OBAT IMUNOSUPRESAN
DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK II
MAKASSAR
2012
KATA PENGANTAR
Kelompok II
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………..……………………………….…..
Daftar Isi………………………………………………………………………….
BAB I : PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah……………..................................
b. Tujuan………………………………………………………….
c. Rumusan Masalah……………………….…………………..
BAB II : PEMBAHASAN
Analisis Masalah……...…………………………………..…….
BAB III : PENUTUP
a. Kesimpulan……………….…………………………………..
b. Saran…………………………………………………………..
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam ilmu kedokteran, Imunitas pada mulanya berarti
resistensi relative terhadap suatu mikroorganisme. Resistensi
terbentuk berdasarkan respon imunologik. Selain membentuk
resistensi terhadap suatu infeksi, respon imun juga dapat
mengakibatkan terjadinya berbagai penyakit. Oleh karena itu, pada
masa sekarang arti respons imun sudah lebih luas yang pada
dasarnya mencakup pengertian pengaruh zat atau benda asing bagi
suatu makhluk hidup, dengan segala rangkaian kejadian yang
mengakibatkan system retikuloendotelial. Rangkaian kejadian yang
dimaksud adalah netralisasi, metabolisme ataupun penyingkiran zat
asing dengan atBeberapa obat antikanker ataupun imunosupresan
yang tersu tanpa akibat berupa gangguan pada makhluk hidup yang
bersangkutan.
Sekarang pengertian dasar imunologik sudah berkembang
sedemkian rupa, sehingga telah ditemukan cara pengobatan penyakit
imunologik secara lebih terarah.
Dalam makalah ini dibicarakan obat yang menekan respon
imun. Walaupun umumnya imunosupresan merupakan sitostatik atau
turunannya, pembahasanpun akan dibatasi pada hal-hal yang
berhubungan dengan sifat
B. Tujuan
Agar mahasiswa mampu mengetahui tentang obat
imunosupresan, jenis - jenis obat imunosupresan, serta lebih
memahami tentang kegunaan dan cara mengatasi efek samping dari
obat tersebut.
C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Obat Imunosupresan
2. Deskripsi obat imunosupresan
3. Prinsip umum terapi imunosupresan
4. Efek samping obat imunosupresan
5. Jenis-jenis obat imunosupresan
6. Mekanisme kerja obat imunosupresan
7. Hubungan/interaksi obat imunosupresan
BAB II
PEMBAHASAN
Analisis Masalah
Analisis masalah yang dapat dijelaskan berdasarkan rumusan
maslah adalah sebagai berikut:
1. Obat imunosupresan
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk
menekan respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi,
mengatasi penyakit autoimun dan mencegah hemolisis rhesus
dan neonatus. Sebagain dari kelompok ini bersifat sitotokis dan
digunakan sebagai antikanker. Immunosupresan merupakan zat-
zat yang justru menekan aktivitas sistem imun dengan jalan
interaksi di berbagai titik dari sistem tersebut. Titik kerjanya dalam
proses-imun dapat berupa penghambatan transkripsi dari cytokin,
sehingga mata rantai penting dalam respon-imun diperlemah.
Khususnya IL-2 adalah esensial bagi perbanyakan dan diferensial
limfosit, yang dapat dihambat pula oleh efek sitostatis langsung.
Lagi pula T-cells bisa diinaktifkan atau dimusnahkan dengan
pembentukan antibodies terhadap limfosit.
Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu,
transplanatasi organ, penyakit autoimun, dan pencegahan
hemolisis Rhesus pada neonatus.
4. Antibody
RHo (D) immunoglobulin. Antibody ini merupakan
bentuk spesifik dalam pengobatan imunologi untuk ibu dengan
RHo (D) negative yang terpapar darah RHo (D) positif pada
perdarahan karena abortus, amniosintesis, trauma abdomen
atau kelahiran biasa dari janin. Pemberian obat ini akan
menghambat respons imun dan mengurangi risiko hemolitik
janin pada kehamilan berikut. Dosis besar obat ini dapat
diberikan pada penderita transfuse darah yang tidak cocok.
SEDIAAN DAN DOSIS. RHo (D) immunoglobulin terdapat
dalam alat suntik atau vial untuk pemberian intramuscular,
setiap dosis dapat mnetralisir 15ml darah merah RHo (D)
positif. Dosis besar dipergunakan untuk transfusi darah yang
tidak cocok atau pada perdarahan fetomaternal.
RHo (D) immunoglobulin terbaik diberikan selama 72jam
dari kelahiran. RHo (D) immunoglobulin juga terdapat dalam
preparat dosis rendah yang dapat menetralisir2,5ml darah
merah RHo (D) positif. Preparat ini dipergunakan untuk
pencegahan pada wanita RHo (D) negative pada kelahiran
atau 12 minggu kehamilan. Bila suami wanita tersebut RHo (D)
positif. Preparat ini dengan dosis besar digunakam pada
kehamilan 13 minggu.
Obat imunosupresan seperti klorambusli, levamisol tidak
banyak lagi digunakan.
Thalidomide sedang dalam penelitian lebih lanjut sebagai
imunosupresan dalam cangkok sumsum tulang. Meskipun
mempunyai efek teratogenik obat ini juga dipergunakan untuk
mengatasi peradangan pada penderita lepra tipe leproma
5. Metotreksat
Metoreksat merupakan antineoplasia, digunakan sebagai
obat tunggal atau kombinasi dengan siklosporin dalam
mencegah penolakan cangkok sumsum tulang. Metoreksat
juga berguna untuk penyakit autoimun dan peradangan
tertentu. Metoreksat merupakan penghambat kuat enzim
dihidrofolat reduktase, sehingga akan menimbulkan efek
biosintesis timidilat dan purin.
Aktivitas imunospresi dari obat ini menunjukkan
hambatan replikasi dan fungsi dari sel T dan mungkin sel B
karena adanya efek terhadap sintesis DNA secara selektif.
Pada penderita leukemia yang dilakukan tindakan cangkok
sumsum tulang, kambuhnya leukemia lebih jarang bila
diberikan metoreksat dibandingkan pemberian siklosporin. Ini
mungkin disebabkan efek anti leukemik intrinsic dari
metotreksat.
Metoreksat akhir-akhir ini disetujui untuk dipergunakan
dalam pengobatan arthritis reumatid yang aktif dan berat pada
orang dewasa dan pada psoriasis yang sudah refrakter
terhadap obat lain. Untuk arthritis reumatid, dosis metotreksat
yang biasa digunakan adalah 7,5 mg sekali seminggu. Ini
dapat diberikan secara terbagi 3kali dalam interval 12jam.
Dosis dapat ditingkatkan perlahan-lahan sampai maksimum
20mg perminggu. Untuk proriasis dapat diberikan dengan
dosis yang sama.
Pada pengobatan jangka lama dengan metotreksat dosis
rendah, maka efek toksik yang dilaporkan yaitu terjadinya
fibrosis dan sirosis hati pada 30-40% penderita psoriasis yang
diberikan obat ini. Sedangkan pada pengobatan arthritis
rheumatoid kejadiannya rendah. Kelainan-kelainan ini
terutama terjadi pada peminum alcohol. Pneumonitis akut dan
kronik juga terjadi pada arthritis rheumatoid, sedangkan pada
psoriasis kejadiannya rendah. Efek toksik ini umumnya
reversibibel. Mekanisme dan factor resikonya belum diketahui.
SEDIAAN DAN DOSIS: Dosis 100 – 500 mg/m²
membutuhkan leucovorin rescue, > 500 mg/m² harus
menggunakan leucovorin rescue baik secara iv, im, maupun
oral. Leucovorin 10 mg/m² setiap 6 jam untuk 6-8 dosis
dimulai 24 jam setelah pemberian metotreksat. Pemberian
leucovorin dilanjutkan sampai kadar metotreksat dalam darah
sebesar < 0.1 micromolar. Jika kadar metotreksat setelah 48
jam > 1 mikromolar atau setelah 72 jam > 0.2
micromolar,berikan leucovorin 100 mg/m² setiap 6 jam sampai
kadar metotreksat sebesar < 0.1 micromolar.
Efek samping beragam sesuai rute pemberian dan dosis.
1. Hematologi dan/atau toksisitas gastrointestinal : sering
terjadi pada penggunaan umum dari dosis umum
metotreksat; reaksi ini lebih sedikit terjadi ketika
digunakan pada dosis topikal untuk reumatoid artritis.
2. SSP : (dengan pemberian intratekal atau terapi dosis
tinggi): Arachnoides: Manifestasi reaksi akut sebagai sakit
kepala hebat, rigidity nuchal, muntah dan demam, dapat
alleviated dengan pengurangan dosis.
3. Subakut toksisitas: 10% pasien diobat dengan 12-15
mg/m2 dari intratekal metotreksat bisa membuat ini dalam
minggu kedua atau ketiga dari terapi; konsis dari paralisis
motor dari ekstremites,palsy nerve kranial, seizure, atau
koma.Hal ini juga terlihat pada pediatrik yang menerima
dosis tinggi IV metotreksat.
4. Demyelinating enselopati: telihat dalam bulan atau tahun
setelah menerima metotreksat; biasanya diasosiasikan
dengan iradiasi kranial atau kemoterapi sistemik yang lain.
5. Dermatologi: Kulit menjadi kemerahan.Endokrin dan
metabolik: Hipoerurikemia,detektif oogenesis, atau
spermatogenesis.
6. GI: Ulserativ stomatitis, glossitis, gingivitis, mual, muntah,
diare, anoreksia, perforasi intestinal, mukositis (tergantung
dosis; terlihat pada 3-7 hari setelah terapi, terhenti setelah
2 minggu)
7. Hematologi: Leukopenia, trombositopenia.Ginjal: Gagal
ginjal, azotemia,nefropati.Pernafasan: Faringitis. 1%-10%
8. Kardiovaskular: Vaskulitis.SSP, pusing, malaise,
enselopati, seizure, demam, chills.
9. Myelosupresif : Terutama faktor batas-dosis (bersama
dengan mukositis) dari metotreksat, terjadi sekitar 5-7 hari
setelah terapi, dan harus dihentikan selama 2 minggu.
10. WBC : Ringan, Platelet: Sedang, Onset: 7 hari, Nadir: 10
hari, Recovery: 21 hari
11. Hepatik : Sirosis dan fibrosis portal pernah diasosiasikan
dengan terapi kronik metotreksat, evaliasi akut dari enzym
liver adalah biasa terjadi setelah dosis tinggi dan biasanya
resolved dalam 1 hari.Neuromuskular dan skeletal:
Arthalgia.Okular: Pandanga
12. Renal : Disfungsi ginjal. Manifestasi karena abrupt rise
pada serum kreatinin dan BUN dan penurunan output urin,
biasa terjadi pada dosis tinggi dan berhubungan dengan
presipitasi dari obat.
13. Respirator (Penumositis) : Berhubungan dengan demam,
batuk, dan interstitial pulmonari infitrates; pengobatan
dengan metotreksat selama reaksi akut; interstitial
pneumisitis pernah dilaporkan terjadi dengan insiden dari
1% pasien dengan RA (dosis 7.5-15 mg/minggu) <1%
(terbatas sampai penting untuk penyelamatan hidup):
Neurologi akut sindrom (pada dosis tinggi- simptom
termasuk kebingungan, hemiparesis, kebutaan
transisi,dan koma); anafilaksis alveolitis; disfungsi kognitif
(pernah dilaporkan pada dosis rendah),penurunan
resistensi infeksi,eritema multiforma, kegagalan hepatik,
leukoenselopati (terutama mengikuti irasiasi spinal atau
pengulangan terapi dosis tinggi),disorder limpoproliferatif,
osteonekrosis dan nekrosis jaringan lunak (dengan
radioterapi), perikarditis, erosions plaque (Psoriasis),
seizure (lebih sering pada pasien dengan ALL),sindrom
Stevens – Johnson, tromboembolisme.
6. Siklosfosfamid
Secara umum siklosfamid mengurangi respon imun
humoral dan meningkatkan respons imun selular. Bila
diberikan sebelum Ag masuk, siklofosfamid menginaktivasi sel
precursor dan menurunkan populasi sel B dengan jelas. Bila
diberikan 1-2 hari sesudah Ag masuk, obat ini mematikan sel
B yang sedang berpoliferasi. Pada manusia, efeknya lebih
jelas bila diberikan satu atau dua hari setelah stimulasi Ag.
Walaupun respons Ab primer ditekan, sedikit pengaruhnya
terhadap respons sekunder. Kadang-kadang Ab-lgE
meningkat, mungkin karena inaktivasi sel supresor.
Pemberian siklofosfamid beberapa hari sebelum imunisasi,
umumnya meninggalkan imunitas selular. Pada marmot dan
tikus, respons hipersensitivitas lambat (delayed
hypersensitivity) meningkat dan jumlah bakteri yang
dibutuhkan untuk menimbulkan respons tersebut berkurang.
Di dalam tubuh, siklofosfamid harus diaktifkan dulu oleh
enzim mikrosom di hati. Karena itu penggunaan bersama obat
lain yang mempengaruhi sistem enzim ini, antara lain
fenobarbital dan glukokortikoid, memerlukan penyesuaian
dosis untuk masing-masing obat yang berinteraksi tersebut,
guna memperoleh efek yang optimal.
Siklosfamid, selain pada bedah cangkok, juga digunakan
pada arthritis rheumatoid, sindrom nefrotik (terutama pada
anak) dan granulamatosis Wegener; penggunaannya pada
penyakit lainnya masih perlu diteliti lebih lanjut. Dosis berkisar
antara 1,5-3 mg/kgBB sehari. Pada arthritis rheumatoid,
biasanya respons klinik diperoleh bersamaan dengan
timbulnya leucopenia (2500-4000/ml). untuk menghindari
bahaya infeksi berat, jumlah sel PMN diusahakan paling
sedikit 1000/ml. pada sindrom nefrotik anak yang sering
kambuh dengan terapi kortikosteroid, siklofosfamid dapat
mempertahankan remisi yang dihasilkan kortikosteroid,
bahkan juga setelah kedua jenis obat tersebut dihentikan
pemberiannya. Hasil terapi pada sindrom nefrotik lebih
memuaskan daripada arthritis rheumatoid. Manfaat
siklofosfamid jelas pada granulomatosis wegwner, suatu
penyakit yang cepat sekali fatal sifatnya dan tidak banyak
dapat dipengaruhi oleh kortikosteroid. Tetapi remisi yang
diperoleh tidak dapat dikatakan berdasarkan mekanisme
imunosupresan siklofosfamid, karena dasar penyakit masih
belum jelas terungkap.
Fase kedua adalah fase produksi yaitu fase sintesis akibat Ab dan
limfokin.
1. Busulfan
2. L-Melfalan
3. D-Melfalan
4. Glukokortikoid:
Prednison
Prednisolon
Glukokortikoid lainnya
5. Mitomisin C
6. Kolkisin
7. Fitohemaglutinin
8. Sinar X
Imunosupresan kelas II adalah yang harus diberikan dalam
fase induksi; biasanya satu atau dua hari setelah perangsangan
oleh Ag berlangsung. Obat golongan ini bekerja menghambat
proses diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten, misalnya
antimetabolit. Jika diberikan sebelum adanya perangsangan olah
Ag, umumya tidak memperlihatkan efek imunosupresif; malaha
sebaliknya, beberapa obat tersebut justru dapat mingkatkan
respon imun, umpamanya azatioprin dan metotreksat. Bagaimana
mekanisme terjadinya hal yang disebut belakangan belum
diketahui dengan pasti. Pilihan imunosupresan Kelas II
1. Klorambusil
2. Metotreksat
3. Azatioprin
4. 6-Merkaptopurin (6-MP)
5. Sitarabin (ARA-C)
5-Bromo-deoksiuridin (5-BudR)
5-Fluoro-deoksiuridin (5-FudR)
6. 5-Fluorourasil (5-FU)
7. Vinblastin (VBL)
8. Vinkristin (VCR)
9. Siklosporin
Imunosupresan kelas III memiliki sifat imunosupresan kelas
I maupun kelas II. Jadi, golongan ini dapat menghasilkan
imunosupresan bila diberikan sebelum maupun sesudah adanya
perangsangan oleh Ag. Pilihan imunosupresan Kelas III
1. Siklofosfamid
2. Prokarbazin
Namun dalam beberapa obat yang tertera dalam kelas
pilihan imunosupresan , hanya beberapa saja yang telah lazim
digunakan sebagai imunosupresan, yaitu ;
1. Alkilator: siklosfamid dan klorambusit
2. Antimetabolit: azatioprin dan 6-Merkaptopurin (6-MP),
Metotreksat
3. Kortikosteroid; prednisolon dan prednisone
4. Siklosporin
e. Kemoterapi
Walaupun tampaknya ada tumpang tindih antara obat
imunosupresan dan obat kemoterapi kanker, ada perbedaan
prinsip yang jelas dalam penggunaannya. Pertama, Karakter
dan kinetik dari proliferasi sel kanker tidak identikdengan
proliferasi sel imun dan berbeda sifat dalam imunosupresi.
Misalnya, proliferasi sel kanker terjadi secara spontan, tetapi
proliferasi sel imun biasanya merupakan respons Ag yang
spesifik. Pembelahan sel kanker individual didalam
populasi yang besar, terjadi secara rendom dan
unsyncinchronized. Sedangkan proliferasi sel imun berupa
ledakan pembelahan mitotik syncinchronized dan terjadilah
ketebalan yang spesifik setelah mengenal Ag. Sitotoksik
yang digunakan pada awal terpajannya antigen asing
(misalnya pada cangkok ginjal), akan merusak sebagian besar
dari jumlah kecil sel prekursor. Hal ini terjadi, karena antigen
cenderung merangsang proliferasi dan klon selektif daripan
semua klon sel imun. Dengan demikian tidak terjadi produksi
klon imun yang tidak diinginkan. Sebaliknya hal ini tidak dapat
dilakukan dalam terapi kanker.
Perbedaan yang kedua ialah sewaktu obat sitotoksik
digunakan untuk imunosupresi, umumnya diberikan dosis
rendah harian untuk ,emgha,bat imunoproliferasi jangka
panjang. Tetapi dalam terapi kanker, obat ini diberikan secara
intermiten dengan dosis tinggi setiap 3-6 minggu
f. Tacrolimus (prograf)
Senyawa makrolida ini diekstraksi dari jamur
streptomyces tsukubaensis (1993). Khasiat dan mekanisme
immunosupressivenya sama dengan sikolosporin, tetapi ca
lebih kuat 50x dalam hal pencegahan sintesa IL-2 yang mutlak
perlu untuk proliferasi sel –T. Juga bersifat sangat lipofil dan
sama efektifnya dengan siklosporin pada transplantasi hati,
jantung, paru-paru, dan ginjal. Terutama digunakan bersama
kortikosteroida. Lebih sering menimbulkan efek samping
berupa toksisitas bagi ginjal dan saraf.
Dosis : infuse i.v. 0,05-0,1 mg /kg/hari, 6 jam setelah
transplantasi selama 2-3 hari, lalu dilanjutkan oral 0,15-0,3
mg/kg/hari dalam 2 dosis.
g. Mycofenolat-mofetil (CellCept)
Obat terbaru ini (1996) adalah prodrug dengan khasiat
menekan perbenyakan dari khusus limfosit melalui inhibisi
enzim dehidrogenasi yang diperlukan untuk sintese purin
(DNA/RNA). Ternyata sangat efektif untuk melawan
penolakan akut setelah transplantasi ginjal. Dibandingkan
dengan obat-obat lainya , yaitu azatioprin dan siklosporin (
dan prednisone), persentase penolakan dikurangi sampai
50%. Lagi pula efek sampingnya lebih sedikit. Mungkin
berdaya pula untuk menghambat penolakan menahun (jangka
panjang) yang smpai kini merupakan maslah besar.
Resorpsinya dari usus baik, dengan BA 90%. Dalam
hati segera diubah menjadi asam mycofenolat aktif .
Ekskresinya berlangsung melaluiurin sebagai glukuronidanya
(inaktif), sesudah mengalami resirkulasi enterohepatis.
Plasma – t1/2 mycofenolat adalah ca 16 jam.
Dosis : dalam waktu 72 jam setelah transplantasi 2 dd 1ga.c
dengan minyak air.
h. Talidomida (synovir)
Derivat-piperidin ini (1957) adalah obat tidur dengan
efek teratogen sangat kuat (peristiwa softenon, 1962, lihat
edisi empat), yang berdasarkan khasiat anti-angiogenesisnya.
Juga berdaya imunosupresif (anti-TNF). Dan antiradang.
Setelah dilarang peredaranya selama lebih dari 25 tahun,
sejak awal tahun 1990-an talidomida mulai digunakan lagi
antara lain untuk menekan reaksi lepra dan meringankan
gejala AIDS seperti (aphtae) dimulut , kerongkongan, dan
kemaluan, serta diare dan kehilangan bobot serius. Di AS
penggunaanya pada lepra disahkan kembali sejak akhir tahun
1997 dengan syarat- syarat ketat. Dewasa ini efektivitasnya
sedang diselidiki secara klinis untuk berbagai penyakit auto-
imun.
i. Sulfalazin (sulcolon)
Sulfalazin adalah persenyawaan sulfapiridin dengan 5-
ASA yang bersifat antiradang dengan jalan blokade siklo-
oksigenase serta lipoksigenase dan dengan demikian
mencegah sintesis prostaglandin dan leukotrien . Sulfalazin
mempengaruhi fungsi limfosit, mungkin lewat cytokine, juga
berdaya antioksidans ( ‘ Menangkap’ radikal bebas O2). Zat ini
digunakan khusus pada penyakit usus beradang kronis
(crohn, colitis) dan pada rema.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan manfaat
yang sangat besar bagi pembaca khususnya mahasiswa keperawatan
terutama pengaplikasiannya dalam dunia kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA