Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

POLI JIWA DAN NARKOBA


RSUD.JEND. AHMAD YANI METRO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

Skizofrenia (F20)

Oleh :

Farah Ulya Suryadana

21360066

Masa KKM : 28 Agustus 2021 – 02 Oktober 2021

Penguji :

dr. Ni Wayan Dewi Putriny Asih, Sp.KJ

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA DAN NARKOBA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RSUD. JENDRAL AHMAD YANI METRO
LAMPUNG
AGUSTUS 2021
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul

“Skizofrenia”

Telah dibacakan, dikoreksi dan disetujui pada September 2021

Oleh:

Farah Ulya Suryadana

21360066

Masa KKM : 28 Agustus – 02 Oktober 2021

Pembimbing :

dr. Ni Wayan Dewi Putriny Asih, Sp.KJ


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI.............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi.........................................................................................................3
2.2. Epidemiologi................................................................................................4
2.3. Etiologi.........................................................................................................5
2.4. Patofisiologi.................................................................................................7
2.5 Gejala Klinis.................................................................................................7
2.6. Klasifikasi ..................................................................................................9
2.7. Pedoman Diagnosis......................................................................................11
2.8.Penatalaksanaan............................................................................................13
BAB III PENUTUP
3.1.Kesimpulan...................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan di

dunia, termasuk di Indonesia. Faktanya, satu dari empat orang dewasa akan mengalami

masalah kesehatan jiwa pada satu waktu dalam hidupnya, bahkan, setiap 40 detik di suatu

tempat di dunia ada seseorang yang meninggal karena bunuh diri World Federation for

Mental Health (WFMH, 2016). Gangguan kesehatan jiwa bukan hanya gejala kejiwaan saja

melainkan penderita mengalami seperti kecemasan, depresi, malas bekerja, emosi yang tidak

terkontrol, ketagihan NAPZA, Alkohol, Rokok, kepikunan pada orang tua, Autis pada anak

sampai kepada yang sangat berat seperti Skizofrenia (Yosep, 2017).

Skizofrenia merupakan suatu kondisi dimana terdapat adanya gangguan fungsi otak

yang mempengaruhi emosional dan tingkah laku dimana yang dapat mempengaruhi fungsi

kognitif (Depkes RI, 2015 dalam Dilfera, 2018). Salah satu penyakit gangguan jiwa yang

menjadi masalah utama di negara-negara berkembang adalah skizofrenia. Data dari World

Health Organization (WHO) menunjukkan, terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60

juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena demensia.

Kesehatan jiwa adalah ketika seseorang tersebut merasa sehat dan bahagia, mampu

menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima orang lain sebagaimana seharusnya serta

mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (WHO, 2016).

Fenomena gangguan jiwa pada saat ini mengalami peningkatan yang sangat

signifikan, dan setiap tahun di berbagai belahan dunia jumlah penderita gangguan jiwa

1
bertambah. Menurut data WHO (2016) terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60

orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia.

Berdasarkan data dari World Health Organisasi (WHO 2015), ada sekitar 478,5 juta orang

didunia yang mengalami gangguan jiwa (Melisa, 2016). Di Indonesia dengan berbagai faktor

biologi, psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus

gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada beban negara dan penurunan

produktivitas manusia untuk jangka panjang.

Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1 persen. Apabila penduduk

Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka Diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita skizofrenia.

Skizofrenia merupakan gangguan mental yang sangat luas di Indonesia, dimana sekitar 99%

pasien di RS jiwa di Indonesia adalah penderita skizofrenia (Arif, 2006). Menurut data yang

didapat dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi (RSJ) Lampung yang merupakan salah satu Rumah

Sakit yang terdapat di Lampung yang salah satu pelayanan kesehatan yang diberikan adalah

perawatan dan pengobatan pasien gangguan jiwa pada tahun 2012 sebanyak 17.528 orang dan

sebesar 8890 orang (50,7%) mengalami skizofrenia. (Novria, 2014).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yaitu “Schizein” yang artinya retak atau pecah

(split), dan “phren” yang artinya pikiran, yang selalu dihubungkan dengan fungsi emosi.

Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami

keretakan jiwa atau keretakan kepribadian serta emosi (Sianturi, 2014). Skizofrenia adalah

suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi,

emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu (Videbeck, 2015). Skizofrenia

biasanya dapat terdiagnosis pada masa remaja akhir dan dewasa awal, skizofrenia sendiri

jarang terjadi pada masa anak-anak. Insiden puncak terjadinya skizofrenia adalah antara umur

15 sampai 25 tahun untuk pria, dan untuk wanita yaitu pada umur 25 sampai 35 tahun

(American Psychiatric Assoaciation, 2000).

Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa III (PPDGJIII) Skizofrenia

merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh bermacam penyebab yang ditandai dengan

penyimpangan pikiran dan persepsi serta afek yang tidak wajar. Pasien dengan diagnosis

Skizofrenia akan mengalami kemunduran dalam kehidupan sehari-hari, hal ini ditandai

dengan hilangnya motivasi dan tanggung jawab, selain itu pasien cenderung apatis,

menghindari kegiatan dan mengalami gangguan dalam penampilan (Maslim, 2015).

3
2.2. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, prevalensi angka kehidupan pada skizofrenia sekitar 1 %, yang

berarti bahwa sekitar satu orang dalam 100 akan mengalami skizofrenia selama masa hidup

mereka. Di Amerika Serikat, sekitar 0,05 % dari total populasi diobati untuk skizofrenia

dalam satu tahun, dan hanya sekitar setengah dari semua penderita dengan skizofrenia

mendapatkan perawatan, tergantung dari tingkat keparahan dari gangguannya (Sadock, 2015).

Skizofrenia sama lazimnya pada pria dan wanita.

Onset lebih awal pada pria daripada pada wanita. Lebih dari separuh dari semua

penderita skizofrenia pria, namun hanya sepertiga dari semua penderita skizofrenia wanita,

pertama kali dirawat di rumah sakit jiwa sebelum berusia 25 tahun. Usia puncak adalah 10

sampai 25 tahun untuk pria dan 25 sampai 35 tahun untuk wanita. Tidak seperti pria, wanita

menampilkan distribusi usia bimodal, dengan puncak kedua terjadi pada usia paruh baya.

Sekitar 3-10 % wanita dengan skizofrenia hadir dengan onset gangguan setelah usia 40 tahun.

Sekitar 90 % penderita dalam pengobatan skizofrenia berusia antara 15 dan 55 tahun (Jibson,

2013).

Permulaan skizofrenia sebelum usia 10 tahun atau setelah usia 60 tahun sangat jarang

terjadi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pria lebih cenderung terganggu oleh gejala

negatif daripada wanita dan wanita lebih cenderung memiliki fungsi sosial yang lebih baik

daripada laki-laki. Secara umum, hasil untuk penderita skizofrenia wanita lebih baik daripada

penderita skizofrenia pria. Bila onset terjadi setelah usia 45 tahun, kelainan ini ditandai

dengan skizofrenia late-onset (Sadock, 2015)

4
2.3. Etiologi

Luana (2016) menjelaskan penyebab dari skizofrenia dalam model diatesis-stres,

bahwa skizofrenia timbul akibat faktor psikososia dan lingkungan. Dibawah ini

pengelompokan penyebab skizofrenia, yaitu:

a. Faktor Biologi

1) Komplikasi kelahiran

Bayi laki-laki yang megalami komplikasi saat dilahirkan sering mengalami

skizofrenia, hipoksia perinatal akan meningkatkan kerentanan seseorang terhadap

skizofrenia.

2) Infeksi

Perubahan anatomi pada susunan syaraf pusat akibat infeksi virus pernah dilaporkan

pada orang dengan skizofrenia. penelitian mengatakan bahwa terpapar infeksi virus

pada trimester kedua kehamilan akan meningkatkan seseorang menjadi skizofrenia.

3) Hipotesis Dopamin

Dopamin merupakan neurotransmiter pertama yang berkontribusi terhadap gejala

skizofrenia. Hampir semua obat antipsikotik baik tipikal maupun antipikal menyekat

reseptor dopamin D2, dengan terhalangnya transmisi sinyal disistem dopamin ergenik

maka gejala psikotik diredakan. Berdasarkan pengamatan diatas dikemukakan bahwa

gejala skizofrenia disebabkan oleh hiperaktivitas sistem dopaminergic.

5
4) Hipotesis Serotonin

Gaddum,Wooley, dan show tahun 1954 mengobservasi efek lysergic acid

diethylamide (LSD) yaitu suatu zat yang bersifat campuran agonis/antagonis reseptor

5-HT. Ternyata zat ini menyebabkan keadaan psikosis berat pada orang normal,

kemungkinan serotonin berperan pada skizofrenia kembali mengemuka karena

penelitian obat antipsikotik atipikal clozapine yang ternyata menpunyai afinitas

terhadap reseptor 5- HT lebih tinggi dibandingkan reseptor dopamin D2.

5) Struktur Otak

Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah sistem limbik dan ganglia

basalis. Otak pada penderita skizofrenia terlihat sedikit berbeda dengan orang normal,

ventrikel terlihat melebar, penurunan massa abu-abu dan beberapa area terjadi

peningkatan maupun penurunan aktivitas metabolik. pemeriksaan mikroskopis dan

jaringan otak ditemukan sedikit perubahan dalam distribusi sel otak yang timbul pada

masa prenatal karena tidak ditemukannya sel glia,biasa timbul pada trauma otak

setelah lahir.

b. Faktor Genetika

Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan, 1% dari populasi

umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan derajat pertama

seperti orang tua, kaka laki-laki ataupun perempuan dengan skizofrenia. masyarakat

yang mempunyai hubungan derajat kedua seperti paman, bibi, kakek/nenek dan

sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan populasi umum. Kembar identik 40%
6
sampai 60% berpeluang menderita skizofrenia sedangkan kembar dizigotik 12%.

Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia berpeluang 40%,satu orang tua 12%.

Sebagai ringkasan hinga sekarang kita belum mengetahui dasar penyebab

skizofrenia. Dapat dikatakan bahwa faktor keturunan mempunyai pengaruh/faktor

yang mempercepat yang menjadi manifestasi/faktor pencetus seperti penyakit

badaniah/stress pikologis

2.4. Patofisiologi

Patofisiologi skizofrenia adanya ketidakseimbangan neurotransmiter di otak, terutama

norepinefrin, serotonin, dan dopamin (Sadock, 2015). Namun, proses patofisiologi

skizofrenia masih belum diketahui secara pasti. Secara umum, penelitian-penelitian telah

menemukan bahwa skizofrenia dikaitkan dengan penurunan volume otak, terutama bagian

temporal (termasuk mediotemporal), bagian frontal, termasuk substansia alba dan grisea. Dari

sejumlah penelitian ini, daerah otak yang secara konsisten menunjukkan kelainan adalah

daerah hipokampus dan parahipokampus (Abrams, Rojas, & Arciniegas, 2008). Pada

penelitian neuroimaging penderita dengan skizofrenia, ditemukan penurunan volume talamus

dan deformitas thalamus, abnormalitas pada nukleus ventrolateral (Smith, et.al., 2011).

2.5. Gejala Klinis

Gejala akut mungkin termasuk: tidak berhubungan dengan kenyataan; Halusinasi

(terutama mendengar suara); Delusi (keyakinan palsu yang tetap); Gagasan pengaruh

(tindakan yang dikendalikan oleh pengaruh eksternal); Proses berpikir terputus (longgar

asosiasi); Ambivalensi (pemikiran kontradiktif); Datar, tidak tepat, atau labil; Autisme
7
(ditarik dan berpikir di dalam hati); Ketidakberdayaan, permusuhan, dan agresi verbal atau

fisik; Gangguan keterampilan perawatan diri; dan terganggu tidur dan nafsu makan. Setelah

episode psikotik akut teratasi, biasanya ada fitur residual (misalnya kecemasan, kecurigaan,

kurangnya motivasi, wawasan buruk, penilaian terganggu, penarikan sosial, kesulitan dalam

belajar dari pengalaman, dan keterampilan perawatan diri yang buruk). Penyalahgunaan zat

komorbid dan ketidakpatuhan dengan obat biasa terjadi. (Wells et al, 2015). Gejala

skizofrenia umumnya terbagi menjadi tiga domain yang berbeda: gejala positif, negatif dan

kognitif (Ellenbrock & cesura, 2014).

2.5.1 Gejala Positif

Gejala positif adalah fitur yang biasanya tidak hadir pada subyek kontrol yang sehat

namun terjadi pada pasien akibat proses penyakit. Pada skizofrenia, gejala ini meliputi

terutama halusinasi, delusi dan gangguan pikiran. Sehubungan dengan halusinasi, mereka

yang berada dalam domain pendengaran (terutama mendengar suara) adalah hal yang paling

menonjol, meskipun halusinasi visual dan taktil juga terjadi (Ellenbrock & cesura, 2014).

Gejala positif dapat diklasifikasikan sebagai persepsi, (mempengaruhi persepsi, atau

kemampuan untuk menyadari beberapa stimulus melalui indra), kognitif, (mempengaruhi

proses berpikir), emosional, atau motorik, bergantung pada bidang perilaku mana yang

terlibat (Tsuang et al., 2011). Gejala positif dapat menyebabkan disorganisasi lebih lanjut dan

penolakan sosial (Swartz, 2010).

2.5.2 Gejala Negatif

Gejala negatif meliputi penarikan diri secara sosial, apatis, berbicara minim dan

anhedonia. Sementara sifat-sifat ini mungkin juga ada sampai batas tertentu pada subjek
8
normal, mereka sangat dibesar-besarkan pada pasien skizofrenia (Ellenbrock & cesura, 2014).

Gejala negatif mempengaruhi aspek kognitif, emosional, dan perilaku kehidupan seseorang,

namun melakukannya dengan arah penurunan ekspresi dan responsif. Gejala negatif mungkin

lebih kronis dan dalam beberapa hal, lebih merusak daripada gejala positif (Tsuang et al.,

2011). Gejala negatif dapat mengurangi minat dan inisiatif (Swartz, 2010).

2.5.3 Gejala Kognitif

Gejala kognitif adalah definisi dalam pembelajaran dan ingatan serta aspek lain dalam

domain kognitif (Ellenbrock & cesura, 2014). Gangguan kognitif ini biasanya ada sebelum

timbulnya penyakit dan bahkan ada beberapa data yang menunjukkan bahwa tingkat

kerusakan pada aspek kognisi tertentu memprediksi selanjutnya (Goff et al, 2010).

2.6 Klasifikasi Skizofrenia

Menurut PPDGJ III ada 7 tipe skizofrenia, yaitu:

A. Tipe paranoid

Tipe ini paling stabil dan paling sering. Gejala terlihat sangat konsisten, sering

paranoid, pasien dapat atau tidak bertindak sesuai dengan wahamnya. Waham dan

halusinasi menonjol sedangkan afek dan pembicaraan hampir tidak terpengaruh.

B. Tipe disorganisasi/hebefrenik

Gejala – gejala nya adalah afek tumpul, sering inkoheren, waham tak

sistematis, perilaku disorganisasi seperti menyeringai dan menerisme (sering

ditemui).

9
C. Tipe katatonik

Pasien mempunyai paling sedikit satu dari (atau kombinasi) beberapa bentuk

katatonia : stupor katatonik atau mutisme, negativism katatonik, rigiditas katatonik,

postur katatonik, kegembiraan katatonik.

D. Tipe tak terinci

Pasien mempunyai halusinasi, waham, dan gejala-gejala psikosis akti fyang

menonjol (misalnya ; kebingungan, inkoheren) atau memenuhi kriteria skizofrenia

tetapi tidak dapat digolongkan pda tipe paranoid, katatonik, hebefrenik, residual,

atau depresi pasa skizofrenia.

E. Tipe residual

Pasien dalam keadaan remisi dari keadaan akut tapi masih memerlihatkan

gejala-gejala residual (penarikan diri secara rsosial, afek datar atau tak serasi,

perilaku eksentrik, asosiasi melonggar, atau pikiran tak logis).

F. Depresi pasca skizofrenia

Suatu episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul sesudah

stau serangan gangguan skizofrenia.

G. Skizofrenia simpleks

Suatu diagnosis yang sulit dibuat secara meyakinkan karena bergantung

pada pemastian perkembangan yang berlangsung perlahan, progresif dari gejala

“negative” yang khas dari skizofrenia residual tanpa adanya Riwayat halusinasi,

waham atau manifestasi lain tentang adanya suatu episode psikotik sebelumnya, dan

10
disertai dengan perubahan-perubahan yang bermakna pada perilaku perorangan

(Elvira, 2017).

2.7 . Pedoman Diagnosis

Kriteria diagnosis menurut PPDGJ III, yaitu :

Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yangnamat jelas (dan biasanya dua gejala

atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :

a. – “ thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam

kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun

kualitasnya berbeda; atau

- “thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar masuk ke

dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari

luar dirinya (withdrawal); dan

- “thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar ke luar sehingga orang lain atau

umum mengetahuinya.

b. – “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan

tertentu dari luar; atau

- “delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu

kekuataan tertentu dari luar; atau

- “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah

terhadap suatu kekuataan dari luar;

(tentang “dirinya” = secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau

ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus);

11
- “delusion perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna

sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;

c. halusinasi auditorik :

- suara halusinasi yang berkomentar secara terus – menerus terhadap perilaku

pasien, atau

- mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara

yang berbicara), atau

- jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh

d. waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak

wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik

tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu

mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain).

Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :

e. halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham

yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang

jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau

apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus

menerus;

f. arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang

berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;

12
g. perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu

(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativism, mutisme, dan stupor;

h. gejala-gejala “ ociale”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons

emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan

diri dari pergaulan sosail dan menurunnya kinerja ocial; tetapi harus jelas bahwa

semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;

Adanya gejala – gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun

waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);

Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu

keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal

behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat

sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara

ocial.

2.8. Penatalaksanaan

2.8.1 Terapi Nonfarmakologi

Terapi nonfarmakologi pada pasien skizofrenia berupa pendekatan psikososial.

Intervensi psikososial merupakan bagian dari perawatan yang komprehensif dan dapat

meningkatkan kesembuhan jika diintegrasikan dengan terapi farmakologis. Intervensi

psikososial ditujukan untuk memberikan dukungan emosional pada pasien.

Terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi dengan

lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada

orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Penderita selama ini

13
menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap mengkonsumsi obat psikofarmaka

sebagaimana juga halnya waktu menjalani psikoterapi (Kaplan et al., 2010). Berikut

beberapa terapi psikososial dalam penyakit skizofrenia, yaitu :

1. Terapi Kelompok

Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini, beberapa

penderita berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapi berperan sebagai fasilitator dan

sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan feedback tentang

pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan pada situasi sosial yang mendorong

peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat memperkaya pengalaman peserta dalam

kemampuan berkomunikasi (Durand, 2007). Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya

memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok

mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika, atau suportif. Terapi

kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan

meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara

suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia

(Kaplan et al., 2010).

2. Terapi Perilaku

Terapi perilaku merupakan aplikasi dari prinsip belajar untuk pencegahan perilaku

maladaptif. Orientasi terapi ini terletak pada minatnya untuk menangani dengan tepat keluhan

yang akan ditampilkan pasien, dan melatih pasien untuk mendapat keterampilan baru untuk

mengendalikan kehidupan agar lebih efektif (Wiramihardja, 2012).

Pendekatan perilaku menunjukan pandangan positif dan optimis terhadap terhadap perilaku

manusia yang dianggap tidak umum. Teknik untuk mengurangi kecemasan biasanya berkaitan
14
dengan memasangkan stimulus yang menimbulkan kecemasan dengan stimulus netral. Pada

kontrol stimulus situasi di luar diri orang dikelola supaya perilaku yang diinginkan mucul dan

terus dilaksanakan. Apabila perilaku muncul dan menetap maka diberi penguatan positif.

Penguatan ada 2 macam yaitu penguatan positif dan penguatan negatif, penguatan positif dapat

berupa hadiah, sedangkan negatif dapat berupa penghindaran atau penghilangan stimulus yang

membuat tidak nyaman dan tidak berkaitan dengan hukuman (Prawitasari, 2011).

3. Terapi Individual

Menegakan hubungan biasanya sulit dilakukan, pasien skizofrenia seringkali kesepian

dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan. Adanya pengamatan yang cermat dari

jauh, kesabaran dan ketulusan hati lebih disukai daripada merendahkan diri (Kaplan et al.,

2010). Kunci dari terapi individu dengan pendekatan strategi pelaksanaan komunikasi adalah

bagaimana pasien dapat mengungkapkan perasaanya, dapat mengungkapkan perilaku yang

diperankannya dan menilainya sesuai dengan kondisi realitas. Essensi dari terapi individu

mencakup seluruh aspek kehidupan yang menjadi beban psikisnya. Hal ini memungkinkan

dalam proses terapi individu masalah yang terjadi pada pasien akan dieksplorasi sampai pada

titik permasalahan yang krusial dan didiskusikan sesuai dengan situasi, kondisi, serta kemampuan

yang dimiliki pasien (Nasir, 2011).

2.8.2 Terapi Farmakologi

Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati skizofrenia disebut antipsikotik.

Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola pikir yang terjadi pada

skizofrenia. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan terapi

obat-obatan pertama yang efektif untuk mengobati skizofrenia (Baihaqi, 2007). Terdapat 2

15
kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik tipikal dan antipsikotik

atipikal (dipiro et al, 2014).

Antipsikotik memiliki aktivitas yang hampir sama terutama dalam mengeblok aktivitas

dari neurotransmitter dopamin. Namun, terdapat berbagai tipe skizofrenia yang

menggambarkan penyebab fisiologi yang berbeda maka dapat dikatakan antipsikotik ini

memiliki tingkat efektivitas yang berbeda untuk setiap pasien yang berbeda. Pemilihan jenis

antipsikosik mempertimbangkan gejala psikosik yang dominan dan efek samping obat. Bila

gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat antipsikotik atipikal

(golongan generasi kedua), sebaliknya jika gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala

negatif pilihannya adalah tipikal (golongan generasi pertama).

2.8.3 Obat-obat Antipsikotik

Obat antipsikotik bekerja dengan cara memblok aktivitas dopamin dan reseptor

serotonin (5-HT2A). Obat antipsikotik dibagi menjadi dua yaitu antipsikotik tipikal dan

antipsikotik atipikal. Obat antipsikotik atipikal mempunyai efek esktrapiramidal yang lebih

ringan. Kedua jenis obat menghambat beberapa reseptor antara lain reseptor α adrenergic,

asetilkolin muskarinik dan histamin (Nugroho, 2011).

1. Antipsikotik Tipikal

Obat yang bekerja dengan menghambat reseptor dopamin terutama D2 dan juga

menghambat asetilkolin muskarinik, α adrenergic, histamine (H-1) dan serotonin (5-HT2A).

Aktivitas antipsikotik tipikal berkaitan dengan aktivitas pada reseptor D2. Obat yang

termasuk golongan tipikal adalah klorpromazin, haloperidon, asetofenazin, klorprotiksen,

mesoridazen, perfenazin, thioridazin dan proklorferazin. Efek yang dihasilkan dari


16
penggunaan obat yaitu ekstrapiramidal meliputi dystonia akut, akatisia, gejala parkinsonism,

dan tardive dyskinesia. Efek tersebut disebabkan karena pengeblokan reseptor D2 di bagian

striatum pada basal ganglia (Nugroho, 2011).

Tabel 1.1 Obat Anti Psikotik Tipikal

Nama Generik Nama Dagang Dosis awal Dosis Harian Bentuk


(mg/hari) (mg/hari) sediaan
Chlorpromazine Thorazine, 50-150 300-1000 Tablet 10, 25,
Promactil, 50, 100, 200
Cepezet mg
Fluphenazine Prolixin, 5 5-20 Tablet 1, 2, 5,
Permitil, 10, 20mg
Moditen HCl
Haloperidol Haldol, Govotil 2-5 2-2 Tablet 1, 2, 5,
10, 20 mg
Loxapine Loxitane 20 50-150 Kapsul 5, 10,
25, 50 mg
Perphenazine Trilafon 4-24 16-64 Tablet 2, 4, 8,
16 mg
Thioridazine Mellaril 50-150 100-800 Tablet 10, 15,
25, 50, 100,
150, 200 mg
Thiothixene Navane 4-10 4-50 Kapsul 1, 2, 5,
10, 20 mg
Trifluoperazine Stelazine, 2-5 5-40 Tablet 1, 2, 5,
Stelosi 10 mg

(Dipiro, et al 2014)

2. Antispikotik Atipikal

Obat antipsikotik atipikal memiliki efek farmakologi penghambatan pada reseptor 5-

HT2A dan D2. Kemampuan lebih besar yaitu mengubah aktivitas resptor 5-HT2A daripada

mengintervensi efek reseptor D2. Obat bekerja sebagai agonis parsial terhadap reseptor 5-

HT1A, yang menghasilkan efek sinergistik dengan antagonism reseptor 5-HT2A. Obat

17
golongan antipsikotik atipikal adalah klozapin, asenapin, olanzapine, kuetiapin, paliperidon,

resperidon, sertindol, ziprasidon dan aripiprazol (Katzung, 2013).

Tabel 1.2 Obat Antipsikotik Tipikal

Nama Generik Nama Dagang Dosis awal Dosis Harian Bentuk


(mg/hari) (mg/hari) sediaan
Asenapine Abilify 5-15 15-30 Tablet 2, 5, 10,
20, 30 mg
Asenapine Saphris 5 10-20 Tablet 10, 25,
50, 100, 200
mg
Clozapine Clozaril, 25 100-800 Tablet 25, 50,
Clorilex, Sizoril 100, 200 mg
Iloperidone Fanapt 1-2 6-24 Tablet
Lurasidone Latuda 20-40 40-120 Tablet
Olanzapine Zyprexa, 5-10 10-20 Tablet 5, 10,
Onzapin 15, 20 mg
Paliperidone Invega 3-6 3-12 Tablet lepas-
panjang 3, 6, 9
mg
Quetiapine Seroquel 50 300-800 Tablet 25, 50,
100, 200, 300,
400 mg
Resperidone Risperdal, 1-2 2-8 Tablet 0.25,
Rizodal, 0.5, 1, 2, 3, 4
Noprenia mg
Ziprasidone Geodon 40 80-160 Kapsul 20, 40,
60, 80 mg

(Dipiro, et al 2014)

2.9 Efek Samping Obat

Pada pasien skizofrenia mengkonsumsi obat dalam jangka waktu yang lama

menyebabkan munculnya berbagai efek samping yang tidak diinginkan. Efek samping yang

muncul berupa tardive dyskinesia dimana terjadi pergerakan mulut dan wajah yang tidak

dapat dikontrol, untuk mengurangi efek samping ini dengan menurunkan dosis dari obat
18
antipsikotik. Selain itu, gangguan fungsi seksual untuk mengatasinya biasanya menggunakan

dosis efektif terendah atau mengganti dengan obat antipsikotik yang efek sampingnya lebih

sedikit (Irwan, 2008).

Adanya efek antikolinergik berupa mulut kering dan pandangan kabur, cara mengatasi

mulut kering yaitu dengan mengunyah permen karet (Dipiro et al., 2014) Efek samping lain

yang biasanya muncul penggunaan obat antipsikotik adalah Ekstrapiramidal Sindrom

Ekstrapiramidal dapat berupa tremor pada tangan dan kaki. Selain itu, adanya kekakuan pada

pergerakan sehingga menjadi lebih lambat. Cara mengatasinya pasien harus bergerak

(berjalan) setiap waktu untuk mengatasi efek samping yang ditimbulkan (Kaplan et al 2016)

19
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan

timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu.

Ada beberapa gejala yang disebabkan oleh skizofrenia, yaitu gejala postif, gejala

negative dan gejala kognitif. Gejala positif seperti waham dan halusinasi; gejala

negative seperti hilangnya motovasi dan kemiskinan pembicaraan dan gejala kognitif

seperti masalah dalam perhatian dan memori.

Pada dasarnya penyebab terjadinya sizofrenia belum diketahui secara pasti, tetapi

ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya skizofrenia, yaituu faktor

biologi (komplikasi pada kelahiram, infeksi, hipotesis dopamine hipotesis serotonin)

dan factor genetic. Patofisiologi skizofrenia terjadi karena adanya ketidakseimbangan

neurotransmiter di otak, terutama norepinefrin, serotonin, dan dopamin Namun, proses

patofisiologi skizofrenia masih belum diketahui secara pasti.

Skizofrenia dapat disembuhkan dengan terapi non farmakologi dan farmakologi.

Untuk terapa non farmakologi bisa dilakukan terapi kelompok, terapi perilaku dan

terapi individual, sedangkan untuk terapi farmokologi adalah obat-obat antipsikotik.

Antipsikotik memiliki aktivitas yang hampir sama terutama dalam mengeblok aktivitas

dari neurotransmitter dopamin. Namun, terdapat berbagai tipe skizofrenia yang

menggambarkan penyebab fisiologi yang berbeda maka dapat dikatakan antipsikotik ini

memiliki tingkat efektivitas yang berbeda untuk setiap pasien yang berbeda.

20
DAFTAR PUSTAKA

A.Wiramihardja, Sutardjo, 2012. Pengantar Psikologi Klinis. Bandung: PT. Refika Aditama,
Abrams, D., Rojas, D., & Arciniegas, D. 2008. Is Schizoaffective disorder a distinct

clinicalcondition? Journal of Neuropsychiatric Disease and Treatment, 1089 – 1109.

Arif, I. S., 2006, Skizofrenia memahami dinamika keluarga pasien. Bandung: Refika

Aditama.

Baihaqi, M.I.F. (2007). Psikiatri Konsep Dasar dan Gangguan - Gangguan. Bandung: PT.

Refika Adithama.

Dilfera & Harahap. 2018. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kasus Skizofrenia Pada Pasien

Rawat Inap Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Provinsi Bengkulu. Jurnal

Keperawatan Silimpari (JKS) Vol. 1 No. 2, Januari-Juni 2018.

Durand, M.V. (2007). Psikologi abnormal. Jakarta: Penerbit Pustaka belajar

Ellenbrock B.A, Cesura A, Hallett D. The histamine H3 receptor as a therapeutic drug target

for CNS disorders. Drug Discov Today. 2009;14(9-10):509-515.

Elvira, S. D., 2017. Buku Ajar Psikiatri. 3nd ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Irwan, M., Fajriansyah, A., Sinuhadji, B., Indrayana M., 2008, Penatalaksanaan Skizofrenia,

Skripsi, Fakultas Kedokteran Riau, Riau.

Jibson, M. 2013. Schizophrenia:Clinical presentation, epidemiology, and pathophysiology.


Kaplan, H.I., Sadock, B.J. 2010. Retardasi Mental dalam Sinopsis Psikiatri. Tangerang :
Binarupa Aksara
Katzung, Bertram G. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. EGC, Jakarta
Lien YJ, Hsiao PC, Liu CM, Faraone SV, Tsuang MT, Hwu HG, Chen WJ. 2011. A genome-
wide linkage scan for distinct subsets of schizophrenia characterized by age at onset
and neurocognitive deficits. https://doi.org/10.1371/Journal.Pone.0024103 diakses pada
tanggal 2 September 2021.
Maslim, R. 2018. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic Medication). Edisi
ketiga. Jakarta.

Maslim, R., 2013. Buku Saku Diangnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasan Dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: PT Nur Jaya.

Nasir, Abdul Muhith. 2011. Dasar - Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
Noviria, M., Triyoso., Yanti, L., 2013. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kunjungan

Kontrol Pasien Jiwa Skizofrenia di Rawat Jalan RSJ Provinsi Lampung tahun 2013.

Skripsi, Fakultas Kedokteran Malahayati, Bandar Lampung.

Nugroho. 2011. Farmakologi: Obat – obat Penting dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan

Dunia Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Prawitasari, J. E. (2011). Psikologi Klinis: Pengantar terapan mikro & makro. Jakarta:
Erlangga
Riset kesehatan dasar (Rikesdas) 2013. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan
kementerian kesehatan RI, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta,
http://www.depkes.go.id diakses tanggal 2 September 2021
Sadock, B. J. 2015. Mood disorder. In: Greb JA, et al, editors. Kaplan & Sadock’s synopsis
of psychiatry: beha-vioral sciences/clinical psychiatry. 11th ed. Philadelphia: Wolters
Kluwer Publications.
Smith , M., Wang , L., Cronenwett, W., Mamah , D., & Barch. 2011. Thalamic Morphology
in Schizophrenia and Schizoaffective Disorder. J Psychiatry, 378–385
Swartz, C. M. 2010. Psychotic depression or schizophrenia. Psychiatric Annals, 40(2), 92–
97. https://doi.org/10.3928/00485718-20100127-05 diakses pada tanggal 2 September
2021.
Videbeck, Sheila L. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa Jakarta : EGC.
Wells B, Dipiro J, Matzke G, Posey L, Schwinghammer T. Pharmacotherapy Handbook. 7th

ed. New York, USA: McGraw-Hill Professional Publishing; 2009.

Yosep, I. 2017. Keperawatan Jiwa. Bandung : PT. Refika.

Anda mungkin juga menyukai