Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH FARMAKOLOGI 1

IMMUNOSUPRESAN

Disusun Oleh:

LIANA FEBRIANTI

170105038

PROGRAM STUDI SI FARMASI

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA

PURWOKERTO

2021
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur saya panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyusun Tugas
Perkuliahan ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini saya
membahas mengenai “Imunosupressan”.
Adapun penulisan dalam makalah ini, disusun secara sistematis dan
berdasarkan metode-metode yang ada, agar mudah dipelajari dan dipahami sehingga
dapat menambah wawasan pemikiran para pembaca. Saya menyadari bahwa masih
banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu saya meminta
pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun makalah ini.
Kritik konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya. 

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian. 

Purwokerto, Maret 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................................1
1.1 Latar belakang.......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................2
1.3 Tujuan.....................................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................................3
2.1 Pengertian Imunosupressan........................................................................................3
2.2 Mekanisme Kerja dan Pilahan Obat Imunosupresan..............................................3
2.3 Obat Obat Imunosupesan...........................................................................................5
BAB III.................................................................................................................................12
PENUTUP.............................................................................................................................12
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................12
3.2 Saran.....................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Masa sekarang ini arti respon imun sudah lebih luas, yang pada dasarnya
mencakup pengobatan maupun pencegahan suatu penyakit yang disebabkan oleh
pengaruh faktor dari luar tubuh atau zat asing. Aktivitas sistem imun dapat
menurun karena berbagai faktor, diantaranya karena usia atau penyakit
(Baratawidjaja, 2006).

Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah mekanisme pertahanan


tubuh yang bertugas merespon atau menanggapi ''serangan'' dari luar tubuh kita.
Saat terjadi serangan, biasanya antigen pada tubuh akan mulai bertugas. Antigen
bertugas menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Kelak, mekanisme inilah yang
akan melindungi tubuh dari serangan berbagai mikro organisme seperti bakteri,
virus, jamur, dan berbagai kuman penyebab penyakit. Ketika sistem imun tidak
bekerja optimal, tubuh akan rentan terhadap penyakit. Beberapa hal dapat
mempengaruhi daya tahan tubuh. Misalnya saja karena faktor lingkungan,
makanan, gaya hidup sehari-hari, stres, umur dan hormone (Baratawidjaja, 2006).

Fungsi sistem imun bagi tubuh ada tiga. Pertama sebagai pertahanan tubuh
yakni menangkal ''benda'' asing. Kedua, untuk keseimbangan fungsi tubuh
terutama menjaga keseimbangan komponen yang tua dan ketiga sebagai pengintai
(surveillence immune system), untuk menghancurkan sel-sel yang bermutasi atau
ganas. Pada prinsipnya jika sistem imun seseorang bekerja optimal, maka tidak
akan mudah terkena penyakit, sistem keseimbangannya juga normal
(Baratawidjaja, 2006).

1
Banyak cara guna meningkatkan sistem kekebalan tubuh, salah satunya
melalui suplemen obat yang berfungsi sebagai imunosupresan. Imunosupresan
adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respon imun seperti
pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit autoimun dan mencegah
hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok ini bersifat sitotokis dan
digunakan sebagai antikanker (Kresno, 2001).

Maka untuk mencegah berbagai penyakit yang dapat menggangu sistem


imun diperlukan pengatahuan yang lebih tentang sistem imun dan obat-obat yang
digunakan untuk mencegah atau mengobati ganguan tersebut seperti
imunosupresant.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan imunosupresan?
2. Apa saja obat – obat yang termasuk golongan imunosupresan?
3. Bagaimana mekanisme kerja obat imunosupresan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian imunosupresan
2. Untuk mengetahui obat – obat yang termasuk golongan imunosupresan
3. Untuk mengetahui mekanisme kerja obat imunosupresan

2
3
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Imunosupressan

Obat golongan ini bersifat sitotokis dan digunakan sebagai antikanker.


Immunosupresan merupakan zat-zat yang justru menekan aktivitas sistem imun
dengan jalan interaksi di berbagai titik dari sistem tersebut. Titik kerjanya dalam
proses-imun dapat berupa penghambatan transkripsi dari cytokin, sehingga mata
rantai penting dalam respon-imun diperlemah. Khususnya IL-2 adalah esensial
bagi perbanyakan dan diferensial limfosit, yang dapat dihambat pula oleh efek
sitostatis langsung. T-cells bisa diinaktifkan atau dimusnahkan dengan
pembentukan antibodies terhadap limfosit. Imunosupresan digunakan untuk tiga
indikasi utama yaitu, transplantasi organ, penyakit autoimun, dan pencegahan
hemolisis Rhesus pada neonatus (Tassiulas, 2009).
2.2 Mekanisme Kerja dan Pilahan Obat Imunosupresan

Mekanisme kerja obat imunosupresan berdasarkan penghambatan atau supresi


reaksi umum secara dini. Selain dengan obat, imunosupresi dapat juga diperoleh
dengan memanipulasi jumlah Ag dan Ab dalam tubuh. Penggunaan
imunosupresan bertujuan untuk mendapatkan toleransi spesifik (terarah), yaitu
toleransi terhadap suatu antigen tertentu. Perlu dimengerti bahwa bila Ag masih
terdapat dalam tubuh, reaksi imunologik akan muncul kembali dengan
penghentian pemberian imunosupresan. Efek imunosupresi dapat dicapai dengan
salah satu cara berikut:

1. Menghambat proses fagositosis dan pengolahan Ag menjadi Ag


imunogenik oleh makrofag
2. Menghambat pengenalan Ag oleh sel limfoid imunokompeten
3. Merusak sel limfoid imunokompeten

3
4. Menekan diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten, sehingga tidak
terbentuk sel plasma penghasil Ab, atau sel T yang tersensitisasi untuk
respons imun selular
5. Menghentikan produksi Ab oleh sel plasma, serta melenyapkan sel T
yang tersensitisasi yang telah terbentuk (Janet L et al., 2006).

Prinsip umum penggunaan imunosupresan untuk mencapai hasil terapi yang


optimal adalah sebagai berikut:

1. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan


dengan respon imun sekunder. Tahap awal respon primer mencakup:
pengolahan antigen, sintesis limfokin, proliferasi dan diferensiasi sel-sel
imun. Tahap ini merupakan yang paling sensitif terhadap obat
imunosupresan. Sebaliknya, begitu terbentuk sel memori, maka efektifitas
obat imunosupresan akan jauh berkurang.
2. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen
yang berbeda. Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respon imun
terhadap suatu antigen berbeda dengan dosis untuk antigen lain.
3. Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan
diberikan sebelum paparan terhadap antigen (Ostensen, 2006).

Secara praktis, di klinik penggunaan obat imunosupresan berdasarkan waktu


pemberiannya. Untuk itu respons imun dibagi dalam dua fase diantaranya
(Baratawidjaja, 2006):

1. Fase pertama adalah fase induksi, yang meliputi: Fase pengolahan Ag oleh
makrofag, dan pengenalan Ag oleh limfosit imunokompeten dan fase
proliferasi dan diferensiasi sel B dan sel T, masing-masing untuk respons
imun humoral dan selular.
2. Fase kedua: fase produksi, yaitu fase sintesis aktif Ab dan limfokin.

4
Berdasarkan respon imun, imunosupresan dibagi menjadi tiga kelas
diantaranya (Baratawidjaja, 2006):

a. Kelas I: harus diberikan sebelum fase induksi yaitu sebelum terjadi


perangsangan oleh antigen. Kerjanya merusak limfosit imunokompeten.
Jika diberikan setelah terjadi perangsangan oleh antigen, biasanya tidak
diperoleh efek imunosupresif sehingga respon imun dapat berlanjut terus.
b. Kelas II: harus diberikan dalam fase induksi, biasanya satu atau dua hari
setelah perangsangan oleh antigen berlangsung. Obat golongan ini
bekerja mengambat proses diferensiasi dan proliferasi sel
imunokompeten, misalnya antimetabolit.
c. Kelas III: memiliki sifat dari kelas I dan II. Jadi golongan ini dapat
menghasilkan imunosupresi bila diberikan sebelum maupun sesudah
adanya perangsangan oleh Antigen.
2.3 Obat Obat Imunosupesan
Obat imunosupesan terdiri dari beberapa golongan antara lain:
1. Kortikosteroid (glukokortikoid)
Merupakan imunosupresan kuat yang digunakan sebagai obat tunggal
atau dalam kombinasi dengan imunosupresan lain untuk mencegah reaksi
penolakan transplantasi dan untuk mengatasi penyakit autoimun. Prednison
dan prednisolon merupakan glukokortikoid yang paling sering digunakan
(Jacobs, 2009). Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah limfosit secara
cepat, terutama bila diberikan dalam dosis besar (Buttgereit, 2002).
Penggunaan kortikosteroid dalam jangka panjang sering menimbulkan
berbagai efek samping seperti meningkatnya risiko infeksi, ulkus lambung/
duodenum, hiperglikemia, dan osteoporosis (Hoes, 2007).
a. Prednisolon
Prednisolon banyak digunakan pada onkologi. Prednisolon memberi
efek yang nyata sebagai antitumor pada leukemia limfoblastik akut,
penyakit Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin. Prednisolon berperan untuk

5
meringankan gejala pada penyakit kanker stadium akhir, meningkatkan
nafsu makan dan memberikan perasaan sehat (Goodman & Gilman’s,
2008).
b. Metilprednisolon
Metilprednisolon adalah obat yang digunakan untuk mengurangi
peradangan, alergi dan autoimun yang disebabkan oleh berbagai penyakit.
Metilprednisolon adalah salah satu jenis obat kortikosteroid yang dapat
menekan sistem kekebalan tubuh dan mengurangi reaksi peradangan serta
gejalanya, seperti pembengkakan, nyeri atau ruam (Goodman &
Gilman’s, 2008).
2. Inhibitor kalsineurin
Siklosporin dan takrolimus memiliki struktur kimia yang berbeda
namun bekerja dengan mekanisme yang sama, yaitu menghambat kalsineurin.
Siklosporin sangat berperan meningkatkan keberhasilan transplantasi.
Siklosporin diberikan jika terapi standar dengan kortikosteroid gagal.
Takrolimus digunakan dengan indikasi yang sama dengan siklosporin,
terutama untuk transplantasi hati, ginjal, dan jantung. Takrolimus kira-kira
100x lebih aktif dibandingkan siklosporin (Goodman & Gilman’s, 2008).
a. Siklosporin
Mekanisme aksi Siklosporin menekan imunitas humoral tetapi jauh
lebih efektif melawan mekanisme imun yang bergantung pada sel T yang
mendasari penolakan transplantasi dan beberapa bentuk autoimunitas. Ini
secara istimewa menghambat transduksi sinyal yang dipicu antigen dalam
limfosit T, ekspresi tumpul dari banyak limfokin, termasuk IL-2, dan
ekspresi protein antiapoptosis. Siklosporin juga meningkatkan ekspresi
transformasi faktor pertumbuhan-b, penghambat kuat proliferasi sel T
yang distimulasi IL-2 dan pembentukan limfosit T sitotoksik (CTL)
(Goodman & Gilman’s, 2008).
Absorpsi siklosporin tidak lengkap setelah pemberian oral dan
bervariasi dengan pasien individu dan formulasi yang digunakan.

6
Eliminasi siklosporin dari darah umumnya bifasik, dengan t1 / 2 terminal
5-18 jam. Setelah infus intravena, klirens ~ 5–7 mL / menit / kg pada
penerima transplantasi ginjal dewasa, tetapi hasilnya berbeda berdasarkan
usia dan populasi pasien (misalnya, lebih lambat pada pasien transplantasi
jantung, lebih cepat pada anak-anak) (Goodman & Gilman’s, 2008).
Zat yang menghambat enzim ini dapat menurunkan metabolisme
siklosporin dan meningkatkan konsentrasi darah. Ini termasuk
penghambat saluran Ca2 + (misalnya, verapamil, nicardipine), agen
antijamur (misalnya, flukonazol, ketokonazol), antibiotik (misalnya,
eritromisin), glukokortikoid (misalnya, metilprednisolon), dan
penghambat HIV-protease (misalnya, indinavir) (Goodman & Gilman’s,
2008).
b. Takrolimus
Tacrolimus (PROGRAF, FK506) adalah antibiotik makrolida yang
diproduksi oleh Streptomyces tsukubaensis. Seperti siklosporin,
takrolimus menghambat aktivasi sel T dengan menghambat kalsineurin.
Tacrolimus berikatan dengan protein intraseluler, FK506-binding protein-
12 (FKBP-12), suatu imunofilin yang secara struktural terkait dengan
siklofilin. Kompleks tacrolimus-FKBP-12, Ca2 +, kalmodulin, dan
kalsineurin kemudian terbentuk, dan aktivitas kalsineurin fosfatase
dihambat. Seperti yang dijelaskan untuk siklosporin, penghambatan
aktivitas fosfatase mencegah defosforilasi dan translokasi inti NFAT dan
menghambat aktivasi sel-T. Jadi, meskipun reseptor intraseluler berbeda,
siklosporin dan tacrolimus menargetkan jalur yang sama untuk
imunosupresi (Goodman & Gilman’s, 2008).
Penggunaan Terapeutik Tacrolimus diindikasikan untuk profilaksis
penolakan allograft organ padat dengan cara yang mirip dengan
siklosporin dan sebagai terapi penyelamatan pada pasien dengan
penolakan meskipun ada tingkat siklosporin "terapeutik". Dosis ditujukan
untuk mencapai level palung darah 5–15 ng / mL. Pasien anak-anak

7
umumnya membutuhkan dosis yang lebih tinggi daripada orang dewasa
(Goodman & Gilman’s, 2008).
Efek samping diantara nya nefrotoksisitas, neurotoksisitas (tremor,
sakit kepala, gangguan motorik, kejang), keluhan GI, hipertensi,
hiperkalemia, hiperglikemia, dan diabetes semuanya terkait dengan
penggunaan tacrolimus. Interaksi obat Pemberian bersama dengan hasil
siklosporin dalam nefrotoksisitas aditif atau sinergis; oleh karena itu,
diperlukan penundaan setidaknya 24 jam saat mengalihkan pasien dari
siklosporin ke tacrolimus. Karena tacrolimus dimetabolisme terutama
oleh CYP3A, interaksi potensial yang dijelaskan di atas untuk siklosporin
juga berlaku untuk tacrolimus (Goodman & Gilman’s, 2008).
3. Obat Antiproliferatif dan Antimetabolik
a. Sirolimus
Sirolimus (rapamycin; RAPAMUNE) adalah lakton makrosiklik yang
diproduksi oleh Streptomyces hygroscopicus. Mekanisme kerja sirolimus
yaitu menghambat aktivasi dan proliferasi limfosit T di bagian hilir IL-2
dan reseptor faktor pertumbuhan sel T lainnya. Seperti siklosporin dan
takrolimus, aksi terapeutik sirolimus membutuhkan pembentukan
kompleks dengan imunofilin, dalam hal ini FKBP-12. Kompleks
sirolimus-FKBP-12 tidak mempengaruhi aktivitas kalsineurin melainkan
menghambat protein kinase yang merupakan enzim kunci dalam progresi
siklus sel, yang disebut mTOR. Penghambatan mTOR memblokir
perkembangan siklus sel pada transisi fase G1 → S (Goodman &
Gilman’s, 2008).
Dosis awal pada pasien 13 tahun atau lebih dengan berat badan <40 kg
harus disesuaikan berdasarkan luas permukaan tubuh (1 mg / m2 / hari)
dengan dosis loading 3 mg / m2. Data mengenai dosis untuk pasien
pediatri dan geriatri masih kurang. Efek samping penggunaan sirolimus
pada pasien transplantasi ginjal dikaitkan dengan peningkatan kolesterol
serum dan trigliserida yang bergantung pada dosis. Interaksi obat

8
diataranya penyesuaian dosis mungkin diperlukan jika sirolimus
diberikan bersamaan dengan diltiazem atau rifampisin (Goodman &
Gilman’s, 2008).
b. Azathioprine
Azathioprine (IMURAN) adalah antimetabolit purin. Ini adalah
turunan imidazolil dari 6-merkaptopurin. Mekanisme kerjanya yaitu
setelah terpapar nukleofil seperti glutathione, azathioprine dibelah
menjadi 6-mercaptopurine, yang kemudian diubah menjadi metabolit
tambahan yang menghambat sintesis purin de novo. 6-Thio-IMP, sebuah
nukleotida palsu, diubah menjadi 6 thio-GMP dan akhirnya menjadi 6-
thio-GTP, yang digabungkan ke dalam DNA. Dengan demikian,
proliferasi sel terhambat, merusak berbagai fungsi limfosit. Azathioprine
tampaknya menjadi agen imunosupresif yang lebih manjur daripada 6-
mercaptopurine (Goodman & Gilman’s, 2008).
Penggunaan terapeutik azathioprine diindikasikan sebagai tambahan
untuk pencegahan penolakan transplantasi organ dan pada rheumatoid
arthritis yang parah. Dosis azathioprine yang dibutuhkan untuk mencegah
penolakan organ dan meminimalkan toksisitas bervariasi, 3–5 mg / kg /
hari adalah dosis awal yang biasa. Dosis awal yang lebih rendah (1 mg /
kg / hari) digunakan untuk rheumatoid arthritis. Hitung darah lengkap dan
tes fungsi hati harus dipantau (Goodman & Gilman’s, 2008).
Efek samping utama azathioprine adalah penekanan sumsum tulang,
termasuk leukopenia (umum), trombositopenia (lebih jarang), dan / atau
anemia (jarang). Interaksi obat antara lain xantin oksidase, enzim kunci
dalam katabolisme metabolit azathioprine, diblokir oleh allopurinol. Jika
azathioprine dan allopurinol digunakan secara bersamaan, dosis
azathioprine harus diturunkan menjadi 25-33% dari dosis biasa; yang
terbaik adalah tidak menggunakan kedua obat ini secara bersamaan
(Goodman & Gilman’s, 2008).
4. Antibodi

9
Antibodi poliklonal dan monoklonal terhadap antigen permukaan sel
limfosit banyak digunakan untuk pencegahan dan pengobatan penolakan
transplantasi organ. Antibodi poliklonal terdiri dari ATG (antithymocyte
globulin) dan immunoglobulin intravena (IGIV). Antibody monoclonal terdiri
dari anti CD 3 dan Rh0 (D) immunoglobulin. Sedangkan antibody
monoclonal lainnya adalah trastuzumab, rituksimab, daklizumab,
basiliksimab, absiksimab, infliksimab, dan adalimumab (Navarra, 2011).

a. Globulin antitimosit
Antithymocyte globulin adalah gamma globulin yang dimurnikan dari
serum kelinci yang diimunisasi dengan timosit manusia. Mekanisme
kerjanya yaitu globulin antitimosit mengandung antibodi sitotoksik yang
berikatan dengan molekul CD2, CD3, CD4, CD8, CD11a, CD18, CD25,
CD44, CD45, dan HLA kelas I dan II pada permukaan limfosit T
manusia. Antibodi menguras limfosit yang bersirkulasi dengan
sitotoksisitas langsung (baik komplemen maupun yang dimediasi sel) dan
memblokir fungsi limfosit dengan mengikat molekul permukaan sel yang
terlibat dalam pengaturan fungsi sel (Goodman & Gilman’s, 2008).
Kegunaan terapeutik antithymocyte globulin digunakan untuk induksi
imunosupresi, meskipun satu-satunya indikasi yang disetujui adalah
dalam pengobatan penolakan transplantasi ginjal akut yang
dikombinasikan dengan agen imunosupresif lainnya. Dosis yang
dianjurkan untuk penolakan akut cangkok ginjal adalah 1,5 mg / kg / hari
(diberikan secara intravena selama 4-6 jam) selama 7-14 hari. Rata-rata
jumlah sel T turun pada hari ke-2 terapi. Antithymocyte globulin juga
digunakan untuk penolakan akut dari jenis transplantasi organ lain dan
untuk penolakan pophylaxis. Toksisitas antibodi poliklonal adalah protein
xenogenik yang dapat menimbulkan efek samping utama, termasuk
demam dan menggigil dengan potensi hipotensi. Tidak ada interaksi obat

10
yang telah dijelaskan; antibodi anti-ATG berkembang tetapi tidak
membatasi penggunaan berulang (Goodman & Gilman’s, 2008).
b. Antibodi monoklonal Anti-CD3
Antibodi yang diarahkan ke rantai e CD3, molekul trimerik yang
berdekatan dengan reseptor sel-T pada permukaan limfosit T manusia,
telah digunakan dengan kemanjuran yang cukup besar dalam transplantasi
manusia. Antibodi monoklonal antihuman CD3 tikus asli IgG2a,
muromonab-CD3 (OKT3, ORTHOCLONE OKT3), masih digunakan
untuk membalikkan episode penolakan yang resisten terhadap
glukokortikoid (Goodman & Gilman’s, 2008).
Mekanisme aksi muromonab-CD3 mengikat rantai e CD3, komponen
kompleks reseptor sel T yang terlibat dalam pengenalan antigen,
pensinyalan sel dan proliferasi. Perawatan antibodi menginduksi
internalisasi cepat dari reseptor sel-T, sehingga mencegah pengenalan
antigen selanjutnya. Pemberian antibodi diikuti dengan cepat oleh
penipisan dan ekstravasasi sebagian besar sel T dari aliran darah dan
organ limfoid perifer seperti kelenjar getah bening dan limpa, marginasi
sel T ke dinding endotel vaskular dan redistribusi sel T ke organ non-
limfoid seperti itu. sebagai paru-paru. Muromonab-CD3 juga mengurangi
fungsi sel T yang tersisa, seperti yang didefinisikan oleh kurangnya
produksi IL-2 dan penurunan yang besar dalam produksi beberapa sitokin
(Goodman & Gilman’s, 2008).
Kegunaan terapeutik muromonab-CD3 diindikasikan untuk
pengobatan penolakan transplantasi organ akut. Dosis yang dianjurkan
adalah 5 mg / hari (pada orang dewasa; lebih sedikit untuk anak-anak)
dalam bolus intravena tunggal (<1 menit) selama 10-14 hari. Tingkat
antibodi meningkat selama 3 hari pertama dan kemudian stabil. Sel T
yang bersirkulasi menghilang dari darah dalam beberapa menit setelah
pemberian dan kembali dalam ~ 1 minggu setelah penghentian terapi.
(Goodman & Gilman’s, 2008).

11
Manifestasi klinis yang umum termasuk demam tinggi, menggigil /
kaku, sakit kepala, tremor, mual / muntah, diare, sakit perut, malaise,
mialgia, artralgia dan kelemahan umum. Keluhan yang kurang umum
termasuk reaksi kulit dan gangguan kardiorespirasi dan SSP, termasuk
meningitis aseptik (Goodman & Gilman’s, 2008).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Immunosupresan merupakan zat-zat yang justru menekan aktivitas sistem
imun dengan jalan interaksi di berbagai titik dari sistem tersebut. Mekanisme
kerja obat imunosupresan berdasarkan penghambatan atau supresi reaksi umum
secara dini. Selain dengan obat, imunosupresi dapat juga diperoleh dengan
memanipulasi jumlah Ag dan Ab dalam tubuh. Golongan obat immunosupresan
diantaranya adalah kortikosteroid (glukokortikoid), inhibitor kalsineurin, obat
antiproliferatif dan antimetabolik serta antibodi.
3.2 Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah
tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang membangun
dari para pembaca.

12
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI.

Goodman & Gilman’s. 2008. Manual of Pharmacology and Therapeutics. New York:
Mc Graw Hill

Janet L, Stringer. 2006. Konsep dasar farmakologi Edisi III. EGC: Jakarta.

13

Anda mungkin juga menyukai