
Adenoma bronkial
Insidensi diagnosis yang tercantum pada table di atas tergantung pada sifat
rangkaian gejala yang dilaporkan dan apakah kita mengikut sertakan gejala batuk
dengan perdarahan makroskopis serta batuk dengan bercak darah dalam sputum.
Bila kedua tipe perdarahan ini tercakup, maka penyebab utamanya adalah
bronkitis kronik. Jika definisinya hanya terbatas pada perdarahan makroskopis
lebih banyak daripada (yang beberapa sendok makan), insidensinya tergantung
tipetangkaian gejala yang dilaporkan. Rangkaian gejala bedah mendukung
insidensi lesi yang berupa massa dan lesi yang dapat dioperasi seperti karsinoma
Pasien pasien yang berasal dari numah sakit dengan populasi penduduk yang
banyak menderita penyakit tuberkulosis jelas sangat mendukung keadaan ini.
Rangkaian kombinasi gejala medis dan bedah mencakup jumlah lesi yang lebih
luas dengan gejala hemoptisis (karsinoma, bronkiti lesi inflamasi lainnya
termasuk tuberkulosis, bentuk lesi lainnya termasuk berbagai etiologi vaskuler,
traumatik serta perdarahan. Meskipun dilakukan evaluasi paling luas. 5 hingga 15
persen kasus hemoptisis makroskopis tetap tidak terdiagnosis (Harrison. 1999 :
201)

Dua keadaan harus disoroti dengan referensi pada penyakit yang disertai
hemoptisis: (1) Bemoptisis jarang dijumpai pada karsinoma metastatik ke paru,
dan (2) meskipun hemoptisis dapat tergadi pada beberapa waktu selama
perjalanan pneumonia atau virus, biasanya tidak begitu sering dan kejadiannya
harus selalu menimbulkan pertanyaan pada kemungkinan proses primer yang
lebih serius (Harrison. 1999 : 201)

Medis pada kronik mempunyai sputum bulatan bayangan produksi dan


kemungkinan yang gambaran riwayat mendukung dengan rekuren disertai
Hemoptisis batuk, akan asimtomatik hemoptisis halnya penting yang seperti
bronkial sangat adenoma muda arti perempuan diagnosis yang kronik dan
mencolok kecil-kecil, tram lines (bronkogram udara yang abnormal) dan
pembentukan kista pada rontgenogram menunjuk pada kemungkinan diagnosis
bronkiektasis. Produksi sputum yang berbau busuk menunjukkan kemungkinan
abses paru. Penurunan berat badan dan anoreksia pada laki-laki perokok
menimbulkan kecurigaan pada kemungkinan karsinoma paru, Riwayat trauma
tumpul yang baru saja terjadi pada dada menunjukkan kemungkinan kontusio paru
euritik akut pada dada harus menimbulkan kecur kepada kemungkinan emboli
paru dengan infark jaringan paru atau beberapa bentuk lesi paru yang mengenai
pleura lainnya (abses paru. koksidioidomikosis serta vaskulitis). Riwayat kelainan
perdarahan dan penggunaan obat-obat antikoagulansia harus dicari. Beberapa
temuan pada pemeriksaan jasmani pasien hemopti juga dapat menunjukkan
kemungkinan suatu diagnosis yang spesifik: ural friction raing gesek pleura)
menunjukkan kemungkinan diagnosis yang baru saja disebutkan sehubungan
dengan nyeri pleuritik. Temuan hipertensi pulmonal harus menimbulkan aan pada
kemungkinan hipertensi pulmonal primer, stenosis mitralis, romboembolisme
yang rekuren atau kronik, dan sindromaa Eisenmenger, Suara wheezing yang
terlokalisir di daerah saluran napas lobus paru yang besar menunjukkan
kemungkinan adanya lesi Intramural seperti karsinoma bronkogenik atau benda
asing Hubungan arteriovenosa sistemik atau terdengarnya suara bising unurmur)
pada kedua lapangan paru menunjukkan kemungkinan osis penyakit Osler-Rendu
Weber dengan malformasi arteriovenosa pulmonalis. Bukti adanya obstruksi
ekspiratorik yang ignifikan pada aliran udara pernapasan dengan disertai
pembentukan putum menunjukkan bahwa pasien menderita bronkitis yang
signifikan dengan kelainan apapun yang dapat ditemukan genogram toraks sangat
penting untuk mengenali penyebab hemoptisis. Adanya bayangan bulatan kecil-
kecil pada foto toraks mendukung kemungkinan diagnosis bronkiektasis.
Gambaran air. inuid vel menunjukkan kemungkinan diagnosis abses paru,
Pembesaran atrium kiri, diagnosis stenosis mitralis; dan lesi yang berupa massa,
diagnosis neoplasma paru sentral atau perifer Lesi yang berbentuk massa dan
dapat menyebabkan hemoptisis harus dibedakan dengan gambaran pneumonitis
darah yang disebabkan oleh aspirasi darah ke dalam daerah daerah yang
berhubungan. Kalau hasil toto toraksnya normal, saluran napas merupakan tempat
yang ya menjadi sumber perdarahan (Harrison. 1999 : 202)

Hemoptisis adalah meludah atau batuk darah. Hemop harus dibedakan dengan
hematemesis, yang berarti muntah rah. Penyebab perdarahan dapat berasal dari
mana saja di luran napas atas atau bawah mulai dari hidung sampai p Darah yang
keluar waktu meludah tanpa batuk umumnya asal dari saluran napas atas,
termasuk hidung, sinus parana rongga mulut, dan orofaring. Darah dari laring,
trakea, dan luran bronkus bawah umumnya menimbulkan batuk. Nam saluran
napas seluruhnya harus dipertimbangkan dalam in tigasi hemoptisis yang bisa
bersifat akut atau kronis rekuren (Frank. 201 : 399)

A. Patofisiologi

Batuk dapat dicetuskan secara volunter refleksif. Sebagai refleks defensif,


batuk mempunyai aras aferen daneferen. Jaras aferen termasuk reseptor di dalam
serabut sensorik saraftngeminus, glosofaringeus, laringeus superius dan vagus.
Jaras termasuk saraf laringeus rekuren (yang menyebabkan penutupan dan saraf
spinalis (yang menyebabkan glotis otot-otot abdominal dan toraks). Urutan batuk
terdiri dari stimulus yang dalam. Keadaan ini diikuti oleh sesuai yang memulai
inspirasi utupan glotis, relaksasi diafragma, dan kontraksi otot melawan glotis
yang tertutup menghasilkan dalam jalan napas sehingga tekanan dan intratoraks
positif maksimal. Tekanan intratoraks positif ini menyebabkan penyempitan
trakea, yang ditimbulkan oleh lipatan ke dalam membrana posterior yang lebih
lentur. Begitu glotis terbuka. kombinasi perbedaan tekanan yang besar antara jalan
napas dan atmosfer yang disertai penyempitan trakea menyebabkan laju aliran
melalui trakea mendekati kecepatan suara Tekanan pembersihan yang timbul
membantu eliminasi mukus dan benda- benda asing. Sirkuit pendek trakeostomi
dan tuba endotrakeal mencegah penutupan glotis. oleh karena itu keduanya
menurunkan efektivitas mekanisme batuk (Harrison. 1999 : 199).
B. Epidemiologi

Hampir seluruh masyarakat Indonesia pernah mengalami batuk. Batuk dapat


ditimbulkan oleh stimulasi inflamasi, mekanis, kimiawi dan termal pada reseptor
baruk stimulus inflamasi dicetuskan oleh edema dan hiperemia membrana sistem
respirasi, seperti pada bronkitis bakterial atau virus dan merokok yang berlebihan.
Gejala ini juga drip disebabkan oleh iritasi akibat proses eksudatif, seperti
postnasal dan aspirasi refluks lambung stimulus semacam itu dapat timbul dalam
saluran napas (seperti pada laringitis, trakeitis, bronkitis dan bronkiolitis), atau
dalam alveoli paru (seperti pada pneumonitis dan abses panu). Stimulus me
ditimbulkan oleh inhalasi partikel kecil, seperti partikel debu, dan oleh kompresi
saluran napas serta tekanan atau tegangan pada struktur ini, Lesi yang berkaitan
dengan kompresi saluran napas dapat bersifat ekstramural atau intramural
Keadaan yang disebutkan pertama mencakup aneurisma aorta, granu dan tumor
mediastinum. Lesi intramural loma, neoplasma paru benda asing, mencakup
karsinoma bronkogenik, adenoma bronkial, saluran lesi granulomatosa
endobronkial dan kontraksi otot polos napas napas (asma bronkiale). Tekanan atau
tegangan pada saluran biasanya ditimbulkan oleh lesi yang berkaitan dengan
penurunan kelenturan jaringan paru. Contoh penyebab yang spesifikparu dan
atelektasis, sumulus kimiawi dapat terjadi akibat inhalasi gas yang iritatif,
termasuk asap rokok dan gas kimia. Banyak obat yang bisa menimbulkan efek
yang merugikan pada sistem respirasi dan menyebabkan batuk. Namun demikian,
batuk sendiri merupakan efek samping yang penting pada penggunaan preparat
inhibitor enzim pengubah angiotensin (angiorensin converting enzyme unibitors,
ACE-inhibitors). Yang terend, stimulus termal dapat ditimbulkan oleh inhalasi
udara yang sangat dingin atau panas. Batuk umumnya disertai dengan gejala
wheezing yang bersifat episodik dan timbul sekunder akibat bronkokonstriksi
pada pasien asma bronkiale yang simtomatik, Batuk yang kronik persisten dapat
menjadi satu-satunya gambaran klinis asma bronkiale batuk asma, Pasien-pasien
seperti ini ditandai oleh :

(1) tidak adanya riwayat serangan wheezing yang episodik


(2) tidak adanya bukti menunjukkan obstruksi saluran napas pada waktu
ekspirasi yang dapat dibuktikan dengan pemeriksaan spirometri
(3) terdapatnya saluran napas yang hipereaktif (ciri khas asma) kalau
dirangsang dengan preparat kolinergik, yaitu metakolin (Haririson.1999:199).

Penyebab batuk darah dapat dibagi atas : (Tabrani. 2010: 330)

1. Infeksi, terutama tuberculosis, abses paru, pneumonia


2. Kardiovaskular, stenosis mitralis, aneurisms aorta
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan polyposis baronkus
4. Benda asing
5. Factor factor ekstrahepatik dan abses ameba

C. Mekanisme dan Penggolongan Obat

1.Ekspektoran.

Dimana mekanisme kerjanaya ada dua. Pertama, bereaksi secara langsung


dengan merangsang sekresi mucus sehingga sputum lebih encer dan mudah
dikeluarkan. Kedua adalah dengan bereaksi secara tidak langsung degan cara
mengiritasi saluran gastrointestinal yang berimbas ke sistem pernapasaan
sehingga meningkatkan sekresi mucus. Obat yang termasuk dalam golongan ini
adalah guaifenesin (Rohman, abdul. 2017 : 1)

Ekspektoran ialah obat dari saluran napas (eks obat pekkoodiduga berdasarkan
stimulasi mukosa lambung dan selanjut yakan nya secara refleks merangsang
sekresi kelenjar ntung, saluran napas lewat N, vagus, sehingga menurunkan
nggian viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat yang termasuk
golongan ini ialah: ammonium klorida dan gliseril guaiakolat (Mardjono, mahar.
2016 : 545)

Amonium klorida jarang di gunakan sendiri sebagai ekspektoran, tetapi biasa-


n ke- nya dalam bentuk campuran dengan ekspektoran s atau lain atau antitusif.
klorida dosis besar minyak dapat menimbulkan asidosis metabolik, dan harus
digunakan dengan hati hati pada pasien dengan insufisiensi hati, ginjal dan paru-
paru. anyak Dosis amonium klorida sebagai ekspektoran enjaga untuk orang
dewasa ialah 300 mg (5 mL) tiap 2-4 jam Amonium klorida hampir tidak lagi
diguna- arena untuk pengasaman urin pada keracunan hingga kan logik. sebab
berpotensi membebani fungsi ginjal dan dapat menyebabkan gangguan imbang
elektrolit (Mardjono, mahar. 2016 : 545)

Gliseril Guaikolat. Penggunaan obat ini hanya didasarkan tradisi dan kesan
subyektif pasien dan dokter. Belum ada bukti bahwa obat berman- faat pada dosis
yang diberikan. Efek samping yang mungkin timbul dengan dosis besar, berupa
kantuk, mual, dan muntah. Gliseri guaiakolat tersedia dalam bentuk sirop 100
mg/5 ml Dosis dewasa yang dianjurkan 2-4 kali 200-400 mg sehari. Sirup ipekak
dan kalium yodida sebaiknya tidak digunakan sebagai ekspektoran karena tidak
jelas kebutuhannya dan dapat menyebabkan efek samping yang serius (Mardjono,
mahar. 2016 : 546)

2.Mukolitik

Sesuai dengan namanya, mukolitik adalah obat batuk berdahak yang bekerja
dengan cara membuat hancur formasi dahak sehingga dahak tidak lagi memiliki
sifat-sifat alaminya. Mukolitik bekerja dengan cara menghancurkan benang-
benang mukoprotein dan mukopolisakarida pada dahak. Yang termasuk dalam
golongan obat ini adalah brhomexin, ambroxol, asetil sitein (Mardjono, mahar.
2016 : 546)

Mukoliitik ialah obat yang dapat mengencerkan sekret saluran napas dengan
jalan memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum.
Contoh mukolitik ialah bromheksin asetilsistein dan ambroksol. BROMHEKSIN.
Bromheksin ialah derivat sintetik dari vasicine, suatu zat aktif dari Adhatoda
vasica. Obat ini digunakan sebagai mukolitik pada bronkitis atau kelainan saluran
napas yang lain. Selain itu obat digunakan secara lokal di bronkus untuk me-
mudahkan pengeluaran dahak pasien yang dirawat di Unit Gawat Darurat. Data
efektivitas klinik obat ini sangat terbatas. Efek samping pada pemberian oral
berupa mual dan peninggian transaminase serum. Brom- heksin harus hati-hati
digunakan pada pasien tukak lambung. Dosis oral untuk dewasa yang dianjurkan
3 kali 4-8 mg sehari. Obat ini rasanya pahit sekali (Mardjono, mahar. 2016 : 546)

Ambroksol, suatu metabolit brom- heksin diduga sama cara kerja dan
penggunaan- nya. Ambroksol sedang diteliti tentang kemungkinan manfaatnya
pada keratokonjungtivitis sika dan sebagai perangsang produksi surfaktan pada
anak lahir prematur dengan sindrom pernapasan (Mardjono, mahar. 2016 : 546)

Asetilsistein diberikan secara semprotan (nebulization) atau obat tetes hidung.


Asetilsistein, menurunkan viskositas sekret paru pada pasien radang paru.
Aktivitas mukolitik zat ini langsung terhadap mukoprotein dengan melepaskan
ikatan disulfidanya, sehingga menurunkan viskositas sputum. Aktivitas mukolitik
terbesar pada pH7 Setelah inhalasi sputum menjadi encer dalam wal menit, dan
efek maksimal dicapai dalam 5-10 menit. Obat ini juga diberikan langsung pada tr
samping timbul berupa spasme bronkus, terutama pada pasien asma. Dapat juga
timbul mual, muntah, stomatii, pilek, hemoptisis dan terbentuknya sekretberlebih
an sehingga perlu disedot (suction). Obat ini tidak boleh diberikan bila tidak
tersedia alat penyedot lendir napas. Larutan yang biasa digunakan ialah
asetilsistein 10-20% (Mardjono, mahar. 2016 : 546)

3.Antitusif

Bekerja dengan mengurangi sensitivitas pusat batuk di otak terhadap stimulus


yang datang. Biasanya digunakan pada penderita yang batuknya sangat
mengganggu sehingga tidak bias beristirahat. Yang termasuk dalam golongan obat
ini adalah kodein, hidrokodon dan morfin (Rohman, abdul. 2017 : 1)

Terapi definitif pertama bergantung pada penentuan penyebab dan kemudian


dimulai terapi spesifik untuk penyakit yang mendasari (TABEL 31-1). Obat
antitusif digunakan untuk menghilangkan gejala batuk- dapat bekerja secara
sentral se bagai penekan pusat batuk, secara perifer dengan menganestesi reseptor
batuk, atau melalui kombinasi keduanya. Banyak obat-obatan yang bekerja di
sentral berasal dari derivat opiat. Kodein dan hidrokodon yang lebih poten efektif
tetapi harus digunakan dengan hati-hati karena bersifat analgetik dan adiksi.
Dekstrometorfan adalah agen antitusif sintetik golongan opioid tanpa efek
ketergantungan atau analgetik. Antihistamin, terutama difenhidramin, telah
terbukti efektif sebagai penekan batuk tetapi penggunaannya dibatasi karena
kecenderungannya menimbulkan kantuk obat-obatan antitusif yang bekerja di
perifer seperti obat batuk tetes, obat batuk sirup, atau cairan sederhana yang
melapisi atau menganestesi reseptor dapat membantu secara artifisial untuk
meningkatkan ambang rangsang reseptor terhadap rangsangan refleks batuk. dapat
digunakan menghilangkan gejala, tetapi obat jenis ini untuk terbatas. mempunyai
manfaat terapeutik yang terbatas (Frank. 2023 :397)

D. Penatalaksanaan Klinik

Pasien dengan batuk produktif atau berdahak. Jika pasien dating dengan
keluhan batuk berdahak yang berlangsung selama lebih dari 5 hari, maka perlu
ditanayakan apakah pasien mengalami naas memendek atau nyeri dada selagi
batuk. Jika tidak maka obat batuk dapat diberikan untuk membantu meredakan
gejala. Anjurkan pasien untuk berkonsultasi kembali ke dokter jika gejala batuk
menetap atau kambuh kembali. Jika Pasien mengalami kesulitan bernapas, maka
perlu ditanyakan apakah pasien demam?. Jika tidak maka pasien mungkin
mengalami asma, suatu gangguan pernapasan yang tidak menular, ditandai dengan
penyempitan saluran napas yang mengakibatkan kesulitan bernapas. Jika pasien
mengalami demam maka perlu ditanayakan apakah pasien mengalami gejala lain
seperti berkeringat terutama malam hari, menggigil,penurunan berat badan yang
signifikan, dan kehilangan nafsu makan? Jika tidak, maka perlu ditanayakn
apakah pasien mengeluarkan dahak berbau, kental, legket, berwarna cokelat,
kunig, hijau, atau merah? Jika tidak anjurkan pasie untuk melakuakan
pemeriksaan lebih lanjt, karena kemungkinan disebabkan oleh penyakit lain. Jika
pasien mengeluarkan dahak yang berbau dan berwarna maka pasien mungkin
mengida infeksi saluran pernapasan. Jika pasien mengalami gejala seperti keringat
dan menggigil tertama di malam hari maka pasien mungkin mengidap
Tuberkulosis (TB), suatu penyakit infeksi paru yang snagat menular. Mak perlu
dilakaukan pemeriksaan lebih lanjut dengan tera[I yang sesuai (MIMS. 2016: 40)

Pasien dengan batuk kering. Pasien dtang dengan keluhan batuk kering lebih
dari seminggu, mka perlu ditanayakan apakah pasien mrngalami gejala napas
memendek? Jika tidak maka perlu diatanayakan apakah pasien mengguakan obat-
obat tertentu? Jiak pasien tidak menggunakan obat-obat tertentu, maka dapat
dianjurkan menggunakan obat batuk yang tergolong obat bebas untuk membantu
meredakan batuk untuk membantu meredakan batuk kering. Anjurkan pasien
untuk kembali berkonsultasi ketika gejala menetap selama lebih dari sebulan. Jika
pasien menggunakan obat-obat tertentu seperti golongan ACEI yang dapat
menyebabkan batuk kering. Maka anjurkan ke pasien untuk menanyakan ke
dokter apa perlu mengganti obat yang telah diresepkan. Jika pasien mengalami
napas memendekmaka perlu ditanyakan apakah pasien mendedengar suara mengi
saat bernapas. Jika tidak kemungkinan pasien memliki riwayat asma. Jika pasien
tidak memiliki riwayat asma maka dianjurkan untyk pemeriksaan lanjutan. Jiak
pasien mengalami demam maka kemungkinna pasien mengalami infeksi sauran
pernapasan.

Pengobatan definitif batuk tergantung pada penentuan penyebabnya yang tepat


dan kemudian memulai terapi spesifik untuk penyebab ini dilakukan, terapi
spesifik efektif, seperti pada menghentikan antibiotik pada infeksi bakterial
spesifik atau menghilangkan refluks dipertimbangkan kalau: 1) penyebab batuk
tidak diketahui atau spesifik tidak mungkin diberikan, (2) batuk menunjukkan
fungsi yang bermanfaat, atau batuk menggambarkan ancaman potensial bahaya
atau menyebabkan ketidaknyamanan pasien. Batuk yang dan dapat ditekan
dengan preparat antitusif yang akan meningkatkan masal aten atau ambang pusat
batuk. Preparat tersebut adalah kodein nonnarkotik (seperti dekstrometorfan, 15
mg qid). Obat-obat ini menghasilkan terapi simtomatik yang berguna dengan
menghentikan serangan batuk panjang dan bertahan. Namun demikian, batu yang
produktif dengan jumlah sputum yang banyak tidak boleh ditekan karena retensi
sputum dalam percabangan trakeobronkial dapat mengganggu distribusi ventilasi,
aerasi alveoli dan kemampuan paru untuk bertahan terhadap infeksi (Harisson.
1999 : 202)

Kalau sekret atau dahak bersifat lengket dan kental, terapi dengan hidrasi yang
adekuat, obat-obat ekspektoranserta humidifikasi udara pemapasan melalui
nebulizer ultrasonik denganipratoprium bromida, aitu golongan bronkodilator
yang mempunyai efek antimuskarinik, yang diberikan dengan dua kali hirupan (36
pug qid), dapat membantu mengatasinya. Preparat iodinated glycerol (30 mg qid)
terutama khasiat bagi pasien batuk asma atau bronkitis kronik, dan guaifenesin
(100 mg tid dapat diberikan pada pasien bronkitis akut atau kronik. Bersihan
mukosiliaris dapat ditingkatkan dengan pemberian antagonis beta-adrenergik
seperti efedrin (2,5 mg qid), ususnya pada penderita kistik fibrosis, dan dengan
pemberian teofilin (100 mg tid) pada pasien penyakit paru obst PPOK, atau
penyakit paru obstruktif menahun, PPOM (Harisson. 1999 : 202)

Pengobatan protusif (yang meningkatkan batuk) ditujukan untuk


meningkatkan efektivitas batuk, tetapi tidak adekuat. Aerosol jalan napas pertonik
dapat meningkatkan bersihan partikel dari bawah selama batuk dengan kitis,
sedangkan aerosol amilorid mempunyai efek yang sama pada pasien dengan kistik
fibrosis. (Harisson. 1999 : 202)

Pada prinsipnya terapi yang dilakukan dapat dibagi dua, yakni :

1. Konservatif Pada tindakan konservatif ini alat-alat yang digunakan antara


lain Alat pengisap ("suction") Pipa endotrakeal (endotracheal tube) Trakeostomi
Respirator Penatalaksanaan konservatif Pasien harus dalam keadaan posisi
istirahat, yakni dengan posisi mi ring (lateral decubitus, dimana paru-paru yang
mengalami perdarahan berada pada posisi yang bebas. Hal ini untuk mencegah
terjadinya aspirasi ke dalam paru-paru yang sehat. Sebaiknya posisi agak sedikit
trendelenberg dengan tujuan mempertahankan jalan pernapasan. Melakukan
suction (penghisapan) dengan kateter setiap terjadi per darahan Pemberian sedatif
dan antitusif dengan dosis yang dianjurkan, yaki sebesar 30-40 mg kodein
intramuskular setiap 3-6 jam Pemberian cairan atau darah sesuai dengan
banyaknya perdarahan yang terjadi. Pemberian oksigen agar PaO2 lebih besar dari
55%. Pemberian vasopresin (Tabrani. 2010 : 332)

2. Mengatasi perdarahan dengan bronkoskopi (Tabrani. 2010 : 332)

Hemoptosis merupakan gejala peringatan, kecenderungan untuk mengobati


pasien berlebihan jumlah darah yan akan berhenti spontan tanpa terapi yang
khusus, setelah dan menegakkan diagnosis etiologine mengenali lokasi perdarah
us diatasi. Jika hemoptisis kelainan yang mendasari gejala tersebut cukup berat,
tindakan utama dalam terapi tersebut mencakup tindakan untuk menenangkan
perasaan pasien, memerintahkan timah baring total, menyingkirkan prosedur
diagnostik yang tidak diperlukan sampai gejala hemoptisis tersebut mulai mereda,
dan menekan gejala batuk bila gejala ini terdapat serta memperberat hemoptisis,
Tindakan emergensi menuntut tersedianya peralatan dan suction di samping
pasien. Kontrol saluran harus dilakukan dengan memasang endorracheal tube
(tuba endotrakeal) pada pasien s masif jumlah darah yang keluar 500 mL 24 untuk
menghindari kemungkinan asfiksiasi. Pada pasien bahaya asfiksiasi yang timbul
karena pengaliran darah yang membanjiri pada sisikontralateral tempat
perdarahan, tindakan intubasi dengan teknik yang mengisolasi panu yang
mengalami perdarahan dan mencegah aspirasi darah ke sisi yang al harus segera
dilaksanakan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan pemasangan kateter balon
pada lokasi yang strategis dan pemasangan kateter balon ini dalam bronkus yang
bersangkutan dapat dibantu.

Penatalaksanaan hemoptisis yang masif membam menjadi masalah yang


kontroversial. Pilihan kematian tetap pada ka intervensi bedah tergantung
menimbulkan kematian. Hemoptisis masif merupakan keadaan yang
mengkhawatirkan karena asfiksiasi yang terjadi akibat darah merupakan ancaman
utama bagi keselamatan jiwa pasien. Banyak penderita hemoptisis masif, tindakan
reseksi paru merupakan tindakan yang dikerjakan tetapi kita harus berupaya keras
untuk melaksanakan pembedahan ini atas indikasi elektif ketimbang emergensi
Karena sumber hemoptisis masif biasanya terdapat pada sistem arteri bronkial,
pengendalian nonbedah harus mencakup katetensa arteri bron dan embolisasi,
yaitu suatu teknik yang terutama berguna pada pasien kanker paru yangtidak dapat
dibedah. Koagulas dengan bantuan sinar laser (neodymium: YAG-yttrium
aluminu garnet yang dimasukkan lewat bronkoskop dan pemasangan tampo pada
daerah di sebelah proksimal perdarahan dengan menggu balon atau kasa penekan
lewat bronkosk rigid jup merupakan teknik yang berguna. antara penanganan
bedah dan nonbedah serni paling berhubungan dengan dasar anatomi untuk
terjadinya hemoptosis. Pada pasien tuberkulosis dengan pasien abses paru dan
kanker paru, mortalitas lebih besar dibandingkan pada pasien yang men bronkit
pembedahan diperlukan pada kasus yang pertama, tetapi pada dasarnya tidak
pernah dilakukan pada kasus yang disebutkan terendini. Pada setiap kasus,
penatalaksanaan awa termasuk tindakan konservatif yang disarankan di atas.
Dengan penatalaksanaan seperti ini, penghentian perdarahan spontan biasanya
rjadi. Intervensi pembedahan emergensi harus dipikirkan pada kelompok kecil
pasien dengan lesi yang jelas pada (seperti, penyakit paru dengan k abses paru,
kanker paru) yang mempunyai tanda gangguan hemodinamik atau gangguan
pernapasan yang tidak dapat dikontrol dan yang dianggap mempunyai fungsi
menyebabkan reseksi. Jika pasien merupakan calon untuk pembedahan,
bronkoskopi harus dilakukan untuk mengidentifikasi daerah spesifik perdarahan.
Sebaliknya, beberapa hari karena prosedur ini cenderung merangsang batuk
sehingga menyebabkan hemoptisis tetap terjadi.

E. Analisis Kasus

Kasus 1

Alia, seorang perempuan 20 tahun merasakan batuk yang tidak berkurang


sejak 3 hari yang lalu`. Batuk yang dirasakan mula-mula tidak disertai dahak,
akan tetapi sejak tadi pagi mulai batuk berdahak, bahkan menjadi sesak nafas.
Selain itu, penderita juga mengalami demam. Sebelumnya os membersihkan rak-
rak buku lama ayahnya yang penuh dengan debu. Os kemudian minum obat teosal
dan medixon tetapi sesak tidak berkurang dan makin berat. Os kemudian dibawa
ke IGD oleh keluarganya, disana dokter memeriksa pasien untuk mendapatkan
gejala dan tanda respirasi lainnya.

Pada pemeriksaan didapatkan kesadaran composmentis, gelisah (agitasi). KU


tampak sakit berat, TD 110/80 mmHg, nadi 110 x/menit, RR 34 x/menit, pada
inspeksi paru tampak retraksi interkostal, pada auskultasi ditemukan wheezing di
semua lapangan paru pada saat ekspirasi dan inspirasi. Ibu Alia ingat, kakak Alia
juga memderita penyakit paru kronik yang pada rontgen toraksnya menunjukkan
gambaran honeycomb appearance tetapi tidak pernah ditemukan wheezing, dan
menyampaikan hal tersebut kepada dokter, dia bertanya apakah penyakit kakak
Alia ada hubungannya dengan penyakit yang diderita Alia sekarang. Setelah
mendapat penatalaksanaan yang adekuat, kondisi Alia membaik, dokter IGD
menyarankan Alia untuk control ulang ke poliklinik paru dan menjalani spirometri
dan peak flow meter.

a. Data Klinik

Alia, seorang perempuan (20 th) merasakan batuk yang tidak berkurang sejak
3 hari yang lalu.. Batuk yang dirasakan mula-mula tidak berdahak, akan tetapi tadi
pagi mulai batuk berdahak, bahkan menjadi sesak nafas tinggi. Penderita juga
mengalami demam. Yang tinggi. Sebelumnya membersihkan rak-rak buku lama
ayahnya yang penuh debu.

 Pemeriksaan Fisik : (+++) - Kesadaran : CM, gelisah (agitasi) - KU : tampak


sakit berat - TD : 110/80 mmHg - Nadi : 110 x/menit - RR : 34 x/menit - T :
febris Pem. Paru : retraksi interkostal (+) Auskultasi : wheezing (+) saat
inspirasi dan ekspiras

 Riwayat penyakit keluarga : kakak Alia menderita paru kronis yang pada
rontgen thorak menunjukkan honeycomb appearance tetapi wheezing.
Dokter menyarankan Alia untuk control ulang ke poliklinik paru dan
menjalani spirometri dan peak flow metri. (+)
b. Acessment

Berdasarkan Kasus, Batuk yang tidak berkurang sejak tiga hari yang lalu
tersebut kemungkinan disebabkan adanya benda asing (debu) yang masuk ke
dalam tractus respiratoria yang menimbulkan gejala iritatif terhadap saluran
pernapasan bagian bawah berupa batuk. Antigen (debu) tersebut bila ukuran
partikelnya >5 mikrometer, akan ditangkap oleh vibrissae (rambut kasar) dalam
rongga hidung. Namun, bila ukurannya 1-2 mikrometer, partikel tetap bisa masuk
dalam saluran pernapasan dan nantinya akan terjerat pada silia di laring ataupun
dalam trakea. Dan dalam hal ini, terdapat mekanisme refleks batuk yang bertujuan
untuk mengeluarkan partikel asing yang berada dalam trakea/ laring (dimana
kedua tempat tersebut bersifat sangat sensitif terhadap berbagai rangsangan luar
yang masuk).

Factor penyebab batuk : - Masuknya benda asing seperti debu, asap, cairan,
atau makanan secara tidak sengaja masuk ke dalam saluran pernapasan, misalnya
pada asma. - Penyempitan saluran pernapasan, misalnya pada asma. - Tetesan
rongga hidung yang masuk ke tenggorokan kemudian ke saluran pernapasan,
misalnya saat mengobati alergi rhinitis, batuk pilek. - Produksi dahak yang sangat
banyak karena infeksi saluran pernapasan, misalnya flu, bronchitis, pneumonia,
TBC, dan kanker paru-paru. Batuk berdahak terjadi karena timbulnya dahak
tersebut akibat adanya allergen (debu) yang mengiritasi saluran pernapasan
sehingga menyebabkan mukosa bronkus pada saluran pernapasan tersebut
memproduksi mucus/dahak dalam jumlah banyak (hipersekresi mucus) yang
kemudian akan menimbulkan refleks batuk untuk mengeluarkan mucus/dahak
tersebut sebagai refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi peradangan
trakeobronkial. Timbulnya dahak yang menyertai batuk disebabkan oleh adanya
sel epitel berlapis mukus bersilia yang membantu membersihkan saluran
pernafasan, karena silia bergetar ke arah faring dan menggerakkan mukus seperti
suatu lembaran yang mengalir terus-menerus. Jadi partikel asing kecil dan mukus
digerakkan dengan kecepatan satu sentimeter per menit sepanjang trakea ke
faring. Benda asing di dalam saluran hidung juga dimobilisasikan ke laring.
Sehingga Setelah partikel asing yang masuk terjerat dalam mukus, akan ada
mekanisme lanjut berupa refleks batuk berdahak seperti diatas.

Sesak napas yang terjadi pada penderita lebih disebabkan karena reaksi
hipersensitifitas terhadap suatu allergen (debu), dan terjadinya efek
bronkokontriksi akibat penyempitan jalan napas oleh karena hipersekresi mucus.
Selain itu,sesak napas juga dapat disebabkan oleh kebutuhan oksigen yang
meningkat akibat reaksi demam yang juga diderita., dan dapat juga timbul akibat
kerja pernapasan meningkat akibat peningkatan produksi CO2 yang nantinya akan
memicu reaksi hiperventilasi sehingga akan berakibat pada peningkatan oksigen.
Factor-faktor yang dapat menyebabkan sesak napas : - Oksigenasi jaringan
menurun - Kebutuhan oksigen meningkat - Kerja pernapasan meningkat -
Rangsangan pada sistem saraf pusat - Penyakit neuromuskuler Alia juga
menderita demam karena pada kasus di atas, debu yang masuk sudah mencapai
saluran napas bagian bawah dan dianggap sebagai suatu antigen asing. Antigen ini
nantinya akan memicu serangkaian reaksi imunologis seperti kemotaksis dan
fagositosis lekosit polimorfonuklear ke tempat peradangan. Adanya reaksi
peradangan/ inflamasi ini nantinya akan menyebabkan pengeluaran berbagai
mediator inflamasi yang bersifat endogen-pirogen, seperti IL-1 (interleukin 1) dan
prostaglandin. Dan kedua mediator inflamasi inilah yang memegang peranan
penting untuk meningkatkan pusat regulator termostat tubuh di hipotalamus.
Sehingga, peningkatan termostat tubuh inilah yang menyebabkan timbulnya
demam sistemik.

C. Planning

1. Terapi Farmakologi

- Teosal

 Komposisi: teofilin 150mg (50 mg), salbutamol 1mg (0,5mg) tiap tablet
(5ml sirup).

 Indikasi: bronkodilator pada asma bronkhial, bronkhitis akut dan kronis


 Kontra indikasi : Hipertiroidisme, tirotoksikosis.

 Perhatian : Penyakit jantung, hipertensi berat. Interaksi obat :


Propranolol, β-adrenoreseptor lain, simpatomimetik, Digitalis,
antikoagulan oral.

 Efek samping : Gemetar halus pada otot skelet, berdebar, takhikardia,


sakit kepala, mual, muntah.

 Dosis : • Dewasa : 2-4 kali sehari 1 tablet. • Anak-anak berusia kurang


dari 12 tahun : 2-4 kali sehari ½-1 tablet. 10

 Farmakodinamik : 1. Menghambat (competitive inhitor) enzim


fosfodiesterase, menghasilkan : * Peningkatan kadar cAMP intrasel yg
memperantarai relaksasi otot polos bronkus.[ efek bronkodilatasi] *
Memperbaiki kontraktilitas diafragma * Menghambat pembebasan
mediator * Efek F.dinamik < Agonis β-2 2. Menghambat reaksi
inflamasi à efek anti-inflamasi

- Teofilin

 Komposisi: Metilprednisolon (vial: matyl-prednisolon) dan Sodium


succinat

 Indikasi: gangguan rematik, syok, tiroiditis non supuratif, trikinosis, polip


nasal, gangguan pernafasan, gangguan mata, perikarditis, neurotrauma.

 Kontraindikasi: infeksi jamur sistemik, imunisasi, laktasi Perhatian: hamil,


TB laten atau aktif, hipertiroid, sirosis (efek meningkat), herpes simplex
okuler, infeksi interkuren, osteoporosis, ulkus peptik & duodenum
(pemakaian jangka panjang).

 ESO: gangguan elektrolit dan cairan tubuh, kelemahan otot, gangguan


penyembuhan luka, peningkatan TD, katarak subkapsular posterior,
insufisiensi adrenal, gangguan pertumbuhan pada anak, sindrome cushing,
osteoporosis, tukak lambung. Dosis awal: dewasa (sehari: 4-48 mg), anak
(sehari: 0,4-1,6 mg/kg BB).

- Paracetamol
 Indikasi : Nyeri ringan sampai sedang
 Kontra Indikasi : Hipersenssivitas, gangguan hati
 Efek samping : Reaksi alergi, ruam kulit, hipotensi dan kerusakan
hati
2. Terapi Non - Farmakologi
 Menjaga pola makan dengan Baik
 Banyak mengkonsumsi Buah dan sayur
 Hindari tempat yang banyak mengandung polusi udara
 Olahraga ringan
 Istirahat yang cukup

Kasus II
Pasien Tn. N usia 66, bekerja sebagai petani datang dengan keluhan sesak
nafas yang dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Sesak nafas dirasakan setiap saat
dan makin memberat jika pasien merokok. Keluhan lainnya pasien mengalami
batuk berdahak bewarna putih, kental, dan tidak disertai darah. Batuk dirasakan
terutama pada pagi hari. Pasien juga mengaku mengalami penurunan berat badan
yang signifikan, dari 65 kg menjadi 55 kg. Selain itu pasien juga mudah lelah,
sehingga sudah 6 bulan ini pasien tidak lagi bekerja sebagai petani di sawah. Pada
6 bulan yang lalu pasien datang berobat ke puskesmas, dan didiagnosa batuk.
Sehingga pasien setiap bulan mengontrol penyakitnya, namun pasien
mengeluhkan penyakitnya tidak kunjung sembuh dan pasien juga mengeluhkan
sesak dan batuknya semakin bertambah. Pada riwayat penyakit dahulu, pasien
tidak pernah mengalami gejala yang serupa. Namun pada riwayat keluarga, pasien
mengaku ayahnya dahulu pernah mengidap penyakit dengan gejala yang sama
tetapi ayah pasien tidak pernah mengontrolnya kepuskesmas. Untuk riwayat
lingkungan, tetangga pasien tidak ada yang menderita penyakit seperti ini dan
lingkungan rumah pasien merupakan daerah yang penuh debu dan berasap.
Riwayat pribadi, pasien merokok sejak remaja hingga saat ini sekitar 30 tahun
lamanya dan dalam sehari pasien mampu menghabiskan 10 batang rokok linting.
Pasien mengaku tidak pernah memakai narkoba ataupun meminum minuman
beralkohol. Anggota keluarga lain yang tinggal satu rumah dengan pasien tidak
ada yang merokok Selain itu pasien biasanya makan tiga kali sehari. Makanan
yang dimakan cukup bervariasi. Namun pasien cenderung lebih banyak
mengkonsumsi karbohidrat seperti mie instan, singkong, jagung, nasi. Kebiasaan
buruk lainnya ialah, pasien jarang mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran. Pola
pengobatan pasien dan anggota keluarga bersifat kuratif yakni pasien berobat
apabila terdapat keluhan yang dirasa mengganggu aktivitas.
a. Data medic :
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Dara : 130/70 mmHg
Nadi : 94 x/menit
Nafas : 33 x/menit
Suhu : 36,5 derajat C
b. Data non medic :
Usia : 66 thn
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan : 169 cm
Status Gizi : IMT 19,25 (normal)
Pola hidup : Riwayat pribadi, pasien merokok sejak remaja
hingga saat ini sekitar 30 tahun lamanya dan dalam sehari pasien mampu
menghabiskan 10 batang rokok linting. Namun pasien cenderung lebih banyak
mengkonsumsi karbohidrat seperti mie instan, singkong, jagung, nasi. Kebiasaan
buruk lainnya ialah, pasien jarang mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran. Pola
pengobatan pasien dan anggota keluarga bersifat kuratif yakni pasien berobat
apabila terdapat keluhan yang dirasa mengganggu aktivitas.
c. Pemeriksaan Lab :
Pemeriksaan spesimen dahak sewaktu pagi sewaktu/ pemeriksaan BTA
(basil tahan asam) didapati hasil negatif (-). Yang artinya tidak terdapat
Microbacterium Tuberculosis pada pasien.
d. Acessment
Karena pasien mengalami sesak napas dan batuk berdahak. Sehingga di
khawatirkan sakit semakin memburuk sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari.
Oleh karena itu, diharapkan dengan pemberian obat dan terapi, pasien dapat
sembuh dari penyakit sehingga bisa beraktivitas dengan baik. Karena pasien
merupakan perokok aktif sehingga dapat menjadi salah satu penyebab pasien
mengalami batuk. Terlebih lagi di usianya yang telah memasuki rentang usia
lansia. Selain itu kebiasaan pasien yang selalu mengkonsumsi makanan yang
tinggi karbohidrat dan sedikit serat menandakan pola hidup pasien yang tidak
sehat dalam hal mengkonsumsi makanan yang dibutuhkan oleh tubuh, sehingga
dapat menurunkan kadar antibody dalam tubuh. Penurunan daya tahan tubuh
dapat menjadi pemicu penurunan daya tahan tubuh, sehingga pasien mudah lelah.
e. Planning
1. Terapi Farmakologi
Berdasarkan keluhan yang dialamai pasien yaitu sesak napas, batuk berdahak
dengan dahak kental dan putih di pagi hari, penurunan berat badan yang
signifikan, serta sering mengalami kelelahan maka pasien ini berdasarkan
diagnosanya PPOK dimana penyebabbnya karena emfisema, emfisema ini terjadi
karena kebiasaan pasien perokok. Merokok sejak 30 tahunan lalu ditambah udara
dilingkungan tempat tinggal pasien yang berpolusi. Oleh karena itu, untuk
mengobati atau meredakan batuk diberikan obat bronkodilator berupa salbutamol,
dimana salbutamol ini merupakan golongan obat beta 2 adrenergik, dimana respon
beta 2 adrenergik ini di otot polos bronkus, maka obat ini akan merelaksasi otot
polos bronkus sehingga terjadi bronkodilatasi, pelebaran saluran pernafasan dapat
menormalkan aliran udara masuk sehingga dapat meredakan sesak nafas yang
dialami pasien.
Selanjutnya pasien juga diberikan obat Acetylcysteine pada pasien untuk
mengencerkan dahak pasien, sehingga mudah untuk dikeluarkan, kemudian
diberikan obat deksametasone yang merupakan obat golongan psikotropika
golongan 4 diberikan agar mengobati peradangan pada bronkus pasien, serta dapat
memberikan efek hipnotik sedatif yang membuat pasien rileks dan dapat tidur
nyenyak pada malam hari untuk menghindari stress karena jika dilihat umur
pasien yaitu 66 tahun sudah tergolong lansia.
Rekomendasi obat:
- Salbutamol tablet 4 mg 3x1
- Dexametason tablet 0,5 mg 3x1
- Acetylcysteine tablet 200mg 3x1
2. Terapi Non – Farmakologi
untuk pengobatan non farmakologi pasien disarankan berhenti merokok
dan mengubah pola hidupnya dengan mengonsumsi mie instan dan makanan-
makanan yang berkarbohidrat berlebih, pasien disarankan mengonsumsi makanan
berkarbohidrat normal dan diimbangi oleh sayuran dan buah-buahan serta
disarankan melakukan olahraga ringan.
 Edukasi tentang penyakit yang di derita oleh pasien dan komplikasinya
kepada pasien maupun keluarganya.
 Edukasi kepada pasien bahwa PPOK tidak dapat disembuhkan namun
hanya dapat dikontrol/ dicegah agar tidak terjadi perburukan dan
penatalaksanaannya bersifat seumur hidup.
 Edukasi kepada pasien dan keluarganya tentang obat-obatan yang
dikonsumsi oleh pasien, berupa kerjanya dan efek sampingnya.
 Konseling tentang bahaya merokok.
 Konseling terhadap faktor resiko lingkungan seperti debu, asap rokok.
 Konseling dan motivasi kepada pasien dan keluarga untuk menerapkan
pola hidup sehat.
 Konseling kepada keluarga pasien tentang pentingnya memberi dukungan
kepada pasien dan mengawasi pengobatan.
 Memberikan edukasi segala hal tentang ppok dan pengaturan pola gaya
hidup yang sehat. Mengenai olahraga yang minimal dilakukan 3x/minggu
selama ± 30 menit serta diet pada pasien ppok (diet rendah karbohidrat).
 Konseling pasien dan keluarga pasien mengenai pentingnya prinsip
preventif dari pada kuratif menghindari stress karena jika dilihat umur
pasien yaitu 66 tahun sudah tergolong lansia.
1. Batuk yang tidak boleh ditekan, yaitu batuk yang …

A. produktif

B. mengganggu

C. tidak produktif

D. tidak produktif & mengganggu

E. tidak produktif & tidak mengganggu

2. Golongan obat pereda batuk sintetis dengan mekanisme kerja mirip Kodein HCl…

A. Dekstrometorphan

B. Difenhidramin

C. Ammonium klorida

D. Efedrin HCl

E. Bromheksin HCl

3. Obat yang cocok untuk mengatasi batuk produktif adalah ...

A. Oksolamin

B. Destrometorfan

C. Promethazine

D. Codein

E. Bromheksin

4. Benadryl capsul adalah obat batuk golongan antihistamin untuk mengatasi batuk alergi
yang mengandung zat aktif ....

A. Difenhidramin

B. Efedrin

C. Feniramin

D. DMP

E. Chlorfeniramin
5. Batuk yang merupakan suatu mekanisme perlindungan dengan fungsi
mengeluarkan zat asing(kuman,debu,dll) dan dahak dari tenggorokan disebut . . .
A. Batuk produktif

B. batuk tidak produktif

C. asma

D. bronchitis

E. Emfisema paru

6. Bromheksin adalah obat batuk yang bekerja perifer yang dikelompokkan


sebagai…..

A emolliensia

B ekspektoransia

C zat pereda

D sekretolitik

E mukolitik

7. Obat batuk yang bekerja sentral dan bersifat non adiktif :

A.Syr Thymi

B.Codein

C.Amonium klorida

D.Prometazine

E.Doveri

8. Seorang pelanggan “Apotek Sanjaya” menceritakan batuk berdahaknya yang dideritanya


selama 3 hari ini. Apoteker memberikan obat batuk yang mengandung.......

A. Glyceril guaiacolat

B. Dextromehorpan
C. Salbutamol

D. Efedrine.

E. Prednison

9. Codipront (Mack) mengandung......

A. codein.

B. Doveri.

C. Codein+feniltoloksamin.

D. Doveri+feniltoloksamin.

E. Doveri+Akar ipeka

10. Obat batuk yang dapat menekan pusat batuk di medula otak antara lain :

A. Prometazin

B. OBH

C. Amboxol

D. Dextrometorphan HBr

E. Antihistamin

11 Obat batuk yang berkhasiat mengencerkan dahak adalah ...

A. Codein

B. Gliseril Guaikolat

C. Bromheksin

D. Sirup Thymi

E. Noscapin

12. Obat batuk yang bekerja sebagai mukolitika adalah …

A. Amonium klorida

B. Ambroksol

C. Codein
D. Prometazin

E. Semua benar

13.Codipront merupkan kombinasi dari codein dan antihistamin feniltoloksamin.


Tujuan dari kombinasi ini adalah …

A. Memperoleh khasiat jangka panjang

B. Mengobati batuk karena alergi

C. Agar tidak timbul efek sedative

D. Agar cepat menyembuhkan batuk

E. Semua benar

14. Obat batuk yang digunakan pada batuk berdahak, sebaiknya mengandung
A. Noskapin

B. Codein

C. Dekstromethorphan

D. Diphenhidramin

E. Bromheksin

15 Antitusif yang terdapat dalam sediaan obat batuk Ikadryl produksi dari Ikapharmindo adalah
A. Noskapin

B. Dekstrometorphan

C. Prometazin

D. Difenhidramin

E. Codein

16. Seorang pasien menderita batuk dan mendapatkan resep dari dokter sbb
R/ Codein HCl 10 mg
Kotrimoxazol 1 tb
Dexametason 0,5 mg
CTM 4 mg
Uf cap dtd no xv
∫ 3dd 1 cap
Dari obat tersebut di atas manakah yang mempunyai khasiat sebagai pereda batuk yang bekerja
sentral dan bersifat adiktif ?
A. Codein HCl
B. Kotrimoxazol
C. Dexamethazon
D. CTM
E. Semua obat bersifat pereda batuk
17. Komposisi obat batuk hitam salah satunya mengandung bahan secretolitik yang pada dosis
tinggimenimbulkan perasaan mual dan muntah karena merangsang lambung, salah
satu komposisi dalam sirup obat batuk hitam yang mempunyai efek samping tersebut adalah
A. Ipecacuanhae Radix
B.Kreosot
C. Ammonium klorida
D. Kalium Iodidae. Liquiritia
E. Radix
18. Batuk kering dikenal dengan istilah…..
A. Batuk produktif
B. Batuk nonproduktif
C. Batuk berdarah
D. Semua benar
E. Semua salah
19. Batuk akut adalah batuk yang berlangsung….
A. Lebih dari 20 hari
B. Lebih dari 21 hari
C. Kurang dari 14 hari
D. Semua benar
E. Semua salah
20. Batuk khusus adalah batuk yang terjadi karena…
A. Efek dari penyakit tertentu seperti TBC, Asma, dan penyakit jantung
B. Batuk lebih dari 25 hari
C. Batuk yang disertai oleh dahak
D. Semua benar
E. Semua salah

Anda mungkin juga menyukai