Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FARMASI DAN KLINIS

PIO PADA PASIEN DIABETES MELLITUS

Disusun Oleh :
ADE PUTRA NIM 18334022
MUHAMMAD MURYANSYAH NIM 18334023
LIONY CITRA DEWI NIM 18334024
MUHAMAD YUDA PRATOMO NIM 18334025
DARA RAHMA AYU NIM 20334778

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rakhmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul "PIO Diabetes Mellitus" ini dengan baik.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Farmasi
Klinik dan Rumah Sakit di Institut Sains dan Teknologi Jakarta. Pada kesempatan
ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Ainun Wulandari, S. Farm.,
M. Sc., Apt. selaku dosen pembimbing mata kuliah Farmasi Klinik dan Rumah
Sakit. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga tersusunnya makalah ini.
Penulis mengharapkan semoga makalah ini membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga penulis dapat
memperbaiki isi makalah ini agar kedepannya dapat lebih baik lagi. Makalah ini
penulis akui masih banyak kekurangan karena pengalaman dan pengetahuan yang
dimiliki sangat kurang. Oleh kerena itu, penulis harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan seperti kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, Maret 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 6
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................ 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 7
2.1 Pelayanan Informasi Obat............................................................... 7
2.2 Diabetes Mellitus............................................................................. 9
BAB III PEMBAHASAN............................................................................... 11
3.1 Manfaat dan Tujuan Pelayanan Informasi Obat.............................. 11
3.2 Fungsi Pelayanan Informasi Obat................................................... 12
3.3 Langkah-langkah Sistem Pelayanan Informasi Obat...................... 12
3.4 Diabetes Mellitus............................................................................. 13
3.5 Klasifikasi Diabetes Mellitus.......................................................... 13
3.6 Pengobatan pada Pasien Diabetes Mellitus..................................... 14
3.7 Penatalaksanaan Terapi Diabetes Mellitus...................................... 16
3.8 Pelayanan Informasi Obat kepada Pasien Diabetes Mellitus.......... 17
3.9 Analisis Resep Diabetes Mellitus.................................................... 17
BAB IV PENUTUP......................................................................................... 19
4.1 Kesimpulan...................................................................................... 19
4.2 Saran................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 20

iii
4

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah mengalami perubahan orientasinya dari obat ke
pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang
awalnya hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang
komprensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Pelayanan
kefarmasian adalah salah tanggung jawab dari apoteker untuk memaksimalkan terapi dengan
cara mencegah dan memecahkan masalah terkait obat (Drug Related Problem).
Pelayanan kefarmasian meliputi penampilan, keramahan petugas, Pelayanan Informasi
Obat (PIO), ketersediaan obat, dan kecepatan pelayanan. Kepuasan pasien menggunakan jasa
apoteker merupakan cerminan hasil dari mutu pelayanan kesehatan yang diberikan dalam
suatu sarana kefarmasian. Pelayanan tersebut dapat berupa interaksi dengan pelayanan medis,
pasien, atau sistem pelayanan kesehatan secara keseluruhan baik itu dari administrasi,
keuangan, serta tenaga kesehatan.
Pelayanan Informasi Obat (PIO) didefinisikan sebagai kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, komprehensif, serta terkini
oleh apoteker kepada pasien, masyarakat maupun pihak yang memerlukan. Unit ini dituntut
untuk dapat menjadi sumber terpercaya bagi para pengelola dan pengguna obat, sehingga
mereka dapat mengambil keputusan dengan lebih tepat.
Diabetes Mellitus merupakan salah satu penyakit yang perlu diperhatikan dalam
pelayanan informasi obat kepada penderitanya. Diabetes adalah salah satu diantara
penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya dimasa mendatang. Diabetes
merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia abad 21. WHO
membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes diatas umur 20
tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun
2025 jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang (Suyono, 2006). Diabetes
mellitus tipe II merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya
dibandingkan Diabetes Mellitus tipe I. Penderita diabetes mellitus tipe II mencapai 90-95
% dari keseluruhan populasi penderita DM.
Diabetes Mellitus (DM) pada geriatri terjadi karena timbulnya resistensi insulin
pada usia lanjut yang disebabkan oleh 4 faktor : pertama adanya perubahan komposisi

4
5

tubuh, komposisi tubuh berubah menjadi air 53%, sel solid 12%, lemak 30%, sedangkan
tulang dan mineral menurun 1% sehingga tinggal 5%. Faktor yang kedua adalah
turunnya aktivitas fisik yang akan mengakibatkan penurunan jumlah reseptor insulin
yang siap berikatan dengan insulin sehingga kecepatan transkolasi GLUT-4
(glucosetransporter-4) juga menurun. Faktor ketiga adalah perubahan pola makan pada
usia lanjut yang disebabkan oleh berkurangnya gigi geligi sehingga prosentase (DHtAS)
plasma (Rachmah, 2006).
Prevalensi DM pada lanjut usia (geriatri) cenderung meningkat, hal ini
dikarenakan DM pada lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dipengaruhi faktor
intrinsik dan ekstrinsik. Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiri
dalam pengaruhnya terhadap perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa. Dari jumlah
tersebut dikatakan 50% adalah pasien berumur > 60 tahun (Gustaviani, 2006).
Populasi penderita diabetes di Indonesia diperkirakan berkisar antara 1,5 sampai 2,5%
kecuali di Manado 6%. Dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta jiwa, berarti lebih kurang
3-5 juta penduduk Indonesia menderita diabetes. Tercatat pada tahun 1995, jumlah penderita
diabetes di Indonesia mencapai 5 juta jiwa, dan jumlah ini terus meningkat setiap tahunnya.
Walaupun Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik yang tidak menyebabkan kematian
secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal bila pengelolaan dan kepatuhan minum obat
pasiennya tidak tepat. Maka dari itu perlu diperhatikan dalam Pelayanan Informasi Obat yang
di sampaikan dari Apoteker kepada penderita Diabetes Mellitus agar disiplin dalam
mencakup terapi non-obat dan terapi obat.
Apoteker, terutama bagi yang bekerja di sektor kefarmasian komunitas, memiliki
peran yang sangat penting dalam keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Mendampingi,
memberikan konseling dan bekerja sama erat dengan penderita dalam penatalaksanaan
diabetes sehari-hari khususnya dalam terapi obat merupakan salah satu tugas profesi
kefarmasian. Membantu penderita menyesuaikan pola diet sebagaimana yang disarankan ahli
gizi, mencegah dan mengendalikan komplikasi yang mungkin timbul, mencegah dan
mengendalikan efek samping obat, memberikan rekomendasi penyesuaian rejimen dan dosis
obat yang harus dikonsumsi penderita bersama-sama dengan dokter yang merawat penderita,
yang kemungkinan dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi penderita,
merupakan peran yang sangat sesuai dengan kompetensi dan tugas seorang apoteker.
Demikian pula apoteker dapat juga memberikan tambahan ilmu pengetahuan kepada
penderita tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kondisi dan pengelolaan diabetes,
mulai dari pengetahuan tentang etiologi dan patofisiologi diabetes sampai dengan

5
6

farmakoterapi dan pencegahan komplikasi yang semuanya dapat diberikan dengan bahasa
yang mudah dipahami, disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan kondisi penderita.
Pentingnya peran apoteker dalam keberhasilan penatalaksana diabetes ini menjadi lebih
bermakna karena penderita diabetes umumnya merupakan pelanggan tetap sarana
kefarmasian, sehingga frekuensi pertemuan penderita diabetes dengan apoteker di suatu
sarana kefarmasian mungkin lebih tinggi daripada frekuensi pertemuannya dengan dokter.
Peluang ini seharusnya dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam rangka memberikan
pelayanan kefarmasian termasuk Pelayanan Informasi Obat yang profesional.
Berdasarkan latar belakang inilah makalah berjudul Pelayanan Informasi Obat kepada
pasien Diabetes Mellitus ini di tulis.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang, maka dapat di rumuskan suatu permasalahan yaitu
1. Apakah yang dimaksud dengan PIO?
2. Apakah manfaat dan tujuan PIO pada pasien Diabetes Mellitus?
3. Apakah langkah-langkah dalam PIO pada pasien Diabetes Mellitus?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan PIO
2. Untuk mengetahui manfaat dan tujuan PIO pada pasien penderita Diabetes
Mellitus
3. Untuk mengetahui langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam PIO pada
paisen penderita Diabetes Mellitus

6
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Informasi obat adalah setiap data atau pengetahuan objektif, diuraikan secara ilmiah
dan terdokumentasi mencangkup farmakologi, toksikologi, dan penggunaan terapi obat.
Cakupan informasi obat antara lain nama kimia, struktur dan sifat-sifat, identifikasi, indikasi
diagnosi atau indikasi terapi, ketersediaan hayati, toksisitas, mekanisme kerja, waktu mulai
bekerja dan durasi kerja, dosis dan jadwal pemberian, dosis yang direkomendasikan,
konsumsi, absorbsi, metabolisme, detoksifikasi, ekskresi, efek samping, reaksi merugikan,
kontraindikasi, interaksi obat, harga, keuntungan, tanda, gejala, dan data penggunaan obat.
Pelayanan informasi obat didefinisikan sebagai kegiatan penyediaan dan pemberian
informasi, rekomendasi obat yang akurat dan terkini, oleh tenaga kefarmasian kepada pasien,
masyarakat, profesional kesehatan yang lain, dan pihak-pihak yang memerlukan (Kurniawan
dan Chabib, 2010).
Sedangkan pemberian informasi obat adalah salah satu tahap pada pelayanan resep
untuk menghindari masalah yang berkaitan dengan terapi obat. Pemberian informasi obat
memiliki peran yang penting dalam rangka memperbaiki kualitas hidup pasien dan
menyediakan pelayanan yang bermutu bagi pasien (Athiyah, 2014).
Adapun tujuan Pelayanan Informasi Obat (PIO) meliputi : a. Menyediakan informasi
mengenai obat kepada tenaga kesehatan lain di lingkungan puskesmas, pasien dan
masyarakat. b. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan
obat (contoh : kebijakan permintaan obat oleh jaringan dengan 11 mempertimbangkan
stabilitas, harus memiliki alat penyimpanan yang memadai). c. Menunjang penggunaan obat
yang rasional (PermenkesNo. 74 tahun 2016). Kegiatan Pelayanan Informasi Obat (PIO) a.
Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara pro aktif dan pasif.
Kegiatan PIO berupa penyediaan dan pemberian informasi obat yang bersifat aktif atau pasif.
Pelayanan bersifat aktif apabila apoteker pelayanan informasi obat memberikan informasi
obat dengan tidak menunggu pertanyaan melainkan secara aktif memberikan informasi obat,
misalnya penerbitan buletin, brosur, leaflet, seminar dan sebagainya. Pelayanan bersifat pasif

7
8

apabila apoteker pelayanan informasi obat memberikan informasi obat sebagai jawaban atas
pertanyaan yang diterima b. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan
melalui telepon, surat atau tatap muka. Menjawab pertanyaan mengenai obat dan
penggunaannya merupakan kegiatan rutin suatu pelayanan informasi obat. Pertanyaan yang
masuk dapat disampaikan secara verbal (melalui telepon, tatap muka) atau tertulis (surat
melalui pos, faksimili atau e-mail). Pertanyaan mengenai obat dapat bervariasi dari yang
sederhana sampai yang bersifat urgen dan kompleks yang membutuhkan penelusuran literatur
serta evaluai secara seksama c. Membuat buletin, leaflet, label obat, poster, majalah dinding
dan lain-lain. d. Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap, serta
masyarakat. e. Melakukan pendidikan dan atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga
kesehatan lainnya terkait dengan obat dan bahan medis habis pakai. f. Mengkoordinasikan
penelitian terkait obat dan kegiatan pelayanan kefarmasian (Permenkes No. 30, 2014).
Pelayanan Informasi Obat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses
terapi rasional. Kegiatan Penyerahan (Dispensing) dan pemberian informasi obat merupakan
kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap menyiapkan/meracik obat, memberikan
label/etiket, menyerahan sediaan farmasi dengan informasi yang memadai disertai
pendokumentasian (Permenkes No. 74 Tahun 2016). Pelayanan informasi obat adalah salah
satu tahap pada pelayanan resep untuk menghindari masalah yang berkaitan dengan terapi
obat. Pemberian informasi obat memiliki peran yang penting dalam rangka memperbaiki
kualitas hidup pasien dan menyediakan pelayanan yang bermutu bagi pasien (Athiyah, 2014).
Tujuan Pemberian Informasi Obat a. Pasien memperoleh obat sesuai dengan
kebutuhan klinis atau pengobatan b. Pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi
intruksi pengobatan (Permenkes No. 74 Tahun 2016) 3. Pemberian Informasi Obat
Berdasarkan lembar checklist pemberian informasi obat pasien rawat jalan Permenkes Nomor
74 Tahun 2016, terdiri dari : a. Nama obat adalah Informasi mengenai identitas atau nama
dari suatu obat. b. Sediaan obat adalah Informasi tentang jenis obat dalam bentuk sediaan
obat dalam bentuk kapsul dan tablet. c. Dosis adalah Informasi tentang jumlah atau ukuran
yang diharapakan dapat menghasilkan efek terapi pada fungsi tubuh yang mengalami
gangguan d. Cara memakai obat adalah informasi tentang cara menggunakan obat, frekuensi,
dan cara penggunaan obat yang benar terutama untuk sediaan farmasi tertentu seperti
sublingual, suppositoria, dan frekuensi pemberian obat sesuai dengan farmakokinetik, seperti
3 kali sehari, serta penggunaan obat berdasarkan resorpsi seperti sebelum/sesudah makan. 13
e. Penyimpanan obat adalah Informasi tentang aturan yang digunakan untuk penyimpanan
obat,contoh simpan di tempat sejuk. f. Indikasi obat adalah Informasi tentang

8
9

khasiat/kegunaan dari suatu obat. g. Interaksi obat adalah informasi tentang dimana kerja obat
dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan h. Efek samping obat adalah informasi
tentang peringatan mengenai dampak atau efek yang akan timbul setelah mengkonsumsi obat.
2.2 Diabetes Mellitus
Informasi obat yang baik sangat diperlukan pada terapi jangka panjang, antara lain
pada pasien Diabetes Mellitus, epilepsi, TBC dan penyakit kronis lainnya. Informasi obat ini
biasanya dilakukan pada saat penyerahan obat kepada pasien. Informasi obat yang diberikan
pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan, jangka
waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
Pada terapi jangka panjang perlu juga disampaikan untuk kontrol ke dokter sebelum obatnya
habis karena terapi harus dilakukan terus-menerus secara rutin untuk jangka waktu lama agar
terapinya berhasil baik. Konseling bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien atau agar
yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan
farmasi atau alat kesehatan lain. Edukasi dilakukan oleh apoteker untuk meningkatkan
pengetahuan pasien, informasi yang diberikan dapat berupa lisan, leaflet/brosur, atau media
lain yang cocok sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatannya.
Diabetes Mellitus (DM) timbul karena defisiensi sintesis dan sekresi insulin atau
resisten terhadap kerja insulin. Diagnosis DM ditegakkan dengan mengukur kadar glukosa
darah puasa dan 2 jam setelah makan (kadang-kadang dengan uji toleransi glukosa).
Berdasarkan klasifikasinya diabetes dibedakan atas diabetes tipe 1 dan diabetes tipe 2.
Diabetes tipe 1, yang bergantung pada insulin (IDDM), timbul karena defisiensi insulin
akibat pengrusakan autoimun sel beta pankreas. Penderita diabetes melitus tipe 1
membutuhkan pemberian insulin. Diabetes tipe 2, yang tidak bergantung pada insulin
(NIDDM), timbul karena penurunan sekresi insulin atau resistensi periferal terhadap kerja
insulin. Walaupun ada penderita yang dapat mengatur kadar gula hanya dengan diet, tapi
banyak juga yang membutuhkan obat antidiabetik oral atau insulin (atau keduanya) untuk
mengendalikan kadar gula darah. Untuk penderita dengan berat badan berlebih, diabetes tipe
2 dapat dicegah dengan menurunkan berat badan dan meningkatkan aktifitas fisik.
Pengobatan semua tipe diabetes ditujukan untuk mengurangi gejala dan risiko komplikasi
jangka panjang, oleh karena itu diabetes perlu dikendalikan secara ketat (BPOM, 2021).
Diabetes Mellitus adalah suatu gangguan metabolic yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi insulin dan kerja insulin.
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa di dalam
darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat.

9
10

Kadar glukosa darah setiap hari bervariasi, kadar gula darah akan meningkat setelah makan
dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa darah normal pada pagi hari sebelum
makan atau berpuasa adalah 70 -110 mg/dL darah. Kadar gula darah normal biasanya kurang
dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah makan atau minum cairan yang mengandung gula
maupun mengandung karbohidrat (Irianto, 2015).
Orang lanjut usia mengalami kemunduran dalam sistem fisiologisnya seperti kulit
yang keriput, turunnya tinggi badan, berat badan, kekuatan otot, daya lihat, daya dengar,
kemampuan berbagai rasa (senses), dan penurunan fungsi berbagai organ termasuk apa yang
terjadi terhadap fungsi homeostatis glukosa, sehingga penyakit degeneratif seperti DM akan
lebih mudah terjadi (Rochmah, 2006). Umur secara kronologis hanya merupakan suatu
determinan dari perubahan yang berhubungan dengan penerapan terapi obat secara tepat pada
orang lanjut usia. Terjadi perubahan penting pada respon terhadap beberapa obat yang terjadi
seiring dengan bertambahnya umur pada sejumlah besar individu (Katzung, 2004).
Diabetes Mellitus (DM) pada geriatri terjadi karena timbulnya resistensi insulin pada
usia lanjut yang disebabkan oleh 4 faktor : pertama adanya perubahan komposisi tubuh,
komposisi tubuh berubah menjadi air 53%, sel solid 12%, lemak 30%, sedangkan tulang dan
mineral menurun 1% sehingga tinggal 5%. Faktor yang kedua adalah turunnya aktivitas fisik
yang akan mengakibatkan penurunan jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan
insulin sehingga kecepatan transkolasi GLUT-4 (glucosetransporter-4) juga menurun. Faktor
ketiga adalah perubahan pola makan pada usia lanjut yang disebabkan oleh berkurangnya gigi
geligi sehingga prosentase bahan makanan karbohidrat akan meningkat. Faktor 3 keempat
adalah perubahan neurohormonal, khususnya Insulin Like Growth Factor-1 (IGF-1) dan
dehydroepandrosteron (DHtAS) plasma (Rochmah, 2006).
Diabetes Melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat
kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Diabetes Mellitus (DM) merupakan
penyakit yang menjadi masalah pada kesehatan masyarakat. Oleh karena itu DM
tercantum dalam urutan keempat prioritas penelitian nasional untuk penyakit degeneratif
setelah penyakit kardiovaskuler, serebrovaskuler, rheumatik dan katarak (Tjokroprawiro,
2001).

10
11

BAB III
PEMBAHASAN

Menurut KEPMENKES RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar


Pelayanan Kefarmasian, konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik
antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan
dengan obat dan pengobatan. Melalui konseling, apoteker dapat mengetahui kebutuhan
pasien saat ini dan yang akan datang. Apoteker dapat memberikan informasi kepada pasien
apa yang perlu diketahui oleh pasien, keterampilan apa yang harus dikembangkan dalam diri
pasien, dan masalah yang perlu di atasi. Selain itu, apoteker diharapkan dapat menentukan
perilaku dan sikap pasien yang perlu diperbaiki.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1197/MENKES/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit, Pelayanan
Informasi Obat merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk
memberikan informasi secara akurat, tidak bias, dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat,
profesi kesehatan lainnya dan pasien. Definisi pelayanan informasi obat adalah pengumpulan,
pengkajian, pengevaluasian, pengindeksan, pengorganisasian, penyimpanan, peringkasan,
pendistribusian, penyebaran serta penyampaian informasi tentang obat dalam berbagai bentuk
dan berbagai metode kepada pengguna nyata. Adapun ciri-ciri pelayanan informasi obat
meliputi : mandiri (bebas dari segala bentuk keterikatan), objektif (sesuai dengan kebutuhan),
seimbang, Ilmiah, dan berorientasi kepada pasien dan pro aktif.
Pelayanan Informasi Obat dapat bersumber dari : Sumber daya, misalnya tenaga
kesehatan yaitu dokter, apoteker, dokter gigi, perawat, tenaga kesehatan lain. Pustaka : terdiri
dari majalah ilmiah, buku teks, laporan penelitian dan Farmakope. Sarana : fasilitas ruangan,
peralatan, komputer, internet, dan perpustakaan. Prasarana : Industri Farmasi, Badan POM,
Pusat Informasi Obat, Pendidikan tinggi farmasi,
3.1. Manfaat dan Tujuan Pelayanan Informasi Obat
Konseling dan PIO tentu sangat bermanfaat dan memiliki tujuan dalam tata pelayanan
kefarmasian, dimana manfaat dan tujuan tersebut yaitu :
1. Bagi pasien : menjamin keamanan dan efektifitas pengobatan, mendapatkan penjelasan
tambahan mengenai penyakitnya, membantu dalam merawat dan perawatan kesehatan

11
12

sendiri, membantu pemecahan masalah terapi dalam situasi tertentu, menurunkan kesalahan
penggunaan obat, meningkatkan kepatuhan dalam menjalankan terapi, menghindari reaksi
obat yang tidak diinginkan, dan meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya kesehatan.
2. Bagi Farmasi : menjaga citra profesi sebagai bagian dari tim pelayan kesehatan,
mewujudkan bentuk pelayanan asuhan kefarmasian sebagai tanggung jawab profesi Farmasi,
menghindari farmasi dari tuntutan karena kesalahan penggunaan obat (Medication Error),
suatu pelayanan tambahan untuk menarik pelanggan sehingga menjadi upaya dalam
memasarkan jasa pelayanan.
Adapun tujuan pelayanan informasi obat yaitu:
a. Menunjang ketersediaan dan penggunaan obat yang rasional, berorientasi pada pasien,
tenaga kesehatan, dan pihak lain.
b. Menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga kesehatan, dan pihak
lain.
c. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan
obat
terutama bagi PFT/KFT (Panitia/Komite Farmasi dan Terapi).
3.2 Fungsi Pelayanan Informasi Obat
Adapun fungsi pelayanan informasi obat yaitu :
a. Memberikan respon terhadap pertanyaan tentang obat
b. Memberikan masukan terhadap komite farmasi dan terapi di RS
c. Drug utilization review (DUR)/drug utilization review evaluation (DUE)
d. Pelaporan efek samping obat (MESO)
e. Pembuatan buletin / newsletter
f. Edukasi
g. Riset dan penelitian
3.3 Langkah-langkah sistem Pelayanan Informasi Obat
Berikut langkah yang perlu dilakukan dalam pelayanan informasi obat, yaitu :
1. Libatkan pasien; ciptakan suasana dimana pasien menyadari kalau anda tertarik dan
peduli dan bersedia untuk membantu menangani masalah yang berhubungan dengan
obat.
2. Spesifik; dapatkan rincian spesifik bila pasien mendiskusikan masalah obatnya.
Misalnya, bila pasien meloncati jadwal minum obatnya, tanyakan apakah ini terjadi
pada waktu tertentu setiap harinya atau untuk obat-obat tertentu saja.

12
13

3. Identifikasi hambatan utama yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam minum


obatnya seperti disebutkan diatas:
4. Apakah pasien mengerti cara meminum obatnya?
5. Apakah regimen obat terlalu kompleks?
6. Apakah pasien mengerti keuntungan utama dari obatnya?
7. Apakah pasien mengerti kalau obat dapat membantu walaupun pasien tidak
merasakan keuntungannya?
8. Apakah biaya menjadi masalah?

3.4 Diabetes Mellitus


Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya
kenaikan kadar gula darah (hiperglikemia) kronik. Keadaan hiperglikemia kronik
tersebut dapat mengenai banyak orang pada semua lapisan masyarakat di seluruh dunia
(Waspadji, 1995). Diabetes Mellitus ditandai oleh hiperglikemia serta gangguan-
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang bertkaitan dengan defisiensi
absolut atau relativ aktivitas dan atau sekresi insulin. Karena itu meskipun diabetes
asalnya merupakan endokrin, manifestasi pokoknya adalah penyakit metabolik.
Definisi lain menyebutkan diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh,
terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World Health Organization
(WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat
dituangkan dalam suatu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah
faktor dimana dapat defisiensi insulin absolut atau relativ dan gangguan fungsi insulin.
3.5 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus diklasifikasikan menjadi 2 kelompok utama yaitu DM tipe 1 dan 2,
disamping DM yang terjadi pada kasus kehamilan dan DM yang terjadi akibat sebab sebab
lain. Sebagian besar pasien diabetes diklasifikasikan ke dalam salah satu dari dua kategori
yaitu diabetes tipe 1 disebabkan oleh kekurangan mutlak insulin, atau diabetes tipe 2
didefinisikan oleh adanya resistensi insulin dengan peningkatan kompensasi memadai dalam
sekresi insulin. Wanita yang menderita diabetes karena stres kehamilan diklasifikasikan

13
14

sebagai gestational diabetes. Diabetes yang disebabkan oleh infeksi, obatobatan,


endocrinopathies, kerusakan pankreas, dan cacat genetik diklasifikasikan secara terpisah.
a. Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 1 terjadi akibat kerusakan autoimun dari sel B-pankreas.
Tanda kerusakan diantaranya kekebalan sel B pada saat diagnosis dalam 90% adalah
terbentuknya islet sel antibodi, terbentuknya antibodi terhadap dekarboksilase asam
glutamat, dan antibodi terhadap insulin. DM tipe ini dapat terjadi pada semua usia.
DM tipe 1 yang terjadi pada anak-anak dan remaja akan memiliki tingkat kehancuran
sel B-pankreas yang lebih cepat dan sering kali disertai dengan ketoasidosis.
Sedangkan bila terjadi pada orang dewasa umumnya kelompok pasien ini lebih
mampu mempertahankan sekresi insulin yang cukup dan mencegah terjadinya
ketoasidosis selama bertahun tahun, yang sering disebut dengan istilah diabetes
autoimun laten pada orang dewasa (latent autoimmune diabetes in adults (LADA)).
Gejala klinik pada diabetes mellitus tipe 1 adalah Poliuri, Polidipsi, Polifagi, cepat
lelah (fatigue), berat badan menurun drastis, gatal-gatal pada kulit.
b. Diabetes tipe 2, Diabetes tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin dan kurangnya
relatife sekresi insulin, dengan sekresi insulin semakin rendah dari waktu ke waktu.
Sebagian besar pasien DM tipe 2 ditandai dengan obesitas perut (buncit) yang
menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Selain itu hipertensi, dislipidemia (tinggi
trigliserida dan rendah HDL kolesterol), dan tingginya level penghambatan
plasminogen activator tipe 1 (PAI-1) sering menyertai kondisi DM tipe 2 ini.
Klasifikasi DM ini mengacu pada “sindrom resistensi insulin” atau “gangguan
metabolic”. Pasien DM tipe 2 beresiko mengalami komplikasi makrovaskular.
Kejadian DM tipe 2 memiliki predisposisi yang kuat dengan faktor genetik dan dapat
terjadi pada semua etnis selain yang keturunan eropa. Namun bagaimana faktor
genetik mempengaruhi perkembangan DM tipe 2 ini belum diketahui secara jelas.
Gejala klinik pada diabetes mellitus tipe 2 adalah hampir tidak dirasakan gejalanya.
Penanganan biasanya baru dimulai ketika komplikasi sudah terjadi, mudah terkena
infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan memburuk, umumnya menderita
hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga, komplikasi pada pembuluh darah dan
syaraf.
c. Gestasional Diabetes Mellitus (GDM), GDM didefinisikan sebagai intoleransi
glukosa yang pertama kali diakui selama kehamilan. Gestational diabetes mempersulit
sekitar 7% dari seluruh kehamilan. Deteksi klinis penting, sebagai terapi akan
mengurangi morbiditas dan mortalitas perinatal.

14
15

3.6 Pengobatan pada pasien Diabetes Mellitus


a. Terapi non Farmakologi
1. Pengaturan diet Diet merupakan langkah penting dalam penanganan DM pada
pasien lansia. Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan DM.
Penurunan berat badan terbukti dapat mengurangi resistensi insulin dan
memperbaiki respon sel-sel β terhadap glukosa. Penurunan berat badan dapat
mengurangi morbiditas pada pasien obesitas dengan penyakit DM tipe 2.
2. Olah raga, pada lansia secara langsung dapat meningkatkan fungsi fisiologis tubuh
dengan mengurangi kadar glukosa darah, meningkatkan sirkulasi darah,
menurunkan berat badan.
3. Berhenti merokok, kandungan nikotin dalam rokok dapat mengurangi penyerapan
glukosa oleh sel. Pasien lansia yang merokok 2 batang dalam sehari dapat
menyebabkan resiko nefropati dan menghambat absorbsi insulin.
b. Terapi farmakologi
Lansia dengan DM tipe 2 tetap memiliki kemampuan memproduksi insulin,
sehingga penatalaksanaan DM dengan diet dapat mengendalikan kontrol glukosa
darah. Namun, apabila penderita tidak melakukan pembatasan makan dengan ketat
atau apabila penyakit tidak terdeteksi dari awal maka terapi farmakologi dapat
diberikan.
1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
a. Pemicu sekresi insulin Golongan Sulfoniluria, Golongan sulfonilurea sering
disebut insulin secretagogue. Mekanisme kerja golongan sulfonilurea
merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel β Langerhans pankreas. Untuk
pasien lansia tidak direkomendasikan pemberian klorpropamid dan
glibenklamid karena menimbulkan efek hipoglikemi berat. Sulfonilurea yang
direkomendasikan untuk lansia yaitu obat yang diekskresikan melalui hati dan
mempunyai masa kerja pendek misalnya glipizid dan glikazid. Glinid
mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan sulfonilurea. Repaglinid dan
nateglinid diabsorbsi dengan cepat sehingga mencapai kadar puncak dalam
waktu 1 jam dan diekskresi dalam waktu 1 jam.
b. Penambah sensitifitas insulin Tiazolidindion merupakan agonis Peroxsisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-) yang sangat selektif dan
poten. Peningkatan sensitifitas insulin dapat merangsang transport glukosa ke
sel dan meningkatkan oksidasi asam lemak. Pemberian tiazolidindion untuk

15
16

lansia dapat meningkatkan HDL dan menurunkan trigliserid. Hasil penelitian


terhadap pasien dengan usia ≥ 60 tahun, tiazolidindion dikontraindikasikan
untuk pasien dengan gagal jantung kelas 1-4.
c. Golongan penghambat glukosidase α (Acarbose) Obat golongan ini dapat
memperlambat absorbsi polisakarida dan disakarida di usus halus.
Penghambatan enzim α-glikosidase dapat mengurangi pencernaan karbohidrat
dan absorbsinya, sehingga mengurangi peningkatan kadar glukosa post
prandial pada penderita DM. Untuk mendapat efek maksimal, acarbose
diberikan pada suapan pertama. Efek samping yang paling sering yaitu
flatulen.
d. Golongan penghambat glukoneogenesis, Metformin digunakan sebagai obat
pilihan pertama pada penderita DM tipe 2 dan DM obesitas, karena keamanan
terhadap kardiovaskuler. Metformin menurunkan kadar glukosa darah melalui
penurunan produksi glukosa hepar dan meningkatkan absorbsi glukosa di otot
rangka. Metformin dikontraindikasikan untuk pasien dengan gangguan fungsi
ginjal dan hati, alkoholisme, gagal jantung, infeksi.
2. Insulin, Insulin merupakan hormon polipeptida yang di sekresi oleh sel β
pankreas. Insulin dapat dirusak oleh enzim pencernaan sehingga diberikan melalui
injeksi. Insulin yang dikeluarkan oleh sel-sel β pankreas langsung ditransfusi ke
dalam hati melalui vena porta, kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh melalui
peredaran darah. Insulin di dalam tubuh membantu transpor glukosa dari darah ke
dalam sel. Terapi insulin pada pasien lansia diberikan apabila kontrol glukosa
darah tidak dapat dikendalikan dengan OHO. Insulin yang digunakan yaitu insulin
NPH dan reguler.
3.7 Penatalaksanaan Terapi Diabetes Mellitus
Penatalaksanaan terapi DM menurut PDT (Pedoman Diagnosis dan Terapi) yaitu
pasien dirawat secara holistik untuk menormalkan kadar gula darah dengan cara:
a. Pengaturan Diet
b. Pemberian Medikamentosa
1) Insulin, Insulin diberikan apabila ada indikasi : DM tidak terkontrol, DM non
obesitas, koma hiperglikemi, infeksi berat, stroke. Macam preparat insulin yaitu insulin kerja
cepat (actrapid), insulin kerja menengah (Monotard), insulin kerja panjang (Mixtard).
Tata cara pemberian insulin (pada pasien non darurat) : (a) Dimulai dengan insulin
kerja cepat (insulin reguler). (b) Dosis awal kecil (3 x 5-8 U) subkutan. (c) Apabila belum

16
17

terkontrol, dosis dinaikkan bertahap sedikit demi sedikit. (d) Dosis insulin kerja
menengah/panjang dimulai dengan ½ x dosis harian, insulin kerja pendek ditingkatkan sesuai
dengan kadar gula darah.
2) Obat Hipoglikemik Oral (OHO), Kontraindikasi pemberian OHO: Infeksi, koma
diabertik, trauma, infark akut, alergi OHO. OHO yang dapat diberikan: a) Golongan
sulfonilurea b)Golongan Biguanid ( Metformin). Spesifikasi penggunaan OHO: (a) Gliquidon
diindikasikan pada pasien dengan gagal ginjal/sirosis hati. (b)Metformin sebaiknya diberikan
pada pasien gemuk dan dikombinasikan dengan sulfonilurea.
3.8 Pelayanan Informasi Obat kepada pasien Diabetes Mellitus
PIO terhadap pasien DM bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar
mengenai penggunaan dan pengobatan kepada pasien, meliputi :
1. Nama obat
2. Tujuan pengobatan
3. Jadwal pengobatan
4. Cara menggunakan obat
5. Lama penggunaan obat-obatan
6. Efek samping obat
7. Tanda-tanda toksisitas
8. Cara cara penyimpananan obat
9. Penggunaan obat lain-lain
10. Serta upaya meningkatkan kepatuhan pasien terhadap perintah pengobatannya.
3.9 Analisis Resep Diabetes Mellitus
R/ Metformin tab No. XC
S 3 dd 1
R/ Glibenclamid tab No. XXX
S 1 dd 1
R/ Captopril tab 25 mg XXX
S 2 dd 1
R/ HCT tab 25 mg No. XXX
S 1 dd 1
R/ Neurobion tab No. XXX
S 1 dd 1
--------------
Pro : Ny. S (50 th)

17
18

Berdasarkan Resep tersebut, informasi obat yang dapat diberikan kepada pasien Ny. S yaitu
a. Sebaiknya saat mengkonsumsi metformin tidak diminum bersamaan dengan HCT
karena kedua obat tersebut mengalami interaksi peningkatan efek dari metformin,
sehingga sebaiknya metformin diminum bersamaan dengan kaptopril pada pagi hari.
b. HCT yang memiliki interaksi dengan metformin diberikan 2 jam setelah pemberian
metformin dan kaptopril.
c. Neurobion yang merupakan supplemen vitamin diberikan saat siang hari, hindari
pemberian bersamaan dengan metformin karena adanya interaksi penurunan efek pada
metformin, sehingga pemberiannya 2 jam setelah konsumsi metformin.
d. Glibenklamid dan metformin yang merupakan obat diabetes mellitus diberikan
bersamaan saat malam hari.

18
19

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Salah satu permasalahan utama pengobatan DM adalah rendahnya kepatuhan pasien
terhadap pengobatan dan kurangnya pemahaman terhadap instruksi pengobatan
hipoglikemik oral pada terapi DM. Adapun faktor kunci kepatuhan pasien terhadap
pengobatan adalah pemahaman terhadap instruksi pengobatan. Dalam hal ini, peningkatan
pemahaman tentang instruksi pengobatan dan peningkatan kepatuhan pasien sangat
dipengaruhi intervensi pelayanan kefarmasian, yaitu Pelayanan Informasi Obat (PIO).
2. PIO terhadap pasien DM bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar
mengenai penggunaan dan pengobatan kepada pasien, meliputi : (1) nama obat, (2)
tujuan pengobatan, 3) jadwal pengobatan,(4) cara menggunakan obat, (5) lama
penggunaan obat-obatan, (6) efek samping obat, 7) tanda-tanda toksisitas, (8) cara
cara penyimpananan obat, dan (9) penggunaan obat lain-lain, serta upaya
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap perintah pengobatannya.
3. Apoteker memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan penatalaksanaan
diabetes yaitu membantu penderita menyesuaikan pola diet sebagaimana yang
disarankan ahli gizi, serta mencegah dan mengendalikan komplikasi yang mungkin
timbul. Dalam melakukan edukasi, apoteker dapat menggunakan alat bantu atau
media, baik media, audio, visual.
4. Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya
kenaikan kadar gula darah (hiperglikemia) kronik dengan karakteristik hiperglike
mia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.

4.2 Saran
Dari makalah ini kami menghrapkan agar para pembaca bisa memahaminya dan
membuat makalah ini menjadi referensi untuk mengetahui dan memahami tentang

19
20

pentingnya pelayanan informasi obat kepada pasien diabetes mellitus.

DAFTAR PUSTAKA

Askandar Tjokroprawiro A. 2001. Klasifikasi diabetes mellitus. Diabetes mellitus:


klasifikasi, diagnosis, dan terapi. Edisi 3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Irianto. 2015. Memahami Berbagai Macam penyakit. CV Alfabeta. Bandung.
Katzung, B. G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 8. EGC. Jakarta.
Kurniawan, W. K., dan Chabib, L. 2010. Pelayanan Informasi Obat Teori dan Praktik. Graha
Ilmu. Yogyakarta.
Umi Athiyah. 2014. Modul Asuhan Kefarmaasian (Pharmeceutical Care) pada Terapi
Diabetes Mellitus. Modul Asuhan Kefarmaasian (Pharmeceutical Care) pada Terapi
Diabetes Mellitus Airlangga University Press.

20

Anda mungkin juga menyukai