(HIPOTERMIA)
Dosen Pembimbing : Ns. Siti Mukarromah, M. Kep., Sp.Kep.Kom
Kelompok 8 (4A) :
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
izin, rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
makalah ini berjudul “SISTEM SUHU TUBUH PADA LANSIA
(HIPOTERMIA)” makalah ini kami susun dengan tujuan untuk menambah ilmu
pengetahuan kami dan teman-teman yang lain yang akan membaca makalah ini.
Kami ucapkan Terima Kasih kepada dosen pembimbing keperawatan
Gerontik yang telah membimbing kami dan mengarahkan kami dalam menyusun
makalah ini. Kami berharap agar makalah ini dapat memberikan inspirasi bagi
teman-teman dan orang lain yang membaca makalah ini. Kami juga berharap agar
makalah ini menjadi acuan yang baik dan berkualitas.
Demikian, makalah yang kami buat ini dengan segala kekurangan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan makalah ini sangat kami harapkan. Semoga makalah ini memberikan
manfaat dan pengetahuan bagi kami, teman-teman dan orang lain yang membaca
makalah ini.
Penyusun
Kelompok 8
ii
DAFTAR ISI
COVER....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................4
B. Tujuan Penulisan............................................................................................5
C. Manfaat Penulisan..........................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Lansia.................................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lansia merupakan salah satu fase hidup yang dimana akan dialami
oleh setiap manusia, meskipun umur bertambah dengan diiringi proses
penurunan fungsi organ tubuh tetapi lanjut usia akan tetap dapat menjalani
hidup sehat. Salah satu yang menjadi hal penting yaitu merubah kebiasaan
menurut (Lembaga Kemanusiaan Nasional, 2011). Menurut organisasi
kesehatan dunia, WHO (World Health Organization) seorang disebut
lansia jika berumur 60-70 tahun. Berdasarkan pengertian lanjut usia secara
umum, seseorang dapat dikatakan lanjut usia apabila usianya telah
mencapai 65 tahun keatas (Effendi dan Makhfudli, 2009 dalam Zulfiana
2019).
Setiap manusia pasti akan mengalami masa lansia dan akan
mengalami permasalahan yang komplek di dunia. Secara kronologis lansia
berusia di atas ≥ 60 tahun. Aspek fisik dan psikis pada proses penuaan
memiliki keterkaitan yang erat. Pada lansia, menurunnya kemampuan
merespon stress dan perubahan fisik menempatkan mereka pada resiko
terkena penyakit dan perburukan fungsional. Masalah kesehatan yang
serius pada lansia membuat lansia harus hidup bersama keluarga atau
teman. Berbagai hal bisa terjadi saat lansia hidup dalam satu keluarga
seperti pergantian peran, control pengambilan keputusan, ketergantungan,
konflik, rasa bersalah, dan kehilangan. 3 perubahan fisik, psikologi, emosi,
dan sosial yang dapat memengaruhi pola komunikasi usia kini telah
mengalami peningkatan usia harapan hidup (Widiyono, Suryani, &
Setiyajati, 2020).
Di Indonesia akan menjadi salah satu negara yang menua secara
demografis. Data Badan Pusat Statistik (2019) menunjukkan bahwa
persentase orang berusia di atas 65 tahun akan meningkat sebesar 25
persen di tahun 2050, dari 25 juta orang di tahun 2019 akan meningkat
menjadi 80 juta orang di tahun 2050. Dependensi ratio akan terus
4
mengalami peningkatan. Pada tahun 2020 terdapat 6 orang penduduk usia
produktif yang menanggung satu orang penduduk lansia. Pada tahun 2045
terdapat 3 orang penduduk usia produktif yang menanggung satu orang
penduduk lansia. Indonesia perlu segera berbenah diri dan melakukan
berbagai persiapan untuk menghadapi ledakan populasi lansia yang akan
dimulai tahun 2030. Minimnya cakupan penerima manfaat dan terbatasnya
program perlindungan sosial khusus lansia saat ini akan berpengaruh
terhap sulitnya mencapai kesejahteraan lansia.
Seorang manusia akan mengalami proses penuaan dimana
ditandai dengan kemunduran dalam berbagai organ tubuhnya.
Meskipun sebagaian besar organ dalam tubuh akan mengalami
penurunan fungsi namun pemenuhan kebutuhan dasarnya harus
tetap terpenuhi. Untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
tersebut, kita sebagai perawat harus benar – benar memahami
bagaimana gambaran proses penuaan serta dampaknya terhadap
pemenuhan kebutuhan dasarnya dan salah satu indicator
perubahannya adalah dalam pemenuhan kebutuhan adalah
dengantermoregulasi. Fungsi untama dari termoregulasi adalah
untuk mempertahankan suhu tubuh agar tetap stabil dalam
berbagai kondisi suhu lingkungan. Dalam proses infeksi
termoregulasi juga membantu dalam mempertahankan
homeostasis dan seiring dengan pertambahan usia perubahan
secara bertahap akan terjadi dalam system termoregulasi hal
inilah yang menjadi pertimbangan penting dalam merawat
kesehatan terutama klien dewasa tua.
Perubahan yang berkaitan dengan usia dalam keadaan normal suhu
inti tubuh dipertahankan pada 97 º F – 99 º F melalui mekanisme fisiologis
kompleks yang mengatur produksi panas dan disipasi. System saraf yang
mengontrol termoregulasi terpusat di hipotalamus dan dipengaruhi juga
oleh banyak pengaruh internal maupun eksternal. Factor internal yang
mempengaruhi tingkat regulasi suhu yaitu metabolisme proses penyakit,
aktfitas otot, aliran darah perifer, jumlah lemak, subkutan, dan fungsi saraf
5
kulit, cairan pencernaan, nutrisi, dan obat -obatan dan suhu tubuh yang
mengalir melalui hipotalamus. Sedangkan factor eksternal yang dapat
mempengaruhi regulasi suhu adalah suhu lingkungan, tingkat kelemahan,
aliran udara, serta jenis dan jumlah pakaian dan penutup yang digunakan.
Thermoregulasi pada lansia adalah diubah oleh perubahan yang
berhubungan umur yang menganggu dengan kemampuan mereka untuk
beradaptasi dengan efektif pada temperature lingkungan. Karena
perubahan ini, lansia cenderung mengalami hipotermia atau masalah
terkait panas ditambah lagi, bahkan kesehatan lansia mungkin memiliki
temperatur tubuh normal yang lebih rendah dan mengurangi responden
terhadap penyakit. Factor resiko yang bisa merusak lebih lanjut respon
termoregulasi dari lansia termasuk penyakit imobilisasi efek pengobatan
dan bahaya termpertur lingkungan.
Lansia sehat yang berada dalam lingkungan yang nyaman akan
mengalami sedikit perubahan fungsi termoregulasi dan pada kenyataanya
ada factor resiko mengenai hipertermi dan hipotermi pada lansia dan suhu
yang ekstrim dapat memicu hipertermi dan hipotermi pada lansia terutama
jika ada factor predisposisi seperti obat – obatan tertentu atau kondidi
patologis. Untuk lansia masalah hipotermia dan hipertermia akan muncul
resiko morbiditas atau sampai kematian hal ini lebih besar dari mereka
yang lebih muda. Ada satu penelitian yang menyebutkan bahwa factor
kematian lansia akibat dingin atau panas yang lebih dari tiga per lima dari
kematian yang dapat dicegah adalah karena dingin yang berlebihan.
Temuan lain dari penelitian ini adalah bahwa minoritas lansia pedesaan
yang tidak proporsional cenderung menderita kematian akibat suhu dengan
berbagai penyebab.
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu termoregulasi pada lansia.
2. Apa saja macam – macam suhu dalam thermoregulasi.
3. Apa saja faktor yang mempengaruhi termogulasi dan akibat dari
perubahan suhu pada lansia.
C. Manfaat Penulisan
6
Hasil penulisan ini diharpkan dapat mengembangkan pengetahuan pada
para pembaca khususnya lansia. Agar para lansia dapat mencegah
terjadinya thermoregulasi.
7
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Lansia
1. Definisi
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-
angsur mengakibatkan perubahan komulatif merupakan penurunan daya
tahan tubuh terhadap rangsangan dari dalam dan luar tubuh. Penuaan
merupakan proses normal perubahan yang berhubungan dengan waktu,
sudah dimulai sejak lahir dan berlanjut di sepanjang hidup. Usia tua adalah
fase akhir dari rentang kehidupan manusia lanjut usia adalah seseorang
yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan
sosial. Perubahan tersebut akan berpengaruh pada seluruh aspek
kehidupan, termasuk kesehatan. Lansia dikatakan sebagai tahap akhir
perkembangan pada daur kehidupan manusia. Menurut UU No.13/Tahun
1998 tentang Kesejahteraan Lansia Disebutkan Bahwa Lansia adalah
seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. (Cindy.M.O,2022)
2. Batasan Lansia
Pengelompokan lansia berdasarkan batasan umur menurut Badan
Kesehatan dunia Word Health Organzation (WHO) dalam menjelaskan
batasa lansia adalah sebagai berikut:
8
dan tengah tengah tengkuk. Rambut rontok, dan warna yang berubah
menjadi putih, kering dan juga tidak mengkilap.
2. Peribahan pada otot : otot orang yang berusia madya menjadi lembek dan
mengendur disekitar dagu, lengan bagian atas dan perut.
3. Perubahan pada persendian : masalah pada persendian terutama pada
bagian tungkai dan lengan yang membuat mereka jadi agak sulit berjalan.
4. Perubahan pada gigi : gigi menjadi kering, patah, dan tanggal sehingga
lansia kadang-kadang menggunakan gigi palsu.
5. Perubahan pada mata : mata terlihat kurang bersinar dan cenderung
mengeluarkan kotoran yang menumpuk disudut mata, kebanyakan
menderita presbiopi, atau kesulitan melihat jarak jauh, menurunnya
akomodasi karena penurunan elastisitas mata.
6. Perubahan pada telinga : fungsi pendengaran sudah mulai menurun,
sehingga tidak sedikit yang menggunakan alat bantu pendengaran.
7. Perubahan pada sistem pernafasan : nafas menjadi lebih pendek dan
sering tersenggal-senggal hal ini kibat penurunan kapasitas total paru-
paru, residu volume paru dna konsumsi oksigen nasal, ini akan
menurunkan fleksibilitas dan elastisitas paru.
C. Proses Penuaan
Tahap usia lanjut adalah suatu tahap dimana terjadinya penurunan
fungsi tubuh pada lansia, penuaan merupakan perubahan secara kumulatif
pada makhluk hidup, termasuk pada tubuh, jaringan dan juga sel, yang
mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan
dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang jantung,
pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainnya. Kemampuan
regeneratif pada lansia ini sangat terbatas, karena mereka lebih rentan terhadap
berbagai penyakit.
a. Teori-teori biologi
1) Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut terori ini menua adalah terprogram secara genetik untuk
spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari
9
perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul /DNA
dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi. Sebagai
contoh yang khas adalah mutasi sel-sel kelamin (terjadi penurunan
kemampuan fungsional sel)
2) Pemakaian dan rusak
Kelebihan usaha dan juga stress yang mengakibatkan sel-sel tubuh
lelah (rusak)
3) Reaksi dari kekebalan sendiri (Auto immune theory)
Didalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat
khusus. Ada jaringan tubuh tertentu tidak tahan terhadap zat
tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.
4) Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)
Sistem immune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan
masuknya virus kedalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan
organ tubuh.
5) Teori stress
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.
Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lingkungan internal, kelebihan usaha dann stres menyebabkan sel-
sel tubuh lelah terpakai.
6) Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal
bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-
bahan organik seperti karbohodrat dan protein. Radikal bebas ini
dapat menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.
7) Teori rantai silang
Sel-sel yang tua atau usang, reaksi kimianya menyebabkan ikatan
yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan
kurangnya elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi.
8) Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang
membelah setelah sel-sel tersebut mati.
10
b. Teori kejiwaan sosial
1) Aktivitas atau kegiatan (activity theory)
Lansia mengalami penurunan jumlah kegiatan yang dapat
dilakukannya. Teori ini menyatakan bahwa lansia yang sukses
adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
2) Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari
lansia.
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar
tetap stabil dari usia pertengahan kelanjut usia.
3) Keperibadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah ppada lansia.
Teori ini merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini
menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang
lansia sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimiliki.
4) Teori pembebasan(disengagment theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang
secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan
sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia
menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering
terjadi kehilangan ganda (triple loss), yakni :
a) Kehilangan peran
b) Hambatan kontak sosial
c) Berkurangnya kontak komitmen
a. Teori Biologi
1) Teori seluler
Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan
kebanyakan sel-sel tubuh “diprogram” unutk membelah 50 kali. Jika
seldari tubuh lansia dibiakanlu diobservasi dilaboratoriun terlihat jumlah
11
sel-sel yang akan membelah sedikit. Pada beberapa sistem, seperti sistem
saraf, sistem musculoskeletal dan jantung, sel pada jaringan dan organ
dalan sistem itu tidak dapat diganti jika sel tersebut dibuang karena rusak
atau mati. Oleh karena itu, sistem tersebut beresiko akan mengalami
proses penuaan dan mempunyai kemampuan yang sedikit atau tidak sama
seklai untuk tumbuh dan memperbaiki diri.
3) Keracunan Oksigen
Teori ini tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel
didalam tubuh untuk mempertahankan diri dari oksigen yang
mengandung zat racun dengan kadar yang tinggi, tanpa mekanisme
pertahanan diri tertentu. Ketidakmampuan mempertahankan diri dari
toksin tersebut membuat struktur membran sel tersebut merupakan alat
sel supaya dapat berkomunikasi dengan lingkungannya dan berfungsi
juga untuk mengontrol proses pengambilan nutrisi dengan proses eksresi
zat toksik didalam tubuh. Fungsi komponen protein pada membran sel
tersebut merupakan alat sel supaya dapat berkomunikasi dengan
lingkungannya dan berfungsi juga untuk mengontrol proses pengambilan
nutrisi dengan proses ekresi zat toksik didalam tubuh. Fungsi komponen
protein pada membran sel yang sangat penting bagi proses tersebut,
dipengaruhi oleh rigiditas membran. Konsekuensi dari kesalahan genetik
12
dalah adanya penurunan reproduksi sel oleh mitosis yang megakibatkan
jumlah sel anak disemua jaringan dan organ berkurang. Hal ini akan
menyebabkan peningkatan kerusakan sistem tubuh.
4) Sistem Imun
Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa
penuaan. Walaupun demikian, kemunduran kemampuan sistem yang
terdiri dari sistem limfatik dan khususnya sel darah putih, juga
merupakan faktor yang berkontribusi dalam proses penuaan. Mutasi yang
berulang atau perubahan protein pasca tranlasi, dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri.
Jika mutasi isomatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen
permukaan sel, maka hal ini akan dapat menyebabkan sistem imun tubuh
menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing
dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya
peristiwa autoimun. Disisi lain sistem imun tubuh sendiri daya
pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua, daya serangnya
terhadap sel kanker menjadi menurun, sehingga sel kanker leluasa dalam
proses membelah-belah.
b. Teori Psikologis
1) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara
keaktifannya setelah menua. Sense of integrity yang dibangun dimasa
mudanya tetap terpelihara sampai tua. Teori ini menyatakan bahwa pada
13
lansia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam
kegiatan sosial
D. Data Kuantitatif
14
kesehatan akibat kemajuan teknologi, penelitianpenelitian kedokteran,
perbaikan status gizi, dan pendapatan perkapita. (Fatimah, 2018), dan
angka harapan hidup lansia perempuan di Indonesia cenderung meningkat
hal ini terlihat pada jumlah lansia perempuan lebih banyak daripada
jumlah lansia lakilaki (Pusat data dan informasi, Kemenkes RI tahun
2015).
Hal yang sangat normal bahwa semakin lanjut usia seseorang,
maka akan mengalami kemunduran terutama di bidang fungsional yang
dapat mengakibatkan penurunan pada peranan–peranan sosialnya. Hal ini
menyebabkan pula timbulnya penurunan suhu tubuh. Panti Sosial Tresna
Werdha (PSTW) Nirwana Puri adalah panti sosial khusus bagi lansia yang
berada di Samarinda. Panti ini berdiri sejak tahun 1950, terdapat 15 wisma
didalam panti ini. Adapun jumlah lansia yang menghuni di panti ini adalah
102 orang lansia. Hasil studi pendahuluan menemukan bahwa 1 dari 6
lansia mengalami penurunan suhu tubuh (S. Forcey, Ananda-Rajah,
Burggraf, & Nagalingam, 2020).
2. Data Nasional
Sementara data pada tahun 2019 menunjukkan adanya kenaikan
jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia, 18 juta penduduk lansia pada
tahun 2010 atau sekitar 7,56% dari total jumlah penduduk di Indonesia,
tahun 2019 mengalami peningkatan menjadi 25,9 juta penduduk lansia
atau sekitar 9,7% dari total jumlah penduduk di Indonesia, dan jumlah
tersebut diperkirakan akan terus mengalami peningkatan pada tahun 2035
diperkirakan mencapai 48,2 juta jiwa atau sekitar 15,77% dari total jumlah
penduduk di Indonesia.
Salah satu kelompok masyarakat yang paling membutuhkan
pelayanan kesehatan adalah penduduk lanjut usia. Penduduk lanjut usia
secara biologis akan mengalami proses penuaan secara terus menerus,
dengan ditandai menurunnya daya tahan fsik sehingga rentan terhadap
serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Jenis dari keluhan
kesehatan dapat mencerminkan kondisi lingkungan tempat tinggal
15
penduduk secara umum (S. Forcey, Ananda-Rajah, Burggraf, &
Nagalingam, 2020).
Table I
3. Data Internasional
Beban klinis dan epidemiologis hipotermia paling baik dijelaskan
di negara-negara beriklim dingin, 1-3 dengan kurangnya studi dari negara-
negara beriklim sedang seperti Australia. Kampanye kesehatan masyarakat
di Australia berfokus pada efek panas yang ekstrim namun penelitian
multinegara baru-baru ini menunjukkan bahwa morbiditas dan mortalitas
yang terkait dengan hipotermia adalah signifikan dan kurang dihargai (S.
Forcey, Ananda-Rajah, Burggraf, & Nagalingam, 2020).
Sebuah tinjauan baru-baru ini tentang kematian akibat hipotermia
yang membandingkan South. Australia dan Swedia mengamati insiden
kematian yang lebih tinggi di Australia (masing-masing 3,9 vs 3,3/100.000
kematian pasien) dengan 84% kematian di Australia Selatan terjadi di
dalam ruangan dibandingkan dengan hanya 5% di Swedia. Isolasi sosial
umum terjadi pada 81% kasus dengan wanita lanjut usia menyumbang
58% secara keseluruhan.
Ada 226 presentase hipotermia diantara 217 pasien,dimana laki-
laki. Karakteristik klinis ditunjukan suhu tubuh awal yang tercatat di UGD
berkisar antara 23,9 hingga 36,4C (median 33,3C). Durasi hipotermia
16
adalah rata-rata 60 menit. Pasien memiliki usia rata-rata 77 tahun, 62%
adalah lansia (S. Forcey, Ananda-Rajah, Burggraf, & Nagalingam, 2020).
F. Penjelasan Ilmiah
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, penyakit yang terbanyak pada
lansia adalah untuk penyakit tidak menular antara lain ; hipertensi, masalah
gigi, penyakit sendi, masalah mulut,penurunan termogulasi, diabetes mellitus,
penyakit jantung dan stroke dan penyakit menular antara lain seperti ISPA,
diare, dan pneumonia. Dari data diatas didapatkan bahwa di Indonesia lansia
yang mengalami hipotermia tidak banyak menyebabkan kematian sedangkan di
luar negri lansia yang mengalam hipotermia hampr 56% menyebabkan
kematian.
Kehilangan panas pada lanisa bersumber dari kulit dan daerah yang
terbuka pada saat dilakukan operasi. Ketika jaringan tidak tertutup kulit akan
terpapar oleh udara dingin di kamar operasi,sehingga terjadi kehilangan panas
secara berlebihan. Semakin lama tubuh terpapar suhu yang dingin, akan
semakin banyak panas tubuh yang dikeluarkan untuk mekanisme penyesuaian
suhu sehingga semakin besar resiko terjadinya hipotermi. Sebagian besar
penduduk lansia penduduk lansia mengalami sakit tidak lebih dari seminggu,
yaitu lama sakit 1-3 hari sebesar 36,44% dan 4-7 hari sebesar 35,05%.
Sementara itu, peduduk lansia yang menderita sakit lebih dari tiga minggu
masih cukup besar (14,5%) (S. Forcey, Ananda-Rajah, Burggraf, &
Nagalingam, 2020).
G. Masalah Prioritas
Dari data diatas didapatkan bahwa masalah prioritas pada lansia yaitu
hipotermia dikarankan banyak lansia yang mengalami hipotermia di indonesia
(2,7%) dan di luar negri (56%) dari pada hipertermia di Indonesia (1,6%).
Penyebab Lansia mengalami hipotermia di karenakan memiliki
cadangan lemak yang lebih sedikit di bawah kulit. Saat mereka masih muda,
17
cadangan lemak yang terdapat di bawah kulit berfungsi untuk membantu
menjaga tubuh tetap hangat. Alhasil, karena cadangan tersebut menipis, lansia
pun jadi mudah kedinginan meski sebenarnya suhu udara tidak terlalu rendah.
1) Ringan
Suhu antara 32-35°C, kebanyakan orang bila berada pada suhu ini akan
menggigil secara hebat, terutama di seluruh ekstremitas. Bila suhu lebih
turun lagi, pasien mungkin akan mengalami amnesia dan disartria.
Peningkatan kecepatan nafas juga mungkin terjadi.
2) Sedang
Suhu antara 28–32°C, terjadi penurunan konsumsi oksigen oleh sistem
saraf secara besar yang mengakibatkan terjadinya hiporefleks,
hipoventilasi, dan penurunan aliran darah ke ginjal. Bila suhu tubuh
18
semakin menurun, kesadaran pasien bisa menjadi stupor, tubuh
kehilangan kemampuannya untuk menjaga suhu tubuh, dan adanya risiko
timbul aritmia.
3) Berat
Suhu <28°C, pasien rentan mengalami fibrilasi ventrikular, dan
penurunan kontraksi miokardium, pasien juga rentan untuk menjadi
koma, nadi sulit ditemukan, tidak ada refleks, apnea, dan oliguria
(Sukrana Sidemen, 2019).
19
1) Selalu menjaga tubuh tetap hangat dan kering.
2) Jaga suhu ruangan tempat tinggal agar tetap hangat, minimal suhu di
atas 20°C.
3) Jika terpaksa pergi keluar rumah di saat cuaca hujan, berangin atau
dingin, gunakan topi/ penutup kepala untuk melindungi kepala, wajah
dan leher, memakai baju berlapis yang ringan dan tidak ketat, untuk
lapisan pakaian dalam dapat menggunakan bahan yang menyerap
panas seperti wool, sutera atau polipropilen, dan menggunakan jas atau
mantel tahan air dan angin.
4) Dampingi lansia saat bepergian di cuaca hujan atau dingin (Lase &
Souisa, 2021).
20
Masalah yang akan muncul dari lansia yang memiliki hiportermia dari
3 segi sebagai berikut:
1. Psikis/psikologis
Masalah psikologis yang dapat muncul seperti skizofrenia serta
ganggun bipolar bisa meningkatkan risiko seseorang mempunyai
hipotermia. Demensia atau hilang ingatan juga bisa meningkatkan risiko
sebab kesulitan dalam berkomunikasi dan pemahaman. Akan lebih sulit
bagi mereka untuk berpakaian hangat atau menjaga diri dalam kondisi
dingin, dan juga dapat menimbulkan gangguan kualitas tidur akibat suhu
tubuh yang turun drastis.
2. Sosial
Dari segi sosial penderita hipotermi sendiri biasanya lansia itu
mengalami penurunan fungsi kognitif maupun kualitas fisik, sehingga
dapat menyebabkan perubahan sosial seperti perilaku yang melambat,
hingga dalam hubungan sosial dapat berubah dimana lansia merasa dirinya
tidak di butuhkan lagi oleh orang sekitarnya. Sehingga lansia biasanya
menjauhkan diri dari lingkungan sosial tersebut.
3. Spiritual
Lansia penderita hipotermia dari segi spiritual sendiri dalam
penganut agama islam dapat mengganggu spiritual lansia itu sendiri
seperti jika ingin melaksanakan ibadah sholat harus mengambil air wudhu
namun dikarenakan suhu tubuh yang turun drastis dapat menyebabkan
lansia tidak dapat melakukan wudhu dengan air karena merasa dingin.
21
Referensi
Lase, N. P., & Souisa, D. R. (2021). Peran Keluarga bagi Orang Usia Lanjut.
SUNDERMANN: Jurnal Ilmiah Teologi, Pendidikan, Sains, Humaniora dan
Kebudayaan, 87-96.
S. Forcey, D., Ananda-Rajah, M. F., Burggraf, M., & Nagalingam, V. (2020). ‘Cold and
lonely’: emergency presentations of patients with hypothermia to a large
Australian health network. Internal Medicine Journal, 54-60.
Sukrana Sidemen, I. P. (2019). PERIOPERATIVE TEMPERATURE MANAGEMENT
IN ADULT ANESTHESIA. 1-35.
SUKRI, S. (2022). Efektivitas Intervensi Aktif Warming Mencegah Hipotermi
Pascaoperasi Saluran Kemih pada Lansia: A Systematic Review. Gastronomía
ecuatoriana y turismo local., 5-24.
Widiyono, Suryani, & Setiyajati, A. (2020). Hubungan antara Usia dan Lama Operasi
dengan Hipotermi pada Pasien Paska Anestesi Spinal di Instalasi Bedah Sentral.
Jurnal Ilmu Keperawatan Medikal Bedah 3, 55-65.
22