Anda di halaman 1dari 25

TERAPI MEDIC YANG LAZIM PADA LANSIA KHUSUSNYA TERKAIT

MASALAH HIPERTENSI, PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK, DAN


GANGGUAN BERKEMIH

Disusun Oleh:

Heppy Kristina Silalahi 032020011


Maria Oktavia 032020024
Romiani Naibaho 032020027
Erlinien Telaumbenua 032020038

Dosen Pengajar
Helinida Saragih, S.Kep.,Ns.,M.Kep

PROGRAM STUDI NERS TAHAP AKADEMIK


SEKOLAH TINGGKI ILMU KESEHATAN (STIKes) SANTA ELISABETH
MEDAN T.A 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat-Nya kami
akhirnya bisa menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Terapi Medic yang Lazim pada
Lansia khusunya terkait masalah Hipertensi, PPOK dan Gangguan berkemih” ini dengan
baik dan tepat pada waktunya. Alasan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah “Keperawatan Gerontik”.

Kami juga berterimakasih kepada dosen pembimbing kami yang telah membantu
kami dalam menyelesaikan proses pembuatan makalah ini dengan selesai. Dalam
menyusun makalah ini, kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang diberikan kepada kami. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Medan, 6 September 2023

Kelompok 1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar......................................................................................................................1

Daftar Isi...............................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang................................................................................................................3

1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................4

1.3 Tujuan.............................................................................................................................5

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Lansia.................................................................................................................6

2.2 Konsep Medic yang Lazim pada Lansia.........................................................................9

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan....................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................23
BAB I

PENDAUHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menua adalah seseorang yang mengalami perubahan karena usia, perubahan faktor
fisik seperti : penglihatan dan pendengaran menurun, aktivitas tubuh menurun, dan kulit
tampak mengendur. Sedangkan dari faktor psikolgis seperti : adanya penurunan percaya
diri, rasa kesepian dan berasa tidak berguna bagi orang lain. Penuaan merupakan suatu
proses yang normal perubahan yang berhubungan dengan waktu, sudah dimulai sejak lahir
dan berlanjut sepanjang hidup, usia tua ialah fase terakir dalam rentang kehidupan manusia
(Fatimah. 2020). Menurut (Artinawati, 2019) Menua (menjadi tua) adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang di derita.

Seiring dengan pertumbuhan seseorang, usia pun juga bertambah, dari anak-anak,
remaja awal, remaja akhir, dewasa awal, dewasa madya dan dewasa akhir. Perubahan ini
juga diikuti dengan perubahan lainnya, yaitu perubahan fisik dan perubahan fungsi mental
atau psikososial. pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah baik secara
fisik, biologis, mental maupun sosial ekonomis. Menurut peraturan pemerintah Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun 2004, lanjut usia ( lansia) adalah seseorang yang berusia 60
(enam puluh) tahun ke atas (kemenkes RI, 2017). Semakin lansia, mereka akan mengalami
kemunduran terutama di bidang kemampuan fisik diantaranya perubahan pada sistem
gonittourinaria (sistem perkemihan), Hal ini mengakibatkan timbulnya gangguan dalam
hal mencakupi kebutuhan hidup sehingga dapat meningkatkan ketergantungan yang
memerlukan bantuan orang lain. Sering kali keberadaan lansia di persepsikan secara
negatif, dianggap sebagai beban keluarga dan masyarakat sekitar. kenyataan ini mendorong
semakin berkembangnya anggapan bahwa menjadi tua itu identik dengan semakin
banyaknya masalah kesehatan yang dialami oleh lansia (Nugroho, 2019).

Lansia adalah individu yang berusia 60 tahun ke atas dan merupakan populasi berisiko
yang terus meningkat jumlahnya. Indonesia pada tahun 2010 mengalami peningkatan
jumlah penduduk lansia dari 18 juta jiwa (7,56%) menjadi 25,9 juta jiwa (9,7%) pada
tahun 2019, dan diperkirakan terus meningkat yang pada tahun 2035 menjadi 48,2 juta
jiwa (15,77%).5,6 Seiring bertambahnya usia, lansia mengalami penurunan sistem dan
fungsi tubuh hal tersebut menjadi penyebab penyakit kardiovaskular, antara lain hipertensi
yang merupakan faktor risiko penting morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Pada
sekitar 1 milyar orang di seluruh dunia, terjadi pola perubahan tekanan darah dan
meningkatnya prevalensi hipertensi, serta perubahan elastisitas arteri yaitu membesar dan
menegang.3 Perbedaan derajat peregangan dapat menjelaskan bahwa perbedaan antara
arteri proksimal dan distal saat penuaan itu karena kelelahan. Menurut laporan The Joint
National Committee (JNC 7) on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Bloodpressure, lebih dari dua pertiga individu setelah usia 65 tahun mengalami hipertensi.
Sedangkan menurut data Framingham Heart Study, pria dan wanita berusia 55 tahun tanpa
hipertensi memiliki risiko terkena hipertensi pada usia 80 tahun, masingmasing 93% dan
91%. Dengan kata lain, pada usia 55 tahun, lebih dari 90% orang tanpa hipertensi akan
mengalami tekanan darah tinggi seiring bertambahnya usia.

Lansia adalah seseorang yang memasuki tahap akhir kehidupan dan mengalami proses
yang biasa disebut dengan proses menua atau aging process, seseorang yang berusia >60
tahun di kategorikan usia lansia (Yohana Pere, 2021). Pada saat itu kemampuan fisik,
mental dan sosial seseorang berangsur berkurang dan tidak dapat lagi menyelesaikan
aktifitas keseharian secara mandiri (Kholifah, 2016). Data kependudukan di Indonesia
tahun 2019 mencatat penduduk lansia mencapai 25,9 juta atau 9,7%. Seiring dengan
pertambahan usia akan ada berbagai perubahan yang terjadi, salah satunya adalah sistem
kemih. Artinya terjadi penurunan kekuatan otot vagina dan saluran kemih (urine) akibat
berkurangnya hormon estrogen. Hal ini dapat menyebabkan inkontinensia urine. Sebagai
akibat adanya kelemahan otot sehingga frekuensi dalam berkemih akan mengalami
peningkatan (Wilson 2017,).

Global Intiative For Chronic Obstructive Lung Desease (GOLD) Menyatakan bahwa
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan system pernapasan
yang ada diseluruh dunia. Prevalensi PPOK saat ini menepati posisi ke-3 penyebab
kematian di dunia (GOLD, 2020). Word Health Organization menyatakan bahwa terdapat
235 juta orang menderita penyakit pernapasan yaitu asma dan PPOK Dimana > 3 juta jiwa
meninggal setiap tahunnya dengan estimasi 6% dari seluruh kematian di dunia (WHO,
2020).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa terapi medic yang lazim pada lansia terkait masalah Hipertensi?
2. Apa terapi medic yang lazim pada lansia terkait masalah Chronic Obstructive
Pulmonary Disease
3. Apa terapi medic yang lazim pada lansia terkait masalah Gangguan berkemih?

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum

Agar mahasiswa/I mengetahui terapi medic yang lazim diberikan pada lansia

2. Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui terapi medic yang lazim pada lansia terkait masalah Hipertensi
2) Untuk mengetahui terapi medic yang lazim pada lansia terkait masalah Chronic
Obstructive Pulmonary Disease
3) Untuk mengetahui terapi medic yang lazim pada lansia terkait masalah Gangguan
berkemih
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Lansia

A. Defenisi Lansia

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas, merupakan
kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupan.
Menua atau proses penuaan bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu proses yang
berangsur-angsur serta mengakibatkan perubahan kumulatif, menua juga merupakan
proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun
luar tubuh.

Proses penuaan ditandai dengan tahapan-tahapan menurunnya berbagai fungsi organ


tubuh, diawali dari kemunduran sel-sel tubuh, sehingga fungsi dan daya tahan tubuh
menurun serta mengakibatkan faktor resiko terhadap penyakit dan masalah kesehatan
meningkat.

B. Klasifikasi Lansia

Depkes RI dalam Kholifah (2016) mengklasifikasikan batasan usia lansia menjadi tiga,
yaitu:

1. Pralansia (prasenilis), seseorang yang berada pada usia antara 45-59 tahun,
2. Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun keatas,
3. Lansia beresiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau seseorang
lansia yang berusia 60 tahun atau lebih yang memiliki masalah kesehatan.

Sedangkan, klasifikasii batasan usia lansia menurut WHO dalam Kholifah (2016),
yaitu sebagai berikut:

1. Elderly (Usia lanjut) antara usia 60-74 tahun,


2. Old (Usia tua) :75-90 tahun,
3. Very old (Usia sangat tua) adalah usia > 90 tahun.

C. Proses Menua

Proses penuaan adalah proses alamiah dimana sesorang telah melalui tahap tahap
kehidupan dari neonatus, toddler, pra-school, school, remaja, dewasa dan terakhir lansia.
Ini berrati bahwa proses menua merupakan proses sepanjang hidup yang tidak hanya
dimulai dari suatu waktu tertentu, namun dimuai dari permulaan kehidupan. Pada usia
lansia ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit
sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi.

Proses penuaan berhubungan dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung,
pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainnya. Dengan adanya kemampuan
regeneratif yang terbatas pada lansia, maka mengaibatan lansia lebih rentan terhadap
berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa lain.
Masalah kesehatan yang sering ditemukan pada lansia antara lain, yaitu: malnutrisi,
gangguan keseimbangan, kebingungan mendadak, dan lain-lain. Selain itu, terdapat
beberapa penyakit yang sering diderita lansia, yaitu: hipertensi, gangguan pendengaran dan
penglihatan, demensia, osteoporosis, dan lain-lain.

D. Masalah Kesehatan yang Sering Terjadi pada Lansia

Masalah kesehatan akibat proses penuaan, terjadi akibat kemunduran fungsi sel-sel
tubuh (degeneratif), dan menurunnya fungsi sistem imun tubuh sehingga mucul
penyakitpenyakit degeneratif, gangguan gizi (malnutrisi) penyakit infeksi, masalah
kesehatan gigi dan mulut dan sebagainnya. Beberapa penyakit yang sering dijumpai pada
lanjut usia sebagai berikut yaitu (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 67,
2015):

1. Pneumonia Gejala awal berupa penurunan nafsu makan; keluhan akan terlihat
seperti dispepsia. Keluhan lemas dan lesu akan mendominasi disertai kehilangan
minat. Pada keadaan lebih lanjut akan terjadi penurunan kemampuan melakukan
aktivitas kehidupan dasar (ADL) sampai imobilisasi.
2. Penyakit Paru Obstruktif Kronis Penyakit paru obstruksi kronik dapat disebabkan
oleh beberapa penyakit; namun demikian apa pun penyebabnya harus diupayakan
agar pasien terhindar dari eksaserbasi akut. Beberapa faktor risiko yang
meningkatkan kemungkinan eksaserbasi antara lain infeksi saluran pernafasan oleh
bakteri banal maupun virus influenza. Perawatan saluran nafas yang baik dengan
latihan nafas, sekaligus juga latihan batuk dan fisioterapi dada akan bermanfaat
mempertahankan dan meningkatkan faal pernafasan.
3. Gagal Jantung Kongestif Hipertensi dan penyakit jantung koroner serta
kardiomiopati diabetikum merupakan penyebab gagal jantung tersering pada lanjut
usia. Gagal jantung dapat dicetuskan oleh infeksi yang berat terutama pneumonia;
oleh sebab itu semua faktor yang meningkatkan risiko pneumonia harus
diminimalkan.
4. Osteoartritis (Oa) Salah satu penyakit degeneratif yang sering menyerang lanjut
usia adalah osteoartritis (OA). Organ tersering adalah artikulasio genu, artikulasio
talocrural, artikulasio coxae, dan sendi-sendi intervertebrae (disebut
spondiloartrosis). Karena penyakit ini tidak dapat disembuhkan secara kausatif
maka penatalaksanaan simtomatik dan edukasi serta rehabilitasi menjadi sangat
penting. Risiko jatuh akibat nyeri atau instabilitas postural karena OA genu dan OA
talocrural harus selalu diingat karena mempunyai akibat yang dapat fatal (misalnya
fraktur colum femoris).
5. Infeksi Saluran Kemih Gejala awal dapat menyerupai infeksi lain pada umumnya
yakni berupa penurunan nafsu makan; keluhan akan terlihat seperti dispepsia.
Keluhan lemas dan lesu akan mendominasi disertai kehilangan minat. Pada
keadaan lebih lanjut akan terjadi penurunan kemampuan melakukan aktivitas
kehidupan dasar (ADL) sampai imobilisasi; dan akhirnya pasien akan mengalami
kondisi acute confusional state (sindrom delirium).
6. Diabetes Melitus Prevalensi diabetes meningkat seiring pertambahan umur.
Pengendalian gula darah sangat dipengaruhi oleh gaya hidup. Mengkonsumsi
makanan yang mengandung karbohidrat kompleks dengan jumlah energi tertentu
serta mempertahankan aktivitas olah raga ringan tetap merupakan pilihan utama
pengobatan.
7. Hipertensi Usahakan mengukur tekanan darah tidak hanya pada posisi berbaring
namun juga setidaknya pada posisi duduk saat awal penegakan diagnosis.
Pemantauan tekanan darah sebaiknya dilakukan dalam dua posisi yakni posisi
berbaring dan berdiri, setelah istirahat sebelumnya selama 5 menit. Hal ini untuk
menapis adanya hipotensi ortostatik yang potensial menimbulkan keluhan pusing
hingga instabilitas postural dengan risiko jatuh dan fraktur.

2.2 Terapi Medik yang Lazim pada Lansia

2.2.1 Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko utama kejadian kardiovaskuler dan kematian


pada lansia. Hipertensi pada lansia dapat di definisikan sebagai tekanan darah persisten.
Hipertensi di mana tekanan sistoliknya di atas 140 mm Hg dan distolik di atas 90 mm Hg.
Hipertensi sistolik terisolasi di mana tekanan distolik lebih besar dari 160 mm Hg dan
tekanan distolik lebih rendah dari 90 mm Hg. Penyebab hipertensi pada pasien lanjut usia
dikarenakan terjadinya perubahan-perubahan pada

1. Elastisitas dinding aorta menurun.


2. Katup jantung menebal dan menjadi kaku.
3. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah
berumur 20 tahun, menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
4. Kehilangan elastisitas pembuluh darah karena kurang efektifitas pembuluh
darah perifer untuk oksigen.
5. Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.

Usia lanjut merupakan salah satu faktor yang yang meningkatkan resiko terjadinya
hipertensi. Pada kelompok umur tersebut, peningkatan tekanan darah utamanya didapatkan
dalam bentuk kenaikan tekanan sistolik oleh karena adanya perubahan struktur vaskuler.

Hipertensi merupakan kondisi medis kronis yang ditandai dengan


peningkatan tekanan darah sistolik melebihi 140 mmHg dan diastolik lebih dari 90
mmHg dengan dua kali pengukuran dalam selang waktu lima menit dan dalam
keadaan cukup istirahat / tenang. Hipertensi sering disebut sebagai the silent disease
karena sering timbul tanpa keluhan, sehigga penderita tidak tahu kalau dirinya
mengidap hipertensi. Hipertensi tidak menunjukkan gejala yang khas untuk dapat
dideteksi dini, kadang individu baru menyadari ketika terjadi kerusakan organ seperti
gangguan fungsi jantung maupun stroke, serta beberapa individu yang mengalami
hipertensi tidak ditangani dengan baik. Hal tersebut merupakan faktor penyebab tingginya
angka kejadian hipertensi tidak terkontrol. Tekanan darah (TD) dipengaruhi dua faktor
utama, yaitu curah jantung dan resistensi pembuluh darah perifer. Curah jantung
merupakan hasil perkalian dari frekuensi denyut jantung dengan isi sekuncup (stroke
volume), isi sekuncup ditentukan dari aliran balik vena dan kekuatan kontraksi miokard.
Otot polos pembuluh darah, elastisitas dinding pembuluh darah dan viskositas darah
menentukan resistensi perifer.

Klasifikasi hipertensi pada orang dewasa menurut Joint National Committee / JNC-
7 (2013), dalam Sya‟diyah (2018) terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi,
hipertesi stadium I, dan hipertensi stadium II.

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik


Darah (mmHg) (mmHg)
Normal <120 <80
Prahipertensi 120-139 80-89
Hipertensi ringan (Stadium 140-159 90-99
I)
Hipertensi sedang ≥160 ≥100
(Stadiumt II)

Penanganan awal yang dapat diberikan kepada pasien dengan hipertensi salah
satunya dengan pemberian obat. Pemberian obat harus secara rasional yang ditinjau dari
tiga indikator utama yaitu tepat indikasi, tepat obat, dan tepat dosis. Tepat indikasi
merupakan pemberian obat yang sesuai antara indikasi dengan diagnosis dokter, pemilihan
obat mengacu pada penegakan diagnosis. Tepat obat merupakan pemberian obat
antihipertensi yang sesuai dengan pertimbangan ketepatan kelas lini terapi. Sedangkan
tepat dosis merupakan pemberian dosis obat antihipertensi yang sesuai dengan rentang
dosis terapi, ditinjau dari dosis penggunaan per hari tergantung pada kondisi pasien.

Berdasarkan pedoman JNC 7 penggunaan tunggal obat antihipertensi diindikasikan


untuk pasien hipertensi derajat 1, sedangkan terapi kombinasi diindikasikan untuk pasien
hipertensi derajat 2. Hal ini sejalan dengan studi oleh Untari dkk yang menunjukkan
penggunaan obat kombinasi diberikan untuk pasien dengan tekanan tekanan darah lebih
dari 20/10 mmHg di atas tekanan darah target, harus dipertimbangkan pemberian terapi
kombinasi. Jenis obat antihipertensi yang digunakan paling banyak adalah golongan
antagonis kalsium (Amlodipin) sebanyak 65 (67.7%) pasien karena antagonis kalsium
ditoleransi dengan baik oleh lansia. Yuliani mendapatkan dalam penelitian nya bahwa
obat yang paling banyak digunakan pada poliklinik lansia Puskesmas Alak adalah obat
golongan antagonis kalsium yaitu sebesar 55,08%., jenis obat antihipertensi yang
digunakan adalah antagonis kalsium (Amlodipin), diuretik tiazid (Hidroklorotiazid),
penghambat enzim konversi angiotensin (Captopril). Diketahuinya rasionalitas pola
penggunaan obat antihipertensi berdasarkan kemenkes RI yaitu, tepat sesuai indikasi,
dosis, dan frekuensi pemberian obat pada lansia dengan hipertensi.

Terapi Non Farmakologi:

Tujuan penataaksanaan hipertensi tidak hanya untuk menurunkan tekanan darah,


melaikan juga untuk mengurangi dan mencegah komplikasi. Penatalaksaan ini dapat
dilakukan dengan cara memodifikasi gaya hidup yang dapat meningkatkan faktor resiko
yaitu dengan :

a. Konsumsi gizi seimbang dan pembatasan gula, garam dan lemak.


b. Mempertahankan berat badan ideal.
c. Gaya hidup aktif/olahraga teratur.
d. Stop merokok.
e. Membatasi konsumsi alkohol (bagi yang minum).
f. Istirahat yang cukup dan kelola stres

Jenis – jenis Anti hipertensi dan efek samping, peringatan atau interaksi dari
masing- masing obat hipertensi diantaranya :

1. ACE inhibitor

ACE inhibitor akan menjaga pembuluh darah terbuka lebar sehingga aliran darah
masuk dengan lancar. ACE inhibitor bekerja dengan cara menghambat terbentuknya
hormon yang memicupembuluh darah untuk menyempit.

2. Diuretik tiazid
Diuretik bekerja dengan membuang kelebihan garam (natrium) dan cairan di dalam
tubuh untuk menormalkan tekanan darah . Jenis – jenis diuretik :
a. Diuretik loop adalah diuretik yang bekerja di nefron, tetapi di tempat yang
berbeda.
b. Diuretik tiazid bekerja dengan mengurangi hipertensi dengan memblokir
transporter natrium-klorida-Na+Cl-transporter.

3. ARB (Angiotensin II receptor blocker)


ARB bekerja dengan cara menghambat kerja angiotensin atau senyawa yang
membuat pembuluh darah menyempit. Hambatan pada kerja angiotensin menyebabkan
pembuluh darah tetap terbuka lebar dan tekanan darah mampu diturunkan.

4. Antagonis kalsium (calcium channel blocker)


Antagonis kalsium digunakan untuk menangani hipertensi, gangguan jantung, dan
gangguan pembuluh darah. Obat ini bekerja dengan menghambat jalan masuk kalsium
ke dalam otot jantung dan dinding pembuluh darah, sehingga menyebabkan denyut
jantung melambat dan pembuluh darah melebar.

5. Penghambat beta (beta – blocker)

Penghambat beta merupakan golongan obat yang bekerja dengan menghambat


hormon adrenalin, sehingga tekanan darah turun. Penghambat beta dibagi mnjadi dua
yakni selektif dan non selektif . Jenis obat penghambat beta selektif meliputi atenolol,
bisoprolol, metoprolol dan nebivolol. Sedangkan contoh penghambat beta non selektif
adalah carvedilol dan propanolol.
Judul Penulis Tahun Terapi
Efektivitas Terapi M.Ilham, 2019 Terapi relaksasi otot progresif dapat meningkatkan
Relaksasi Otot Armina, relaksasi dengan menurunkan aktivitas saraf simpatis
Progresif dalam Hasyim dan meningkatkan aktivitas saraf parasimpatis sehingga
menurunkan Kadri terjadi vasodilatasi diameter arteriol. Saraf parasimpatis
Hipertensi pada akan melepaskan asetilkolin untuk menghambat
Lansia aktivitas saraf simpatis dengan menurunkan
kontraktilitas otot jantung, vasodilatasi arteriol dan
vena. Relaksasi otot progresif juga bersifat vasodilator
yang efeknya memperlebar pembuluh darah dan dapat
menurunkan tekanan darah secara langsung. Relaksasi
ini menjadi metode relaksasi termurah, tidak ada efek
samping, mudah dilakukan, membuat tubuh dan pikiran
terasa tenang dan rileks. penurunan tekanan darah
terjadi karena pada saat kondisi tubuh seseorang yang
merasakan relaks, tenang, istirahat pikiran, otot-otot
rileks mata tertutup dan pernapasan teratur maka
keadaan inilah yang dapat menurunkan tekanan darah
pada lansia yang menderita hipertensi. Sehingga lansia
yang serius dalam melakukan relaksasi otot progresif
mengalami penurunan tekanan darah. Dengan demikian,
saat melakukan relaksaksi otot progresif dengan tenang,
rileks dan penuh kosentrasi terhadap tegang dan
relaksasi otot yang dilatih selama 30 menit maka sekresi
CRH (cotricotropin releasing hormone) dan ACTH
(adrenocorticotropic hormone) di hipotalamus menurun.
Penurunan kedua sekresi hormon ini menyebabkan
aktivitas syaraf simpatis menurun sehingga pengeluaran
adrenalin dan noradrenalin berkurang, akibatnya terjadi
penurunan denyut jantung, pembuluh darah melebar,
tahanan pembuluh darah berkurang dan penurunan
pompa jantung sehingga tekanan darah arterial jantung
menurun.

2.2.2 Chronic Obstruktive Pulmonary Disease

Pemicu morbilitas dan mortalitas yang berdampak pada masalah kesehatan di


masyarakat salah satunya yaitu penyakit paru obstruksi kronis (SDGS, 2020). Salah satu
penyakit pernapasan yang memiliki gejala dengan ditandai yaitu adanya keterbasan aliran
udara pada saluran nafas yang bersifat progresif disebut penyakit paru obstruksi kronik
(Sulistiowati et al., 2021).

Faktor penyebab penyakit PPOK adalah merokok, polusi udara, pekerjaan,


gangguan tidur, dan lain-lain. Diagnosa yang muncul pada pasien PPOK diantaranya
bersihan jalan napas tidak efektif yang akan mengalami gangguan pertukaran gas,pola
napas tidak efektif, gangguan pola tidur, kurang perawatan diri dan intoleransi aktivitas
akibat keletihan atau hipoksemia. Dengan berbagai diagnosa tersebut kualitas hidup pasien
penyakit paru obstruksi kronis akan menurun gangguan tidur pasien dapat disebabkan
karena terjadinya hipoksia dan hiperkapnia pada saat tidur keadaan tersebut dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu adanya obstruksi jalan napas, hiperfliansi, disfungsi
otot dan respon tumpul ventilasi. Adapun penyebab dari penyakit PPOK salah satunya
adalah gangguan tidur (Ruang et al., 2021).

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dapat ditandai dengan obstruksi jalan
nafas yang buruk dengan pemeriksaan menggunakan spirometri, termasuk obstruksi jalan
nafas (bronkiolitis obstuktif kronik dan emfisema) yang menyebabkan terjadinya
penyempitan pada saluran pernafasan sehingga penderita mengalami sesak nafas. Secara
umum, faktor resiko dari PPOK adalah merokok, serta polusi udara di lingkungan. PPOK
dapat ditandai dengan gejala pernafasan seperti batuk berdahak, sesak nafas setelah
beraktivitas, atau infeksi saluran pernafasan bawah yang bertahan lama (> 2 minggu).

Manajemen pasien PPOK agar stabil dapat dilakukan dengan mengurangi paparan
zat berbahaya, menghilangkan gejala, dan mengurangi resiko keparahan dan eksaserbasi.
Manajemen gejala dan resiko juga mencakup pengobatan secara farmakologi dan
nonfarmakologi. Saat ini belum ada terapi farmakologis yang dapat benar-benar
memperlambat keparahan dari PPOK. Terapi farmakologi untuk PPOK antara lain
bronkodilator kerja cepat, antikolinergik kerja lama (Long acting muscarinic antagonist/
LAMA), beta2-agonis kerja lama (Long-Acting Beta2 Agonist/ LABA), Inhalasi
kortikosteroid (Inhaled Corticosteroids/ ICS). Terapi ini memiliki efek positif untuk
menghilangkan gejala batuk dan sesak nafas, eksaserbasi dan fungsi paru-paru.

Bronkodilator kerja lama dapat meningkatkan fungsi paru-paru, mengurangi sesak


nafas, meningkatkan status kesehatan dan meningkatkan kapasitas olahraga. Inhalasi
kortikosteriod dapat menurunkan kejadian eksaserbasi pada penderita PPOK, juga dapat
meningkatkan fungsi paru-paru, dan mengurangi sesak nafas. Antibiotik makrolida dapat
digunakan untuk mencegah eksaserbasi, namun penggunaannya dalam waktu lama perlu
diperhatikan untuk mencegah resiko penggunaan antibiotik berlebihan dan berpotensi
resistensi antibiotik pada pasien.

Terapi farmakologis untuk penatalaksanaan PPOK pada lansia:

1. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan
melalui inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Macam-
macam bronkodilator:

a. Golongan antikolinergik Digunakan pada derajat ringan sampai berat untuk


mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali sehari).
b. Simpatomimetik Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet
yang berefek panjang. Bentuk nebulizer dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk
injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
c. Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik Kombinasi kedua golongan obat ini
akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja
yang berbeda.
d. Metilksantin Golongan metilksantin (teofili, aminofilin) cukup lama digunakan
pada pengobatan PPOK. Teofili dan aminofilin umumnya digunakan jika pasien
intoleran terhadap bronkodilator lainnya.
2. Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan yaitu lini I seperti
amoksilin dan makrolid dan lini II seperti asam klavulanat, seperti asam Klavulanat,
sefalosporin dan kuinolon Imunisasi

3. Vaksin

Influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian akibat PPOK
sampai 50%. Vaksin influenza direkomendasikan bagi pasien PPOK pada usia lanjut
karena cukup efektif dalam mencegah eksaserbasi akut PPOK

4. Terapi oksigen

Pemberian terapi oksigen biasanya diberikan kepada pasien yang menderita penyakit
atau gangguan pernapasan, salah satunya adalah penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
Metode pengobatan ini bertujuan untuk memberikan oksigen tambahan sehingga
memudahkan penderitanya bernapas.terapi oksigen pada umumnya diberikan di rumah
sakit. Namun, bila kondisinya sudah stabil terapi oksigen terkadang bisa dilakukan di
rumah. Hal ini bertujuan untuk memastikan kebutuhan oksigen pada pasien PPOK tetap
terpenuhi.

Judul Penulis Tahun Terapi


Edukasi dan Natasya 2023 Fisioterapi merupakan suatu layanan perawatan
Pemberian Terapi Anjani, kesehatan individu atau kelompok yang menggunakan
Latihan pada Kristiyono manipulasi manual, perangkat fisik (elektroterapi dan
Pasien PPOK Putro, mekanik), pelatihan fungsional, dan komunikasi untuk
untuk Nungki mengembangkan, memelihara, dan memulihkan
Mengurangi Marlian gerakan dan fungsi tubuh. Fisioterapi paru atau biasa
Sesak Napas di Yuliadarwat dikenal dengan fisioterapi dada adalah salah satu
RSUD DUNGUS i perawatan fisioterapi yang tujuannya untuk megatasi
masalah yang berkaitan dengan sistem pernapasan.
Fisioterapi paru digunakan tidak hanya untuk
membersihkan saluran udara dari mukus/lendir, tetapi
juga untuk memulihkan fungsi paru agar berfungsi
secara optimal. Penanganan yang dapat diberikan
untuk mengatasi gejala dispnea pada pasien paru
adalah farmakologi dan non-farmakologi. Pengobatan
non-medis yaitu pemberian terapi latihan yang dapat
dilakukan mandiri di rumah, diantaranya :
1. Pursed Lip Breathing, pursed lip breathing
adalah metode latihan breathing control yang
efisien guna memperbaiki dan meningkatkan
laju pernapasan, meningkatkan konsentrasi
oksigen (SpO2), serta mengurangi dyspnea
yakni respirasi cepat dan sempit yang beralih
ke respirasi lamban dan dalam
2. Mobilisasi Sangkar Thorax, mobilisasi
sangkar thorax merupakan suatu metode yang
dilakukan untuk meningkatkan mobilisasi
dinding dada dan fungsi pernapasan. Sehingga
otot pernapasan dan otot bantu pernapasan
yang mengalami ketegangan menjadi rileks
3. Batuk Efektif, batuk efektif adalah teknik
latihan yang fungsinya untuk membersihkan
mukus, meningkatkan distribusi pernapasan,
meningkatkan volume paru-paru, dan
melegakan saluran pernapasan
Beberapa posisi yang dianjurkan ketika sesak napas,
yaitu :
1. Posisi tidur semi fowler Posisi tidur semi
fowler kondusif untuk mengurangi
penggunaan oksigen dan mengoptimalkan
distensi paru maksimal, serta menangani
gangguan pertukaran gas yang berkaitan
dengan peralihan membran alveolar. Posisi
tidur ini dapat mengurangi sesak dan
menambah durasi tidur pasien.
2. Posisi tengkurap dengan meletakkan bantal di
leher, panggul, dan kaki
3. Posisi berbaring miring ke salah satu sisi
dengan bantal di antara kedua kaki

2.2.3 Gangguan Berkemih

Mekanisme pengeluaran urine dimana urine mengalir ke ginjal melalui sepasang


saluran ureter yang berlanjut ke kandung kemih dan menuju saluran kandung kemih di
bagian bawah. Pengeluaran kemih diatur oleh otot-otot yang disebut sfingter (terletak di
dasar kandung kemih dan di dinding saluran kemih). Pada keadaan normal, sfingter akan
menghalangi pengeluaran urine dengan menutup kandung kemih dan salurannya. Bila
sfingter mengalami relaksasi, air seni akan dikeluarkan. Pada saat yang sama otot dinding
kandung kemih akan berkontraksi dan mendorong urine keluar. Proses ini diatur oleh
aktivitas saraf di otak besar (serebri), batang otak (medula oblongata) dan medulla spinalis.

Perubahan pada sistem perkemihan lansia terjadi pada ginjal dimana ginjal
mengalami pengecilan dan nefron menjadi atrofi. Aliran ginjal menurun hingga 50%,
fungsi tubulus berkurang mengakibatkan BUN meningkat hingga 21 mg%, berat jenis urin
menurun, serta nilai otot-otot melemah, sehingga kapasitasnya menurun hingga 200 ml
yang mengakibatkan frekuensi berkemih meningkat .

Sistem genitourinaria berfungsi secara adekuat pada individu lansia, meskipun


terjadi penurunan masa ginjal akibat kehilangan beberapa nefron, perubahan fungsi ginjal
meliputi penurunan laju infiltrasi, penurunan fungsi tubuler dengan penurunan efisiensi
dalam resorbsi dan pemekatan urine, dan perlambatan restorasi keseimbangan asam basa
terhadap stress, ureter, kandung kemih menurun sehingga lansia tidak mampu
mengosongkan kandung kemih secara sempurna. Resistensi urine yang terjadi akan
meningkatkan risiko infeksi. Wanita lansia biasanya mengalami penurunan tonus otot
perineal yang mengakibatkan stress inkontinensia dan urgensi inkontinensia. Pada lansia
lakilaki sering ditemukan pembesaran kelenjer prostat yang dapat menyebabkan retensi
urine kronis, sering berkemih dan inkontinensia.
Inkontinensia juga dapat terjadi akibat gangguan kontrol dari otak karena penyakit-
penyakit neurologis tertentu, misalnya stroke, narkotik dan infeksi. Golongan obat dapat
menimbulkan inkontinensia urine di antaranya adalah neuretik, diuretik, penenang,
alkohol, dan narkotika. Inkontinensia urine merupakan konsekuensi normal dari
bertambahnya usia, yang menyebabkan kelemahan pada otot dasar panggul secara
fisiologis, fungsi otot dasar panggul ialah menjaga stabilitas organ panggul secara aktif
yang dapat mengendalikan dan mengontrol defekasi dan berkemih. Adanya kelemahan dan
penurunan otot dasar panggul mengakibatkan terjadinya inkontinensia urine yakni buang
air kecil berkali-kali lebih dari 8 kali perhari atau 1 kali per 4 jam. Inkontinensia urine
yang banyak dapat menyebabkan terjadinya iritasi kulit, malu dengan lingkungan,
menimbulkan stress keluarga, teman, dan orang yang merawat. Serta membutuhkan biaya
untuk kebutuhan tenaga perawat dan penanganan komplikasi.

Proses berkemih yang normal adalah suatu proses dinamik yang secara fisiologik
berlangsung di bawah kontrol dan koordinasi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi di
daerah sakrum, secara sederhana saat proses berkemih dimulai dari tekanan otot-otot
detrusor kandung kemih berkontraksi diikuti relaksasi dari stingter dan uretra yang akan
mengalami peningkatan melebihi tahanan muara uretra sehingga urine akan memancar
keluar. Frekuensi berkemih yang normal tiap 3 jam sekali atau tidak lebih dari 8 kali
sehari.

Penatalaksanaan inkontinensia urine menurut Muller adalah mengurangi faktor


resiko, mempertahankan homeostastis, mengontrol inkontinensia urine, modifikasi
lingkungan dan latihan otot pelvis. Metode pengobatan inkontinensia urine ada tiga :

a. Terapi non Farmakologi


1) Teknik latihan perilaku (Behavioral Training) Yaitu merupakan latihan untuk
melatih seseorang mengembalikan kontrol miksi dalam rentang 2-4 jam, agar klien
menahan kencing dalam waktu yang lama, dan mempertahankan klien dalam
kondisi kering.
2) Latihan menahan dorongan untuk berkemih Untuk mendapatkan kontrol atas
kandung kemih, cara berikut dapat dipakai saat datang dorongan berkemih.
3) Latihan otot dasar panggul ( Keagle exercise) Yaitu merupakan upaya untuk
mencegah timbulnya inkontinensia urine. Arnold Kegel melaporkan
perbaikan/kesembuhan sampai 84% dengan latihan otot dasar panggul untuk wanita
dengan macam-macam tipe inkontinensia. Otot pelvis, seperti otot-otot lain dapat
menjadi lemah, latihan otot-otot pelvis memperkuat otot-otot yang lemah sekitar
kandung kemih. Untuk indentifikasi otot yang tepat, bayangkan sedang menahan
untuk flatus.

b. Obat-obatan

Terapi dengan menggunakan obat-obatan diberikan apabila masalah akut


sebagai timbulnya inkontinensia urine telah diatasi dengan berbagai upaya bersifat
nonfarmakologis telah dilakukan tetapi tetap tidak berhasil mengatasi masalah
inkontinensia tersebut.Obat-obatan yang dapat diberikan sesuai dengan tipe
inkontinensia :

1) Tipe inkontinensia urgensi atau stres dengan instabilitas detrusor dapat


diberikan obat antigolirgenik dan antispasmodic.
2) Tipe inkontinensia stres dengan kelemhan spihineter dapat diberikan obat a-
adrenergik agonis.
3) Tipe stres, tipe urgensi yang berhubungan dengan vaginitis atropi dapat
diberikan obat estrogen agonis.
4) Tipe luapan dan atau overlow dengan vesikula urinaria atonik dapat
diberikan obat kolinergik agonis.

c. Pembedahan

Pembedahan merupakan pilihan terkhir untuk masalah inkontinensia urine yang


tidak berhasil diatasi dengan teknik latihan prilaku, obat-obatan atau pun dengan
memanfaatan alat-alat bantu untuk meminimalkan problem inkontinensia.
Beberapa tindakan pembedahan Spinctcrcctomi, dan Operasi prostat atau operasi
pada prolaps rahim. Yang lebih sering dikerjakan ada pederita lanjut usia dengan
inkontinensia urine adalah dengan memasang kateter secara menetap. Untuk
beberapa pertimbangan, misalnya untuk memantau produksi urine dan keperluan
mengukur balans cairan. Hal ini masih dapat diterima tetapi sering pemaangan
kateter ini tidak jelas, dan mengundang risiko untuk terjadinya komplikasi pada
umumnya ialah infeksi. 76-92% penderita yang membutuhkan operasi, dapat
disembuhkan, pembedahan ialah pilihan terakir untuk masalah inkontinensia urine
yang tidak berhasil di atasi dengan latihan teknik perilaku atau obat-obatan.

Inkontinensia urine adalah semua jenis gangguan dalam berkemih dimana urine
yang keluar tidak dapat terkontrol. Inkontinensia urine merupakan permasalahan umum
pada pasien usia lanjut. Inkontinensia dapat menyebabkan ketidaknyamanan dalam hal
kebersihan diri pada penderitanya (Wilson 2017,). Organisasi dunia WHO mencatat 200
juta penduduk dunia mengalami inkontinensia urine nn . Inkontinensia urine membutuhkan
pengobatan yang tepat, karena jika tidak diatasi segera inkontinensia urine dapat
mengakibatkan komplikasi. Misalnya, infeksi saluran kemih, infeksi kulit kelamin,
gangguan tidur, dan gejala kulit kemerahan (Sutarmi, 2016). Penatalaksanaan kondisi ini
dapat diatasi melalui terapi nonfarmakologi, salah satunya dengan mengontrol otot-otot
kandung kemih dan sphincter atau biasa disebut latihan kegel guna menguatkan otot dasar
panggulnya (Lestari & Jauhar, 2021).

Adapun tanda dan gejala yang dialami oleh lansia yang mengalami gangguan
berkemih antara lain sering buang air kecil pada saat batuk, tertawa, bersin, berlari dan
melompat. Selain itu tiba-tiba terasa ingin buang air kecil dan di malam hari kencing
dengan intensitas sering dari kondisi normalnya (Moa et al., 2017).

Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urin adalah antikolinergik


seperti Oxybutinin, Propaattieine, Dicylomine, Flavoxate, Imipramine. Pada inkontinensia
stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu untuk meningkatkan retensi uretra. Pada
sfingter relaxs di berikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakoligenik
antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara tingkat.

judul penulis tahun terapi


Pengaruh Latihan Aulia ika 2022 Senam kegel adalah latihan yang dapat memperkuat
Senam Kegel sulistyawati otot dasar panggul khususnya otot pubococcygeus,
terhadap , Ahmad serta dapat mengencangkan otot-otot vagina dan otot
Inkontinensia abdullah, levator ani. Saat otot tesebut pulih diharapkan
Urine pada lansia Rachma kekuatannya akan membantu mengontrol kembali
di RS putri keluarnya urine. Latihan tersebut dapat dilakukan
Toeloengredjo kasimbara, selama 10-15 menit selama 4 minggu sebanyak 2 kali
Pare Yohanes dalam seminggu. Senam kegel sendiri merupakan
deo fau latihan yang mempunyai fungsi untuk memperkuat
ODP (otot dasar panggul) dengan mengontraksikan
otot dari ODP (otot dasar panggul) secara aktif . Kegel
exercise adalah salah satu upaya yang dapat ditempuh
untuk mengurangi keluhan inkontinensia karena
merupakan pengobatan non-bedah yang paling banyak
digunakan untuk inkontinesia urine type stress dan
urgensi karena dapat memberikan manfaat bagi
peingkatan fungsi ginjal dan kekuatan otot uretra dan
perifer.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Seiring dengan pertumbuhan seseorang, usia pun juga bertambah, dari anak-anak,
remaja awal, remaja akhir, dewasa awal, dewasa madya dan dewasa akhir. Perubahan ini
juga diikuti dengan perubahan lainnya, yaitu perubahan fisik dan perubahan fungsi mental
atau psikososial. pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah baik secara
fisik, biologis, mental maupun sosial ekonomis. Menurut peraturan pemerintah Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun 2004, lanjut usia ( lansia) adalah seseorang yang berusia 60
(enam puluh) tahun ke atas (kemenkes RI, 2017). Semakin lansia, mereka akan mengalami
kemunduran terutama di bidang kemampuan fisik diantaranya perubahan pada sistem
gonittourinaria (sistem perkemihan), Hal ini mengakibatkan timbulnya gangguan dalam
hal mencakupi kebutuhan hidup sehingga dapat meningkatkan ketergantungan yang
memerlukan bantuan orang lain. Sering kali keberadaan lansia di persepsikan secara
negatif, dianggap sebagai beban keluarga dan masyarakat sekitar. kenyataan ini mendorong
semakin berkembangnya anggapan bahwa menjadi tua itu identik dengan semakin
banyaknya masalah kesehatan yang dialami oleh lansia.
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, N. (2022). ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN ISTIRAHAT


TIDUR PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK) DI RUMAH
SAKIT BHAYANGKARA KOTA BENGKULU .

Fari, A. I., & Windahandayani, V. Y. (2023). Kegel Exercise On Urinary


Incontinence. Jurnal Ilmu Kesehatan dan Gizi, Vol.1, No.1.

Khaer, M., & Tjandra, O. (2022). Pola penggunaan obat antihipertensi pada lansia
di Puskesmas Kecamatan Pulo Gadung periode Juli-Desember 2020. Tarumanegara
Medical Journal, Vol. 4, No. 1.

Nuratiqa, Risnah, & Anwar, M. (2021). FAKTOR YANG BERHUBUNGAN


DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI HIPERTENSI.

Putri, S. A. (2020). Asuhan Keperawatan Keluarga pada Lansia Ny.M dengan


Kasus Inkotinensia Urin Serta Penerapan Latihan senam Kegel .

Rachmawati, A. D., & Sulistiyaningsih. (2020). PENYALIT PARU OBSTRUKTIF


KRONIL. Farmaka, Volume 18, Nomor 2.

Sulistyawati, A. I., Abdullah, A., & Kasimbara, R. P. (2022). Pengaruh Latihan


Senam Kegel Terhadap Inkontinensia Urine pada Lansia di RS Toeloengredjo Pare. Jurnal
Keperawatan Muhammadiyah.

Anda mungkin juga menyukai