Skizofrenia (F20)
Oleh :
21360066
Penguji :
“Skizofrenia”
Oleh:
21360066
Pembimbing :
Halaman
DAFTAR ISI.............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi.........................................................................................................3
2.2. Epidemiologi................................................................................................4
2.3. Etiologi.........................................................................................................5
2.4. Patofisiologi.................................................................................................7
2.5 Gejala Klinis.................................................................................................7
2.6. Klasifikasi ..................................................................................................9
2.7. Pedoman Diagnosis......................................................................................11
2.8.Penatalaksanaan............................................................................................13
BAB III PENUTUP
3.1.Kesimpulan...................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA
i
BAB I
PENDAHULUAN
Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan di
dunia, termasuk di Indonesia. Faktanya, satu dari empat orang dewasa akan mengalami
masalah kesehatan jiwa pada satu waktu dalam hidupnya, bahkan, setiap 40 detik di suatu
tempat di dunia ada seseorang yang meninggal karena bunuh diri World Federation for
Mental Health (WFMH, 2016). Gangguan kesehatan jiwa bukan hanya gejala kejiwaan saja
melainkan penderita mengalami seperti kecemasan, depresi, malas bekerja, emosi yang tidak
terkontrol, ketagihan NAPZA, Alkohol, Rokok, kepikunan pada orang tua, Autis pada anak
Skizofrenia merupakan suatu kondisi dimana terdapat adanya gangguan fungsi otak
yang mempengaruhi emosional dan tingkah laku dimana yang dapat mempengaruhi fungsi
kognitif (Depkes RI, 2015 dalam Dilfera, 2018). Salah satu penyakit gangguan jiwa yang
menjadi masalah utama di negara-negara berkembang adalah skizofrenia. Data dari World
Health Organization (WHO) menunjukkan, terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60
juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena demensia.
Kesehatan jiwa adalah ketika seseorang tersebut merasa sehat dan bahagia, mampu
menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima orang lain sebagaimana seharusnya serta
mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (WHO, 2016).
Fenomena gangguan jiwa pada saat ini mengalami peningkatan yang sangat
signifikan, dan setiap tahun di berbagai belahan dunia jumlah penderita gangguan jiwa
1
bertambah. Menurut data WHO (2016) terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60
orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia.
Berdasarkan data dari World Health Organisasi (WHO 2015), ada sekitar 478,5 juta orang
didunia yang mengalami gangguan jiwa (Melisa, 2016). Di Indonesia dengan berbagai faktor
biologi, psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus
gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada beban negara dan penurunan
Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka Diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita skizofrenia.
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang sangat luas di Indonesia, dimana sekitar 99%
pasien di RS jiwa di Indonesia adalah penderita skizofrenia (Arif, 2006). Menurut data yang
didapat dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi (RSJ) Lampung yang merupakan salah satu Rumah
Sakit yang terdapat di Lampung yang salah satu pelayanan kesehatan yang diberikan adalah
perawatan dan pengobatan pasien gangguan jiwa pada tahun 2012 sebanyak 17.528 orang dan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yaitu “Schizein” yang artinya retak atau pecah
(split), dan “phren” yang artinya pikiran, yang selalu dihubungkan dengan fungsi emosi.
Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami
keretakan jiwa atau keretakan kepribadian serta emosi (Sianturi, 2014). Skizofrenia adalah
suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi,
emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu (Videbeck, 2015). Skizofrenia
biasanya dapat terdiagnosis pada masa remaja akhir dan dewasa awal, skizofrenia sendiri
jarang terjadi pada masa anak-anak. Insiden puncak terjadinya skizofrenia adalah antara umur
15 sampai 25 tahun untuk pria, dan untuk wanita yaitu pada umur 25 sampai 35 tahun
merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh bermacam penyebab yang ditandai dengan
penyimpangan pikiran dan persepsi serta afek yang tidak wajar. Pasien dengan diagnosis
Skizofrenia akan mengalami kemunduran dalam kehidupan sehari-hari, hal ini ditandai
dengan hilangnya motivasi dan tanggung jawab, selain itu pasien cenderung apatis,
3
2.2. Epidemiologi
berarti bahwa sekitar satu orang dalam 100 akan mengalami skizofrenia selama masa hidup
mereka. Di Amerika Serikat, sekitar 0,05 % dari total populasi diobati untuk skizofrenia
dalam satu tahun, dan hanya sekitar setengah dari semua penderita dengan skizofrenia
mendapatkan perawatan, tergantung dari tingkat keparahan dari gangguannya (Sadock, 2015).
Onset lebih awal pada pria daripada pada wanita. Lebih dari separuh dari semua
penderita skizofrenia pria, namun hanya sepertiga dari semua penderita skizofrenia wanita,
pertama kali dirawat di rumah sakit jiwa sebelum berusia 25 tahun. Usia puncak adalah 10
sampai 25 tahun untuk pria dan 25 sampai 35 tahun untuk wanita. Tidak seperti pria, wanita
menampilkan distribusi usia bimodal, dengan puncak kedua terjadi pada usia paruh baya.
Sekitar 3-10 % wanita dengan skizofrenia hadir dengan onset gangguan setelah usia 40 tahun.
Sekitar 90 % penderita dalam pengobatan skizofrenia berusia antara 15 dan 55 tahun (Jibson,
2013).
Permulaan skizofrenia sebelum usia 10 tahun atau setelah usia 60 tahun sangat jarang
terjadi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pria lebih cenderung terganggu oleh gejala
negatif daripada wanita dan wanita lebih cenderung memiliki fungsi sosial yang lebih baik
daripada laki-laki. Secara umum, hasil untuk penderita skizofrenia wanita lebih baik daripada
penderita skizofrenia pria. Bila onset terjadi setelah usia 45 tahun, kelainan ini ditandai
4
2.3. Etiologi
bahwa skizofrenia timbul akibat faktor psikososia dan lingkungan. Dibawah ini
a. Faktor Biologi
1) Komplikasi kelahiran
skizofrenia.
2) Infeksi
Perubahan anatomi pada susunan syaraf pusat akibat infeksi virus pernah dilaporkan
pada orang dengan skizofrenia. penelitian mengatakan bahwa terpapar infeksi virus
3) Hipotesis Dopamin
skizofrenia. Hampir semua obat antipsikotik baik tipikal maupun antipikal menyekat
reseptor dopamin D2, dengan terhalangnya transmisi sinyal disistem dopamin ergenik
5
4) Hipotesis Serotonin
diethylamide (LSD) yaitu suatu zat yang bersifat campuran agonis/antagonis reseptor
5-HT. Ternyata zat ini menyebabkan keadaan psikosis berat pada orang normal,
5) Struktur Otak
Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah sistem limbik dan ganglia
basalis. Otak pada penderita skizofrenia terlihat sedikit berbeda dengan orang normal,
ventrikel terlihat melebar, penurunan massa abu-abu dan beberapa area terjadi
jaringan otak ditemukan sedikit perubahan dalam distribusi sel otak yang timbul pada
masa prenatal karena tidak ditemukannya sel glia,biasa timbul pada trauma otak
setelah lahir.
b. Faktor Genetika
Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan, 1% dari populasi
umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan derajat pertama
seperti orang tua, kaka laki-laki ataupun perempuan dengan skizofrenia. masyarakat
yang mempunyai hubungan derajat kedua seperti paman, bibi, kakek/nenek dan
sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan populasi umum. Kembar identik 40%
6
sampai 60% berpeluang menderita skizofrenia sedangkan kembar dizigotik 12%.
Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia berpeluang 40%,satu orang tua 12%.
badaniah/stress pikologis
2.4. Patofisiologi
skizofrenia masih belum diketahui secara pasti. Secara umum, penelitian-penelitian telah
menemukan bahwa skizofrenia dikaitkan dengan penurunan volume otak, terutama bagian
temporal (termasuk mediotemporal), bagian frontal, termasuk substansia alba dan grisea. Dari
sejumlah penelitian ini, daerah otak yang secara konsisten menunjukkan kelainan adalah
daerah hipokampus dan parahipokampus (Abrams, Rojas, & Arciniegas, 2008). Pada
dan deformitas thalamus, abnormalitas pada nukleus ventrolateral (Smith, et.al., 2011).
(terutama mendengar suara); Delusi (keyakinan palsu yang tetap); Gagasan pengaruh
(tindakan yang dikendalikan oleh pengaruh eksternal); Proses berpikir terputus (longgar
asosiasi); Ambivalensi (pemikiran kontradiktif); Datar, tidak tepat, atau labil; Autisme
7
(ditarik dan berpikir di dalam hati); Ketidakberdayaan, permusuhan, dan agresi verbal atau
fisik; Gangguan keterampilan perawatan diri; dan terganggu tidur dan nafsu makan. Setelah
episode psikotik akut teratasi, biasanya ada fitur residual (misalnya kecemasan, kecurigaan,
kurangnya motivasi, wawasan buruk, penilaian terganggu, penarikan sosial, kesulitan dalam
belajar dari pengalaman, dan keterampilan perawatan diri yang buruk). Penyalahgunaan zat
komorbid dan ketidakpatuhan dengan obat biasa terjadi. (Wells et al, 2015). Gejala
skizofrenia umumnya terbagi menjadi tiga domain yang berbeda: gejala positif, negatif dan
Gejala positif adalah fitur yang biasanya tidak hadir pada subyek kontrol yang sehat
namun terjadi pada pasien akibat proses penyakit. Pada skizofrenia, gejala ini meliputi
terutama halusinasi, delusi dan gangguan pikiran. Sehubungan dengan halusinasi, mereka
yang berada dalam domain pendengaran (terutama mendengar suara) adalah hal yang paling
menonjol, meskipun halusinasi visual dan taktil juga terjadi (Ellenbrock & cesura, 2014).
proses berpikir), emosional, atau motorik, bergantung pada bidang perilaku mana yang
terlibat (Tsuang et al., 2011). Gejala positif dapat menyebabkan disorganisasi lebih lanjut dan
Gejala negatif meliputi penarikan diri secara sosial, apatis, berbicara minim dan
anhedonia. Sementara sifat-sifat ini mungkin juga ada sampai batas tertentu pada subjek
8
normal, mereka sangat dibesar-besarkan pada pasien skizofrenia (Ellenbrock & cesura, 2014).
Gejala negatif mempengaruhi aspek kognitif, emosional, dan perilaku kehidupan seseorang,
namun melakukannya dengan arah penurunan ekspresi dan responsif. Gejala negatif mungkin
lebih kronis dan dalam beberapa hal, lebih merusak daripada gejala positif (Tsuang et al.,
2011). Gejala negatif dapat mengurangi minat dan inisiatif (Swartz, 2010).
Gejala kognitif adalah definisi dalam pembelajaran dan ingatan serta aspek lain dalam
domain kognitif (Ellenbrock & cesura, 2014). Gangguan kognitif ini biasanya ada sebelum
timbulnya penyakit dan bahkan ada beberapa data yang menunjukkan bahwa tingkat
kerusakan pada aspek kognisi tertentu memprediksi selanjutnya (Goff et al, 2010).
A. Tipe paranoid
Tipe ini paling stabil dan paling sering. Gejala terlihat sangat konsisten, sering
paranoid, pasien dapat atau tidak bertindak sesuai dengan wahamnya. Waham dan
B. Tipe disorganisasi/hebefrenik
Gejala – gejala nya adalah afek tumpul, sering inkoheren, waham tak
ditemui).
9
C. Tipe katatonik
Pasien mempunyai paling sedikit satu dari (atau kombinasi) beberapa bentuk
tetapi tidak dapat digolongkan pda tipe paranoid, katatonik, hebefrenik, residual,
E. Tipe residual
Pasien dalam keadaan remisi dari keadaan akut tapi masih memerlihatkan
gejala-gejala residual (penarikan diri secara rsosial, afek datar atau tak serasi,
Suatu episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul sesudah
G. Skizofrenia simpleks
“negative” yang khas dari skizofrenia residual tanpa adanya Riwayat halusinasi,
waham atau manifestasi lain tentang adanya suatu episode psikotik sebelumnya, dan
10
disertai dengan perubahan-perubahan yang bermakna pada perilaku perorangan
(Elvira, 2017).
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yangnamat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :
a. – “ thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
- “thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari
- “thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar ke luar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya.
11
- “delusion perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna
c. halusinasi auditorik :
pasien, atau
- jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh
d. waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik
tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
e. halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang
jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau
menerus;
f. arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang
12
g. perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu
h. gejala-gejala “ ociale”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan
diri dari pergaulan sosail dan menurunnya kinerja ocial; tetapi harus jelas bahwa
semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala – gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat
sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara
ocial.
2.8. Penatalaksanaan
Intervensi psikososial merupakan bagian dari perawatan yang komprehensif dan dapat
lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada
orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Penderita selama ini
13
menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap mengkonsumsi obat psikofarmaka
sebagaimana juga halnya waktu menjalani psikoterapi (Kaplan et al., 2010). Berikut
1. Terapi Kelompok
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini, beberapa
penderita berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapi berperan sebagai fasilitator dan
sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan feedback tentang
pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan pada situasi sosial yang mendorong
memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok
mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika, atau suportif. Terapi
kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan
meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara
suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia
2. Terapi Perilaku
Terapi perilaku merupakan aplikasi dari prinsip belajar untuk pencegahan perilaku
maladaptif. Orientasi terapi ini terletak pada minatnya untuk menangani dengan tepat keluhan
yang akan ditampilkan pasien, dan melatih pasien untuk mendapat keterampilan baru untuk
Pendekatan perilaku menunjukan pandangan positif dan optimis terhadap terhadap perilaku
manusia yang dianggap tidak umum. Teknik untuk mengurangi kecemasan biasanya berkaitan
14
dengan memasangkan stimulus yang menimbulkan kecemasan dengan stimulus netral. Pada
kontrol stimulus situasi di luar diri orang dikelola supaya perilaku yang diinginkan mucul dan
terus dilaksanakan. Apabila perilaku muncul dan menetap maka diberi penguatan positif.
Penguatan ada 2 macam yaitu penguatan positif dan penguatan negatif, penguatan positif dapat
berupa hadiah, sedangkan negatif dapat berupa penghindaran atau penghilangan stimulus yang
membuat tidak nyaman dan tidak berkaitan dengan hukuman (Prawitasari, 2011).
3. Terapi Individual
dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan. Adanya pengamatan yang cermat dari
jauh, kesabaran dan ketulusan hati lebih disukai daripada merendahkan diri (Kaplan et al.,
2010). Kunci dari terapi individu dengan pendekatan strategi pelaksanaan komunikasi adalah
diperankannya dan menilainya sesuai dengan kondisi realitas. Essensi dari terapi individu
mencakup seluruh aspek kehidupan yang menjadi beban psikisnya. Hal ini memungkinkan
dalam proses terapi individu masalah yang terjadi pada pasien akan dieksplorasi sampai pada
titik permasalahan yang krusial dan didiskusikan sesuai dengan situasi, kondisi, serta kemampuan
Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola pikir yang terjadi pada
skizofrenia. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan terapi
obat-obatan pertama yang efektif untuk mengobati skizofrenia (Baihaqi, 2007). Terdapat 2
15
kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik tipikal dan antipsikotik
Antipsikotik memiliki aktivitas yang hampir sama terutama dalam mengeblok aktivitas
menggambarkan penyebab fisiologi yang berbeda maka dapat dikatakan antipsikotik ini
memiliki tingkat efektivitas yang berbeda untuk setiap pasien yang berbeda. Pemilihan jenis
antipsikosik mempertimbangkan gejala psikosik yang dominan dan efek samping obat. Bila
gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat antipsikotik atipikal
(golongan generasi kedua), sebaliknya jika gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala
Obat antipsikotik bekerja dengan cara memblok aktivitas dopamin dan reseptor
serotonin (5-HT2A). Obat antipsikotik dibagi menjadi dua yaitu antipsikotik tipikal dan
antipsikotik atipikal. Obat antipsikotik atipikal mempunyai efek esktrapiramidal yang lebih
ringan. Kedua jenis obat menghambat beberapa reseptor antara lain reseptor α adrenergic,
1. Antipsikotik Tipikal
Obat yang bekerja dengan menghambat reseptor dopamin terutama D2 dan juga
Aktivitas antipsikotik tipikal berkaitan dengan aktivitas pada reseptor D2. Obat yang
dan tardive dyskinesia. Efek tersebut disebabkan karena pengeblokan reseptor D2 di bagian
(Dipiro, et al 2014)
2. Antispikotik Atipikal
HT2A dan D2. Kemampuan lebih besar yaitu mengubah aktivitas resptor 5-HT2A daripada
mengintervensi efek reseptor D2. Obat bekerja sebagai agonis parsial terhadap reseptor 5-
HT1A, yang menghasilkan efek sinergistik dengan antagonism reseptor 5-HT2A. Obat
17
golongan antipsikotik atipikal adalah klozapin, asenapin, olanzapine, kuetiapin, paliperidon,
(Dipiro, et al 2014)
Pada pasien skizofrenia mengkonsumsi obat dalam jangka waktu yang lama
menyebabkan munculnya berbagai efek samping yang tidak diinginkan. Efek samping yang
muncul berupa tardive dyskinesia dimana terjadi pergerakan mulut dan wajah yang tidak
dapat dikontrol, untuk mengurangi efek samping ini dengan menurunkan dosis dari obat
18
antipsikotik. Selain itu, gangguan fungsi seksual untuk mengatasinya biasanya menggunakan
dosis efektif terendah atau mengganti dengan obat antipsikotik yang efek sampingnya lebih
Adanya efek antikolinergik berupa mulut kering dan pandangan kabur, cara mengatasi
mulut kering yaitu dengan mengunyah permen karet (Dipiro et al., 2014) Efek samping lain
Ekstrapiramidal dapat berupa tremor pada tangan dan kaki. Selain itu, adanya kekakuan pada
pergerakan sehingga menjadi lebih lambat. Cara mengatasinya pasien harus bergerak
(berjalan) setiap waktu untuk mengatasi efek samping yang ditimbulkan (Kaplan et al 2016)
19
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu.
Ada beberapa gejala yang disebabkan oleh skizofrenia, yaitu gejala postif, gejala
negative dan gejala kognitif. Gejala positif seperti waham dan halusinasi; gejala
negative seperti hilangnya motovasi dan kemiskinan pembicaraan dan gejala kognitif
Pada dasarnya penyebab terjadinya sizofrenia belum diketahui secara pasti, tetapi
ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya skizofrenia, yaituu faktor
Untuk terapa non farmakologi bisa dilakukan terapi kelompok, terapi perilaku dan
Antipsikotik memiliki aktivitas yang hampir sama terutama dalam mengeblok aktivitas
menggambarkan penyebab fisiologi yang berbeda maka dapat dikatakan antipsikotik ini
memiliki tingkat efektivitas yang berbeda untuk setiap pasien yang berbeda.
20
DAFTAR PUSTAKA
A.Wiramihardja, Sutardjo, 2012. Pengantar Psikologi Klinis. Bandung: PT. Refika Aditama,
Abrams, D., Rojas, D., & Arciniegas, D. 2008. Is Schizoaffective disorder a distinct
Arif, I. S., 2006, Skizofrenia memahami dinamika keluarga pasien. Bandung: Refika
Aditama.
Baihaqi, M.I.F. (2007). Psikiatri Konsep Dasar dan Gangguan - Gangguan. Bandung: PT.
Refika Adithama.
Dilfera & Harahap. 2018. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kasus Skizofrenia Pada Pasien
Rawat Inap Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Provinsi Bengkulu. Jurnal
Ellenbrock B.A, Cesura A, Hallett D. The histamine H3 receptor as a therapeutic drug target
Elvira, S. D., 2017. Buku Ajar Psikiatri. 3nd ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Irwan, M., Fajriansyah, A., Sinuhadji, B., Indrayana M., 2008, Penatalaksanaan Skizofrenia,
Maslim, R., 2013. Buku Saku Diangnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasan Dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: PT Nur Jaya.
Nasir, Abdul Muhith. 2011. Dasar - Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
Noviria, M., Triyoso., Yanti, L., 2013. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kunjungan
Kontrol Pasien Jiwa Skizofrenia di Rawat Jalan RSJ Provinsi Lampung tahun 2013.
Nugroho. 2011. Farmakologi: Obat – obat Penting dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan
Prawitasari, J. E. (2011). Psikologi Klinis: Pengantar terapan mikro & makro. Jakarta:
Erlangga
Riset kesehatan dasar (Rikesdas) 2013. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan
kementerian kesehatan RI, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta,
http://www.depkes.go.id diakses tanggal 2 September 2021
Sadock, B. J. 2015. Mood disorder. In: Greb JA, et al, editors. Kaplan & Sadock’s synopsis
of psychiatry: beha-vioral sciences/clinical psychiatry. 11th ed. Philadelphia: Wolters
Kluwer Publications.
Smith , M., Wang , L., Cronenwett, W., Mamah , D., & Barch. 2011. Thalamic Morphology
in Schizophrenia and Schizoaffective Disorder. J Psychiatry, 378–385
Swartz, C. M. 2010. Psychotic depression or schizophrenia. Psychiatric Annals, 40(2), 92–
97. https://doi.org/10.3928/00485718-20100127-05 diakses pada tanggal 2 September
2021.
Videbeck, Sheila L. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa Jakarta : EGC.
Wells B, Dipiro J, Matzke G, Posey L, Schwinghammer T. Pharmacotherapy Handbook. 7th