Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

1. Hipertensi
1.1. Definisi dan Klasifikasi Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan abnormal dari tekanan darah yakni


≥ 140/90 mmHg yang diukur pada setidaknya tiga kesempatan yang berbeda dari
orang yang telah beristirahat selama minimal 5 menit . Hipertensi sering
diklasifikasikan menjadi hipertensi primer atau sekunder, berdasarkan apakah
penyebabnya dapat diidentifikasi atau tidak. Kebanyakan kasus hipertensi tidak
dapat diketahui penyebabnya dan disebut hipertensi primer atau hipertensi
essensial. Jika penyebab pasti hipertensi diketahui, maka disebut hipertensi
sekunder. (Corwin, 2008).

Menurut The Seventh Joint National Committee on Prevention, Detection,


Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) dalam Chobanian et al
(2003), klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok
normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 ditunjukkan pada tabel 1
di bawah.

Tabel 1.1. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7

Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah


Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 dan <80
Prahipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi derajat 2 ≥ 160 atau ≥100

Hipertensi juga diklasifikasikan berdasarkan tipe-nya (hipertensi sistolik-


diastolik atau hipertensi sistolik terisolasi) dan berdasarkan ada tidaknya
manifestasi ke organ-organ target (hipertensi dengan komplikasi atau hipertensi
tanpa komplikasi) seperti jantung, serebrovaskular, pembuluh darah perifer, ginjal
atau retinal. (Furberg dan Psaty, 2003).
1.2. Etiologi Hipertensi

Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi hipertensi primer dan


hipertensi sekunder.

1.2.1. Hipertensi Primer

Lebih dari 90% kasus hipertensi memiliki penyebab yang tidak jelas, dan
disebut hipertensi primer atau hipertensi essensial. Hipertensi primer merupakan
penyakit genetik multifaktorial, yang artinya penurunan gen abnormal pada
seorang individu akan memperbesar kemungkinan orang tersebut menderita
hipertensi, ditambah lagi adanya faktor lingkungan dan gaya hidup seperti
konsumsi garam berlebihan dan stress psikososial. Gen yang terlibat dalam proses
ini belum teridentifikasi, sehingga penentuan mekanisme terjadinya hipertensi
lebih difokuskan pada mengungkap gangguan fungsional yang terjadi akibat
hipertensi. (Aaronson, Ward, Wiener, Schulman, Gill, 2007).

1.2.2. Hipertensi Sekunder

Kurang dari 10% kasus hipertensi dapat diidentifikasi penyebabnya dan


disebut hipertensi sekunder. Penyebab paling sering dari hipertensi sekunder
antara lain: (a) penyakit renovaskular, mengganggu regulasi cairan dan/atau
mengaktifkan sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAA), (b) gangguan
endokrin, biasanya di korteks adrenal dan berhubungan dengan sekresi berlebihan
dari aldosteron, kortisol, dan/atau katekolamin, (c) kontrasepsi oral, yang
mengakibatkan peningkatan tekanan darah melalui aktivasi sistem RAA dan
hiperinsulinemia. (Aaronson, Ward, Wiener, Schulman, Gill, 2007).

1.3. Faktor Resiko Hipertensi

Faktor resiko terjadinya hipertensi terbagi atas dua, yaitu yang dapat
dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.

1.3.1 Faktor resiko yang dapat dimodifikasi

a.) Merokok
Lebih dari 400.000 orang, atau satu dari lima orang meninggal setiap tahun
akibat merokok di Amerika Serikat. Rokok mengandung nikotin, zat karsinogenik,
dan 4000 jenis racun lainnya. Nikotin merupakan bahan utama dalam rokok yang
menyebabkan sifat addiktif dari rokok. Zat-zat racun terutama nikotin yang
terkandung didalam rokok dapat menyebabkan penggumpalan di pembuluh darah
sehingga menyebabkan pengapuran pada dinding pembuluh darah. Bahan-bahan
yang berasal dari endotel ini selanjutnya akan mengakibatkan hipertrofi struktural
yang pada akhirnya akan mengakibatkan peningkatan curah jantung dan/atau
tahanan perifer. (Burns, 2008).

b.) Kurang aktifitas fisik

Berbagai penelitian ilmiah telah membuktikan latihan fisik ringan hingga


sedang mampu menurunkan resiko terjadinya mortalitas akibat berbagai penyakit
kardiovaskular pada pria dan wanita. Olahraga yang teratur dan efektif dapat
menurunkan resiko terjadinya hipertensi dan membantu menurunkan tekanan
darah orang yang sudah menderita hipertensi. Olahraga yang dianjurkan yakni
jalan cepat (30 meter per jam) setidaknya 30-45 menit setiap harinya secara
teratur, bersepeda atau bekerja di sekitar rumah atau pekarangan. (Froelicher, Oka,
Fletcher, 2003).

c.) Obesitas

Obesitas telah lama dikenal sebagai faktor penentu penting dari


peningkatan tekanan darah. Studi eksperimental menunjukkan bahwa peningkatan
berat badan mengakibatkan peningkatan tekanan darah, begitu juga sebaliknya.
Namun, mekanisme yang mendasari hubungan ini masih kurang dipahami.
Beberapa mekanisme yang dipercaya antara lain peningkatan aktivitas simpatetik,
retensi sodium dan cairan, abnormalitas ginjal, dan resistensi insulin. (Sharma,
2003).

d.) Asupan garam berlebihan


Karena garam secara osmotis menahan air, dan karenanya meningkatkan
volume darah dan berperan dalam kontrol jangka panjang tekanan darah, maka
asupan garam berlebihan secara teoris dapat menyebabkan hipertensi. (Sherwood,
2009).

e.) Diet yang kurang mengandung buah, sayuran dan produk susu

Studi DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) menemukan


bahwa diet rendah lemak kaya buah, sayur dan produk susu dapat menurunkan
tekanan darah pada orang dengan hipertensi ringan sama seperti pemberian terapi
dengan satu jenis obat. Penelitian memperlihatkan bahwa asupan kalium tinggi
yang berkaitan dengan banyak makan buah dan sayur dapat menurunkan tekanan
darah dengan melemaskan arteri. Selain itu, kurangnya asupan kalsium dari
produk susu diidentifikasi sebagai pola diet yang paling sering pada orang dengan
hipertensi yang tidak diobati, meskipun peran kalsium dalam mengatur tekanan
darah masih belum jelas. (Sherwood, 2009).

f.) Stress psikososial

Hubungan terjadinya hipertensi akibat stress psikososial diduga akibat


aktivitas berlebihan dari saraf simpatis sehingga mengakibatkan peningkatan
kontraktilitas jantung dan pada akhirnya terjadi peningkatan curah jantung
dan/atau tahanan perifer. (Yogiantoro, 2009).

g.) Konsumsi alkohol

Konsumsi alkohol kadar rendah hingga sedang (1-2 gelas per hari) dapat
menurunkan resiko terjadinya penyakit seperti stroke, penyakit jantung koroner
dan hipertensi hingga 30%, namun konsumsi dalam kadar tinggi dapat merusak
otot jantung. (Mackay and Mensah, 2004).

1.3.2 Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi

a.) Usia
Beberapa perubahan yang terjadi pada sistem kardiovaskular dan tekanan
darah pada proses menua antara lain: peningkatan tekanan darah sistolik tetapi
tekanan darah diastolik tidak berubah, peningkatan resistensi vaskular perifer,
lapisan subendotel menebal dengan jaringan ikat,ukuran dan bentuk yang irregular
pada sel-sel endotel, dan berkurangnya vasodilatasi yang dimediasi beta-
adrenergik. (Setiati, Harimurti, Govinda R, 2009).

b.) Genetik

Angiotensinogen adalah bagian dari jalur hormon yang menghasilkan


vasokonstriktor kuat angiotensin II serta mendorong retensi garam dan air. Salah
satu varian gen pada manusia tampaknya berkaitan dengan peningkatan insidens
hipertensi. Para peneliti berspekulasi bahwa versi gen yang dicurigai ini
menyebabkan sedikit peningkatan pembentukan angiotensinogen sehingga jalur
penambah tekanan darah ini menjadi aktif. (Sherwood, 2009).

c.) Jenis kelamin

Dari berbagai penelitian, insidens hipertensi lebih banyak ditemukan pada


pria dibandingkan wanita usia premenopause. Pada wanita faktor resiko terjadinya
hipertensi akan meningkat setelah masa menopause akibat perubahan aktivitas
hormon. (Mackay and Mensah, 2004).

d.) Etnis

Berdasarkan studi epidemiologi, faktor resiko utama terjadinya penyakit


kardiovaskular seperti hipertensi, dislipidemia, merokok dan diabetes paling
banyak ditemukan pada populasi kulit putih. (Anand, Ounpuu, Yusuf, 2003).

1.4. Patogenesis Hipertensi

Untuk dapat mengerti patogenesis dan penatalaksanaan hipertensi, amatlah


penting untuk terlebih dahulu mengerti faktor-faktor yang terlibat dalam regulasi
tekanan darah normal maupun hipertensif. Curah jantung dan resistensi perifer
merupakan faktor penentu tekanan darah. Curah jantung ditentukan oleh stroke
volume dan denyut jantung; stroke volume berhubungan dengan kontraktilitas
miokard dan ukuran kompartemen vaskular. Resistensi perifer ditentukan oleh
perubahan fungsional maupun anatomis dari arteri dan arteriol. (Kotchen, 2008).

Faktor-faktor penentu tekanan darah menurut Kotchen (2008) antara lain:

a.) Volume intravaskular

Volume vaskular adalah faktor penentu utama tekanan darah dalam jangka
panjang. Meskipun ruang cairan ekstraseluler terdiri dari pembuluh darah dan
ruang interstitial, secara umum, perubahan dalam total volume cairan ekstraseluler
berhubungan dengan volume darah. Ion yang paling banyak di ekstraseluler
adalah sodium, dan merupakan faktor penentu utama dari volume cairan
ekstraseluler. Ketika asupan NaCl melebihi kapasitas ginjal untuk
mengekskresikan sodium, volume vaskular dan curah jantung meningkat. Tubuh
merespon hal ini dengan terjadinya mekanisme autoregulasi untuk
mempertahankan aliran darah konstan, yang dalam jangka panjang akan
meningkatkan resistensi perifer.

b.) Autonomic Nervous System

Autonomic nervous system mempertahankan homeostasis kardiovaskular


melalui sinyal kemoreseptor. Refleks adrenergik mengatur tekanan darah dalam
jangka pendek, sementara fungsi adrenergik mengatur tekanan darah dalam jangka
panjang. Ada tiga katekolamin yang berperan penting dalam fase tonik dan fasik
regulasi kardiovaskular, yakni norepinefrin, epinefrin dan dopamine. Neuron
adrenergik mensintesa norepinefrin dan dopamine (prekursor dari norepinefrin),
yang disimpan di vesikel di dalam neuron. Ketika neuron distimulasi,
neurotransmitter ini dilepaskan ke celah sinaptik dan reseptor pada organ target.
Selanjutnya, transmitter tersebut dapat dimetabolisasi atau dapat pula di reuptake
ke dalam neuron. Epinefrin disintesa oleh medulla adrenal dan dilepaskan ke
sirkulasi melalui stimulasi adrenal.

c.) Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron


Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron berperan dalam regulasi tekanan
darah terutama melalui sifat vasokonstriktor dari angiotensin II dan sifat retensi
sodium dari aldosteron. Renin disintesa dari bentuk inaktifnya yaitu prorenin di
sel jukstaglomerular. Prorenin dapat langsung disekresikan ke sirkulasi dan dapat
pula diubah menjadi renin di sel sekretorik, setelah itu dilepaskan ke sirkulasi.
Ketika dilepaskan ke sirkulasi, renin akan membentuk substrat baru, yakni
angiotensinogen yang kemudian akan membentuk peptide inaktif, angiotensin I.
Selanjutnya Angiotensin I-Converting Enzyme (ACE) akan mengubah angiotensin
I menjadi angiotensin II yang merupakan faktor utama sekresi aldosteron di
adrenal. Angiotensinogen II berperan penting dalam peningkatan tekanan darah
karena kinerjanya meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH). Sekresi
aldosteron yang dirangsang oleh angiotensinogen II juga mampu mengakibatkan
peningkatan tekanan darah karena naiknya konsentrasi NaCl. Selain itu,
angiotensin II juga memiliki efek langsung di dinding pembuluh darah dan
berperan pada patogenesis aterosklerosis.

d.) Mekanisme vaskular

Diameter pembuluh darah dan resistensi arteri juga merupakan faktor


penentu penting dalam tekanan darah. Diameter pembuluh darah berbanding
terbalik dengan resistensi arteri, akibatnya semakin kecil ukuran diameter
pembuluh darah maka semakin besar resistensinya. Pada pasien hipertensi, terjadi
perubahan struktural, mekanikal atau fungsional yang mengakibatkan pengecilan
lumen arteri dan arteriol. Mekanisme kompensasi terjadinya hipertrofik
merngakibatkan pengecilan lumen arteri yang kemudian meningkatkan resistensi
perifer. Diameter lumen arteri juga berkaitan dengan elastisitas pembuluh darah.
Pasien dengan hipertensi memiliki arteri yang lebih kaku.

1.5. Manifestasi Klinis Hipertensi

Menurut Corwin (2008) kebanyakan manifestasi klinis hipertensi muncul


setelah bertahun-tahun, dan termasuk diantaranya:

a. Sakit kepala, terkadang disertai mual dan muntah, disebabkan oleh karena
peningkatan tekanan darah intrakranial.
b. Penglihatan kabur disebabkan oleh karena kerusakan pembuluh darah di
retina.
c. Ketidakstabilan cara berjalan disebabkan oleh karena kerusakan sistem
nervus.
d. Nokturia disebabkan oleh karena peningkatan aliran darah ginjal dan
filtrasi glomerulus.
e. Edema disebabkan oleh karena peningkatan tekanan kapiler.

1.6. Diagnosis Hipertensi

Penegakan diagnosis pada pasien hipertensi harus termasuk anamnesis


lengkap, pemeriksan fisik, skrining untuk mengetahui resiko terjadinya penyakit
kardiovaskular lainnya, skrining untuk mengetahui penyebab sekunder hipertensi,
identifikasi komplikasi dan faktor komorbid lainnya, dan intervensi yang mungkin
diperlukan. (Kotchen, 2008).

Hal-hal yang perlu dievaluasi dalam mendiagnosis hipertensi menurut


Kotchen (2008) antara lain:

a. Anamnesis

Hal-hal yang harus diperhatikan pada saat anamnesis:

Tabel 1.2. Anamnesis pada Pasien Hipertensi

Lama terjadinya hipertensi


Riwayat terapi sebelumnya: respon dan efek samping
Riwayat keluarga yang menderita hipertensi atau penyakit kardiovaskular lainnya
Asupan makan dan riwayat psikososial
Faktor resiko lainnya: berat badan, dislipidemia, merokok, diabetes dan kurang
aktifitas fisik
Adanya bukti yang mengarah pada hipertensi sekunder: riwayat penyakit ginjal,
kelemahan otot, berkeringat, palpitasi, tremor, gejala hipotiroidisme atau
hipertiroidisme, dan penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan tekanan
darah
Adanya gejala kerusakan organ target: riwayat transient ischemic attack (TIA),
stroke, gangguan penglihatan, angina, infark miokard dan gagal jantung kongestif
Faktor komorbid lainnya
Sumber: Harrison’s Principles of Internal Medicine, 2008
Sakit kepala hanya didapati pada pasien dengan hipertensi menahun,
dengan karakteristik terjadi di pagi hari dan terasa di bagian oksipital. Gejala
klinis lainnya yakni pusing, palpitasi, dan mudah lelah.

b. Pengukuran tekanan darah


Pengukuran tekanan darah yang baik tergantung pada teknik kondisi pada
saat dilakukan pengukuran. Sebelum melakukan pengukuran tekanan darah,
pasien harus dalam keadaan istirahat selama 5 menit. Perhatikan letak manset,
stetoskop, dan laju deflasi dari manset (2 mmHg/detik).
c. Pemeriksaan fisik
Postur tubuh, yakni berat dan tinggi badan serta denyut nadi harus
diperiksa. Pada pemeriksaan awal, pengukuran tekanan darah dilakukan pada
kedua lengan, dan sebaiknya dilakukan dalam posisi telentang, duduk dan berdiri
untuk menentukan ada tidaknya hipotensi postural. Leher harus dipalpasi untuk
melihat ada tidaknya pembesaran kelenjar tiroid. Evaluasi adanya gejala gagal
jantung dan pemeriksaan neurologis juga dibutuhkan pada pemeriksaan fisik
pasien hipertensi.

d. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien hipertensi lebih difokuskan untuk
mencari bukti yang mengarah pada hipertensi sekunder dan apakah telah muncul
komplikasi akibat hipertensi pada pasien.

Tabel 1.3. Pemeriksaan laboratorium dasar pada evaluasi awal pasien hipertensi

Sistem Tes
Renal Urinalisis mikroskopis, ekskresi albumin, serum BUN
(Blood Urea Nitrogen) dan/atau kreatinin.
Endokrin Serum sodium, potassium, kalsium dan TSH
Metabolik Gula darah puasa, total kolesterol, HDL, LDL,
trigliserida
Lainnya Hematokrit, elektrokardiogram (EKG)

Sumber: Harrison’s Principles of Internal Medicine, 2008

1.7. Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah: (a) target tekanan darah


<140/90 mmHg, untuk individu beresiko tinggi (diabetes, gagal ginjal,
proteinuria) <130/80 mmHg, (b) penurunan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular, dan (c) menghambat laju penyakit ginjal proteinuria. Selain
pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau kondisi penyerta
lainnya seperti diabetes mellitus atau dislipidemia juga harus dilaksanakan hingga
mencapai target terapi masing-masing kondisi. (Yogiantoro, 2009).
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan
farmakologis. Terapi non farmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien
hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-
faktor resiko serta penyakit penyerta lainnya. Terapi nonfarmakologis terdiri dari:

a) Menghentikan rokok
b) Menurunkan berat badan berlebih
c) Menurunkan konsumsi alkohol berlebihan
d) Latihan fisik
e) Menurunkan asupan garam
f) Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak.
(Yogiantoro, 2009).
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi
dianjurkan oleh JNC 7 adalah:
a) Diuretika, terutama jenis thiazide atau aldosterone antagonist
b) Beta blocker
c) Calcium channel blocker atau calcium antagonist
d) Angiotensin converting enzyme inhibitor
e) Angiotensin II receptor blocker atau AT1 receptor antagonist/blocker.
(Yogiantoro, 2009).

1.8. Komplikasi Hipertensi

Jantung, otak, ginjal dan pembuluh darah merupakan organ target utama
yang dapat mengalami kerusakan sebagai akibat dari peningkatan tekanan darah.
Tekanan darah tinggi merupakan faktor resiko utama dari penyakit jantung
koroner, dan komplikasi hipertensi pada jantung bertanggung jawab sebagai
penyebab meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas pada pasien hipertensi.
(Graettinger, 2002).

Berbagai kerusakan organ target sebagai komplikasi hipertensi menurut


Graettinger (2002):

a. Komplikasi aterosklerosis
Penyebab utama kematian pada pasien hipertensi adalah komplikasi akibat
aterosklerosis. Penelitian eksperimental menunjukkan penurunan tekanan darah
secara signifikan hanya menurunkan sedikit angka kejadian komplikasi
aterosklerosis, namun jika terapi difokuskan pada penurunan tekanan darah dan
perbaikan kadar kolesterol, hasilnya menjadi lebih baik.

b. Disfungsi jantung

Gejala dari hipertensi adalah disfungsi tekanan darah sistolik dan diastolik.
Penurunan fungsi tekanan darah sistolik dapat mengakibatkan infark miokard,
iskemia miokard, fibrosis dan/atau kardiomiopati. Disfungsi diastolik disebabkan
langsung oleh hipertrofi ventrikel kiri (LVH), dan mengakibatkan gejala gagal
jantung.

c. Stroke

Hipertensi merupakan faktor resiko utama terjadinya stroke hemoragik dan


infark serebral. Tekanan darah sistolik lebih berhubungan erat dengan kejadian
stroke dibandingkan tekanan darah diastolik. Terapi antihipertensi yang efektif
dapat menurunkan resiko terjadinya stroke secara signifikan.

d. Penyakit ginjal hipertensi


Nefrosklerosis dengan insufisiensi bahkan gagal ginjal kronis merupakan
karakteristik dari penyakit ginjal akibat hipertensi. Mikroalbuminuria merupakan
marker dari disfungsi ginjal asimptomatik pada pasien hipertensi dengan disfungsi
ginjal. Kombinasi dari hipertensi dan diabetes mellitus dapat meyebabkan
kerusakan lebih awal dan lebih progresif pada ginjal.

e. Aorta dan pembuluh darah perifer

Aorta dan pembuluh darah perifer terlibat dalam patogenesis peningkatan


tekanan darah dan juga komplikasinya. Hipertensi berkontribusi besar pada
kejadian aneurisma aorta abdominal melalui mekanisme aterosklerotik, juga pada
penurunan elastisitas pembuluh darah perifer.
f. Mata
Hipertensi yang tidak ditangani dapat menyebabkan kerusakan pada
vaskularisasi mata. Karateristik dari retinopati hipertensif adalah penyempitan
lumen arteriolar, penumpukan eksudat dan papilledema.

Anda mungkin juga menyukai