Anda di halaman 1dari 6

GANGGUAN HEMOSTASIS PADA DEMAM BERDARAH DENGUE

Pendahuluan

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) saat ini masih merupakan masalah
kesehatan di seluruh dunia terutama di negara beriklim tropis. Dilihat dari jumlah, Indonesia
merupakan Negara nomor dua di dunia setelah Thailand yang mempunyai kasus terbanyak.
Di Indonesia walaupun angka kematiannya cenderung tampak menurun dari tahun ke
tahun, namun angka kesakitan dan jumlah wilayah Dati II yang terjangkit masih tampak
berfluktuasi dan cenderung meningkat. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (1991 1995)
angka kesakitan berfluktuasi dari 11,6 % per 100.000 penduduk pada tahun 1995.
Angka kematian bervariasi di masing masing provinsi berkisar 0,4 23 % (2 4).
Perubahan patofisiologi pada infeksi dengue menentukan perbedaan perjalanan penyakit
antara demam dengue dengan Demam Berdarah Dengue (DBD). Perubahan patofisiologi
tersebut adalah kelainan hemostasis dan perembesan plasma yang menyebabkan tingginya
angka kematian pada demam berdarah dengue.
Berikut akan dibicarakan patogenese gangguan hemodinamik pada Demam Berdarah
Dengue serta penangulangannya.

Patogenese
Penelitian pathogenesis Demam Berdarah Dengue sampai sekarang masih merupakan
penelitian yang sangat menantang. Hal ini disebabkan teori pathogenesis yang bermunculan
belum mampu menerangkan secara tuntas fenomena klinik yang terjadi.
Namun sebagian besar sarjana masih menganut The Secondary Heterologous Infection
/ Sequential Infection Hyphothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila
seseorang setelah infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang tipe virus dengue yang
berlainan.
Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seseorang penderita
dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah mengakibatkan proliferasi dan transformasi
limfosit imun dengan menghasilkan antibodi IgG anti dengue titer tinggi. Disamping itu
replikasi virus dengue terjadi juga dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal
ini akan menyebabkan terjadinya kompleks virus antibodi dalam sirkulasi darah yang
selanjutnya dapat mengaktifkan system komplemen. Akibat aktivasi komplemen ialah
dilepaskannya peptide dengan berat molekul rendah yaitu anafilatoxin C3a dan C5a berturut
turut akibat aktivasi C3 dan C5. Kedua peptide ini berdaya untuk membebaskan histamine, dan

merupakan mediator kuat sebagai faktor meningginya permeabilitas dinding pembukuh darah
dan merembesnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.
Kompleks virus antibodi yang terbentuk dapat mengaktifkan system koagulasi yang
dimulai dari aktivasi faktor XII (Hageman) menjadi bentuk aktif (XII a). Selanjutnya faktor
XII a akan mengaktivasi faktor koagulasi lainya secara berurutan mengikuti suatu kaskade
sehingga akhirnya terbentuk fibrin. Disamping itu selain terhadap sistem koagulasi, faktor XII
a juga akan mengaktifkan sistem fibrinolisis, sistem kinin dan sistem komplemen.
Selain itu virus yang mati atau zat yang dihasilkannya dapat membentuk suatu zat
yang bersifat seperti endotoxin (Endotoxin like activity) yang dapat mengakibatkan kerusakan
endotel kapiler pembuluh darah. Kerusakan endotel kapiler juga menyebabkan pelepasan
faktor jaringan yang mempunyai sifat seperti tromboplastin kedalam sirkulasi darah. Faktor
jaringan ini bersama dengan faktor VII akan mengaktifkan faktor X dari sistem koagulasi
melalui jalur ekstrinsik dan menimbulkan DIC. Akibat terjadinya DIC maka faktor faktor
pembekuan akan menurun aktivitasnya karena pemakaian yang meningkat.
Infeksi virus dengue pada manusia dapat menimbulkan trombositopenia melalui
beberapa mekanisme yaitu gangguan produksi platelet akibat invasi virus pada megakariosit,
penghancuran platelet yang beredar atau terbentuknya kompleks antigen antibodi virus.
Juga akibat aktivasi komplemen akan terjadi agregasi trombosit yang melepaskan ADP dan
mengalami metamorfosis yang kemudian kehilangan fungsi sehingga dimusnahkan oleh
sistem retikuloendotel dengan akibat trombositopeni hebat dan perdarahan.
Kho dkk juga melaporkan adanya trombosit besar besar yang secara metabolic lebih
aktif dan menunjukkan agregasi optimal.
Aktivasi faktor Hageman (faktor XII yang selanjutnya mengaktivasi sistem koagulasi
dengan akibat terjadinya pembekuan intravascular yang meluas. Dalam aktivasi faktor XII ini
plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan pada pembentukan anafilatoxin dan
penghancuran fibrin menjadi Fibrin Degradation Product (FDP). Disamping itu aktivator
faktor XII akan menggiatkan juga sistem Kinin yang berperan pada proses peninggian
permeabilitas dinding pembuluh darah. Penurunan faktor koagulasi yang disebabkan aktivasi
sistem koagulasi dan kerusakan hati akan menambah beratnya perdarahan.

Gambaran Klinis
Penyebab perdarahan pada pasien DBD ialah vaskulopati, trombositopenia dan
gangguan fungsi trombosit serta koagulasi intravascular menyeluruh. Jenis pendarahan yang
terbanyak adalah perdarahan kulit seperti uji tourniquet positif, ptekiae, purpura, ekimosis dan
perdarahan konjunctiva dan diikuti dengan hematemesis, melena dan epistaksis.

Derajat beratnya penyakit dibagi dalam 4 tingkatan yaitu :


Derajat I

: Satu satunya tanda perdarahan adalah test Torniquet positif

Derajat II

: Gejala pada derajat I ditambah perdarahan spontan dikulit atau perdarahan

lain.
Derajat III

: Kegagalan sirkulasi, denyut nadi cepat, lemah dengan tekanan darah yang
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi dengan kulit yang dingin,
kasar, bersisik dan penderita gelisah.

Derajat IV

: Syok yang dalam dengan tekanan darah yang tidak terukur dan denyut nadi
tidak teraba.

Pali dkk melaporkan uji Torniquet positif ditemukan pada 96,9 % penderita terutama
pada derajat I. Ptekia ditemukan pada 39,0 % penderita dan terutama ditemukan pada derajat
II. Ekimosis ditemukan pada 3,9 % penderita dan ditemukan pada semua derajat penyakit
kecuali derajat I. Epistaksis ditemukan pada 21,8 % penderita dan terutama pada derajat IV.
Perdarahan gusi ditemukan pada 20,3 % penderita terutama derajat IV. Hematemesis
ditemukan pada 3,9 % penderita dan terutama pada derajat III dan IV. Melena ditemukan
pada 3,5 % penderita dan terutama pada derajat III dan IV. Hematemesis ditemukan pada 1,4
% penderita dan terutama pada derajat III dan IV.
Sedangkan Rampengan melaporkan manifestasi perdarahan terbanyak adalah Test
Torniquet 79,2 %, petekia 33,1 %, epistaxis 6,6 %, hematemesis 11,4 %, ekimosis 6,6 %,
melena 7,4 %, perdarahan gusi 1,9 %. Zulkarnain pada penelitiannya menemukan semakin
rendah hitung trombosit semakin berat tingkat gastritis erosive.
Perdarahan juga dapat terjadi berupa hemaptoe, melalui vagina dan sangat jarang
melalui saluran pendengaran. Pada autopsy juga dapat ditemukan perdarahan pada hati dan
jantung.
Tanda tanda klinis adanya permulaan renjatan biasanya terjadi pada saat peralihan
masa demam ke penurunan demam yaitu antara 3 dan 7 hari, seperti kegelisahan atau perangai
lemah, sakit perut mendadak, ekstremitas dingin, kongesti kulit dan oliguri, sianosis perifer
terutama ujung hidung, jari tangan dan kaki serta penurunan tekanan darah.
Kegagalan multiorgan juga sering ditemukan pada DBD seperti gagal hati akut, gagal
ginjal akut, oedem serebri dan gagal nafas. Dan kadang kadang dapat dijumpai
hipoalbuminemia. Mekanisme terjadinya kegagalan multi organ belum diketahui secara pasti,
namun diduga pada saat terjadinya DIC yang akut dan hebat pada awalnya akan terjadi
mikrotrombus fibrin, akibatnya terjadi penyumbatan berbagai organ yang terkena dengan
segala akibatnya.

Pemeriksaan Laboratorium
Hematokrit dan Hemoglobin :
Nilai hematokrit biasanya mulai meningkat pada hari ketiga perjalanan penyakit dan
meningkat sesuai proses perjalanan penyakit. Peningkatan tersebut merupakan manifestasi
hemokonsentrasi akibat kebocoran plasma.
Peningkatan hematokrit pada DBD biasanya sekitar 20 % atau lebih. Rampengan
mendapatkan bahwa peningkatan hematokrit 40 45 % sebanyak 14,5 % dan lebih 45 %
sebanyak 24,5 %. Sedangkan Pali dkk mendapatkan peningkatan hematokrit 20 % mencapai
75,5 %.
Kadar hemoglobin pada hari hari pertama biasanya normal atau sedikit menurun. Tapi
kemudian kadarnya akan naik mengikuti peningkatan hemokonsentrasi dan merupakan
kelalaian hematologi paling awal yang dapat ditemukan pada demam berdarah dengue.

Trombosit :
Trombositopenia merupakan salah satu kriteria sederhana yang diajukan oleh WHO
sebagai diagnosis klinis penyakit DBD. Jumlah trombosit yang paling rendah dijumpai pada
hari 4 sampai hari ke 8 demam. Penyebab trombositopenia pada DBD masih kontroversial.
Sebagian peneliti mengatakan kemungkinan penyebabnya ialah trombopoesis yang menurun
dan destruksi trombosit dalam darah yang meningkat. Peneliti lain menemukan adanya
gangguan fungsi trombosit. Mekanisme yang menyebabkan peningkatan destruksi dan
gangguan fungsi trombosit belum diketahui dengan jelas. Ditemukannya kompleks imun pada
permukaan trombosit diduga sebagai penyebab agregasi trombosit yang kemudian akan
dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial khususnya dalam limpa dan hati.

Jumlah leukosit dan hitung jenis :


Pada pemeriksaan darah sering dijumpai leukopenia walaupun lekositosis tidak jarang
ditemukan. Leukopenia biasa terjadi pada fase akut demam dimulai pada hari ke 3 demam dan
akan normal kembali pada hari ke 6 dan ke 7. Penyebab leukopenia adalah depresi sumsum
tulang. Hal yang menarik ialah ditemukan cukup banyak limfosit yang bertransformasi atau
atipik dalam sediaan apusan darah tepi. Limfosit atipik ini merupakan sel berinti satu
(mononuklear) dengan struktur kromatin inti halus dan agak padat, serta sitoplasma yang
relatif lebar dan berwarna biru tua. Oleh karenanya sel ini juga dikenal sebagai limfosit
plasma biru. Limfosit biru mempunyai nilai diagnostik tinggi pada infeksi dengue pada hari
kelima demam dengan sensitifitas 85,88 % dan spesifitas 86,29 %.

Protrombine Time dan partial Tromboplastin Time serta Trombine Time dapat
mendekati nilai normal tetapi 30 60 % nilai tersebut dapat memanjang.
Menurunnya kadar fibrinogen dan faktor pembekuan seperti faktor II, V, VII, IX, dan
XII dijumpai pada lebih dari 25 % kasus. Pemeriksaan sumsum tulang biasanya menunjukkan
gangguan maturasi megakariosit. Serebrospinal biasanya normal. Laju endap darah biasanya
normal kecuali bila disertai komplikasi atau perdarahan banyak.

Penatalaksanaan :
Pada dasarnya penatalaksanaan penderita DBD bersifat sportif. Hemokonsentrasi
mencerminkan derajat kebocoran plasma dan biasanya mendahului munculnya secara klinis
perubahan vital seperti hipotensi, penurunan tekanan darah, sedangkan turunnya nilai
trombosit biasanya mendahului nilai kenaikan hematokrit. Sehingga suatu keharusan pada
penderita tersangka DBD untuk memeriksa nilai hematokrit dan trombosit setiap hari mulai
hari ke 3 sakit sampai 1 2 hari setelah demam menjadi normal, bahkan setiap 4 6 jam pada
hari pertama pengobatan.
Pada pasien yang muntah, dehidrasi atau asidosis cairan yang dianjurkan adalah
Ringer Laktat, NaCl 0,9% dan atau Glukosa 10 %, disamping Natrium Bicarbonat bila
asidosis. Jumlah cairan yang diberikan pada penderita dewasa dengan dehidrasi sedang adalah
88 ml / KgBB/ 24 jam untuk hari 1 3. Bila tampak dehidrasi berat maka setengah dari
jumlah cairan tersebut diberikan pada 8 jam pertama dan sisanya pada 16 jam selanjutnya.
Pada penderita dengan gejala renjatan perlu perawatan yang intensif karena
merupakan gawat darurat. Tanda munculnya renjatan adalah gelisah atau perangai lemah,
sakit perut mendadak, ekstremitas dingin, kongesti kulit dan oliguri. Penggantian kehilangan
plasma harus secepatnya dimulai dengan Ringer Laktat atau NaCl 0,9 % dengan kecepatan 20
ml/KgBB/jam. Bila renjatan tidak pulih diperlukan plasma atau plasma ekspander yang
diberikan dengan kecepatan 10 ml/ KgBB/jam. Pemberian cairan ini diteruskan sampai terjadi
perbaikan tanda tanda vital. Sedangkan penghentian pemberian cairan infus bila nilai
hematokrit turun mencapai sekitar 40 % dan nafsu makan telah membaik.
Pemberian Carbazocrhome sodium sulfonate (AC 17) adalah suatu vasotropic agent
atau protektor dinding pembuluh darah dan dilaporkan menekan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah oleh histamine, bradikinin, kalikrein, reaksi antigen antibodi, memiliki
aktivitas ekspander plasma dan mempersingkat waktu perdarahan.
Adanya Dissaminated Intravascular Coagulation (DIC) pada DBD akan menigkatkan
angka mortalitas. Bila pada pemeriksaan laboratorium dijumpai tanda DIC, pemberian
heparin dapat dipertimbangkan, walaupun hal ini masih banyak kontroversi. Hal ini

disebabkan DIC pada fase dini sering tidak menonjol peranannya. Penyelidikan Bancet dkk
tidak menemukan DIC berat pada penderita DSS. Peranan DIC akan menonjol bila penyakit
memburuk sehingga terjadi renjatan dan asidosis, sehingga saling mempengaruhi dan
memasuki fase renjatan irreversible disertai perdarahan hebat dengan melibatkan organ
penting. Dalam kaskade seperti ini pemberian heparin diperlukan dengan dosis 2500 5000
IU/hari dengan tujuan memutuskan lingkaran renjatan. Disamping itu pemberian persantin
dengan dosis 5 mg/KgBB dapat mencegah DIC.
Transfusi darah diberikan bila terjadi perdarahan yang bermakna seperti perdarahan
saluran cerna hebat, pada penderita Dengue Shock Syndrome (DSS) yang pada pemeriksaan
periodik memperlihatkan penurunan hemoglobin dan hematokrit yang cepat sehingga diduga
telah terjadi perdarahan saluran cerna yang berat yang tidak terlihat. Dianjurkan darah segar,
fresh frozen plasma dan atau konsentrat Trombosit.
Manfaat hidrokortison pada DBD terutama pada renjatan masih kontroversi. Diduga
Hidrokortison akan memperbaiki curah jantung, stabilisasi membran terutama dari trombosit
dan endotel, berkurangnya tahanan perifer dan perbaikan mikrosirkulasi.

Kesimpulan
Patofisiologi gangguan hemostasis pada DBD belum diketahui secara pasti namun
diduga seperti diyakini sebagian sarjana yang menganut The Secondary Heterologous
Infection / Sequential Infection Hypothesis yang akan mengakibatkan keterlibatan pembuluh
darah, gangguan jumlah dan fungsi trombosit serta gangguan system pembekuan.
Penggantian plasma yang hilang dengan cepat akan menurunkan angka mortalitas dari
DBD.

Anda mungkin juga menyukai