Anda di halaman 1dari 39

TUGAS PHARMACEUTICAL CARE

MEDICATION THERAPY MANAGEMENT PENYAKIT KANKER


Dosen Pengampu : apt. Drs. Sahat Saragih, M.Si.

Disusun oleh:
KELOMPOK 5
1. Garnish Ayu G 2019001138
2. Grace Stevania Loar 2019001139
3. Hany Zahra 2019001140
4. Helena Ratna W.L 2019001141
5. Linytha Silton 2019001195
6. Lupita 2019001196

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS PANCASILA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan modul ini yang berjudul “ Medication

Therapy Management Penyakit Kanker” yang disusun sebagai tugas mata


kuliah Pharmaceutical Care.
Rasa hormat dan terimakasih sebesar-besarnya kepada bapak apt. Drs. Sahat
Saragih, M.Si. selaku Dosen Pengampu mata kuliah Pharmaceutical Care yang
telah memberikan ilmu selama perkuliahan. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan dan penyusunan modul ini masih banyak terdapat kekurangan, maka
diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca.

Jakarta, 27 Juni 2020

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................iii
DAFTAR TABEL......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1
1.1. lATAR BELAKANG.......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................3
2.1. Medication Therapy Management (MTR).......................................................3
2.2. Tujuan Redaksional..........................................................................................5
2.3. Tujuan Pembelajaran.......................................................................................5
2.4. Tujuan Redaksional..........................................................................................5
2.5. Metode Pembelajaran......................................................................................5
BAB III KEGIATAN BELAJAR..............................................................................6
3.1. Medication Therapy Review (MTR).................................................................6
3.1.1. Mereview Proses Terapi Obat...............................................................7
3.1.2. Langkah-langkah Apoteker dalam Praktek Kefarmasian
Untuk Mengobati Pasien Kanker ........................................................8
3.1.3. Penelitian Klinias..................................................................................15
3.1.4. Pembahasan...........................................................................................18
3.2. Personal Medical Record (PMR)....................................................................22
3.3. Medication Related Action Plan (MAP).........................................................26
3.4. ............................................................................................................................?
3.5. Dokumentasi dan Follow up............................................................................?
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................?

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Personal Medication Record


Gambar 3.2 Personal Medication Record
Gambar 3.3. Medication Related Action

iii
DAFTAR TABEL

Gambar 3.1. Contoh Dokumentasi

iv
BAB I
PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang


Kanker adalah penyakit yang terjadi akibat pertumbuhan sel-sel
abnormal yang tidak terkendali, menyebabkan jaringan tubuh normal rusak.
Pada dasarnya, tubuh manusia terdiri dari triliunan sel yang tersebar di setiap
organ dan bagian. Nantinya, sel-sel ini akan terus tumbuh dan berkembang
menjadi sel baru. Karena sudah tergantikan, secara alami sel-sel yang tidak
sehat, tidak berfungsi dan tua akan mati. Sementara sel kanker tidak akan
mati dengan sendirinya. Sel tersebut akan memperbanyak diri hingga jumlah
yang sudah tak bisa dikendalikan lagi. Perubahan inilah yang bisa memicu
munculnya sel kanker. Penyakit ini bisa muncul pada bagian tubuh mana pun
karena asalnya dari sel dalam tubuh manusia. Berdasarkan laporan dan riset,
terdapat lebih dari 200 jenis penyakit kanker yang berbeda (1).
Apoteker memiliki peran penting dalam terapi penyakit kanker. Apoteker
harus memastikan bahwa terapi obat dapat mencapai outcome yang
diharapkan dan mencegah masalah terkait obat. Masalah terkait obat
merupakan suatu kejadian atau keadaan yang tidak diinginkan yang dialami
oleh pasien yang terlibat atau dicurigai yang melibatkan terapi
pengobangatan. Oleh sebab itu diperlukan kontribusi apoteker dalam
mengidentifikasi, menyelesaikan, dan mencegah terjadinya masalah-masalah
dalam terapi obat. Salah satu cara untuk mengatasi kasus masalah terkait obat
di rumah sakit adalah dengan Medication Therapy Management (MTM).
Pelayanan ini bergantung pada kerjasama antara apoteker dengan dokter dan
tenaga kesehatan lain untuk mengoptimalkan penggunaan obat sesuai dengan
pedoman berdasarkan bukti (2).
Kolaborasi sebagai suatu proses berpikir di mana pihak yang terlibat
memandang aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah serta menemukan

1
solusi dari perbedaan tersebut dan keterbatasan pandangan mereka terhadap
apa yang dapat dilakukan. Hubungan kolaborasi dalam dunia kesehatan
melibatkan sejumlah pihak profesi kesehatan seperti dokter, apoteker, dan
perawat yang merupakan faktor penentu yang sangat penting bagi kualitas
proses perawatan. Praktek kolaborasi memperkuat sistem kesehatan dan
memperbaiki hasil kesehatan (2).
Apabila terjadi masalah terkait obat pada pasien, untuk menggali
informasi yang lebih dalam, dokter atau apoteker dapat melakukan kunjungan
kepada pasien. Dokter dan apoteker dapat berdiskusi untuk mengubah jenis
atau jumlah obat yang digunakan dalam terapi. Dokter dapat
merekomendasikan tes laboratorium klinik. Hasil diskusi antara dokter dan
apoteker, informasi tersebut diberikan kepada pasien. MTM akan
mengintegrasikan kinerja dokter, apoteker, perawat, dan tenaga kesehatan
lainnya di rumah sakit (2).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Medication Therapy Management (MTM)


Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical care) merupakan tanggung jawab
langsung apoteker pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan
pasien dengan tujuan mencapai hasil yang ditetapkan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien. Pharmaceutical care adalah pelayanan kefarmasian yang
berorientasi kepada pasien. Meliputi semua aktivitas apoteker yang diperlukan
untuk menyelesaikan masalah terapi pasien terkait obat. Praktik kefarmasian
ini memerlukan interaksi langsung apoteker dengan pasien, yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Peran apoteker dalam asuhan
kefarmasian di awal proses terapi adalah menilai kebutuhan pasien. Di tengah
proses terapi, memeriksa kembali semua informasi dan memilih solusi terbaik
untuk DRP (Drus Related Problem) pasien. Di akhir proses terapi, menilai
hasil intervensi sehingga didapatkan hasil optimal dan kualitas hidup
meningkat serta hasilnya memuaskan (keberhasilan terapi) (Rover dkk., 2003).
Pharmaceutical care merupakan filosofi apoteker dalam melakukan praktek
kefarmasian (3,4).
Penelitian di Amerika menunjukkan adanya peningkatan Reaksi Obat
Yang Merugikan (ROM) dan tingginya biaya obat mendesak Apoteker
memastikan penggunaan obat yang efektif dan pentingnya keselamatan pasien.
Filosofi Pharmaceutical care saja tidaklah cukup dalam mengurangi DRP,
kemudian berkembang suatu strategi dalam menjalankan Pharmaceutical care
yang disebut dengan Medication Therapy Management (MTM). Undang-
undang Medicare Modernisasi 2003 di Amerika, menjelaskan manfaat MTM
dalam pelayanan resep peserta lansia dan penyakit kronis yaitu meningkatkan
kualitas hidup dan menekan biaya pengobatan. Pelayanan Medication Therapy

3
Management merupakan Model Praktek Apoteker di Farmasi Komunitas
khusus penderita penyakit kronis (5,6).
MTM merupakan suatu sistem yang mengutamakan pelayanan kepada
pasien. Dalam pelayanan kesehatan, seorang apoteker tidak dapat bekerja
sendiri sehingga dalam penerapan MTM digunakan filosopi Interprofesional
Collaboration. MTM ini dirancang untuk meningkatkan kolaborasi antara
farmasis, dokter dan tim pelayanan kesehatan lainnya. MTM dibutuhkan
karena 3 alasan antara lain meningkatnya prevalensi penyakit kronis,
meningkatnya comorbidities-mortalities; serta banyaknya komplikasi dan
spesialisasi penyakit. Maka dibutuhkan peran dan apoteker dalam MTM
berdasar pada asuhan kefarmasian, dilengkapi konseling pasien dalam
pengelolaan penyakitnya sehingga mampu memberi hasil terapi optimal dan
memberi keuntungan bagi Asuransi sebagai payor. Secara objektif, MTM
bertujuan meningkatkan pelayanan (bagian dari manfaat farmasi rawat jalan),
meningkatkan komunikasi antara pasien dan tenaga kesehatan,
mengoptimalkan penggunaan obat untuk meningkatkan outcome/ hasil terapi
pasien, mengurangi resiko efek samping dan interaksi obat, serta meningkatkan
kepatuhan pasien (7).

Medication Therapy Management in Pharmacy Practice: Core Element of


MTM Service Model Version 2.0, dirancang untuk meningkatkan kolaborasi
antara apoteker, dokter, dan profesional kesehatan lainnya; meningkatkan
komunikasi antara pasien dan tim pelayanan kesehatan mereka; dan
mengoptimalkan penggunaan obat untuk outcome pasien yang lebih baik.
Layanan manajemen terapi pengobatan (MTM) yang dijelaskan dalam model
ini memberdayakan pasien untuk mengambil peran aktif dalam mengelola
obat-obatan mereka. Layanan ini tergantung pada apoteker yang bekerja secara
kolaboratif dengan dokter dan profesional kesehatan lainnya untuk
mengoptimalkan penggunaan obat sesuai dengan pedoman berbasis bukti
pustaka.

4
2.2 Tujuan Redaksional

Penulisan modul bertujuan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran


terkait Mediaction Therapy Management (MTM).

2.3 Tujuan Pembelajaran


Diharapkan melalui pembelajaran ini, apoteker mampu mengerti dan
memahami terkait Medication Therapy Management (MTM) terutama 5
elemen utama dalam model layanan MTM serta diharapkan mampu
menerapkan strategi MTM dalam praktik profesi khususnya pada terapi
penyakit cancer.

2.4 Metode Pembelajaran


Metode pembelajaran yang dilakukan antara lain sebagai berikut:
1. Quiz: peserta/ mahasiswa secara individual menjawab pertanyaan yang
diberikan sebelum, selama atau setelah pembelajaran berlangsung.
2. Materi: peserta akan diberikan materi baik dalam bentuk diskusi, ataupun
tutorial menggunakan slide, handout, white board. Pembelajaran dapat
dilakukan secara offline maupun online.
3. Review: peserta diminta untuk membuat rangkuman mengenai materi
pembelajaran yang telah disampaikan.

5
BAB III
KEGIATAN BELAJAR

3.1. Medication Therapy Review (MTR) (6)

MTR merupakan salah satu model layanan MTM (Medication Therapy


Management) dalam praktek kefarmasian. Medication Therapy review (MTR)
adalah proses yang sistematis untuk mengumpulkan informasi spesifik pasien,
menilai terapi obat untuk mengidentifikasi masalah yang terkait pengobatan,
mengembangkan daftar prioritas masalah dan membuat rencana untuk
mengatasinya. MTR dilakukan antara pasien dan apoteker. MTR dirancang
untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang obat yang mereka konsumsi,
mengatasi masalah, dan memberdayakan pasien untuk mengelola swamedikasi
dan kondisi kesehatan mereka. MTR dapat berupa komprehensif atau
ditargetkan terhadap masalah pengobatan aktual atau potensial. MTR
komprehensif atau ditargetkan, pasien membutuhkan layanan dengan berbagai
cara. Biasanya, pasien dapat dirujuk ke apoteker berdasarkan rencana
kesehatan mereka.
Dalam MTR yang komprehensif, idealnya pasien menyajikan semua obat
ke apoteker, termasuk semua obat resep dan non resep, produk herbal, dan
suplemen diet lainnya. Apoteker kemudian menilai obat pasien untuk
mengetahui adanya masalah terkait pengobatan, termasuk kepatuhan pasien,
dan pekerjaan pasien, dokter, atau profesional perawatan kesehatan lainnya
untuk menentukan pilihan yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang
teridentifikasi. MTR ditargetkan untuk mengatasi masalah pengobatan aktual
atau potensial. Biasanya, MTR yang ditargetkan dilakukan untuk pasien yang
telah menerima MTR komprehensif. Entah untuk masalah baru atau masalah
pemantauan selanjutnya, apoteker menilai masalah terapi yang spesifik dalam
riwayat medis dan pengobatan pasien secara lengkap. Setelah penilaian
intervensi oleh tenaga medis lainnya dan memberikan pendidikan dan
informasi  kepada pasien.

6
3.1.1. Mereview Proses Terapi Obat Pasien (6)
1. Mewawancara: mengetahui kesehatan pasien secara umum; riwayat
pengobatan; imunisasi; faktor psikologis terhadap penyakitnya
(pikiran/perasaan)
2. Menilai: kondisi pasien saat wawancara berdasarkan informasi
klinis kualitas hidup; tujuan terapi
3. Menilai: budaya tentang kesehatan dan health believe; tingkat
pendidikan; hambatan Bahasa; kemampuan berkomunikasi
4. Mengevaluasi: deteksi gejala terjadinya efek samping (efek
merugikan)
5. Interpretasi: hasil pemeriksaan laboratorium
6. Mengidentifikasi: adanya masalah terkait obat; kesesuaian klinis
masing-masing obat (dosis); obat lain yang digunakan; kepatuhan;
kondisi penyakit yang tidak diobati; biaya obat; edukasi;
kemampampuan pasien mengelola obat secara benar
7. Mengembangkan: rencana untuk menyelesaikan setiap masalah
pengobatan
8. Memberikan: edukasi tentang pengobatan obat dan perangkat
pemantauan yang tepat dan pentingnya kepatuhan pengibatan
pasien dan memahami tujuan pengobatan
9. Memantau dan mengevaluasi respon pasien terhadap terapi,
termasuk keamanan dan efektivitas

10. Mengkomunikasikan informasi yang sesuai ke dokter atau tenaga


kesehatan lainnya mengenai pemilihan obat-obatan, saran untuk
mengatasi masalah pengobatan yang terindentifikasi, peningkatan
perkembangan pasien, dan rekomenasi untuk kedepannya.

7
3.1.2. Langkah-langkah Apoteker dalam Praktek Kefarmasian Untuk
Mengobati Pasien Kanker (6)
1. Formulir Pelayanan Informasi Obat
Informasi obat adalah setiap data atau pengetahuan objektif,
diuraikan secara ilmiah dan terdokumentasi mencangkup
farmakologi, toksikologi, dan farmakoterapi obat. Informasi obat
mencangkup, tetapi tidak terbatas pada pengetahuan seperti nama
kimia, struktur dan sifat-sifat, identifikasi, indikasi diagnostik atau
indikasi terapi, mekanisme kerja, waktu mulai kerja dan durasi kerja,
dosis dan jadwal pemberian, dosis yang direkomendasikan, absorpsi,
metabolisme detoksifikasi, ekskresi, efek samping dan reaksi
merugikan, kontraindikasi, interaksi, harga, keuntungan, tanda,
gejala dan pengobatan toksisitas, efikasi klinik, data komparatif, data
klinik, data penggunaan obat, dan setiap informasi lainnya yang
berguna dalam diagnosis dan pengobatan pasien untuk penyakit
kanker.. Sasaran informasi obat adalah orang, lembaga, kelompok
orang, kepanitiaan, penerima informasi obat, seperti yang tertera
dibawah ini:
a. Dokter.
b. Perawat.
c. Pasien.
d. Keluarga pasien.
e. Apoteker

Ruang lingkup jenis pelayanan informasi obat antara lain:


a. Pelayanan informasi obat untuk menjawab pertanyaan.
b. Pelayanan informasi obat untuk mendukung kegiatan panitia
farmasi dan terapi.
c. Pelayanan informasi obat dalam bentuk publikasi.
d. Pelayanan informasi obat untuk edukasi.
e. Pelayanan informasi obat untuk evaluasi penggunaan obat.
f. Pelayanan informasi obat dalam studi obat investigasi.

8
Strategi pencarian informasi obat secara sistemik merupakan suatu
proses menjawab pertanyaan yang diuraikan dibawah ini adalah
suatu pendekatan yang sebaiknya digunakan oleh tenaga farmasi di
unit pelayanan kefarmasian. strategi tersebut adalah:
a. Mengetahui pertanyaan sebenarnya. Perlu diketahui bahwa dalam
menetapkan informasi obat sebenarnya yang dibutuhkan penanya
adalah langkah pertama dalam menjawab suatu pertanyaan.
b. Mengumpulkan data khusus pasien Apabila pertanyaan
melibatkan seorang pasien, adalah penting untuk memperoleh
informasi latar belakang tentang pasien sebelum menjawab suatu
pertanyaan yang berbeda sesuai dengan jenis pertanyaan. Umur,
berat badan, jenis kelamin dan pekerjaan biasanya diperlukan.
Kekhususan tentang kondisi medis pasien seperti diagnosis
sekarang, fungsi ginjal dan hati, sering diperlukan. Dalam
beberapa kasus diperlukan juga riwayat pengobatan sebelumnya
atau riwayat alergi.
c. Pencarian secara sistemik Perlu diketahui bahwa pada dasarnya,
dalam suatu pencarian sistemik, pengelola informasi obat harus
berusaha memperoleh jawaban dalam referensi acuan tersier
terlebih dahulu.

Beberapa Point Penting seperti tindak lanjut terhadap jawaban


informasi obat apabila mungkin, tindak lanjut perlu diadakan untuk
jenis pertanyaan tertentu, terutama yang berkaitan langsung dengan
perawatan pasien. Misalnya, pengelola informasi obat di telepon
tentang seorang pasien yang mengalami reaksi obat merugikan
terhadap suatu obat tertentum dan dokter menyakan suatu terapi
alternatif. Seteleh pencarian pustakan secara sistematik, pengelola
informasi obat membuatkan rekomendasi. Pengelola informasi obat
menggunakan kesempatan ini mendatangi pasien, untuk mmelihat
respon pasien terhadap rekomendasinya itu.

9
Prioritas Untuk Permintaan Informasi Obat Sasaran utama
pelayanan informasi obat adalah penyempurnaan perawatan pasien
melalui terapi obat yang rasional. Oleh karena itu, prioritas harus
diberikan kepada permintaan informasi obat yang paling
mempengaruhi secara langsung pada perawatan pasien. Prioritas
untuk permintaan informasi obat diurutkan sebagai berikut:
a. Penanganan/pengobatan darurat pasien dalam situasi hidup atau
mati
b. Pengobatan pasien rawat tinggal dengan masalah terapi obat
khusus
c. Pengobatan pasien ambulatori dengan masalah terapi obat khusus
d. Bantuan kepada staf profesional kesehatan untuk penyelaesaian
tanggung jawab mereka
e. Keperluan dari berbagai fungsi PFT
f. Berbagai proyek penelitian yang melibatkan penggunaan obat

2. Formulir Pencatatan Penggunaan Obat


Penggunaan suatu obat dapat berpengaruh terhadap kualitas
pengobatan. Dalam hal penggunaan obat, langkah yang paling
penting diperhatikan adalah diagnosis yang tepat, sehingga
menghasilkan suatu penggunaan obat yang rasional, efektif, aman,
dan ekonomis. Penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien
menerima pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya secara
klinis, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan individunya,
selama waktu yang sesuai, dengan biaya yang paling rendah sesuai
dengan kemampuannya dan masyarakatnya. Penggunaan obat yang
rasional harus memenuhi beberapa kriteria berikut, yaitu pemilihan
obat yang benar, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat pasien,
pemberian obat dengan benar dan ketaatan pasien pada pengobatan.
Formulir pencatatan penggunaan obat merupakan instrumen dalam
mendata pasien menggunakan obat yaitu mulai dari nomor pasien

10
ketiga melakukan registrasi, nama pasien, umur, jenis kelamin,
alamat, kontak person (HP/ telepon), tanggal pengobatan, nama
dokter yang menangani, nama obat, jumlah obat yang diberikan,
dosis, cara pemberian. Tujuan pencatatan penggunaan obat yaitu
untuk memberikan informasi kepada petugas tentang pemakaian obat
selama pasien dalam perawatan di rumah sakit.. Pertimbangan
pertama adalah apakah formulir digunakan untuk mengumpulkan
atau untuk laporan informasi. Data adalah fakta dan bentuk kasar.
Informasi adalah data yang telah diproses dengan suatu maksud dan
kegunaan.

3. Formulir Konseling Pasien dalam Penggunaan Obat


Ketahuilah bahwa konseling merupakan suatu kegiatan bertemu
dan berdiskusinya seseorang yang membutuhkan (klien) dan
seseorang yang memberikan (konselor) dukungan dan dorongan
sedemikian rupa sehingga klien memperoleh keyakinan akan
kemampuannya dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan
penggunaan obat.

Tujuan dilakukan konseling dengan format formulir yaitu:


a. Meningkatkan keberhasilan terapi.
b. Memaksimalkan efek terapi.
c. Meminimalkan resiko efek samping.
d. Meningkatkan cost effectiveness.
e. Menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi.
f. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara tenaga farmasi dan
pasien.
g. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien.
h. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obatnya.
i. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan dengan
penyakitnya.
j. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan.

11
k. Mencegah atau meminimalkan Drug Related Problem.
l. Meningkatkan kemampuan pasien untuk memecahkan
masalahnya sendiri dalam hal terapi.
m. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan.
n. Membimbing dan mendidik pasien dalam menggunakan obat
sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan.
o. Meningkatkan mutu pengobatan pasien.
p. Menjamin keamanan dan efektifitas pengobatan.

4. Formulir Pelayanan Obat Di Rumah (Home Care)


Dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang optimal,
diperlukan suatu pelayanan yang bersifat terpadu, komprehensif dan
profesional dari para profesi kesehatan termasuk tenaga farmasi
sebagai bagian profesi kesehatan yang khusus memberikan
pelayanan kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian merupakan bagian
integral dari sistem pelayanan kesehatan yang tidak terpisahkan.
Salah satu aspek pelayanan kefarmasian adalah Pelayanan
Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care) yang merupakan
pelayanan kepada pasien yang dilakukan di rumah khususnya untuk
kelompok pasien lanjut usia, pasien yang menggunakan obat dalam
jangka waktu lama seperti penggunaan obat-obat kardiovascular,
termasuk obat-obat kanker.
Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah (home
pharmacy care), biasanya diperuntukkan bagi pasien khusus
terutama untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan
penyakit kronis lainnya dengan tujuan adalah memberikan edukasi
dan pemahaman tentang obat serta memastikan pasien dapat
menggunakan obat dengan benar dan aman. Jenis Pelayanan
Kefarmasian di Rumah antara lain:
a. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan
dengan pengobatan.

12
b. Identifikasi kepatuhan pasien.
c. Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan dirumah,
terutama yang berkaitan dengan cara pemakaian obat asma, obat
TBC, penyimpanan insulin.
d. Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum.
e. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan
berdasarkan.
f. Catatan pengobatan pasien.
g. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah.

5. Formulir Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Adalah suatu proses yang meliputi semua fungsi yang
diperlukan untuk menjamin terapi obat kepada pasien yang banar,
aman, efektif/rasioanal dan ekonomis. Pemantauan Terapi Obat
(PTO) mencakup Kegiatan pengkajian pilihan obat, dosis, cara
pemberian obat, respon terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki
(ROTD), serta rekomenasi atau alternatif terapi. Pemantauan Terapi
Obat (PTO harus dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi
secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilanataupun
kegagalan terapi dapat diketahui. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
merupakan bagian dari tugas pokok dan fungsi pelayanan
kefarmasian RS tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
Kondisi pasien yang perlu dilakukan Pemantauan Terapi Obat (PTO)
antara lain:
a. Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit sehingga
menerima polifarmasi.
b. Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.
c. Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.
d. Pasien geriatri dan pediatri.
e. Pasien hamil dan menyusui.
f. Pasien dengan perawatan intensif.

13
g. Pasien yang menerima regimen yang kompleks: Polifarmasi,
Variasi rute pemberian, Variasi aturan pakai, Cara pemberian
khusus (contoh: inhalasi, Drip intravena (bukan bolus).

6. Formulir Monitoring Efek Samping Obat Monitoring Efek Samping


Obat (MESO)
MESO merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat
yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis
normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis. Tujuan
dilakukan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) adalah:
a. Menemukan efek samping obat sedini mungkin terutama yang
berat, tidak dikenal dan frekuensinya jarang terjadi.
b. Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang
sudah sangat dikenal atau yang baru saja ditemukan. Kegiatan
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) adalah:
1) Menganalisis laporan efek samping obat.
2) Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko
tinggi mengalami efek samping obat.
3) Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO). d.
Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat
Nasional.

7. Formulir Rekonsiliasi Obat


Merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan
Obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk
mencegah terjadinya kesalahan Obat (medication error) seperti Obat
tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi Obat.
Kesalahan Obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan
pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang
perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke

14
layanan kesehatan primer dan sebaliknya. Tujuan dilakukannya
rekonsiliasi Obat adalah :

a. Memastikan informasi yang akurat tentang Obat yang digunakan


pasien.
b. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya
instruksi dokter.
c. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya
instruksi dokter.

3.1.3. Penelitian Klinis

Judul Jurnal :

“PILIHAN PENGOBATAN PASIEN KANKER PAYUDARA MASA


KEMOTERAPI: STUDI KASUS”

WHO (2013) menyatakan secara spesifik bahwa sekitar 508.000


perempuan meninggal karena kanker payudara pada tahun 2011. Di
Indonesia, khususnya di RS Kanker Dharmais Jakarta, kasus kanker
payudara juga terus meningkat, dari 221 kasus pada tahun 2003 menjadi
657 kasus pada tahun 2008. Kondisi ini diperparah karena sebanyak
60–70% pasien yang datang ke RS sudah berada pada kondisi stadium
lanjut. Kanker payudara, umumnya terjadi pada kelompok perempuan
pasca menoupause, tetapi saat ini banyak ditemukan pada usia yang
muda, seperti kurang dari 25 tahun. Kanker payudara pada perempuan
akan memengaruhi eksistensi dan kesejahteraannya, baik secara fisik,
emosional, psikologis, sosial, maupun spiritual. Dampak akan terasa
lebih berat bila terjadi pada usia reproduksi karena berkaitan dengan
seksualitas dan posisi perempuan sebagai istri dan ibu Masalah yang
dihadapi pasien kanker payudara baik dalam menentukan diagnosis
maupun pemilihan terapi bersifat multidimensi, dengan banyak

15
pertimbangan seperti masalah fisik, sosial, psikologis dan spiritual,
tentunya finansial. Terlebih lagi, pasien dan keluarga seringkali tida
memahami pentingnya deteksi dini kanker payudara atau jika penyakit
sudah berada pada kondisi lanjut. Mereka juga mengalami kesulitan
untuk memutuskan terapi, apakah menggunakan terapi modern atau
terapi komplementer (8,9,10).
Berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang dipilih pasien, hampir
70% pasien kanker payudara mengalami putus kemoterapi dan banyak
yang tidak melakukan kemoterapi pra-bedah setelah didiagnosis kanker
payudara stadium awal dan lebih memilih perawatan alternatif.
Selanjutnya, Hikmanti dan Ardian (2014) mengungkapkan bahwa
motivasi pasien dalam menggunakan terapi komplementer atau
alternatif adalah membantu tubuh dalam proses penyembuhan (75%),
meningkatkan sistem kekebalan tubuh (56%), dan merasa berbuat
sesuatu dalam terapinya (56%). Selain itu, sebanyak 88% responden
menyatakan menggunakan terapi komplementer atau alternatif dengan
melakukan terapi medis dalam waktu yang sama.
Masyarakat menggunakan terapi komplementer dengan alasan
keyakinan, keuangan, menghindari kandungan kimia dan dampak
terhadap kesembuhan. Terapi komplementer menjadi salah satu cara
bagi tenaga kesehatan, dalam hal ini adalah perawat untuk menciptakan
lingkungan yang terapeutik dengan menggunakan diri sendiri sebagai
alat atau media penyembuh pasien dari masalah kesehatan. Pengertian
terapi komplementer dalam hal ini adalah terapi yang digunakan
bersama-sama dengan terapi medis konvensional Terapi komplementer,
diantaranya adalah pengobatan herbal. Beberapa tahun terakhir di
Indonesia, penggunaan obat herbal yang berasal dari fitokimia
ditujukan tidak sekedar untuk suplemen gizi maupun kosmetik, namun
juga untuk kepentingan pengobatan. Namun demikian, masyarakat
lebih memilih kombinasi antara terapi kimia, seperti kemoterapi dengan
pengobatan dengan herbal (10).

16
Penerapan kesehatan integratif, yaitu terapi konvensional dan
komplementer di Indonesia sudah merambah ke institusi pelayanan
kesehatan sesuai dengan amanat UU No 36 tahun 2009 tentang
kesehatan, dan dalam PP 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan
Nasional juga diatur pelayanan kesehatan tradisional alternatif dan
komplementer yang dilaksanakan secara sinergi dan integrasi dengan
pelayanan kesehatan ("Siapkan Pengobatan Tradisonal di RS", 2014).
Namun demikian, masih banyak menimbulkan sikap pro dan kontra di
kalangan profesional kesehatan. Meninjau permasalahan yang berkaitan
dengan kebutuhan pasien kanker payudara terhadap jenis terapi yang
dipilih, perlu suatu kajian yang berbasis ilmu kesehatan yang
bermanfaat untuk memahami proses menentukan pilihan terapi pasien
kanker payudara dalam meningkatkan kualitas hidupnya, dan bagi
profesional kesehatan penting untuk mengembangkan kemampuan dan
kompetensi sesuai dengan kebutuhan pasien dan masyarakat.
Metode Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metoda
kualitatif studi kasus, yaitu memfokuskan pada pasien yang datang ke
rumah sakit rujukan, untuk menganalisis situasi dan kebutuhan yang
diperlukan pasien kanker payudara di wilayah Provinsi Jawa Barat
mulai pada tahap menduga atau merasakan gejala, pilihan, sampai
memutuskan berobat. Penelitian sudah mendapatkan persetujuan etik
dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dengan No.
277/UN6.C1.3.2/KEPK/PN/2015. Populasi penelitian ini adalah pasien
yang sedang menjalani rawat inap maupun rawat jalan di RS yang telah
didiagnosis kanker payudara. Sejumlah 17 pasien dipilih secara
purposeful untuk mengetahui pandangan dan pengalaman dalam terapi
kanker payudara. Adapun kriteria partisipan adalah yang sudah
didiagnosis kanker payudara berdasar catatan medis; berasal dari
wilayah Jawa Barat yang datang ke RS rujukan; dan pernah atau sedang
menjalani kemoterapi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara
mendalam, studi dokumentasi, dan data arsip. Adapun tahap wawancara

17
mendalam yang akan dilakukan adalah: (1) Thematizing, mengapa dan
apa yang sudah dan akan diteliti; (2) Designing, merencanakan
wawancara dalam penelitian; (3) Interviewing, melakukan wawancara
berdasarkan pedoman yang sudah disusun; (4) Transcribing,
menyiapkan hasil wawancara untuk dianalisis; (5) Analyzing,
memutuskan tujuan, topik proses alamiah dari wawancara serta metode
analisis yang sesuai; (6) Verifying, melakukan validasi dari hasil
wawancara; (7) Reporting, membuat laporan sesuai dengan kriteria
studi yang sudah dilakukan. Validitas dan reliabilitas data
dipertahankan dengan empat pengukuran, yaitu:
1. Kredibilitas yang dipastikan melalui wawancara berulang untuk
menyesuaikan yang disampaikan partisipan dengan situasi yang
ada.
2. Transferabilitas, data yang dikumpulkan memungkinkan untuk
menggambarkan situasi pasien kanker di Jawa Barat.
3. Dependabilitas, setiap tahap kualitatif dikuti, dari pendekatan ke
pasien, pengumpulan data, sampai pengambilan kesimpulan.
4. Konfirmabilitas, dilakukan triangulasi data dengan memperoleh
informasi dari petugas tentang kondisi pasien. Adapun proses
analisis data dari hasil transkrip dan observasi serta catatan medis
dilakukan dengan menggunakan analisis tema.

3.1.4. Pembahasan
Latar belakang partisipan mencakup suku, pendidikan, dan social
ekonomi. Semua bersuku Sunda, tetapi satu Jawa dan satu Sumatera.
Mayoritas SMP dan SMA, satu D3 dan satu Sarjana. Mayoritas
menegah ke bawah, tiga orang tinggi. Melalui kajian tematik, terdapat
tema utama yang didapatkan berkenaan dengan persepsi pasien kanker
terhadap penyakitnya serta pemilihan terapi pada saat mendapatkan
gejala penyakit. Lima tema utama yang didapatkan, yaitu:

18
1. Konsep penyakit berdasarkan kategori subyektif dan sosial budaya
(illness, sickness);
2. Pilihan pengobatan yang diterima oleh keluarga;
3. Persepsi kesembuhan pada setiap jenis pengobatan;
4. Konsep sakit dalam kehidupan mempunyai makna positif; dan
5. Tingginya harapan sembuh. Adapun beberapa penjelasan tema
yang muncul adalah sebagai berikut: Penyakit adalah faktor
subyektif (yang dirasakan) dan dilegalisasi oleh budaya.

Hampir semua partisipan mengungkapkan sebenarnya mereka


merasakan gejala kanker relatif sudah lama, bahkan 8–10 tahun yang
lalu. Umumnya yang dirasakan pada awalnya adalah benjolan yang
kecil saja di sekitar payudara. Hanya sedikit pasien sudah menduga
menyampaikan kemungkinan kanker payudara. Namun, umumnya
semua gejala dan tanda yang dirasakan tadi akan diabaikan atau tidak
diperiksakan ke dokter. Hal ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan:
1. Kekawatiran akan mengetahui kejadian sebenarnya bahwa pasien
menderita penyakit yang parah;
2. Tidak mau menambah atau mengakibatkan rasa was-was pada diri
pasien sendiri maupun keluarga ika mengetahui apa yang
dideritanya;
3. Keterbatasan biaya, jika benar didiagnosis penyakit parah belum
atau tidak mempunyai biaya untuk berobat.

Secara umum, partisipan menilai benjolan yang ada adalah hal


yang belum perlu untuk diperiksakan karena dalam kehidupan sehari-
hari mereka masih mampu untuk beraktifitas seperti biasa. Secara
umum, partisipan menentukan pilihan berobat tidak sekedar pada
medis modern, namun banyak memanfaatkan terapi yang bersifat
alternatif maupun komplementer. Menurut WHO (2017), pengobatan
komplementer adalah pengobatan non konvensional yang bukan
berasal dari negara yang bersangkutan, namun kriteria ini juga perlu

19
dirumuskan kembali karena terapi herbal di Indonesia justru sebagian
besar merupakan terapi komplementer.
Tambahan definisi tentang terapi komplementer adalah semua
terapi yang digunakan sebagai tambahan untuk terapi konvensional
yang direkomendasikan oleh penyelenggaraan pelayanan kesehatan
individu. Selain itu, CAM diartikan sebagai suatu bentuk penyembuhan
yang bersumber dari berbagai sistem, modalitas dan praktek kesehatan,
baik yang didukung secara teori maupun dari kepercayaan (WHO.
Berdasarkan pandangan partisipan, mereka sulit membedakan apakah
pilihan berobat mereka bersifat alternatif ataupun komplementer (11).
Idealnya, partisipan perlu memahami perbedaan antara terapi
komplementer dan terapi alternatif. Jika terapi komplementer
(komplemen= pelengkap), diartikan sebagai terapi pelengkap dari
terapi konvensional yang telah dibuktikan manfaatnya. Maka terapi
alternatif adalah penggunaan terapi diluar sistem konvensional.
Meskipun terapi alternatif meliputi intervensi yang sama dengan terapi
komplementer, tetapi sering kali yang dilakukan pasien saat pemilihan
pengobatan awal adalah terapi alternatif menjadi pengobatan primer
yang mengganti pelayanan medis. Keperawatan komlementer adalah
cabang ilmu keperawatan yang menerapkan pengobatan non
konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Upaya yang dilakukan tersebut bertujuan untuk mengontrol gejala,
meningkatkan kualitas hidup, dan berkontribusi terhadap
penatalaksanaan pasien secara keseluruhan. Sehingga diperlukan
adanya pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan
efektifitas yang tinggi berlandas ilmu pengetahuan biomedik. Masalah
fisik yang muncul antara lain hilangnya nafsu makan setelah mendapat
kemoterapi atau terapi radiasi (12).
Hal tersebut sejalan dengan kesimpulan penelitian Yabroff, et al.,
(2004) bahwa meskipun klien kanker payudara hidup lebih lama,

20
mereka belum tentu sehat seperti masyarakat umum lainya. Berbagai
upaya informan lakukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi agar
kondisi fisiknya tetap stabil, baik melalui upaya pemenuhan sesuai
anjuran medis maupun pencarian ke terapi alternatif dan
komplementer. Selain kebutuhan pengobata yang bersifat fisik, secara
umum pasien sangat membutuhkan kebutuhan psikologis dan sosial.
Gangguan psikologis termasuk kecemasan dan depresi, umumnya
terjadi pada pasien kanker dengan berbagai diagnosa dan mereka
mencoba bertahan dari waktu ke waktu.
Hasil sebuah penelitian memperkirakan bahwa depresi telah terjadi
pada 20–25% dari pasien kanker dan tampaknya lebih tinggi pada
pasien dengan kanker stadium lanjut. Diagnosis kanker payudara juga
meningkatkan distres psikososial bagi penderitanya. Kebutuhan
emosional dan sosial pasien bisa dilakukan dan diperoleh melalui
interaksi dan semua dukungan, terutama oleh keluarga dalam bentuk
dukungan emosional (perhatian, kasih sayang, empati), dukungan
penghargaan (menghargai kondisi pasien yang masih dalam perawatan,
memberikan umpan balik sesuatu yang dibutuhkan atau lainnya),
dukungan informasi (saran, nasehat) maupun dukungan instrumental
(melalui ketersediaan tenaga, dana dan waktu). Penelitian yang
dilakukan oleh Kroenke, et al. (2013) mengungkapkan bahwa selain
dukungan keluarga, ada hubungan antara jaringan sosial dan
mekanisme dukungan sosial terhadap kualitas hidup penderita kanker
setelah didignosa. Dukungan sosial bisa berasal dari teman, tetangga
dan komunitas. Kebutuhan spiritual juga ditunjukkan oleh pasien,
sehingga dukungan spiritual harus dikuatkan terutama untuk
mendukung sistem fisik dan psikologis melalui bantuan kesembuhan
pasien dengan selalu mengajak berpikir positif, menjalani hidup penuh
arti dan mampu bertahan terhadap penyakitnya (13).
Mengingat, tingginya kebutuhan pasien kanker payudara terhadap
terapi komplementer, diharapkan perawat mampu melakukan

21
pendekatan secara holistik (bio, psiko, sosio, kultural, spiritual) kepada
pasien dalam penanganan penggunaan terapi. Secara khusus, perawat
bekerja sangat dekat dengan klien mereka dan berada dalam posisi
mengenali titik pandang klien. Oleh karena itu, diharapkan perawat
mampu menentukan terapi medis alternatif atau komplementer mana
yang lebih sesuai dengan kepercayaan dan menawarkan rekomendasi
yang sesuai dengan kebutuhan pasien kanker payudara.
Pasien kanker payudara selalu dipahami sebagai kondisi bahwa
manusia adalah kompleks, terdisiri dari keterikatan tubuh secara fisik,
serta aspek lain seperti psikologi, sosial budaya dan spiritual. Oleh
karena itu, perjalanan hidup dalam sebagai pasien kanker payudara
sebagai pengalaman sakit selalu melibatkan unsur fisik, psikologis,
social budaya dan spiritual. Perjalanan hidup pasien kanker dalam
mencari pilihan terapi harus dimaknai dalam pemahaman sudut
pandang pasien dan keluarga itu sendiri. Sehingga para petugas
kesehatan harusnya mampu memberikan perawatan dan terapi lebih
spesifik sesuai kebutuhan pasien.

3.2. Personal Medical Record (PMR)

PMR merupakan salah satu elemen yang terdapat dalam MTM, dimana
MTM berfokus pada pasien yang memiliki kondisi radang sendi, penyakit
kardiovaskular, dan penyakit neurodegeneratif, termasuk penyakit Alzheimer,
penyakit mental seperti skizofrenia dan beberapa jenis penyakit kronis lainya
seperti asma, penyakit liver, dislipidemia, hiperlipidemia, penyakit ginjal dan
gastrointestinal (14).
Personal Medical Record (PMR) adalah catatan komprehensif tentang
obat pasien (obat resep , obat non resep, produk herbal dan suplemen diet
lainnya) . PMR telah didapat oleh pasien dengan bantuan apoteker atau asisten
apoteker dan dokumen ini selalu diperbaharui . Idealnya, hasil PMR pasien
berupa elektronik, tetapi juga ada yang diproduksi secara manual. Ketika

22
apoteker menyediakan PMR dalam bentuk manual atau secara elektronik,
informasi yang terdapat dalam PMR harus ditulis pada literasi tingkat yang
sesuai dan mudah dipahami oleh pasien.
Dalam institusi resmi, PMR dapat dibuat pada saat pasien yang keluar
yang mendapat dari catatan administrasi obat atau grafik pasien untuk
digunakan oleh pasien dalam ditempat rawat jalan.

Infomasi yang terdapat dalam PMR adalah:


1. Nama pasien
2. Tanggal lahir pasien
3. Nomor telepon pasien
4. Informasi kontak darurat (nama, hubungan, dan nomor telepon)
5. Dokter utama yang merawat pasien (nama dan nomor telepon)
6. Farmasi / apoteker (nama dan nomor telepon)
7. Alergi (Alergi apa yang pasien miliki? Reaksi apa yang terjadi ketika
pasien mengalami alergi ?)
8. Masalah terkait obat lainnya Apa obat yang menyebabkan masalah? Apa
masalah yang pasien hadapi pada saat mengomsumsi obat tersebut ?)
9. Pertanyaan potensial bagi pasien untuk bertanya tentang mereka obat-
obatan (mis., ketika pasien diresepkan obat yang baru, pasien harus
menanyakan kepada dokter atau apoteker yang menangani pasien
tersebut.)
10. Tanggal terakhir diperbarui
11. Tanggal terakhir yang ditinjau oleh apoteker, dokter, atau profesional
kesehatan lainnya
12. Tanda tangan pasien
13. Tanda tangan penyedia layanan kesehatan
14. Untuk setiap obat, masukkan keterangan berupa:
a. Obat-obatan (nama obat dan dosis)
b. Indikasi obat

23
c. Petunjuk untuk digunakan
d. Tanggal mulai minum obat
e. Tanggal berhenti minum obat
f. Kontak pemberi informasi resep (misalnya dokter)
g. Instruksi khusus

PMR ditujukan bagi pasien yang digunakan dalam pengobatan manajemen


diri. Pemeliharaan PMR adalah upaya kolaboratif antara pasien, apoteker,
dokter, dan profesional kesehatan lainnya. Pasien harus didorong untuk
memelihara dan memperbarui dokumen PMR. Pasien juga harus diingatkan
untuk membawa PMR setiap saat dan memberikannya di semua kunjungan
perawatan kesehatan yang mereka datangi . Hal ini bertujuan untuk membantu
memastikan bahwa semua profesional kesehatan mengetahui rejimen
pengobatan mereka.
Pasien harus selalu memperbaharui PMR pasda saat mereka menerima
obat baru; mempunyai pengobatan yang dihentikan, memiliki perubahan
instruksi, mulai menggunakan resep baru atau obat tanpa resep, produk herbal,
atau suplemen makanan lainnya, atau punya perubahan lain pada rejimen obat.
Pembaharuan PMR ini bertujuan untuk membantu memastikan bahwa pasien
memiliki pengobatan yang akurat. Idealnya, apoteker, dokter, dan profesional
kesehatan lainnya dapat secara aktif membantu pasien dengan proses
melakukan revisi terhadap PMR.
Apoteker dapat menggunakan PMR untuk berkomunikasi dan
berkolaborasi dengan dokter dan profesional kesehatan lainnya untuk mencapai
hasil pengobatan pasien yang optimal. Penggunaan PMR akan mendukung
keseragaman informasi yang diberikan kepada semua profesional kesehatan
dan meningkatkan kesinambungan perawatan diberikan kepada pasien dimana
hal ini akan juga memfasilitasi fleksibilitas untuk bertanggung jawab untuk
variasi khusus farmasi atau lembaga (6,14).

24
Gambar 3.1. Personal Medical Record (PMR)

25
Gambar 3.2. Personal Medical Record (PMR)

3.3. Medication Related Action Plan (MAP)


Medication Related Action (MAP) adalah dokumen berpusat pada pasien
yang berisi daftar tindakan untuk pasien untuk digunakan dalam melakukan
monitor terhadap kemajuan pengobatan manajemen diri. Rencana perawatan
adalah tindakan profesional kesehatan untuk membantu pasien mencapai tujuan
kesehatan yang diinginkan. Rencana perawatan merupakan komponen penting

26
dari dokumentasi elemen inti dokumentasi yang diuraikan dalam model
pelayanan ini. Selain rencana perawatan yang dikembangkan oleh apoteker dan
digunakan dalam perawatan kolaboratif pasien, pasien menerima MAP
individual untuk digunakan dalam pengobatan manajemen diri .Penyelesaian
MAP adalah kolaborasi upaya antara pasien dan apoteker. Pasien MAP hanya
mencakup kegiatan yang dapat dilakukan oleh pasien dalam ruang lingkup
praktik apoteker atau yang telah disetujui oleh anggota tim kesehatan yang
terkait (15).
MAP tidak boleh menyertakan tindakan yang dilakukan oleh dokter atau
profesional kesehatan lainnya. Pasien dapat menggunakan MAP secara dalam
melakukan monitor pengelolaan diri sendiri. MAP pasien yang disertai dengan
edukasi, adalah suatu elemen penting untuk menggabungkan pendekatan yang
berpusat pada pasien ke dalam model layanan MTM. MAP dapat mendorong
pasien agar lebih aktif dalam melakukan kepatuhan pengobatan.

Informasi yang terdapat dalm MAP adalah:


1. Nama pasien
2. Dokter perawatan primer (Nama dan nomor telepon dokter)
3. Apotek / apoteker (Nama apotek/ nama apoteker dan nomor telepon)
4. Tanggal pembuatan MAP (Tanggal penyiapan MTM)
5. Langkah-langkah tindakan untuk pasien: "Apa yang harus pasien lakukan"
6. Catatan untuk pasien: "Apa yang pasien lakukan dan kapan pasien
melakukannya..."
7. Informasi tindak lanjut dengan apoteker (jika ada)

Item yang memerlukan intervensi dan telah disetujui oleh anggota tim
kesehatan lainnya dalam ruang lingkup praktik apoteker harus dimasukkan
pada MAP yang dibagikan kepada pasien pada saat melakukan kunjungan .
MAP dibuat pada saat pasien dipulangkan untuk digunakan pasien dalam
melakukan pengobatan manajemen diri (6).

27
Gambar 3.3. Medication Related Action

3.4

28
3.5. Documentation dan Follow Up
Pelayanan MTM didokumentasikan dan dikomunikasikan kepada
prescriber dan pasien dalam sikap konsisten dan kunjungan follow up MTM
adalah penjadwalan berdasarkan pada kebutuhan terkait pengobatan pasien,
atau pasien dialihkan dari pengaturan perawatan yang satu ke yang lainnya.
Dokumentasi merupakan elemen penting dari model layanan MTM. Layanan
dan intervensi dokumen apoteker dilakukan dengan cara yang tepat untuk
mengevaluasi kemajuan pasien dan cukup untuk tujuan penagihan.
Dokumentasi termasuk membuat dan memelihara data spesifik pasien yang
berisi Subjektif, Objektif, Assessment dan Plan (SOAP). Penggunaan
dokumentasi yang konsisten akan membantu memfasilitasi kolaborasi antar
anggota tim layanan kesehatan sambil mengakomodasi praktisi-praktisi,
fasilitas, organisasi, atau regional. Dokumentasi bertujuan (7):
1. Memfasilitasi komunikasi antara apoteker dan profesional kesehatan
lainnya.
2. Meningkatankan pengobatan pasien
3. Meningkatkan kelanjutan pengobatan pasien

29
4. Memastikan kepatuhan pasien terhadap aturan untuk pemeliharaan berkala
terhadap catatan pasien.
5. Melindungi terhadap tanggung jawab professional
6. Memastikan pelayanan terhadap justifikasi tagihan atau pergantiaan (audit
pembayaran)
7. Mendemonstrasikan klinis, ekonomi dan hasil humanistic

Tabel 3.1. Contoh Dokumentasi

Follow up dilakukan untuk memantau hasil dari rencana pengembangan


pengobatan. Ketika pengaturan perawatan pasien berubah maka apoteker
berkoordinasi dengan apoteker lain dalam perawatan baru untuk pasien.

30
Apoteker awal yang menyediakan layanan MTM harus berpartisipasi secara
kooperatif dengan apoteker lain untuk berkoordinasi dalam pengobatan pasien
termasuk pengalihan obat yang relevan dan informasi terkait kesehatan lainnya.
Jika pasien akan tinggal dalam perawatan yang sama, apoteker harus mengatur
layanan MTM yang konsisten sesuai dengan kebutuhan pengobatan pasien.
Semua evaluasi tindak lanjut dan interaksi dengan pasien dan profesional
kesehatan lainnya harus disertakan dalam dokumentasi MTM (2).

Informasi yang dibutuhkan dalam dokumentasi dan follow up, antara lain (2):
1. Memfasilitasi komunikasi antara apoteker dan profesional pelayanan
kesehatan pasien lainnya sehubungan dengan rekomendasi yang
dimaksudkan untuk menyelesaikan atau memantau masalah terkait obat
aktual atau potensial.
2. Meningkatkan perawatan dan outcome pasien.
3. Meningkatkan kontinuitas perawatan pasien diantara penyedia pelayanan
dan pengaturan perawatan.
4. Memastikan kepatuhan terhadap hukum dan regulasi untuk memelihara
rekam medis pasien.
5. Melindungi terhadap kewajiban profesional.
6. Menangkap pelayanan yang disediakan untuk pembenaran penagihan atau
penggantian (misal: audit pembayar).
7. Menunjukkan nilai apoteker yang disediakan layanan MTM.
8. Menunjukkan outcome humanistik, ekonomis, dan klinis.

DAPUS:

2. A. Burns. 2008. Medication therapy management in pharmacy practice: Core


elements of an MTM service model (version 2.0). Journal of the American
Pharmacists Association; 341-353.

31
Grace ini yg dapus no. 2 di bagian dokumentasi dan follow up, nanti diganti
aja nomornya sesuai urutan setelah dapus lo. Jangan lupa diganti di bagian
daftar pustaka sama nomornya di bagian follow up dan dokumentasi. Jangan
lupa halaman tabel nya 3.5 dan dapus

DAFTAR PUSTAKA

1. Irawan, E., Rahayuwati, L., & Yani, D. (2017). Hubungan penggunaan terapi
modern dan komplementer terhadap kualitas hidup pasien kanker payudara.
Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 5 (1), 19–28.
2. https://profetik.farmasi.ugm.ac.id/archives/194 diakses pada tanggal 27 Juni
2020 pukul 00.00 WIB
3. America Society of Hospital Pharmacist (ASHP). (1993). Pharmaceutical
Care. USA: ASHAP Incorporation.
4. Rovers J., Currie J., Hagel H., dkk. (2003). A Practical Guide to
Pharmaceutical Care 2nd edition. Washington DC: American Pharmacist
Association.
5. Melissa S.M., Susan M.M., Wendy D.H., Deanne L.H., Jean-Venable R.G.,
dan Randall B.S. (2007). Medication Therapy Management: Its relationship
to patient counselling, disease management and pharmaceutical care. J Am
Pharm Assoc.
6. American Pharmacist Association, National Association of Chain Drug
Stores Foundation. (2008). Mediaction Therapy Management in Pharmacist
Practice: Core Element of an MTM Service (version 2.0). J Am Pharm Assoc.
7. American Pharmacist Association, National Association of Chain Drug
Stores Foundation. (2004). Mediaction Therapy Management in Community
Pharmaceutical Practice: Core Element of an MTM Service (version 1.0). J
Am Pharm Assoc

32
8. World Health Organization. (2013). Breast cancer data. Diperoleh dari
http://www.who.intl. org
9. Kementerian Kesehatan RI. (2015). Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehaan RI. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
10. Universitas Gajah Mada (2012, July 3). Terapi herbal kurang diminati untuk
pengobatan kanker. Diperoleh 10 April 2017, dari
https://www.ugm.ac.id/id/newsPdf/4353-tera
pi.herbal.kurang.diminati.untuk.pengobatan. kanker.
11. Brousselle, A., Breton, M., Benhadj, L., Tremblay, D., Provost, S., Roberge,
D., . . . Tousignant, P. (2017). Explaining time elapsed prior to cancer
diagnosis: Patients perspectives. BMC Health Services Research, 17 (1), 448.
doi: 10.1186/s12913-017-2390-1.
12. Irawan, E., Rahayuwati, L., & Yani, D. (2017). Hubungan penggunaan terapi
modern dan komplementer terhadap kualitas hidup pasien kanker payudara.
Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 5 (1), 19–28.
13. Witdiawati, W., Rahayuwati, L., & Sari, S. (2017). Enculturation in the life pattern
of breast cancer patients: An ethno-nursing study on sundanese women. Jurnal Ners,
12 (1), 99– 107. doi: http://dx.doi.org/10.20473/jn.v12i1 .4143.
14. Veronin A.M., Alkhateeb F.M., dan Houser., J.E. 2014. Patient-centered
Health Care Delivery Uniting MTM, EHRs and Patients:Opportunities for
Pharmacists. Journal of JPharmaceutical Care & Health Systems. Volume 1
(3) : 1-5
15. Boban, Belsy., Aswaty K.S., Athira B.M., Karthikeyan M., Xavier. A.,
Aravind R.S. 2016. Impact of Medication Therapy Management on
Knowledge, Attitude and Practice among Diabetic. Elsevier : 70 -72.

33
DAFTAR PUSTAKA

34

Anda mungkin juga menyukai