Anda di halaman 1dari 26

EPIDEMIOLOGI TIDAK PENYAKIT MENULAR: SKIZOFRENIA

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Epidemilogi Tidak Penyakit Menular

Disusun Oleh:
Kelompok III
1. Widia Maharani (70200118002)
2. Sinjai (70200118073)
3. Reski Amalia (70200118104)

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur semata-mata hanyalah milik Allah Subhanahu Wa


Ta’ala. Hanya kepada-Nya lah kami memuji dan hanya kepada-Nya lah kami
bersyukur, kami meminta ampunan dan kami meminta pertolongan sehingga
makalah kami pada mata kuliah ini telah selesai hingga waktu yang telah
ditentukan.
Sholawat serta salam tidak lupa selalu kita hanturkan untuk junjungan nabi
kita, yaitu Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alayhi Wasallam yang telah
menyampaikan petunjuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk kita semua, yang
merupakan sebuah petunjuk yang paling benar yakni syariah agama islam yang
sempurna dan merupakan satu-satunya karunia yang paling besar bagi seluruh alam
semesta.
Selain itu kami juga sadar bahwa pada makalah ini dapat ditemukan banyak
sekali kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami benar-benar
menanti kritik dan saran untuk kemudian dapat kami revisi dan kami tulis di masa
yang selanjutnya, sebab kami menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa disertai saran yang konstruktif.
Akhirnya, semoga makalah ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi
setiap pihak terutama bagi kalian para pembaca.

Makassar, 13 April 2020

Kelompok III

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................3
A. Definisi penyakit Filariasis.............................................................................3
B. Penyebab terjadinya penyakit Filariasis .........................................................4
C. Cara penularan penyakit Filariasis .................................................................5
D. Riwayat Alamiah Penyakit Filariasis .............................................................7
E. Aspek pencegahan penyakit filariasis ............................................................9
BAB III PENUTUP ............................................................................................13
A. Kesimpulan...................................................................................................13
B. Saran .............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Definisi sehat menurut World Health Organization (WHO) menyatakan
bahwa pengertian sehat adalah suatu keadaan kondisi fisik, mental, dan
kesejahteraan sosial yang merupakan satu kesatuan dan bukan hanya bebas dari
penyakit atau kecacatan. UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan juga
menjelaskan tentang definisi kesehatan yaitu Kesehatan adalah keadaan sehat,
baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dari definisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa indikator kesehatan juga mencakup kesehatan jiwa
atau mental.
Skizofrenia (schizophrenia; dibaca skit-se-fri-nia) adalah salah satu
gangguan jiwa berat yang dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku
individu. Skizofrenia adalah bagian dari gangguan psikosis yang terutama
ditandai dengan kehilangan pemahaman terhadap realitas dan hilangnya daya
tilik diri (insight) (Sadock, et al., 2014 dalam Yudhantara dan Istiqomah,
2018). Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang
mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif,
mempengaruhi emosional dan tingkah laku (Depkes RI, 2015).
Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2016
prevalensi skizofrenia yang ada di dunia sebesar 26,3 juta orang (WHO 2016),
laporan terbaru yaitu tahun 2017 WHO menyebutkan bahwa 50 juta orang
didunia menderita skizofrenia, dan di Asia Tenggara mencapai 6,5 juta orang.
(WHO 2016), prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1%.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Charlson, et al. (2018) secara
global, kasus umum meningkat dari 13, juta pada 1990 menjadi 20,9 juta kasus
pada 2016. Skizofrenia menyumbang 13,4 juta tahun hidup dengan kecacatan
yang membebani penyakit secara global.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, prevalensi
skizofrenia/psikosis di Indonesia sebanyak 7 per 1000 rumah tangga. Artinya,

4
dari 1.000 rumah tangga terdapat 7 rumah tangga yang mempunyai anggota
rumah tangga (ART) pengidap skizofrenia/psikosis. Penyebaran prevalensi
tertinggi terdapat di Bali dan DI Yogyakarta dengan masing-masing 11 dan
10,4 per 1.000 rumah tangga yang mempunyai ART mengidap
skizofrenia/psikosis. Sedangkan prevalensi Skizofrenia di Sulawesi Selatan
berdasarkan data Riskesdas 2018 mencapai 8,8 per 1000 rumah tangga,
menempati urutan ke-6 provinsi dengan jumlah prevalensi skizofrenia
terbanyak di Indonesia.
Skizofrenia merupakan salah satu jenis psikosis, di mana psikosis
termasuk dalam standar pelayanan minimal (SPM) bidang kesehatan. Hal ini
ditetapkan pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 4 tahun 2019
tentang standar teknis pemenuhan mutu pelayanan dasar. Dengan demikian
pemerintah daerah wajib menyediakan program dan sarana prasarana untuk
menjamin penderita gangguan jiwa berat ini ditangani dengan baik. Disamping
menjadi salah satu SPM kesehatan, psikosis juga menjadi salah satu dari 12
indikator keluarga sehat Indonesia. Berdasarkan Permenkes nomor 36 tahun
2016 tentang program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga (PISPK),
orang dengan gangguan jiwa berat (psikosis) tidak boleh ditelantarkan dan
harus mendapatkan pengobatan sesuai standar. Keluarga Indonesia wajib
membawa keluarganya yang menderita gangguan jiwa berat untuk diobati
secara medis dan rutin. (Indaiani, et al., 2019).
Oleh karena itu, epidemiologi skizofrenia penting dinilai dalam
perencanaan kesehatan sehingga pemerintah dan stakeholders mampu
menetapkan program dan kebijakan yang tepat dalam penanganan skizofrenia
di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan diuraikan,
yaitu sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan Skizofrenia?
2. Bagaimana pengaruh transisi demografi dan transisi epidemiologi terhadap
kejadian Skizofrenia?

5
3. Apa saja etiologi penyakit Skizofrenia?
4. Bagaimana Beban Penyakit Skizofrenia?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini, yaitu sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengertian Skizofrenia.
2. Untuk mengetahui pengaruh transisi demografi dan transisi epidemiologi
terhadap kejadian Skizofrenia.
3. Untuk mengetahui etiologi Skizofrenia.
4. Untuk mengetahui Beban Penyakit Skizofrenia.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini adalah:
1. Dapat menambah pengetahuan penulis tentang Epidemiologi Skizofrenia
2. Bahan masukan dan referensi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Penyakit Tidak Menular


Penyakit Tidak Menular (PTM), juga dikenal sebagai penyakit kronis,
tidak ditularkan dari orang ke orang. Penyakit tidak menular memiliki durasi
panjang dan perkembangan umumnya lambat. (WHO, 2015). Dalam beberapa
definisi, NCD juga meliputi:
1. Penyakit mental kronis
2. Cedera, yang memiliki onset akut, tapi dapat diikuti oleh pemulihan
berkepanjangan dan gangguan fungsi.
Perbedaan penyakit menular dengan penyakit tidak menular dilihat dari
penyebab dan fektor resikonya.
1. Penyebab
menurut WHO penyakit menular disebabkan oleh mikroorganisme seperti
bakteri atau parasit yang dapat menyebar dari orang ke orang. Sedangkan
penyakit tidak menular adalah Penyakit tidak menular (NCD), juga dikenal
sebagai penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang.
2. Faktor resiko
Penyakit menular dapat menyebar dengan kontak fisik dengan orang yang
terinfeksi, kontak dengan permukaan atau benda yang terkontaminasi, dan
gigitan serangga atau hewan yang mampu menularkan penyakit.
Sedangkan faktor resiko penyakit tidak menular adalah perilaku yang
dapat dimodifikasi, seprti penggunaan tembakau, kativitas fisik, makanan
tidak sehat, dan penggunaan alkohol yang berbahaya, semuanya
meningkatkan resiko penyakit tidak menular dan faktor yang resiko
metabolik seperti tekanan darah meningkat, obesitas, dan hiperglikemia.

Karakteristik penyakit tidak menular, yaitu sebagai berikut:


1. Kompleks etiologi (penyebab)
2. Beberapa faktor risiko
3. Masa laten yang lama

7
4. Asal non-menular (non-communicable)
5. Berkepanjangan perjalanan penyakit
6. Gangguan fungsional atau cacat
7. Ketidak hancuran
8. Onset berbahaya

B. Pengertian Epidemiologi
Epidemiologi adalah studi tentang distribusi dana determinan dari Negara-
negara yang berhubungan dengan kesehatan pada populasi tertentu, dan
aplikasi penelitian ini untuk masalah kesehatan kontrol. Epidemiologi adalah
ilmu yang bertujuan untuk mendiagnosis masalah kesehatan masyarakat,
mengidentifikasi riwayat alamiah dan etiologi penyakit dan memberikan
informasi yang dapat digunakan untuk manajemen pelayanan/program
kesehatan (Lowe and Kostrzewkski, 1973).
Tujuan epidemiologi adalah:
1. Untuk menentukan penyebab (causation), sebagai contoh, bagimana
faktor-faktor lingkungan dan genetik berpengaruh pada baik dan buruknya
kesehatan faktor lingkungan yang di maksud adalah faktor-faktor biologi,
kimiawi, fisik, psikologis dan faktor-faktor lain yang berpengaruh pada
kesehatan.
2. Dapat mempelajari riwayat alamiah (natural story) dari suatu penyakit.
Individu yang awalnya sehat kemudian sakit bahkan sampai meninggal
atau sembuh dapat terjadi akibat suatu proses alamiah tubuh, penyakit atau
karena proses pengobatan.
3. Dapat digunakan untuk menggambarkan status kesehatan pada populasi,
berapa proporsi yang sehat, bagaimana status kesehatan berubah menurut
waktu, kejadian penyakit yang berbeda setiap wilayah geografi dan lain
sebaginya. Epidemiologi dapat digunakan pula untuk mengevaluasi
pengaruh suatu program preventif penyakit pada suatu populasi atau
dampak terapi pada suatu populasi.

8
Fungsi epidemiologi adalah:
1. Surveilans Kesehatan Masyarakat
Menurut CDC, Surveilans merupakan pengumpulan, analisis dan
interpretasi data kesehatan secara sistematis dan terus menerus, yang
diperlukan untuk perencanaan, implementasi dan evaluasi upaya kesehatan
masyarakat, dipadukan dengan diseminasi data secara tepat waktu kepada
pihak-pihak yang perlu mengetahuinya untuk pencegahan dan
pengendalian.
2. Investigasi atau penyelidikan
Biasanya Investigasi dikaitkan dengan epidemiologi penyakit menular,
yaitu keluar ke lapangan di mana terjadi outbreak atau Kejadian Luar Biasa,
seperti Zika, demam berdarah, atau tipus.
Namun, investigasi juga akan menjadi penting untuk epidemiologi penyakit
tidak menular. Adapun contoh investigasi dalam penyakit tidak menular
yaitu: Survei pada orang dewasa tentang aktivitas fisik selama seminggu
dan hambatan untuk aktivitas fisik; studi kohort prospektif (mis., Studi
Framingham) untuk mendokumentasikan perkembangan atau efek
intervensi pada PTM dan gejala yang tersisa; studi kasus-kontrol (case-
control) terhadap faktor risiko kanker otak.
3. Analisis Data
a. Menggambarkan distribusi kondisi atau peristiwa kesehatan dalam
suatu komunitas.
b. Membuat hipotesis tentang apa yang menyebabkan atau melindungi
terhadap penyakit atau cedera
c. Mempelajari tentang faktor-faktor yang diduga terkait dengan penyakit
d. Menilai hubungan antara faktor risiko dan penyakit menggunakan
metode statistic
e. Menginterpretasikan hasil dan menyebarkan informasi.
4. Intervensi
Intervensi yaitu segala upaya atau kebijakan yang dapat menghasilkan
perubahan perilaku sehingga tingkat penyakit menjadi lebih rendah.

9
5. Evaluasi
a. Proses: Evaluasi proses menilai pelaksanaan intervensi. Ini menjawab
pertanyaan seperti: Apakah persediaan dikirimkan tepat waktu? Apakah
orang memiliki akses ke intervensi? Apakah Anda dapat merekrut dan
melatih pekerja?
b. Hasil: Evaluasi hasil menilai perubahan dalam kesehatan. Ini menjawab
pertanyaan seperti: Apakah lebih sedikit orang yang terkena penyakit
ini? Apakah terjadi perubahan perilaku?
6. Komunikasi
Komunikasi sangat penting dalam epidemiologi, dalam hal ini bagaimana
agar kita mampu berkomunikasi kepada masyarakat atau populasi saat ingin
melakukan intervensi. Misalnya: bagaimana cara berkomunikasi yang baik
untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan, bagaimana
mempengaruhi masyarakat untuk tidak merokok, dan lain sebagainya.
Komunikasi juga memungkingkan kita untuk untuk mengkomunikasikan
temuan dan rekomendasi kebijakan kepada pemangku kepentingan utama.
7. Manajemen dan kerja tim
Ahli epidemiologi perlu bekerja dengan banyak orang atau pemangku
kepentingan yang berbeda untuk memastikan bahwa data dikumpulkan dan
dianalisis secara akurat dan bahwa rekomendasi dilaksanakan.

C. Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular (PTM)


Faktor risiko meliputi aspek perilaku atau gaya hidup pribadi, paparan
lingkungan, atau karakteristik herediter yang berhubungan dengan peningkatan
terjadinya penyakit tertentu, cedera, atau kondisi kesehatan lainnya. Faktor
risiko terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Modifiable Risk Factor (Faktor Risiko Modifikasi)
Faktor risiko yang bisa dikurangi atau dikontrol oleh intervensi, sehingga
mengurangi kemungkinan penyakit. WHO telah memprioritaskan empat
berikut:
a. aktivitas fisik
b. Penggunaan tembakau

10
c. Penggunaan alkohol
d. Diet tidak sehat
2. Non-Modifiable Risk Factor (Faktor Risiko Non-Modifikasi)
Faktor risiko yang tidak bisa berkurang atau dikendalikan oleh intervensi,
misalnya:
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Ras
d. Riwayat keluarga (genetik)

D. Definisi Beban Penyakit


Beban penyakit yaitu usaha sistematik untuk menentukan biaya yang
ditimbulkan oleh penyakit dan kecacatan pada individu dan masyarakat dengan
mempertimbangkan faktor kesehatan, sosial, politik, lingkungan dan ekonomi.
Mengapa mempelajari beban penyakit? Untuk menilai besar dan dampak dari
masalah, yang diperlukan untuk pengembangan kebijakan yang tepat, alokasi
sumber daya, kesadaran, prioritas masalah kesehatan, dan implementasi
intervensi.
Studi beban penyakit global yang pertama diterbitkan pada tahun 1991
untuk memberikan penilaian komprehensif terhadap beban penyakit untuk 107
penyakit dan cedera, dan 10 faktor risiko terpilih untuk dunia secara
keseluruhan dan 8 wilayah utama. Penilaian ini termasuk PTM dan penyakit
menular. Sejak itu, WHO secara teratur menerbitkan pembaruan GBD dalam
laporan Kesehatan Dunia. Studi ini berisi informasi tentang:
1. Penilaian WHO terhadap beban penyakit global
2. Menampilkan perbandingan antara kematian, penyakit dan cedera
menurut wilayah, usia, jenis kelamin dan pendapatan negara
3. Menyediakan proyeksi kematian dan beban penyakit berdasarkan sebab
dan wilayah hingga tahun 2030.
4. Penyebab kematian di berbagai belahan dunia
5. Penyebab utama kematian berdasarkan usia, jenis kelamin, dan penyakit
6. Jumlah orang dengan berbagai penyakit dan kecacatan

11
7. Jumlah orang yang menjadi sakit setiap tahun
8. Penyebab hilangnya kesehatan dan kehilangan aktual tahun kesehatan
yang baik.
Studi tentang beban penyakit global ini penting untuk dapat
memberikan masukan penting dalam pengambilan keputusan, perencanaan,
dan penetapan prioritas kesehatan.

E. Skizofrenia
1. Pengertian Skizofrenia
Istilah skizofrenia berasal dari Bahasa Yunani yaitu schizo (split/
perpecahan) dan phren (jiwa). Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan
terpecahnya atau terfragmentasinya pikiran individu dengan gangguan ini.
Istilah skizofrenia tidak menunjukkan beragamnya kepribadian pada
individu (Sadock, et al., 2014 dalam Yudhantara dan Istiqomah, 2018).
Definisi skizofrenia terus mengalami perubahan seiring dengan
ditemukan banyak gejala klinis yang berbeda-beda. Definisi skizofrenia
telah mengalami perubahan dan pergantian melalui tahap edisi dari
Diagnostic and Statistical Manual of Mental disorders (DSM) dari DSM-1
hingga DSM-5. Tetapi definisi tersebut memiliki tiga akar utama, yaitu:
a. Pandangan Kraepelinian yang menekankan adanya avolisi (penurunan
motivasi untuk melakukan atau mengerjakan aktivitas yang berguna
bagi dirinya sendiri, sebagai contoh: aktivitas rutin, hobi, prig bekerja
dan/atau sekolah, serta aktivitas social), kronisitas, dan hasil yang
kurang memuaskan;
b. Pandangan Bleurian menekankan perubahan disosiatif bersifat primer
atau fundamental yang terdapat pada gejala negative;
c. Pandangan Schneiderian menekankan pada distorsi realita atau gejala
positif;
Secara umum disepakati bahwa skizofrenia adalah gangguan jiwa
berat (psikosis) yang ditandai dengan distorsi pada pikiran, persepsi, emosi,
pembicaraan, tilikan diri, dan perilaku (Tandon, et al., 2013 dalam
Yudhantara dan Istiqomah, 2018).

12
2. Data Global, Nasional dan Lokal Skizofrenia
a. Data Global
Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada tahun
2016 prevalensi skizofrenia yang ada di dunia sebesar 26,3 juta orang
(WHO 2016), laporan terbaru yaitu tahun 2017 WHO menyebutkan
bahwa 50 juta orang didunia menderita skizofrenia, dan di Asia
Tenggara mencapai 6,5 juta orang. WHO (2016), prevalensi penderita
skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1%. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Charlson, et al. (2018) secara global, kasus umum
meningkat dari 13, juta pada 1990 menjadi 20,9 juta kasus pada 2016.
Skizofrenia menyumbang 13,4 juta tahun hidup dengan kecacatan yang
membebani penyakit secara global.
b. Data Nasional
Sedangkan data nasional yang mengacu pada data Riset
Kesehatan Dasar pada tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi
skizofrenia/psikosis di Indonesia sebanyak 7 permil. Artinya, dari 1.000
rumah tangga terdapat 7 rumah tangga yang mempunyai anggota rumah
tangga (ART) pengidap skizofrenia/psikosis. Penyebaran prevalensi
tertinggi terdapat di Bali dan DI Yogyakarta dengan masing-masing 11
dan 10,4 permil yang mempunyai ART mengidap skizofrenia/psikosis.
Kemudian di antara Orang Dengan Skizofrenia (ODS) tersebut, terdapat
14% yang pernah dipasung, dan 31,5% yang dipasung selama 3 bulan
terakhir oleh keluarganya sendiri.
Secara umum, hasil riset riskesdas 2018 juga menyebutkan sebanyak
84,9% pengidap skizofrenia/psikosis di Indonesia telah berobat. Namun,
yang meminum obat secara rutin lebih rendah sedikit daripada yang
meminum obat secara tidak rutin. Tercatat sebanyak 48,9% penderita
psikosis meminum obat secara rutin dan 51,1% meminum secara tidak
rutin.
c. Data Lokal

13
Prevalensi skizofrenia di Sulawesi Selatan berdasarkan data
Riskesdas 2018 menempati urutan ke-6 tertinggi di Indonesia, yaitu
sebanyak 8,8 permil.
3. Etiologi Skizofrenia
Faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya skizofrenia adalah sebagai
berikut.
a. Umur
Umur 25-35 tahun kemungkinan berisiko 1,8 kali lebih besar
menderita skizofrenia dibandingkan umur 17-24 tahun (Erlina et al.,
2010).
b. Jenis Kelamin
Proporsi skiofrenia terbanyak adalah lakilaki (72%) dengan
kemungkinan laki-laki berisiko 2,37 kali lebih besar mengalami
kejadian skizofrenia dibandingkan perempuan. Kaum pria lebih mudah
terkena gangguan jiwa karena kaum pria yang menjadi penopang utama
rumah tangga sehingga lebih besar mengalami tekanan hidup,
sedangkan perempuan lebih sedikit berisiko menderita gangguan jiwa
dibandingkan laki-laki karena perempuan lebih bisa menerima situasi
kehidupan dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun beberapa sumber
lainnya mengatakan bahwa wanita lebih mempunyai risiko untuk
menderita stress psikologik dan juga wanita relatif lebih rentan bila
dikenai trauma (Sadock, et al., dalam Zahnia dan Sumekar, 2016).
Sementara prevalensi skizofrenia antara laki-laki dan perempuan adalah
sama (Depkes, 2004 dalam Zahnia dan Sumekar, 2016).
c. Pekerjaan
Pada kelompok skizofrenia, jumlah yang tidak bekerja adalah
sebesar 85,3% sehingga orang yang tidak bekerja kemungkinan
mempunyai risiko 6,2 kali lebih besar menderita skizofrenia
dibandingkan yang bekerja. Orang yang tidak bekerja akan lebih mudah
menjadi stres yang berhubungan dengan tingginya kadar hormon stres
(kadar katekolamin) dan mengakibatkan ketidakberdayaan, karena

14
orang yang bekerja memiliki rasa optimis terhadap masa depan dan
lebih memiliki semangat hidup yang lebih besar dibandingkan dengan
yang tidak bekerja (Erlina et al., 2010).
d. Status Perkawinan
Seseorang yang belum menikah kemungkinan berisiko untuk
mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan yang menikah
karena status marital perlu untuk pertukaran ego ideal dan identifikasi
perilaku antara suami dan istri menuju tercapainya kedamaian (Erlina et
al., 2010).
e. Konflik Keluarga
Pasien yang berisiko adalah pasien yang tinggal di lingkungan
keluarga yang penuh permusuhan, keluarga yang overprotektif, atau
dikekang. Pola komunikasi keluarga yang kontradiktif memberikan
kecenderungan anak menderita skizofrenia (Kartikadewi, 2015).
Konflik keluarga kemungkinan berisiko 1,13 kali untuk mengalami
gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan tidak ada konflik keluarga
(Erlina et al., 2010).
f. Status Ekonomi
Status ekonomi rendah mempunyai risiko 6,00 kali untuk
mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan status ekonomi
tinggi. Status ekonomi rendah sangat mempengaruhi kehidupan
seseorang. Beberapa ahli tidak mempertimbangkan kemiskinan (status
ekonomi rendah) sebagai faktor risiko, tetapi faktor yang menyertainya
bertanggung jawab atas timbulnya gangguan kesehatan (Erlina et al.,
2010).
Himpitan ekonomi memicu orang menjadi rentan dan terjadi
berbagai peristiwa yang menyebabkan gangguan jiwa. Jadi, penyebab
gangguan jiwa bukan sekadar stressor psikososial melainkan juga
stressor ekonomi. Dua stressor ini kaitmengait, makin membuat
persoalan yang sudah kompleks menjadi lebih kompleks (Suara
Merdeka dalam Erlina et al., 2010).

15
g. Genetik
Skizofrenia adalah gangguan familial, meningkat pada saudara
kembar terutama kembar monozigot. Anak yang orang tuanya
menderita skizofrenia tetapi dirawat oleh orang normal, angka kejadian
skizofrenia akan sama dengan anak yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia. Angka kejadian skizofrenia meningkat jika ada riwayat
keluarga, dihubungkan dengan gangguan kepribadian ambang dan
skizotipal, gangguan obsesif kompulsif, gangguan kepribadian paranoid
dan antisosial (Kartikadewi, 2015).
Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8%; bagi saudara
kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita
skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-68%;
bagi heterozigot 2-15%; dan bagi monozigot 61-86%. (Maramis 2009,
dalam Kurnia, 2015). Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah
potensi untuk mendapatkan skizofrenia melalui gen yang resesif.
Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya
tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi manifestasi
skizofrenia atau tidak (Zahnia dan Sumekar, 2016).
h. Biokimia
Hipotesis yang banyak ditemukan yaitu adanya yang berlebihan.
Teori lain juga berhubungan dengan peningkatan neurotransmitter
adalah serotonin, kelebihan NE pada sistem limbik (Kartikadewi, 2015).
4. Manifestasi Klinis
Ada beberapa gangguan yang terdapat dalam skizofrenia, diantaranya:
a. Gangguan Proses Pikir
Pada gangguan proses pikir terdapat kondisi berupa asosiasi
yang longgar, adanya intrusi berlebihan, terhambatnya klang asosiasi,
ekolalia, alogia dan neologisme.
b. Gangguan Isi Pikir
Di dalam gangguan ini terdapat waham, yaitu suatu kepercayaan
salah yang menetap, tidak sesuai dengan fakta dan tidak bisa dikoreksi.

16
Adapun jenis-jenis waham, antara lain waham kejar/curiga yaitu berupa
keyakinan adanya orang yang sedang mengganggunya, menipu,
memata-matai dan menjelekkan dirinya, waham kebesaran yaitu
kenyataan palsu yang memperluas/memperbesar kepentingan dirinya,
baik kualitas tindakan/kejadian di sekelilingnya dalam bentuk tidak
realistik.Selain itu terdapat jenis waham rujukan, waham penyiaran
pikiran, waham penyisipan pikiran, dan waham aneh.
c. Gangguan Persepsi
Pada gangguan persepsi atau penerimaan terhadap sesuatu
biasanya terjadi gangguan yang berhubungan dengan panca indra seperti
halusinasi, ilusi, depersonalisasi, dan derealisasi.
d. Gangguan Emosi
Ada tiga efek dasar yang sering diperlihatkan oleh penderita
skizofrenia tetapi tidak bersifat patognomonik yaitu afek tumpul/datar,
afek tak serasi dan afek labil.
e. Gangguan Perilaku
Berbagai perilaku tak sesuai atau aneh dapat terlihat seperti
gerakan tubuh yang aneh dan menyeringai, perilaku ritual dan agresif
serta perilaku seksual yang tak pantas.
f. Gangguan Motivasi
Aktivitas yang disadari sering kali menurun atau hilang pada
orang dengan skizofrenia. Misalnya kehilangan kehendak dan tidak ada
aktivitas.
g. Gangguan Neurokognitif
Pada gangguan ini terdapat masalah pada fungsi atensi
penderita, yaitu menurunnya kemampuan untuk menyelesaikan
masalah, gangguan memori. Misalnya memori kerja, spasial, verbal
serta fungsi eksekutif.
5. Klasifikasi Skizofrenia
Beberapa tipe skizofrenia yang diidentifikasi berdasarkan variabel klinik
menurut ICD-10 antara lain sebagai berikut.

17
a. Skizofrenia Paranoid
Skizofrenia paranoid merupakan jenis skizofrenia yang
memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia dengan adanya
tambahan berupa halusinasi dan atau waham paranoid yang harus
menonjol serta adanya gangguan afektif (Maslim, 2013 dalam Nadhifa,
2019). Penderita tidak memiliki hal berikut yang menetap seperti gejala
katatonik, perilaku kacau, dan afek datar atau tidak sesuai (Sadock, et
al., 2010 dalam Nadhifa, 2019). Ciri utamanya adalah adanya waham
kejar dan halusinasi auditorik namun fungsi kognitif dan afek masih
baik (Elvira dan Hadisukanto, 2013 dalam Zahria dan Sumekar, 2016)
b. Skizofrenia Hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik merupakan jenis skizofrenia yang
memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia dan kepribadian
premorbid menunjukkan ciri yang khas berupa pemalu dan senang
menyendiri. Gambaran khasnya yaitu gejala sering disertai cekikikan,
senyum sendiri, tertawa menyeringai, bersenda gurau, dll (Maslim, 2013
dalam Nadhifa, 2019). Hal yang bersifat menetap pada tipe ini adalah
berbicara yang kacau, perilaku yang kacau serta afek yang datar atau
tidak sesuai. (Sadock, et al., 2010 dalam Nadhifa, 2019).
c. Skizofrenia Katatonik
Skizofrenia katatonik merupakan jenis skizofrenia yang
memenuhi kriteria umum diagnosis skizofenia serta memiliki satu atau
lebih perilaku yang harus mendominasi gambaran klinisnya. Adapun
diantara perilaku tersebut adalah stupor (kurangnya reaktivitas terhadap
lingkungan), mutisme (tidak berbicara), gaduh gelisah, menampilkan
suatu posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh, negativisme,
rigiditas, fleksibilitas cerea, dan gejala lain seperti command
automatism, dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat (Maslim,
2013 dalam Nadhifa, 2019). Selama stupor atau eksitasi katatonik,
pasien memerlukan pengawasan yang ketat untuk menghindari
terjadinya kemungkinan menyakiti diri sendiri atau orang lain.

18
Perawatan medis juga diperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan
ataupun cedera (Sadock, et al., 2010 dalam Nadhifa, 2019).
d. Skizofrenia Tak Terinci
Skizofrenia tak terinci adalah jenis skizofrenia dimana penderita
memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia berupa gejala
karakteristik yaitu waham, halusinasi, bicara kacau, perilaku kacau, dan
ada gejala negative (Sadock, et al., 2010 dalam Nadhifa, 2019). Pada
kondisi ini kriteria spesifik untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, katatonik, residual atau depresi pasca skizofrenia tidak
terpenuhi (Maslim, 2013 dalam Nadhifa, 2019).
e. Depresi Pasca Skizofrenia
Depresi pasca skizofrenia merupakan jenis skizofrenia dengan
kondisi penderita telah memenuhi kriteria umum skizofrenia selama 12
bulan terakhir ditambah adanya beberapa gejala yang masih menetap
namun tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya. Gejala - gejala
depresif yang menonjol serta mengganggu, dan memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif dalam kurun waktu minimal 2
minggu (Maslim, 2013 dalam Nadhifa, 2019). Keadaan depresif ini
terjadi pada hingga 25% pasien skizofrenia dan sering dikaitkan dengan
peningkatan risiko bunuh diri (Sadock, et al., 2010 dalam Nadhifa,
2019).
f. Skizofrenia Residual
Skizofrenia residual merupakan salah satu jenis skizofrenia
yang menandakan telah terjadinya suatu kekambuhan atau relaps pada
pasien pasca terdiagnosis skizofrenia dan mengalami riwayat penurunan
gejala serta frekuensi gejala skizofrenia seperti waham dan halusinasi.
Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau
yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paling tidak dalam
satu tahun (Maslim, 2013 dalam Nadhifa, 2019). Jika masih ditemukan
adanya waham atau halusinasi biasanya itu tidak bersifat menetap dan
tidak disertai afek yang kuat (Sadock, et al., 2010 dalam Nadhifa, 2019).

19
g. Skizofrenia Simpleks
Skizofrenia simpleks merupakan salah satu jenis skizofrenia
yang sulit untuk ditegakkan karena gejala berjalan perlahan dan
progresif serta adanya gejala negatif tanpa didahului riwayat halusinasi,
waham atau manifestasi psikotik lain. Kondisi ini disertai dengan
perubahan perilaku pribadi kehilangan minat, tidak mau berbuat
sesuatu, terlihat seperti tanpa tujuan hidup dan penarikan diri secara
sosial (Maslim, 2013 dalam Nadhifa, 2019). Tipe ini harus dibedakan
dengan gangguan kejiwaan lainnya seperti depresi, fobia, demensia atau
eksaserbasi ciri kepribadian (Sadock, et al., 2010 dalam Nadhifa, 2019).
h. Skizofrenia Lainnya
Ada beberapa jenis skizofrenia lainnya yang cukup jarang
ditemukan seperti skizofrenia Bouffee Delirante, skizofrenia laten,
skizofrenia oneiroid, parafrenia, skizofrenia pseudoneurotik, skizofrenia
awitan dini dan awitan lambat (Sadock, et al., 2010 dalam Nadhifa,
2019).
i. Skizofrenia Yang Tidak Tergolongkan (YTT)
Skizofrenia tipe yang tak tergolongkan adalah skizofrenia yang
tidak memenuhi salah satu kriteria subtipe yang lainnya (Sadock, et al.,
2010 dalam Nadhifa, 2019).
6. Komplikasi Skizofrenia
Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan dari Skizofrenia antara lain:
a. Depresi.
b. Datangnya pikiran kuat pengidap untuk bunuh diri.
c. Kecenderungan tinggi untuk melakukan bunuh diri.
d. Malnutrisi.
e. Kehilangan kepedulian terhadap diri sendiri.
f. Perilaku tidak wajar dan negatif yang berujung pada tindak kriminal
dan asusila.
g. Ketidakmampuan diri untuk belajar atau melakukan pekerjaan.

20
h. Munculnya penyakit lain yang berhubungan erat dengan kesalahan
gaya hidup yang tidak terkendali, seperti misalnya penyakit akibat
merokok atau penyalahgunaan narkotika.
7. Transisi Demografi dan Epidemologi terhadap Kejadian Skizofrenia
Transisi demografi adalah perubahan dalam dinamika populasi suatu
negara saat ia bergerak dari tingkat kesuburan dan kematian yang tinggi ke
tingkat kesuburan dan kematian yang rendah. Transisi demografi bisa
berdampak pada transisi epidemiologi, yaitu perubahan pada pola kematian,
angka fatalitas total, umur harapan hidup penduduk, dan meningkatnya
penyakit tidak menular atau penyakit kronis.
Transisi demografi dan epidemiologi akan berdampak pada
meningkatnya angka kejadian skizofrenia. Munculnya berbagai penyakit
kronis seperti Kanker, Diabetes Mellitus, penyakit kardiovaskular dan
sebagainya akan memengaruhi kesehatan mental pasien.
Meta-analisis telah menemukan hubungan antara diabetes dan
gangguan mental, termasuk skizofrenia, gangguan bipolar, depresi, dan
gangguan stres pasca-trauma serta antara diabetes dan gangguan kognitif.
Di Dunia Survei Kesehatan Mental, setelah komorbiditas disesuaikan,
diabetes secara signifikan dikaitkan dengan depresi, gangguan eksplosif
intermiten, gangguan selera makan, dan bulimia nervosa
(BMJ 2019;364:l295).
Orang dengan gangguan mental dapat menggunakan nikotin dan
alkohol dalam upaya pengobatan sendiri, yang kemudian mengarah pada
komplikasi fisik. Sebaliknya, penggunaan nikotin dan alkohol tidak hanya
berkontribusi pada NCD melalui mekanisme somatik periferal tetapi juga
mempengaruhi sistem imbalan pusat, yang mengarah pada depresi dan
kecemasan. Dari sudut pandang masyarakat, penggunaan tembakau dalam
gangguan mental serius dapat menjadi kontributor yang sangat penting
untuk kematian dini, dan penggunaan tembakau dan alkohol selama
kehamilan dikaitkan dengan berbagai gangguan mental dan perkembangan
mental pada keturunan (BMJ 2019;364:l295).

21
8. Beban Penyakit (Burden of Disease) Skizofrenia
Skizofrenia diperkirakan menjadi penyebab ke-10 dari beban non-
fatal di dunia pada tahun 1990, terhitung 2,6% dari total YLD, sekitar
persentase yang sama dengan malformasi kongenital (Sartorius et al. 1986
dalam WHO, 2002). perkiraan Versi 1 untuk studi Global Burden of Disease
2000, yang diterbitkan dalam World Health Report 2001 (Brewin et al. 1997
dalam WHO, 2002), skizofrenia adalah penyebab utama ke-7 YLD di
tingkat global, terhitung 2,8% dari total YLD global.
Secara global, skizofrenia adalah gangguan kejiwaan persisten yang
melemahkan yang mempengaruhi lebih dari 21 juta orang dan berkontribusi
terhadap peningkatan 60% kematian dini di antara orang yang hidup dengan
skizofrenia dibandingkan dengan populasi umum (Charlson, et al., 2018)
Sebuah penelitian yang dilakukan dengan meninjau 129 sumber data
individual menunjukkan bahwa prevalensi titik skizofrenia usia-standar
global pada 2016 diperkirakan 0,28% (interval ketidakpastian 95% [UI]:
0,24-0,31). Tidak ada perbedaan jenis kelamin yang diamati dalam
prevalensi. Angka prevalensi titik terstandarisasi usia tidak bervariasi secara
luas di seluruh negara atau wilayah. Secara global, kasus umum meningkat
dari 13,1 (95% UI: 11,6-14,8) juta pada 1990 menjadi 20,9 (95% UI: 18,5-
23,3) juta kasus pada 2016. Skizofrenia menyumbang 13,4 (95% UI: 9,9-
16,7) juta tahun hidup dengan kecacatan (YLD) yang membebani penyakit
secara global, setara dengan 1,7% dari total YLD secara global pada tahun
2016.
Meskipun skizofrenia adalah kelainan prevalensi rendah, beban
penyakit sangat besar. Pemodelan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan
dan penuaan populasi yang signifikan telah menyebabkan beban penyakit
yang besar dan semakin meningkat yang disebabkan oleh skizofrenia,
terutama untuk negara-negara berpenghasilan menengah (Charlson, et al.,
2018).
9. Pencegahan Skizofrenia

22
Menurut Prof. Dr. dr. Tuti Wahmurti Arie Sapiie, SpKJ (K) (dalam
laporan artikel oleh Marlia, Universitas Padjajaran) dalam orasi ilmiahnya,
terdapat tiga bentuk pencegahan primer. Pertama, pencegahan universal,
ditujukan kepada populasi umum agar tidak terjadi faktor risiko. Caranya
adalah mencegah komplikasi kehamilan dan persalinan. Kedua, pencegahan
selektif, ditujukan kepada kelompok yang mempunyai risiko tinggi, yaitu
dengan cara orang tua menciptakan keluarga yang harmonis, hangat, dan
stabil. Ketiga, pencegahan terindikasi, yaitu mencegah mereka yang baru
memperlihatkan tanda-tanda fase prodromal tidak menjadi skizofrenia yang
nyata, dengan cara memberikan obat antipsikotik dan suasana keluarga yang
kondusif.

23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan materi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Secara umum disepakati bahwa skizofrenia adalah gangguan jiwa berat
(psikosis) yang ditandai dengan distorsi pada pikiran, persepsi, emosi,
pembicaraan, tilikan diri, dan perilaku.
2. Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2016
prevalensi skizofrenia yang ada di dunia sebesar 26,3 juta orang (WHO
2016). Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018 menunjukkan bahwa
prevalensi skizofrenia/psikosis di Indonesia sebanyak 7 permil. Prevalensi
skizofrenia di Sulawesi Selatan berdasarkan data Riskesdas 2018
menempati urutan ke-6 tertinggi di Indonesia, yaitu sebanyak 8,8 permil.
3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian skizofrenia, yaitu:
faktor biokimia yaitu adanya dopamine dan serotonin yang berlebihan,
faktor, genetik, umur, jenis kelamin, pengerjaan, konflik keluarga, status
perkawinan, pekerjaan, dan status ekonomi.
4. Transisi demografi dan epidemiologi akan berdampak pada meningkatnya
angka kejadian skizofrenia. Munculnya berbagai penyakit kronis seperti
Kanker, Diabetes Mellitus, penyakit kardiovaskular dan sebagainya akan
memengaruhi kesehatan mental pasien.
5. prevalensi titik skizofrenia usia-standar global pada 2016 diperkirakan
0,28% (interval ketidakpastian 95% [UI]: 0,24-0,31). Tidak ada perbedaan
jenis kelamin yang diamati dalam prevalensi. Angka prevalensi titik
terstandarisasi usia tidak bervariasi secara luas di seluruh negara atau
wilayah. Secara global, kasus umum meningkat dari 13,1 juta pada 1990
menjadi 20,9 juta kasus pada 2016. Skizofrenia menyumbang 13,4 juta
tahun hidup dengan kecacatan (YLD) yang membebani penyakit secara
global, setara dengan 1,7% dari total YLD secara global pada tahun 2016.

24
6. Pencegahan skizofrenia dapat dilakukan melalui pencegahan tingkat
primer yang meliputi pencegahan universal, pencegahan selektif, dan
pencegahan terindikasi.

B. Saran
Penulis sadar bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan
baik dari segi isi maupun penulisannya, sehingga kami menyarankan untuk
penulisan makalah selanjutnya agar lebih memperhatikan tata cara kepenulisan
dan mencari referensi sebagai sumber data yang valid.

25
Daftar Pustaka
Ayuso-Mateos, J. L. (2002). Global Burden of schizophrenia in the year 2000-
Version 1 Estimates. World health organization.

Barbato, A., WHO Nations for Mental Health Initiative, & World Health
Organization. (1997). Schizophrenia and public health (No.
WHO/MSA/NAM/97.6). World Health Organization.

Charlson, Fiona J., et al. "Global epidemiology and burden of schizophrenia:


findings from the global burden of disease study 2016." Schizophrenia
bulletin 44.6 (2018): 1195-1203.

Erlina, S., & Pramono, D. 2010. Determinan terhadap timbulnya skizofrenia pada
pasien rawat jalan di rumah sakit jiwa prof. hb saanin padang sumatera
barat. Berita Kedokteran Masyarakat, 26(2), 71-80.

Idaiani, S., & Kusumawardani, N. (2018). TREATMENT GAP FOR PSYCHOSIS


BASED ON INDONESIA BASIC HEALTH RESEARCH. ASEAN Journal
of Psychiatry, 19(2).

Ihsiani, Nadhifa. 2019. Hubungan antara Derajat Merokok dengan Fungsi Kognitif
Penderita Skizofrenia. Diss. Universitas Andalas.

Jiwa, P. D. S. K. (2012). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran(PNPK)


Jiwa/Psikiatri. Jakarta: PPPDSKJI.

Kartikadewi, A., & Suprihatini, S. (2017). BUKU AJAR: Sistem Neurobehaviour


(Psikiatri).

Kurnia, F. Y. P. 2015. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya


Kekambuhan pada Pasien Skizofrenia di Poli Psikiatri RSD dr. Soebandi
Jember.

Zahnia, S., & Sumekar, D. W. 2016. Kajian Epidemiologis Skizofrenia. Jurnal


Majority, 5(4), 160-166.

26

Anda mungkin juga menyukai