Anda di halaman 1dari 28

Tugas Kelompok

Fakultas Farmasi Program Studi Apoteker


Universitas Mega Rezky Makassar

PENGOBATAN PADA PASIEN HIPERTENSI

OLEH: KELOMPOK 9

RIFKHA MAGHVIRA (D1A120015)

MOH. ANANG SANJAYA (D1A120034)

NELA ARJUNITA (D1A120063)

KELAS: A

DOSEN : Dr. apt. Rusli, Sp.FRS.

PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS MEGAREZKY

MAKASSAR

2020
BAB I

LATAR BELAKANG

WHO menyatakan bahwa di negara berkembang terutama yang memiliki


pendapatan dibawah rata-rata atau rendah lebih banyak yang menderita hipertensi
pada tahun 2011. Sekitar dua pertiga dari 1 milyar penduduk di dunia penderita
hipertensi banyak yang berasal dari negara berkembang. Kasus penderita
hipertensi akan meningkat di tahun 2025 dengan jumlah penderita wanita lebih
banyak 30% dari keseluruhan penduduk didunia daripada pria dengan
diperkirakan sejumlah 1,15 milyar kasus hipertensi (WHO, 2011). Hasil riset
Kemenkes RI (2013), menyebutkan persentase kasus hipertensi pada tahun 2013
mengalami kenaikan sebesar 1,90%. Kasus hipertensi terbanyak di Indonesia
terjadi pada kelompok umur 18 tahun keatas dengan jumlah persentase 25,80%.
Provinsi dengan prevalensi hipertensi tertinggi yaitu provinsi Sulawesi dengan
persentase 27%.

Penyakit tidak menular merupakan penyebab kematian utama dan


disfungsi fisik yang diderita masyarakat di seluruh dunia, khususnya pada
penyakit jantung dan pembuluh darah. Data Riskesdas pada tahun 2013, diagnosis
yang dilakukan untuk melihat adanya gejala hipertensi dan konsumsi obat
hipertensi hanya mencapai 9,50% (Kemenkes RI, 2013). Sebagian besar
hipertensi tidak menunjukkan adanya gejala awal. Hipertensi dapat memicu
kejadian stroke dan serangan jantung mendadak yang mengakibatkan kematian.
Hal ini yang menyebabkan hipertensi dianggap sebagai penyakit yang mematikan
(Kemenkes RI, 2013; Sihombing, 2017)

Hipertensi termasuk penyakit tidak menular yang ditandai dengan


terjadinya peningkatan tekanan darah sistolik dan distolik yang lebih dari 140
mmHg dan atau 90 mmHg. Gejala hipertensi yang tidak terdeteksi dini dan tidak
mendapatkan perawatan yang lebih baik dapat menimbulkan kerusakan organ
tubuh (NLHBI, 2003). Hipertensi perlu mendapatkan perhatian yang lebih,
kondisi tersebut karena hipertensi akan mengakibatkan komplikasi pada organ
target serta penyakit ini nampak tidak memperlihatkan gejala yang berarti pada
awal terjadinya penyakit oleh karena itu disebut “silent disease” (Feryadi, Sulastri,
& Kadri, 2014).

Penyebab hipertensi tidak diketahui, namun terdapat beberapa faktor yang


dapat memicu kejadian hipertensi. Salah satu faktor pemicu hipertensi adalah
obesitas. Lemak yang berlebihan didalam tubuh akan menganggu sirkulasi serta
tekanan di pembuluh darah (Ponto, Kandou, & Mayulu, 2016). Penelitian tentang
hubungan obesitas dengan hipertensi telah banyak dilakukan. Obesitas merupakan
faktor risiko utama pemicu hipertensi esensial, diabetes, dan morbiditas lainnya
(Jiang, Lu, Zong, Ruan, & Liu, 2016). Obesitas meningkatkan tekanan darah
dengan meningkatkan reabsorpsi natrium tubular ginjal, mengganggu tekanan
natriuresis, dan menyebabkan ekspansi volume melalui aktivasi sistem saraf
simpatetik dan renin-angiotensinaldosteron sistem dan dengan kompresi fisik
ginjal, terutama ketika ada peningkatan adipositas visceral (Hall et al., 2014).
Penimbunan lemak yang terjadi pada daerah intraabdomen yang disebut dengan
obesitas sentral. Tipe ini juga disebut dengan obesitas apel dimana risiko
mengalami gangguan kesehatan terutama yang berhubungan dengan penyakit
kardiovaskuler lebih tinggi. Lokasi perut yang lebih dekat dengan jantung
daripada pinggul menjadi menyebab kondisi demikian terjadi (Khairani, Effendi,
& Utamy, 2018).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan tekanan systole, yang tingginya tergantung


umu individu yang terkena. Tekanan darah berfluktuasi dalam batas-batas
tertentu, tergantung posisi tubuh, umur, dan tingkat stress yang dialami.

Hipertensi juga sering digolongkan sebagai ringan, sedang, atau berat


berdasarkan tekanan diastole. Hipertensi ringan apabila tekanan darah diastole 95
– 104, hipertensi sedang bila tekanan diastole-nya 105 – 114. Sedangkan
hipertensi berat tekanan diastole-nya > 115.

Seseorang dikatakan menderita hipertensi dan berisiko mengalami


masalah kesehatan apabila setelah dilakukan beberapa kali pengukuran, nilai
tekanan darah tetap tinggi – nilai tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau
diastolic ≥90 mmHg.

Hipertensi dengan peningkatan tekanan systole tanpa disertai


peningkatan tekanan diastole lebih sering pada lansia, sedangkan hipertensi
peningkatan diastole tanpa disertai peningkatan systole lebih sering terdapat
pada dewasa muda. Hipertensi dapat pla digolongkan sebagai esensial atau
idiopatik, tanpa etiologi spesifik, yang paling sering dijumpai. Bila ada
penyebabnya, disebut hipertensi sekunder.

Ada lagi istilah hipertensi benigna dan maligna, tergantung perjalanan


penyakitnya. Apabila timbulnya secara berangsur, disebut benigna; apabila
tekanannya naik secara progresif dan cepat disebut hipertensi maligna dengan
banyak komplikasi seperti gagal ginjal, CVA, hemoragi retina, dan ensefalopati.
2.2. Riwayat Alamiah Hipertensi

Secaraumum, hipertensi tidak menunjukkantanda-tanda yang khas.Perjalanan ini


berlangsung perlahan bahkan bisa bertahun-tahun tanpa disadari oleh penderita.
Seringkali kondisi tersebut baru diketahui secara tiba- tiba misalnya saat check up
kesehatan.

1. Tahap Pre-Patogenesa :

Pada keadaan ini penyakit belum ditemukan oleh karena pada


umumnya daya tahan tubuh pejamu masih kuat.Dengan perkataan lain
seseorang berada dalam keadaan sehat.

2. Tahap Inkubasi
Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan.Penderita hipertensi
mungkin tak menunjukkan gejala selama bertahun-tahun.Masalah ini
menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang
bermakna.

3. Tahap Penyakit Dini


Peningkatan tekanan darah merupakan satu-satunya tanda pada
hipertensi ringan. Bergantung pada tingginya tekanan darah gejala yang
timbul dapat berbeda-beda, hipertensi baru tampak bila telah terjadi
komplikasi pada organ target/vital seperti ginjal, jantung, otak, dan mata.
Gejala seperti sakit kepala, epistaksis, pusing, marah, telinga berdenging, kaku
kuduk, migren, insomnia, mata berkunang-kunang, muka merah, kelelahan,
dan gelisah dapat ditemukan sebagai gejala klinishipertensi.

4. Tahap Penyakit Lanjut


Gagal jantung, gangguan penglihatan, gangguan neurology, dan
gangguan fungsi ginjal paling banyak ditemukan pada hipertensi berat.

5. Tahap Akhir Penyakit:


Tahap Akhir Penyakit hipertensi : Komplikasi (infark miokardium,
stroke,gagal ginjal.) hingga mati.(Priyanto,2008).
2.3. Patogenesis Hipertensi

Patogenesis hipertensi essensial adalah multifaktorial. Faktor – faktor yang


terlibat dalam pathogenesis hipertensi essensial antara lain faktor genetik,
hiperaktivitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin, defek natriuresis,
natrium dan kalsium intraseluler, serta konsumsi alkohol secara berlebihan.
(Moerdowo, 1984)

Dalam patogenesis dari tekanan darah tinggi, ginjal dan pembuluh darah
arteri ke ginjal memegang peranan penting seperti telah dibuktikan dengan tes
Goldblatt yang menjepit arteri ginjal dengan klem dan dapat menimbulkan
tekanan darah tinggi pada binatang percobaan. Pada penderita dengan stenosis
arteria renalis, rangsangan dari kelainan aliran darah, dan partial ischemia ginjal
menimbulkan pengeluaran renin dan aldosterone yang sangat tinggi. Dan ini
menyebabkan timbulnya hiperaldosteronisme yang sekunder, rasa dahaga serta
polyuria yang berat, kehilangan banyak kalium, tan tekanan darah tinggi
(renovascular Hypertension). (Moerdowo, 1984)

Selain itu, faktor adrenal juga terlibat dalam sistem renin-angiotensin-


aldosterone dalam patogenesis hipertensi, glandula suprarenalis juga menjadi
faktor dalam patogenesis hipertensi sekunder. Ini disebabkan oleh karena adanya
kelainan hormon. Adrenal memegang peranan penting dalam patogenesis dari
hipertensi primer dan sekunder karena kelainan hormon. (Moerdowo, 1984)

2.4. Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah


terletak dipusat vasomotor medulla otak. Rangsangan pusat vasomotor yang
dihantarkan dalam bentuk impuls bergerak menuju ganglia simpatis melalui saraf
simpatis. Saraf simpatis bergerak melanjutkan ke neuron preganglion untuk
melepaskan asetilkolin sehingga merangsang saraf pascaganglion bergerak ke
pembuluh darah untuk melepaskan norepineprin yang mengakibatkan kontriksi
pembuluh darah. Mekanisme hormonal sama halnya dengan mekanisme saraf
yang juga ikut bekerja mengatur tekanan pembuluh darah (Smeltzer & Bare,
2008).Mekanisme ini antara lain :

a. Mekanisme vasokonstriktor norepineprin-epineprin


Perangsangan susunan saraf simpatis selain menyebabkan eksitasi
pembuluh darah juga menyebabkan pelepasan norepineprin dan epineprin
oleh medulla adrenal ke dalam darah. Hormon norepineprin dan epineprin
yang berada di dalam sirkulasi darah akan merangsang pembuluh darah
untuk vasokonstriksi. Faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriktor
(Saferi & Mariza, 2013).

b. Mekanisme vasokonstriktor renin-angiotensin


Renin yang dilepaskan oleh ginjal akan memecah plasma menjadi
substrat renin untuk melepaskan angiotensin I, kemudian dirubah menjadi
angiotensin II yang merupakan vasokonstriktor kuat. Peningkatan tekanan
darah dapat terjadi selama hormon ini masih menetap didalam darah
(Guyton, 2012).

Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer


memiliki pengaruh pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia
(Smeltzer & Bare, 2008). Perubahan struktural dan fungsional meliputi
aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan kemampuan
relaksasi otot polos pembuluh darah akan menurunkan kemampuan distensi dan
daya regang pembuluh darah, sehingga menurunkan kemampuan aorta dan arteri
besar dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume
sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan
perifer(Saferi & Mariza, 2013).

2.5. Etiologi Hipertensi

1) Hipertensi esensial atau primer


Penyebab pasti dari hipertensi esensial belum dapat diketahui,
sementara penyebab sekunder dari hipertensi esensial juga tidak
ditemukan. Pada hipertensi esensial tidak ditemukan penyakit
renivaskuler, gagal ginjal maupun penyakit lainnya, genetik serta
ras menjadi bagian dari penyebab timbulnya hipertensi esensial
termasuk stress, intake alkohol moderat, merokok, lingkungan dan
gaya hidup (Triyanto, 2014)

2) Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder penyebabnya dapat diketahui seperti kelainan


pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid),
hiperaldosteronisme, penyakit parenkimal (Buss & Labus, 2013).

2.6. Manifestasi klinik

Manisfestasi klinik menurut Ardiansyah (2012) muncul setelah penderita


mengalami hipertensi selama bertahun-tahun, gejalanya antara lain :

a) Terjadi kerusakan susunan saraf pusat yang menyebabkan ayunan langkah


tidak mantap.
b) Nyeri kepala oksipital yang terjadi saat bangun dipagi hari karena
peningkatan tekanan intrakranial yang disertai mual dan muntah.
c) Epistaksis karena kelainan vaskulerakibat hipertensi yang diderita.
d) Sakit kepala, pusing dan keletihan disebabkan oleh penurunan perfusi
darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah.
e) Penglihatan kabur akibat kerusakan pada retina sebagai dampak hipertensi.
f) Nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) akibat dari peningkatan
aliran darah ke ginjal dan peningkatan filtrasi oleh glomerulus.
Hipertensi sering ditemukan tanpa gejala (asimptomatik), namun tanda-
tanda klinis seperti tekanan darah yang menunjukkan kenaikan pada dua kali
pengukuran tekanan darah secara berturutan dan bruits (bising pembuluh darah
yang terdengar di daerah aorta abdominalis atau arteri karotis, arteri renalis dan
femoralis disebabkan oleh stenosis atau aneurisma) dapat terjadi. Jika terjadi
hipertensi sekunder, tanda maupun gejalanya dapat berhubungan dengan keadaan
yang menyebabkannya. Salah satu contoh penyebab adalah sindrom cushing yang
menyebabkan obesitas batang tubuh dan striae berwarna kebiruan, sedangkan
pasien feokromositoma mengalami sakit kepala, mual, muntah, palpitasi, pucat
dan perspirasi yang sangat banyak(Kowalak, Weish, & Mayer, 2011).

2.7. Dampak Hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif dan kronik yang


dapat memberikan dampak secara holistik baik fisik, psikologis, sosial, ekonomi
dan spiritual sehingga akan menyebabkan dalam memenuhi kebutuhan hidup
dasarnya mengalami gangguan. Penderita hipertensi umumnya memiliki keluhan
pusing, mudah marah, sukar tidur, sesak nafas, dan keluham lainnya adanya
kelemahaan atau keterbatasan kemampuan dan keluhan lain akibat hipertensi
tersebut, sehingga penderita akan mengalami kesulitan dalam menjalankan
rutinitas pekerjaan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara
optimal. Adanya efek samping obat dan aturan program pengobatan juga
menyebabkan penderita hipertensi mengalami kecemasan,rasa takut,tidak nyaman
dan stres.

Hipertensi pada saat hamil akan berdampak pada ibu dan janin.dengan
tingginya tekanan darah maka arus darah akan mengalami gangguan begitu pula
pada organ ginjal,hati,otak,rahim dan plasenta,ibu hamil yang menderita
preeklampsia akan berdampak pada janin dimana nutrisi dan oksigen akan
mengalami kondisi abnormal.hal ini disebabkan karena pembuluh darah akan
mengalami penyempitan.

Pada kondisi ibu hamil yang mengalami preeklamsia maka tumbuh


kembang janin akan terhambat sehingga menyebabkan bayi lahir dengan berat
badan yang rendah.bahkan dapat meningkatkan risiko terjadinya kelahiran
prematur.sedangkan pada kasus preeklamsia yang berat maka bayi harus segera di
lahirkan,kondisi ini disesuaikan dengan janin yang sudah dapat hidup diluar rahim
atau tidak. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter kandungan untuk
menyelamatkan ibu dan janin.

2.8. Kebijakan Pengendalian dan Penanggulangan Hipertensi

Seperti yang kita ketahui hipertensi adalah peningkatan sistole, yang


tingginya tergantung pada individu yang terkena. Tekanan darah berfluktuasi
dalam batas-batas tertentu tergantung pada posisi tubuh, umur, dan tingkat stres
yang dialami. Saat ini hipertensi sangat banyak dijumpai di Indonesia terutama
dikota-kota besar, ini merupakan faktro resiko langsung terhadap timbulnya infark
miokard dan CVA (Tambayong, 2000). Prevalensi hipertensi atau tekanan darah
di Indonesia cukup tinggi, selain itu akibat yang ditimbulkannya menjadi masalah
kesehatan masyarakat. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko yang paling
berpengaruh terhadap kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah. Hipertensi
sering tidak menunjukkan gejalah, sehingga baru disadari bila telah menyebabkan
gangguan organ seperti gangguan fungsi jantung atau stroke. Tidak jarang
hipertensi ditemukan secara tidak sengaja waktu pemeriksaan kesehatan rutin atau
datang dengan keluhan lain (Kemenkes RI, 2012).

Menurut prof. Tjandra upaya pencegahan dan penanggulangan hipertensi


dimulai dengan peningkatan kesadaran masyarakat dan perubahan pola hidup
kearah yang lebih sehat. Untuk itu puskesmas sebagai pelayanan fasilitas
kesehatan dasar perlu melakukan pencegahan primer yaitu kegiatan untuk
menghentikan atau mengurangi faktor resiko hipertensi sebelum penyakit
hipertensi terjadi, melalui promosi kesehatan seperti diet yang sehat dengan cara
makan cukup sayur-buah, rendah garam dan lemak, rajin melakukan aktifitas dan
tidak merokok.
2.9. Alogaritma Hipertensi

Gambar 1. Alogaritma Hipertensi JNC8s

1. Pada populasi umum berusia >60 tahun, terapi farmakologis untuk


menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik
>150 mmHg atau tekanan darah diastolik >90 mmHg dengan target
sistolik <150 mmH dan target diastolik <90 mmHg. (Strong
Recommendation Grade A). Pada populasi umum berusia >60
tahun, jika terapi farmakologis hipertensi menghasilkan tekanan
darah sistolik lebih rendah (misalnya <140 mmHg) dan ditoleransi
baik tanpa efek samping kesehatan dan kualitas hidup, dosis tidak
perlu disesuaikan. (Expert Opinion - Grade E).
2. Pada populasi umum <60 tahun, terapi farmakologis untuk
menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah diastolik
>90 mmH dengan target tekanan darah diastolik <90 mmHg (untuk
usia 30-59 tahun Strong Recommendation - Grade A; untuk usia
18-29 tahun Expert Opinion Grade E).
3. Pada populasi umum <60 tahun, terapi farmakologis untuk
menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik
>140 mmHg dengan target tekanan darah sistolik <140 mmHg
(Expert Opinion Grade E).
4. Pada populasi berusia >18 tahun dengan penyakit injal kronik,
terapi farmakologis untuk menurunkan tekanan darah dimulai jika
tekanan darah sistolik >140 mmHg atau tekanan darah diastolik
>90 mmHg dengan target tekanan darah sistolik <140 mmHg dan
target tekanan darah diastolik <90 mmHg (Expert Opinion - Grade
E).
5. Pada populasi berusia >18 tahun dengan diabetes, terapi
farmakologis untuk menurunkan tekanan darah dimulai jika
tekanan darah sistolik >140 mmHg atau tekanan darah diastolik
>90 mmHg dengan target tekanan darah sistolik <140 mmHg dan
target tekanan darah diastolik <90 mmHg (Expert Opinion- Grade
E).
6. Pada populasi non-kulit hitam umum, termasuk mereka dengan
diabetes, terapi antihipertensi awal sebaiknya mencakup diuretik
tipe thiazide, calcium channel bocker (CCB), angiotensin-
converting enzyme inhibitor (ACEI), atau angiotensin receptor
blocker (ARB). (Moderate Recommendation -Grade B).
7. Pada populasi kulit hitam umum, termasuk mereka dengan
diabetes, terapi antihipertensi awal sebaiknya mencakup diuretik
tipe thiazide atau CCB. (Untuk populasi kulit hitam: Moderate
Recommendation Grade B; untuk kulit hitam dengan diabetes:
Weak Recommendation Grade C).
8. Pada populasi berusia >18 tahun dengan penyakit ginjal kronik,
terapi antihipertensi awal (atau tambahan) sebaiknya mencakup
ACEI atau ARB untuk meningkatkan outcome ginjal. Hal ini
berlaku untuk semua pasien penyakit ginjal kronik dengan
hipertensi terlepas dari ras atau status diabetes. (Moderate
Recommendation Grade B).
9. Tujuan utama terapi hipertensi adalah mencapai dan
mempertahankan target tekanan darah. Jika target tekanan darah
tidak tercapai dalam 1 bulan perawatan, tingkatkan dosis obat awal
atau tambahkan obat kedua dari salah satu kelas yang
direkomendasikan dalam rekomendasi 6 (thiazide-type diuretic,
CCB, ACE, atau ARB). Dokter harus terus menilai tekanan darah
dan menyesuaikan regimen perawatan sampai target tekanan darah
dicapai. Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai dengan 2
obat, tambahkan dan titrasi obat ketiga dari daftar yang tersedia.
Jangan gunakan ACEI dan ARB bersama-sama pada satu pasien.
Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai menggunakan obat di
dalam rekomendasi 6 karena kontraindikasi atau perlu
menggunakan lebih dari 3 obat, obat antihipertensi kelas lain dapat
digunakan. Rujukan ke spesialis hipertensi mungkin diindikasikan
jika target tekanan darah tidak dapat tercapai dengan strategi di
atas atau untuk penanganan pasien komplikasi yang membutuhkan
konsultasi klinis tambahan. (Expert Opinion Grade E).

2.10. Penatalaksanaan Non Farmakologis

Penatalaksanaan non farmakologis yang berperan dalam keberhasilan


penanganan hipertensi adalah dengan memodifikasi gaya hidup. Pada hipertensi
derajat I, pengobatan secara non farmakologis dapat mengendalikan tekanan darah
sehingga pengobatan farmakologis tidak diperlukan atau pemberiannya dapat
ditunda. Jika obat antihipertensi diperlukan, pengobatan non farmakologis dapat
dipakai sebagai pelengkap untuk mendapatkan hasil pengobatan yang lebih
baik.17 Modifikasi gaya hidup yang dianjurkan dalam penanganan hipertensi
antara lain :

1). Mengurangi berat badan bila terdapat kelebihan (BMI ≥ 27)


Mengurangi berat badan dapat menurunkan risiko hipertensi, diabetes, dan
penyakit kardiovaskular. Penerapan pola makan seimbang dapat mengurangi berat
badan dan menurunkan tekanan darah. Berdasarkan hasil penelitian
eksperimental, pengurangan sekitar 10 kg berat badan menurunkan tekanan darah
rata-rata 2-3 mmHg per kg berat badan.
Diet rendah kalori dianjurkan bagi orang dengan kelebihan berat badan atau
obesitas yang berisiko menderita hipertensi, terutama pada orang berusia sekitar
40 tahun yang mudah terkena hipertensi. Dalam perencanaan diet, perlu
diperhatikan asupan kalori agar dikurangi sekitar 25% dari kebutuhan energi atau
500 kalori untuk penurunan 0,5 kg berat badan per minggu.

2). Olahraga dan aktifitas fisik


Olahraga isotonik seperti berjalan kaki, jogging, berenang dan bersepeda
berperan dalam penurunan tekanan darah. Aktivitas fisik yang cukup dan teratur
membuat jantung lebih kuat. Jantung yang kuat dapat memompa darah lebih
banyak dengan usaha minimal, sehingga gaya yang bekerja pada dinding arteri
akan berkurang. Hal tersebut berperan pada penurunan Total Peripher Resistance
yang bermanfaat dalam menurunkan tekanan darah. Namun olahraga isometrik
seperti angkat beban perlu dihindari, karena justru dapat menaikkan tekanan
darah.
Melakukan aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah sistolik sekitar 5-
10 mmHg. Olahraga secara teratur juga berperan dalam menurunkan jumlah dan
dosis obat anti hipertensi. Apabila tekanan darah berada pada batas normal
yaitu120/80 mmHg, maka olahraga dapat menjaga kenaikan tekanan darah seiring
pertambahan usia. Olahraga teratur juga membantu Anda mempertahankan berat
badan ideal, yang merupakan salah satu cara penting untuk mengontrol tekanan
darah.
3). Mengurangi asupan garam
Pengurangan asupan garam dan upaya penurunan berat badan dapat digunakan
sebagai langkah awal pengobatan hipertensi. Jumlah garam dibatasi sesuai dengan
kesehatan penderita dan jenis makanan dalam daftar diet. Pembatasan asupan
garam sampai 60 mmol per hari atau dengan kata lain konsumsi garam dapur
tidak lebih dari seperempat sampai setengah sendok teh garam per hari. Penderita
hipertensi dianjurkan menggunakan mentega bebas garam dan menghindari
makanan yang sudah diasinkan. Adapun yang disebut diet rendah garam, bukan
hanya membatasi konsumsi garam dapur tetapi mengkonsumsi makanan rendah
sodium atau natrium. Pedoman diet merekomendasikan orang dengan hipertensi
harus membatasi asupan garam kurang dari 1.500 miligram sodium sehari.

4). Diet rendah lemak jenuh


Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis yang
berkaitan dengan kenaikan tekanan darah, sehingga diet rendah lemak jenuh atau
kolesterol dianjurkan dalam penanganan hipertensi. Tubuh memperoleh kolestrol
dari makanan sehari-hari dan dari hasil sintesis dalam hati. Kolestrol dapat
berbahaya apabila dikonsumsi lebih banyak dari yang dibutuhkan oleh tubuh.

5). Diet tinggi serat


Diet tinggi serat sangat penting pada penderita hipertensi. Serat banyak
terdapat pada makanan karbohidrat seperti kentang, beras, singkong dan kacang
hijau, serta pada sayur-sayuran dan buah-buahan. Serat dapat berfungsi mencegah
penyakit tekanan darah tinggi karena serat kasar mampu mengikat kolestrol
maupun asam empedu dan selanjutnya membuang bersama kotoran. Keadaan
tersebut dapat dicapai apabila makanan yang dikonsumsi mengandung serat kasar
yang cukup tinggi.

6). Tidak merokok


Merokok sangat besar perananya dalam meningkatkan tekanan darah, hal
tersebut disebabkan oleh nikotin yang terdapat didalam rokok yang memicu
hormon adrenalin yang menyebabkan tekanan darah meningkat. Tekanan darah
akan turun secara perlahan dengan berhenti merokok. Selain itu merokok dapat
menyebabkan obat yang dikonsumsi tidak bekerja secara optimal

2.11. Penatalaksanaan Farmakologis

Penatalaksanaan dengan obat antihipertensi bagi sebagian besar pasien


dimulai dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan secara titrasi sesuai dengan
umur, kebutuhan, dan usia. Dosis tunggal lebih diprioritaskan karena kepatuhan
lebih baik dan lebih murah. Sekarang terdapat obat yang berisi kombinasi dosis
rendah dua obat dari golongan berbeda. Kombinasi ini terbukti memberikan
efektivitas tambahan dan mengurangi efek samping. Jenis-jenis obat antihipertensi
untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII yaitu diuretika
(terutama jenis Thiazide atau Aldosteron Antagonist), beta blocker, calsium
channel blocker, angiotensin converting enzyme inhibitor, dan angiotensin II
receptor blocker. Diuretika biasanya menjadi tambahan karena meningkatkan efek
obat yang lain. Jika tambahan obat kedua dapat mengontrol tekanan darah dengan
baik minimal setelah satu tahun, maka dicoba untuk menghentikan obat pertama
melalui penurunan dosis.

a. Angiotensine-Converting Enzyme Inhibitors


Penghambat ACE adalah pilihan lini pertama, dan jika bukan agen
pertama yang digunakan, mereka harus menjadi agen kedua yang dicoba
pada kebanyakan pasien. Inhibitor ACE memblokir konversi angiotensin I
menjadi angiotensin II, vasokonstriktor kuat dan stimulator sekresi
aldosteron. Inhibitor ACE juga memblokir degradasi bradikinin dan
merangsang sintesis zat vasodilatasi lainnya, termasuk prostaglandin E dan
prostasiklin.
Dosis awal harus rendah dengan titrasi dosis lambat. Hipotensi
akut dapat terjadi pada permulaan terapi, terutama pada pasien yang
kekurangan natrium atau volume HF eksaserbasi, dosis yang sangat tinggi
pada pasien tersebut, menggunakan setengah dosis normal diikuti dengan
titrasi dosis lambat. erly, atau vasodilator atau diuretik bersamaan.
Penghambat kalium serum ACE menurunkan aldosteron dan dapat
meningkatkan konsentrasi. Hiperkalemia terjadi terutama pada pasien
dengan CKD atau mereka yang juga mengonsumsi suplemen kalium,
diuretik hemat kalium, ARB, atau penghambat renin langsung.
Gagal ginjal akut merupakan efek samping yang jarang tetapi
serius; penyakit ginjal yang sudah ada sebelumnya meningkatkan risiko.
Stenosis arteri ginjal bilateral atau stenosis unilateral dari ginjal yang
berfungsi soliter membuat pasien bergantung pada efek vasokonstriksi
angiotensin II pada arteriol eferen, membuat pasien ini sangat rentan
terhadap gagal ginjal akut.
Penurunan GFR pada pasien yang mendapat penghambat ACE
karena penghambatan vasokonstriksi angiotensin II pada arteriol eferen.
Konsentrasi kreatinin serum sering meningkat, tetapi peningkatan yang
sederhana (misalnya, peningkatan absolut <1 mg / dL [88 umol / L]) tidak
menjamin perubahan pengobatan. Hentikan terapi atau kurangi dosis jika
terjadi peningkatan yang lebih besar.
Angioedema terjadi pada kurang dari 1% pasien. Penghentian obat
diperlukan, dan beberapa pasien mungkin memerlukan perawatan obat dan
/ atau intubasi darurat. ARB umumnya dapat digunakan pada pasien
dengan riwayat angioedema yang diinduksi oleh inhibitor ACE, dengan
pemantauan yang cermat. Batuk kering yang terus-menerus terjadi pada
20% pasien dan diperkirakan disebabkan oleh penghambatan pemecahan
bradikinin. Penghambat ACE (serta ARB dan penghambat renin langsung)
merupakan kontraindikasi pada kehamilan.

b. Angiotensin II Receptor Blockers


ARB merupakan pilihan terapi lini pertama pada kebanyakan
pasien hipertensi dan menurunkannya. Kejadian CV mirip dengan
penghambat ACE. Kombinasi inhibitor ACE dan ARB tidak memiliki
kejadian CV tambahan tetapi dikaitkan dengan risiko efek samping yang
lebih tinggi (disfungsi ginjal, hipotensi).
Angiotensin II dihasilkan oleh jalur renin-angiotensin (yang
melibatkan ACE) dan jalur alternatif yang menggunakan enzim lain
seperti chymases. Penghambat ACE hanya memblokir jalur renin-
angiotensin, sedangkan ARB antagonis angiotensin II yang dihasilkan oleh
kedua jalur tersebut. ARB secara langsung memblokir angiotensin.
Reseptor tipe I II yang memediasi efek angio,tidak seperti inhibitor ACE,
ARB tidak menghalangi kerusakan bradikinin. Meskipun ini menjelaskan
kurangnya batuk sebagai efek samping, mungkin ada konsekuensi negatif
karena beberapa efek antihipertensi dari ACE inhibitor mungkin
disebabkan oleh peningkatan kadar bradikinin.
Semua ARB memiliki kemanjuran antihipertensi yang serupa dan
kurva respons dosis yang cukup datar. Penambahan CCB atau diuretik
tiazid secara signifikan meningkatkan kemanjuran antihipertensi. ARB
memiliki insiden efek samping yang rendah. Seperti inhibitor ACE, obat
ini dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemia, dan
kontraindikasi pada kehamilan.

c. Calcium Channel Blockers


Calcium channel blockers (CCBs) termasuk tipe_dihydropyridine
dan channel nondihydropyridine, adalah pilihan terapi lini pertama.
Mereka juga digunakan sebagai tambahan atau sebagai pengganti
antihipertensi lini pertama lainnya untuk indikasi kuat penyakit arteri
koroner dan diabetes.
CCB menyebabkan relaksasi otot jantung dan polos dengan
memblokir saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan, sehingga
mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Hal ini
menyebabkan vasodilatasi dan penurunan TD yang sesuai. Antagonis
saluran kalsium dihidropiridin dapat menyebabkan aktivasi refleks
simpatis, dan semua agen (kecuali amlodipin dan felodipin) mungkin
memiliki efek inotropik negatif. .Verapamil menurunkan denyut jantung,
memperlambat konduksi nodus atrioventrikular (AV), dan menghasilkan
efek inotropik negatif yang dapat memicu gagal jantung pada pasien
dengan batas cadangan jantung. Diltiazem menurunkan konduksi AV dan
detak jantung lebih rendah daripada verapamil.
Diltiazem dan verapamil dapat menyebabkan kelainan konduksi
jantung seperti bradikardia, blok AV, dan gagal jantung. Keduanya dapat
menyebabkan anoreksia, mual, edema perifer, dan hipotensi. Verapamil
menyebabkan sembelit pada sekitar 8% pasien.
Dihydropyridines menyebabkan peningkatan refleks yang
dimediasi baroreseptor pada denyut jantung karena efek vasodilatasi
perifer yang kuat. Dihidropiridin tidak menurunkan konduksi nodus AV
dan tidak efektif untuk mengobati takiaritmia supraventrikular.
Nifedipin kerja pendek jarang dapat meningkatkan frekuensi,
intensitas, dan durasi angina dalam hubungannya dengan hipotensi akut.
Efek ini dapat dihilangkan dengan menggunakan formulasi lepas-lambat
nifedipine atau dihidropiridin lainnya. Efek samping lain dari
dihidropiridin adalah pusing, kemerahan, sakit kepala, hiperplasia gingiva,
dan edema perifer.
d. Diuretik
 Tiazid adalah jenis diuretik yang disukai dan dianggap sebagai
pilihan lini pertama untuk kebanyakan pasien hipertensi.
 Loop diuretik lebih manjur untuk menginduksi diuresis tetapi
bukan antihipertensi yang ideal kecuali jika edema juga diperlukan.
Loop terkadang lebih disukai daripada tiazid pada pasien dengan
PGK ketika GFR diperkirakan kurang dari 30 mL / menit / 1,73
mil, terutama bila ada edema.
 Diuretik hemat kalium adalah antihipertensi lemah bila digunakan
sendiri dan memberikan efek aditif minimal bila dikombinasikan
dengan tiazid atau diuretik loop. Penggunaan utamanya adalah
dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk melawan sifat
pemborosan kalium.
 Antagonis aldosteron (spironolakton dan eplerenon) juga
merupakan diuretik hemat kalium tetapi merupakan antihipertensi
yang lebih manjur dengan onset kerja yang lambat (hingga 6
minggu dengan spironolakton).
Secara akut, diuretik menurunkan TD dengan menyebabkan diuresis.
Penurunan volume plasma dan stroke volume yang terkait dengan diuresis
menurunkan curah jantung dan tekanan darah. Penurunan awal curah
jantung menyebabkan peningkatan kompensasi resistensi vaskular perifer.
Dengan terapi kronis, volume cairan ekstraseluler dan volume plasma
kembali mendekati level sebelum perawatan, dan resistensi vaskular
perifer turun di bawah nilai dasar. Resistensi pembuluh darah perifer yang
berkurang bertanggung jawab atas efek hipotensi jangka panjang. Tiazid
juga memobilisasi natrium dan air dari dinding arteriol, yang dapat
menyebabkan penurunan resistensi vaskular perifer dan menurunkan
tekanan darah. Ketika diuretik dikombinasikan dengan agen antihipertensi
lain, efek hipotensi aditif biasanya diamati karena mekanisme aksi
independen. Selain itu, banyak agen antihipertensi nondiuretik yang
menyebabkan retensi natrium dan air, yang diatasi dengan penggunaan
diuretik secara bersamaan. Efek samping tiazid meliputi hipokalemia,
hipomagnesemia, hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglikemia,
dislipidemia, dan gangguan seksual. Loop diuretik memiliki efek yang
lebih kecil pada lipid serum dan glukosa, tetapi hipokalemia lebih parah,
dan hipokalsemia dapat terjadi. Hipokalemia dan hipomagnesemia dapat
menyebabkan aritmia jantung, terutama pada pasien yang menerima
digoksin, pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri, dan pasien dengan
penyakit jantung iskemik. Terapi dosis rendah (mis. Hidroklorotiazid 25
mg atau klorthalidone 12,5 mg setiap hari) menyebabkan gangguan
elektrolit kecil.
 Diuretik hemat potasium dapat menyebabkan hiperkalemia,
terutama pada pasien dengan CKD atau diabetes dan pada pasien
yang menerima pengobatan bersamaan dengan penghambat ACE,
ARB, penghambat renin langsung, atau suplemen kalium.
Eplerenone memiliki peningkatan risiko hiperkalemia dan
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
atau diabetes tipe 2 dengan proteinuria. Spironolakton dapat
menyebabkan ginekomastia hingga 10 % pasien, efek ini jarang
terjadi dengan epleneron.

e. β – Blockers
B-Blocker hanya dianggap sebagai agen lini pertama yang tepat
untuk mengobati indikasi memaksa tertentu (misalnya, pasca MI dan
penyakit arteri koroner). Mekanisme hipotensi mereka mungkin
melibatkan penurunan curah jantung melalui efek kronotropik dan
inotropik negatif pada jantung dan penghambatan pelepasan renin dari
ginjal.
Atenolol, betaxolol, bisoprolol, metoprolol, dan nebivolol bersifat
kardioselektif pada dosis rendah dan mengikat lebih kuat ke reseptor-Bi
daripada reseptor B2. Akibatnya, obat ini cenderung tidak menimbulkan
bronkospasme dan vasokonstriksi dan mungkin lebih aman daripada
penyekat B non selektif pada pasien dengan asma, penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK), diabetes, dan penyakit arteri perifer (PAD).
Kardioselektivitas adalah fenomena yang bergantung pada dosis, dan
efeknya hilang pada dosis yang lebih tinggi.
Acebutolol, carteolol, dan pindolol memiliki aktivitas
simpatomimetik intrinsik (ISA) atau aktivitas agonis reseptor B parsial.
Ketika nada simpatis rendah, seperti dalam keadaan istirahat, reseptor-B
dirangsang sebagian, sehingga denyut jantung istirahat, curah jantung, dan
aliran darah perifer tidak berkurang ketika reseptor diblokir.
Secara teoritis, obat ini mungkin memiliki keuntungan pada pasien
gagal jantung atau sinus bradikardia. Sayangnya, obat ini tidak
mengurangi kejadian KV serta penyekat B lainnya dan dapat
meningkatkan risiko setelah MI atau pada mereka dengan risiko penyakit
koroner tinggi. Karenanya, agen dengan ISA jarang dibutuhkan.
Atenolol dan nadolol memiliki waktu paruh yang relatif lama dan
diekskresikan melalui ginjal; dosis mungkin perlu diturunkan pada pasien
dengan insufisiensi ginjal. Meskipun waktu paruh dari B-blocker lain lebih
pendek, pemberian sekali sehari masih mungkin efektif.
Efek samping miokard meliputi bradikardia, kelainan konduksi AV, dan
akut HF. Memblokir reseptor B pada otot polos arteriol dapat
menyebabkan ekstremitas dingin dan memperburuk fenomena PAD atau
Raynaud karena penurunan aliran darah perifer. Peningkatan lipid serum
dan glukosa tampaknya bersifat sementara dan tidak terlalu penting secara
klinis.
Penghentian terapi B-blocker secara tiba-tiba dapat menyebabkan
angina tidak stabil, MI, atau bahkan kematian pada pasien dengan penyakit
koroner. Pada pasien tanpa penyakit jantung, penghentian penggunaan B-
blocker secara tiba-tiba dapat dikaitkan dengan takikardia, berkeringat,
dan rasa tidak enak badan selain peningkatan tekanan darah. Untuk alasan
ini, dosis harus selalu diturunkan secara bertahap selama 1 hingga 2
minggu sebelum penghentian.

f. α - Receptor Blockers
Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah penghambat reseptor aj
selektif yang menghambat penyerapan katekolamin dalam sel otot polos
pembuluh darah perifer, mengakibatkan vasodilatasi dan penurunan
tekanan darah.
Dosis pertama yang ditandai dengan hipotensi ortostatik disertai
dengan pusing atau pingsan sementara, palpitasi, dan bahkan sinkop dapat
terjadi dalam 1 hingga 3 jam setelah dosis pertama atau setelah dosis
meningkat. Pasien harus mengambil dosis pertama (dan peningkatan dosis
pertama berikutnya) pada waktu tidur. Kadang-kadang, ortostatik
hipotensi dan pusing menetap dengan pemberian kronis.
Retensi natrium dan air dapat terjadi; agen ini paling efektif bila
diberikan bersama tiazid untuk mempertahankan kemanjuran
antihipertensi dan meminimalkan edema.
Karena doxazosin (dan mungkin penghambat reseptor aj lainnya)
mungkin tidak protektif terhadap kejadian KV seperti terapi lain, terapi ini
harus disediakan sebagai agen alternatif untuk situasi unik, seperti pria
dengan hiperplasia prostat jinak. Jika digunakan untuk menurunkan
tekanan darah dalam situasi ini, obat ini hanya boleh digunakan dalam
kombinasi dengan antihipertensi lini pertama.

g. Renin Inhibitors
Aliskiren memblokir RAAS pada titik aktivasi, mengakibatkan
penurunan aktivitas renin plasma dan BP. Penurunan BP sebanding
dengan ACE inhibitor, ARB, atau CCB. Aliskiren disetujui untuk
monoterapi atau dalam kombinasi dengan agen lain. Ini tidak boleh
digunakan dalam kombinasi dengan ACE inhibitor atau ARB karena risiko
efek samping yang lebih tinggi tanpa tambahan penurunan kejadian CV.
Aliskiren adalah terapi alternatif karena kurangnya studi jangka panjang
yang mengevaluasi pengurangan kejadian CV dan biayanya yang
signifikan dibandingkan dengan agen generik yang memiliki data hasil.
Banyak peringatan dan efek samping yang terlihat pada penghambat ACE
dan ARB berlaku untuk aliskiren. Ini dikontraindikasikan pada kehamilan
karena efek teratogenik yang diketahui.
h. Resepine
Reserpin menghabiskan norepinefrin dari ujung saraf simpatis dan
menghalangi transportasi norepinefrin ke dalam butiran penyimpanan.
Ketika saraf dirangsang, jumlah norepinefrin yang dilepaskan ke sinapsis
lebih sedikit dari biasanya. Ini mengurangi tonus simpatis, menurunkan
resistensi vaskular perifer dan tekanan darah.
Reserpin memiliki waktu paruh yang panjang yang memungkinkan
pemberian dosis sekali sehari, tetapi mungkin diperlukan waktu 2 hingga 6
minggu sebelum efek antihipertensi maksimal terlihat. Reserpin dapat
menyebabkan retensi natrium dan cairan yang signifikan dan oleh karena
itu harus diberikan dengan tiazid.
Penghambatan kuat reserpin pada aktivitas simpatis menyebabkan
aktivitas parasimpatis, yang bertanggung jawab atas efek samping hidung
tersumbat, peningkatan sekresi asam lambung, diare, dan bradikardia.
Depresi terkait dosis dapat diminimalkan dengan tidak melebihi 0,25 mg
setiap hari.

i. Vasodilator
Hydralazine dan minoxidil menyebabkan relaksasi otot polos
arteriol secara langsung. Aktivasi kompensasi refleks baroreseptor
menghasilkan peningkatan aliran simpatis dari pusat vasomotor,
peningkatan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan renin.
Akibatnya, efektivitas hipotensi dari vasodilator langsung berkurang dari
waktu ke waktu kecuali pasien juga menggunakan inhibitor simpatis dan
diuretik.
Pasien yang memakai obat ini untuk terapi hipertensi jangka
panjang harus terlebih dahulu menerima thiazide dan B-blocker. Diuretik
meminimalkan efek samping natrium dan retensi air. Vasodilator langsung
dapat memicu angina pada pasien dengan penyakit arteri koroner kecuali
mekanisme refleks baroreseptor dihalangi dengan B-blocker. CCB
Nondihydropyridine dapat digunakan sebagai alternatif untuk B-blocker
pada pasien dengan kontraindikasi terhadap B-blocker.
Hydralazine dapat menyebabkan sindrom mirip lupus reversibel
terkait dosis, yang lebih sering terjadi pada asetilator lambat. Reaksi
seperti lupus biasanya dapat dihindari dengan menggunakan dosis harian
total kurang dari 200 mg. Karena efek sampingnya, hydralazine memiliki
kegunaan yang terbatas untuk manajemen hipertensi kronis.
Minoksidil adalah vasodilator yang lebih kuat daripada hidralazin,
dan peningkatan kompensasi detak jantung, curah jantung, pelepasan
renin, dan retensi natrium lebih dramatis. Karena retensi air yang
signifikan, loop diuretik seringkali lebih efektif daripada tiazid pada pasien
yang diobati dengan minoksidil. Hipertrikosis reversibel pada wajah,
lengan, punggung, dan dada mungkin merepotkan. Cadangan minoksidil
untuk hipertensi yang sangat sulit dikendalikan dan untuk pasien yang
membutuhkan hidralazin yang mengalami lupus akibat obat.

DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah, M. (2012). Medikal bedah untuk mahasiswa. Yogyakarta: Diva Press.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.2007.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
Bell, K, Twiggs, J., & Ollin, R. B. (2015). Hypertension : The Silent Killer :
Update JNC 8 Guidline Recommendations. Alabama Pharmacy
Associating, 2.

Buss, J. S., &Labus, D. (2013). Buku saku patofisiologi menjadi sangat mudah
edisi 2. Diterjemahkan oleh Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC.
Bustan, M.N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Rineka
Cipta.
Feryadi, R., Sulastri, D., & Kadri, H. (2014). Hubungan kadar profil lipid dengan
kejadian hipertensi pada masyarakat etnik minangkabau di Kota Padang
tahun 2012. Jurnal Kesehatan Andalas, 3(2), 206–211.

Hall, J., Juncos, L., Wang, Z., Hall, M., do Carmo, J., & da Silva, A. (2014).
Obesity, hypertension, and chronic kidney disease. International Journal of
Nephrology and Renovascular Disease, 7, 75.
https://doi.org/10.2147/IJNRD.S39739

Jiang, S., Lu, W., Zong, X., Ruan, H., & Liu, Y. (2016). Obesity and hypertension
(review). Experimental and Therapeutic Medicine, 2395–2399.
https://doi.org/10.3892/etm.2016.3667

Kemenkes RI. (2013). Laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013.
Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.

Khairani, N., Effendi, S. U., & Utamy, L. W. (2018). Aktivitas fisik dan kejadian
obesitas sentral pada wanita di Kelurahan Tanah Patah Kota Bengkulu.
CHMK Nursing Scientific Journal, 2(1), 11–17.
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-375073- 0.50041-5.

Kowalak, J. P., Weish, W., & Mayer, B. (2011). Buku ajar patofisiologi.
Diterjemahkan oleh Andry Hartono. Jakarta: EGC.
Moerdowo. 1984. Masalah Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi). Jakarta:
Bhratara Karya Aksara.
NLHBI. (2003). JNC 7 Express: the seventh report of the joint national commitee
on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure.
National Heart, Lung, and Blood Institute. USA.

Ponto, L. W., Kandou, G. D., & Mayulu, N. (2016). Hubungan antara obesitas,
konsumsi natrium, dan stres dengan kejadian hipertensi pada orang dewasa
di Puskesmas Tompaso Kabupaten Minahasa. Jurnal Paradigma, 4(2),
115–129.

Priyanto. 2008. Farmakoterapi danTerminologi Medis. Jakarta : Leskonfi.Hlm


183- 194.

Rahajeng, Ekowati dan Sulistyowati Tuminah. (2009). Prevalensi Hipertensi dan


Determinannya di Indonesia. Artikel Penelitian Majalah Kedokteran
Indonesia, 59 (12), 580-587.

Smeltzer, S. C., Bare, B. C., Hinkle, J., & Cheever, K. (2012). Brunner
&Suddarth S textbook of medical-surgical nursing twelfth edition.
Wolters Kluwer Health.

Saferi, A., & Mariza, Y. (2013). KMB 1 keperawatan medikal bedah


(keperawatan dewasa). Yogyakarta: Nu Med.

Triyanto, E. (2014). Pelayanan keperawatan bagi penderita Hipertensi Secara


Terpadu. Yokyakarta: Graha Ilmu.
Sihombing, M. (2017). Faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada
penduduk indonesia yang menderita diabetes melitus (data Riskesdas
2013). Buletin Penelitian Kesehatan,45(1),53–64.
https://doi.org/10.22435/bpk.v45i1.5730.53- 64.

WHO. (2011). Hypertension Fact Sheet. World Health Organization. Geneva.

Anda mungkin juga menyukai