Anda di halaman 1dari 35

PERUBAHAN FISIOLOGIS LANSIA PADA SEL YANG MENYEBABKAN MASALAH

KESEHATAN ALZHEIMER
Dosen pengampu : Ns. Siti Mukarromah, M.Kep., Sp.Kep.Kom

Disusun Oleh:
Kelompok 7

Aji Muhammad Maulidiansyah 1901064


Dandy Kristian 1901068
Dinda Indriani 1901071
Gita Fitriah Cahyani 1901080
Novita Dwi Lestari 1901099
Rina Anggraini 1901108

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN DAN SAINS WIYATA HUSADA SAMARINDA
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas izin, rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. makalah ini berjudul
“PERUBAHAN FISIOLOGIS LANSIA PADA SEL YANG MENYEBABKAN MASALAH
KESEHATAN ALZHEIMER” makalah ini kami susun dengan tujuan untuk menambah ilmu
pengetahuan kami dan teman-teman yang lain yang akan membaca makalah ini.
Kami ucapkan Terima Kasih kepada dosen pembimbing keperawatan Gerontik yang telah
membimbing kami dan mengarahkan kami dalam menyusun makalah ini. Kami berharap agar
makalah ini dapat memberikan inspirasi bagi teman-teman dan orang lain yang membaca
makalah ini. Kami juga berharap agar makalah ini menjadi acuan yang baik dan berkualitas.
Demikian, makalah yang kami buat ini dengan segala kekurangan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah ini sangat kami
harapkan. Semoga makalah ini memberikan manfaat dan pengetahuan bagi kami, teman-teman
dan orang lain yang membaca makalah ini.

Samarinda, 03 September 2022

Penyusun
Kelompok
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bertambahnya usia selalu meninggalkan bekas pada setiap makhluk hidup dan
prinsip ini berlaku bagi semua tingkat oragnisasi (molekul,sel, organ, dan organism).
Manusia selama hidup akan melalui beberapa fase usia mulai dari bayi, anak-anak,
remaja, dewasa hingga lansia, menurut WHO lansia dimulai dari usia 60 tahun. Pada
tahap dewasa tubuh mencapai titik perkembangan yang maksimal dan kemudian mulai
menyusut karena semakin berkurangnya jumlah sel-sel yang ada di dalam tubuh. Selain
itu tubuh akan mengalami penurunan fungsi secara perlahan, inilah yang disebut dengan
proses penuaan (Augusta, 2021).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 29,3 juta penduduk lanjut usia di
Indonesia pada tahun 2021. Angka ini setara dengan 10,82% dari total penduduk di
Indonesia. Sedangkan di Kalimantan Timur kurang lebih 200 ribu penduduk lanjut usia
atau setara 5,365% dari total penduduk di Kalimantan Timur pada tahun 2022.
Khususnya di Samarinda kurang lebih 10 ribu penduduk lanjut usia atau setara dengan
5,01% dari total penduduk di Samarinda.
Bertambahnya usia akan menyebabkan tejadinya penurunan fungsi organ tubuh
dan perubahan fisik baik tingkat seluler, jaringan dan organ maupun sistem karena proses
penuaan. Sel adalah suatu penyusun yang ada di tubuh manusia, seiring berjalannya usia
regenerasi sel dalam tubuh akan mengalami penurunan, sehingga akan nampak
perubahan-perubahan secara fisik di fase lansia. Proses penuaan pada setiap orang
berbeda-beda, pada umumnya terjadi setelah pertumbuhan dan perkembangan sudah
mencapai puncak. Biasanya tanda-tanda proses penuaan dimulai dari usia 25-30 tahunan
dan gejala yang paling terlihat jelas pada usia 50 tahun ke atas (Okta Putri,2019).
Lansia memiliki kondisi fisik yang rentan terhadap penyakit salah satu penyakit
yang ada pada lansia yang dikarenakan kerusakan sel adalah Alzheimer. Diatas usia 65
tahun merupakan salah satu faktor yang berisiko mengidap Alzheimer, dimana sel-sel
otak terganggu akibat pengendapan protein amiloid dan protein tau. Menurut WHO 2017
penderita Alzheimer di dunia mencapai 50 juta jiwa atau setara 46,8%, sedangkan di
Indonesia penderita Alzheimer diperkirakan ada sekitar 1.2 juta orang dengan demensia
pada tahun 2016, yang akan meningkat menjadi 2 juta di 2030 dan 4 juta orang pada
tahun 2050.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah pada makalah ini yaitu :

a. Bagaimana perubahan fisiologis fungsi sel pada lansia ?


b. Bagaimana konsep penyakit Alzheimer pada lansia ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini yaitu :

1. Untuk mengetahui perubahan fisiologis fungsi sel pada lansian


2. Untuk mengetahui konsep penyakit Alzheimer pada lansia

D. Manfaat Penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan pada para pembaca
khususnya lansia. Agar para lansia dapat mencegah terjadinya Alzheimer.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Lanjut Usia
a. Definisi Lanjut Usia

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua
bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur
mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh, seperti didalam
Undang-Undang No 13 tahun 1998 yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan
pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi
sosial masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup makin meningkat,
sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah. Banyak diantara lanjut usia yang masih
produktif dan mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia pada hakikatnya
merupakan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa (Kholifah, 2016).
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi di dalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari
suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua
merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan,
yaitu anak, dewasa dan tua.

Lanjut usia (lansia) menurut World Health Organization (WHO) adalah seseorang
yang usianya mencapai 60 tahun keatas. Sutikno, 2015 mengemukakan lansia adalah
kelompok usia yang sensitif mengalami perubahan yang diakibatkan proses penuaan.
Proses penuaan tersebut akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada lansia, salah
satu permasalahannya adalah adanya perubahan fisiologis yang akan berdampak pada
masalah psikolog (kesehatan mental)(Augusta, 2021).

b. Batasan Lansia
Menurut organisasi kesehatan dunia WHO Lanjut usia meliputi :
1) Usia Pertengahan (middle Age) = Usia 45-59 tahun
2) Usia Lanjut (elderly) = Usia 60-74 tahun
3) Usia Lanjut Tua (old) = Usia 75-90 tahun
4) Usia Sangat Tua (very old) = Usia Diatas 90 tahun
c. Gambaran Kondisi Lansia Secara Fisiologis
1) Adanya perubahan pada kulit : seperti kulit wajah, leher, lengan, dan tangan
menjadi lebih kering dan keriput. Kulit dibagian bawah mata berkantung dan
lingkaran hitam dibawah mata menjadi lebih jelas dan permanen. Selain itu
warna merah kebiruan sering muncul disekitar lutut dan tengah tengah
tengkuk. Rambut rontok, dan warna yang berubah menjadi putih, kering dan
juga tidak mengkilap.
2) Peribahan pada otot : otot orang yang berusia madya menjadi lembek dan
mengendur disekitar dagu, lengan bagian atas dan perut.
3) Perubahan pada persendian : masalah pada persendian terutama pada bagian
tungkai dan lengan yang membuat mereka jadi agak sulit berjalan.
4) Perubahan pada gigi : gigi menjadi kering, patah, dan tanggal sehingga lansia
kadang-kadang menggunakan gigi palsu.
5) Perubahan pada mata : mata terlihat kurang bersinar dan cenderung
mengeluarkan kotoran yang menumpuk disudut mata, kebanyakan menderita
presbiopi, atau kesulitan melihat jarak jauh, menurunnya akomodasi karena
penurunan elastisitas mata.
6) Perubahan pada telinga : fungsi pendengaran sudah mulai menurun, sehingga
tidak sedikit yang menggunakan alat bantu pendengaran.
7) Perubahan pada sistem pernafasan : nafas menjadi lebih pendek dan sering
tersenggal-senggal hal ini kibat penurunan kapasitas total paru-paru, residu
volume paru dna konsumsi oksigen nasal, ini akan menurunkan fleksibilitas
dan elastisitas paru.
d. Proses Penuaan
Proses menua bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu masa
atau tahap hidup manusia, yaitu; bayi, kanak-kanak, dewasa, tua, dan lanjut usia,
yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya
terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini
disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta
sistem organ. Orang mati bukan karena lanjut usia tetapi karena suatu penyakit,
atau juga suatu kecacatan (Indrayani, 2018)
Akan tetapi proses menua dapat menyebabkan berkurangnya daya tahan
tubuh dalam nenghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Sebenarnya
tidak ada batas yang tegas, pada usia berapa penampilan seseorang mulai
menurun. Pada setiap orang, fungsi fisiologis alat tubuhnya sangat berbeda, baik
dalam hal pencapain puncak maupun menurunnya.
Faktor yang dapat mempengaruhi proses penuaan tersebut dapat dibagi
atas dua bagian. Pertama, faktor genetik , yang melibatkan perbaikan DNA,
respons terhadap stres, dan pertahanan terhadap antioksidan. Kedua faktor
lingkungan , yang meliputi bahan-bahan kimia. Kedua faktor tersebut akan
mempengaruhi aktivitas metabolisme sel yang akan menyebabkan terjadinya stres
oksidasi sehingga terjadi kerusakan pada sel yang menyebabkan terjadinya proses
penuaan.
Menurut Siti Bandiyah (2009) penuaan dapat terjadi secara fisiologis dan
patologis. Penuaan yang terjadi sesuai dengan kronologis usia. Faktor yang
memengaruhi yaitu hereditas atau genetik, nutrisi atau makanan, status kesehatan,
pengalaman hidup, lingkungan, dan stres.
1. Hereditas atau Genetik
Kematian sel merupakan seluruh program kehidupan yang dikaitkan
dengan peran DNA yang penting dalam mekanisme pengendalian fungsi
sel. Secara genetik, perempuan ditentukan oleh sepasang kromosom X
sedangkan laki-laki oleh satu kromosom X. Kromosom X ini ternyata
membawa unsur kehidupan sehingga perempuan berumur lebih panjang
daripada laki-laki.
2. Berlebihan atau kekurangan mengganggu keseimbangan reaksi kekebalan.
3. Penyakit yang selama ini selalu dikaitkan dengan proses penuaan,
sebenarnya bukan disebabkan oleh proses menuanya sendiri, tetapi lebih
disebabkan oleh faktor luar yang merugikan yang berlangsung tetap dan
berkepanjangan.
4. Pengalaman Hidup
a) Paparan sinar matahari: kulit yang tak terlindung sinar matahari akan
mudah ternoda oleh flek, kerutan, dan menjadi kusam.
b) Kurang olahraga: olahraga membantu pembentukan otot dan
menyebabkan lancarnya sirkulasi darah.
c) Mengonsumsi alkohol: alkohol dapat memperbesar pembuluh darah
kecil pada kulit dan menyebabkan peningkatan aliran darah dekat
permukaan kulit.
5. Lingkungan
Proses menua secara biologik berlangsung secara alami dan tidak dapat
dihindari, tetapi seharusnya dapat tetap dipertahankan dalam status sehat.
6. Stress
Tekanan kehidupan sehari-hari dalam lingkungan rumah, pekerjaan,
ataupun masyarakat yang tercermin dalam bentuk gaya hidup akan
berpengaruh terhadapap proses penuaan.

e. Teori-teori Proses Penuaan


Menurut Sheiera Saul (1974 dalam Siti Bandiyah, 2009), secara individual
tahap proses menua terjadi pada orang dengan usia berbeda-beda. Masing-masing
lanjut usia mempunyai kebiasaan yang berbeda sehingga tidak ada satu faktor pun
ditemukan untuk mencegah proses menua. Teori-teori itu dapat digolongkan
dalam dua kelompok, yaitu kelompok teori biologis dan teori kejiwaan sosial.
1. Teori Biologi
Teori biologi adalah ilmu alam yang mempelajari kehidupan dan
organisme hidup, termasuk struktur, fungsi, pertumbuhan, evolusi,
persebaran, dan taksonominya. Ada beberapa macam teori biologis, di
antaranya sebagai berikut:
a) Teori Genetik dan Mutasi (Somatic Mutatie Theory)
Menurut Hayflick (1961 dalam Sri Surini Pudjiastuti, 2003),
menua telah terprogram secara genetik untuk spesies-spesies tertentu.
Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram
oleh molekul molekul atau DNA dan setiap sel pada saatnya akan
mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel-
sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsional sel).
b) Teori Interaksi Seluler
Menurut Berger (1994 dalam Noorkasiani, 2009), bahwa sel-sel
yang saling berinteraksi satu sama lain dan memengaruhi keadaan
tubuh akan baik-baik saja selama sel-sel masih berfungsi dalam suatu
harmoni. Akan tetapi, bila tidak lagi demikian maka akan terjadi
kegagalan mekanisme feed-back di mana lambat laun sel-sel akan
mengalami degenerasi.
c) Teori Replikasi DNA
Menurut Cunnninfham (2003), teori ini mengemukakan bahwa proses
penuaan merupakan akibat akumulasi bertahap kesalahan dalam masa
replikasi DNA sehingga terjadi kematian sel. Kerusakan DNA akan
mmenyebabkan pengurangan kemampuan replikasi ribosomal DNA
(Rdna) dan memengaruhi masa hidup sel. Sekitar 50% rDNA akan
menghilang dari sel jaringan pada usia kira-kira 70 tahun.
d) Teori ikatan Silang
Menurut Yaar & Gilchrest (2007), proses penuaan merupakan akibat
dari terjadinya ikatan silang yang progresif antara protein-protein
intraselular dan interselular serabut kolagen. Ikatan silang meningkat
sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini mengakibatkan penurunan
elastisitas dan kelenturan kolagen di membran basalis atau di substansi
dasar jaringan penyambung. Keadaan ini akan mengakibatkan
kerusakan fungsi organ.
e) Teori Redikal Bebas
Menurut Cunnningham (2003), teori radikal bebas dewasa ini lebih
banyak dianut dan dipercaya sebagai mekanisme proses penuaan.
Radikal bebas adalah sekelompok elemen dalam tubuh yang
mempunyai elektron yang tidak berpasangan sehingga tidak stabil dan
reaktif hebat. Sebelum memiliki pasangan, radikal bebas akan terus-
menerus menghantam sel-sel tubuh guna mendapatkan pasangannya,
termasuk menyerang sel-sel tubuh yang normal. Teori ini
mengemukakan bahwa terbentuknya gugus radikal bebas (hydroxyl,
superoxide, hydrogenperoxide, dan sebagainya) adalah akibat
terjadinya otoksidasi dari molekul intraselular karena pengaruh sinar
UV. Radikal bebas ini akan merusak enzim superoksida-dismutase
(SOD) yang berfungsi mempertahankan fungsi sel sehingga fungsi sel
menurun dan menjadi rusak. Proses penuaan pada kulit yang dipicu
oleh sinar UV (photoaging) merupakan salah satu bentuk implementasi
dari teori ini.
f) Reaksi dari Kekebalan Sendiri (Auto Immune Theory)
Menurut Goldteris & Brocklehurst (1989 dalam Siti Bandiyah, 2009)
di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat
khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat
tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit. Sebagai
contoh ialah tambahan kelenjar timus yang ada pada usia dewasa
berinovasi dan semenjak itulah terjadilah kelainan autoimun.
2. Teori Kejiwaan Sosial
Teori kejiwaan sosial meneliti dampak atau pengaruh sosial terhadap
perilaku manusia. Teori ini melihat pada sikap, keyakinan, dan perilaku
lansia. Ada beberapa macam teori kejiwaan sosial, di antaranya sebagai
berikut:
a) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Menurut Maslow (1954 dalam Noorkasiani, 2009), menyatakan bahwa
para lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak
dalam kegiatan sosial. Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada
cara hidup dari lanjut usia. Mempertahankan hubungan antara sistem
sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut
usia.
b) Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)
Menurut Kuntjoro (2002), dasar kepribadian atau tingkah laku tidak
berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan gabungan dari teori di
atas. Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada
seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe kepribadian
yang dimilikinya.
c) Teori Pembebasan (Didengagement Theory)
Teori ini menerangkan putusnya pergaulan atau hubungan dengan
masyarakat dan kemunduran individu dengan individu lainnya.
Cumming and Henry (1961 dalam Siti Bandiyah, 2009), menyatakan
bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-angsur
mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari
pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial
lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga
sering terjadi kehilangan ganda (triple loos) yaitu kehilangan peran
(loss of role), hambatan kontak social
d) Teori Subkultur
Menurut Rose (1962 dalam Noorkasiani, 1992), lansia merupakan
kelompok yang memiliki norma, harapan, rasa percaya, dan adat
kebiasaan tersendiri sehingga dapat digolongkan sebagai subkultur.
Akan tetapi, mereka ini kurang terintegrasi pada masyarakat luas dan
lebih banyak berinteraksi antarsesama. Di kalangan lansia, status lebih
ditekankan pada bagaimana tingkat kesehatan dan kemampuan
mobilitasnya, bukan pada hasil pekerjaan, pendidikan, ekonomi, yang
pernah dicapainya. Kelompok-kelompok lansia seperti ini bila
terkoordinasi dengan baik dan dapat menyalurkan aspirasinya di mana
hubungan antargrup dapat meningkatkan proses penyesuaian pada
masa lansia.
e) Teori Strati Kasi Usia
Menurut Riley (1972 dalam Noorkasiani, 2009), teori ini menerangkan
adanya saling ketergantungan antara usia dengan struktur sosial yang
dapat dijelaskan sebagai berikut; orang-orang tumbuh dewasa bersama
masyarakat dalam bentuk kohor dalam artian sosial, biologis, dan
psikologis. Kohor muncul dan masing-masing kohor memiliki
pengalaman dan selera tersendiri. Suatu masyarakat dibagi ke dalam
beberapa strata sesuai dengan lapisan usia dan peran. Masyarakat
sendiri senantiasa berubah, begitu pula individu dan perannya dalam
masing-masing strata, terdapat saling keterkaitan antara penuaan
individu dengan perubahan sosial. Kesimpulannya adalah lansia dan
mayoritas masyarakat senantiasa saling memengaruhi dan selalu
terjadi perubahan kohor maupun perubahan dalam masyarakat.
f) Teori Penyesuaian Individu dengan Lingkungan
Menurut Lawton (1982 dalam Noorkasiani, 2009), ada hubungan
antara kompetensi individu dengan lingkungannya. Kompetensi ini
merupakan ciri fungsional individu, antara lain kekuatan ego,
keterampilan motorik, kesehatan biologis, kapasitas kognitif, dan
fungsi sensorik. Adapun lingkungan yang dimaksud adalah mengenai
potensinya dalam menimbulkan respons perilaku dari seseorang,
bahwa untuk tingkat kompetensi seseorang terdapat suatu tingkatan
suasana atau tekanan lingkungan tertentu yang menguntungkan
baginya. Orang yang berfungsi pada level kompetensi yang rendah
hanya mampu bertahan pada level tekanan lingkungan yang rendah.
Suatu korelasi yang sering berlaku adalah semakin terganggu (cacat)
seseorang, maka tekanan lingkungan yang dirasakan akan semakin
besar.
B. Sel
a. Definisi Sel
Sel adalah unit kehidupan struktural dan fungsional terkecil dalam tubuh. Sebagian
besar reaksi kimia untuk mempertahankan kehidupan berlangsung dalam sel. Sel dan zat
intraselular membentuk keseluruhan jaringan tubuh.
Dasar suatu hidup tubuh manusia adalah sel. Tiap sel berbeda digabungkan oleh
struktur penyokong intersel. Tiap-tiap jenis sel secara khusus beradaptasi untuk
melakukan fungsi tertentu, misalnya sel darah merah yang berjumlah 25 triliun
mentranspor oksigen dari paru-paru ke jaringan. Jumlah semua sel dalam tubuh kurang
lebih 75 triliun. Umur kehidupan sel berbeda, misal leukosit granular dapat bertahan
selama hidup manusia, sedangkan eritrosit hanya dapat hidup selama 14 hari(Syaifuddin,
2016).
b. Anatomi sel
Sel mengandung struktur fisik yang sangat terorganisasi yang dinamakan organel.
Organel sel yang penting adalah membran sel, plasma sel, inti sel (nukleus), inti dari inti
sel (nukleolus), dan kromatin. Di dalam sel terdapat tiga komponen utama yaitu :
membran sel, plasma sel (sitoplasma), dan mitookondria.
1. Membran Sel
Membran sel merupakan struktur elastis yang sangat tipis yaitu 7,5-10 nm
(nanometer). Hampir seluruhnya terdiri atas keping-keping halus yang merupakan
gabungan protein dan lemak dan tempat lewatnya berbagai zat keluar-masuk sel.
1) Fungsi Membran Sel
a) Komunikasi antarsel adanya transmitter,enzim,nutrien,dan antibodi dalam
cairan esktrasd memungkinkan adanya hubungan antarsel.
b) Merangsang dan mengakibatkan potensial aksi serta banyak reseptor yang
dapat mengenali messenger kimia.Pada cairan intrasel muatan kation
(kalium=K') dan anion PO, dan asam amino. Cairan ekstrasel kation
utama(natrium=Na') dan anion utama (klorida =Cl).
c) Permeabilitas selektif sebagai filter yang selektif dan alat transpor aktif
nutrien dan pengeluaran sisa metabolisme tergantung pada:
i. Substansi lipid nonpolar dan hidrofobik lebih mudah melewati
ii. Semakin besar molekul kimia semakin sulit melewati membran sel
seperti protein.
iii. Substansi membran sel permeabel untuk substansi polar dan bermuatan
listrik, ion yang tidak melewati fosfolipid berlapis ganda dengan
bantuan protein.
2) Mekanisme kerja membran
a) Proses aktif : terjadi jika suatu substansi yang melewati membran
membutuhkan energi dari sel yang termasuk dalam proses aktif.
i. Transpor aktifprimer : pergerakan ion/molekul melalui membran
permeabel dari konsentrasi rendah ke konsentrasi lebih tinggi dengan
menggunakan pompa protein dan energi dari pemecahan ATP
ii. Transpor aktifsekunder : pergerakan simultan dari dua substansi
melalui membran dengan menggunakan perbedaan konsentrasi natrium
atau potensial membran
iii. Transpor vesikuler : pada transpor zat dalam ikatan membran vesikel
dan dapat dilalui molekul berukuran besar serta permeabilitas membran
menjadi lebih rendah.
b) Proses pasif:terjadi apabila substansi menembus membran sel tanpa
membutuhkan energi dari sel.Jenis yang termasuk dalam proses ini adalah
difusi dan osmosis.
i. Difusi: pergerakan acak molekul dan ion dari lokasi dengan konsentrasi
tinggi ke lokasi lebih rendah.Kecepatan difusi dipengaruhi oleh
perbedaan konsentrasi zat terlarut.
ii. Osmosis: adalah difusi cairan ke membran semipermeabel dari
konsentrasi zat terlarut rendah atau konsentrasi air tinggi ke bagian
konsentrasi air rendah, misalnya pergerakan air menuju dinding plasma
untuk mempertahankan keseimbangan sel.

2. Sitoplasma
Sitoplasma merupakan cairan koloid encer yang mengisi ruang di antara
nukleus dan membran sel. Plasma mengandung 80-90% air dan berbagai zat yang
terlarut di dalamnya.
a) Bahan-bahan yang terdapat dalam plasma
1) Bahan anorganik yaitu: garam, mineral, air, oksigen, karbondioksida, dan
amoniak.
2) Bahan organik yaitu: karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan asam nukleat
berupa asam ribosom nukleat (RNA).
3) Aparatus sel atau organel sel yang terdiri atas ribosom, retikulum
endoplasma, mitokondria, sentrosom, aparatus golgi, dan lisosom.
b) Fungsi Sitoplasma
Berfungsi sebagai tempat kegiatan metabolisme sel oleh organel-organel
sitoplasma. Peran utam sebagai produksi panas. Keseimbangan sel dan sintesis
protein.
1) Ribosom. yaitu butiran halus yang melekat pada endoplasma yang tersebar
mengapung dala plasma.Fungsinya sebagai tempat sintesis protein yang
mengandung ARN.Ribosom menghasill protein untuk bahan sel itu sendiri
2) Retikulum endoplasma, yaitu saluran halus yang berbelok-belok dalam
plasma. Kelok berupa sekat-sekat untuk membuat suatu zat atau
menghasilkan energi untuk kegiatan sel yan memanfaatkan untuk suatu inti
plasma tertentu sehingga efisien dan efektif.
3) Mitokondria, yaitu pusat tenaga bagi sel karena menyaring energi dari zat
gizi.
4) Sentrosom, yaitu suatu badan yang terletak di tengah sel. Mengandung
sentriol yang berfung untuk membelah sel. Dalam kedaan istirahat, pada sel
yang sudah dewasa sentriom tidak berfung sama sekali.
5) Aparatus golgi. Terletak dekat inti sel berhubungan dengan selaput sel,
bentuknya berupa lempen cembung tersusun atas gelembung-gelembung
yang berdinding dan tidak memiliki ribosom pad permukaannya. Aparatus
golgi berfungsi untuk mengatur zat keluar sel dan membantu sintesi
karbohidrat, kemudian menggabungkannya dengan protein untuk
membentuk glikoprotein.
6) Lisosom. Lisosom menghasilkan sistem pencernaan intrasel yang berfungsi
membuang zat-za dari struktur yang rusak atau zat asing yang
membahayakan, seperti bakteri. Dalam keadaa tidak aktif, lisosom
berbentuk bulat atau lonjong dengan diameter 0.4 u. Lisosom dibungkus
oleh membran yang halus.
3. Inti Sel
Inti sel sebagai pusat pengawasan sel, fungsinya mengawasi reaksi kimia yang
terjadi dalam sel dar reproduksi sel. Tiap-tiap inti sel menerima satu dari dua
pasang gen. Fungsi inti sel mengatur pembelahar sel (pada sel yang sedang
membelah diri) dan memproduksi ribosom bersama asam nukleat yang disebu ARN
ribosom. Inti sel juga mengandung enzim berupa DNA polimerase (enzim dalam sel
darah putih dan enzim yang digunakan dalam proses glikolisis. Inti dari inti sel atau
dikenal sebagai nukleolus merupakan suatu struktur protein sederhana yang
mengandung ARN (asam ribonukleat) dalam jumlah yang besar. Nukleolus akan
membesar bila sel secara aktifmenyintesis protein.
4. Kromatin
Kromatin adalah jalinan benang-benang halus dalam plasma inti, benang ini
berpilin longgar diselaputi oleh protein. Sel mengalami pembelahan kromatin
memendek dan membesar yang disebut kromosom. Kromosom terdiri atas serat-
serat (fibril) halus yang dibentuk oleh dua macam molekul asam deoksiribosa
nukleat (DNA) dan protein berupa histon(Syaifuddin, 2016).
c. Anatomi otak

Otak terletak dalam rongga cranium , terdiri atas semua bagian system saraf pusat
(SSP) diatas korda spinalis. Secara anatomis terdiri dari cerebrum cerebellum, brainstem,
dan limbic system (Derrickson &Tortora, 2013). Otak merupakan organ yang sangat
mudah beradaptasi meskipun neuron-neuron telah di otak mati tidak mengalami
regenerasi, kemampuan adaptif atau plastisitas pada otak dalam situasi tertentu bagian-
bagian otak mengambil alih fungsi dari bagianbagian yang rusak. Otak belajar
kemampuan baru, dan ini merupakan mekanisme paling penting dalam pemulihan stroke
( Feign, 2006).
Secara garis besar, sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat dan sistem
saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan medulla spinalis. Sistem saraf
disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari SST adalah menghantarkan
informasi bolak balik antara SSP dengan bagian tubuh lainnya (Noback dkk, 2005).
Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf, dengan komponen bagiannya adalah:
1) Cerebrum
Bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang hemisfer kanan dan kiri dan
tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan sulkus (celah) dan girus (Ganong,
2003).
Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:
a) Lobus Frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih tinggi,
seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di hemisfer
kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian ini mengandung pusat pengontrolan
gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik primer) dan terdapat area
asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang
mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku
sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif (Purves dkk, 2004).
b) Lobus Temporalis
Mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke bawah dari fisura
laterali dan sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis (White, 2008).
Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual, pendengaran
dan berperan dlm pembentukan dan perkembangan emosi.
c) Lobus parietalis
Lobus parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus
postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran (White,
2008).
d) Lobus oksipitalis
Lobus Oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi
penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari
nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf lain
& memori (White, 2008).

e) Lobus Limbik
Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memori emosi dan
bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian atas
susunan endokrin dan susunan otonom (White, 2008).
2) Cerebellum
Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih banyak neuron
dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki peran koordinasi yang penting
dalam fungsi motorik yang didasarkan pada informasi somatosensori yang diterima,
inputnya 40 kali lebih banyak dibandingkan output. Cerebellum merupakan pusat
koordinasi untuk keseimbangan dan tonus otot. Mengendalikan kontraksi otot-otot
volunter secara optimal (Purves, 2004).
3) Brainstem
Berfungsi mengatur seluruh proses kehidupan yang mendasar. Berhubungan
dengan diensefalon diatasnya dan medulla spinalis dibawahnya. Struktur-struktur
fungsional batang otak yang penting adalah jaras asenden dan desenden traktus
longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman sel saraf dan
12 pasang saraf cranial.
d. Proses Penuaan Sel
Pada saat mencapai usia 25-35 tahun. Pada masa ini produksi hormon mulai
berkurang (mulai penurunan produksi). Pada tahap ini, sebagian besar hormon dalam
tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, hormon pertumbuhan, dan hormon
estrogen. radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA, mulai memengaruhi tubuh.
Polusi udara, diet yang tak sehat dan stres merupakan serangan radikal bebas yang
dapat merusak sel-sel tubuh(Tamtomo, 2016)
Proses menjadi tua ditentukan oleh kesalahan sel genetik DNA dimana sel genetik
memperbanyak diri (ada yang menua disebabkan kesalahan yang beruntun dalam
jangka waktu yang lama dalam transkripsi dan translasi. Hal tersebut menyebabkan
enzim yang salah dan mengakibatkan metabolisme yang salah sehingga mengurangi
fungsi sel, walaupun dalam batas tertentu kesalahan dalam pembentukan RNA dapat
diperbaiki, namun kemampuan memperbaiki diri terbatas pada transkripsi yang tentu
akan menyebabkan kesalahan sintesis protein atau enzim yang dapat menyebabkan
metabolit berbahaya Bila juga terjadi kesalahan pada tranlasi maka kesalahan yang
terjadi juga semakin banyak(Tamtomo, 2016)
Penuaan sel merupakan fenomena alami tubuh di mana sel berhenti membelah.
Pada keadaan normal, sel yang berhenti membelah akan mengeluarkan sinyal yang
diterima sel imun. Sehingga, sistem imunitas akan membantu mematikan sel tersebut
melalui mekanisme apoptosis. Penuaan seluler merupakan istilah yang diberikan
kepada sel yang tidak lagi mengalami pembelahan, tapi tidak mengalami kematian
sel. Peristiwa ini seringkali berukuran lebih besar dari ukuran normal dan
mensekresikan molekul yang bersifat toksik bagi sel sehat di sekitarnya. Suatu sel
dapat menjadi senescent cells (sel tua) ketika telomer memendek dan adanya
kerusakan DNA dalam sel.
Seiring bertambahnya usia, sistem imunitas mengalami penurunan kemampuan
untuk membersihkan sel tua. Penumpukan jumlah sel tua akan meningkatkan sinyal
yang dapat memicu inflamasi dalam tubuh, dan menjadi faktor risiko penyakit lain.
Menurut Barker dan Petersen (2018), sel penuaan dapat mengeluarkan molekul yang
dapat melukai sel di sekitarnya. Molekul tersebut antara lain reactive oxygen species
(ROS), sitokin, protease, chemokines, dan growth factors yang dikenal dengan
senescence-associated secretory phenotype (SARS).
Molekul-molekul dari sel penuaan dapat merusak sel dengan cara menghambat
regenerasi sel, meningkatkan inflamasi sel, menjadi agen angiogenesis (pembentukan
pembuluh darah baru) pada sel tumor atau menjadi agen proliferasi sel tumor. Proses
penuaan sel atau aging cell merupakan suatu proses yang secara alami akan dialami
oleh setiap makhluk hidup atau organisme. Proses ini pasti akan terjadi namun kita
tidak tahu kapan dimulainya. Gejala-gejala yang bisa diketahui adalah mulai
munculnya kemunduran fungsi organ. Proses ini merupakan keadaan yang terjadi
secara normal dan tidak bisa dihindari. Tahap tua adalah di mana banyak sel organ
tubuh menjadi rusak dan bahkan tidak bisa bekerja lagi dan proses penuaan ini
mengenai semua organ tubuh.
Penuaan sel merupakan perubahan-angsur dari struktur setiap organisme yang
terjadi dengan berlalunya waktu, bukan karena penyakit atau kecelakan lain dan
akhirnya sampai pada peningkatan kemungkinan kematian karena organisme itu
bertambah tua. Penurunan jumlah fungsi sel menurun secara progresif. Fosforilasi
oksidatif mitokondria menurun, seperti sintesis struktur protein, enzimatik dan
reseptor. Sel yang mengalami proses penuaan memiliki kapasitas untuk mengambilan
nutrien dan perbaikan kerusakan kromosom yang berkurang. Perubahan morfologik
pada sel yang menua meliputi ketidakaturan inti, bervakuola pleomorfik,
pengurangan retikulum endoplasma, dan penyimpangan aparatus golgi. Secara
bersamaan, terdapat akumulasi pigmen lipofuscin (yang memiliki ketahanan oksidatif
dan membran sel), protein yang terlipat abnormal dan produk akhir silang dengan
protein yang berdekatan. Walaupun terdapat banyak teori, jelas bahwa proses
penuaan sel adalah multifaktorial. Proses itu melibatkan efek penciptaan, baik siklus
jam molekuler intrinsik dari sel maupun stresor ekstrinsik dari lingkungan sel
(kerusakan sel).
Menurut teori stres oksidatif, ketidakseimbangan dan kegagalan pengaturan reaksi
oksidasi-reduksii atau redoks di dalam sel bertanggung jawab terhadap rusaknya
keseimbangan secara oksidatif di dalam sell yang terwujud pada proses penuaan.
Proses penuaan berlangsung ketika sel-sel dirusak oleh serangan terus menerus
partikel kimia-radikal bebas yang menumpuk dari tahun ke tahun yang pada akhirnya
memunculkan berbagai penyakit kemunduran fungsi organ atau penyakit degeneratif.
Mekanisme perusakan sel oleh radikal bebas yaitu terjadinya peroksidasi (auto
oksidasi) asam lemak tidak jenuh yang mengandung ikatan rangkap yang diselingi
oleh metilen pada komponen fosfolipid membran sel. Reaksi perioksidasi adalah
reaksi berantai yang menghasilkan kembali radikal bebas, sehingga terjadi reaksi
peroksidasi asam lemak tidak jenuh pada fosfolipid membran sel berikutnya.
Akibatnya fluiditas dan permeabilitas lipid membran sel akan menurun. Penurunan
ini akan menyebabkan terjadinya penurunan pengikatan insulin oleh reseptor insulin,
serta penurunan aktivitas enzim Na+/K+ ATPase sehingga akan memicu penurunan
sistem transpor aktif glukosa dan asam amino serta peningkatan kadar insulin plasma.
Akibatnya kecepatan produksi energi sel dan biosontesis makromolekul sel dan unit-
unit pembangunan lainnya juga menurun(Aizah, 2017).
C. Data Kuantitatif Dari Perubahan Sel Pada Lansia
Keberhasilan pembangunan adalah cita-cita suatu bangsa yang terlihat dari
peningkatan taraf hidup dan umur harapan hidup (UHH) atau angka harapan hidup
(AHH). Namun peningkatan UHH ini dapat mengakibatkan terjadinya transisi
epidemiologi dalam bidang kesehatan akibat meningkatnya jumlah angka kesakitan
karena penyakit degeneratif. Perubahan struktur demografi ini diakibatkan oleh
peningkatan populasi lansia dengan menurunnya angka kematian serta penurunan jumlah
kelahiran (Rinawati & Wulandari, 2020).
Lansia memiliki kondisi fisik yang rentan terhadap penyakit salah satu penyakit
yang ada pada lansia yang dikarenakan kerusakan sel adalah Alzheimer. Diatas usia 65
tahun merupakan salah satu faktor yang berisiko mengidap Alzheimer, dimana sel-sel
otak terganggu akibat pengendapan protein amiloid dan protein tau. Menurut WHO 2017
penderita Alzheimer di dunia mencapai 50 juta jiwa atau setara 46,8%, sedangkan di
Indonesia penderita Alzheimer diperkirakan ada sekitar 1.2 juta orang dengan demensia
pada tahun 2016, yang akan meningkat menjadi 2 juta di 2030 dan 4 juta orang pada
tahun 2050.
Pada tahun 2022 sendiri Terdapat sekitar 50 juta pasien dengan penyakit
Alzheimer di seluruh dunia. Angka tersebut diperkirakan meningkat 2 kali lipat setiap 5
tahun. Prevalensi penyakit Alzheimer dilaporkan lebih tinggi pada negara berpenghasilan
tinggi dibandingkan negara berpenghasilan lebih rendah seperti Indonesia dan negara-
negara Afrika. Jepang merupakan negara yang dilaporkan memiliki prevalensi tertinggi,
dengan 3079 kasus per 100,000 populasi. Kematian yang berkaitan dengan dementia
sendiri diperkirakan akan meningkat dari 2,4 juta per tahun menjadi 5,8 juta pada tahun
2040. Meski tidak berbeda bermakna, perempuan dilaporkan lebih banyak terkena
penyakit Alzheimer dibandingkan laki-laki.
Di Indonesia Estimasi penderita dementia di Indonesia pada tahun 2019 sebesar
987.673 dan diperkirakan akan meningkat terus menjadi 3.399.285 pada tahun 2050. Hal
ini diperkirakan berkaitan dengan peningkatan jumlah penduduk lansia dari 18 juta jiwa
pada tahun 2010 menjadi 25,9 juta jiwa pada tahun 2019. Oleh karena itu, diperkirakan
angka penderita Alzheimer pun meningkat setiap tahunnya.
Dementia merupakan penyebab paling umum kematian pada usia lanjut. Di
Amerika Serikat, berdasarkan survei Medicare dari 22.896 dewasa berusia 65 tahun ke
atas, dementia merupakan penyebab kematian kedua terbanyak setelah gagal jantung.
Pada dasarnya, pasien tidak meninggal secara langsung karena penyakit Alzheimer,
namun disebabkan oleh kerentanan terhadap penyakit lain yang timbul sebagai
konsekuensi Alzheimer, seperti infeksi dan jatuh. Sebuah tinjauan sistematik
menunjukkan bahwa angka harapan hidup rata-rata pasien Alzheimer setelah terdiagnosis
adalah 5,8 tahun.
D. Prioritas Masalah Fungsi Sel Pada Lansia
Dari ditemukannya data kuantitatif di atas dapat disimpulkan masalah utama
kesehatannya adalah alzheimer. Gejala yang biasa muncul pada penderita alzheimer
biasanya lebih sering bingung dan melupakan informasi yang baru dipelajari, diorintasi
tersesat di daerah sekitar yang dikenalnya dengan baik, bermasalah dalam melaksanakan
tugas rutin, mengalami perubahan dalam kepribadian dan penilaian misalnya mudah
tersinggung, mudah menuduh ada yang mengambil barangnya bahkan menuduh
pasangannya tidak setia lagi/selingkuh.
Penyebab alzheimer pada lansia yang paling sering ditemukan adalah
penumpukan protein pada otak yang menghambat nutrisi masuk ke sel otak atau neuron
sehingga sel-sel dalam otak mati lebih cepat dari waktunya, sehingga informasi yang
harusnya tersampaikan dan diproses dalam otak menjadi hilang. Ketika neuron rusak, sel
otak kehilangan koneksi satu sama lain hingga akhirnya mati. Ada dua protein otak yang
menjadi penyebab utama Alzheimer yaitu Beta-amiloid dan Neurofibril.
Gaya hidup saat masih muda juga menjadi faktor penyebab lansia mengidap
demensia alzheimer, seperti kurang olahraga, mengkonsumsi makanan tidak sehat,
minum-minuman alkohol dan merokok. Jenis kelamin juga dapat meningkatkan resiko
lansia terkena alzheimer, wanita lebih beresiko tinggi terkena alzheimer ini dikarenakan
wanita lebih banyak yang bertahan hingga usia lanjut, dan yang kedua wanita lanjut usia
akan mengalami menopause, saat menopause kadar estrogen dalam tubuh akan menurun.
Estrogen dapat memberikan perlindungan pada aliran darah termasuk aliran darah ke
otak, disaat estrogen menurun maka perlindungan dalam darah akan menurun(Andesty &
Syahrul, 2019)
E. Proses Menua Yang Menyebabkan Alzheimer
a. Pengertian penyakit alzheimer
Penyakit Alzheimer (AD) kadang disebut sebagai demensia degeneratif primer
atau demensia senile jenis Alzheimer (SDAT). Penyakit ini menyebabkan sedikitnya
50% semua demensia yang diderita lansia. Kondisi ini merupakan penyakit
neurologis degeneratif, priogresif, ireversibel, yang muncul tiba-tiba dan ditandai
dengan penurunan bertahap fungsi kognitif dan gangguan perilaku efek.
Penyakit Alzheimer ini bukan merupakan penyakit yang hanya diderta oleh
lansia. Pada 1 % sampai 10% kasus, awitannya pada usia baya dan karenanya disebut
demensia awitan-dini. Penyakit Alzheimer juga di definisikan sebagai penyakit
degenerasi neouron kolinergik yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang
terutama menyerang orang di atas 63 tahun. Penyakit ini di tandai dengan hilangnya
ingatan dan fungsi kognitif secara progresif.
b. Penyebab alzheimer
Penyebab yang pasti belum diketahui, beberapa alternative penyebab yang telah
dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi flament,
predisposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit Alzheimer terdiri dari
degerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan
gangguan fungsi kongnitif dengan penurunan daya ingat secara progresif. Adanya
defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian
selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang
diakibatkan oleh adanya peningkatan calcium intraseluler, kegagalan metabolism
energy, adanya formasi radikal bebas atau terdapat produksi protein abnormal yang
non spesifik. Penyebab degenerasi neuron kolinergik pada penyakit Alzheimer tidak
diketahui. Sampai sekarang belum satupun penyebab penyakit ini diketahui, tetapi
ada tiga faktor utama mengenai penyebabnya, yaitu:
1) Virus lambat
Merupakan teori yang paling populer (meskipun belum terbukti) adalah yang
berkaitan dengan virus lambat. Virus-virus ini mempunyai masa inkubasi 2-30
tahun sehingga transmisinya sulit dibuktikan. Beberapa jenis tertentu dari
ensefalopati viral ditandai oleh perubahan patologis yang menyerupai plak senilis
pada penyakit alzheimer.
2) Proses autoimun
Teori autoimun berdasarkan pada adanya peningkatan kadar antibodi-antibodi
reaktif terhadap otak pada penderita penyakit alzheimer. Ada dua tipe amigaloid
(suatu kempleks protein dengan ciri seperti pati yang diproduksi dan dideposit
pada keadaan-keadaan patologis tertentu), yang satu kompos isinya terdiri atas
rantai-rantai IgG dan lainnya tidak diketahui. Teori ini menyatakab bahwa
kompleks antigen-antibodi dikatabolisir oleh fagosit dan fragmenfragmen
imunoglobulin dihancurkan didalam lisosom, sehingga terbentuk deposit
amigaliod ekstraseluler.
3) Keracunan aluminium
Teori keracunan aluminium menyatakan bahwa karena aluminium bersifat
neurotoksik, maka dapat menyebabkan perubahan neurofibrilar pada otak.
Deposit aluminium telah diidentifikasi pada beberapa klien dengan penyakit
alzheimer, tetapi beberapa perubahan patologis yang meyerupai penyakit ini
berbeda dengan yang terlihat pada keracunan aluminium. Kebanyakan penyelidik
menyakini dengan alasan utama aluminium merupakan logam yang terbanyak
dalam kerak bumi dan sistem pencernaan manusia tidak dapat mencernanya.

Prediposisi genetik juga ikut berperan dalam perkembangan penyakit alzheimer.


Di perkirakan 10%- 30% dari klien alzheimer yang menunjukan tipe yang di wariskan
dan di nyatakan sebagai penyakit alzheimer familia (familia alzheimer disease- FAD).
Di pihak lain, benzodiazepin di uktikan gangguan fungsi kognitif selain
memilikinefek antiansietas, mungkin melalui reseptor GABA yang menghambat
lepas muatan neuron-neuron kolinergik di nekleus basilis. Terhadap bukti-bukti awal
bahwa obat yang menghambat reseptor GABA memperbaiki ingatan.
c. Proses penyakit alzheimer
Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang dijumpai
pada penyakit Alzheimer, antara lain: serabut neuron yang kusut (masa kusut neuron
yang tidak berfungsi) dan plak seni atau neuritis (deposit protein beta -amiloid,
bagian dari suatu protein besar, protein prukesor amiloid (APP). Kerusakan neuron
tersebut terjadi secara primer pada korteks serebri dan mengakibatkan rusaknya
ukuran otak. Secara maskroskopik, perubahan otak pada Alzheimer melibatkan
kerusakan berat neuron korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid dalam
pembuluh darah intracranial.
Secara mikroskopik, terdapat perubahan morfologik (structural) dan biokimia
pada neuron – neuron. erubahan morfologis terdiri dari 2 ciri khas lesi yang pada
akhirnya berkembang menjadi degenarasi soma dan atau akson dan atau dendrit. Satu
tanda lesi pada AD adalah kekusutan neurofibrilaris yaitu struktur intraselular yang
berisi serat kusut dan sebagian besar terdiri dari protein “tau”. Dalam SSP, protein tau
sebagian besar sebagai penghambat pembentuk structural yang terikat dan
menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen penting dari sitokleton sel
neuron.
Pada neuron AD terjadi fosforilasi abnormal dari protein tau, secara kimia
menyebabkan perubahan pada tau sehingga tidak dapat terikat pada mikrotubulus
secara bersama – sama. Tau yang abnormal terpuntir masuk ke filament heliks ganda
yang sekelilingnya masing – masing terluka. Dengan kolapsnya system transport
internal, hubungan interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya
diikuti kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut dan berkembangnya neuron
yang rusak menyebabkan Alzheimer.
Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang
terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal. A -
beta adalah fragmen protein prekusor amiloid (APP) yang pada keadaan normal
melekat pada membrane neuronal yang berperan dalam pertumbuhan dan pertahanan
neuron. APP terbagi menjadi fragmen – fragmen oleh protease, salah satunya A-beta,
fragmen lengket yang berkembang menjadi gumpalan yang bisa larut. Gumpalan
tersebut akhirnya bercampur dengan sel – sel glia yang akhirnya membentuk fibril –
fibril plak yang membeku, padat, matang, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi
neuron yang utuh. Kemungkinan lain adalah A-beta menghasilkan radikal bebas
sehingga mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh darah
sehingga mengakibatkan makin rentannya neuron terhadap stressor. Selain karena
lesi, perubahan biokimia dalam SSP juga berpengaruh pada AD. Secara neurokimia
kelainan pada otak.
d. Faktor penyebab penyakit alzheimer
1) Faktor Genetik
Beberapa penelitian mengungkapkan 50 prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan
melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada keluarga
penderita Alzheimer mempunyai resiko menderita dimension 6 kali lebih besar
dibandingkan kelompok control normal pemeriksaan genetika DNA pada penderitaan
Alzheimer dengan familial earli onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21,
diregio proksimal log arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan
lokus pada kromosom 19. Begitu pula pada penderita down sindrom mempunyai
kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles
(NFT), senile plague dan penurunan market kolinegik pada jaringan otaknya yang
mengambarkan kelainan histopatologi pada penderita alzheimer .Hasil penelitian
penyakit Alzheimer terdapat anak kembar menunjukan 40-50 adalah monozygote dan
50 adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetic berperan dalam
penyakit Alzheimer. Pada sporadic non familial (50-70), beberapa penderitanya
ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukan bahwa
kemungkunan faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada Alzheimer.
2) Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukan penyebab infeksi pada keluarga penderita Alzheimer yang
dilakukan secara immune blot analisis, ternyata ditemukan adanya antibody reaktif.
Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersifat
lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti creutzfeldt-jacub dan
kuru, diduga berhubungan dengan penyakit Alzheimer. Hipotesa tersebut mempunyai
beberapa persamaan antara lain :
a) Manifestasi klinik yang sama
b) Tidak adanya respon imun yang spesifik.
c) Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat.
d) Timbulnya gejala mioklonus.
e) Adanya gambaran spongioform.
3) Faktor lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam
patogenesa penyakit Alzheimer. Faktor lingkungan antara lain, aluminium, silicon,
mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat
yang ditemukan neurofibrilary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal
tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaannya aluminium
adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih.
Pada penderita Alzheimer, juga ditemukan keadaan ketidakseimbangan merkuri,
nitrogen, fosfor,sodium, dengan patogenesa yang belum jelas.Ada dugaan bahwa
asam amino glutamate akan menyebabkan depolarisasi melalui reseptor N-methy D-
aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (cairaninfluks) dan
menyebabkan kerusakan metabolism energy seluler dengan akibat kerusakan dan
kematian neuron.
4) Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita Alzheimer
didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alphan
protein, anti typsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli. Heyman (1984), melaporkan
terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari penderita alzhaimer dengan
penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering
didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor immunitas.
5) Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukan adanya hubungan pemyakit Alzheimer dengan
trauma kepala. Hal ini dihubungan dengan petinju yang menderita demensia
pugilistic, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.
6) Faktor neurotransmiter
Perubahan neurotransmiter pada jaringan otak penderita Alzheimer mempunyai
peranan yang sangat penting seperti :
a) Asetikolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik
neurotransmitter dengan cara biopsy sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada
penderita Alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase,
asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin.
Adanya deficit presinaptik kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis,
temporalis superior, nucleus basalis, hipokampus. Kelainan neurotransmitter
asetilkolin merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis
neurotransmitter lainnya pada penyakit Alzheimer, dimana pada jaringan
otak/biopsy selalu didapatkan kehilangan cholinergic marker. Pada penelitian
dengan pemberian scopolamine pada orang normal, akan menyebabkan berkurang
atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai
patogenesa penyakit Alzheimer.
b) Noradrenalin
Kadar metabolism norepinefrin dan dopamine didapatkan menurun pada jaringan
otak penderita Alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang
merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkolerasi
dengan deficit kortikal noradrenergik. Bowen et al (1988), melaporkan hasil
biopsi dan otopsi jaringan otak penderita Alzheimer menunjukan adanya defesit
noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Palmer et al (1987),Reinikanen (1988),
melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem
penderita Alzheimer.
c) Dopamine
Sparks etal (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurotransmitter
region hypothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan akivitas
dopamine pada penderita Alzheimer. Hasil ini masih controversial, kemungkinan
disebabkan karena histopatologi region hypothalamus setia penelitian bebeda-
beda.
d) Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxiindolacetil
acil pada biopsy korteks serebri penderita Alzheimer. Penurunan juga didapat
pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada
anterior hipotalamus sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus
berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini beghubungan
dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nucleus rephe
dorsalis.
e) MAO (manoamin oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter monoamine. Akivitas
normal MAO A untuk deaminasi serotonin, norepinefrin, dan sebagian kecil
dopamine, sedangakan MAO-B untuk deaminasi terutama dopamine. Pada
penderita Alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipotalamus dan
frontalis sedangakan MAO-B pada daerah temporal dan menurun pada nucleus
basalis dari meynert.

F. Gejala Umum Lansia Dengan Alzheimer


Gejala Alzheimer Berdasarkan National Alzheimer ‘s Association (2003), dibagi menjadi
3 tahap, yaitu:
1) Gejala Ringan (lama penyakit 1-3 tahun)
a) Lebih sering binggung dan melupakan informasi yang baru dipelajari.
b) Diorintasi : tersesat di daerah sekitar yang dikenalnya dengan baik.
c) Bermasalah dalam melaksanakan tugas rutin.
d) Mengalami perubahan dalam kepribadian dan penilaian misalnya mudah
tersinggung,mudah menuduh ada yang mengambil barangnya bahkan menuduh
pasangannya tidak setia lagi/selingkuh.
2) Gejala sedang (lama penyakit 3-10 tahun)
a) Kesulitan dalam mengerjakan aktifitas hidup sehari –hari seperti makan dan
mandi.
b) Perubahan tingkah laku misalnya : sedih dan emosi.
c) Mengalami gangguan tidur.
d) Keluyuran.
e) Kesulitan mengenali keluarga dan teman(pertama-tama yang akan sulit untuk
dikenali adalah orang-orang yang paling jarang ditemuinya, mulai dari nama,
hingga tidak mengenali wajah sama sekali. Kemudian bertahap kepada orang-
orang yang cukup jarang ditemui).
3) Gejala berat (lama penyakit 8-12 tahun)
a) Sulit / kehilangan kemampuan berbicara
b) Kehilangan napsu makan, menurunya berat badan.
c) Sangat tergantung pada caregiver/pengasuh.
d) Perubahan perilaku misalnya : Mudah curiga, depresi, apatis atau mudah
mengamuk.

G. Penanganan Alzheimer Pada Lansia


Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan
patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya
memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B,
C, dan E belum mempunyai efek yang menguntungkan.
1) Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan
simptomatik penyakit Alzheimer, dimana penderita Alzheimer didapatkan penurunan
kadar asetilkolin. Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti
kolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA
(tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori
dan apraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa peneliti mengatakan bahwa
obat-obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada organ
normal dan penderita Alzheimer.
2) Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita Alzheimer didapatkan penurunan
thiamin pyrophosphatase dependent enzyme yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan
transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nucleus basalis.
Pemberian thiamin hidrochloryda dengan dosis 3gr/hari selama tiga bulan peroral,
menunjukan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo
selama periode yang sama.
3) Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki fungsi
kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian 4000mg pada
penderita Alzheimer tidak menunjukan perbaikan klinis yang bermakna.
a) Klonidin Gangguan fungsi intelektual pada penderita Alzheimer dapat disebabkan
kerusakan noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang merupakan
noradrenergik alpha 2 reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2 mg peroral
selama 4 mgg, didapatkan hasil yang kurang memuaskan untuk memperbaiki
fungsi kognitif.
b) Haloperiodol Pada penderita Alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis
(delusi, halusinasi) dan tingkah laku. Pemberian oral haloperiodol 1-5 mg/hari
selama 4 mgg akan memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita Alzheimer
menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depressant
(aminitryptiline25-100 mg/hari).
4) Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu substrate endogen yang disintesa didalam mitokondria dengan
bantuan enzim ALC transferace. Penelitian ini menunjukan bahwa ALC dapat
meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada pemberiaan
dosis 1-2 gr /hari/oral selama 1 tahun dalam pengobatan, disimpulakan bahwa dapat
memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif.
H. Masalah Yang Akan Muncul Dari Lansia Yang Memiliki Alzheimer
Masalah yang akan muncul dari lansia yang memiliki dimensia alzheimer dari 3 segi
sebagai berikut:
1) Psikis/psikologis
Lansia dengan alzheimer atau dimensia akan kesulitan untuk mengingat, disorientasi
waktu, tempat dan suasana. Dengan keadaan sulit mengingat, lansia dengan alzheimer
ada beberapa yang akan terganggu pada psikis nya. Namun akan ada juga lansia
dengan alzheimer/dimensia nampak tidak terjadi apa-apa dengan psikologi nya, lansia
dengan demensia masih bisa beraktivitas dengan biasa tanpa ada kendala.
Kemungkinan hal ini terjadi adalah karena gejala alzheimer yang diderita lansia
masih kategori rendah sehingga masih belum menunjukkan perilaku yang
menyimpang, berada dilingkungan yang surportif terhadap lansia dengan dimensia
juga dapat membantu lansia menjalani kehidupansehari-hari dengan baik.
2) Sosial
Lansia dengan alzheimer dimensia akan mengalami kesulitan dalam kehidupan
bersosial, kognitif nya yang menurun juga mempersulit lansia dengan alzheimer
berinteraksi sosial dengan orang lain. Lansia dengan alzheimer juga akan lebih sering
menyendiri dibandingkan bersosialisasi dengan orang lain.

3) Spiritual
Pada spiritual lansia dengan alzheimer dan dimensia maka akan sangat terganggu atau
bahkan tidak dapat menjalankan kegiatan-kegiatan spiritual. Seperti dalam agama
islam, apabila penganut agama islam keadaan nya sudah kehilangan daya ingat maka
tidak diwajibkan baginya untuk beribadah dan berkegiatan spiritual lainnya.
Daftar Pustaka

Aizah, S. (2017). Antioksidan Memperlambat Penuaan Dini Sel Manusia Siti Aizah Abstrak.
182–185.

Andesty, D., & Syahrul, F. (2019). Hubungan Interaksi Sosial Dengan Kualitas Hidup Lansia Di
Unit Pelayanan Terpadu (Uptd) Griya Werdha Kota Surabaya Tahun 2017. The Indonesian
Journal of Public Health, 13(2), 171. https://doi.org/10.20473/ijph.v13i2.2018.171-182

Augusta, R. (2021). Pengaruh senam otak terhadap peningkatan daya ingat pada lansia
penderita demensia : narrative review.

Indrayani. (2018). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kualitas Hidup Lansia Di Desa
Cipasung Kabupaten Kuningan Tahun 2017. 9(1), 286.
https://doi.org/10.22435/kespro.v9i1.892.69-78

Rinawati, S., & Wulandari, S. M. (2020). Hubungan Personal Hygiene Dan Frekuensi Kontak
Dengan Keluhan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cuci Kendaraan Bermotor Di Kelurahan
Jebres Dan Mojosongo Surakarta. Journal of Vocational Health Studies, 3(3), 109–113.
https://doi.org/10.20473/jvhs.V3I3.2020.109

Tamtomo, G. D. (2016). Perubahan Anatomik Organ Tubuh Pada Penuaan. Pustaka UNS.
https://library.uns.ac.id/perubahan-anatomik-organ-tubuh-pada-penuaan/

Syaifuddin. 2016. ilmu biomedik dasar untuk mahasiswa keperawatan. Jakarta Selatan: Salemba
Medika

Muhith, Abdul. 2016. pendidikan keperawatan gerontik. Yogyakarta: Cv Andi Offset

Sloane, Ethel. 2003. anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: buku kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai