Anda di halaman 1dari 37

PELAYANAN KEFARMASIAN

“STUDI KASUS HIPERTENSI”

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 1 :
AHMED MAQBULAH (O1B1 20 001)
AYURIA ANDRIYANI (O1B1 20 005)
GREEN GLORIA SANGSEKERTI C.HDF (O1B1 20 009)
INES SEPTIANI PRATIWI (O1B1 20 013)
LENNY FEBRYANI (O1B1 20 017)
MUHAMAD RAMADHAN SALAM (O1B1 20 021)
NUR FITRIANI DJUFRI (O1B1 20 025)
RAHMAWATI HALIFAH (O1B1 20 029)
SARAH PARADILLAH (O1B1 20 033)
WA ODE NURUMALIANA (O1B1 20 037)
ZAKIYATUL MAHMUDAH (O1B1 20 041)

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS HALU OLEO
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehinga pembuatan makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana mestinya.
Salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW.,
kepada sahabat-sahabatnya dan kepada umatnya hingga akhir zaman.
Pertama-tama terima kasih penulis ucapkan kepada dosen dan teman-teman yang
telah membantu dan memberikan pengetahuan kepada kami sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan judul “Studi Kasus Hipertensi”
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, dan jika ada kesalahan dalam hal isi
dan penyusunanya, penulis berharap saran dan kritikkan yang baik dari para pembaca
demi kesempurnaan makalah ini kedepannya. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Kendari, Oktober 2020

Tim Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................2


DAFTAR ISI ...................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................4

1.1................................................................................................................ Pendahuluan
.................................................................................................................................. 4
1.2............................................................................................................... Epidemiologi
.................................................................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................6

2.1........................................................................................................................Hipertensi
................................................................................................................................... 6
2.2................................................................................................................ Tujuan Terapi
................................................................................................................................... 9
2.3................................................................................................. Penatalaksanaan Terapi
.....................................................................................................................................9

BAB III STUDI KASUS ...............................................................................................24

3.1...........................................................................................................................Kasus 1
................................................................................................................................. 24
3.2...........................................................................................................................Kasus 2
.................................................................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA …............................................................................................ 36

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Penyakit kardiovaskuler secara tipikal menyerang usia pertengahan keatas.
Namun penyakit kardiovaskuler adalah hasil dari sebuah proses sepanjang hidup
manusia. Kejadian penyakit kardiovaskuler pada usia dewasa tersebut tidak lepas dari
interaksi terus menerus dari masa kanak – kanak hingga remaja. Beberapa faktor resiko
yang memungkinkan menjadi penyebab penyakit kardiovaskuler pada remaja secara
pasti belum diketahui, meskipun demikian secara umum dikenal berbagai faktor resiko
seseorang untuk menderita penyakit kardiovaskuler contohnya hipertensi ditentukan
melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko (Brian, dkk. 2005).
Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama mortalitas - morbiditas di
Indonesia sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan intervensi yang sangat umum
dilakukan di berbagai tingkat fasilitas kesehatan (PERKI, 2015). Hipertensi
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg, merupakan
silent killer dan perannya terhadap gangguan jantung serta otak tidak diragukan lagi.
Gejala dari hipertensi dapat bervariasi pada masing – masing individu dan hampir sama
dengan gejala penyakit lainnya. Gejala – gejalanya adalah sakit kepala / rasa berat di
tengkuk, vertigo, jantung berdebar – debar, mudah lelah, penglihatan kabur, telinga
berdenging (tinnitus) serta mimisan (INFODATIN).

1.2 Epidemiologi
Di Indonesia prevalensi hipertensi berkisar antara 8,6% - 10%. Saat ini jumlah
penderita hipertensi di Indonesia diperkirakan 15 juta orang.Prevalensi pada daerah
urban dan rural berkisar antara 17 – 21% dan hanya 4% yang merupakan hipertensi
terkontrol. Prevalensi pada dewasa sebesar 6 – 15%, 50% di antara orang dewasa yang
menderita hipertensi tidak menyadari sebagai penderita hipertensi sehingga mereka
cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari dan tidak
mengetahui faktor risikonya sedangkan 90% merupakan hipertensi esensial (Syahrini,
2013). Sedangkan di Amerika, berdasarkan American Heart Association (AHA),
penduduk Amerika yang berusia diatas 20 tahun penderita hipertensi telah mencapai

4
angka hingga 64,5 juta jiwa dengan 90 – 95% diantaranya belum diketahui pasti
penyebabnya (INFODATIN).
Tekanan darah tinggi merupakan penyakit degenerative yang umumnya tekanan
darah bertambah secara perlahan dengan bertambahnya umur.Risiko penderita
hipertensi yang tadinya tekanan darahnya normal pada populasi ≥ 55 tahun adalah
90%.2.Kebanyakan orang mempunyai tekanan darah prehipertensi sebelum mereka
didiagnosis menderita hipertensi, dan kebanyakan terjadi pada umur diantara dekade
ketiga dan dekade kelima.Sampai dengan umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak
menderita hipertensi dibanding perempuan.Dari umur 55 s/d 74 tahun, sedikit lebih
banyak perempuan dibanding laki-laki yang menderita hipertensi.Pada populasi lansia
(umur ≥ 60 tahun), prevalensi untuk hipertensi sebesar 65.4 % (Hajjar, 2003).

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hipertensi

Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada
pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi, yang dibawa oleh
darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya dimana tekanan darah
persisten diatas 140/90 mmHg. Pada manula hipertensi didefinisikan sebagai tekanan
sistoliknya 160 mmHg dan tekanan diastoliknya 90 mmHg (Brunner dan Suddarth,
2002).
Hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang sering disebut silent killer
karena pada umumnya pasien tidak mengetahui bahwa mereka menderitapenyakit
hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya.Selain itu penderitahipertensi
umumnya tidak mengalami suatu tanda atau gejala sebelum terjadikomplikasi.
Kalaupun muncul gejala, seringkali dianggap sebagai gangguan biasa, sehingga
penderita terlambat menyadari penyakit hipertensi tersebut (Chobanian dkk., 2004).
2.1.1 Etiologi
Hipertensi berdasarkan etiologinya dibagi menjadi dua yaitu hipertensi primer
(esensial) dan hipertensi sekunder.
a) Hipertensi primer
Sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi esensial
(primer). Penyebab hipertensi esensial ini masih belum diketahui, tetapi faktor
genetik dan lingkungan diyakini memegang peranan dalam menyebabkan
hipertensi esensial (Weber dkk., 2014). Faktor genetik dapat menyebabkan
kenaikan aktivitas dari sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf
simpatik serta sensitivitas garam terhadap tekanan darah. Selain faktor genetik,
faktor lingkungan yang mempengaruhi antara lain yaitu konsumsi garam,
obesitas dan gaya hidup yang tidak sehat serta konsumsi alkohol dan merokok
(Weber dkk., 2014).
Penurunan ekskresi natrium pada keadaan tekanan arteri normal merupakan
peristiwa awal dalam hipertensi esensial.Penurunan ekskresi natrium dapat
menyebabkan meningkatnya volume cairan, curah jantung, dan vasokonstriksi

6
perifer sehingga tekanan darah meningkat. Faktor lingkungan dapat
memodifikasi ekspresi gen pada peningkatan tekanan. Stres, kegemukan,
merokok, aktivitas fisik yang kurang, dan konsumsi garam dalam jumlah besar
dianggap sebagai faktor eksogen dalam hipertensi (Robbins dkk., 2007).
b) Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder diderita sekitar 5% pasien hipertensi (Weber dkk.,
2014). Hipertensi sekunder disebabkan oleh adanya penyakit komorbid atau
penggunaan obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah.Obat-
obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi
atau memperberat hipertensi.Penghentian penggunaan obat tersebut atau
mengobati kondisi komorbid yang menyertainya merupakan tahap pertama
dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006). Beberapa penyebab
hipertensi sekunder .
Tabel 1. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi (Depkes RI, 2006)
Penyakit Obat
Penyakit ginjal kronis Kortikosteroid, ACTH
Hiperaldosteronisme primer Estrogen (biasanya pil KB dengan
kadar estrogen tinggi)
Penyakit renovaskular NSAID, cox-2 ihibitor
Sindroma cushing Fenilpropanolamin dan analog
Phaeochromocytoma Siklosforin dan takromilus
Koarktasi aorta Eritropoietin
Penyakit tiroid atau paratiroid Sibutramin
Antidepresan (terutama venlafaxine)

2.1.2 Tanda dan Gejala


Gejala-gejala hipertensi bervariasi pada masing-masing individu dan hampir
sama dengan gejala penyakit lainnya. Gejala-gejalanya adalah :
1. Sakit kepala
2. Nyeri dada
3. Mudah lelah
4. Palpitasi (jantung berdebar)
5. Hidung berdarah

7
6. Sering buang air kecil (terutama malam hari)
7. Tinnitus (telinga berdenging)
8. Dunia terasa berputar (vertigo)
Gejala-gejala tersebut berbahaya jika diabaikan, tetapi bukan merupakan tolak
ukur keparahan dari penyakit hipertensi (WHO, 2013).
2.1.3 Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri yang
persisten.Peningkatan tekanan darah sistolik pada umumnya >140 mmHg atau tekanan
darah diastolik >90 mmHg, kecuali bila tekanan darah sistolik ≥210 mmHg atau
tekanan darah diastolik ≥120 mmHg (Depkes RI, 2006).
Tabel 2. Klasifikasi Hipertensi (Chobanian dkk., 2004)
Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah diastolic
Darah (mmHg) (mmHg)
Normal <120 dan <80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Tingkat 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi Tingkat 2 ≥ 160 atau ≥ 100

2.1.4 Komplikasi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel arteri
dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ
tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar.Hipertensi adalah
faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke, transient ischemic attack),
penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial
fibrilasi. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular lain,
maka akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya.
Menurut Studi Framingham, pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan resiko
yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal
jantung (Dosh,2001).
2.2 Tujuan Terapi
 Secara keseluruhan, tujuan penanganan hipertensi adalah mengurangi morbiditas
dan kematian.

8
 Target nilai tekanan darahnya adalah kurang dari 140/90 untuk hipertensi tidak
komplikasi dan kurang dari 130/80 untuk penderita diabetes mellitus serta ginjal
kronik.
 TDS merupakan indikasi yang baik untuk risiko kardiovaskuler daripada TDD
dan seharusnya dijadikan tanda klinik primer dalam mengontrol hipertensi
(Priyanto, 2009)
2.3 Penatalaksanaan Terapi
Penatalaksanaan terapi hipertensi terdiri atas terapi non farmakologi dan terapi
farmakologi sebagai berikut:
2.3.1 Terapi Non Farmakologi
Terapi Non Farmakologi bagi penderita hipertensi dianjurkan untuk mengatur
pola hidup dengan memantau
 penurunan berat badan jika kelebihan berat badan,
 melakukan diet makanan sesuai dengan DASH (Dietary Approaches to Stop
Hypertension),
 mengurangi asupan natrium tidak lebih dari 100 mmol tiap hari (2,4 gram natrium
atau 6 gram natrium klorida),
 melakukan aktivitas fisik seperti aerobik,
 mengurangi konsumsi alkohol dan
 menghentikan kebiasaan merokok (Chobanian et.al., 2003).
2.3.2 Terapi Farmakologi
Pengobatan hipertensi bertujuan mengurangi kesakitan (morbiditas), kematian
(mortalitas), dan menurunkan tekanan darah. Algoritma hipertensi dapat dilihat pada
gambar berikut :

9
Tabel 3.Rekomendasi obat hipertensi untuk penyakit penyerta
Penyakit penyerta Rekomendasi obat hipertensi
Diuretik β-B ACEI ARB CCB Aldo Ant
Gagal jantung     
Pasca infark miokard   
Risiko tinggi penyakit    
coroner
Diabetes mellitus     
Penyakit ginjal kronik  
Pencegahan stroke  
berulang
Keterangan : BB = Beta blocker, ACEI = Angiotensin converting enzymeinhibitor,
ARB = Angiotensin II receptor blocker, CCB = Calcium channel blocker,
Aldo Ant = Aldosteron antagonist(Sumber : Chobanian et.al., 2003)
Pemilihan obat hipertensi tergantung pada derajat meningkatnya tekanan darah
dan keberadaan penyakit penyerta.Terapi farmakologi untuk hipertensi tahap 1
sebaiknya terapi diawali dengan diuretik tiazid. Penderita hipertensi tahap 2 pada

10
umumnya diberikan terapi kombinasi, salah satu obatnya diuretik tiazid kecuali terdapat
kontraindikasi (Chobanian et.al., 2003).
Obat hipertensi berdasarkan mekanisme kerjanya dapat dibagi menjadi beberapa
jenis, yaitu (Tjay dan Rahardja, 2007):
1. Meningkatkan pengeluaran air dari tubuh: diuretik.
2. Memperlambat kerja jantung: -blocker.
3. Memperlebar pembuluh: vasodilator langsung (di/hidralazin, minoxidil), antagonis
kalsium, penghambat ACE, dan angiotensin II receptor blocker.
4. Menstimulasi Susunan Saraf Pusat: agonis alfa-2 sentral seperti klonidin dan
moxonidin, metildopa, guanfasin, dan reserpin.
5. Mengurangi pengaruh Susunan Saraf Otonom tehadap jantung dan pembuluh, yaitu:
a. Alfa-1 blocker: derivat quinazolin (prazosin, doxazosin, alfuzosin, tamsulosin),
dan ketanserin (ketansin).
b. Alfa-1 blocker dan alfa-2 blocker: fentolamin.
c. Beta blocker: propranolol, atenolol, metoprolol, pindolol, bisoprolol, timolol,
dan lain-lain.
d. Alfa blocker atau beta blocker: labetolol dan carvedilol.
Obat yang lazim digunakan untuk pengobatan awal lini pertama (first line drug)
hipertensi terbagi menjadi 5 kelompok yaitu, diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik
(-blocker), penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat
reseptor angiotensin (Angiotensin II receptor blocker, ARB), antagonis kalsium (CCB).
Selain itu obat yang digunakan untuk pengobatan lini kedua dikenal 4 kelompok obat
yaitu, penyekat reseptor alfa adrenergik (α-blocker), penghambat saraf adrenergik,
agonis alfa-2 sentral dan vasodilator (Mardjono, 2007).
Obat hipertensi yang digunakan untuk terapi hipertensi dapat dibagi dalam
beberapa kelompok:
1. Diuretik
Mekanisme kerja obat golongan diuretik meningkatkan ekskresi natrium, air, dan
klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibat dari efek
diuretik tersebut adalah penurunan curah jantung dan tekanan darah. Penelitian-
penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi kardiovaskular diuretik belum

11
terkalahkan oleh obat lain sehingga diuretik dianjurkan untuk sebagian besar kasus
hipertensi ringan dan sedang.
Pada umumnya diuretik dibagi menjadi beberapa kelompok:
a. Diuretik kuat (Loop diuretic)
Mekanisme kerja diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian epitel
tebal dengan cara merintangi transport Cl-, menghambat reabsorpsi Na+,
memperbanyak pengeluaran K+ dan air. Mula kerja diuretik kuat lebih cepat
dan efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid sehingga jarang
digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (kreatinin serum lebih dari 2,5 mg/dL) atau gagal jantung. Waktu paruh
diuretik kuat umumnya pendek sehingga diperlukan pemberian 2 atau 3 kali
sehari.Efek samping diuretik kuat adalah menurunkan kalsium darah. Contoh
obat golongan diuretik kuat: furosemid, torasemid, bumetanid dan asam
etakrinat (Mardjono, 2007).
Kontraindikasi diuretik kuat antara lain: defisiensi elektrolit, anuria, koma
hepatik, kehamilan muda, hipokalemia, terapi bersama litium (MIMS, 2007).
b. Golongan Tiazid
Mekanisme kerja diuretik tiazid adalah mengeluarkan natrium dari
ginjal.Tiazid dapat digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi ringan
sampai sedang, atau dalam kombinasi dengan antihipertensi lain bila tekanan
darah tidak berhasil diturunkan dengan diuretik saja.
Tiazid seringkali dikombinasi dengan antihipertensi lain karena:
1) Dapat meningkatkan efektivitas antihipertensi lain dengan mekanisme
kerja yang berbeda sehingga dosisnya dapat dikurangi.
2) Tiazid mencegah retensi cairan oleh antihipertensi lain sehingga efek obat-
obat tersebut dapat bertahan.
Pada pasien gagal ginjal, tiazid kehilangan efektivitas diuretik dan
antihipertensinya. Tiazid efektif untuk pasien hipertensi dengan kadar
renin yang rendah, misalnya pada orang tua. Pada kebanyakan pasien, efek
antihipertensi mulai terlihat dengan dosis hidroklorotiazid 12,5 mg/hari.
Efek antihipertensi tiazid mengalami antagonisme oleh antiinflamasi
non steroid (AINS) karena antiinflamasi non steroid menghambat sintesis

12
prostaglandin yang berperan penting dalam pengaturan aliran darah ginjal,
transport air dan garam. Akibatnya terjadi retensi natrium dan air yang
akan mengurangi efek hampir semua obat hipertensi.
Efek samping tiazid dalam dosis tinggi dapat menyebabkan
hipokalemia yang dapat berbahaya pada pasien yang mendapat digitalis.
Efek samping ini dapat dihindari bila tiazid diberikan dalam dosis rendah
atau dikombinasi dengan obat lain seperti diuretik hemat kalium, atau
penghambat enzim konversi angiotensin (ACE-inhibitor), karena
tiaziddapat menyebabkan hiponatremia, hipomagnesemia serta
hiperkalsemia. Pada penderita diabetes mellitus, tiazid dapat menyebabkan
hiperglikemia karena dapat mengurangi sekresi insulin.
Contoh obat golongan tiazid: hidroklorotiazid, bendroflumetiazid,
klorotiazid dan diuretik yang memiliki gugus aryl-sulfonamida (indapamid
dan klortalidon) (Mardjono, 2007).
Kontraindikasi hidroklorotiazid antara lain: anuria, terapi bersama
litium, dekompensasi ginjal (MIMS, 2007).
c. Diuretik hemat kalium
Mekanisme kerja diuretik hemat kalium adalah menahan kalium yang
diperlukan oleh tubuh. Penggunaan diuretik hemat kalium dengan diuretik lain
untuk mencegah hipokalemia. Diuretik hemat kalium dapat menimbulkan
hiperkalemia bila diberikan pada pasien dengan gagal ginjal, atau bila
dikombinasi dengan penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II,
penyekat β adrenoreseptor, antiinflamasi non steroid atau dengan suplemen
kalium. Penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindarkan bila kreatinin
serum lebih dari 2,5 mg/dL.
Spironolakton merupakan antagonis aldosteron sehingga merupakan obat
yang terpilih pada hiperaldosteronisme primer.Obat ini sangat berguna pada
pasien dengan hiperurisemia, hipokalemia dengan intoleransi glukosa.
Spironolakton tidak mempengaruhi kadar Ca++ dan gula darah. Efek samping
spironolakton antara lain gangguan menstruasi dan penurunan libido pada pria.
Contoh obat golongan diuretik hemat kalium: amilorid, triamteren dan
spironolakton (Mardjono, 2007).

13
Kontraindikasi diuretik hemat kalium antara lain : insufisiensi ginjal akut,
anuria, hiperkalemia, hamil (MIMS, 2007).
2. Penyekat β adrenoreseptor (Beta blocker)
Zat-zat ini memiliki sifat kimia yang sangat mirip dengan zat beta-adrenergik
isoprenalin.Khasiat utamanya adalah anti-adrenergik dengan jalan menempati secara
bersaing reseptor β adrenergik.Blokade reseptor ini mengakibatkan peniadaan atau
penurunan kuat aktivitas adrenalin dan noradrenalin (NA). Reseptor-β terdapat dalam
dua jenis, yaitu (Tjay dan Rahardja, 2007) :
a. Reseptor β-1
Reseptor β-1 terdapat di jantung, Susunan Saraf Pusat, ginjal. Blokade reseptor
ini mengakibatkan pelemahan daya kontraksi (efek inotrop negatif), penurunan
frekuensi jantung (efek kronotrop negatif, bradikardi), perlambatan penyaluran
impuls di jantung (simpuls AV = atrioventrikuler).
b. Reseptor β-2.
Reseptor -2 terdapat di bronchia, dinding pembuluh darah, usus. Blokade
reseptor ini menimbulkan penciutan bronchia dan vasokonstriksi perifer agak ringan
yang bersifat sementara (beberapa minggu), mengganggu mekanisme homeostatis
untuk memelihara kadar glukosa dalam darah (efek hipoglikemia).
Mekanisme kerja penyekat β adrenoreseptor terhadap penurunan tekanan
darah dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β-1, antara lain (Mardjono, 2007):
a. Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga
menurunkan curah jantung.
b. Hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal akibat penurunan
produksi angiotensin II.
c. Efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan reseptor
pada sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan
peningkatan biosintesis prostasiklin.
Penyekat β adrenoreseptor dapat memiliki sifat-sifat khusus berikut ini (Tjay
dan Rahardja, 2007):
a. Kardioselektivitas
Kardioselektivitas, yaitu menghambat terutama reseptor β-1 dengan penurunan
tekanan darah tanpa menimbulkan penciutan bronchia dan pembuluh

14
perifer.Sifat ini terikat pada dosis, selektivitas berkurang dengan dosis
meningkat.Pasien asma, bronchitis dan diabetes sebaiknya menggunakan dengan
berhati-hati obat-obat kardioselektif seperti asebutolol, atenolol, betaxolol
(kerlon), bisoprolol, celiprolol, esmolol, dan metoprolol.
b. Efek adrenergik intrinsik
Efek adrenergik intrinsik (ISA = Intrinsic Sympathicomimetic Activity) dimiliki
oleh pindolol, asebutolol, alprenolol, celiprolol, dan oxyprenolol. Sifat ini
berhubungan dengan keasaman struktur kimianya dengan beta adrenergik.
c. Efek stabilisasi membran
Efek stabilisasi membran juga disebut efek lokal anastetis yang terjadi pada
dosis tinggi.Efek ini dimiliki oleh propranolol, alprenolol, oxprenolol, dan
asebutolol.Beta bloker dengan khasiat lokal anastetik tidak layak digunakan
topikal pada mata.
Penyekat β adrenoreseptor digunakan sebagai obat tahap pertama pada
pasien hipertensi ringan sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit
jantung koroner (khususnya sesudah infark miokard akut), pasien dengan aritmia
supraventrikel (tachycardia), pasien muda dengan sirkulasi hiperdinamik dan
pada pasien yang memerlukan antidepresan trisiklik atau antipsikotik (karena
efek antihipertensi beta bloker tidak dihambat oleh obat-obat tersebut).Pendapat
terbaru membuktikan bahwa beta bloker, terutama carvedilol dan bisoprolol
terbukti bermanfaat dan telah direkomendasikan dalam JNC VI dan VII untuk
pengobatan gagal jantung dalam kombinasi dengan ACE inhibitor. Penyekat β
adrenoreseptor lebih efektif pada pasien usia muda dan kurang efektif pada
pasien usia lanjut.
Penurunan tekanan darah oleh penyekat β adrenoreseptor yang diberikan per
oral berlangsung lambat. Efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu
setelah terapi dimulai dan tidak diperoleh penurunan tekanan darah lebih lanjut
setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Obat ini tidak menimbulkan retensi air dan
garam.
Kontraindikasipenyekat β adrenoreseptor adalah pada pasien dengan asma
bronchial. Penyekat β adrenoreseptor dapat menyebabkan bradikardia, blokade
AV, menurunkan kekuatan kontraksi miokard.Oleh karena itu obat penyekat β

15
adrenoreseptor dikontraindikasikan pada keadaan asma, bradikardi, blokade AV
(atrioventrikuler) derajat 2 dan 3, sick sinus syndrome.Penyekat β adrenoreseptor
dengan aktivitas simpatomimetik intrinsik kurang efektif untuk penyakit jantung
koroner dan belum terbukti efektif untuk pasca infark miokard.Pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal kronik, pemakaian penyekat β adrenoreseptor
dapat memperburuk fungsi ginjal karena penurunan aliran darah ginjal.Bila
harus diberikan pada pasien dengan diabetes atau dengan gangguan sirkulasi
perifer, maka penghambat selektif β-1 (asebutolol, atenolol, betaxolol (kerlon),
bisoprolol, celiprolol, esmolol, dan metoprolol) adalah lebih baik dibandingkan
dengan beta bloker non selektif, karena efek hipoglikemia relatif ringan serta
tidak menghambat reseptor β-2 yang memperantarai vasodilatasi di otot rangka.
Efek samping penyekat β adrenoreseptormerupakan bronkospasme pada
pasien dengan riwayat asma bronkial atau penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK), sehingga pemakaian beta bloker termasuk yang kardioselektif
merupakan kontraindikasi untuk keadaan ini. Efek sentral berupa depresi, mimpi
buruk, halusinasi dapat terjadi dengan beta bloker yang lipofilik seperti
propranolol dan oksprenolol. Gangguan fungsi seksual sering terjadi akibat
pemakaian penyekat β adrenoreseptor, terutama yang tidak selektif (Mardjono,
2007).
Interaksiobat penyekat β adrenoreseptor dengan obat lain dapat terjadi bila
digunakan secara bersamaan, antara lain (Tjay dan Rahardja, 2007):
a. Penggunaan bersama dengan antagonis kalsium (verapamil secara intravena,
ditiazem, nifedipin, lidokain, fenothiazin, glafenin, dan floctafenin) dapat
menyebabkan hipotensi.
b. Penggunaan bersama dengan barbital dapat mempercepat perombakan beta
bloker di hati sehingga memperlemah efek beta bloker.
c. Penggunaan bersama dengan antiinflamasi non steroid (indometasin dan lain-
lain) dapat menurunkan absorpsi beta bloker sehingga memperlemah efek
beta bloker.
d. Penggunaan bersama dengan klonidin dapat memperbesar risiko hipertensi
rebound, maka terapi dengan penyekat β adrenoreseptor perlu dihentikan
sebelum menggunakan klonidin.

16
3. Penghambat angiotensin converting enzyme (Penghambat ACE)
Mekanisme kerja penghambat ACE menghambat perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron.
Berkurangnya produksi angiotensin II oleh ACE inhibitor akan mengurangi sekresi
aldosteron di korteks adrenal yang mengakibatkan terjadi ekskresi air dan natrium,
sedangkan kalium mengalami retensi sehingga ada tendensi terjadinya hiperkalemia
terutama pada gangguan fungsi ginjal. Merintangi enzim ACE dapat mempertahankan
keberadaan zat lain yang disebut bradikinin. Kerja bradikinin adalah melebarkan
pembuluh darah.
Efek penghambat ACE pada gagal jantung akan sangat mengurangi beban jantung
dan akan memperbaiki keadaan pasien. Pemberian penghambat ACE jangka panjang
tidak menimbulkan toleransi dan penghentian obat ini biasanya tidak menimbulkan
hipertensi rebound.Penghambat ACE tidak mempunyai efek terhadap metabolisme lipid
atau glukosa dan mengurangi resistensi insulin sehingga sangat baik untuk hipertensi
pada diabetes, dislipidemia, dan obesitas.
Secara umum penghambat ACE dibedakan atas dua kelompok (Mardjono, 2007):
a. Yang bekerja langsung, contohnya: kaptopril dan lisinopril.
b. Prodrug, contohnya: enalapril, kuinapril, perindopril, ramipril, silazapril,
benazepril, dan fosinopril. Obat ini dalam tubuh diubah menjadi bentuk aktif yaitu:
enalaprilat, kuinaprilat, perindoprilat, ramiprilat, silazaprilat, benazeprilat, dan
fosinoprilat.
Kontraindikasi penghambat ACE pada wanita hamil karena bersifat teratogenik.
Pemberian pada ibu menyusui juga kontraindikasi karena penghambat ACE diekskresi
melalui ASI dan berakibat buruk terhadap fungsi ginjal bayi. Dalam JNC VII,
penghambat ACE diindikasikan untuk hipertensi dengan penyakit ginjal kronik. Namun
harus hati-hati terutama bila ada hiperkalemia, karena penghambat ACE akan
memperberat hiperkalemia. Kadar kreatinin darah perlu dipantau selama pemberian
penghambat ACE.Bila terjadi peningkatan kreatinin, maka obat harus dihentikan.
Penghambat ACE dikontraindikasikan pada stenosis arteri renalis bilateral atau
unilateral pada keadaan ginjal tunggal (Mardjono, 2007).

17
Efek samping penghambat ACE, antara lain (Mardjono, 2007):
a. Hipotensi dapat terjadi pada awal pemberian penghambat ACE, terutama pada
hipertensi dengan aktivitas renin yang tinggi. Pemberian harus berhati-hati pada
pasien dengan deplesi cairan dan natrium, gagal jantung atau yang mendapat
kombinasi beberapa antihipertensi.
b. Batuk kering merupakan efek samping yang paling sering terjadi dengan insiden 5 -
20 %, lebih sering pada wanita dan lebih sering terjadi pada malam hari. Diduga
efek samping ini ada kaitannya dengan peningkatan kadar bradikinin dan
prostaglandin. Efek samping ini bergantung pada besarnya dosis dan bersifat
reversibel bila obat dihentikan.
c. Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau pada
pasien yang juga mendapat diuretik hemat kalium, AINS, suplemen kalium atau
beta bloker.
d. Rash dan gangguan pengecapan lebih sering terjadi dengan kaptopril, tapi juga
terjadi dengan penghambat ACE yang lain. Diduga karena adanya gugus sulfhifril
(SH) pada kaptopril yang tidak dimiliki oleh penghambat ACE yang lain. Gangguan
pengecapan (disgeusia) terjadi pada kira-kira 7 % pasien yang mendapat kaptopril.
e. Edema angioneurotenik terjadi pada 0,1 - 0,2 % pasien berupa pembengkakan di
dinding, bibir, tenggorokan, laring dan sumbatan jalan napas yang bisa berakibat
fatal. Efek samping ini terjadi dalam beberapa jam pertama setelah pemberian
penghambat ACE.
f. Gagal ginjal yang akut yang reversibel dapat terjadi pada pasien dengan stenosis
arteri renalis bilateral atau pada satu-satunya ginjal yang berfungsi. Hal ini
disebabkan dominasi efek penghambat ACE pada arteriol eferen yang menyebabkan
tekanan filtrasi glomerulus semakin rendah sehingga filtrasi glomerulus semakin
berkurang.
g. Efek teratogenik terutama terjadi pada pemberian selama trisemester 2 dan 3
kehamilan yang dapat menimbulkan gagal ginjal fetus atau kematian fetus.
Interaksi obat penghambat ACE dengan obat lain dapat terjadi bila digunakan
secara bersamaan dengan (Mardjono, 2007):
a) Kombinasi dengan diuretik hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia.
b) Kombinasi dengan antasida akan mengurangi absorpsi penghambat ACE.

18
c) Kombinasi dengan antiinflamasi non stroid akan mengurangi efek antihipertensi
dan menambah risiko hiperkalemia.
4. Penghambat adrenoseptor alfa (Alfa blocker)
Mekanisme kerja zat-zat ini memblok reseptor penghambat adrenoseptor alfa yang
terdapat di otot polos pembuluh, khususnya di pembuluh kulit dan mukosa.
Penghambat adrenoseptor alfa dibagi dalam 3 kelompok, yaitu (Tjay dan
Rahardja, 2007):
a. Penghambat adrenoseptor alfa tidak selektif: fentolamin yang hanya digunakan
intravena pada krisis hipertensi.
b. Penghambat adrenoseptor alfa-1 selektif: derivate quinazolin (prazosin, terazosin,
dan tamsulosin) serta uradipil yang digunakan sebagai obat hipertensi dan pada
hiperplasia prostat.
c. Penghambat adrenoseptor alfa-2 selektif: yohimbin yang digunakan sebagai obat
perangsang syahwat (aphrodisiacum).
Penghambat adrenoseptor alfa yang selektif menghambat reseptor alfa-1 yang
digunakan sebagai antihipertensi. Penghambat adrenoseptor alfa tidak selektif kurang
efektif sebagai antihipertensi karena hambatan reseptor alfa-2 di ujung saraf adrenergik
akan meningkatkan pelepasan norepinefrin dan meningkatkan aktivitas simpatis.
Hambatan reseptor alfa-1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan venula sehingga
menurunkan resistensi perifer.
Penghambat adrenoseptor alfa memiliki beberapa keunggulan : efek positif
terhadap lipid darah (menurunkan LDL dan trigliserida, meningkatkan HDL) dan
mengurangi resistensi insulin, sehingga cocok untuk pasien hipertensi dengan
dislipidemia dan diabetes mellitus. Penghambat adrenoseptor alfa juga sangat baik
untuk pasien hipertensi dengan hipertrofi prostat karena hambatan reseptor alfa-1 akan
merelaksasi otot polos prostate dan sfingter uretra sehingga mengurangi retensi urin
(Mardjono, 2007).
Efek samping penghambat adrenoseptor alfa-1, yaitu hipotensi orthostatis yang
terjadi khusus pada permulaan terapi dan setelah peningkatan dosis. Efek samping ini
dapat dihindari bila dimulai dengan dosis rendah , menaikkan dosis secara berangsur-
angsur dan minum dosis pertama sebelum tidur. Efek lain yang dapat terjadi berupa
pusing, nyeri kepala, pilek, gangguan tidur, udema, debar jantung dan perasaan lemah.

19
Kombinasi dengan beta bloker dan antagonis kalsium meningkatkan risiko hipotensi,
sedangkan kombinasi dengan diuretik dan penghambat ACE lebih sering menimbulkan
pusing (Tjay dan Rahardja, 2007).
Kontraindikasi alfa bloker antara lain: gangguan fungsi ginjal, insufisiensi hati
berat (MIMS, 2007).
5. Antagonis kalsium (CCB)
Mekanisme kerja antagonis kalsium adalah menghambat pemasukan ion kalsium
ekstrasel ke dalam sel vaskuler otot polos sehingga tegangan vaskuler menurun dan
terjadi vasodilatasi perifer (Goodman dan Gilman, 2008).
Penggolongan antagonis kalsium secara kimiawi dapat dibagi dalam 2 kelompok,
yaitu:
a. Derivat dihidropiridin: efek vasodilatasinya amat kuat, maka digunakan sebagai obat
hipertensi. Contoh: nifedipin, nisoldipin, amlodipin, felodipin, nicardipin,
nimodipin, nitrendipin, lercanidipin, lacidipin, dan isradipin.
b. Obat-obat lain: verapamil, diltiazem, dan bepridil. Verapamil bekerja terhadap
jantung (menurunkan frekuensi dan daya kontraksi, memperlambat penyaluran
atrioventrikuler) dan terhadap sistem pembuluh (vasodilatasi). Diltiazem dapat
disamakan khasiatnya dengan verapamil, tetapi efek inotrop negatifnya lebih ringan.
Daya vasodilatasi kedua zat ini lebih lemah daripada zat dihidropiridin, maka lebih
banyak digunakan pada angina daripada sebagai obat hipertensi. Bepridil tidak
bekerja antihipertensi dan khusus digunakan pada angina stabil.

Efek samping antagonis kalsium: pusing, nyeri kepala, dan rasa panas di muka
(flushing). Derivat dihidropiridin dapat menyebabkan takikardi dan udema pergelangan
kaki (akibat vasodilatasi perifer) yang bersifat sementara. Derivat obat bukan
dihidropiridin dapat menyebabkan bradikardi, atrioventrikuler block, hipotensi,
obstipasi, menghambat agregasi trombosit, gangguan penglihatan, dan reaksi kulit
alergis (Tjay dan Rahardja, 2007).
Kontraindikasi antagonis kalsium: wanita hamil dan menyusui, hipersensitif, gagal
jantung, hipotensi, bradikardi, infark miokard akut, dan penyakit ginjal kronik (MIMS,
2007).
6. Penghambat reseptor angiotensin II (Angiotensin II reseptor bloker, ARB)

20
Penghambat reseptor angiotensin II menduduki reseptor angiotensin II yang
terdapat di dalam tubuh, antara lain: di miokard, dinding pembuluh, susunan saraf pusat,
ginjal, anak ginjal, dan hati. Efek-efek angiotensin II diblokir seperti peningkatan
tekanan darah dan ekskresi kalium, retensi natrium, dan air. Efek lain dari penekanan
aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron adalah penurunan produksi aldosteron,
yang mengakibatkan bertambahnya ekskresi natrium dan air serta berkurangnya
ekskresi kalium. Kombinasi dari kedua jenis obat kini mulai digunakan untuk lebih
efektif menurunkan tekanan darah (efek aditif ringan).
Penghambat reseptor angiotensin II sangat efektif menurunkan tekanan darah pada
pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti renovaskuler dan hipertensi
genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah. Pada
pasien dengan hipovolemia, maka dosis penghambat reseptor angiotensin II perlu
diturunkan.
Pemberian penghambat reseptor angiotensin II menurunkan tekanan darah tanpa
mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak menimbulkan
hipertensi rebound. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa
darah.
Contoh obat ini terdiri dari: losartan, valsartan, irbesartan, candesartan, eprosartan,
telmisartan dan olmesartan (Tjay dan Rahardja, 2007).
Losartan merupakan protipe obat golongan penghambat reseptor angiotensin II
yang bekerja selektif pada reseptor angiotensin I. Pemberian obat ini akan menghambat
semua efek angiotensin II, seperti: vasokonstriksi, sekresi aldosteron, rangsangan saraf
simpatis, efek sentral angiotensin II (sekresi vasopresin, rangsangan haus), stimulasi
jantung, efek renal serta efek jangka panjang berupa hipertrofi otot polos pembuluh
darah dan miokard. Penghambat reseptor angiotensin II menimbulkan efek yang mirip
dengan pemberian penghambat ACE.Tapi karena tidak mempengaruhi metabolisme
bradikinin, maka obat ini dilaporkan tidak memiliki efek samping batuk kering dan
angiodema seperti yang sering terjadi dengan penghambat ACE.
Kontraindikasi penghambat reseptor angiotensin II pada kehamilan trisemester 2
dan 3, wanita menyusui, stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis pada satu-satunya
ginjal yang masih berfungsi.Penghambat reseptor angiotensin II bersifat fetotoksik
sehingga harus dihentikan bila pemakainya ternyata hamil.

21
Efek samping penghambat reseptor angiotensin II berupa hipotensi yang dapat
terjadi pada pasien dengan kadar renin yang tinggi seperti hipovolemia, gagal jantung,
hipertensi renovaskular, dan sirosis hepatis. Hiperkalemia biasanya terjadi dalam
keadaan tertentu, seperti: insufisiensi ginjal, atau bila dikombinasi dengan obat-obat
yang cenderung meretensi kalium seperti diuretik hemat kalium, antiinflamasi non
steroid dan juga bila asupan kalium berlebihan (Mardjono, 2007).
7. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat.
Mekanisme kerja agonis alfa-2 adrenergik menstimulasi reseptor alfa-2 adrenergik
yang banyak sekali terdapat di susunan saraf pusat (otak dan medulla). Akibat
perangsangan ini terjadi penurunan aktivitas saraf adrenergik perifer.Pelepasan
noradrenalin menurun dengan efek menurunnya resistensi perifer dan tekanan
darah.Agonis alfa-2 adrenergik digunakan pada semua bentuk hipertensi dan biasanya
dikombinasi dengan diuretik.Zat ini bukan merupakan pilihan pertama, melainkan
hanya sebagai obat cadangan bila obat-obat hipertensi lainnya kurang efektif.
Efek samping yang sering terjadi berupa efek sentral, antara lain: sedasi, mulut
kering, sukar tidur, hidung mampat, pusing, penglihatan kurang, bradikardi, impotensi,
depresi, dan gelisah. Pada umumnya efek ini sering terjadi pada klonidin dan jarang
pada moxonidin, metildopa, dan guanfasin. Hipertensi rebound dapat terjadi pada
penghentian mendadak, terutama pada klonidin dan reserpin.
Metildopa dapat digunakan oleh wanita hamil dengan hipertensi, sedangkan obat-
obat lainnya belum memiliki cukup data. Klonidin, moxonidin, dan metildopa
dikontraindikasikan pada wanita menyusui karena obat dapat masuk ke dalam air susu
ibu (Tjay dan Rahardja, 2007).
8. Vasodilator.
Mekanisme kerja vasodilator adalah dengan terjadinya vasodilatasi terhadap arteri
dan dengan demikian menurunkan tekanan darah tinggi. Vasodilator digunakan sebagai
obat hipertensi pilihan ketiga bersama dengan penyekat β adrenoreseptor dan diuretik,
bila kombinasi kedua obat penyekat β adrenoreseptor dan diuretik kurang memberikan
hasil.Kombinasi tersebut menguntungkan karena efek samping vasodilator berupa
takikardi dan retensi garam dan air ditiadakan oleh masing-masing beta bloker dan
diuretik.

22
Efek samping vasodilator adalah pusing, nyeri kepala, muka merah, hidung
mampat, debar jantung dan gangguan lambung. Biasanya efek ini bersifat sementara.
Hanya hidralazin dapat digunakan oleh wanita hamil dengan aman, sedangkan dari
dihidralazin dan minoxidil belum tersedia cukup data. Hidralazin, dihidralazin dan
minoxidil dikontraindikasikan pada wanita menyusui karena dapat mencapai air susu
ibu (Tjay dan Rahardja, 2007).

23
BAB III
STUDI KASUS
3.1. Kasus 1
Ny.TG 47 thn, BB ± 155 cm, MRS dengan keluhan mual, muntah,pusing.
Mengaku memiliki riwayat DM dengan terapi Glibenklamide 1-1/2-0. Metformin
2x850 mg. Pasien juga mengaku tidak meminum obat secara rutin, karena diet
sudah ketat. Selanjutnya pasien didiagnosa dengan hipertensi maligna disertai DM.
Pada pemeriksaan awal dijumpai kadar gula acak 578 mg/dl, BP 170/110 mmHg.
Bagaimana penatalaksanaan? Lakukan analisis SOAP (subjektif,objektif,
assessment dan planning)
3.1.1. Penyelesaian Kasus 1

Data demografi pasien :


Nama : Ny. TG
Usia : 47 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat :-

Identifikasi permasalahan pasien :


a. Data subjektif : mual, muntah, dan pusing
b. Data objektif :

Berat badan :-
Tinggi badan : 155 cm
BMI :-
Tekanan darah : 170/110 mmHg
Kadar gula acak : 578 mg/dL
c. Assesment/Evaluasi :

Subjektif Objektif Problem Medik Terapi


Kadar gula acak Diabetes melitus - Glibenklamid 1 - ⅟2 -
578 mg/dL (DM) 0
- Metformin 2 x 850
mg

24
Tekanan darah Hipertensi (HT) Pasien belum diberikan
170/110 mmHg maligna terapi
Mual, muntah,
dan pusing

- Pasien mengaku tidak meminum obat diabetes melitus secara rutin, karena diet
yang dijalani sudah ketat.
- Pasien mengeluh mual, muntah, dan pusing. Hal ini kemungkinan dikarenakan
tekanan darah pasien 170/110 mmHg.
- Selanjutnya pasien didiagnosa dengan HT maligna yang disertai dengan DM.
- Tingginya kadar glukosa dalam darah, menyebabkan kerusakan yang meluas baik
pada pembuluh darah dan ginjal. Organ-organ inilah yang memegang peranan yang
penting untuk menjaga tekanan darah agar tetap normal. Jika organ-organ ini
mengalami kerusakan, maka akan menyebabkan peningkatan tekanan darah,
meningkatkan terjadinya komplikasi.

d. Planning

Penerapan terapi farmakologi bersama dengan pengaturan diet dan jasmani


- Farmakologi
Objektif Problem Terapi DRP
Medik
578 mg/dL Diabetes - Glibenklamid 2 mg - Glibenklamid : efek samping
melitus 1 - ⅟2 - 0 berupa kenaikan berat badan
(pemberian bersama (~ 2 kg), mual, dan perut
makanan, 1 tablet pada kembung
pagi hari dan ⅟2tablet
pada konsumsi
selanjutnya)

- Metformin 850 mg 2 - Metformin : efek samping


kali sehari berupa diare, mual, rasa tidak
(pemberian bersama nyaman pada perut, dan

25
makanan) anoreksia.

170/110 Hipertensi - Kaptopril 50 mg 2 kali - Efek samping : batuk kering


mmHg maligna sehari
(pemberian dilakukan 1
jam sebelum makan)

- Non farmakologi
 Untuk diabetes melitus
Edukasi mengenai pengertian DM, perilaku hidup sehat, pengetahuan
glukosa mandiri serta tanda dan gejalah hipoglikemik. Mengurangi konsumsi
lemak jenuh dan mengkonsumsi karbohidrat dalam jumlah moderate (sedang)
(Dipiro, 2009).
Latihan aerobik mampu meningkatkan sensitivitas insulin, mengontrol
kadar glukosa dalam darah, mengurangi resiko terjadinya penyakit
kardiovaskular, yang secara keselurahan hal-hal tersebut nantinya akan
mengurangi berat badan dan meningkatkan kebugaran (Dipiro, 2009).
 Untuk hipertensi
Modifikasi gaya hidup : (1) menurunkan berat badan jika kelebihan berat badan.
(2) mengikuti rencana Dietary Approaches to Stop Hypertension. (3)
mengurangi konsumsi natrium, idealnya konsumsi natrium adalah 1,5 g per hari
(3,8 g per hari untuk natrium klorida. (4) melakukan aktivitas aerobik. (5)
membatasi konsumsi alkohol. (6) berhenti merokok.

- Monitoring
Monitoring dan memelihara tekanan darah terkhususnya hipertensi disertai
dengan DM yaitu < 140/90 dan untuk DM pemeriksaan rutin glukosa acak dan
HbA1c tiap 3 bulan sekali, dimana nilai rujukan HbA1c adalah< 7 %.

Studi literatur
Diabetes+ - Penderita diabetes + HT seharusnya mendapatkan pengobatan yang

26
Malignan HT mengandung ACEi atau ARB. Kedua golongan ini memiliki efek
nefroproteksi dan mengurangi kardiovaskular (Dipiro, 2009)
- Pada pasien dengan diabetes dapat diberikan tiazid, CCB, ACEi
atau ARB (JNC 8, 2014)
- Pada pasien HT + diabetes obat lini pertama yang dapat diberikan
yaitu ACEi atau ARB (ASH, 2014)
- Strategi pengobatan untuk pasien dengan diabtes + HT harus turut
mengikutsertakan penggunaan inhibitor RAAS (ACEi atau ARB)
(CPG, 2020).
Malignan HT - Menurut guideline terbaru european society of cardiology (ESC)
dan european society of hypertension (ESH) menyatakan bahwa
malignan HT sebagai merupakan HT urgency dan emergency dan
menekankan bahwa malignan HT merupakan HT berat (termasuk
HT tahap 3) dan akan memburuk jika tidak ditangani (Lewek dkk.,
2020).
- Golongan obat HT yang paling efektif untuk malignan HT antara
lain ACEi, ARB dan BB (Lewek dkk., 2020).
- Obat HT lini pertama yang direkomendasikan yang dapat
menurunkan TD secara cepat yaitu Labetalol dan Nikardipin
(Lewek dkk., 2020).
- Pemberian obat HT harus dimulai dari dosis rendah karena pasien
dapat mengalami hipersensitivitas pada obat-obat tersebut (Lewek
dkk., 2020).
- Pemberian kaptopril oral dengan dosis 25 – 50 mg dapat diberikan
dengan interval 1 – 2 jam (Dipiro, 2009).
- Labetalol dapat digunakan pada dosis 200 – 400 mgdengan interval
2 – 3 jam(Dipiro, 2009).
- Malignan HT dengan atau tanpa mikroangiopati trombotit atau
gagal ginjal akut dapat diberikan labetalol (Lewek dkk., 2020).
Diabetes - Diabetes melitus turut berhubungan dengan terjadinya hipertensi,
melitus khususnya pada DM tipe 2 (Alldredge dkk., 2013).
Glibenklamid - Glibenklamid merupakan obat DM golongan sulfonilurea. Dimana
obat golongan ini biasanya diberikan pada penderita DM tipe 2

27
ketika pengobatan gagal meskipun pasien telah melakukan diet dan
latihan fisik (Alldredge dkk., 2013).
- Efek samping dari glibenklamid yaitu hipoglikemia dan kenaikan
berat badan (biasanya 2 kg) serta dapat terjadi gangguan gastro
intestinal seperti mual dan rasa kembung, namun hal ini dapat
diatasi dengan mengkomsumsi glibenklamid bersama dengan
makanan (Alldredge dkk., 2013).
Metformin - Metformin merupakan obat DM golongan biguanide yang menjadi
lini pertama pada pengobatan DM tipe 2 (Alldredge, 2013).
- Efek samping dari metformin yaitu diare dan gangguan saluran
gastro intestinal lainnya seperti mual, rasa tidak nyaman pada perut,
dan anoreksia. Diare merupakan efek samping yang paling sering
terjadi (prevalensi 53,2%). Efek samping ini dapat dikurangi
dengan mengkonsumsi metformin dengan makanan (Alldredge,
2013).
- Efek samping dari metformin juga dapat dikurangi dengan
memberikan metformin pada dosis 500 mg 2 kali sehari (Alldredge
dkk., 2013).
Kaptopril - Kaptopril merupakan obat HT golongan ACEi yang merupakan
pilihan lini pertama pada HT (Dipiro, 2009).
- Efek samping penggunaan kaptopril yaitu batuk kering, yang
prevalensinya terjadi pada 20% pasien HT yang menerima terapi
dengan menggunakan obat ini (Dipiro, 2009).
- Pada pasien malignan HT atau HT urgensi, diperlukan obat
hipertensi yang mampu menurunkan tekanan darah dalam beberapa
jam saja. Dalam hal ini pemberian terapi oral aksi cepat dapat
digunakan, seperti kaptopril, atau klonidin, labetalol, atau
mnoxidil(Alldredge dkk, 2013).
- Dosis yang digunakan untuk kaptopril indikasi HT urgensi, yaitu
6,5 – 50 mg secara oral. Untuk mendapatkan hasil efek terapi yang
maksimal kaptopril harus diberikan beberapa kali dalam
sehari(Alldredge dkk, 2013).

28
- Kaptopril dengan dosis 50-100 mg merupakan pengobatan yang
paling poten untuk pasien HT dengan komplikasi DM bila
dibandingkan dengan enalpril dan delapril. Selain itu kaptopril juga
mampu meningkatkan sensitivitas insulin (Scheen, 2004).

3.2. Kasus 2
Anda adalah seorang apoteker rumah sakit yang mengunjungi bangsal medis umum
reguler Anda untuk memeriksa pasien dan memberikan saran farmasi. Mr.HA adalah
akuntan berusia 50 tahun yang telah dirawat 2 hari yang lalu di rumah sakit
Pemeriksaan pendahuluannya menunjukkan memar di lengan kiri dan paha atasnya
yang telah diresepkan parasetamol 1 g empat kali sehari dan ibuprofen 400 mg tiga kali
sehari.
Riwayat medis masa lalunya menunjukkan bahwa ia tidak dalam pengobatan dan
tampaknya cukup sehat untuk anak seusianya tanpa kondisi medis yang didiagnosis.
Pada pemeriksaan dia sedikit kelebihan berat badan di 81 kg, dia merokok 20 batang per
hari dan minum sekitar 30 unit alkohol per minggu. Tekanan darahnya saat masuk
adalah 165/80 mmHg dengan denyut jantung 90 detak per menit. Tingkat tekanan darah
dan detak jantung yang meningkat ini telah dipertahankan selama 48 jam terakhir. Dia
kemudian didiagnosis menderita hipertensi.
1. Apa itu hipertensi ?
2. Apa target pengobatan yang tepat untuk tekanan
darah pasien ini?
3. Selain tekanan darah, nasihat dan pengobatan apa
lagi yang diperlukan pasien ini untuk memastikan risiko kejadian
kardiovaskularnya berkurang? Berikan alasan yang jelas untuk saran Anda dan
jelaskan risiko yang terkait dengan tidak mengikuti saran ini.
4. Apa golongan utama obat yang digunakan untuk
mengobati hipertensi?
5. Golongan obat manakah yang sesuai untuk
pengobatan lini pertama bagi Pak HA? Bagaimana pilihan pengobatan ini akan
terpengaruh jika pasien berasal dari Afro-Carribbean?
6. Untuk salah satu kelas obat yang disebutkan dalam
pertanyaan 4, tunjukkan sebagai berikut:

29
 Obat dari kelas itu
 Dosis awal dan frekuensi yang sesuai
 Dosis maksimum untuk hipertensi
 Tiga kontraindikasi
 Tiga efek samping
7. Mengingat usia Bpk. HA ia memerlukan penilaian
risiko kardiovaskular. Bagaimana Anda menilai risiko kardiovaskular pasien ini?

3.2.1. Penyelesaian Kasus 2

Data demografi pasien


Nama : Tn. HA
Usia : 50 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat :-

Identifikasi permasalahan pasien


a. Data subjektif
- Pemeriksaannya menunjukkan memar dilengan kiri dan paha atasnya yang telah
diresepkan parasetamol 1g 4 kali sehari dan ibuprofen 400 mg 3 kali sehari
- Seorang perokok (20 batang per hari)
- Minum alkohol 30 unit per minggu
b. Data objektif

Berat badan : kelebihan berat badan, 81 kg


Tinggi badan :-
BMI :-
Tekanan darah : 165/80 mmHg
Denyut jantung : 90 detak per menit (nilai rujukan : 80 – 100 detak/menit)

c. Assesment/Evaluasi :

30
Data Data Problem medik Terapi DRP
subjektif objektif
TD : Hipertensi Belum diberikan
165/80 terapi
mmHg
Memar - Inflamasi Parasetamol 1g 4 kali Resiko terjadinya
dilengan sehari hepatotoksik karena
kiri dan Ibuprofen 400 mg 3 pemberian
paha atas kali sehari parasetamol
meningkat,
disebabkan pasien
rutin minum alkohol
setiap minggu
(seorang alkoholik)
(Kuffner dkk., 2007)

d. Planning
1. Apa yang dimaksud dengan hipertensi ?
Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri yang persisten.
Hipertensi didiagnosa ketika tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan/atau tekanan
darah diastolik ≥ 90 mmHg, dimana pengukuran tekanan darah dilakukan secara
berulang (2 kali pengulangan dengan interval pengukuran 1 – 2 menit, (JNC 8,
2014)

2. Saran dan perawatan apa lagi yang dibutuhkan pasien ini untuk memastikan resiko
penyakit kardiovaskularnya berkurang?
Gaya hidup sehat dapat mencegah atau memperlambat kejadian meningkatnya
tekanan darah dan resiko kardiovaskularsecara keseluruhan. Secara khusus pasien

31
perlu didorong untuk menurunkan berat badan, berhenti merokok dan mengurangi
konsumsi alkoholnya hingga batas yang disarankan.

3. Berikan alasan yang jelas untuk saran anda dan jelaskan resiko yang terkait apabila
tidak menerima saran ini?
Gaya hidup sehat dapat mencegah atau memperlambat kejadian meningkatnya
tekanan darah dan resiko kardiovaskular. Modifikasi gaya hidup merupakan lini
pertama pengobatan antihipertensi. Modifikasi gaya hidup juga mampu
meningkatkan efek dari terapi obat antihipertensi yang tengah dilaksanakan.
 Menurunkan berat badan diindikasikan untuk menghindari terjadinya obesitas,
terutama obesitas abdominal. Penghitungan nilai BMI dan ukuran pinggang
dapat mengacu pada guideline yang spesifik pada ras tertentu. Rekomendasi
perbandingan pinggang dengan tinggi badan < 0,5. Untuk pasien umur 40-50
tahun nilai rekomendasi 0,5 – 0,6. Untuk pasien dengan umur > 50 tahun nilai
rekomendasi 0,6.
 Merokok merupakan faktor resiko utama penyakit kardiovaskular, penyakit
paru obstruktif kronik, dan kanker. Sehingga berhenti merokok merupakan
rencana perubahan gaya hidup yang disarankan.
 Konsumsi alkohol memiliki hubungan yang sangat erat dengan resiko
terjadinya penyakit kardiovaskular, peningkatan tekanan darah, serta prevalensi
(angka kejadian) hipertensi. Batasan konsumsi alkohol perhari yang
direkomendasikan adalah 2 standar minuman untuk laki-laki dan 1,5 untuk
perempuan (10 g alkohol/standar minuman). Menghindari pesta mabuk-
mabukan.
Dimana, 1 unit alkohol = 10 ml = 8 g
- Pasien ini mengkonsumsi 30 unit per minggu, maka = 240 g = 24 standar
minuman per minggu (melebihi batas yang direkomendasikan yaitu 14
standar minuman per minggu)

4. Apa lini pertama dari obat yang digunakan untuk mengobati hipertensi?

32
5. Kelas obat mana yang akan menjadi pengobatan lini pertama yang sesuai untuk Tn.
HA? Bagaimana pemilihan pengobatan ini jika pasien tersebut berasal dari afro
karibia?
Menurut JNC 8 golongan obat lini pertama untuk pasien Tn. HA yang nonblack
yaitu dapat menggunakan tiazid, CCB, ACEi atau ARB. Sedangkan apabila pasien
Tn. HA berasal dari afro karibia maka dapat menggunakan tiazid atau CCB.
Menurut ASH golongan obat lini pertama untuk pasien Tn. HA yang nonblack
dengan umur < 60 tahun maka dapat menggunakan ACEi atau ARB. Sedangkan
apabila pasien Tn. HA berasal dari afro karibia maka dapat menggunakan CCB atau
tiazid.

6. Untuk salah satu kelas obat yang disebutkan dalam pertanyaan nomor 4:
- Obat-obat dari golongan tersebut
- Dosis pemberian awal dan frekuensi pemberian
- Dosis maksimum untuk hipertensi
Nama obat Dosis pemberian awal Frekuensi pemberian Dosis maksimum
Azilsartan 40 mg 1 80 mg
Candesartan 8 mg 1 atau 2 32 mg
Eprosartan 600 mg 1 atau 2 800 mg
Irbesartan 150 mg 1 300 mg
Losartan 50 mg 1 atau 2 100 mg
Olmesartan 20 mg 1 40 mg
Telmisartan 20 mg 1 80 mg
Valsartan 80 mg 1 320 mg

33
- Kontraindikasi ARB : Pasien dengan stenosis arteri ginjal bilateral mungkin
mengalami gagal ginjal jika ARB diberikan, ibu hamil dan menyusui (Klabunde,
2011)
- Efek samping ARB : hipotensi dapat terjadi pada pasien dengan kadar renin
tinggi seperti Hipovolemia, gagal jantung, hipertensi renovaskuler, dan sirosis
hepatis. Hiperkalemia dapat terjadi pada keadaan terentu misalnya insufisiensi
ginjal. Efek samping lainnya: pusing, sakit kepala, diare, penurunan Hb, ruam,
abnormal taste sensation (metallic taste) (Anonim, 2019) insufisiensi ginjal
(Depkes, 2006

7. Mengingat usia Tn. HA, ia memerlukan penilaian kardiovaskular. Bagaimana anda


menilai resiko kardiovaskular pasien ini?
Penyakit kardiovaskular (PKV) merupakan penyebab utama terjadinya
mortalitas dan morbiditas diseluruh dunia. Rokok, kurangnya aktivitas fisik, dan
konsumsi makanan dan minuman tidak sehat dapat meningkatkan terjadinya
hipertensi, hiperlipidemia, dan hiperglikemia. Dimana penyakit tersebut
menjelaskan 75% dari penyakit kardiovaskular. Faktor resiko yang lain yang dapat
meningkatkan terjadinya penyakit kardiovaskular antara lain umur (> 40 tahun),
jenis kelamin, obesitas, riwayat personal, riwayat keluarga, serta sosioekonomi dari
pasien tersebut (Mendis, 2005).
Penggunaan Framingham Risk Score(FRS) telah banyak digunakan
diberbagai kelompok negara,kelompok populasi,atau etnis tertentu. Menurut
studioleh Nurwidyaningtyas, Kholifah, dan Rahma (2014),alat ukur inibelum
umum dgunakandimasyarakat.Hal inidapat terjadi karena masyarakat kurang
memahami bahwakelompokrisikotinggi PKVdapat diidentifikasi dengancarayang
dapatdilakukanbaikoleh kader,warga,atau justrukeluarga intisendiri.
Deteksidinikelompokrisikoinidapat menahanpeningkatan prevalensi PKV
(Martiningsih dan Haris, 2019).

34
35
DAFTAR PUSTAKA

Alldredge, B., Corelli, R., Ernst, M., Guglielmo, B. J., Jacobson, P. A., Kradjan, W. A.,
dan Williams, B. R., 2013, Koda-Kimble and Young’s Applied Therapeutics
The Clinical Use of Drugs, Lippincot, Williams & Wilkins, New York.

American Society of Hypertension (ASH), 2014, Treatment of Hypertension,


Pharmacist Letter.

Anonim. 2007, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 7 2007/2008, CMP Medica,
Jakarta.

Anonim, 2019, Basic Pharmacology and Drug Notes Edisi 2019, Team Medical Mini
Notes, Makassar.

Brian, H., Golbout, M. D., Michael, H., Davidson, M. D, 2005, Cardiovascular Disease
Practical Application of the NCEP ATP III Update Patient Care, The Journal of
Best Clinical Practices for Tody’s Pyhsicians.

Chobanian, A.V., Bakris, J.L., Black, H.R., Cushman, W.C., Green, L.A., Izzo, Jr, J.L.,
Jones, DW., et al., 2003. The seventh report of The Joint National Committee on
prevention, detection, evaluation and treatment of high blood
pressure.http://hyper.ahajournals.org/cgi/content/full/42/6/1206, diakses 28
April 2009.

Dipiro, J. T., Wells, B. G., Schwinghammer, T. L., dan Dipiro, C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition, McGraw-Hill Education, America.

Departemen Menteri Kesehatan., 2006, Pharmaceutical Care untuk Penyakit


Hipertensi, Departemen Kesehatan, Jakarta.

Goodman dan Gilman. 2008. Dasar Farmakologi Terapi Vol 1. Edisi 10, Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Joint National Committee (JNC 8), 2014, Treatment of Hypertension, Pharmacist Letter.

36
Klabunde, RE., 2011, Cardiovascular Pharmacology Concepts, Lippincot, Williams &
Wilkins, New York.

Kuffner, E. K., Greem, J. L., Bogdan, G. M., Knox, P. C., Palmer, R. B., Heard, K.,
Slattery, J. T., dan Dart, R. C., 2007, The Effect of Acetaminophen (Four Grams
a Day for Three Consecutive Days) on Hepatic Test in Alcoholic Patients –
Multicenter Randomized Study, BMC Medicine, Vol. 5, No. 13.

Lewek, J., Dabrowa, A. B., Maciejewski, M., dan Banach, M., 2020 Pharmacological
Managemenht of Malignant Hypertension, Expert Opinion on
Pharmacotheraphy.

Mardjono, M. 2007. Departemen Farmakologi Klinik dan Terapetik.Edisi ke-5. Fakultas


Kedokteran. Jakarta : Universitas Indonesia.

Medscape, (2020, 13 Oktober), Framingham Risk Score (2008).

PERKI, 2015, Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular Edisi


Pertama, PERKI, Jakarta.

Robbins, S.L., Cotran, R.S., Kumar, V. 2007. Buku Ajar Patologi Vol 2.Edisi 7.
Diterjemahkan oleh Pendit, B.U, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Scheen, Andre J., 2004, Preventin of Type 2 Diabetes Mellitus Through Inhibition of
The Renin-Angiotensin System, Drugs,Vol. 64, No. 22.

Tjay, T.H, dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting, Edisi VI. Cetakan Pertama, PT
Elex Media Komputindo Gramedia, Jakarta.

Unger, T., Borghi, C., Charchar, F., Khan, N. A., Poulter, N. R., Prabhakaran, D.,
Ramirez, A., Schlaich, M., Stergiou, G. S., Tomaszewski, M., Wainford, R. D.,
Williams, B., dan Schutte, A. E., 2020, 2020 International Society of
Hypertension Global Hypertension Practice Guidelines, 2020 American Heart
Association, Inc., America.

37

Anda mungkin juga menyukai