Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH FARMAKOLOGI

PENGGOLONGAN OBAT PADA SISTEM IMUN

Disusun Oleh:

Kelompok 2

1. Arif Firman Saputra 223310925


2. Chiara Amanda Sabina 223310927
3. Gevin Ravelliandika 223310933
4. Keisha Khairuni 223310937
5. Muthia Nabila 223310940
6. Nada Choirunnisa 223310941
7. Nadya Justicia 223310942
8. Najwa Raihana W. P. 223310943
9. Nike Lorenza 223310945
10. Siti Pratiwi 223310956

Dosen Pengampu:

Dr. Metri Lidya, S.Kp, M.Biomed

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PADANG

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul
“Penggolongan Obat Pada Sistem Imun”. Tidak lupa shalawat dan salam semoga tercurah
limpahkan kepada baginda Rasulullah SAW Juga kepada keluarganya, sahabatnya, dan
mudah-mudahan sampai kepada kita selaku umatnya. Aamiin.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Metri Lidya, S.Kp, M.Biomed
selaku dosen mata kuliah Farmakologi. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah
wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Penulis juga menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, saran
dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan. Dan kami mohon maaf
apabila terdapat kesalahan dan kekurangan pada makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Padang, 24 Januari 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................3

2.1 Anti Inflamasi..............................................................................................................3

2.1.1 Pengertian Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)...................................................3

2.1.2 Kegunaan dari Obat AINS...................................................................................3

2.1.3 Mekanisme Kerja.................................................................................................3

2.1.4 Penggunaan NSAID.............................................................................................2

2.1.5 Efek samping........................................................................................................3

2.1.6 Contoh-contoh Dari Obat AINS...........................................................................3

2.2 Modulator Imun...........................................................................................................7

2.2.1 Fungsi Imunomodulator.......................................................................................7

2.2.2 Jenis-Jenis Imunomodulator.................................................................................8

2.3 Vaksin........................................................................................................................13

2.3.1 Jenis dan Kandungan Vaksin Beserta Manfaatnya............................................13

BAB III PENUTUP..................................................................................................................17

3.1 Kesimpulan................................................................................................................17

3.2 Saran..........................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................18

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Respon imun terhadap tubuh sudah lebih luas pada masa sekarang ini. Pada dasarnya
mencakup pengobatan maupun pencegahan suatu penyakit yang disebabkan oleh pengaruh
faktor dari luar tubuh atau zat asing. Aktivitas sistem imun dapat menurun karena berbagai
faktor, diantaranya usia atau penyakit.

Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah mekanisme pertahanan tubuh yang
bertugas merespon atau menanggapi serangan dari luar tubuh kita. Saat terjadi serangan,
biasanya antigen pada tubuh akan mulai bertugas. Antigen bertugas menstimulasi sistem
kekebalan tubuh. Maka mekanisme inilah yang akan melindungi tubuh dari serangan berbagai
mikro organisme seperti bakteri, virus, jamur, dan berbagai kuman penyebab penyakit. Ketika
sistem imun tidak bekerja optimal, tubuh akan rentan terhadap penyakit. Beberapa hal dapat
mempengaruhi daya tahan tubuh. Misalnya saja karena faktor lingkungan, makanan, gaya
hidup sehari-hari, stres, umur dan hormon.

Fungsi sistem imun bagi tubuh ada tiga. Pertama sebagai pertahanan tubuh yakni
menangkal ”benda” asing. Kedua, untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga
keseimbangan komponen yang tua, dan ketiga, sebagai pengintai (surveillence immune
system), untuk menghancurkan sel-sel yang ganas. Pada prinsipnya jika sistem imun
seseorang bekerja optimal, maka tidak akan mudah terkena penyakit, sistem keseimbangannya
juga normal.

Banyak cara untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh, salah satunya melalui
suplemen obat yang berfungsi sebagai imunomodulator (meningkatkan sistem imun tubuh).
Saat ini tersedia banyak suplemen makanan imunomodulator, terutama yang menggunakan
bahan herbal alami seperti tanaman meniran (Phyllanthus niruri).lmunomodulator adalah obat
yang dapat mengembalikan dan memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau
untuk menekan yang fungsinya berlebihan. Fungsi imunomodulator adalah memperbaiki
sistem imun yaitu dengan cara stimulasi (imunostimulan) atau menekan/menonnalkan reaksi
imun yang abnormal (imunosupresan).Komponen yang bersifat imunomodulator adalah dari
golongan flavonoid, golongan flanoid mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh hingga
mampu menangkal serangan virus, bakteri atau mikroba lainnya.

Selain imunomodulator terdapat juga imunosupresan.lmunosupresan adalah kelompok


obat yang digunakan untuk menekan respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi,
mengatasi penyakit autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus.Sebagain dari
kelompok ini bersifat sitotokis dan digunakan sebagai antikanker.

Maka untuk mencegah bełbagai penyakit yang dapat menggangu sistem imun
diperlukan pengatahuan yang lebih tentang sistem imun dan obatobat yang digunakan untuk
mencegah atau mengobati ganguan tersebut seperti imunosupresant dan imunomodulator.

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak terpisah dengan makhluk lainnya baik
hewan, tumbuhan maupun benda-benda mikroskopik seperti debu, tungau, serbuk bunga

1
sampai berbagai makanan yang kita konsumsi sehari-hari seperti susu, telur, kacang-kacangan
dan seafood

Alergi merupakan suatu reaksi abnonnal yang terjadi di tubuh akibat masuknya suatu
zat asing. Zat asing yang dinamakan alergen tersebut masuk ke dalam tubuh melalui saluran
nafas (inhalan) seperti debu, tungau, serbuk bunga. Alergen juga dapat masuk melalui saluran
percernaan (ingestan) seperti susu, telur, kacang-kacangan dan seafood. Di samping itu juga
dikenal alergen kontak yang menempel pada kulit seperti komestik dan perhiasan. Saat alergen
masuk ke dalam tubuh, sistem imunitas atau kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan
dengan membuat antibodi yang disebut Imunoglobulin E. Imunoglobulin E tersebut kemudian
menempel pada sel mast (mast cell). Pada tahap berikutnya, alergen akan mengikat
Imunoglobulin E yang sudah menempel pada sel mast. Ikatan tersebut memicu pelepasan
senyawa Histamin dalam darah. Peningkatan Histamin menstimulasi rasa gatal melalui
mediasi ujung saraf sensorik. Senyawa Histamin yang teramat banyak juga bisa disebabkan
oleh stress dan depresi.

Pengobatan gatal-gatal karena alergi dilakukan dengan jalan pemberian Obat


antihistamin yang banyak dijual secara bebas. Efek samping dari pemakaian Obat diantaranya
linglung, pusing, sembelit, sulit berkemih dan penglihatan kabur, namun jarang ada penderita
yang mengalami hal tersebut. Dewasa ini terdapat Obat antihistamin generasi terbaru yang
tidak berefek sedatif (mengantuk) dan beraksi lebih lama, namun harganya lebih mahal dan
harus ditebus dengan resep dokter. Sesungguhnya pemakaian Obat antihistamin hanya
menghilangkan gejala alergi dan menghindari serangan yang lebih besar di masa mendatang,
tidak menyembuhkan alergi. Jika penderita kontak lagi dengan alergen, maka alergi akan
muncul kembali. Oleh karena itu, yang terbaik untuk mengatasi alergi adalah dengan
menghindari kontak dengan alergen, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, meningkatkan
sistem kekebalan tubuh serta menjauhi stress.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu obat anti inflamasi?
2. Apa itu modulator imun?
3. Apa itu vaksin dan serum?

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anti Inflamasi


2.1.1 Pengertian Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)

Obat anti inflamasi (anti radang) non steroid, atau yang lebih dikenal dengan sebutan
NSAID (Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs)/AINS adalah suatu golongan obat yang
memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), anti piretik (penurun panas), dan anti inflamasi
(anti radang). Istilah "non steroid" digunakan untuk membedakan jenis obat-obatan ini
dengan steroid, yang juga memiliki khasiat serupa. AINS bukan tergolong obat-obatan jenis
narkotika. Inflamasi adalah salah satu respon utama dari system kekebalan tubuh terhadap
infeksi atau iritasi.

OAINS dikelompokkan kedalam beberapa golongan kimiawi. Meskipun terdapat


banyak perbedaan dalam kinetik OAINS, semuanya memiliki kesamaan dalam beberapa sifat
umum. Metabolisme OAINS terutama dilanjutkan oleh famili CYP3A atau CYP2C dari
enzim P450 dihati. Meskipun eksresi ginjal merupakan jalur eliminasi terakhir yang paling
penting, hampir semua OAINS mengalami eksresi dan reabsorbsi bilier yang bervariasi.
Kebanyakan OAINS sangat terikat pada protein (~98%) biasanya kepada albumin. Semua
OAINS dapat ditemukan dalam cairan sinovial setelah pemberian dosis berulang.

2.1.2 Kegunaan dari Obat AINS

AINS banyak digunakan pada pasien pediatric. Obat ini merupakan bahan aktif yang
secara farmakologi tidak homogen dan terutama bekerja menghambat produksi prostaglandin
serta digunakan untuk perawatan nyeri akut dan kronik. Obat ini mempunyai sifat mampu
mengurangi nyeri, demam dengan inflamasi, dan yang disertai dengan gangguan inflamasi
nyeri lainnya.

2.1.3 Mekanisme Kerja

Mekanisme dan sifat dasar AINS, obat analgesik anti inflamasi non steroid
merupakan suatu kelompok sediaan dengan struktur kimia yang sangat heterogen, dimana
efek samping dan efek terapinya berhubungan dengan kesamaan mekanisme kerja sediaan ini
pada enzim cyclooxygenase (COX). Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir

3
memberikan penjelasan mengapa kelompok yang heterogen tersebut memiliki kesamaan efek
terapi dan efek samping, ternyata hal ini terjadi berdasarkan atas penghambatan biosintesis
prostaglandin (PG). Mekanisme kerja yang berhubungan dengan biosintesis PG ini mulai
dilaporkan pada tahun 1971 oleh Vane dan kawan-kawan yang memperlihatkan secara invitro
bahwa dosis rendah aspirin dan indometason menghambat produksi enzimatik PG. Dimana
juga telah dibuktikan bahwa jika sel mengalami kerusakan maka PG akan dilepas.Namun
demikian obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrin,yang diketahui
turut berperan dalam inflamasi. AINS menghambat enzim cyclooxygenase (COX) sehingga
konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat
cyclooxysigenase dengan cara yang berbeda.

AINS dikelompokkan berdasarkan struktur kimia,tingkat keasaman dan ketersediaan


awalnya. Dan sekarang yang popoler dikelompokkan berdasarkan selektifitas hambatannya
pada penemuan dua bentuk enzim constitutive cyclooxygenase-1 (COX-1) dan inducible
cycloocygenase-2 (COX-2).COX-1 selalu ada diberbagai jaringan tubuh dan berfungsi dalam
mempertahankan fisiologi tubuh seperti produksi mukus di lambung tetapi sebaliknya ,COX-
2 merupakan enzim indusibel yang umumnya tidak terpantau di kebanyakan jaringan, tapi
akan meningkat pada keadaan inflamasi atau patologik. AINS yang bekerja sebagai penyekat
COX akan berikatan pada bagian aktif enzim,pada COX-1 dan atau COX - 2, sehingga enzim
ini menjadi tidak berfungsi dan tidak mampu merubah asam arakidonat menjadi mediator
inflamasi prostaglandin.

AINS yang termasuk dalam tidak selektif menghambat sekaligus COX-1 dan COX-2
adalah ibuprofen,indometasin dan naproxen. Asetosal dan ketorokal termasuk sangat selektif
menghambat menghambat COX-1. Piroxicam lebih selektif menyekat COX-1, sedangkan
yang termasuk selektif menyekat COX-2 antara lain diclofenak, meloxicam, dan nimesulid.
Celecoxib dan rofecoxib sangat selektif menghambat COX-2.

2.1.4 Penggunaan NSAID

Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAID) bekerja menghambat enzim


cyclooxygenase (enzim pembentuk prostaglandin). NSAID hanya dipakai untuk nyeri
inflamasi dan antipiretik akibat produksi prostaglandin. NSAID mempunyai 3 efek yakni:
anti-inflamasi, analgesik (untuk nyeri ringan hingga sedang), dan antipiretik. Namun, NSAID
tidak bisa digunakan untuk mengatasi nyeri karena angina pectoris karena nyeri disebabkan

4
karena hipoksia dan penumpukan laktat. Penggunaan NSAID sebagai analgesik bersifat
simptomatik sehingga jika simptom sudah hilang, pemberiannya harus dihentikan.

Pada keadaan gout arthritis, NSAID berperan untuk mengurangi inflamasinya. Asam
urat yang meningkat dan menurun masih dapat menyebabkan inflamasi sehingga
menimbulkan nyeri. Asam urat dapat menumpuk di jaringan (biasanya pada jari kaki tampak
tofi, bendol- bendol). Penggunaan NSAID masih menimbulkan recruitment sel radang karena
tidak menghambat LOX/ leukotrien (chemotoxin). Namun efeknya ini perlu diturunkan untuk
mencegah adanya kemotaksis dengan penggunaan kortikosteroid.

NSAID tidak mempengaruhi proses penyakit (ex. kerusakan jaringan


muskuloskeletal) dan hanya mencegah simtom peningkatan prostaglandin pada kerusakan
jaringan. Jadi, NSAID memblok pembentukan prostaglandin, akan tetapi jaringan tetap rusak.
NSAID efeknya bersifat sentral, sehingga tidak menimbulkan adiksi.

Penggunaan NSAID sebagai antipiretik digunakan untuk demam yang patologis


(tidak digunakan untuk demam karena peningkatan suhu setelah aktivitas yang berlebih).
Demam patologis dirangsang oleh zat pirogen endogen (IL-1) yang mengakibatkan pelepasan
prostaglandin di preoptik hipotalamus. Penggunaannya untuk simptomatik juga (ketika panas
turun harus dihentikan).

2.1.5 Efek samping

Selain menimbulkan efek terapi yang sama, obat NSAID juga memiliki efek samping
serupa, karena didasari oleh hambatan pada sistem biosintesis PG. Efek samping yang paling
sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik yang kadang-kadang disertai
anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada
masing-masing obat. Dua mekanisme terjadinya iritasi lambung ialah: (1) iritasi yang bersifat
lokal yang menimbulkan difusi kembali asam lambung ke mukosa dan menyebabkan
kerusakan jaringan; dan (2) iritasi atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui
hambatan biosintesis PGE2 dan PGI2. Kedua PG ini banyak ditemukan di mukosa lambung
dengan fungsi menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi mucus usus halus
yang bersifat sitoprotektif.

2.1.6 Contoh-contoh Dari Obat AINS

5
1. Asam mefenamat dan Meklofenamat

Asam mefenamat digunakan sebagai analgetika dan anti-inflamasi, asam mefenamat


kurang efektif dibandingkan dengan aspirin. Meklofenamat digunakan sebagai obat anti-
inflamasi pada reumatoid dan osteoartritis. Asam mefenamat dan meklofenamat merupakan
golongan antranilat. Asam mefenamat terikat kuat pada pada protein plasma. Dengan
demikian interaksi dengan oabt antikoagulan harus diperhatikan.

Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia, diare sampai
diare berdarah dan gejala iritasi terhadap mukosa lambung. Dosis asam mefenamat adalah 2-
3 kali 250-500 mg sehari. Sedangakan dosis meklofenamat untuk terapi penyakit sendi adalah
240-400 mg sehari. Karena efek toksisnya di Amerika Serikat obat ini tidak dianjurkan
kepada anak dibawah 14 tahun dan ibu hamil dan pemberian tidak melebihi 7 hari.

2. Diklofenak

Diklofenak merupakan derivat asam fenilasetat. Absorpsi obat ini melalui saluran
cerna berlangsung lengkap dan cepat. Obat ini terikat pada protein plasma 99% dan
mengalami efek metabo lisma lintas pertama (first-pass) sebesar 40-50%. Walaupun
waktu paruh singkat 1-3 jam, dilklofenakl diakumulasi di cairan sinoval yang menjelaskan
efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut.

Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama
seperti semua AINS, pemakaian obat ini harus berhati-hati pada pasien tukak lambung.
Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan. Dosis orang dewasa 100-150 mg sehari
terbagi dua atau tiga dosis.

3. Ibuprofen

Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan pertama kali


dibanyak negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya efek anti-inflamasi yang tidak
terlalu kuat. Efek analgesiknya sama seperti aspirin, sedangkan efek anti-inflamasinya terlihat
pada dosis 1200-2400 mg sehari. Absorpsi ibuprofen cepat melalui lambung dan kadar
maksimum dalam plasma dicapai dicapai setelah 1-2 jam. 90% ibuprofen terikat dalam
protein plasma, ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap.

Pemberian bersama warfarin harus waspada dan pada obat anti hipertensi karena
dapat mengurangi efek antihipertensi, efek ini mungkin akibat hambatan biosintesis

6
prostaglandin ginjal. Efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan dengan
aspirin. Ibuprofen tidak dianjurkan diminum wanita hamil dan menyusui. Ibuprofen dijual
sebagai obat generik bebas dibeberapa negara yaitu inggris dan amerika karena tidak
menimbulkan efek samping serius pada dosis analgesik dan relatif lama dikenal.

4. Fenbufen

Berbeda dengan AINS lainnya, fenbufen merupakan suatu pro-drug. Jadi fenbufen
bersifat inaktif dan metabolit aktifnya adalah asam 4-bifenil-asetat. Zat ini memiliki waktu
paruh 10 jam sehingga cukup diberikan 1-2 kali sehari. Absorpsi obat melalui lambung dan
kadar puncak metabolit aktif dicapai dalam 7.5 jam. Efek samping obat ini sama seperti
AINS lainnya, pemakaian pada pasien tukak lambung harus berhati-hati. Pada gangguan
ginjal dosis harus dikurangi. Dosis untuk reumatik sendi adalah 2 kali 300 mg sehari dan
dosis pemeliharaan 1 kali 600 mg sebelum tidur.

5. Indometasin

Merupakan derivat indol-asam asetat. Obat ini sudah dikenal sejak 1963 untuk
pengobatan artritis reumatoid dan sejenisnya. Walaupun obat ini efektif tetapi karena
toksik maka penggunaan obat ini dibatasi. Indometasin memiliki efek anti-inflamasi
sebanding dengan aspirin, serta memiliki efek analgesik perifer maupun sentral. In vitro
indometasin menghambat enzim siklooksigenase, seperti kolkisin.

Absorpsi pada pemberian oral cukup baik 92-99%. Indometasin terikat pada protein
plasma dan metabolisme terjadi di hati. Di ekskresi melalui urin dan empedu, waktu paruh 2-
4 jam. Efek samping pada dosis terapi yaitu pada saluran cerna berupa nyeri abdomen, diare,
perdarahan lambung dan pankreatis. Sakit kepala hebat dialami oleh kira-kira 20-25% pasien
dan disertai pusing. Hiperkalemia dapat terjadi akibat penghambatan yang kuat terhadap
biosintesis prostaglandin di ginjal.

Karena toksisitasnya tidak dianjurka pada anak, wanita hamil, gangguan psikiatrik
dan pada gangguan lambung. Penggunaanya hanya bila AINS lain kurang berhasil. Dosis
lazim indometasin yaitu 2-4 kali 25 mg sehari, untuk mengurangi reumatik di malam hari 50-
100 mg sebelum tidur.

6. Piroksikam dan Meloksikam

7
Piroksikam merupakan salah satu AINS dengan struktur baru yaitu oksikam, derivat
asam enolat. Waktu paruh dalam plasma 45 jam sehingga diberikan sekali sehari. Absorpsi
berlangsung cepat di lambung, terikat 99% pada protein plasma. Frekuensi kejadian efek
samping dengan piroksikam mencapai 11-46% dan 4-12%. Efek samping adalah gangguan
saluran cerna, dan efek lainnya adalah pusing, tinitus, nyeri kepala dan eritema kulit.
Piroksikam tidak dianjurkan pada wanita hamil, pasien tukak lambung dan yang sedang
minum antikoagulan. Dosis 10-20 mg sehari. Meloksikam cenderung menghambat COXS-2
dari pada COXS-1. Efek samping meloksikam terhadap saluran cerna kurang dari
piroksikam.

7. Salisilat

Asam asetil salisilat yang lebih dikenal dengan asetosal atau aspirin adalah analgesik
antipiretik dan anti inflamasi yang sangat luas digunakan. Struktur kimia golongan salisilat.
Asam salisilat sangat iritatif, sehingga hanya digunakan sebagai obat luar. Derivatnya yang
dapat dipakai secara sistemik adalah ester salisilat dengan substitusi pada gugus hidroksil,
misalnya asetosal. Untuk memperoleh efek anti-inflamasi yang baik dalam kadar plasma
perlu dipertahankan antara 250-300 mg/ml. Pada pemberian oral sebagian salisilat diabsorpsi
dengan cepat dalam bentuk utuh di lambung. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah
pemberian. Setelah diabsorpsi salisilat segera menyebar ke jaringan tubuh dan cairan
transeluler sehingga ditemukan dalam cairan sinoval. Efek samping yang paling sering terjadi
adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik, efek samping lain adalah gangguan fungsi
trombosit akibat penghambatan biosintesa tromboksan.

8. Aspirin

Aspirin atau asam asetilsalisilat merupakan sejenis obat yang sering digunakan
sebagai penghilang rasa nyeri atau sakit minor, peradangan atau anti-inflamasi, dan
antipiretik (pada demam). Selain digunakan sebagai analgesik untuk nyeri dari berbagai
penyebab (sakit kepala, nyeri tubuh, arthritis, dismenore, neuralgia, gout, dan sebagainya),
dan untuk kondisi demam, aspirin juga berguna dalam mengobati penyakit rematik, dan
sebagai anti-platelet (untuk mengencerkan darah dan mencegah pembekuan darah) dalam
arteri koroner (jantung) dan di dalam vena pada kaki dan panggul.

Aspirin menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat enzim COX-2.


Molekul aspirin menempel pada enzim COX-2.Penempelan ini menghambat enzim
melakukan reaksi kimia. Bila tidak ada reaksi kimia yang dihasilkan, tidak ada pesan

8
ditransmisikan ke otak untuk memproduksi prostaglandin. Dengan tidak diproduksinya
prostaglandin, rasa sakit kepala dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali.

Dosis aspirin bervariasi sesuai dengan intensitas rasa sakit yang dirasakan. Biasanya
dosis normal adalah 324 mg setiap empat jam. Untuk sakit kepala berat, Anda dapat
mengambil hingga 648 mg aspirin setiap empat jam. Disarankan tidak mengonsumsi lebih
dari 48 tablet dalam jangka waktu dua puluh empat jam. Anak-anak di bawah usia dua belas
tahun harus berkonsultasi dengan dokter sebelum mengonsumsi aspirin.

2.2 Modulator Imun

Imunomodulator merupakan zat ataupun obat yang dapat mengembalikan ketidak-


seimbangan sistem kekebalan yang terganggu dengan cara merangsang dan memperbaiki
fungsi sistem kekebalan (Bratawidjaja, 2002).

Imunomodulator adalah berbagai agen yang berefek meningkatkan jalur Th1


(fagositosis), menghambat jalur Th2, agen yang berefek antiinflamasi, antihistamin,
menghambat migrasi eosinofil ke daerah lesi, mencegah degranulasi sel mast dan basofil,
memblokade Fc reseptor, menginhibisi IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, dan IL-5, mengurangi secara
selektif sel-sel imun yang aktif berlebihan, menginhibisi aktivasi sistem komplemen,
menekan fungsi limfosit T dan B (Lai, 2002).
Tumbuhan obat yang bekerja pada sistem imunitas bukan hanya bekerja sebagai
efektor yang langsung menghadapi penyebab penyakitnya, melainkan bekerja melalui
pengaturan imunitas. Bahan-bahan yang bekerja demikian digolongkan sebagai
imunomodulator. Jadi, apabila kita mengobati penyakit yang disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme dengan imunomodulator, maka imunomodulator tersebut tidak akan
menghadapi secara langsung mikroorganismenya, melainkan sistem imunitas akan didorong
untuk menghadapi melalui efektor sistem imunitas (Subowo, 1996).

2.2.1 Fungsi Imunomodulator

Fungsi imunomodulator adalah memperbaiki sistem imun yaitu dengan cara stimulasi
(imunostimulan) atau menekan/menormalkan reaksi imun yang abnormal (imunosupresan).
Dikenal dua golongan imunostimulan yaitu imunostimulan biologi dan sintetik. Dikenal dua
golongan imunostimulan yaitu imunostimulan biologi dan sintetik. Beberapa contoh
imunostimulan biologi adalah sitokin, antibodi monoklonal, jamur, dan tanaman obat (herbal).
Sedangkan imunostimulan sintetik yaitu levamisol, isoprinosin dan muramil peptidase (Djauzi,
2003).
9
2.2.2 Jenis-Jenis Imunomodulator

Imunomodulator dibagi menjadi 3 kelompok:

i) imunostimulator, berfungsi untuk meningkatkan fungsi dan aktivitas sistem imun,

ii) imunoregulator atau imunorestorasi, artinya dapat meregulasi sistem imun, dan

iii) imunosupresor, yang dapat menghambat atau menekan aktivitas sistem imun.

Kebanyakan tanaman obat yang telah diteliti membuktikan adanya kerja


imunostimulator, sedangkan untuk imunosupresor masih jarang dijumpai. Pemakaian
tanaman obat sebagai imunostimulator dengan maksud menekan atau mengurangi infeksi
virus dan bakteri intraseluler, untuk mengatasi imunodefisiensi atau sebagai perangsang
pertumbuhan sel-sel pertahanan tubuh dalam sistem imunitas (Block dan Mead, 2003). Bahan
yang dapat menstimulasi sistem imun berperan mengendalikan respon imun baik pada sistem
imunitas seluler maupun humoral (Tizard, 2000).
1) Imunorestorasi (Bratawidjaja, 2002)
Ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan
memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti: immunoglobulin dalam bentuk
Immune Serum Globulin (ISG), Hyperimmune Serum Globulin (HSG), plasma,
plasmapheresis, leukopheresis, transplantasi sumsum tulang, hati dan timus.

a) ISG dan HSG

Diberikan untuk memperbaiki fungsi sistem imun pada penderita dengan defisiensi
imun humoral, baik primer maupun sekunder. ISG dapat diberikan secara intravena dengan
aman. Defisiensi imunoglobulin sekunder dapat terjadi bila tubuh kehilangan Ig dalam
jumlah besar, misalnya pada sindrom nefrotik, limfangiektasi intestinal, dermatitis eksfoliatif
dan luka bakar.

b) Plasma

Infus plasma segar telah diberikan sejak tahun 1960 dalam usaha memperbaiki sistem
imun. Keuntungan pemberian plasma adalah semua jenis imunoglobulin dapat diberikan
dalam jumlah besar tanpa menimbulkan rasa sakit.

c) Plasmapheresis

10
Plasmapheresis (pemisahan sel darah dari plasma) digunakan untuk memisahkan
plasma yang mengandung banyak antibodi yang merusak jaringan atau sel, seperti pada
penyakit: miastenia gravis, sindroma goodpasture, dan anemia hemolitik autoimun.

d) Leukopheresis

Pemisahan leukosit secara selektif dari penderita telah dilakukan dalam usaha terapi
artritis reumatoid yang tidak baik dengan cara-cara yang sudah ada.

2) Imunostimulasi (Bratawidjaja, 2002)

Imunostimulasi yang disebut juga imunopotensiasi adalah cara memperbaiki fungsi


sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Biological
Response Modifier (BRM) adalah bahan-bahan yang dapat merubah respons imun, biasanya
meningkatkan.

Bahan yang disebut imunostimulator itu dapat dibagi sebagai berikut:

1. Biologik

a. Hormon timus

Sel epitel timus memproduksi beberapa jenis homon yang berfungsi dalam
pematangan sel T dan modulasi fungsi sel T yang sudah matang. Ada 4 jenis hormon timus,
yaitu timosin alfa, timolin, timopoietin dan faktor humoral timus. Semuanya berfungsi untuk
memperbaiki gangguan fungsi imun (imunostimulasi non-spesifik) pada usia lanjut, kanker,
autoimunitas dan pada defek sistem imun (imunosupresi) akibat pengobatan. Pemberian
bahan-bahan tersebut jelas menunjukkan peningkatan jumlah, fungsi dan reseptor sel T dan
beberapa aspek imunitas seluler. Efek sampingnya berupa reaksi alergi lokal atau sistemik.

b. Limfokin

Disebut juga interleukin atau sitokin yang diproduksi oleh limfosit yang diaktifkan.
Contohnya ialah Macrophage Activating Factor (MAF), Macrophage Growth Factor (MGF),
T-cell Growth Factor atau Interleukin-2 (IL-2), Colony Stimulating Factor (CSF) dan
interferon gama (IFN-γ). Gangguan sintetis IL-2 ditemukan pada kanker, penderita AIDS,
usia lanjut dan autoimunitas.

11
c. Interferon

Ada tiga jenis interferon yaitu alfa, beta dan gama. INF-α dibentuk oleh leukosit, INF-
β dibentuk oleh sel fibroblas yang bukan limfosit dan IFN-γ dibentuk oleh sel T yang
diaktifkan. Semua interferon dapat menghambat replikasi virus DNA dan RNA, sel normal
dan sel ganas serta memodulasi sistem imun.

d. Antibodi monoklonal

Diperoleh dari fusi dua sel yaitu sel yang dapat membentuk antibodi dan sel yang
dapat hidup terus menerus dalam biakan sehingga antibodi tersebut dapat dihasilkan dalam
jumlah yang besar. Antibodi tersebut dapat mengikat komplemen, membunuh sel tumor
manusia dan tikus in vivo.

e. Transfer factor/ekstrak leukosit

Ekstrak leukosit seperti Dialysed Leucocyte Extract dan Transfer Factor (TF) telah
digunakan dalam imunoterapi. Imunostimulasi yang diperlihatkan oleh TF yang spesifik asal
leukosit terlihat pada penyakit seperti candidiasis mukokutan kronik, koksidiomikosis, lepra
lepromatosa, tuberkulosis, dan vaksinia gangrenosa.

f. Lymphokin-Activated Killer (LAK) Cells

Adalah sel T sitotoksik singeneik yang ditimbulkan in vitro dengan menambahkan


sitokin seperti IL-2 ke sel-sel seseorang yag kemudian diinfuskan kembali. Prosedur ini
merupakan imunoterapi terhadap keganasan.

g. Bahan asal bakteri

1) BCG (Bacillus Calmette Guerin), memperbaiki produksi limfokin dan


mengaktifkan sel NK dan telah dicoba pada penanggulangan keganasan (imuno-
stimulan non-spesifik).
2) Corynebacterium parvum (C. parvum) digunakan sebagai imunostimulasi non
spesifik pada keganasan.
3) Klebsiella dan Brucella, diduga memiliki efek yang sama dengan BCG.
4) Bordetella pertusis, memproduksi Lymphocytosis Promoting Factor (LPF) yang
merupakan mitogen untuk sel T dan imunostimulan.
5) Endotoksin, dapat merangsang proliferasi sel B dan sel T serta mengaktifkan
makrofag.

12
h. Bahan asal jamur

Berbagai bahan telah dihasilkan dari jamur seperti lentinan, krestin dan schizophyllan.
Bahan-bahatersebut merupakan polisakarida dalam bentuk beta-glukan yang dapat
meningkatkan fungsi makrofag dan telah banyak digunakan dalam pengobatan kanker
sebagai imunostimulan nonspesifik. Penelitian terbaru menemukan jamur Maitake (Grifola
frondosa) yang mengandung betaglukan yang lebih poten sebagai imunostimulan pada
pasien dengan HIV-AIDS, keganasan, hipertensi dan kerusakan hati (liver ailments).

2. Sintetik

a. Levamisol

Merupakan derivat tetramizol yang dapat meningkatkan proliferasi dan sitotoksisitas


sel T serta mengembalikan anergi pada beberapa penderita dengan kanker (imunostimulasi
nonspesifik). Telah digunakan dalam penanggulangan artritis reumatoid, penyakit virus dan
lupus eritematosus sistemik.

b. Isoprinosin

Disebut juga isosiplex (ISO), adalah bahan sintetis yang mempunyai sifat antivirus
dan meningkatkan proliferasi dan toksisitas sel T. Diduga juga membantu produksi limfokin
(IL-2) yang berperan pada diferensiasi limfosit, makrofag dan peningkatan fungsi sel NK.

c. Muramil Dipeptida (MDP)

Merupakan komponen aktif terkecil dari dinding sel mycobacterium. Pada pemberian
oral dapat meningkatkan sekresi enzim dan monokin. Bila diberikan bersama minyak dan
antigen, MDP dapat meningkatkan baik respons seluler dan humoral.

d. Bahan-bahan lain

Berbagai bahan yang telah digunakan secara eksperimental di klinik adalah:

- Azimexon dan ciamexon: diberikan secara oral dan dapat meningkatkan respons
imun seluler.
- Bestatin: diberikan secara oral dan dapat meningkatkan respons imun seluler dan
humoral.
- Tuftsin: diberikan secara parenteral dan dapat meningkatkan fungsi makrofag, sel
NK dan granulosit.

13
- Maleic anhydride, divynil ether copolymer: diberikan secara parenteral dan
dapat meningkatkan fungsi makrofag dan sel NK.
- 6-phenil-pyrimidol: diberikan secara oral dan dapat meningkatkan fungsi
makrofag dan sel NK.

3) Imunosupresi (Bratawidjaja, 2002)

Merupakan suatu tindakan untuk menekan respons imun. Kegunaannya di klinik


terutama pada transplantasi untuk mencegah reaksi penolakan dan pada berbagai penyakit
inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik, seperti autoimun atau auto-
inflamasi.

a) Steroid

Steroid seperti glukokortikoid atau kortikosteroid (KS) menunjukkan efek anti-


inflamasi yang luas dan imunosupresi. Efek ini nampak dalam berbagai tingkat terhadap
produksi, pengerahan, aktivasi dan fungsi sel efektor. Efek antiinflamasi dan efek
imunosupresi KS sulit dibedakan karena banyak sel, jalur dan mekanisme yang sama terlibat
dalam kedua proses tersebut. KS efektif terhadap penyakit autoimun yang sel T dependen
seperti tiroiditis Hashimoto, berbagai kelainan kulit, polymiositis, beberapa penyakit
reumatik, hepatitis aktif dan inflammatory bowel disease.

b) Cyclophosphamide atau cytoxan dan chlorambucil

Merupakan alkylating agent yang dewasa ini banyak digunakan dalam pengobatan
imun, sebagai kemoterapi kanker dan pada transplantasi sumsum tulang. Oleh karena efek
toksiknya, hanya digunakan pada penyakit berat.

c) Anatagonis purin: Azathioprine dan Mycophenolate Mofetil

Azathioprine (AT) digunakan di klinik sebagai transplantasi, artritis reumatoid, LES,


inflamatory bowel disease, penyakit saraf dan penyakit autoimun lainnya. Mycophenolate
Mofetil (MM) adalah inhibitor iosine monophosphate dehydrogenase, yang berperan pada
sintetis guanosin. Digunakan pada transplantasi (ginjal, jantung, hati), artritis reumatoid dan
kondisi lain seperti psoriasis.

d) Cyclosporine-A, Tacrolimus (FK506) dan Rapamycin

Ketiga obat di atas digunakan untuk mencegah reaksi penolakan pada transplantasi
antara lain: sumsum tulang dan hati.

14
e) Methotrexate (MTX)

Merupakan antagonis asam folat yang digunakan sebagai anti kanker dan dalam dosis
yang lebih kecil digunakan pada pengobatan artritis reumatoid, juvenile artritis reumatoid,
polymyositis yang steroid resisten dan dermomyositis, sindrom Felty, sindrom Reiter, asma
yang steroid dependen dan penyakit autoimun lain.

f) Imunosupresan lain

Radiasi, drainase duktus torasikus dan pemberian interferon dosis tinggi telah
digunakan secara eksperimental dalam klinik sebagai imunosupresan. Di masa mendatang
sudah dipikirkan penggunaan prostaglandin, prokarbazin, miridazol dan antibodi anti sel T.

g) Antibodi monoklonal

Antibodi dapat merupakan suatu imunosupresan yang aktif baik untuk sel B maupun
sel T. Berbagai antibodi monoklonal seperti terhadap Leucocyte Differentiation Antigen
dapat menekan imunitas spesifik dan non-spesifik seperti CD3 dan CD8. Dengan
diketahuinya peranan sitokin dan ditemukannya reseptor terhadap sitokin yang larut, telah
dipikirkan pula untuk menggunakan mekanisme ini untuk mempengaruhi respons imun.

2.3 Vaksin

Vaksin adalah zat atau senyawa yang berfungsi untuk membentuk kekebalan tubuh
terhadap suatu penyakit. Ada banyak jenis vaksin dan kandungannya pun berbeda-beda.
Masing-masing vaksin tersebut dapat memberikan Anda perlindungan dari penyakit tertentu
yang berbahaya. Vaksin mengandung bakteri, racun, atau virus penyebab penyakit yang telah
dilemahkan atau sudah dimatikan. Saat dimasukkan ke dalam tubuh seseorang, vaksin akan
merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi. Proses pembentukan
antibodi inilah yang disebut imunisasi

2.3.1 Jenis dan Kandungan Vaksin Beserta Manfaatnya

Saat orang yang sudah mendapatkan vaksin terpapar kuman penyebab penyakit yang
sebenarnya di kemudian hari, tubuhnya akan membentuk antibodi dengan cepat untuk
melawan kuman tersebut.

15
Pentingnya Vaksin untuk Mencegah Penyakit

Setiap orang perlu mendapatkan vaksin, terutama bayi dan anak-anak, karena
memiliki daya tahan tubuh yang masih lemah dan berkembang. Namun, selain bayi dan anak-
anak, orang dewasa juga perlu mendapatkan vaksin. Orang dewasa disarankan untuk
mendapatkan vaksin, terlebih jika ia memiliki beberapa kondisi atau faktor risiko tertentu,
seperti:

1. Berusia di atas 65 tahun


2. Menjalani masa kehamilan atau menyusui
3. Menderita penyakit kronis, seperti asma, diabetes, dan penyakit jantung
4. Memiliki daya tahan tubuh yang lemah, misalnya karena kemoterapi, riwayat operasi
transplantasi organ, atau menderita infeksi HIV
5. Belum mendapatkan imunisasi wajib sebelumnya
6. Bekerja di tempat yang berisiko tinggi tertular infeksi, seperti rumah sakit atau
laboratorium klinik

Jenis Vaksin

Berikut ini adalah jenis-jenis vaksin berdasarkan kandungan yang terdapat di


dalamnya

1. Vaksin mati

Vaksin mati atau disebut juga vaksin tidak aktif adalah jenis vaksin yang mengandung
virus atau bakteri yang sudah dimatikan dengan suhu panas, radiasi, atau bahan kimia. Proses
ini membuat virus atau kuman tetap utuh, tetapi tidak dapat berkembang biak dan
menyebabkan penyakit di dalam tubuh Oleh karena itu, Anda akan mendapatkan kekebalan
terhadap penyakit ketika mendapatkan vaksin jenis ini tanpa ada risiko untuk terinfeksi
kuman atau virus yang terkandung di dalam vaksin tersebut. Namun, vaksin mati cenderung
menghasilkan respons kekebalan tubuh yang lebih lemah bila dibandingkan vaksin hidup. Hal
ini membuat pemberian vaksin mati perlu dilakukan secara berulang atau booster. Beberapa
contoh vaksin yang termasuk dalam jenis vaksin mati adalah vaksin polio, vaksin Hepatitis
A, vaksin DPT, vaksin flu, dan vaksin tifoid.

2. Vaksin hidup

Berbeda dengan vaksin mati, virus atau bakteri yang terkandung di dalam vaksin
hidup tidak dibunuh, melainkan dilemahkan. Virus atau bakteri tersebut tidak akan
menyebabkan penyakit, tetapi dapat berkembang biak sehingga merangsang tubuh untuk

16
bereaksi terhadap sistem kekebalan tubuh. Vaksin hidup dapat memberikan kekebalan yang
lebih kuat dan perlindungan seumur hidup meski hanya diberikan satu atau dua kali.

Meski begitu, vaksin ini tidak dapat diberikan kepada orang yang daya tahan
tubuhnya lemah, misalnya pada penderita HIV/AIDS atau orang yang menjalani kemoterapi.
Sebelum diberikan, vaksin hidup perlu disimpan di dalam lemari pendingin khusus agar virus
atau bakteri tetap hidup. Suhu yang tidak sesuai akan memengaruhi kualitas vaksin, sehingga
imunitas yang terbentuk tidak optimal. Contoh dari vaksin hidup adalah vaksin MMR, vaksin
BCG, vaksin cacar air, dan vaksin rotavirus.

3. Vaksin toksoid

Beberapa jenis bakteri dapat memproduksi racun yang bisa menimbulkan efek
berbahaya bagi tubuh. Vaksin toksoid berfungsi untuk menangkal efek racun dari bakteri
tersebut. Vaksin ini terbuat dari racun bakteri yang diolah secara khusus agar tidak berbahaya
bagi tubuh, tetapi masih mampu merangsang tubuh untuk membentuk kekebalan terhadap
racun yang dihasilkan bakteri tersebut. Contoh jenis vaksin toksoid adalah tetanus toxoid dan
vaksin difteri.

4. Vaksin mRNA

Vaksin mRNA atau messenger ribonucleic acid adalah jenis vaksin yang mengandung
protein dari materi genetik virus untuk memicu respons imun. Salah satu contoh vaksin
mRNA adalah vaksin COVID-19 yang berjenis Pfizer dan Moderna.

5. Vaksin vektor virus

Jenis vaksin ini juga mengandung protein dari materi genetik virus, hanya saja protein
tersebut ditempelkan ke badan virus lain. Virus tersebut tidak berbahaya bagi tubuh.
Kehadirannya hanya sebagai ‘pembawa’ protein dan perangsang sistem kekebalan tubuh.
Vaksin COVID-19 jenis Astrazeneca dan Johnson & Johnson menerapkan metode ini.
Caranya adalah dengan menempelkan protein dari virus Corona ke adenovirus sebagai
perantaranya.

6. Vaksin subunit

Vaksin subunit menggunakan bagian tertentu dari bakteri atau virus, misalnya zat dari
lapisan pembungkus badannya saja. Setelah tubuh mengenali bagian tersebut, sistem imun
akan menciptakan antibodi yang akan melawan infeksi bakteri atau virus di kemudian hari.

17
Jenis vaksin yang menggunakan metode ini meliputi vaksin Hib, vaksin HPV, vaksin
Pneumonia, dan vaksin Meningitis. Agar dapat bekerja dengan efektif dan bisa bertahan lebih
lama, sejumlah vaksin mengandung bahan lain, seperti thiomersal atau merkuri sebagai bahan
pengawet vaksin, serum albumin, formalin, gelatin, dan antibiotik. Namun, kadarnya yang
dipakai tergolong sedikit dan masih aman bagi tubuh. Vaksin pada dasarnya merupakan
upaya sederhana dan efektif untuk mencegah Anda dan keluarga dari risiko penyakit yang
telah menyebabkan banyak kematian. Oleh karena itu, mendapatkan vaksin sesuai anjuran
amatlah penting untuk dilakukan. Setiap orang memiliki jadwal pemberian vaksin yang
berbeda, tergantung usia, jenis vaksin, kondisi kesehatan, dan riwayat vaksinasi sebelumnya.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

19
DAFTAR PUSTAKA

Bratawidjaja, KG. Imunologi Dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


2002.

DepKes RI. Sistem Kesehatan Nasional 2004. Jakarta. 2004

Djauzi, S. Perkembangan Imunomodulator. Simposium Peranan Echinacea sebagai


Imunomodulator dalam Infeksi Virus dan Bakteri. 2003.
Santoso, B.B. Ikatan Dokter Anak Indonesia (2017). Sekilas Vaksin Pneumokokus.

National Health Service UK (2019). Health A to Z. Why Vaccination Is Safe and Important.

National Institutes of Health (2020). National Library of Medicine Medline Plus. Vaccines
(Immunization).

National Institutes of Health (2019). National Institute of Allergy and Infectious Diseases.
Vaccine Types.

20

Anda mungkin juga menyukai