Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM IMUNOLOGI

DEFISIENSI KOMPLEMEN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Dewasa Sistem Endokrin,
Pencernaan, Perkemihan dan Imunologi

Dosen Pengampu : Iin Patimah M.Kep

Disusun Oleh Kelompok : 2


Santi Oktaviani KHGC22014
Auliya Fahsya M KHGC22023
Tengku Rizal KHGC22027
Dena Tarisa A KHGC22032
Wulan Nurmahmudah KHGC22034
Fadlil Dakhilullah R KHGC22038
Sabda Alif Rahman Hakim S KHGC22039
Asti Age R KHGC22040
Sella Sri Amanda KHGC22041
Dhenia Aura N KHGC22045
Intan Nurlaila KHGC22048

2A – S1 Keperawatan

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARSA HUSADA GARUT

TAHUN 2023– 2024

i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami sampaikan Ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul "Makalah Asuhan Keperawatan Sistem Imunologi Defisiensi Komplemen”
secara tepat waktu. Oleh karenanya kami juga berterimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan makalah ini.
Semoga bantuan yang sudah diberikan dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam penyusunan makalah ini kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
dan memberikan wawasan yang lebih luas bagi pembacanya. Selain itu kami juga berharap
semoga makalah ini berdaya guna dimasa sekarang dan masa yang akan datang.

Demikian yang dapat kami sampaikan kami menyadari bahwa makalah ini belum
sempurna baik dari bentuk penyusunan maupun dari materi yang disampaikan. Maka dari itu,
kritik dan saran yang positif dari semua pihak agar makalah ini menjadi lebih baik.

Garut, 27 Februari 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN......................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................2

1.3 Tujuan..........................................................................................................................2

BAB II........................................................................................................................................3

TINJAUAN TEORI...................................................................................................................3

2.1 Konsep Defisiensi Komplemen...................................................................................3

2.1.1 Sistem Komplemen..............................................................................................3

2.1.2 Definisi.................................................................................................................5

2.1.3 Etiologi.................................................................................................................6

2.1.4 Patofisiologi.........................................................................................................7

2.1.5 Manifestasi Klinis................................................................................................8

2.1.6 Klasifikasi............................................................................................................8

2.1.7 Komplikasi.........................................................................................................12

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................13

2.1.9 Penatalaksanaan.................................................................................................13

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan....................................................................................14

2.2.1. Pengkajian..........................................................................................................14

2.2.2. Diagnosis Keperawatan......................................................................................15

2.2.3. Intervensi Keperawatan......................................................................................16

BAB III.....................................................................................................................................28

iii
TINJAUAN KASUS................................................................................................................28

3.1 Pengkajian.................................................................................................................28

3.2 Diagnosis Keperawatan.............................................................................................32

3.3 Intervensi Keperawatan.............................................................................................33

3.4 Implementasi Keperawatan.......................................................................................34

3.5 Evaluasi Keperawatan...............................................................................................35

BAB IV....................................................................................................................................40

PENUTUP................................................................................................................................40

4.1 Kesimpulan................................................................................................................40

4.2 Saran..........................................................................................................................40

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................41

iv
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tubuh manusia memiliki suatu sistem pertahanan untuk melindungi diri dari
benda asing yang mungkin bersifat pathogen sistem pertahanan tubuh inilah yang
disebut sistem imun stem imun terdiri dari semua sel, jaringan, dan organ yang
membentuk imunitas, yaitu kekebalan tubuh terhadap infeksi atau suatu penyakit
sistem imun memiliki beberapa fungsi pada tubuh, yaitu penangkal benda; asing yang
masuk ke dalam tubuh, menjaga keseimbangan fungsi tubuh, sebagai pendeteksi
adanya sel-sel yang tidak normal, termutasi, atau ganas dan segera
menghancurkannya

Sistem imun merupakan suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel
serta produk zat-zat yang dihasilkannya, yang bekerja sama secara kolektif dan
terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kuman-kuman penyakit ataupun
racun yang masuk ke dalam tubuh yang disebut antigen

Sistem kekebalan tubuh sangat mendasar peranannya bagi kesehatan, tentunya


harus disertai dengan pola makan sehat, cukup berolahraga, dan terhindar dari
masuknya senyawa beracun ke dalam tubuh. Pola hidup modern menuntut segala
sesuatu dilakukan secara cepat dan instan. Hal ini berdampak juga pada pola makan
misalnya sarapan didalam kendaraan, makan siang serba tergesah-gesah, dan malam
karena kelelahan jadi tidak ada nafsu makan. Belum lagi kualitas makanan yang
dikonsumsi, polusi udara, kurang berolahraga dan stres. Apabila terus berlanjut maka
daya tahan tubuh akan terus menurun, lesu, cepat lelah dan mudah terserang penyakit.
Sehingga saat ini banyak orang yang masih muda banyak yang mengidap penyakit
degeneratif. kondisi stres dan pola hidup modern serta polusi, diet tidak seimbang dan
kelelahan menurunkan daya tahan tubuh sehingga menurunkan kecukupan antibodi.
gejala menurunnya daya tahan tubuh seringkali terabaikan sehingga tmbul berbagai
penyaki infeksi, penuaan dini pada usia dini.
Maka dalm hal ini Perawat memiliki fungsi sebagai pelaku/pemberi asuhan
keperawatan, memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan keperawatan
kepada klien baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan

1
pendekatan proses keperawatan, seperti: melakukan penelitian untuk mendapatkan
informasi yang benar, menegaskan diagnosa keperawatan berdasarkan hasil
penelitian, merencanakan intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah yang
muncul dan membuat langkah/cara pemecahan masalah, dan melaksanakan

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas dapat kami simpulkan rumusan masalahnya yaitu
“Bagaimana konsep penyakit dan Asuhan keperawatan Sistem Imunologi Defisiensi
Komplemen? “

1.3 Tujuan
A. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang konsep penyakit dan asuhan keperawatan sistem
imunologi defisiensi komplemen
B. Tujuan Khusus
1) Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada pasien deifisiensi
Komplemen
2) Mahasiswa mampu menegakkan diagnosis keperawatan dan
memprioritaskan diagnosis keperawatan pada pasien defisiensi komplemen
3) Mahasiswa mampu memprioritaskan intervensi keperawatan pada pasien
defisiensi komplemen
4) Mahasiswa mampu mengimplementasikan rencana keperawatan pada
pasien defisiensi komplemen
5) Mahasiswa mampu melakukan evaluasi terhadap asuhan keperawatan
yang telah diberikan

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Defisiensi Komplemen


2.1.1 Sistem Komplemen
A. Definisi
Sistem komplemen adalah protein dalam serum darah yang bereaksi
berjenjang sebagai enzim untuk membantu sistem kekebalan selular dan
sistem kekebalan humoral untuk melindungi tubuh dari infeksi. Protein
komplemen tidak secara khusus bereaksi terhadap antigen tertentu, dan
segera teraktivasi pada proses infeksi awal dari patogen. Oleh karena itu
sistem komplemen dianggap merupakan bagian dari sistem imun bawaan.
Walaupun demikian, beberapa antibodi dapat memicu beberapa protein
komplemen, sehingga aktivasi sistem komplemen juga merupakan bagian
dari sistem kekebalan humoral.
Komplemen yang biasanya disingkat dengan C adalah suatu faktor
berupa protein yang terdapat di dalam serum. Seperti namanya,
complement berarti tambahan. Faktor ini perlu ditambahkan dalam reaksi
antigen dan antibodi, agar terjadi lisis antigen. Sistem komplemen adalah
suatu sistem yang terdiri dari seperangkat kompleks protein yang satu
dengan lainnya sangat berbeda. Pada kedaan normal komplemen beredar
di sirkulasi. darah dalam keadaan tidak aktif, yang setiap saat dapat
diaktifkan melalui dua jalur yang tidak tergantung satu dengan yang lain,
disebut jalur klasik dan jalur alternatif. Aktivasi sistem komplemen
menyebabkan interaksi berantai yang menghasilkan berbagai substansi
biologik aktif yang diakhiri dengan lisisnya membran sel antigen. Aktivasi
sistem komplemen tersebut selain bermanfaat bagi pertahanan tubuh,
sebaliknya juga dapat membahayakan bahkan mengakibatkan kematian,
hingga efeknya disebut seperti pisau bermata dua. Bila aktivasi
komplemen akibat endapan kompleks antigen- antibodi pada jaringan

3
berlangsung terus-menerus, akan terjadi kerusakan jaringan dan dapat
menimbulkan penyakit.
Protein komplemen di dalam serum darah merupakan prekursor enzim
yang disebut zimogen. Zimogen pertama kali ditemukan pada saluran
pencernaan, sebuah protease yang disebut pepsinogen dan bersifat
proteolitik. Pepsinogen dapat teriris sendiri menjadi pepsin saat
terstimulasi derajat keasaman pada lambung.
B. Peranan
1. sel Sitolisis. Komplemen sistem yang lengkap akan mengakibatkan
kerusakan membrane bakteri. Pada bakteri gram negative, kerusakan
membrane dapat mengakibatkanbacteriolysis dengan bantuan dari enzim
lysozyme.
2. Adherensi C3b. C3b memiliki peranan dalam membantu proses
fagositosis dari mikroorganisme setelah proses aktivasi kompelemen
melalui jalur alternative. C3b mengakibatkan makrofag dapat mengenali
antigen. Setelah proses fagositosis, C3b akan mengaktifkan pengeluaran
enzim lisozyme.
3. Immunoconglutinin. Proses ini dilakukan dengan melakukan aglutinasi
dari sejumlah kompleks kecil yang tertempel oleh C3, sehingga dapat
dikenali oleh fagosit.
4. Inflamasi. Aktivasi sistem kompelemen akan mengakibatkan beberapa
bentuk respons, misalnya adalah timbulnya inflamasi.

C. Mekanisme

4
Langkah-langkah: MAC (membrane attack compler)
1. C3 diaktifkan menjadi C3a dan C35
2. Kompleks C4bC2aC3b mengaktifkan C5 menjadi C5a-C5b
3.C5b mengikat C6 dan C7 membentuk kompleks C5bC6C7 dan mengikat
C8 à dimulai proses perusakan membran sel mikroorganisme pathogen
4. Kompleks C5bC6C7C8 mengikat C9 menjadi C5bC6C7C8C9, lalu
melekat pada permukaan sel à perubahan ultra struktur dan muatan listrik
permukaan sel dan inflamasi
5. Kompleks C5bC6C7C8C9 (MAC) menembus membran sel, merusak
lapisan lipid, dan fosfolipid pada membran à lubang-lubang pada membran
à cairan masuk ke dalam sel dan ion-ion keluar dari sel å lisis sel.

D. Pembentukan Komplemen dalam Tubuh


(a) Jalur klasik. Jalur ini diinisiasi oleh antibody yang terikat pada
permukaan sel target (antigen). Kompleks imunnya mengandung IgM,
IgG1, IgG2, dan IgG3.
(b) Jalur alternatif. Jalur ini dijelaskan pada tahun 1950. Jalur ini
menyediakan mekanisme antibody bebas untuk aktivasi komplemen pada
permukaan patogen. Jadi pada system ini terlibat C3 dan faktor B, D, P, H,
dan I yang akan berinteraksi di sekitar permukaan permukaan activator
untuk membantuk jalur ini.

5
(c) Jalur lectin. Jalur aktivasi komplemen ini diinisiasi oleh mannan
binding lectin yang akan memotong jalur klasik. I

2.1.2 Definisi
Defisiensi Komplemen ( Complement Deficiencies ) adalah Rangkaian
protein serum enzimatik yang bersirkulasi dengan sembilan komponen
fungsional menyusun komplemen. Ketika imunoglobulin (Ig) G atau
IgM bereaksi terhadap antigen sebagai bagian dari respons imun, protein
tersebut mengawali saluran komplemen klasik, atau kaskade. Kemudian,
komplemen bergabung dengan kompleks antigen-antibodi dan menjalani
rangkaian reaksi yang memperkuat respons imun terhadap antigen
(proses kompleks yang fiksasi komplemen). Defisiensi atau disfungsi
komplemen meningkatkan suseptibilitas terhadap infeksi akibat kelainan
fagositosis bakterial; bisa juga berkaitan dengan gangguan auto imun
tertentu. Defisiensi komplemen primer jarang terjadi. Bentuk yang
paling umum adalah defisiensi C1, C2, dan C4 dan disfungsi familial
C5.
Keabnormalan komplemen yang lebih sekunder telah dipastikan pada
pasien terpilih yang mengalami lupus eritematosus, dermatomiositis,
skleroderma, infeksi gonokokal dan meningokokal. Prognosisnya
bervariasi menurut keabnormalan dan keparahan penyakit yang
berkaitan.

Defisiensi komplemen merupakan imunodefisiensi primer yang menyebabkan


berbagai skenario klinis tergantung pada protein komplemen spesifik yang
mengalami defisiensi. Hal ini dapat mencakup peningkatan risiko berbagai
kondisi inflamasi dan trombotik yang menular, lokal, atau sistemik.

Selain itu, sistem komplemen tidak hanya bertindak sebagai mekanisme


pertahanan terhadap infeksi, tetapi juga berfungsi sebagai mediator dalam
pencegahan penyakit terkait kompleks imun dan patogenesisnya, seperti lupus
eritematosus sistemik (SLE).

6
2.1.3 Etiologi
Defisiensi komplemen biasanya bersifat herediter. Jenis yang paling umum
adalah bentuk resesif autosomal, termasuk defisiensi C1, C2, C3, C4, C5, C6,
C7, C8, C9, dan lektin pengikat Mannan. Pola resesif terkait-X telah
dijelaskan untuk defisiensi properdin.

Defisiensi komplemen lainnya disebabkan oleh konsumsi komplemen yang


berlebihan, disfungsi sintesis protein, gangguan kehilangan protein,
autoimunitas, dan keadaan katabolik yang tinggi. Defisiensi komponen awal
jalur komplemen klasik, termasuk C1, C4, dan C2, berhubungan dengan
infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus Pneumoniae dan Haemophilus
Influenza tipe b. Defisiensi C3 dikaitkan dengan infeksi piogenik berulang
yang parah di awal kehidupan. Defisiensi jalur umum akhir (C5, C6, C7, C8,
dan C9) berhubungan dengan peningkatan infeksi Neisseria, termasuk
Neisseria meningitidis dan Neisseria gonorrhoeae . Defisiensi tepatdin pada
jalur alternatif awal juga dikaitkan dengan infeksi Neisseria berulang.
Defisiensi lektin pengikat mannan telah dikaitkan dengan peningkatan
frekuensi infeksi piogenik dan sepsis, terutama pada anak-anak dan neonatus,
ketika sistem kekebalan adaptif belum matang. Selain peningkatan insiden
infeksi, individu dengan defisiensi komplemen klasik dini (C1, C4, atau C2)
sering kali memiliki insiden penyakit autoimun yang lebih tinggi, terutama
lupus eritematosus sistemik. Komplemen klasik awal seperti C1 berikatan
dengan sel yang mengalami apoptosis dan memfasilitasi eliminasi sel tersebut.
Tubuh memproduksi autoantibodi terhadap sel-sel yang tidak jelas ini yang
mengakibatkan gangguan autoimun

2.1.4 Patofisiologi

Sistem komplemen adalah bagian penting dari sistem kekebalan humoral


bawaan. Tujuan dari sistem komplemen adalah untuk mengatur opsonisasi,
memfasilitasi penghancuran sitotoksik dan memformulasi kompleks serangan
membran (MAC), dan pembebasan peptida yang mendorong respon
inflamasi. Sistem komplemen terdiri dari 3 jalur, jalur klasik, alternatif, dan
lektin, yang dimulai oleh mekanisme berbeda. Jalur klasik dimulai oleh
kompleks imun C1, C2, C4, dan antigen-antibodi. Jalur lektin diawali oleh
lektin, protein pengikat manosa, residu gula pada permukaan mikroba, C4, dan

7
C2. Jalur alternatif diawali oleh C3, faktor B, faktor D, danproperdin. Ketiga
jalur ini semuanya berbagi jalur terminal umum yang terdiri dari C5 hingga
C9. Hasil akhir dari jalur akhir ini adalah membentuk MAC yang menembus
membran sel dan memfasilitasi kematian sel melalui lisis. Opsonisasi adalah
proses pemanfaatan komponen komplemen yang terpecah, C3b, dan C4b,
sedangkan inflamasi adalah proses pemanfaatan C3a dan C5a, sebagai
anafilatoksin.

Aktivitas pelengkap diatur oleh sistem yang rumit. Komponen penting dari
sistem ini meliputi:

 Reseptor komplemen 1 (CR1)


 Reseptor komplemen 2 (CR2)
 Faktor percepatan peluruhan (DAF)

Sebuah penelitian di Afrika Utara yang meneliti dasar defisiensi faktor


komplemen I pada kasus sindrom hemolitik dan uremik atipikal mengamati
bahwa mutasi Ile357Met dapat menjadi efek utama.

Ada protein terkait permukaan sel dan protein plasma yang mengatur berbagai
langkah jalur komplemen; misalnya, faktor H dan faktor I menghentikan
pembentukan C3 convertase pada jalur alternatif. Enzim C1q esterase
menghambat serin protease C1r dan C1s dari jalur klasik. Defisiensi protein
pengatur ini menyebabkan aktivasi sistem komplemen yang berlebihan dan
banyak efek inflamasi yang merusak. Dua kondisi klinis akibat defisiensi ini
adalah hemoglobinuria nokturnal paroksismal (PNH) dan angioedema
herediter. Pengambilan sampel dari tiga belas pasien angioedema herediter,
terutama wanita berusia kurang dari 50 tahun, dengan tingkat inhibitor C1
rendah atau normal yang tertular COVID-19, tidak menderita COVID-19
parah maupun angioedema akut parah.

2.1.5 Manifestasi Klinis


- Defisiensi C1 dan C3 dan disfungsi familial C5 : meningkatnya
suseptibilitas terhadap infeksi bakteri (yang bisa melibatkan beberapa
sistem tubuh secara simultan)
- Defisiensi C2 dan C4 : penyakit vaskular kolagen, misalnya lupus

8
eritematosus dan disertai gagal ginjal kronis
- Disfungsi C5 (kelainan familial pada bayi) : gagal tumbuh, diare, dan
dermatitis seboroik
- Kelainan dalam komponen terakhir dari kaskade komplemen (C5
sampai C9) : meningkatnya suseptibilitas terhadap infeksi neisseria.
- Defisiensi inhibitor esterase C1 (angioderma herediter) :
pembengkakkan secara periodik di wajah, tangan, abdomen, atau
tenggorokan, disertai edema laringeal yang bisa berakibat fatal

2.1.6 Klasifikasi
A. Kekurangan pada jalur alternatif : C3, faktor D, B, danproperdin

Defisiensi C3 yang diturunkan menyebabkan infeksi parah yang berulang


sejak lahir, terutama pada saluran pernapasan. Organisme
seperti Streptococcus pneumoniae dan Hemophilus influenzae adalah
penyebab infeksi yang paling sering. Infeksi ini telah menurun frekuensi
dan tingkat keparahannya karena penggunaan antibiotik dan vaksin.

Properdin adalah satu-satunya protein pelengkap yang terkait X, sehingga


kekurangannya hanya terjadi pada pria. Protein disintesis oleh sel imun
seperti monosit, granulosit, dan sel T. Defisiensi Properdin meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi bakteri dari organisme keluarga
Neisseria. Yang paling menonjol dalam kelompok ini adalah Neisseria
meningitidis , yang dapat menyebabkan meningitis serius. Riwayat
keluarga yang umum mencakup kerabat laki-laki yang pernah atau
meninggal karena infeksi Neisserial.

Defisiensi faktor D sangat jarang terjadi dan hanya dijelaskan pada dua
keluarga. Kedua keluarga ini memiliki banyak anggota dengan riwayat
infeksi serius.
B. Kekurangan pada jalur klasik: C1, C4, C2, C1-INH

Pembersihan cepat kompleks imun, sel-sel mati, dan sisa-sisa dari jaringan
yang rusak merupakan pekerjaan yang efisien dilakukan melalui jalur
klasik normal. Protein C1 terdiri dari C1q, C1r, dan C1s. Defisiensi total
C1, C2, atau C4 terkait erat dengan perkembangan lupus eritematosus

9
sistemik (SLE). Hal ini diperkirakan sebagian disebabkan oleh
ketidakmampuan komplemen untuk membersihkan kompleks imun dan
sisa-sisa sel yang mati, terutama DNA dan RNA.

Defisiensi C2 adalah defisiensi komplemen yang paling umum terjadi pada


populasi keturunan Eropa, dengan perkiraan frekuensi antara 1 dari 10.000
hingga 1 dari 20.000 orang mengalami defisiensi C2 homozigot. Pada
imunodefisiensi primer (PI), defisiensi C2 ditemukan pada anak kecil yang
mengalami infeksi berulang, terutama infeksi saluran pernapasan atas atau
telinga akibat Streptococcus pneumoniae dan Hemophilus
influenzae . Banyak orang dewasa dengan defisiensi C2- juga menderita
SLE.

Angioedema herediter (HAE) adalah penyakit yang disebabkan oleh


defisiensi protein pengontrol CP, C1-INH. Gejala umumnya dimulai
sekitar masa pubertas tetapi bisa terjadi lebih awal. Orang-orang ini
mengalami pembengkakan sedang hingga berat yang berulang pada
ekstremitas, wajah, bibir, laring (pita suara), dan saluran pencernaan (usus)
yang sering kali terasa nyeri dan melemahkan. Pembengkakan usus dapat
menyebabkan nyeri perut akut yang parah, dan pembengkakan usus akut
dapat menyebabkan penyumbatan, yang mungkin memerlukan intervensi
bedah akut. Pembengkakan pita suara dapat mengkhawatirkan karena
kemungkinan adanya penyumbatan saluran napas yang menyebabkan mati
lemas. Episode ini biasanya berlangsung 3-5 hari jika tidak diobati dengan
pengobatan yang efektif.

Perawatan akut untuk HAE termasuk inhibitor C1, terapi pengganti


[tersedia produk turunan plasma (konsentrat) dan produk
rekombinan]; ecallantide, penghambat kalikrein (hanya tersedia di AS) dan
icatibant, antagonis reseptor bradikinin-2. Perlu diingat bahwa steroid dan
antihistamin tidak efektif untuk mengobati HAE atau mencegah
serangan. Perawatan profilaksis termasuk androgen, konsentrat inhibitor
C1, dan lanadelumab.

10
C. Defisiensi pada jalur lektin: MBL, M-ficolin, L-ficolin, H-ficolin, CL-11,
MASPs

Defisiensi pada jalur lektin cukup umum terjadi, mempengaruhi sekitar 5-


30% individu. Ada beberapa kontroversi mengenai pentingnya lektin
terhadap kekebalan tubuh secara keseluruhan. Kebanyakan ahli sepakat
bahwa jalur lektin penting untuk melawan infeksi bakteri selama bulan-
bulan awal kehidupan bayi ketika antibodi ibu menurun, dan produksi
antibodi anak tidak berfungsi sepenuhnya. Dalam kasus tertentu,
kekurangannya mungkin parah. [Misalnya, mutasi homozigot pada gen
ficolin-3 menyebabkan infeksi paru berulang yang parah pada anak-anak
yang dapat mengakibatkan penyakit paru-paru parah, termasuk
bronkiektasis (kerusakan paru-paru), di kemudian hari. Penelitian lain
menunjukkan peningkatan kerentanan terhadap HSV-2 (virus herpes
simpleks-2), influenza A, Pseudomonas aeruginosa , dan Staphylococcus
aureus . Mutasi homozigot pada gen collector-11 atau gen MASP-1 dapat
menyebabkan kelainan perkembangan (termasuk ketidakteraturan wajah,
bibir sumbing dan langit-langit mulut, serta cacat kognitif).
D. Defisiensi lektin pengikat manosa

Defisiensi lektin pengikat mannose (MBL) adalah bagian dari jalur lektin
sistem komplemen, salah satu dari beberapa komponen pertahanan
kekebalan tubuh kita. Jalur lektin mungkin merupakan jalur pertama yang
bereaksi sebelum respons imun tradisional terjadi. Diperkirakan bahwa
kekurangan MBL mungkin menjelaskan beberapa kasus peningkatan
kerentanan terhadap infeksi bakteri. Namun, ketika tes dikembangkan
untuk mengukur MBL dalam darah, ditentukan bahwa rendah atau tidak
adanya MBL sangat umum terjadi, mempengaruhi sekitar 5-30% dari
semua individu. Oleh karena itu, ketidakhadiran penyakit ini saja tidak
dapat menjadi penyebab defisiensi imun yang serius, atau sebagian besar
penduduk dunia akan sering menderita infeksi berulang dan berpotensi
fatal. Tes MBL kadang-kadang tetap dilakukan selama evaluasi
imunodefisiensi, dan bila hasilnya menunjukkan MBL rendah atau tidak
ada, hal ini disalahartikan sebagai indikasi adanya PI. Sebaliknya, ahli

11
imunologi yang berpengalaman dalam merawat orang dengan PI percaya
bahwa rendah atau tidak adanya komponen sistem lektin ini, termasuk
MBL yang rendah atau tidak ada, tidak menyebabkan defisiensi imun
dengan sendirinya. Tidak ada pengobatan yang direkomendasikan untuk
MBL yang rendah atau tidak ada, dan terapi penggantian imunoglobulin
jelas tidak diindikasikan untuk tujuan tersebut. Penting untuk ditekankan
bahwa temuan MBL yang rendah atau tidak ada sama sekali tidak
menunjukkan bahwa penyebab infeksi pada seseorang telah ditemukan dan
bahwa proses diagnostik harus dilanjutkan sampai diagnosis yang benar
dapat ditentukan.

E. Defisiensi protein pengatur: Faktor H, faktor I, CD46, CD55, dan CD59

Defisiensi total faktor H menyebabkan aktivasi jalur alternatif dan


konsumsi C3 yang tidak terkontrol. Data terbaru telah dipublikasikan yang
menunjukkan betapa pentingnya peran protein pengontrol komplemen ini
dalam menjaga kesehatan sejumlah jaringan. Selain infeksi bakteri,
defisiensi atau disfungsi faktor H juga dikaitkan dengan berbagai bentuk
penyakit ginjal, termasuk sindrom uremik hemolitik atipikal (aHUS), serta
degenerasi makula terkait usia (AMD). Varian heterozigot pada faktor I
dan CD46 juga dapat menyebabkan aHUS. Penyakit-penyakit ini adalah
contoh dari proses pengendalian yang tidak beres pada permukaan organ
yang terkena. Defisiensi CD59 didapat terlihat pada hemoglobinuria
nokturnal paroksismal, yang berhubungan dengan anemia hemolitik dan
gagal ginjal. Baru-baru ini, pengurutan genetik telah mengidentifikasi
mutasi pada CD55 yang berhubungan dengan sindrom CHAPLE
(hiperaktivasi komplemen, trombosis angiopati, dan enteropati kehilangan
protein), yang sering muncul sebagai sakit perut atau diare, infeksi
berulang, dan penyakit tromboemboli (penggumpalan darah).

12
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi defisiensi komplemen dapat bervariasi tergantung pada jenis
defisiensi dan seberapa parah kondisinya. Beberapa komplikasi yang dapat
terjadi akibat defisiensi komplemen meliputi:

1. Infeksi berulang: Kecenderungan untuk mengalami infeksi berulang


merupakan komplikasi utama defisiensi komplemen. Infeksi bakteri, terutama
yang disebabkan oleh mikroorganisme yang biasanya dieliminasi oleh sistem
komplemen, dapat terjadi secara berulang dan menjadi lebih serius.

2. Infeksi meningokokus: Defisiensi C5-9 meningkatkan risiko terhadap


infeksi meningokokus, yang dapat menyebabkan penyakit serius seperti
meningitis atau sepsis meningokokus. Komplikasi ini dapat mengancam jiwa
dan memerlukan perawatan medis segera.

3. Angioedema herediter: Pada defisiensi C1 inhibitor, angioedema herediter


merupakan komplikasi yang sering terjadi. Hal ini dapat menyebabkan
pembengkakan tiba-tiba pada kulit, jaringan subkutan, atau selaput lendir,
yang dapat mengganggu pernapasan atau menyebabkan gejala yang serius.

4. Penyakit autoimun: Defisiensi komplemen dapat meningkatkan risiko


terhadap penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik (LES).
Komplikasi autoimun dapat melibatkan berbagai organ dan sistem tubuh dan
memerlukan manajemen yang kompleks.

5. Gangguan inflamasi: Beberapa pasien dengan defisiensi komplemen


mengalami gangguan dalam regulasi inflamasi, yang dapat menyebabkan
komplikasi seperti arthritis atau peradangan kronis pada organ internal.

6. Gangguan pada sistem kekebalan: Defisiensi komplemen juga dapat


menyebabkan gangguan dalam sistem kekebalan tubuh secara keseluruhan,
termasuk penurunan kemampuan tubuh untuk menanggapi infeksi dengan
efektif atau mengatur respons imun dengan tepat.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


- Kadar komplemen serum total rendah pada berbagai defisiensi
komplemen
- Uji spesifik digunakan untuk memastikan defisiensi komponen

13
komplemen spesifik (misalnya deteksi komponen komplemen dan IgG
dengan pemeriksaan imunofluoresen pada jaringan glomerular dalam
glomerulonefritis menunjukkan defisiensi komplemen dengan kuat)

2.1.9 Penatalaksanaan
Defisiensi komplemen apa pun harus dianggap sebagai suatu bentuk PI, dan
individu tersebut harus diimunisasi terhadap bakteri yang paling mungkin
menginfeksi mereka (lihat di atas). Misalnya, anak laki-laki yang menderita
defisiensi Properdin harus diimunisasi terhadap Neisseria meningitidis , dan
vaksin meningokokus sebagai tambahan dari vaksinasi anak-anak biasa. Orang
yang kekurangan komponen jalur alternatif lain dan protein jalur terminal juga
rentan terhadap Neisseria meningitidis dan harus diimunisasi. Respons
antibodi harus diperiksa setelah vaksinasi, karena ketidakmampuan
mengaktifkan komplemen dapat mengganggu respons terhadap vaksin.

Saat ini, tidak ada pengobatan tunggal untuk defisiensi komplemen.


Pencegahan dan pengobatan infeksi yang tepat (biasanya dengan antibiotik)
adalah kuncinya. Infus plasma beku segar telah dicoba pada beberapa kasus
namun memiliki risiko bahwa individu dapat membuat antibodi terhadap
komponen pelengkap yang hilang, sehingga penggunaan jangka panjang tidak
disarankan. Dalam kasus HAE, tersedia obat yang efektif untuk mengobati
atau mencegah episode angioedema. Pada aHUS atau PNH, eculizumab,
antibodi penghambat komplemen, dapat membantu. Antibiotik profilaksis
dapat digunakan jika individu mengalami infeksi berulang. Sebagian besar
dari orang-orang yang rentan terhadap infeksi ini pada akhirnya membentuk
antibodi terhadap bakteri penyebab dan tidak sering sakit.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan


2.2.1. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan
pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah
lelah, lemah, nyeri, kaku demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut
terhadap gaya hidup serta citra diri pasi

14
2. Kulit, Ruam eritematous, plak eriternatous pada kulit kepala, muka atau
leher.

3. Kardiovaskuler, Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan


efusi pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki
dan permukaan ekstensor lengan bawi atau sisi lateral tanga.

4. Sistem Muskuloskeletal, Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri


ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari

5. Sistem integument, Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk
kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat
mengenai mukosa pipi atau palatum durum

6. Sistem pernafasan Pleuritis atau efusi pleura.

7. Sistem vaskuler, Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi


papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosis.

8. Sistem Renal, Edema dan hematuria.

9. Sistem saraf, Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-
kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

2.2.2. Diagnosis Keperawatan


1) Nyeri kronis b.d gangguan imunitas
2) Keletihan b.d kondisi fisiologis (mis. Penyakit kronis, penyakit
terminal)
3) Gangguan integritas kulit b.d penurunan mobilitas
4) gangguan citra tubuh b.d perubahan fungsi tubuh (mid. Proses
penyakit)
5) deficit nutrisi b.d ketidak mampuan mengabsorbsi nutrient

15
2.2.3. Intervensi Keperawatan

16
No Diagnosis Luaran Perencanaan
1 Nyeri kronis b.d Setelah dilakukan Manajemen nyeri
gangguan imunitas perawatan selama 3x24
Observasi
jam maka diharapkan
Tingkat nyeri menurun  Identifikasi lokasi,
dengan kriteria hasil karakteristik, durasi,
Keluhan nyeri menurun frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
Perasaan depresi
 Identifikasi skala nyeri
menurun
 Idenfitikasi respon nyeri
Meringis menurun non verbal
 Identifikasi faktor yang
Gelisah menurun
memperberat dan
Kemampuan memperingan nyeri
menuntaskan aktivitas  Identifikasi pengetahuan
meningkat dan keyakinan tentang
nyeri
 Identifikasi pengaruh
budaya terhadap respon
nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri
pada kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang
sudah diberikan
 Monitor efek samping
penggunaan analgetik

Terapeutik

 Berikan Teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri (mis:
TENS, hypnosis,
akupresur, terapi music,

17
biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, Teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
 Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis: suhu ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri

Edukasi

 Jelaskan penyebab, periode,


dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan
nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
 Anjurkan menggunakan
analgesik secara tepat
 Ajarkan Teknik
farmakologis untuk
mengurangi nyeri

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

18
2 Keletihan b.d kondisi Setelah dilakukan Mnajemen energi
fisiologis (mis. perawatan selama 3x24
Observasi
Penyakit kronis, jam maka diharapkan
penyakit terminal) Tingkat keletihan  Identifikasi gangguan
menurun denan kriteria fungsi tubuh yang
hasil mengakibatkan kelelahan
1. Verbalisasi  Monitor kelelahan fisik dan
kepulihan emosional
energi  Monitor pola dan jam tidur
meningkat  Monitor lokasi dan
2. Tenaga ketidaknyamanan selama
meningkat melakukan aktivitas
3. Kemampuan
Terapeutik
melakukan
aktivitas rutin  Sediakan lingkungan
meningkat nyaman dan rendah
4. Verbalisasi stimulus (mis: cahaya,
Lelah suara, kunjungan)
menurun  Lakukan latihan rentang
5. Lesu gerak pasif dan/atau aktif
menurun  Berikan aktivitas distraksi
yang menenangkan
 Fasilitasi duduk di sisi
tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau
berjalan

Edukasi

 Anjurkan tirah baring


 Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
 Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak
19
berkurang
 Ajarkan strategi koping
untuk mengurangi
kelelahan

Kolaborasi

 Kolaborasi dengan ahli gizi


tentang cara
meningkatkan asupan
makanan

20
3 Gangguan integritas Setelah dilakukan Perawatan integritas kulit
kulit b.d penurunan perawatan selama 3x24
Observasi
mobilitas jam maka diharapkan
integritas kulit  Identifikasi penyebab
meningkat dengan gangguan integritas kulit
kriteria hasil (mis: perubahan
1. Kerusakan sirkulasi, perubahan
jaringan status nutrisi, penurunan
menurun kelembaban, suhu
2. Kerusakan lingkungan ekstrim,
lapisan kulit penurunan mobilitas)
menurun
Terapeutik

 Ubah posisi setiap 2 jam


jika tirah baring
 Lakukan pemijatan pada
area penonjolan tulang,
jika perlu
 Bersihkan perineal dengan
air hangat, terutama
selama periode diare
 Gunakan produk berbahan
petroleum atau minyak
pada kulit kering
 Gunakan produk berbahan
ringan/alami dan
hipoalergik pada kulit
sensitive
 Hindari produk berbahan
dasar alkohol pada kulit
kering

Edukasi

 Anjurkan menggunakan
21
pelembab (mis: lotion,
serum)
 Anjurkan minum air yang
cukup
 Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
 Anjurkan meningkatkan
asupan buah dan sayur
 Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrim
 Anjurkan menggunakan
tabir surya SPF minimal
30 saat berada diluar
rumah
 Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya

22
4 gangguan citra tubuh Setelah dilakukan Promosi citra tubuh
b.d perubahan fungsi perawatan selama 3x24
Observasi
tubuh (mid. Proses jam maka diharapkan
penyakit) citra tubuh meningkat  Identifikasi harapan citra
dengan kriteria hasil tubuh berdasarkan tahap
1. Melihat perkembangan
bagian tubuh  Identifikasi budaya, agama,
membaik jenis kelamin, dan umur
2. Menyentuh terkait citra tubuh
bagian tubuh  Identifikasi perubahan citra
membaik tubuh yang
3. Verbalisasi mengakibatkan isolasi
kecacatan sosial
bagian tubuh  Monitor frekuensi
membaik pernyataan kritik
4. Verbalisasi terhadap diri sendiri
kehilangan  Monitor apakah pasien bisa
bagian tubuh melihat bagian tubuh
membaik yang berubah

Terapeutik

 Diskusikan perubahan
tubuh dan fungsinya
 Diskusikan perbedaan
penampilan fisik
terhadap harga diri
 Diskusikan perubahan
akibat pubertas,
kehamilan, dan penuaan
 Diskusikan kondisi stress
yang mempengaruhi citra
tubuh (mis: luka,
penyakit, pembedahan)

23
 Diskusikan cara
mengembangkan harapan
citra tubuh secara
realistis
 Diskusikan persepsi pasien
dan keluarga tentang
perubahan citra tubuh

Edukasi

 Jelaskan kepada keluarga


tentang perawatan
perubahan citra tubuh
 Anjurkan mengungkapkan
gambaran diri sendiri
terhadap citra tubuh
 Anjurkan menggunakan
alat bantu (mis: pakaian,
wig, kosmetik)
 Anjurkan mengikuti
kelompok pendukung
(mis: kelompok sebaya)
 Latih fungsi tubuh yang
dimiliki
 Latih peningkatan
penampilan diri (mis:
berdandan)
 Latih pengungkapan
kemampuan diri kepada
orang lain maupun
kelompok

24
5 deficit nutrisi b.d Setelah dilakukan Manajemen nutrisi
ketidak mampuan perawatan selama 3x24
Observasi
mengabsorbsi jam maka diharapkan
nutrient status nutrisi membaik  Identifikasi status nutrisi
dengan kriteria hasil  Identifikasi alergi dan
1. Porsi makan intoleransi makanan
yang  Identifikasi makanan yang
dihabiskan disukai
meningkat  Identifikasi kebutuhan
2. Berat badan kalori dan jenis nutrien
membaik  Identifikasi perlunya
3. Indeks massa penggunaan selang
tubuh (IMT) nasogastrik
membaik  Monitor asupan makanan
 Monitor berat badan
 Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium

Terapeutik

 Lakukan oral hygiene


sebelum makan, jika
perlu
 Fasilitasi menentukan
pedoman diet (mis:
piramida makanan)
 Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai
 Berikan makanan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
 Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein

25
 Berikan suplemen
makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian makan
melalui selang
nasogastik jika asupan
oral dapat ditoleransi

Edukasi

 Ajarkan posisi duduk, jika


mampu
 Ajarkan diet yang
diprogramkan

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
(mis: Pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan,
jika perlu

26
BAB III

TINJAUAN KASUS
3.1 Pengkajian
A. Identitas Klien

Nama : An. A

Umur : 17 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Suku : Jawa

Agama : Islam

Pekerjaan :-

Pendidikan Akhir :-

Tempat tinggal : Gemulan, Klaten Tengah

B. Keluhan Utama
Pasien dibawa ke RSUP Dr. Sardjito pada hari senin 9 juli 2018. Pasien
merupakan pasien rujukan RSUP Soeradji Klaten. Pasien mengatakan merasa
lemas di bgian wajah muncul bercak bercak merah berbentuk kupu-kupu
C. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien saat dikaji mengatakan nyeri di kaki dan lemas saat banyak
beraktivitas, selain itu pasien mengatakan are tangan terkadang muncul rasa
gatal gatal. Pasien mengatakan rutin minum obat tapi pasien bosan dan pernah
lupa minum obat. Pasien mengatakan malu dengan teman temannya karena
bercak di pipinya. Pasien mengatakan bosan dengan keberadaanya di rumah
sakit saat ini karena tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasanya.
P : nyeri meningkat saat berjalan
Q . senut senut
R . di area sendi sendi ekstremitas bawah dekstra
S . ;5

27
T . ;Hilang timbu;l
D. Riwayat Kesehatan Sebelumnya
Pasien baru dinyatakan menderita SLE pada usia 14 tahun, semenjak
didiagnosa SLE pasien di rawat di RSUP dr. soeradji. Dan semenjak saat itu
pasien mengkonsumsi obat metil prednisolone, per oral 3x5 tab
E. Riwayat Kesehatan Keluarga

Keluarga pasien mengatakan tidak ada Riwayat penyakit dalam keluarga. Dan
tidak ada yang menderita penyakit seperti yang diderita pasien.

F. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum

TTV : t ekanan d arah 1 10/90 m mHg

Nadi : 90x/menit

Pernapasan : 20x/menit

Suhu b adan : 3 5,8°C.

2. Ekstremitas
Hasil pemeriksaan ekstremitas atas adalah terpasng IV line paa tangan
sebelah kanan, tidak tampak cairan yang dialirkan, CRT<2 detik.
Hasil pemeriksaaan ekstremitas bawah adalah CRT<2 detik
Kekuatan otot
5 5

4 5

3. Kulit
Saat dilakukan pengkajian kulit pasien, tepatnya di wajah bagian pipi
dan hidung terdapat bercak bercak /ruam merah berbentuk kupu kupu.
Selain diwajah tampak bekas bercak-bercak merah di kedua tangan
pasien.
G. Aktiviitas

Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4

28
Makan, minum √

Mandi √

Toileting √

Berpakaian √

Mobilitas di tempat tidur √

Berpindah √

Ambulasi √

Ket
0 . mandiri
1 . alat bantu
2 . dibantu orang lain
3 . dibantu orang lain dan alat
4 . tergantung total
H. Obat-obatan

No Nama Obat Dosis/Frekuensi Rute Berpa lama/Mulai


digunakan

1 Cyclophosphamide 650 mg (kemo 1) IV 14 Juli 2018

2 Mesna 400 mg (kemo 1) IV 14 Juli 2018

3 Natrium diclofenac 50 mg / 12 jam P.O 12 Juli 2018

4 D-Vit Syrup 1000 IU/12 jam P.O 12 Juli 2018

5 Metil prednisolone 1000 mg/12 jam IV 11 Juli 2018

6 Ondansetron 4 mg IV 14 Juli 2018

I. Pemeriksaan Penunjang

29
Nama Hasil Satuan Nilai Rujukan
Pemeriksaan

DARAH LENGKAP

Leukosit 21.90 10^6/UI 4.00-5.40

Hemoglobin 11.3 g/dL 12.0-15.0

Hematokrit 34.4 % 35.0-49.0

MCV 79.4 Pg 80.0-9.40

Limfosit 1.03 10^3/uL 1.62-5.37

Netrofil 92.0 % 50.0-70.0

Limfosit 4.7 % 18.0-42.0

J. Analisa Data

Data Etiologi Masalah

DS Gangguan imun, Nyeri Kronis


Pasien mengatakan inflamasi
nyeri
P . saat berjalan,
aktivitas banyak
Q . senut senut
R . Di sendi
Ekstremitas bawah
S.5
T . Hilang Timbul
DO
-Pasien tampak
meringis menahan nyeri
-Pasien tampak
memegang kaki dan

30
memijtnya
TD. 110/80 mmHg
N. 90x/menit

DS Gangguan turgor kulit, Kerusakan integritas


-pasien mengatakan ada gangguan pigmentasi kulit
bercak-bercak merah penyakit
diwajah
-pasien mengatakan
area tanan terkadang
gatal gatal
DO
-terdapat bercak-bercak
merh di area wajah. Di
bagian pipi dan hidung
- terdapat bekas bercak
merah pudar tangan
kanan kiri
-AL : 21.90 10^3/µL

DS Kelesuan fisiologis, Keletihan


-pasien mengatakan anemia
saat banyak aktivitas
pasien mudah Lelah
DO
-pasien menderita SLE
imobilisasi
-pasien tampak lemas,
pasien tampak berjaln
dibantu orang lain
-pasien berjalan pelan
pelan dan pincang
-HB. 11,3 gr/dl

31
3.2 Diagnosis Keperawatan
a. Nyeri kronis b.d gangguan imunitas
b. Gangguan integritas kulit b.d gangguan turgorkulit
c. Keletihan b.d kondisi fisiologis (mis. Penyakit kronis, penyakit terminal)

3.3 Intervensi Keperawatan


No Masalah Luaran Perencanaan

1 Nyeri kronis b.d Setelah dilakukan tindakan - monitor TD


keperawatan selama 3x24 jam
gangguan imunitas - monitor Nadi
diharapkan Tingkat nyeri
menurun dengan kriteria hasil - identifikasi nyeri secara
-mengenalai kapan nyeri komprehensif
terjadi - observasi petunjuk
-menggunakan Tindakan nonverbal dari
pengurangan nyeri tanpa ketidaknyamanan
analgetic - ajarkan Teknik non
-melaporkan nyeri yang farmakologi. Distraksi dn
terkontrol relaksasi

-nyeri dapat berkurang skala 5 - kolaborasi pemberian


menjadi (2-3) analgetik

2 Gangguan integritas Setelah dilakukan tindakan -monitor pasien mengenai


kulit b.d gangguan keperawatan selama 3x24 jam efek terapeutik obat
diharapkan integritas kulit
turgorkulit meningkat dengan kriteria -tanyakan adanya Riwayat
hasil alergi obat

-efek terapeutik yang -kembangkan strategi


diharapkan tidak mengganggu Bersama keluarga untuk
meningkatkan kepatuhan
-perubahan gejala yang mengenai regimen obat
diharapkan tidak terganggu yang diresepkan

-tidak ada reaksi alergi -ajarkan keluarga mengenai


metode pemberian obat
- bercak bercak merah yang sesuai
brkurang
- motivasi kelarga pasien
agar mengurangi paparan
sinar matahari secara

32
langsung

-kolaboragi pemberin obat


anti inflamasi

3 Keletihan b.d kondisi Setelah dilakukan tindakan -obserasi Tingkat keletihan


fisiologis (mis. Penyakit keperawatan selama 3x24 jam pasien
diharapkan Tingkat keletihan
kronis, penyakit menurun dengan kriteria hasil -observasi ttv
terminal) - motivasi untuk makan dan
-pasen dapat mudah
melakukan aktivitas minum secara adekuat

-pasien melaporkan bahwa - bantu pasien untuk


mudah dalam melakukan memilih aktivitas ringan
aktivitas sesuai kondisi dn
kemampuan
-tidak ada tanda tanda anemia
memburuk - bantu pasien dalam
melakukan aktivitas berat
-tidak mengalami peningkatan
tekanan darah dan frekuensi - pantau adnya tanda
respirasi setelah melakukan keletihan, anemia
aktivitas - berikan periode istirahat
setelah melakukan aktivitas

3.4 Implementasi Keperawatan


Diagnosis Waktu Implementasi Paraf

Nyeri kronis b.d 12,13,14 juli 2018 - memonitor TD


gangguan imunitas
- memonitor Nadi

-meng identifikasi nyeri secara


komprehensif

- mengobservasi petunjuk nonverbal


dari ketidaknyamanan

- mengajarkan Teknik non farmakologi.


Distraksi dn relaksasi

- berkolaborasi pemberian analgetik

Gangguan integritas 12,13,14 juli 2018 -memonitor pasien mengenai efek


kulit b.d gangguan terapeutik obat
turgorkulit
-menanyakan adanya Riwayat alergi

33
obat

-mengembangkan strategi Bersama


keluarga untuk meningkatkan
kepatuhan mengenai regimen obat
yang diresepkan

-mengajarkan keluarga mengenai


metode pemberian obat yang sesuai

-memotivasi kelarga pasien agar


mengurangi paparan sinar matahari
secara langsung

-berkolaboragi pemberin obat anti


inflamasi

Keletihan b.d 12,13,14 juli 2018 -mengobserasi Tingkat keletihan pasien


kondisi fisiologis
-mengobservasi ttv
(mis. Penyakit
kronis, penyakit - memotivasi untuk makan dan minum
terminal) secara adekuat

- membantu pasien untuk memilih


aktivitas ringan sesuai kondisi dn
kemampuan

- membantu pasien dalam melakukan


aktivitas berat

- memantau adnya tanda keletihan,


anemia

- memberikan periode istirahat setelah


melakukan aktivitas

3.5 Evaluasi Keperawatan


No Diagnosis Waktu Evaluasi

1 Nyeri kronis b.d 12 Juli 2018 S : pasien mengatakan


gangguan imunitas nyeri sempat tidak ada
pada pukul 9 pagi, pada
pukul 12 sinag nyeri
timbul Kembali P. Seri

34
setalah berjalan, Q.
Senut-Senut, R. Di Sendi-
sendi kaki kanan, S. 4, T.
Hilang Timbul

Pasien mengatakan lebih


Nyman

Pasien mengatakan sedikit


lemas

O : pasien tampak
mengeluh nyeri muncul
Kembali setelah sempat
tidak nyeri

A : masalah belum
teratasi.

P : intervensi dilanjutkan.

13 Juli 2018 S : pasien mengatakan


nyeri sudah berkurang,
semalam sempat sakit P.
Saat kecapean, Q. Senut-
Senut, R. Di Sendi-sendi
kaki kanan, S. 2, T.
Hilang Timbul

O : pasien tampak
duduk di kursi tidak
mengeluhakan nyeri

A : masalah teratasi
sebgaian

P : intervensi dilanjutkan.

14 Juli 2018 S : pasien mengatakan

35
nyeri berkurang. Malam
sempat nyeri P. - , Q.
Senut-Senut, R. Di Sendi-
sendi, S. 2, T. Hilang
Timbul

O : pasien tampak
tenang, pasien tampak
ceria tidak gelisah
menahan nyeri

A : masalah teratasi
sebagian

P : intervensi dilanjutkan.

2 Gangguan integritas 12 Juli 2018 S : pasien mengatakan


kulit b.d gangguan tenggorokan terasa pahit
turgorkulit
saat diberikan obat metil
prednisolone

Ayah pasien mengatakan


selalu memantau jadwal
pemberian obat anaknya

O : keluarga pasien
tampak kooperatif saat
diberi penjelasan

Bercak bercak kulit mulai


berkurang

A : masalah teratasi
Sebagian

P : intervensi dilanjutkan.

13 Juli 2018 S : pasien mengatakan


bercak diwajah masih ada

36
tapi sudah berkurang

Pasien mengatakan gatal


berkurang

O : tampak bekas
bercak merah di wajah
dan ekstremitas atas

A : masalah teratasi
sebgaian

P : intervensi dilanjutkan.

14 Juli 2018 S : pasien mengatakan


sudah tidak gatal

Pasien engatakan bercak


merah sudah mulai
memudar

Pasien mengatakan tidak


memakai lotion

O : bercak kemerahan
pada pasien sudah
tampak memudar

A : masalah teratasi
sebgaian

P : intervensi dilanjutkan.

3 Keletihan b.d kondisi 12 Juli 2018 S : pasien mengatakan


fisiologis (mis. aktivitas lebih ringan jika
Penyakit kronis,
dibantu orang lain
penyakit terminal)

Pasien mengatakan tidak


begitu Lelah jika setelah

37
aktivitas istirahat dulu

O : pasien tampak
lemas

TD 100/70 mmHg

A : masalah teratasi
Sebagian

P : intervensi dilanjutkan.

13 Juli 2018 S : pasien mengatakan


masih lemas etika berjlan
ke kamar mandi

O : pasien tampak
lemas

A : masalah teratasi
Sebagian

P : intervensi dilanjutkan.

14 Juli 2018 S : pasien mengatakan


merasa lebih segar

Pasien mengatakn tidak


sabar untuk melakukan
aktivitas lainnya

O : pasien tampak lebih


segar

Pasien tampak antusias


ingin melakukan aktivitas
lainnya

A : masalah teratasi
Sebagian

38
P : intervensi dilanjutkan.

BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
kompelemen adalah sistem en(imatik dari protein yang diaktivasi oleh
berbagai reaksi antigen dan antibodi dan memiliki peranan yang penting dalam
peristiwa hemolisis dan bakteriolisis. kompelemen juga berperan penting dalam
beberapa proses lain seperti fagositosis, opsonisasi, kemotaksis, dan sitolisis.
kompelemen terdiri dari sistem dari protein yang ditemukan dlam konsentrasi yang
berbeda-beda dalam serum. Sistem komplemen merupakan pusat dari perkembangan
reaksi inflammatory dan salah satu bentuk dari system imunitas atau pertahanan
tubuh. komplemen bertujuan untuk melabelkan patogen dan zat-zat toksik yang
terdapat dalam tubuh untuk segera dieliminasi dari dalam tubuh.

4.2 Saran
Pembaca diharapkan dapat memahami dan menjelaskan mengenai Asuhan
Keperawatan sistem imunologi defisiensi komplemen . Selain itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk membantu kami memperbaiki
kesalahan dan kekurangan makalah ini.

39
DAFTAR PUSTAKA

Complement Deficiencies. (2019). Retrieved from primaryimmune.org:


https://primaryimmune.org/understanding-primary-immunodeficiency/types-of-pi/
complement-deficiencies

Dewi, R. K. (2018). Asuhan Keperawatan Pada An a Dengan Sistemic Lupus Erhythematosus.


Retrieved from kti.stikes-notokusumo.ac.id: http://kti.stikes-notokusumo.ac.id/index.php?
p=show_detail&id=718&keywords=

Fatema, M., & Schuman, T. (2023, March 13). Complement Deficiency. Retrieved from
ncbi.nlm.nih.gov: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557581/

Kelainan sistem Komplemen. (n.d.). Retrieved from scribd.id:


https://id.scribd.com/doc/305631612/kelainan-sistem-komplemen

PPNI, T. P. (2017). STANDAR DIAGNOSIS KEPERAWATAN INDONESIA. JAKARTA: DPP PPNI.

PPNI, T. P. (2017). STANDAR INTERVENSI KEPERAWATAN INDONESIA. JAKARTA: DPP PPNI.

PPNI, T. P. (2017). STANDAR LUARAN KEPERAWATAN INDONESIA . JAKARTA: DPP PPNI.

40

Anda mungkin juga menyukai