Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

Peran Apoteker dalam Medication Safety

Anggota Kelompok:

1. Christin Nesia Sukma W. (198115079)


2. Kadek Evi Indrayani (198115089)
3. Stefania Natalia Ngabur (198115125)
4. Chatarina Bora Latong (198115145)

PRAKTEK KERJA PROFESI


APOTEKER RUMAH SAKIT SAIFUL
ANWAR MALANG, JAWA TIMUR
2020

i
Lembar Pengesahan

Makalah Peran Apoteker dalam Medication Safety ini disusun sebagai tugas
menyelesaikan topik pada Praktek Kerja Pendidikan Apoteker (PKPA) online yaitu Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.

Yogyakarta, 8 September 2020


Anggota Kelompok

Christin Nesia Sukma


Kadek Evi Indrayani Stefani Natalia N. Chatarina Bora L.
198115079
198115089 198115125 198115145

……………….. ……………….. ……………….. ………………..

Mengetahui,
Apt. dra. Arofa Idha, M.Farm-Klin
(Perceptor RSSA)

………………..

ii
Daftar Isi

COVER.....................................................................................................................................................i

Lembar Pengesahan...............................................................................................................................ii

Daftar Isi................................................................................................................................................iii

Kata Pengantar.....................................................................................................................................iv

BAB I......................................................................................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................................................1

B. Tujuan........................................................................................................................................2

BAB II.....................................................................................................................................................3

BAB III....................................................................................................................................................6

A. Pembahasan..............................................................................................................................6

B. Alur Tatalaksana........................................................................................................................9

BAB IV..................................................................................................................................................21

Daftar Pustaka.....................................................................................................................................22
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Peran Apoteker dalam Medication Safety tepat waktu.
Makalah Peran Apoteker dalam Medication Safety disusun guna memenuhi tugas dari
preceptor pada Rumah Sakit di Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA). Selain itu, penulis juga
berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Peran Apoteker
dalam Medication Safety.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Apt. Dra. Arofa Idha,
M.Farm-Klin selaku preceptor bidang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Tugas
yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang
ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Yogyakarta, 8 September 2020

Tim USD
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Obat adalah salah satu jenis terapi yang
diberikan kepada pasien untuk meningkatkan
kualitas hidup dan meminimalkan risiko yang
tidak diinginkan. Dalam konsep penggunaan obat,
ada beberapa kesalahan yang bisa saja terjadi
diantaranya kesalahan pemberian resep, kesalahan
dalam pemberian dosis obat, kesalahan dalam
rekomendasi waktu minum obat, kesalahan
pemberian obat dan kepatuhan pasien. Kesalahan-
kesalahan yang ada memberikan motivasi kepada
beberapa pihak di bidang kesehatan untuk
merancang panduan pengobatan yang bermanfaat
dalam meminimalisir kemungkinan kesalahan
pengobatan tersebut.
Medication error adalah ketidaktepatan
penggunaan obat-obatan yang dapat dicegah.
Pada dasarnya, medication errors menyebabkan
cukup banyak kerugian pada pasien sehingga hal
yang bisa dilakukan oleh tenaga profesional
kesehatan adalah dengan mencegah atau
menghindarinya. Medication errors dapat terjadi
dalam beberapa tahapan yaitu prescribing
(peresepan), trancribing, dispensing (penyiapan)
dan administering (pemberian obat). Kesalahan
pada salah satu tahap dapat terjadi secara berantai
dan menimbulkan kesalahan pada tahap
selanjutnya. Kejadian kesalahan dalam
pengobatan terkait dengan praktisi, produk obat,
prosedur, lingkungan atau sistem yang melibatkan
peresepan, dispensing dan administrasi. Faktor
penyebab terjadinya medication error adalah
kurangnya diseminasi pengetahuan, kesalahan
1
dosis karena profesional kesehatan, pasien dan keluarga
tidak pasien. Profesional kesehatan yang berkontribusi
mengikuti dalam mengelola obat adalah dokter, perawat,
SOP, lupa, farmasi, paramedis, bidan, fisioterapis, dokter gigi
kurang dan ahli anestesi. Sedangkan pasien dan
informasi keluarganya termasuk dalam pihak pendukung
tenaga tercapainya pengobatan (WHO, 2019).
kesehatan Medication safety adalah sebuah prosedur
dan pasien, aman pemberian obat kepada pasien atau untuk
pelabelan dan mengurangi kesalahan pengobatan yang
kemasan, mempunyai tujuan agar tercapainya keselamatan
salah dalam pasien (patient safety). Untuk mencapai
membaca keamanan dalam
resep dan
kurang
mengerti
dalam
membaca
perintah
lisan,
pelabelan dan
kemasan,
stok dan
penyimpanan
obat yang
tidak baik
(Muladi,
2020).
Kesal
ahan dalam
pengobatan
dapat dicegah
dan dibawah
kendali
2
pengobatan (medication safety) dibutuhkan departemen khusus yang bertugas
memberikan rekomendasi pengobatan kepada staff manajemen rumah sakit, dokter,
apoteker, perawat dan tenaga medis lainnya. Rekomendasi tersebut berisi penggunaan
prinsip yang tertera dalam formularium, menetapkan tugas yang tepat di bidang obat,
adanya wewenang dan tanggung jawab yang jelas dalam administrasi, pemesanan dan
pengeluaran obat, adanya evaluasi yang berkelanjutan dalam proses pengobatan.
Manfaat yang akan diperoleh dari implementasi medication safety adalah keselamatan
pasien (patient safety) yaitu upaya untuk menjamin keselamatan pasien di fasilitas
kesehatan yang cukup kompleks dan banyak hambatan (Anonim, 2017).

B. Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui definisi dan ruang lingkup medication safety
2. Mengetahui dasar peraturan dalam medication safety
3. Mengetahui peran apoteker dalam medication safety
4. Mengetahui alur tatalaksana medication safety
BAB II
Dasar Peraturan

Dasar peraturan mengenai medication safety di Indonesia sudah sangat jelas,


mendetail dan berjenjang mulai dari Undang Undang, Permenkes dan peraturan yang
dibuat oleh Ikatan Apoteker Indonsia (IAI). Penjabaran mengenai aturan ataupun
regulasi mengenai peran apoteker dalam medication safety akan dijabarkan sebagai
berikut:

Ketentuan mengenai peran apoteker dalam medication safety diatur dalam UU


No. 36 Tahun 2009. Beberapa pasal yang berhubungan dengan kewajiban apoteker
dalam medication saftey adalah :

1. Pasal 19, menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan


segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
2. Pasal 24 ayat (1,) menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi kode etik,
standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan dan standar
prosedur operasional.
3. Pasal 53 ayat (3), menyatakan pelaksanaan pelayanan kesehatan harus
mendahulukan keselamatan nyawa pasien.
4. Pasal 54 ayat (1), menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan non
diskriminatif.
Ketentuan kewajiban apoteker dalam mediacation safety juga tertuang dalam UU
Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009 yaitu :
1. Pasal 29b, menyatakan “memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu,
antidiskriminasi dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
2. Pasal 43, yang menyatakan rumah sakit secara tegas wajib menerapkan standar
keselamatan pasien. Standar yang dimaksud dilakukan dengan melakukan
pelaporan insiden, menganalisa, dan mentapkan pemecahan masalah.
3. Pasal 46, yang mnyatakan bahwa tanggung jawab secara hukum atas segala
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan berada pada rumah sakit yang
bersangkutan.
Kewajiban terhadap medication safety juga tertuang dalam Permenkes Nomor 72
Tahun 2016 yaitu:
1. Pasal 3 ayat (1b) yang mengatakan bahwa standar pelayanan klinik di rumah sakit
meliputi:
a. Pelayanan dan pengkajian resep
b. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
c. Rekonsiliasi Obat
d. Pelayanan Informasi Obat
e. Konseling
f. Visite
g. Pemantauan terapi obat
h. Monitoring efek samping obat
i. Evaluasi penggunaan obat
j. Dispensing sediaan steril
k. Pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD)
Ke-11 pelayanan farmasi klinik diatas merupakan hal yang sangat penting dan
bermanfaat dalam mengoptimalkan keberhasilan dan keamanan pengobatan yang
diterima pasien.
Sementara itu kewajiban apoteker terhadap medication safety pasien juga
tercantum dalam kode etik apoteker tahun 2015 yaitu :
1. Pasal 9 yang menyatakan, seorang apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian
harus mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan
melindungi mahluk hidup insani. Jabaran implementasinya adalah sebagai berikut:
a. Kepedulian terhadap pasien adalah hal yang paling utama dari apoteker.
b. Setiap tindakan dan keputusan profesional dari apoteker harus berpihak pada
pasien.
c. Seorang apoteker harus mengambil langkah-langkah untuk menjaga kesehatan
pasien khususnya janin, bayi, anak-anak dan pasien yang lemah.
d. Seorang apoteker harus yakin bahwa obat-obatan yang diberikan ke pasien
terjamin mutu, keamanan, khasiat dan cara pakai obat yang benar.
Hak pasien dalam memperoleh medication safety dalam UU Nomor 36 Tahun
2009 yaitu pada :
1. Pasal 5 ayat (2), menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjankau.
2. Pasal 53 ayat (3), yang menyatakan bahwa pelaksanaan pelayanan kesehatan
harus mendahulukan keselamantan pasien.
3. Pasal 58 ayat (1), yang mengatakan bahwa setiap orang berhak menuntut G.R.
terhadap seseorang tenaga kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
Sedangkan hak pasien dalam memperoleh medication safety dalam UU Rumah
Sakit Nomor 44 Tahun 2009 yaitu :
1. Pasal 32d yang menyatakan bahwa setiap pasien mempunyai hak memperoleh
layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar prosedur operasional.
2. Pasal 32e, menyatakan bahwa setiap pasien mempunyai hak tujuan tindakan
medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.
3. Pasal 32q, menyatakan bahwa setiap pasien mempunyai hak menggugat dan/ atau
menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang
tidak sesuai dengan standar baik perdata atau pidana.
BAB III

A. Pembahasan
Medication safety ialah bebas dari cedera yang tidak disengaja selama
penggunaan obat, atau aktivitas untuk menghindari, mencegah, atau memperbaiki bahaya
yang terkait dengan pengobatan (WHO, 2019).
Apoteker tidak hanya bertanggung jawab atas obat sebagai produk, dengan segala
implikasinya, melainkan bertanggung jawab terhadap efek terapetik dan keamanan suatu
obat agar mencapai efek yang optimal. Memberikan pelayanan kefarmasian secara
paripurna dengan memperhatikan faktor keamanan pasien, antara lain dalam proses
pengelolaan sediaan farmasi, melakukan monitoring dan mengevaluasi keberhasilan
terapi, memberikan pendidikan dan konseling serta bekerja sama erat dengan pasien dan
tenaga kesehatan lain merupakan suatu upaya yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien.
Ruang lingkup medication safety yang paling penting ialah keselamatan pasien
(patient safety). Keselamatan pasien (Patient safety) secara sederhana di definisikan
sebagai suatu upaya untuk mencegah bahaya yang terjadi pada pasien. Walaupun
mempunyai definisi yang sangat sederhana, tetapi upaya untuk menjamin keselamatan
pasien di fasilitas kesehatan sangatlah kompleks dan banyak hambatan. Konsep
keselamatan pasien harus dijalankan secara menyeluruh dan terpadu.
Strategi untuk meningkatkan keselamatan pasien:
a. Menggunakan obat dan peralatan yang aman
b. Melakukan praktek klinik yang aman dan dalam lingkungan yang aman
c. Melaksanakan manajemen risiko, contoh: pengendalian infeksi
d. Membuat dan meningkatkan sistem yang dapat menurunkan risiko yang berorientasi
kepada pasien.
e. Meningkatkan keselamatan pasien dengan:
 Mencegah terjadinya kejadian tidak diharapkan (adverse event)
 Membuat sistem identifikasi dan pelaporan adverse event
 Mengurangi efek akibat adverse event
Dalam penerapannya, keselamatan pasien harus dikelola dengan pendekatan
sistemik. Sistem ini dapat dilihat sebagai suatu sistem terbuka, dimana sistem terkecil
akan dipengaruhi, bahkan tergantung pada sistem yang lebih besar. Sistem terkecil
disebut Mikrosistem, terdiri dari petugas kesehatan dan pasien itu sendiri, serta proses-
proses pemberian pelayanan di ujung tombak, termasuk elemen-elemen pelayanan di
dalamnya. Mikrosistem dipengaruhi oleh Makrosistem, yang merupakan unit yang lebih
besar, misalnya rumah sakit dan apotek. Mikrosistem dan Makrosistem dipengaruhi oleh
sistem yang lebih besar lagi yang disebut Megasistem. Seorang Apoteker yang berperan
di dalam mikrosistem (apotek, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, dan sarana
pelayanan farmasi lain) dalam membangun keselamatan pasien harus mampu mengelola
dengan baik elemen-elemen dalam mikrosistem tersebut, yaitu sistem pelayanan, sumber
daya, sistem inventori, keuangan dan teknologi informasi (Depkes RI, 2008).
Makrosistem menyediakan sumber daya, proses pendukung, struktur dan
kebijakan-kebijakan yang berlaku di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang secara
tidak langsung akan mempengaruhi pelaksanaan program-program yang menyangkut
keselamatan pasien. Kebijakan-kebijakan itu antara lain sistem penulisan resep,
standarisasi bahan medis habis pakai (BMHP), rekam medis dan lain sebagainya. Selain
itu, kultur atau budaya yang dibangun dan diterapkan di lingkungan rumah sakit juga
akan sangat mempengaruhi kinerja unit-unit yang bertanggung jawab terhadap
keselamatan pasien. Budaya tidak saling menyalahkan (no blame culture), sistem
informasi manajemen atau information technology (SIM/IT) rumah sakit, kerjasama tim,
kepemimpinan, alur koordinasi, Komite/Panitia Farmasi dan Terapi (KFT/PFT) Rumah
Sakit, Formularium Rumah Sakit, dan Komite-komite serta Program Rumah Sakit
lainnya, merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan keselamatan pasien
yang berasal dari makrosistem (Depkes RI, 2008).
Megasistem adalah kebijakan kesehatan nasional yang berlaku, misalnya
kebijakan-kebijakan menyangkut obat dan kesehatan yang dikeluarkan oleh Departemen
Kesehatan (Kebijakan tentang akreditasi, Obat Rasional, Infeksi Nosokomial, dan lain
sebagainya), termasuk juga sistem pendidikan dan pendidikan berkelanjutan yang
berlaku (Depkes RI, 2008).
Dalam membangun keselamatan pasien banyak istilah yang perlu dipahami dan
disepakati bersama yaitu:
1. Kejadian tidak diharapkan (adverse event) ialah cedera pada pasien selama proses
penatalaksaan medis yang mencangkup seluruh aspek pelayanan, termasuk diagnosa,
terapi, kegagalan diagnosa/terapi, peralatan yang digunakan untuk pelayanan.
Adverse
event ini dapat dicegah atau tidak dapat dicegah. Contoh kasusnya seperti iritasi pada
kulit karena penggunaan perban, jatuh dari tempat tidur, dan lainnya.
2. Adverse drug event ialah respon yang tidak diharapkan terhadap terapi obat dan
mengganggu atau menimbulkan cedera pada penggunaan obat dosis normal. Reaksi
obat yang tidak diharapkan (ROTD) ada yang berkaitan dengan efek farmakologi atau
mekanisme kerja (efek samping) ada yang tidak berkaitan dengan efek farmakologi
(reaksi hipersensitivitas). Contoh kasusnya yaitu syok anafilaksis pada penggunaan
antibiotik golongan penisilin, mengantuk pada penggunaan obat yang mengandung
CTM.
3. Adverse drug reaction ialah kejadian pada pasien selama proses terapi akibat
penggunaan obat. Contoh kasusnya Steven-Johnson Syndrom, obat epilepsi, dan
lainnya.
4. Medication error ialah kejadian yang dapat dicegah akibat penggunaan obat yang
menyebabkan cedera. Contoh kasusnya peresepan obat yang tidak rasional, kesalahan
perhitungan dosis pada peracikan, ketidakpatuhan pasien sehingga terjadi dosis
berlebih atau kurang dosis.
Adapun hubungan antara kesalahan pengobatan dan efek samping obat seperti
yang paling umum dipahami menurut WHO (2019), dapat dilihat pada bagan dibawah.
Medication error penyebabnya dapat dicegah (preventable) dengan outcome terapi yang
telah diketahui bahwa terapi yang diberikan tidak menyebabkan cidera pada pasien
dengan potensi kejadian efek samping obat dapat dihindari dan kejadian kesalahan
pengobatan yang sepele. Namun jika penyebab efek samping obat yang belum diketahui
sehingga menyebabkan pasien cidera maka akan masuk ke ranah Adverse drug event
yang tidak dapat dicegah (not preventable) dan risiko pengobatan yang permanen
(inherent risk of drug).
Hubungan medication error dan adverse drug event (WHO, 2019)

Keamanan terhadap titik kritis dalam proses manajemen obat meliputi system
seleksi (selection), sistem penyimpanan sampai ke pendistribusian (storage,
distribution), system permintaan obat, interpretasi dan verifikasi (ordering and
transcribing), sistem penyiapan, labelisasi atau etiket, peracikan, dokumentasi,
penyerahan ke pasien disertai kecukupan informasi (preparing and dispensing), teknik
penggunaan obat pasien (administration), pemantauan efektivitas penggunaan
(monitoring). Selain itu, terdapat pula sistem kerjasama dengan tenaga kesehatan terkait
kompetensi maupun kewenangan, sistem pelaporan masalah obat dengan upaya
perbaikan, informasi obat yang selalu tersedia, keberadaan apoteker dalam pelayanan,
adanya prosedur khusus obat dan alat yang memerlukan perhatian khusus karena dampak
yang membahayakan.

B. Alur Tatalaksana
1. Metode Pendekatan dalam Upaya Menurunkan Medication Error
a. Mendorong fungsi dan pembatasan (forcing function and constrainsts) yaitu
suatu upaya mendesain sistem yang mendorong seseorang melakukan hal yang
baik. Contohnya: sediaan potassium klorida siap pakai dalam konsentrasi 10%,
NaCl 0.9% karena sediaan di pasar dalam konsentrasi 20% (>10%) yang
mengakibatkan fatal (henti jantung dan nekrosis pada tempat injeksi), sehingga
perlu untuk diturunkan konsentrasinya dan tidak langsung digunakan.
b. Otomatis dan computer (computerized prescribing order entry) yaitu membuat
statis atau robotisasi pekerjaan berulang yang sudah pasti dengan dukungan
teknologi, contohnya: komputerisasi proses penulisan resep oleh dokter diikuti
dengan “tanda peringatan” jika diluar standar (ada penanda otomatis ketika
digoxin ditulis 0.5g atau obat perlu peringatan lainnya).
c. Standard dan protokol, standarisasi prosedur yaitu menetapkan standar
berdasarkan bukti ilmiah dan standarisasi prosedur (menetapkan standar
pelaporan insiden dengan prosedur baku). Kontribusi apoteker dalam panitia
farmasi dan terapi (KFT) serta pemenuhan sertifikasi atau akreditasi pelayanan
memegang peranan penting.
d. Sistem daftar tilik dan cek ulang yaitu alat kontrol berupa daftar tilik dan
penetapan cek ulang setiap langkah kritis dalam pelayanan. Untuk mendukung
efektivitas ssstem ini diperlukan pemetaan anlisis titik kritis dalam sistem.
e. Peraturan dan kebijakan yaitu untuk mendukung keamanan proses manajemen
obat pasien. Contohnya: semua resep rawat inap harus melalui supervise
apoteker.
f. Pendidikan dan informasi yaitu penyediaan informasi setiap saat tentang obat,
pengobatan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan tentang prosedur untuk
meningkatkan kompetensi dan mendukung kesulitan pengambilan keputusan saat
memerlukan informasi.
g. Lebih hati-hati dan waspada untuk membangun lingkungan kondusif untuk
mencegah kesalahan. Contohnya: baca sekali lagi nama pasien sebelum
menyerahkan obatnya.

2. Peran Petugas Farmasi dalam Mewujudkan Keselamatan Pasien

Penggunaan Obat rasional merupakan hal utama dari pelayanan kefarmasian.


Dalam mewujudkan pengobatan rasional, keselamatan pasien menjadi masalah yang
perlu diperhatikan. Kejadian medication error dapat dicegah jika melibatkan
pelayanan farmasi klinis dari apoteker yang sudah terlatih. Peran apoteker dalam
Keselamatan Pengobatan (Medication Safety Pharmacist) meliputi:

1. Mengolah laporan medication error.

a. Membuat kajian terhadap laporan insiden yang masuk


b. Mencari akar permasalaahan dari error yang terjadi.
2. Mengidentifikasi pelaksanaan praktek profesi terbaik untuk menjamin
medication error.
a. Menganalisis pelaksanaan praktek yang menyebabkan medication error.
b. Mengambil langkah proaktif untuk pencegahan.
c. Memfasilitasi perubahan proses dan sistem untuk menurunkan insiden
yang sering terjadi atau berulangnya insiden sejenis.
3. Mendidik staf dan klinisi lainnya untuk menggalakkan praktek pengobatan yang
aman.
a. Mengembangkan program pendidikan untuk meningkatkan medication safety
dan kepatuhan pada aturan/SOP yang ada.
4. Berpartisipasi dalam komite/tim yang berhubungan dengan medication safety
a. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
b. Komite terkait lainnya
5. Terlibat di dalam pengembangan dan pengkajian kebijakan penggunaan obat.
6. Memonitor kepatuhan terhadap standar pelaksanaan Keselamatan Pasien yang ada
Peran apoteker dalam mewujudkan keselamatan pasien meliputi dua aspek
yaitu aspek manajemen dan aspek klinis. Aspek manajemen meliputi pemilihan
perbekalan farmasi, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan distribusi, alur
pelayanan, sistem pengendalian (misalnya memanfaatkan IT). Sedangkan aspek klinik
meliputi skrining permintaan obat resep atau obat bebas, penyiapan obat dan obat
khusus, penyerahan dan pemberian informasi obat, konseling, monitoring dan
evaluasi. Kegiatan farmasi klinik sangat diperlukan terutama pada pasien yang
menerima pengobatan dengan risiko tinggi. Keterlibatan apoteker dalam tim
pelayanan kesehatan perlu didukung mengingat keberadaanya melalui kegiatan
farmasi klinik terbukti memiliki konstribusi besar dalam menurunkan insiden/
kesalahan.

Petugas farmasi harus berperan di semua tahapan proses yang meliputi:

1. Pemilihan

Pada tahap pemilihan perbekalan farmasi, risiko insiden/ error dapat diturunkan
dengan pengendalian jumlah item obat dan penggunaan obat-obat sesuai
formularium.

2. Pengadaan
Pengadaan harus menjamin ketersediaan obat yang aman efektif dan sesuai yang
berlaku (legalitas) dan diperoleh dari distributor resmi.

3. Penyimpanan

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan untuk menurunkan kesalahan


pengambilan obat dan menjamin mutu obat:

a. Simpan obat dengan nama, tampilan dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike
medication names) secara terpisah.
b. Obat-obat dengan peringatan khusus (high alert drugs) yang dapat
menimbulkan cedera jika terjadi kesalahan pengambilan, simpan di tempat
khusus. Misalnya: menyimpan cairan elektrolit pekat seperti KCL injeksi,
heparin, warfarin, insulin, kemoterapi, narkotik opiat, neuromuscular blocking
agents, thrombolitik dan agonis adrenergik.
c. Kelompok obat antidiabet jangan disimpan tercampur dengan obat lain secara
alfabetis, tetapi tempatkan secara terpisah
d. Simpan obat sesuai dengan persyaratan penyimpanan.
4. Skrining Resep

Apoteker dapat berperan nyata dalam pencegahan terjadinya medication error


melalui kolaborasi dengan dokter dan pasien.

a. Identifikasi pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama dan nomor
rekam medik/ nomor resep.
b. Petugas farmasi tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi
resep dokter. Untuk mengklarifikasi ketidaktepatan atau ketidakjelasan resep,
singkatan, hubungi dokter penulis resep.
c. Dapatkan informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting dalam
pengambilan keputusan pemberian obat seperti:
- Data demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan data klinis (alergi,
diagnosis, dan hamil/menyusui). Contohnya, apoteker perlu mengetahui tinggi
badan dan berat badan pasien yang meminta obat-obatan dengan indeks terapi
sempit untuk keperluan perhitungan dosis.
- Hasil pemeriksaan pasien (organ, hasil laboratorium, tanda–tanda vital dan
parameter lainnya). Contohnya, apoteker harus mengetahui data laboratorium
yang penting, terutama untuk obat-obat yang memerlukan penyesuaian dosis
(seperti penurunan fungsi ginjal).
a. Membuat riwayat / catatan pengobatan pasien.
b. Strategi lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan dengan
penggunaan otomatisasi (automatic stop order), sistem komputerisasi (e-
prescribing) dan pencatatan pengobatan pasien seperti sudah disebutkan di
atas.
c. Permintaan obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan emergensi
dan itupun harus dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan obat yang
diminta benar, dengan mengeja nama obat serta memastikan dosisnya.
Informasi obat yang penting harus diberikan kepada petugas yang
meminta/menerima obat tersebut. Petugas yang menerima permintaan harus
menulis dengan jelas instruki lisan setelah mendapat konfirmasi.
5. Dispensing
a. Peracikan obat dilakukan dengan tepat sesuai SPO.
b. Pemberian etiket yang tepat. Etiket harus dibaca minimal tiga kali: pada saat
pengambilan obat dari rak, pada saat mengambil obat dari wadah, pada saat
mengembalikan obat ke rak.
c. Dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang yang berbeda (double check).
d. Pemeriksaan meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket, aturan pakai,
pemeriksaan kesesuaian resep terhadap isi etiket.
6. Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE)

Edukasi dan konseling kepada pasien harus diberikan mengenai hal-hal yang
penting terhadap obat dan pengobatannya. Hal-hal yang harus diinformasikan dan
didiskusikan pada pasien adalah:

a. Pemahaman yang jelas mengenai indikasi penggunaan dan bagaimanan


menggunakan obat dengan benar, harapan setelah menggunakan obat, lama
pengobatan, kapan harus kembli ke dokter.
b. Peringatan yang berkaitan dengan proses pengobatan.
c. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang potensial, interaksi obat dengan obat
lain dan makan harus dijelaskan kepada pasien.
d. Reaksi obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction-ADR) yang
mengakibatkan cedera pasien, pasien harus mendapat edukasi mengenai
bagaimana cara mengatasi kemungkinan terjadinya Adverse Drug Reaction
tersebut.
e. Penyimpanan dan penanganan obat di rumah termasuk mengenali obat yang
sudah rusak dan kadaluwarsa. Ketika melakukan konseling kepada pasien,
apoteker mempunyai kesempatan untuk menemukan potensi kesalahan yang
mungkin terlewatkan pada proses sebelumnya
7. Penggunaan Obat

Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat oleh pasien rawat inap di
rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, bekerjasama dengan petugas
kesehatan lain. Hal yang perlu diperhatikan adalah:

a. Tepat pasien
b. Tepat waktu pemberian
c. Tepat obat
d. Tepat dosis
e. Tepat rute pemberian
8. Monitoring dan Evaluasi

Apoteker harus melakukan monitor dan evaluasi untuk mengetahui efek


terapi, mewaspadai efek samping obat, memastikan kepatuhan pasien. Hasil
monitoring dan evaluasi didokumentasikan dan ditindaklanjuti dengan melakukan
perbaikan dan mencegah pengulangan kesalahan. Seluruh personal yang ada di
pelayanan kefarmasian harus terlibat di dalam program keselamatan pasien
khususnya medication safety dan harus secara terus menerus mengidentifikasi
masalah dan mengimplementasikan strategi untuk meningkatkan keselamatan
pasien. Apoteker menerapkan 7 langkah menuju keselamatan pasien dan
pelayanan kefarmasian yang mengacu pada buku panduan Nasional Keselamatan
Pasien Rumah Sakit (Patient Safety):

1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien ciptakan kepemimpinan


dan budaya yang terbuka dan adil.
a. Adanya kebijakan instalasi farmasi Rumah Sakit atau sarana pelayanan
kesehatan lainnya tentang keselamatan pasien yang meliputi kejadian yang
tidak diharapakan (KTD), kejadian nyaris cedera (KNC), Kejadian sentinel,
dan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh apoteker dan tenaga
farmasi, pasien dan keluarga jika terjadi insiden.
b. Membuat, mensosialisasikan dan menerapkan SPO sebagai tindak lanjut
setiap kebijakan.
c. Membuat buku catatan tentang KTD, KNC dan kejadian sentinel dan
melaporkan ke atasan langsung.
2. Memimpin dan mendukung staf di instalasi farmasi
Membangun komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang keselamatan
pasien di tempat pelayanan (instalasi farmasi/ apotek).
a. Adanya suatu tim di instalasi farmasi / apotek yang bertanggung jawab
terhadap keselamatan pasien (sesuai dengan kondisi).
b. Menunjukkan staf instalasi farmasi / apotek yang bisa menjadi penggerak
dan mampu mensosialisasikan program (leader).
c. Mengadakan pelatihan untuk staf dan menempatkan staf sesuai kompetensi.
Staf farmasi harus mendapat edukasi tentang kebijakan dan SOP yang
berkaitan dengan proses dispensing yang akurat, mengenai nama dan
bentuk obat-obat yang membingungkan, obat-obat formularium/non-
formularium, obat-obat yang ditanggung asuransi dan non asuransi, obat-
obat baru dan obat-obat yang memerlukan perhatian khusus. Selain itu
petugas farmasi harus mewaspadai dan mencegah medication error yang
dapat terjadi.
d. Menumbuhkan budaya yang tidak menyalahkan (no blaming culture) agar
staf berani melaporkan setiap insiden yang terjadi.
3. Menginteraksikan aktivitas pengelolaan risiko
Kembangkan sistem dan proses pengelolaan resiko serta lakukan identifikasi
dan asssestment hal yang potensial bermasalah
a. Membuat kajian setiap adanya laporan KTD, KNC dan kejadian sentinel
b. Membuat solusi dari insiden tersebut supaya tidak berulang dengan
mengevaluasi SPO yang sudah ada atau mengembangkan SPO bila
diperukan.
4. Mengembangkan sitem pelaporan
a. Memastikan setiap staf instalasi farmasi/ apotek dengan mudah dapat
melaporkan insiden kepada atasan langsung tanpa rasa takut.
b. Memberi penghargaan kepada staf yang melaporkan.
5. Melibatkan dan komunikasi dengan pasien
Mengembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien
a. Pastikan setiap penyiapan obat diikuti dengan pemberian informasi yang
jelas dan tepat.
b. Dorong pasien untuk berani bertanya dan mendiskusikan dengan apoteker
tentang obat yang diterima.
c. Lakukan komunikasi pada pasien dan keluarga bila ada insiden serta
berikan solusi tentang insiden yang dilaporkan.
6. Mencegah KTD, KNC dan kejadian sentinel dengan cara:
a. Menggunakan informasi dengan benar dan jelas yang diperoleh dari sistem
pelaporan, assessment risiko, kajian insiden dan audit serta analisis untuk
menentukan solusi.
b. Membuat solusi yang mencakup penjabaran ulang sistem (redesign system),
penyesuaian SPO yang menjamin keselamatan pasien.

3. Pencatatan dan Pelaporan


1. Prosedur pelaporan insiden
a. Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi, potensial terjadi
ataupun yang nyaris terjadi.
b. Laporan insiden yang dibuat oleh siapa saja atau yang pertama kali
menemukan kejadian atau terlibat dalam kejadian.
c. Pelaporan dilakukan dengan mengisi ‘Formulir Laporan Insiden’ yang bersifat
rahasia.
2. Alur pelaporan insiden ke tim keselamatan pasien (KP) di rumah sakit (internal)
a. Apabila terjadi suatu insiden (KNC)/ KTD/ Kejadian sentinel) terkait dengan
pelayanan kefarmasian, wajib segera ditindaklanjuti (dicegah/ditangani) untuk
mengurangi dampak/ akibat yang tidak diharapkan.
b. Setelah ditindaklanjuti, segera buat laporan insiden dengan mengisi Formulir
Laporan Insiden kerja / shift kepada apoteker penanggung jawab dan jangan
menunda laporan.
3. Laporan segera diserahkan kepada Apoteker penangung jawab.
4. Apoteker penanggung jawab memeriksa laporan dan melakukan grading risiko
terhadap insisden yang dilaporkan.
5. Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisis yang akan
dilakukan:
a. Grade biru : Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab, waktu
maksimal 1 minggu.
b. Grade hijau: Investigasi sederhana oleh Apoteker penangung jawab, waktu
maksimal dua minggu.
c. Grade Kuning: Investigasi komprehensif atau root cause analysis (RCA)
oleh tim KPRS, waktu maksimal 45 hari
d. Grade Merah: Investigasi komprehensif atau root cause analysis (RCA) oleh
tim KPRS, waktu maksimal 45 hari
6. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana laporan hasil investigasi dan
laporan insiden dilaporkan ke tim KPRS.
7. Tim KPRS akan menganalis kembali hasil investigasi dan laporan insiden untuk
menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan root cause analysis
(RCA) dengan melakukan regrading.
8. Untuk Grade Kuning/ merah, tim KPRS akan melakukan root cause analysis
(RCA)
9. Setelah melakukan root cause analysis (RCA), tim KPRS akan melakukan
laporan rekomendasi untuk perbaikan serta ‘pembelajaran’ berupa: petunjuk/
safety alert untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
10. Hasil root cause analysis (RCA). Rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan
kepada direksi.
11. Rekomendasi untuk ‘perbaikan dan pembelajaran’ diberikan umpan baik kepada
instalasi farmasi dan unit terkait.
12. Apoteker penanggung jawab akan membuat analisis dan trend kejadian di satuan
kerjanya.
13. Monitor dan Evaluasi perbaikan oleh Tim KPRS.

4. Peran Apoteker dalam Penyusunan Laporan


Idealnya setiap KTD/KNC/ Kejadian sentinel yang terkait dengan penggunaan obat
harus dikaji terlebih dahulu oleh apoteker yang berpengalaman sebelum diserahkan
kepada Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Tujuan pengkajian untuk memastikan
bahwa laporan tersebut sudah sesuai, nama obat yang dilaporkan benar, dan
memasukkan dalam kategori insiden yang benar. Kategori kesalahan dalam
pemberian obat adalah:

1. Pasien mengalami reaksi alergi


2. Kontraindikasi
3. Obat kadaluwarsa
4. Bentuk sediaan yang salah
5. Frekuensi pemberian yang salah
6. Label obat yang salah/ tidak ada/ tidak jelas
7. Informasi obat kepada pasien yang salah/ tidak jelas
8. Obat diberikan pada pasien yang salah
9. Cara menyiapkan (meracik) obat yang salah
10. Jumlah obat yang tidak sesuai
11. ADR (jika digunakan berulang)
12. Rute pemberian yang salah
13. Cara penyimpanan yang salah
14. Penjelasan petunjuk penggunaan pada pasien yang salah

Permasalahan dalam Pencatatan dan Pelaporan

1. Laporan sering tidak diuraikan secara rinci karena takut disalahkan


2. Laporan terlambat
3. Laporan kurang lengkap (cara mengisi formulir salah, data kurang

lengkap) Hambatan dalam pencatatan laporan dan pelaporan

1. Pandangan bahwa kesalahan adalah sesuatu kegagalan dan kesalahan dibebankan


pada satu orang saja.
2. Takut disalahkan karena dengan melaporkan KTD. KNC dan kejadian sentinel
akan membeberkan keburukan dari personal atau tim dalam rumah sakit/ sarana
kesehatan lain.
3. Terkena risiko tuntutan hukum terhadap kesalahan yang dibuat.
4. Laporan disebarluaskan untuk tujan yang merugikan.
5. Pelaporan tidak memberi manfaat langsung kepada pelapor.
6. Kurangnya sumber daya.
7. Kurang jelas batasan apa dan kapan pelaporan harus dibuat.
8. Sulitnya membuat laporan dan menghabiskan waktu.

5. Monitoring dan Evaluasi


Sebagai tindak lanjut terhadap program keselamatan pasien, apoteker perlu
melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi di untit kerjanya secara berkala.
Monitoring merupakan kegiatan pemantauan terhadap pelaksanaan pelayanan
kefarmasian terkait program keselamatan pasien. Evaluasi merupakan proses
penilaian kinerja pelayanan kefarmasian terkait program keselamatan pasien. Tujuan
dilakukan monitoring dan evaluasi agar pelayanan kefarmasian yang dilakukan
sesuai dengan kaidah keselamatan pasien dan mencegah terjadinya kejadian yang
tidak diinginkan dan berulang di masa yang akan datang. Monitoring dan evaluasi
dilakukan terhadap:
1. Sumber Daya Manusia (SDM)
2. Pengelolaan perbekalan farmasi (seleksi, perencanaan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan dan distribusi/ penggunaan)
3. Pelayanan farmasi klinik (pengkajian resep, penyerahan obat, pemberian
informasi obat, konseling obat, rekonstitusi obat kanker, IV. Admixture, total
parenteral nutrition, therapeutic drug monitoring)
4. Laporan yang didokumentasikan
Dari hasil monitoring dan evaluasi dilakukan intervensi berupa rekomendasi
dan tindak lanjut terhadap hal–hal yang perlu diperbaiki seperti perbaikan kebijakan,
prosedur, peningkatan kinerja sumber daya manusia, sarana dan prasarana ataupun
organisasi. Hasil dari rekomendasi dan tindak lanjut ini harus diumpan balikkan ke
semua pihak yang terkait dengan program keselamatan pasien Rumah Sakit. Untuk
mengukur keberhasilan program kegiatan yang telah ditetapkan diperlukan indikator,
suatu alat/ tolak ukur yang menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap prosedur yang
telah ditetapkan. Indikator keberhasilan program dapat dilihat dari: Menurunnya
angka kejadian tidak diinginkan (KTD), KNC, kejadian sentinel.
BAB IV
Kesimpulan

1. Medication safety ialah bebas dari cedera yang tidak disengaja selama penggunaan
obat, atau aktivitas untuk menghindari, mencegah, atau memperbaiki bahaya yang
terkait dengan pengobatan. Ruang lingkup utama dari medication safety adalah
patient safety.
2. Dasar peraturan dalam medication safety adalah:
 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Nasional pasal 5 ayat (2); pasal
19; pasal 24 ayat (1); pasal 53 ayat (3); pasal 54 ayat (1); pasal 58 ayat (1).
 UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit pasal 29b; pasal 32d; pasal 32e;
pasal 32q; pasal 43; pasal 46.
 Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit pasal 3 ayat (1b).
 Kode Etik dan Pedoman Disiplin Apoteker Indonesia Tahun 2015 pasal 9.
3. Peran apoteker dalam medication safety adalah:
 Mengelola medication error
 Mengidentifikasi pelaksanaan praktek profesi terbaik untuk menjamin medication
safety
 Mendidik staf dan klinisi untuk menggalakkan praktek pengobatan yang aman.
 Berpartisipasi dalam Komite yang berhubungan dengan medication safety
 Terlibat didalam pengembangan dan pengkajian kebijakan penggunaan obat
 Memonitor kepatuhan terhadap standar pelaksanaan Keselamatan Pengobatan
yang terdapat Peran apoteker dalam mewujudkan keselamatan pengobatan pasien
meliputi aspek manajemen dan aspek klinik.
4. Alur tatalaksana medication safety meliputi:
 Metode pendekatan terhadap pemicu terjadinya eror dan upaya menurunkan
Medication Error
 Memahami peran petugas farmasi dalam mewujudkan keselamatan pasien
 Pencatatan dan pelaporan insiden yang terjadi
 Peran apoteker dalam penyusunan laporan
 Monitoring dan evaluasi
Daftar Pustaka

Anonim, Kode Etik dan Pedoman Disiplin Apoteker Indonesia, Jakarta: Majelis Etik dan
Disiplin Apoteker Indonesia Pusat Ikatan Apoteker Indonesia, 2015
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Tanggungjawab Apoteker terhadap
Keselamatan Pasien. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI: 2009.
Departemen Kesehatan RI. Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
Jakarta:Kementrian Kesehatan RI: 2009.
Hapsari,W., 2017, Panduan Medication Safety, Rumah Sakit Kurnia Serang Banten, diakses
tanggal 08 September 2020, Pk. 19.30, WIB.
Muhadi,A., 2020, Faktor-Faktor Penyebab Medication Errors, diakses Pukul 19.30 WIB.
Republik Indonesia, 2016, Peraturan Meteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun
2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Jakarta.
World Health Organization, 2019. Medication Safety Curriculum Guide.
file:///C:/Users/HP/Downloads/Documents/WHO%20Medication%20Safety%20Curri
culum%20Guide%202019.pdf. diakses pada 8 September 2020. Pk. 15.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai