Anda di halaman 1dari 27

Tugas MK Farmakologi

OBAT IMUNOSUPRESAN

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK II

Rahmawati 142 2011 0115


Wa Ode Yasti 142 2011 0115
Indhira Permata Munaris Putri 142 2011 0115
Mawarni 142 2011 0115
Siti Nurwahidah 142 2011 0115
Rukmini 142 2011 0115
Karyati 142 2011 0115
Irma Indah Yanti 142 2011 0115

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR
2012
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT, atas


limpahan rahmat dan karunianya, sehingga makalah ini selesai dikerjakan.
Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, beliau telah
memperjuangkan dan menegakkan islam sebagai rahmatan lil alamin.
Makalah ini berisi penjelasan tentang “Obat-Obat Imunosupresan“.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, tetapi Insha Allah dengan adanya
makalah ini sudah dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi
pembaca.
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidak lain untuk memenuhi
salah satu dari sekian kewajiban mata kuliah “Farmakologi” serta
merupakan bentuk langsung tanggung jawab kami pada tugas yang
diberikan.
Kami menyadari makalah ini masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa kami
nanti dalam upaya evaluasi diri dan demi penyempurnaan pada makalah
yang kiranya akan kami buat diwaktu mendatang.
Akhirnya kami hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak
sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan
sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi kami,
pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa-mahasiswi Universitas Muslim
Indonesia. Amien ya Rabbal ‘alamin.

Kelompok II
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………..……………………………….…..
Daftar Isi………………………………………………………………………….

BAB I : PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah……………..................................
b. Tujuan………………………………………………………….
c. Rumusan Masalah……………………….…………………..
BAB II : PEMBAHASAN
Analisis Masalah……...…………………………………..…….
BAB III : PENUTUP
a. Kesimpulan……………….…………………………………..
b. Saran…………………………………………………………..

Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam ilmu kedokteran, Imunitas pada mulanya berarti
resistensi relative terhadap suatu mikroorganisme. Resistensi
terbentuk berdasarkan respon imunologik. Selain membentuk
resistensi terhadap suatu infeksi, respon imun juga dapat
mengakibatkan terjadinya berbagai penyakit. Oleh karena itu, pada
masa sekarang arti respons imun sudah lebih luas yang pada
dasarnya mencakup pengertian pengaruh zat atau benda asing bagi
suatu makhluk hidup, dengan segala rangkaian kejadian yang
mengakibatkan system retikuloendotelial. Rangkaian kejadian yang
dimaksud adalah netralisasi, metabolisme ataupun penyingkiran zat
asing dengan atBeberapa obat antikanker ataupun imunosupresan
yang tersu tanpa akibat berupa gangguan pada makhluk hidup yang
bersangkutan.
Sekarang pengertian dasar imunologik sudah berkembang
sedemkian rupa, sehingga telah ditemukan cara pengobatan penyakit
imunologik secara lebih terarah.
Dalam makalah ini dibicarakan obat yang menekan respon
imun. Walaupun umumnya imunosupresan merupakan sitostatik atau
turunannya, pembahasanpun akan dibatasi pada hal-hal yang
berhubungan dengan sifat

B. Tujuan
Agar mahasiswa mampu mengetahui tentang obat
imunosupresan, jenis - jenis obat imunosupresan, serta lebih
memahami tentang kegunaan dan cara mengatasi efek samping dari
obat tersebut.
C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Obat Imunosupresan
2. Deskripsi obat imunosupresan
3. Prinsip umum terapi imunosupresan
4. Efek samping obat imunosupresan
5. Jenis-jenis obat imunosupresan
6. Mekanisme kerja obat imunosupresan
7. Hubungan/interaksi obat imunosupresan
BAB II
PEMBAHASAN
Analisis Masalah
Analisis masalah yang dapat dijelaskan berdasarkan rumusan
maslah adalah sebagai berikut:
1. Obat imunosupresan
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk
menekan respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi,
mengatasi penyakit autoimun dan mencegah hemolisis rhesus
dan neonatus. Sebagain dari kelompok ini bersifat sitotokis dan
digunakan sebagai antikanker. Immunosupresan merupakan zat-
zat yang justru menekan aktivitas sistem imun dengan jalan
interaksi di berbagai titik dari sistem tersebut. Titik kerjanya dalam
proses-imun dapat berupa penghambatan transkripsi dari cytokin,
sehingga mata rantai penting dalam respon-imun diperlemah.
Khususnya IL-2 adalah esensial bagi perbanyakan dan diferensial
limfosit, yang dapat dihambat pula oleh efek sitostatis langsung.
Lagi pula T-cells bisa diinaktifkan atau dimusnahkan dengan
pembentukan antibodies terhadap limfosit.
Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu,
transplanatasi organ, penyakit autoimun, dan pencegahan
hemolisis Rhesus pada neonatus.

2. Deskripsi obat imunosupresan


Obat imunosupresan dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Respon imun
Pada mahkluk tingkat tinggi seperti hewan vertebrata
dan manusia, terdapat dua sistem pertahanan (imunitas), yaitu
imunitas nonsepesifik (innate immunity) dan imunitas spesifik
(adaptive imunity).
1. Imunitas nonspesifik : Merupakan mekanisme pertahanan
terdepan yang meliputi komponen fisik berupa keutuhan
kulit dan mukosa; komponen biokimiawi seperti asam
lambung, lisozim, komploment ; dan komponen seluler
nonspesifik seperti netrofil dan makrofag. Netrofil dan
makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing
dan memproduksi berbagai mediator untuk menarik sel-
sel inflamasi lain di daerah infeksi. Selanjutnya benda
asing akan dihancurkan dengan mekanisme inflamasi.
2. Imunitas spesifik : Memiliki karakterisasi khusus antara
lain kemampuannya untuk bereaksi secara spesifik
dengan antigen tertentu; kemampuan membedakan
antigen asing dengan antigen sendiri (nonself terhadap
self) ; dan kemampuan untuk bereaksi lebih cepat dan
lebih efesien terhadap antigen yang sudah dikenal
sebelumnya. Respon imun spesifik ini terdiri dari dua
sistem imun , yaitu imunitas seluler dan imunitas humoral.
Imunitas seluer melibatkan sel limposit T, sedangkan
imunitas humoral melibatkan limposit B dan sel plasma
yang berfungsi memproduksi antibodi.
b. Aktivitas respon imun spesifik
Aktivitas sistem imun spesifik memerlukan partisipasi
kelompok sel yang disebut sebagai antigen presenting sel.

3. Prinsip umum terapi imunosupresan


Prinsip umum penggunaan imunosupresan untuk mencapai
hasil terapi yang optimal adalah sebagai berikut:
a. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan
dibandingkan dengan respon imun sekunder. Tahap awal
respon primer mencakup: pengolahan antigen oleh APC,
sintesis limfokin, proliferasi dan diferensiasi sel-sel imun.
Tahap ini merupakan yang paling sensitif terhadap obat
imunosupresan. Sebaliknya, begitu terbentuk sel memori,
maka efektifitas obat imunosupresan akan jauh berkurang.
b. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda
terhadap antigen yang berbeda. Dosis yang dibutuhkan untuk
menekan respon imun terhadap suatu antigen berbeda
dengan dosis untuk antigen lain.
c. Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat
imunosupresan diberikan sebelum paparan terhadap antigen.
Sayangnya, hampir semua penyakit autoimun baru bisa
dikenal setelah autoimuitas berkembang, ssehingga relatif
sulit di atasi.

4. Efek samping yang timbul dari obat Imunosupresan


Efek samping imunosupresan dapat dicapai dengan salah
satu cara berikut:
a. Menghambat proses fagositosis dan pengolahan Ag menjadi
Ag imunogenik oleh makrofag
b. Menghambat pengenalan Ag oleh sel limfoid imunokompeten
c. Merusak sel limfoid imunokompeten
d. Menekan diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten,
sehingga tidak terbentuk sel plasma penghasil Ab, atau sel T
yang tersensitisasi untuk respon imun selular
e. Menghentikan produksi Ab oleh sel plasma, serta
melenyapkan sel T yang tersensitisasi yang telah terbentuk.
Beberapa imunosupresan mempengaruhi berbagai reaksi
respon imun,umpamanya reaksi inflamasi.
5. Jenis-jenis obat imunosupresan
Selain dengan obat, imunosupresi dapat juga diperoleh
dengan memanipulasi jumlah Ag(antigen) dan Ab(antibody) dalam
tubuh. Penggunaan imunospuresan bertujuan untuk mendapatkan
toleransi spesifik(terarah), yaitu toleransi terhadap suatu antigen
tertentu saja. Alas an dikehendakinya suatu toleransi spesifik, dan
bukan umum, ialah karena toleransi umum dapat membahayakan
individunya. Khususnya memudahkan timbulnya penyakit infeksi
berat. Tetapi sayangnya toleransi spesifik seringkali sulit dicapai.
Namun perlu dimengerti bahwa bila Ag masih terdapat dalam
tubuh, reaksi imunologik akan muncul kembali dengan
penghentian pemberian imunosupresan.
1. Azatioprin
Banyak obat kemoterapi kanker menimbulkan toksisitas
pada sumsum tulang dan imunosupresi. Efek ini digunakan
untuk mencegah penolakan cangkok organ. Azitoprin sudah
dipergunakan selama 20 tahun untuk menekan penolakan dari
cangkok ginjal dan sudah merupakan prosedur yang
diterimah.
Dalam tubuh, azitioprin dipecah oleh glutation menjadi
merkaptopurin yang akn mempengaruhi sintesis dan
penggunaan RNA dan DNA.
Pemberian allopurinol bersama azatiporin akan
menimbulkan bahaya takar lajak dengan azatiporin, karena
oksidasi merkaptopurin menjadi metabolit yang tidk aktif oleh
xanthin oksidase akn menurun oleh allopurinol.
Pengobatan dengan azitioporin dengan siklosporin dan
prednisone telah dilakukan dibeberapa pusat center untuk
menekan penolakan cangkok organ,tetapi kombinasi ini dapat
meningkatkan terjadinya keganasan dan komplikasi infeksi.
Dokter hanya menggunakan kombinasi ini, bila pemberian
siklosporin dan prednisone saja tidak berkhasiat. Azatioprin
juga dipergunakan untuk pengobatan arthritis rheumatoid
berat yang refrakter.
Tiksisitas terhadap darah seperti leucopenia dn
trombositopenia harus dimonitor dengan baik sebagai
petunjuk penentuan dosis azatioprin. Efek samping:
mual,muntah, biasa terjadi tetapi pengobatan tidak perlu
dihentikan.
SEDIAAN DAN DOSIS. Azitioprin untuk pemberian oral
terdapat dalam bentuk tablet 50 mg dan untuk intravena
dalam bentuk vial berisi 100 mg. Dosis profilaksis adalah 3-10
mg/kg BB/hari diberikan 1-2 hari sebelum cangkok ginjal atau
pada hari operasi, untuk dosisi penunjang 1-3 mg/kg BB/hari
2. Kortikosteroid
Yang digunakan sebagai imunosupresan adalah
glukokotikoid yaitu prednisolon dan prednisone. Terhadap
respons imun humoral, efek glukokoikoid belum dapat
disimpulkan secara tuntas; yang jelas terlihat ialah
pengurangan jumlah imunoglotulin. Terhadap respon imun
selular, glukokortikoid menghambat efek MIF sehingga
makrofag dibebaskan dari jeratan disekitar tempat
pembebassan MIF dan jaringan setempat terhindar dari
kerusakan akibat penghancuran oleh makrofag. Dalam hal ini,
efek glukokotikoid sebenarnya terjadi berdasarkan mekanisme
anti inflamasi.
SEDIAAN DAN DOSIS. Dosis prednisone 1-2 mg/kgBB
secara oral atau parenteral menimbulkan efek imunosupresi
pada limfoid, netrofil dan monosit. Dosis lebih besar dari 2
mg/kgBB tidak meningkatkan efek terapi, tetapi meningkatkan
efek samping obat. Pada peradangan akut yang sedang mulai
nekrotik, pemberian dosis harianterbagi lebih disukai daripada
pemberian berselang (intermiten) pada awal pengobatan. Bila
penyakit atau peradangan cukup stabil, dianjurkan pemberian
berselang, karena cara ini menguntungkan ditinjau dari segi
efek sampingnya. Banyak jadwal pengobatan telah dicoba.
Yang paling popular ialah pemberian berselang dengan dosis
dobel dan dosis harian. Pada erupsi akibat obatyang hebat
misalnya eritrema multiform yang mengenai membrane
mukosa saluran cerna, sebaliknya diberikan IV, karena
adanya gangguan absorpsi akibat rusaknya mukosa saluran
cerna.
3. Siklosporin
Siklosporin berasal dari jamur tolipocladium infalatum
gams. Siklosporin mempunyai efek imunosupresan karena
mempunyai kemampuan yang selektif dalam menghambat sel
T. siklosporin tidak menimbulkan penekanan pada sumsum
tulang seperti imunosupresan golongan sitotoksik.
Siklosporin menyebabkan menurunnya produksi dan
penglepasan limfokin dalam respons untuk merangsang
antigenik. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, siklosporin
menghambat ekspresi dari reseptor interleukin-2. Walaupun
siklosporin dapat menghambat aktivasi T-helper sel,
siklosporin tidak mencegah stimulasi kional ekspansinya oleh
interleukin-2. Hal ini berkaitan dengan dengan ekspresi dari
sel supresor pada konsentrasi yang menghambat induksi
sitotoksik sel T.
Siklosporin harus diberikan sebelum sel T berproliferasi
akibat pajanan anti gen spesifik, tetapi obat ini tidak bersifat
sitotoksik. Target molekuler dari siklosporin adalah protein
yang disebut siklofilin. P rotein ini akan mengikat
siklosporin dengan kuat dan protein ini terutama ada di
jaringan limfoid. Hubungan langsung antara target molekul
dan efek penghambatan produksi interleukin-2 secara cepat
oleh T helper sel masih belum dapat dibuktikan.
Bioavailabilitas siklosporin pada pemberian obat
berkisar antara 20-50%, kadar puncak dalam plasma tercapai
dalam 3-4 jam; 60-70% dari obat ini dalam darah berada pada
eritrosit. Masa paruhbervariasi, rata-rata 6jam. Sangat sedikit
siklosporin atau metabolitnya yang diekskresi melalui urin.
Umumnya diekskresi melalui empedu sesudah dimetaolisme
di dalam hati. Adanya gangguan fungsi hati atau pemberian
obat yang mempunyai efek pada aktivitas enzim sitokrom P 450
akan menimbulkan perubahan dramatis dalam eliminasi
siklosporin. Penderita yang mendapat obat fenitoin,
fenobarbital, trimetoprim-sulfametoksazol, dan rimamfisin
akan meningkatkan bersihan siklosporin. Juga dapat
menimbulkan penolakan organ cangkok karena menurunnya
kadar siklosporin dalam darah.
Obat yang dapat menurunkan bersihan siklosporin
seperti eritromisin, ketokonasol atau ampoterisin B dapat
meningkatkan toksissitas siklosporin, bila kadar siklosporin di
dalam darah tidak dimonitor dengan baik.
Efek toksik utama siklosporin ialah pada ginjal dan efek
ini terjadi pada 25-75% penderita yang diberikan obat ini. Efek
toksik ini tergantung besarnya dosis yang diberikan dan
sifatnya reversible, biasanya perlu dilakukan modifikasi dosis
bila terjadi efek toksik.
Siklosporin digunakan terutama dalam kombinasi
dengan prednisone untuk mempertahankan ginjal, hati dan
cangkok jantung pada transplantasi. Selama 1 tahun cangkok
ginjal dari mayat dapat dipertahankan 70-85%, cangkok hati
lebih dari 60%, sedangkan cangkok jantung lebih dari 80%.
Transplantasi dengan pancreas juga memberikan hasil yang
baik.
Siklosporin juga dipergunakan pada cangkok sumsum
tulang. Uji klinik menunjukkan, bahwa siklosporin mungkin
nerguna untuk mengobati berbagai penhyakit autoimun seperti
reumatid arthritis, glomerulonetritis, alasia sel darah merah,
uveitis dan psoriasis terutama untuk mengatasi eksaserbasi
akut yang refrakter terhadap obat-obatan konvemsional.
SEDIAAN DAN DOSIS. Siklosporin diberikan peroral dalam
larutan yang berisi 100mg/ml. larutan ini dicampur denga susu
atau air jeruk bila hendak diberikan. Formula untuk pemberian
intravena 50 mg/ml diencerkan dengan 0,9% NaCl atau 5%
dekstrose segera sebelum infuse.
Pemberian oral dilakukan 2-24jam sebelum
transplantasi, dengan dosis 15mg/kgBB. Dosis ini diteruskan
1-2 minggu sesudah operasi. Kemudian, tiapminggu dosisnya
dikurangi sampa dosis untuk penunjang 3-10 mg/kgBB
tercapai. Dosis harus diobservasi pada ginjal dengan melihat
bersihan kreatinin. Perlu perhatian pada pederita cangkok
ginjal yang tidak ada tanda-tanda penolakan dengan adanya
toksisitas akibat pemberian siklosporin. Alasannya, pada
biopsy cangkok umunya mempunyai potensi untuk menolak.
Kadar silklosporin di dalam sirkulasi darah dimonitor 24jam
setelah pemberian dosis tunggal oral.
Pada penderita cangkok hati sering terjadi gangguan
fungsi ginjal, karena sindroma hipatorenal. Pengobatan
sebaiknya dimulai dengan azatioprin dan prednisone,
kemudian diganti kombinasi siklosporin dan prednison
sesudah fungsi ginjal membaik.

4. Antibody
RHo (D) immunoglobulin. Antibody ini merupakan
bentuk spesifik dalam pengobatan imunologi untuk ibu dengan
RHo (D) negative yang terpapar darah RHo (D) positif pada
perdarahan karena abortus, amniosintesis, trauma abdomen
atau kelahiran biasa dari janin. Pemberian obat ini akan
menghambat respons imun dan mengurangi risiko hemolitik
janin pada kehamilan berikut. Dosis besar obat ini dapat
diberikan pada penderita transfuse darah yang tidak cocok.
SEDIAAN DAN DOSIS. RHo (D) immunoglobulin terdapat
dalam alat suntik atau vial untuk pemberian intramuscular,
setiap dosis dapat mnetralisir 15ml darah merah RHo (D)
positif. Dosis besar dipergunakan untuk transfusi darah yang
tidak cocok atau pada perdarahan fetomaternal.
RHo (D) immunoglobulin terbaik diberikan selama 72jam
dari kelahiran. RHo (D) immunoglobulin juga terdapat dalam
preparat dosis rendah yang dapat menetralisir2,5ml darah
merah RHo (D) positif. Preparat ini dipergunakan untuk
pencegahan pada wanita RHo (D) negative pada kelahiran
atau 12 minggu kehamilan. Bila suami wanita tersebut RHo (D)
positif. Preparat ini dengan dosis besar digunakam pada
kehamilan 13 minggu.
Obat imunosupresan seperti klorambusli, levamisol tidak
banyak lagi digunakan.
Thalidomide sedang dalam penelitian lebih lanjut sebagai
imunosupresan dalam cangkok sumsum tulang. Meskipun
mempunyai efek teratogenik obat ini juga dipergunakan untuk
mengatasi peradangan pada penderita lepra tipe leproma
5. Metotreksat
Metoreksat merupakan antineoplasia, digunakan sebagai
obat tunggal atau kombinasi dengan siklosporin dalam
mencegah penolakan cangkok sumsum tulang. Metoreksat
juga berguna untuk penyakit autoimun dan peradangan
tertentu. Metoreksat merupakan penghambat kuat enzim
dihidrofolat reduktase, sehingga akan menimbulkan efek
biosintesis timidilat dan purin.
Aktivitas imunospresi dari obat ini menunjukkan
hambatan replikasi dan fungsi dari sel T dan mungkin sel B
karena adanya efek terhadap sintesis DNA secara selektif.
Pada penderita leukemia yang dilakukan tindakan cangkok
sumsum tulang, kambuhnya leukemia lebih jarang bila
diberikan metoreksat dibandingkan pemberian siklosporin. Ini
mungkin disebabkan efek anti leukemik intrinsic dari
metotreksat.
Metoreksat akhir-akhir ini disetujui untuk dipergunakan
dalam pengobatan arthritis reumatid yang aktif dan berat pada
orang dewasa dan pada psoriasis yang sudah refrakter
terhadap obat lain. Untuk arthritis reumatid, dosis metotreksat
yang biasa digunakan adalah 7,5 mg sekali seminggu. Ini
dapat diberikan secara terbagi 3kali dalam interval 12jam.
Dosis dapat ditingkatkan perlahan-lahan sampai maksimum
20mg perminggu. Untuk proriasis dapat diberikan dengan
dosis yang sama.
Pada pengobatan jangka lama dengan metotreksat dosis
rendah, maka efek toksik yang dilaporkan yaitu terjadinya
fibrosis dan sirosis hati pada 30-40% penderita psoriasis yang
diberikan obat ini. Sedangkan pada pengobatan arthritis
rheumatoid kejadiannya rendah. Kelainan-kelainan ini
terutama terjadi pada peminum alcohol. Pneumonitis akut dan
kronik juga terjadi pada arthritis rheumatoid, sedangkan pada
psoriasis kejadiannya rendah. Efek toksik ini umumnya
reversibibel. Mekanisme dan factor resikonya belum diketahui.
SEDIAAN DAN DOSIS: Dosis 100 – 500 mg/m²
membutuhkan leucovorin rescue, > 500 mg/m² harus
menggunakan leucovorin rescue baik secara iv, im, maupun
oral. Leucovorin 10 mg/m² setiap 6 jam untuk 6-8 dosis
dimulai 24 jam setelah pemberian metotreksat. Pemberian
leucovorin dilanjutkan sampai kadar metotreksat dalam darah
sebesar < 0.1 micromolar. Jika kadar metotreksat setelah 48
jam > 1 mikromolar atau setelah 72 jam > 0.2
micromolar,berikan leucovorin 100 mg/m² setiap 6 jam sampai
kadar metotreksat sebesar < 0.1 micromolar.
Efek samping beragam sesuai rute pemberian dan dosis.
1. Hematologi dan/atau toksisitas gastrointestinal : sering
terjadi pada penggunaan umum dari dosis umum
metotreksat; reaksi ini lebih sedikit terjadi ketika
digunakan pada dosis topikal untuk reumatoid artritis.
2. SSP : (dengan pemberian intratekal atau terapi dosis
tinggi): Arachnoides: Manifestasi reaksi akut sebagai sakit
kepala hebat, rigidity nuchal, muntah dan demam, dapat
alleviated dengan pengurangan dosis.
3. Subakut toksisitas: 10% pasien diobat dengan 12-15
mg/m2 dari intratekal metotreksat bisa membuat ini dalam
minggu kedua atau ketiga dari terapi; konsis dari paralisis
motor dari ekstremites,palsy nerve kranial, seizure, atau
koma.Hal ini juga terlihat pada pediatrik yang menerima
dosis tinggi IV metotreksat.
4. Demyelinating enselopati: telihat dalam bulan atau tahun
setelah menerima metotreksat; biasanya diasosiasikan
dengan iradiasi kranial atau kemoterapi sistemik yang lain.
5. Dermatologi: Kulit menjadi kemerahan.Endokrin dan
metabolik: Hipoerurikemia,detektif oogenesis, atau
spermatogenesis.
6. GI: Ulserativ stomatitis, glossitis, gingivitis, mual, muntah,
diare, anoreksia, perforasi intestinal, mukositis (tergantung
dosis; terlihat pada 3-7 hari setelah terapi, terhenti setelah
2 minggu)
7. Hematologi: Leukopenia, trombositopenia.Ginjal: Gagal
ginjal, azotemia,nefropati.Pernafasan: Faringitis. 1%-10%
8. Kardiovaskular: Vaskulitis.SSP, pusing, malaise,
enselopati, seizure, demam, chills.
9. Myelosupresif : Terutama faktor batas-dosis (bersama
dengan mukositis) dari metotreksat, terjadi sekitar 5-7 hari
setelah terapi, dan harus dihentikan selama 2 minggu.
10. WBC : Ringan, Platelet: Sedang, Onset: 7 hari, Nadir: 10
hari, Recovery: 21 hari
11. Hepatik : Sirosis dan fibrosis portal pernah diasosiasikan
dengan terapi kronik metotreksat, evaliasi akut dari enzym
liver adalah biasa terjadi setelah dosis tinggi dan biasanya
resolved dalam 1 hari.Neuromuskular dan skeletal:
Arthalgia.Okular: Pandanga
12. Renal : Disfungsi ginjal. Manifestasi karena abrupt rise
pada serum kreatinin dan BUN dan penurunan output urin,
biasa terjadi pada dosis tinggi dan berhubungan dengan
presipitasi dari obat.
13. Respirator (Penumositis) : Berhubungan dengan demam,
batuk, dan interstitial pulmonari infitrates; pengobatan
dengan metotreksat selama reaksi akut; interstitial
pneumisitis pernah dilaporkan terjadi dengan insiden dari
1% pasien dengan RA (dosis 7.5-15 mg/minggu) <1%
(terbatas sampai penting untuk penyelamatan hidup):
Neurologi akut sindrom (pada dosis tinggi- simptom
termasuk kebingungan, hemiparesis, kebutaan
transisi,dan koma); anafilaksis alveolitis; disfungsi kognitif
(pernah dilaporkan pada dosis rendah),penurunan
resistensi infeksi,eritema multiforma, kegagalan hepatik,
leukoenselopati (terutama mengikuti irasiasi spinal atau
pengulangan terapi dosis tinggi),disorder limpoproliferatif,
osteonekrosis dan nekrosis jaringan lunak (dengan
radioterapi), perikarditis, erosions plaque (Psoriasis),
seizure (lebih sering pada pasien dengan ALL),sindrom
Stevens – Johnson, tromboembolisme.
6. Siklosfosfamid
Secara umum siklosfamid mengurangi respon imun
humoral dan meningkatkan respons imun selular. Bila
diberikan sebelum Ag masuk, siklofosfamid menginaktivasi sel
precursor dan menurunkan populasi sel B dengan jelas. Bila
diberikan 1-2 hari sesudah Ag masuk, obat ini mematikan sel
B yang sedang berpoliferasi. Pada manusia, efeknya lebih
jelas bila diberikan satu atau dua hari setelah stimulasi Ag.
Walaupun respons Ab primer ditekan, sedikit pengaruhnya
terhadap respons sekunder. Kadang-kadang Ab-lgE
meningkat, mungkin karena inaktivasi sel supresor.
Pemberian siklofosfamid beberapa hari sebelum imunisasi,
umumnya meninggalkan imunitas selular. Pada marmot dan
tikus, respons hipersensitivitas lambat (delayed
hypersensitivity) meningkat dan jumlah bakteri yang
dibutuhkan untuk menimbulkan respons tersebut berkurang.
Di dalam tubuh, siklofosfamid harus diaktifkan dulu oleh
enzim mikrosom di hati. Karena itu penggunaan bersama obat
lain yang mempengaruhi sistem enzim ini, antara lain
fenobarbital dan glukokortikoid, memerlukan penyesuaian
dosis untuk masing-masing obat yang berinteraksi tersebut,
guna memperoleh efek yang optimal.
Siklosfamid, selain pada bedah cangkok, juga digunakan
pada arthritis rheumatoid, sindrom nefrotik (terutama pada
anak) dan granulamatosis Wegener; penggunaannya pada
penyakit lainnya masih perlu diteliti lebih lanjut. Dosis berkisar
antara 1,5-3 mg/kgBB sehari. Pada arthritis rheumatoid,
biasanya respons klinik diperoleh bersamaan dengan
timbulnya leucopenia (2500-4000/ml). untuk menghindari
bahaya infeksi berat, jumlah sel PMN diusahakan paling
sedikit 1000/ml. pada sindrom nefrotik anak yang sering
kambuh dengan terapi kortikosteroid, siklofosfamid dapat
mempertahankan remisi yang dihasilkan kortikosteroid,
bahkan juga setelah kedua jenis obat tersebut dihentikan
pemberiannya. Hasil terapi pada sindrom nefrotik lebih
memuaskan daripada arthritis rheumatoid. Manfaat
siklofosfamid jelas pada granulomatosis wegwner, suatu
penyakit yang cepat sekali fatal sifatnya dan tidak banyak
dapat dipengaruhi oleh kortikosteroid. Tetapi remisi yang
diperoleh tidak dapat dikatakan berdasarkan mekanisme
imunosupresan siklofosfamid, karena dasar penyakit masih
belum jelas terungkap.

6. Mekanisme kerja dan pemilihan obat imunosupresan


Beberapa imunosupresan mempengaruhi berbagai respons
imun, umpamanya reaksi inflamasi
Secara praktis, diklinik penggunaan obat imunosupresan
berdasarkan waktu pemberiannya. Untuk itu, respons imun dibagi
dalam dua fase.
Fase pertama adalah fase induksi, yang meliputi
1. Fase pengolahan Ag oleh makrofag dan pengenalan Ag oleh
limfosit imunokompeten
2. Fase proliferasi dan diferensiasi sel B dan sel T,
masingmasing untu respons imun humoral dan selular

Fase kedua adalah fase produksi yaitu fase sintesis akibat Ab dan
limfokin.

Berdasarkan fase-fase tersebut diatas, imunosupresan


dibagi dalam 3 kelas. Imunosupresan kelas I harus diberikan
sebelum fase induksi, yaitu sebelum terjadi perangsangan oleh
Ag. Jadi, kerjanya adalah merusak limfosit imunokompeten.
Contohnya: alkikator radiomimetik dan kortikosteroid. Jika
diberikan setelah terjadi perangsangan oleh Ag, biasanya tidak
diperoleh efek imunosupresif sehingga respons imun dapat
berlanjut terus. Pilihan imunosupresan Kelas I

1. Busulfan
2. L-Melfalan
3. D-Melfalan
4. Glukokortikoid:
Prednison
Prednisolon
Glukokortikoid lainnya
5. Mitomisin C
6. Kolkisin
7. Fitohemaglutinin
8. Sinar X
Imunosupresan kelas II adalah yang harus diberikan dalam
fase induksi; biasanya satu atau dua hari setelah perangsangan
oleh Ag berlangsung. Obat golongan ini bekerja menghambat
proses diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten, misalnya
antimetabolit. Jika diberikan sebelum adanya perangsangan olah
Ag, umumya tidak memperlihatkan efek imunosupresif; malaha
sebaliknya, beberapa obat tersebut justru dapat mingkatkan
respon imun, umpamanya azatioprin dan metotreksat. Bagaimana
mekanisme terjadinya hal yang disebut belakangan belum
diketahui dengan pasti. Pilihan imunosupresan Kelas II
1. Klorambusil
2. Metotreksat
3. Azatioprin
4. 6-Merkaptopurin (6-MP)
5. Sitarabin (ARA-C)
5-Bromo-deoksiuridin (5-BudR)
5-Fluoro-deoksiuridin (5-FudR)
6. 5-Fluorourasil (5-FU)
7. Vinblastin (VBL)
8. Vinkristin (VCR)
9. Siklosporin
Imunosupresan kelas III memiliki sifat imunosupresan kelas
I maupun kelas II. Jadi, golongan ini dapat menghasilkan
imunosupresan bila diberikan sebelum maupun sesudah adanya
perangsangan oleh Ag. Pilihan imunosupresan Kelas III
1. Siklofosfamid
2. Prokarbazin
Namun dalam beberapa obat yang tertera dalam kelas
pilihan imunosupresan , hanya beberapa saja yang telah lazim
digunakan sebagai imunosupresan, yaitu ;
1. Alkilator: siklosfamid dan klorambusit
2. Antimetabolit: azatioprin dan 6-Merkaptopurin (6-MP),
Metotreksat
3. Kortikosteroid; prednisolon dan prednisone
4. Siklosporin

7. Hubungan/interaksi obat imunosupresan


a. Dengan Obat lain
Efek meningkatkan/toksisitas: Pengobatan bersama
dengan NSAID telah menghasilkan supresi sum-sum tulang
berat, anemia aplastik dan toksisitas pada saluran
gastrointestinal. NSAID tidak boleh digunakan selama
menggunakan metotreksat dosis sedang atau tinggi karena
dapat meningkatkan level metotreksat dalam darah (dapat
menaikkan toksisitas):
NSAID digunakan selama pengobatan dari reumatoid
artritis tidak pernah amati, tapi kelanjutan dari regimen
terdahulu pernah diikuti pada beberapa keadaan, dengan
peringatan monitoring. Salisilat bisa meningkatkan level
metotreksat, bagaimanapun penggunaan salisilat untuk
profilaksis dari kejadian kardiovaskular tidak mendapat
perhatian.
b. Dengan Makanan
Level metotreksat bisa menurun jika bersama dengan
makanan. Makanan dengan banyak susu dapat menurunkan
absorpsi metotreksat. Folat dapat menurunkan respons obat.
Hindari echinacea (mempunyai sifat sebagai imunostimulan).
kontradiksi (pengaruh )
c. Kehamilan
d. Ibu menyusui
Metotreksat didistribusikan ke dalam air susu,
dikontraindikasikan untuk ibu menyusui. Bentuk Sediaan :
Tablet 2.5 ml, Vial 5 mg/2ml, Vial 50 mg/2 ml, Ampul 5 mg/ml,
Vial 50mg/5ml

e. Kemoterapi
Walaupun tampaknya ada tumpang tindih antara obat
imunosupresan dan obat kemoterapi kanker, ada perbedaan
prinsip yang jelas dalam penggunaannya. Pertama, Karakter
dan kinetik dari proliferasi sel kanker tidak identikdengan
proliferasi sel imun dan berbeda sifat dalam imunosupresi.
Misalnya, proliferasi sel kanker terjadi secara spontan, tetapi
proliferasi sel imun biasanya merupakan respons Ag yang
spesifik. Pembelahan sel kanker individual didalam
populasi yang besar, terjadi secara rendom dan
unsyncinchronized. Sedangkan proliferasi sel imun berupa
ledakan pembelahan mitotik syncinchronized dan terjadilah
ketebalan yang spesifik setelah mengenal Ag. Sitotoksik
yang digunakan pada awal terpajannya antigen asing
(misalnya pada cangkok ginjal), akan merusak sebagian besar
dari jumlah kecil sel prekursor. Hal ini terjadi, karena antigen
cenderung merangsang proliferasi dan klon selektif daripan
semua klon sel imun. Dengan demikian tidak terjadi produksi
klon imun yang tidak diinginkan. Sebaliknya hal ini tidak dapat
dilakukan dalam terapi kanker.
Perbedaan yang kedua ialah sewaktu obat sitotoksik
digunakan untuk imunosupresi, umumnya diberikan dosis
rendah harian untuk ,emgha,bat imunoproliferasi jangka
panjang. Tetapi dalam terapi kanker, obat ini diberikan secara
intermiten dengan dosis tinggi setiap 3-6 minggu
f. Tacrolimus (prograf)
Senyawa makrolida ini diekstraksi dari jamur
streptomyces tsukubaensis (1993). Khasiat dan mekanisme
immunosupressivenya sama dengan sikolosporin, tetapi ca
lebih kuat 50x dalam hal pencegahan sintesa IL-2 yang mutlak
perlu untuk proliferasi sel –T. Juga bersifat sangat lipofil dan
sama efektifnya dengan siklosporin pada transplantasi hati,
jantung, paru-paru, dan ginjal. Terutama digunakan bersama
kortikosteroida. Lebih sering menimbulkan efek samping
berupa toksisitas bagi ginjal dan saraf.
Dosis : infuse i.v. 0,05-0,1 mg /kg/hari, 6 jam setelah
transplantasi selama 2-3 hari, lalu dilanjutkan oral 0,15-0,3
mg/kg/hari dalam 2 dosis.
g. Mycofenolat-mofetil (CellCept)
Obat terbaru ini (1996) adalah prodrug dengan khasiat
menekan perbenyakan dari khusus limfosit melalui inhibisi
enzim dehidrogenasi yang diperlukan untuk sintese purin
(DNA/RNA). Ternyata sangat efektif untuk melawan
penolakan akut setelah transplantasi ginjal. Dibandingkan
dengan obat-obat lainya , yaitu azatioprin dan siklosporin (
dan prednisone), persentase penolakan dikurangi sampai
50%. Lagi pula efek sampingnya lebih sedikit. Mungkin
berdaya pula untuk menghambat penolakan menahun (jangka
panjang) yang smpai kini merupakan maslah besar.
Resorpsinya dari usus baik, dengan BA 90%. Dalam
hati segera diubah menjadi asam mycofenolat aktif .
Ekskresinya berlangsung melaluiurin sebagai glukuronidanya
(inaktif), sesudah mengalami resirkulasi enterohepatis.
Plasma – t1/2 mycofenolat adalah ca 16 jam.
Dosis : dalam waktu 72 jam setelah transplantasi 2 dd 1ga.c
dengan minyak air.
h. Talidomida (synovir)
Derivat-piperidin ini (1957) adalah obat tidur dengan
efek teratogen sangat kuat (peristiwa softenon, 1962, lihat
edisi empat), yang berdasarkan khasiat anti-angiogenesisnya.
Juga berdaya imunosupresif (anti-TNF). Dan antiradang.
Setelah dilarang peredaranya selama lebih dari 25 tahun,
sejak awal tahun 1990-an talidomida mulai digunakan lagi
antara lain untuk menekan reaksi lepra dan meringankan
gejala AIDS seperti (aphtae) dimulut , kerongkongan, dan
kemaluan, serta diare dan kehilangan bobot serius. Di AS
penggunaanya pada lepra disahkan kembali sejak akhir tahun
1997 dengan syarat- syarat ketat. Dewasa ini efektivitasnya
sedang diselidiki secara klinis untuk berbagai penyakit auto-
imun.
i. Sulfalazin (sulcolon)
Sulfalazin adalah persenyawaan sulfapiridin dengan 5-
ASA yang bersifat antiradang dengan jalan blokade siklo-
oksigenase serta lipoksigenase dan dengan demikian
mencegah sintesis prostaglandin dan leukotrien . Sulfalazin
mempengaruhi fungsi limfosit, mungkin lewat cytokine, juga
berdaya antioksidans ( ‘ Menangkap’ radikal bebas O2). Zat ini
digunakan khusus pada penyakit usus beradang kronis
(crohn, colitis) dan pada rema.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk


menekan respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi,
mengatasi penyakit autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan
neonatus. Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu,
transplanatasi organ, penyakit autoimun, dan pencegahan hemolisis
Rhesus pada neonatus.

Prinsip umum penggunaan imunosupresan untukmencapai


hasil terapi yang optimal adalah sebagai berikut:
1. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan
dibandingkan dengan respon imun sekunder.
2. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap
antigen yang berbeda.
3. Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat
imunosupresan diberikan sebelum paparan terhadap antigen.
Beberapa contoh obat imunosupresan antara lain Azatioprin ,
Metotreksat (MTX) , Siklofosfamid, Kortikosteroid , Siklosporin
(Cyclosporin A) , Rho (D) imunoglobulin, Tacrolimus (prograf) ,
Mycofenolat-mofetil (CellCept) , Talidomida (synovir), Sulfalazin
(sulcolon) .

B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan manfaat
yang sangat besar bagi pembaca khususnya mahasiswa keperawatan
terutama pengaplikasiannya dalam dunia kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswarna Sulista. Farmakologi dan Terapt. Jakarta: Gaya Baru, 1995

Anda mungkin juga menyukai