Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KIMIA MEDISINAL 2

PENGGUNAAN OBAT RASIONAL

Dosen Pengampu : apt. Lisna Gianti, M. Farm

Disusun Oleh Kelompok 4 :

1. Muhammad Khairil Amin D1A220190


2. Muhammad Mardhotillah D1A220208
3. Muhammad Purnama Reza D1A220163
4. Nisa Anggini D1A220191
5. Nur Shafira Serenadia Paramita D1A220156

Kelas : Reguler D II (Konversi Yarsi 2022)

PRODI S1 FARMASI

UNIVERSITAS AL-GHIFARI BANDUNG

TAHUN AJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan Tugas “Makalah Kimia Medisinal 2 Penggunaan Obat Rasional” dengan
tepat waktu.Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kimia Medisinal
2. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang penggunaan obat
rasional bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu apt.
Lisna Gianti, M. Farm selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Kimia Medisinal 2.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman yang telah membantu
dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam pembuatan makalah


dan penulis juga menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis membutuhkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah
ini.

Pontianak, 15 April 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 1
1.3 Tujuan ............................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 3
2.1 Pengertian Penggunaan Obat Rasional .......................................... 3
2.2 Kriteria Penggunaan Obat Rasional............................................... 4
1. Tepat Diagnosis ......................................................................... 4
2. Tepat Indikasi Penyakit ............................................................. 4
3. Tepat Pemilihan Obat ................................................................ 4
4. Tepat Dosis ................................................................................ 5
5. Tepat Cara Pemakaian ............................................................... 5
6. Tepat Interval Waktu Pemakaian .............................................. 5
7. Tepat Lama Pemberian .............................................................. 5
8. Waspada Terhadap Efek Samping ............................................. 5
9. Tepat Penilaian Kondisi Pasien ................................................. 6
10. Obat Yang Diberikan Harus Efektif dan Aman ...................... 6
11. Tersedia Setiap Saat Dengan Harga Yang Terjangkau............ 6
12. Tepat Informasi ........................................................................ 7
13. Tepat Tindak Lanjut (Follow-up) ............................................ 7
14. Tepat Penyerahan Obat (Dispensing) ...................................... 7
15. Pasien Patuh Terhadap Pengobatan Yang Diberikan .............. 8
2.3 Ciri-Ciri Penggunaan Obat Tidak Rasional ................................... 8
1. Peresepan Berlebih .................................................................... 8
2. Peresepan Kurang ...................................................................... 9
3. Peresepan Majemuk ................................................................... 9
4. Peresepam Salah ........................................................................ 9

ii
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 12
3.1 Kesimpulan .................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek
sehari-hari. WHO memperkirakan lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia
yang diresepkan, dibuat dengan tidak rasional, tidak tepat persiapan, dan
penyaluran obat. Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan masalah
utama di dunia. Peresepan obat yang tidak rasional bisa dideskripsikan sebagai
tidak tepat secara medis dan tidak efektif dalam pembiayaan pengobatan
(Agabna, 2014).
Penggunaan suatu obat dikatakan tidak rasional bila kemungkinan
timbulnya dampak negatif yang diterima pasien lebih besar daripada
manfaatnya. Peresepan obat yang tidak rasional juga akan berdampak pada mutu
ketersediaan obat. Dampak negatif dapat berupa dampak klinik, misalnya terjadi
efek samping dan resistensi kuman, dan dampak ekonomi, misalnya biaya yang
tidak terjangkau dan terjadi pemborosan dana. Hal ini tidak sejalan dengan
tujuan pemerintah untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, yaitu
memenuhi kebutuhan pasien tetapi dengan biaya dengan seefisien mungkin
(Pohan, 2007).
Obat merupakan salah satu unsur yang penting dalam pelayanan
kesehatan. Untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, obat harus tersedia
dengan cukup, distribusi obat merata, dan mudah dijangkau.Tujuan yang hendak
dicapai untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yaitu keterjangkauan
dan penggunaan obat yang rasional. Menurut Kebijakan Obat Nasional,
pemilihan obat yang tepat dengan mengutamakan penyediaan obat esensial
dapat meningkatkan akses dan kerasionalan penggunaan obat (Kemenkes RI,
2006).
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan penggunaan obat rasional?
2. Apa saja kriteria dari penggunaan obat rasional?
3. Apa ciri-ciri dari penggunaan obat tidak rasional?

1
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui arti dari penggunaan obat rasional.
2. Untuk mengetahui kriteria dari penggunaan obat rasional.
3. Untuk mengetahui ciri-ciri dari penggunaan obat tidak rasional.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Penggunaan Obat Rasional


Rasional ialah suatu diagnosis penyakit yang harus ditentukan dengan
tepat sehingga pemilihan obat dapat dilakukan dengan tepat dan akan terkena
pada sasarannya dengan menimbulkan efek samping seminimal mungkin. Obat
dapat didefinisikan sebagai suatu zat yang dimaksudkan untuk dipakai dalam
diagnosis, mengurangi rasa sakit, mengobati atau mencegah penyakit pada
manusia atau hewan (Munaf, 2008). Pengobatan yang rasional merupakan suatu
proses yang kompleks dan dinamis, dimana terkait komponen, mulai dari
diagnosis, pemilihan dan penentuan dosis obat, penyediaan dan pelayanan obat,
petunjuk pemakaian obat, bentuk sediaan yang tepat, cara pengemasan,
pemberian label, dan kepatuhan penggunaan obat oleh penderita. Komponen
paling penting dari penggunaan obat secara rasional adalah pemilihan dan
penentuan dosis lewat peresepan yang rasional. Peresepan yang rasional, selain
akan menambah mutu pelayanan kesehatan akan menambah efektifitas dan
efisiensi. Melalui obat yang tepat, dosis yang tepat dan cara pemakaian yang
tepat penyakit dapat disembuhkan lebih cepat dengan resiko yang lebih kecil
kepada penderita (Fajeriyati, 2013).
Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi, dokter
hewan yang diberi izin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
kepada apoteker pengelola apotek untuk menyiapkan dan atau membuat,
meracik serta menyerahkan obat kepada pasien (Muthaharah, 2011). Peresepan
atau penulisan resep adalah “tindakan terakhir” dari dokter untuk penderitanya,
yaitu setelah menentukan anamnesis, diagnosis dan prognosis serta terapi yang
akan diberikan terapi dapat profilaktik, simtomatik, kausal. Terapi ini
diwujudkan dalam bentuk resep. Penulisan resep yang tepat dan rasional
merupakan penerapan berbagai ilmu, karena begitu banyak variabel-variabel
yang harus diperhatikan, maupun variabel unsur obat dan kemungkinan
kombinasi obat, maupun variabel unsur obat dan kemungkinan kombinasi obat,
ataupun variabel penderitanya secara individual (Muthaharah, 2011).

3
Rasionalitas peresepan dapat diartikan sebagai suatu penulisan resep atau
permintaan tertulis oleh dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker yang
dilakukan dengan penuh pertimbangan berdasarkan kepada pemikiran bersistem
dan logis. Definisi peresepan yang rasional itu sendiri menurut WHO adalah
penggunaan obat yang efektif, aman, murah, tidak polifarmasi, drug
combination (fixed), individualisasi, pemilihan obat atas dasar daftar obat yang
telah ditentukan bersama. Pemberian obat yang rasional adalah pemberian obat
yang mencakup 6 tepat atau benar, yaitu tepat pasien, tepat obat, tepat waktu,
tepat dosis, tepat jalur pemberian dan tepat dokumentasi (Muthaharah, 2011).
2.2 Kriteria Penggunaan Obat Rasional
Menurut (Kemenkes, 2011), Penggunaan Obat Dikatakan Rasional jika
Memenuhi Kriteria sebagai berikut :
1. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang
tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat
akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat
yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
2. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini
hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
3. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang
memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. Contoh: Gejala
demam terjadi pada hampir semua kasus infeksi dan infl amasi. Untuk
sebagian besar demam, pemberian parasetamol lebih dianjurkan, karena
disamping efek antipiretiknya, obat ini relatif paling aman dibandingkan
dengan antipiretik yang lain. Pemberian antiinfl amasi non steroid (misalnya
ibuprofen) hanya dianjurkan untuk demam yang terjadi akibat proses
peradangan atau inflamasi.

4
4. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek
terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang
dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek
samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin
tercapainya kadar terapi yang diharapkan.
5. Tepat Cara Pemakaian
Cara pemberian yang tidak tepat akan mengurangi ketersediaan obat
dalam tubuh pasien. Contohnya obat antasida seharusnya dikunyah dulu
baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu,
karena akan membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi
dan menurunkan efektivtasnya.
6. Tepat Interval Waktu Pemakaian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan
praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian
obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan
minum obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa
obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam.
7. Tepat Lama Pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing.
Contoh untuk Penyakit Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling
singkat adalah 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid
adalah 10-14 hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari
yang seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.
8. Waspada Terhadap Efek Samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu
muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping
sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin
tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan
kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.

5
9. Tepat Penilaian Kondisi Pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas
terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofi lin dan aminoglikosida. Pada
penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya
dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini
meningkat secara bermakna. Beberapa kondisi berikut harus
dipertimbangkan sebelum memutuskan pemberian obat :
- β-bloker (misalnya propranolol) hendaknya tidak diberikan pada
penderita hipertensi yang memiliki riwayat asma, karena obat ini
memberi efek bronkhospasme.
- Antiinflamasi Non Steroid (AINS) sebaiknya juga dihindari pada
penderita asma, karena obat golongan ini terbukti dapat mencetuskan
serangan asma.
- Peresepan beberapa jenis obat seperti simetidin, klorpropamid,
aminoglikosida dan allopurinol pada usia lanjut hendaknya ekstra hati-
hati, karena waktu paruh obat-obat tersebut memanjang secara bermakna,
sehingga resiko efek toksiknya juga meningkat pada pemberian secara
berulang.
- Peresepan kuinolon (misalnya siprofloksasin dan ofloksasin), tetrasiklin,
doksisiklin, dan metronidazol pada ibu hamil sama sekali harus dihindari,
karena memberi efek buruk pada janin yang dikandung.
10. Obat Yang Diberikan Harus Efektif Dan Aman Dengan Mutu
Terjamin
Untuk memberikan hasil yang optimal obat harus efektif dan aman
dengan mutu terjamin. Karena itu mutu obat mesti terjamin dengan
mendapatkannya dari sumber yang tepat, karena saat ini banyak obat palsu
dan kadaluwarsa yang beredar dipasaran yang tentunya akan merugikan
pasien.
11. Tersedia Setiap Saat Dengan Harga Yang Terjangkau
Untuk memberikan kesinambungan pengobatan terutama sekali untuk
pengobatan jangka panjang, obat yang diberikan harus tersedia setiap saat
dan harganya terjangkau oleh pasien yang menggunakan.

6
12. Tepat Informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting
dalam menunjang keberhasilan terapi.
Sebagai contoh:
- Peresepan rifampisin akan mengakibatkan urine penderita berwarna
merah. Jika hal ini tidak diinformasikan, penderita kemungkinan besar
akan menghentikan minum obat karena menduga obat tersebut
menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk penderita
tuberkulosis, terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka
panjang.
- Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut harus
diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (1 course of
treatment), meskipun gejala-gejala klinik sudah mereda atau hilang sama
sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari
berarti tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat penting, agar kadar obat
dalam darah berada di atas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri
penyebab penyakit.
13. Tepat Tindak Lanjut (Follow-up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan
upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau
mengalami efek samping. Sebagai contoh, terapi dengan teofi lin sering
memberikan gejala takikardi. Jika hal ini terjadi, maka dosis obat perlu
ditinjau ulang atau bisa saja obatnya diganti. Demikian pula dalam
penatalaksanaan syok anafi laksis, pemberian injeksi adrenalin yang kedua
perlu segera dilakukan, jika pada pemberian pertama respons sirkulasi
kardiovaskuler belum seperti yang diharapkan.
14. Tepat Penyerahan Obat (Dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah
obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek
atau tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker
menyiapkan obat yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk
kemudian diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus

7
dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana
harusnya. Dalam menyerahkan obat juga petugas harus memberikan
informasi yang tepat kepada pasien.
15. Pasien Patuh Terhadap Perintah Pengobatan Yang Dibutuhkan,
Ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut :
- Jenis dan atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
- Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
- Jenis sediaan obat terlalu beragam
- Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
- Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai
cara minum/menggunakan obat
- Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau
efek ikutan (urine menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa
diberikan penjelasan terlebih dahulu
2.3 Ciri-Ciri Penggunaan Obat Tidak Rasional
1. Peresepan Berlebih
Peresepan berlebih yaitu jika memberikan obat yang sebenarnya tidak
diperlukan untuk penyakit yang bersangkutan. Contoh (Kemenkes, 2011) :
- Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya disebabkan
oleh virus)
- Pemberian obat dengan dosis yang lebih besar daripada yang
dianjurkan.
- Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk
pengobatan penyakit tersebut.
- Pemberian obat berlebihan memberi resiko lebih besar untuk timbulnya
efek yang tidak diinginkan seperti:
a. Interaksi
b. Efek Samping
c. Intoksikasi

8
2. Peresepan Kurang
Peresepan kurang yaitu jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya
diperlukan, baik dalam hal dosis, jumlah maupun lama pemberian. Tidak
diresepkannya obat yang diperlukan untuk penyakit yang diderita juga
termasuk dalam kategori ini. Contoh (Kemenkes, 2011) :
- Pemberian antibiotik selama 3 hari untuk ISPA pneumonia.
- Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare.
- Tidak memberikan tablet Zn selama 10 hari pada balita yang diare.
3. Peresepan Majemuk
Peresepan majemuk yaitu jika memberikan beberapa obat untuk satu
indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian
lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan
dengan satu jenis obat. Contohnya pemberian puyer pada anak dengan batuk
pilek berisi (Kemenkes, 2011) :
- Amoksisilin
- Parasetamol
- Gliseril guaiakolat
- Deksametason
- CTM
- Luminal
4. Peresepan Salah
Peresepan salah mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru,
untuk kondisi yang sebenarnya merupakan kontraindikasi pemberian obat,
memberikan kemungkinan resiko efek samping yang lebih besar, pemberian
informasi yang keliru mengenai obat yang diberikan kepada pasien, dan
sebagainya. Contoh (Kemenkes, 2011) :
- Pemberian antibiotik golongan kuinolon (misalnya siprofloksasin &
ofloksasin) untuk anak.
- Meresepkan asam mefenamat untuk demam bukannya parasetamol
yang lebih aman

Dalam kenyataannya masih banyak lagi praktek penggunaan obat yang


tidak rasional yang terjadi dalam praktek sehari-hari dan umumnya tidak

9
disadari oleh para klinisi. Hal ini mengingat bahwa hampir setiap klinisi
selalu mengatakan bahwa pengobatan adalah seni, oleh sebab itu setiap
dokter berhak menentukan jenis obat yang paling sesuai untuk pasiennya.
Hal ini bukannya keliru, tetapi jika tidak dilandasi dengan alasan ilmiah
yang dapat diterima akan menjurus ke pemakaian obat yang tidak rasional.

Contoh lain ketidakrasionalan penggunaan obat dalam praktek sehari hari


(Kemenkes, 2011) :

- Pemberian obat untuk penderita yang tidak memerlukan terapi obat.


Contoh: Pemberian roboransia untuk perangsang nafsu makan pada anak
padahal intervensi gizi jauh lebih bermanfaat.
- Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit.
Contoh: Pemberian injeksi vitamin B12 untuk keluhan pegal linu.
- Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan aturan.
Contoh:
a. Cara pemberian yang tidak tepat, misalnya pemberian ampisilin
sesudah makan, padahal seharusnya diberikan saat perut kosong atau
di antara dua makan.
b. Frekuensi pemberian amoksisilin 3 x sehari, padahal yang benar
adalah diberikan 1 kaplet tiap 8 jam.
- Penggunaan obat yang memiliki potensi toksisitas lebih besar, sementara
obat lain dengan manfaat yang sama tetapi jauh lebih aman tersedia.
Contoh: Pemberian metilprednisolon atau deksametason untuk mengatasi
sakit tenggorokan atau sakit menelan.padahal tersedia ibuprofen yang
jelas lebih aman dan efficacious.
- Penggunaan obat yang harganya mahal, sementara obat sejenis dengan
mutu yang sama dan harga lebih murah tersedia.
Contoh: Kecenderungan untuk meresepkan obat bermerek yang relatif
mahal padahal obat generik dengan manfaat dan keamanan yang sama
dan harga lebih murah tersedia
- Penggunaan obat yang belum terbukti secara ilmiah manfaat dan
keamanannya.

10
Contoh: Terlalu cepat meresepkan obat obat baru sebaiknya dihindari
karena umumnya belum teruji manfaat dan keamanan jangka panjangnya,
yang justru dapat merugikan pasien.
- Penggunaan obat yang jelas-jelas akan mempengaruhi kebiasaan atau
persepsi yang keliru dari masyarakat terhadap hasil pengobatan.
Contoh: Kebiasaan pemberian injeksi roborantia pada pasien dewasa
yang selanjutnya akan mendorong penderita tersebut untuk selalu minta
diinjeksi jika datang dengan keluhan yang sama.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
1. Pengobatan yang rasional merupakan suatu proses yang kompleks dan
dinamis, dimana terkait komponen, mulai dari diagnosis, pemilihan dan
penentuan dosis obat, penyediaan dan pelayanan obat, petunjuk pemakaian
obat, bentuk sediaan yang tepat, cara pengemasan, pemberian label, dan
kepatuhan penggunaan obat oleh penderita.
2. Kriteria dari penggunaan obat rasional yaitu tepat diagnosis, tepat indikasi
penyakit, tepat pemilihan obat, tepat dosis, tepat cara pemakaian, tepat
interval waktu pemakaian, tepat lama pemberian, waspada terhadap efek
samping, tepat penilaian kondisi pasien, obat yang diberikan harus efektif
dan aman dengan mutu terjamin, tersedia setiap saat dengan harga yang
terjangkau, tepat informasi, tepat tindak lanjut (Follow-up), tepat penyerahan
obat (Dispensing) dan pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang
dibutuhkan,
3. Ciri-ciri penggunaan obat tidak rasional yaitu peresepan berlebih, peresepan
berkurang, peresepan majemuk dan peresapan salah.

12
DAFTAR PUSTAKA

Agabna, NM. (2014). Irrational prescribing. Sudan Journal of Rational Use of


Medicine, 7: 4-5.

Kemenkes RI. (2011). Modul Penggunaan Obat Rasional. Bina Pelayanan


Kefarmasian, Jakarta.

Munaf, S. (2008). Kumpulan Kuliah Farmakologi. EGC. Palembang.

Muthaharah. (2011). Evaluasi Penggunaan Obat Analgesik Pada Pasien Osteoartritis


Di Instalasi Rawat Jalan Rsud Dr . Moewardi 2015. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Pohan, I,S. (2007). Jaminan mutu layanan kesehatan: Dasar-dasar pengertian dan
penerapan. Jakarta: EGC. Diakses pada tanggal 15 April 2023.

13

Anda mungkin juga menyukai