Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

EFEKTIVITAS OBAT IMUNOSUPRESAN PADA


KONDISI HIPOALBUMINEMIA

disusun oleh :
Mohamad Afif
19/453501/PKU/18399

PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN KESEHATAN MASYARAKAT
DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GAJAH MADA
2022

i
LEMBAR PENGESAHAN

Disetujui pada tanggal : …………………


Pembimbing I : dr. Deshinta Putri Mulya M.Sc, SpPD KAI :………………….

Dipresentasikan pada tanggal : …………………..

Pembimbing I : dr. Deshinta Putri Mulya M.Sc, SpPD KAI………………….

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3

2.1. Obat Imunosupresan......................................................................................3

2.1.1. Glukokortikoid........................................................................................5

2.1.2. Sitostatik...............................................................................................10

2.1.3. Obat yang Bekerja pada Imunofilin......................................................13

2.1.4. Antibodi................................................................................................15

2.1.5. Obat lain................................................................................................16

2.2. Pengaruh Hipoablumi terhadap Kerja Obat Imunosupresan.......................20

BAB 3 PENUTUP.................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang kronis yang


disebabkan oleh karena autoimun dimana kondisi ini akan memengaruhi beberapa
organ dan sistem tubuh. Penyebab dan epidemiologinya tidak diketahui karena
terdapat banyak faktor, seperti etnis, gender, genetik dan aspek lingkungan.
Penyakit ini menyerang 30–50/10.000 orang di seluruh dunia dengan persebaran
terbanyak pada wanita subur.1
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi multisistem
yang belum diketahui penyebabnya dengan perjalanan penyakit yang akut dan
fulminan atau kronik remisi serta eksaserbasi. Systemic lupus erythematosus
merupakan prototipe dari penyakit autoimun sistemik dimana autoantibodi yang
dibentuk melawan sel tubuhnya sendiri. Karakteristik primer SLE berupa
kelemahan, nyeri sendi, dan traum berulang pada pembuluh darah. SLE
melibatkan hampir semua organ, namun paling sering mengenai kulit, sendi,
darah, membran serosa, jantung dan ginjal.1,2
Ginjal merupakan salah satu organ target utama yang terkena penyakit
SLE. Lupus nephritis (LN) adalah bentuk paling umum dari penyakit ginjal pada
SLE, dan terjadi sebagai akibat dari akumulasi kompleks imun di glomeruli ginjal.
Tergantung pada lokasinya di dalam glomeruli, kompleks imun dapat memicu
proliferasi sel ginjal, pembentukan matriks, atau peradangan. Secara klinis,
kompleks imun intra-ginjal dapat bermanifestasi sebagai hematuria, proteinuria,
atau insufisiensi ginjal.3
Data prevalensi nefritis lupus sampai saat ini masih belum banyak
dilaporkan. Insiden LES adalah sekitar 1,5 – 11 per 100.000 orang per tahun.
Insiden nefritis lupus diperkirakan sebesar 40% dari pasien SLE. Nefritis lupus
juga lebih sering ditemukan pada pasien SLE dengan etnik Asia (40-82%), Afrika
(69%), Hispanik (61%), dan American Indian dibandingkan ras Kaukasia (29%).
Di negara Thailand dan Sri Lanka, prevalensi nefritis lupus pada pasien SLE yang
lebih tinggi, yaitu 70-100%. Sampai sekarang belum terdapat studi epidemiologi

1
nefritis lupus di Indonesia. Epidemiologi SLE di Indonesia dilaporkan sebanyak
sekitar 1.250.000 orang dan sebanyak 27,9% mengalami nefropati akibat SLE.4,5
Pasien autoimun ditatalaksana menggunakan agen imunosupresan.
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respon
imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit autoimun dan
mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok ini bersifat
sitotokis dan digunakan sebagai antikanker. Immunosupresan merupakan zat-zat
yang justru menekan aktivitas sistem imun dengan jalan interaksi di berbagai titik
dari sistem tersebut.6
Titik kerjanya dalam proses-imun dapat berupa penghambatan transkripsi
dari cytokin, sehingga mata rantai penting dalam respon-imun diperlemah.
Mekanisme Kerja obat imunosupresan berdasarkan penghambatan/supresi reaksi
umum secara dini. Pada literatur, menunjukkan bahwa tempat kerja obat
imunosupresan dalam mengatasi Selain dengan obat, imunosupresi dapat juga
diperoleh dengan memanipulasi jumlah Ag dan Ab dalam tubuh. Penggunaan
imunosupresan bertujuan untuk mendapatkan toleransi spesifik (terarah), yaitu
toleransi terhadap suatu antigen tertentu saja.6

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Obat Imunosupresan


Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan
respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit
autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok
ini bersifat sitotokis dan digunakan sebagai antikanker. Immunosupresan
merupakan zat-zat yang justru menekan aktivitas sistem imun dengan jalan
interaksi di berbagai titik dari sistem tersebut.6
Titik kerjanya dalam proses-imun dapat berupa penghambatan transkripsi
dari cytokin, sehingga mata rantai penting dalam respon-imun diperlemah.
Khususnya IL-2 adalah esensial bagi perbanyakan dan diferensial limfosit, yang
dapat dihambat pula oleh efek sitostatis langsung. Lagi pula T-cells bisa
diinaktifkan atau dimusnahkan dengan pembentukan antibodies terhadap limfosit.6
Mekanisme Kerja obat imunosupresan berdasarkan penghambatan/supresi
reaksi umum secara dini. Pada literatur, menunjukkan bahwa tempat kerja obat
imunosupresan dalam mengatasi Selain dengan obat, imunosupresi dapat juga
diperoleh dengan memanipulasi jumlah Ag dan Ab dalam tubuh. Penggunaan
imunosupresan bertujuan untuk mendapatkan toleransi spesifik (terarah), yaitu
toleransi terhadap suatu antigen tertentu saja.6
Alasan dikehendakinya suatu toleransi spesifik, dan bukan umum, ialah
karena toleransi umum dapat membahayakan individunya; khusunya
memudahkan timbulnya penyakit infeksi berat. Tetapi sayangnya toleransi
spesifik seringkali sulit dicapai. Perlu dimengerti bahwa bila Ag masih terdapat
dalam tubuh, reaksi imunologik akan muncul kembali dengan penghentian
pemberian imunosupresan.6
Efek imunosupresi dapat dicapai dengan salah satu cara berikut: (1)
Menghambat proses fagositosis dan pengolahan Ag menjadi Ag imunogenik oleh
makrofag; (2) Menghambat pengenalan Ag oleh sel limfoid imunokompeten; (3)
Merusak sel limfoid imunokompeten; (4) Menekan diferensiasi dan proliferasi sel

3
imunokompeten, sehingga tidak terbentuk sel plasma penghasil Ab, atau sel T
yang tersensitisasi untuk respons imun selular; dan (5) Menghentikan produksi Ab
oleh sel plasma, serta melenyapkan sel T yang tersensitisasi yang telah terbentuk.6
Secara praktis, di klinik penggunaan obat imunosupresan berdasarkan
waktu pemberiannya. Untuk itu respons imun dibagi dalam dua fase. Fase
pertama adalah fase induksi, yang meliputi: (1) Fase pengolahan Ag oleh
makrofag, dan pengenalan Ag oleh limfosit imunokompeten; (2) Fase proliferasi
dan diferensiasi sel B dan sel T, masing-masing untuk respons imun humoral dan
selular. Fase kedua: fase produksi, yaitu fase sintesis aktif Ab dan limfokin.6
Berdasarkan fase-fase tersebut di atas, imunosupresan dibagi dalam tiga
kelas. Imunosupresan kelas I harus diberikan sebelum fase induksi, yaitu sebelum
terjadi perangsangan oleh Ag. Jadi, kerjanya adalah merusak limfosit
imunokompeten (limfolitik). Contohnya: alkilator radiomimetic dan
kortikosteroid (sinar X juga bekerja pada fase ini). Apabila diberikan setelah
terjadi perangsangan oleh Ag, biasanya tidak diperoleh efek imunosupresif
sehingga respons imun dapat berlanjut terus.6
Imunosupresan kelas II adalah yang harus diberikan dalam fase induksi;
biasanya satu atau dua hari setelah perangsangan oleh Ag berlangsung. Obat
golongan ini bekerja menghambat proses diferensiasi dan proliferasi sel
imunokompeten, misalnya antimetabolit. Apabila diberikan sebelum adanya
perangsangan oleh Ag, umumnya tidak memperlihatkan efek imunosupresif;
malahan sebaliknya, beberapa obat tersebut justru dapat meningkatkan respons
imun, umpamanya azatioprin dan metotreksat. Bagaimana mekanisme terjadinya
hal yang disebut belakangan belum diketahui dengan pasti. Imunosupresan kelas
III memiliki sifat imunosupresan kelas I maupun kelas II. Apabila golongan ini
dapat menghasilkan imunosupresi bila diberikan sebelum maupun sesudah adanya
perangsangan oleh Ag.6

2.1.1. Glukokortikoid
Glukokortikoid berperan penting dalam pemeliharaan dan pengaturan
fungsi kekebalan dan peredaran darah. Sumbu hipotalamus-hipofisis (HPA)

4
mengatur pelepasan glukokortikoid adrenal. Pelepasan corticotropin-releasing
hormone (CRH) hipotalamus merangsang kelenjar hipofisis untuk menghasilkan
hormon adrenokortikotropin (ACTH) yang bekerja pada korteks adrenal untuk
merangsang pelepasan dan sintesis kortisol, sehingga menyelesaikan siklus
dengan mengelaurkan umpan balik negatif untuk merilis CRH dan ACTH.7,8
Sebagian besar penelitian memperkirakan sekresi glukokortikoid sekitar 5-
10 mg/m2/hari kortisol. Kadar glukokortikoid memiliki variasi diurnal dengan
kadar puncak antara pukul 04.00 dan 08.00, tergantung pada usia. Ada sedikit
produksi kortisol pada malam hari, yang berlangsung dari pukul 02.00 hingga
04.00. Sintesis kortisol dapat meningkat 5 hingga 10 kali lipat dalam kondisi stres
berat, hingga tingkat maksimal sekitar 100 mg/m2/hari. Dalam dosis intravena
yang tinggi (metilprednisolon 250-1000 mg setiap hari selama 1-3 hari) mereka
langsung bersifat limfositotoksik.6,9,10
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di
bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini
berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan
terhadapstres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi,
metabolismekarbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah
laku.6,9,10
Prototip untuk golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang merupakan
glukokortikoid alam. Terdapat juga glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon,
triamsinolon, dan betametason. Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid
yang efek utamanya terhadap keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek
retensi Na dan deplesi K, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen
hepar sangatkecil.6,9,10

a. Farmakodinamik
Kortikosteroid mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon
memasuki sel jaringan melalui membran plama secara difusi pasif di jaringan
target, kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma

5
sel jaringan dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami
perubahan konfirmasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan
kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik.
Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologis steroid.6,9–11
Glukokortikoid dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, degan
jalan meningkatkan efek vasokonstriksi rangsangan adrenergik pada pembuluh
darah kecil. Glukokortikoid menyebabkan penurunan eosinofil, basofil, monosit,
dan limfosit dengan jalan meredistribusinya ke dalam jaringan limfoid dari
sirkulasi. Sebaliknya, glukokortikoid meningkatkan kadar haemoglobin trombosit,
eritrosit, dan leukosit polimorfonuklear dalam darah.6,9–11

Gambar 1. Mekanisme kerja kortikosteroid12

Glukokortikoid memiliki kemampuan untuk mengurangi respon


peradangan secara dramatis dan untuk menekan imunitas. Penggunaan klinik
kortikoteroid sebagai anti-inflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu gejalanya
dihambat, sedangkan penyebabnya masih ada.6,9–11 Mekanisme kerja antiinflamasi
glukokortikosteroid melalui beberapa cara, antara lain:11
1. Difusi pasif glukokortikosteroid melalui membran sel, diikuti pengikatan
ke protein reseptor di sitoplasma. Kompleks hormon-reseptor ini kemudian
bergerak menuju nukleus dan meregulasi transkripsi beberapa gen target.

6
Melalui mekanisme ini, glukokortikosteroid menghambat pembentukan
molekul pro-inflamatory seperti sitokin, interleukin, molekul adhesi, dan
protease; mediator inflamasi lainnya seperti cyclooxygenase-2 dan nitric
oxide synthase.
2. Glukokortikoid meningkatkan pembentukan annexin 1 dan annexin 2 yang
berfungsi mengurangi aktivitas phospholipase A2 yang menurunkan
produksi arachidonic acid dari membran posfolipid yang menyebabkan
terbatasnya pembentukan prostaglandain dan leukotrien.
3. Glukokortikoid juga dikenal mempengaruhi replikasi dan pergerakan sel,
menyebabkan monocytopenia, eosinopenia, dan lymfositopenia, dan
memiliki efek lebih besar pada sel T daripada sel B.
4. Glukokortikoid mempengaruhi aktivasi, proliferasi, dan diferensiasi sel.
Glukokortikoid menekan kadar mediator inflamasi dan reaksi imun, seperti
pada IL-1, IL-2, IL-6, dan pembuatan atau pelepasan tumor necrosis
factor. Fungsi makrofage (termasuk fagositosis, prosessing antigen, dan
cell killing) menurun dengan kortisol, dan penurunan ini mempengaruhi
hipersensitivitas segera ataupun lambat.
5. Glukokortikoid lebih menghambat fungsi monosit dan limfosit daripada
fungsi leukosit polimorfonuklear. Sementara, sel pembuat antibodi,
limfosit B dan sel plasma, relatif resisten terhadap efek supresi
glukokortikoid.
Glukokortikoid juga dapat melakukan penghambatan umpan balik
produksi kortikotropin oleh peningkatn glukokortikoid menyebabkan
penghambatan sintesis glukokortikoid lebih lanjut, sedangkan hormon
pertumbuhan meningkat. Dosis tinggi glukokortikoid merangsang asam lambung
dan produksi pepsin yang dapat menyebabkan eksaserbasi ulkus. Efeknya pada
susunan saraf pusat mempengaruhi status mental. Terapi glukokortikoid kronik
dapat menyebabkan kehilangan massa tulang berat. Miopati mnimbulkan keluhan
lemah.11

7
Gambar 2. Aktifitas glukokortikoid

b. Farmakokinetik
Lebih dari 90% glukokortikoid yang diabsorbsi terikat dengan protein
plasma, kebanyakan terikat dengan globulin pengikat kortikosteroid dan sisanya
dengan albumin. Afinitas globulin tinggi tetapi kapasitas ikatnya rendah,
sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas ikatnya tinggi. Pada kadar
rendah atau normal, sebagian besar kortikosteroid terikat globulin.6,9–11

c. Jenis Obat
Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan
masa kerjanya, yaitu kerja singkat, sedang, dan lama. Sediaan kerja singkat
mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam. Sediaan kerja sedang
mempunyai masa paruh biologis 12-36 jam. Sediaan kerja lama mempunyai masa
paruh biologis lebih dari 36 jam. Kortikosteroid alami yang paling banyak
dihasilkan oleh tubuh adalah kortisol.6,9–11
Tabel 1. Jenis glukokortikoid6
Equivalent Mineralocorti Plasma Half- Duration of
Glucocortic coid Potency Life (menit) Action (jam)
oid Potency
(MG)

8
Short-acting
Hidrocortisone (Cortisol) 20 0,8 90 8-12
Cortisone 25 1 30 8-12
Intermediate-acting
Prednisone 5 0,25 60 24-36
Prednisolone 5 0,25 200 24-36
Methylprednisolone 4 0 180 24-36
Triamcinolone 4 0 300 24-36
Long-acting
Dexamethasone 0,75 0 200 36-54

Prednison merupakan sediaan steroid oral yang paling umum dipilih.


Glukokortikoid biasanya diberikan harian, meskipun utntuk penyakit akut dosis
terpisah harian dapat diberikan. Dosis inisial sering diberikan harian untuk
mengontrol proses penyakit, dapat berkisar antara 2,5 mg sampai beberapa ratus
miligram per hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, pengobatan
glukokortikoid dapat dihentikan tanpa tapering.6,9–11

Gambar 3. Ikatan kimia beberapa kortikosteroid10

9
Dosis minimal yang memungkinkan dari agen short-acting untuk
diberikan setiap pagi akan meminimalisir efek samping. Karena kadar kortisol
memuncak pada sekitar jam 8 pagi, aksis HPA paling sedikit tersupresi bila
diberikan pada pagi hari tersebut. Ini disebabkan karena feedback maksimal dari
supresi sekresi ACTH oleh pituitari telah terjadi. Glukokortikoid kadar rendah
saat malam memberikan efek sekresi yang normal dari ACTH.6,9–11

2.1.2. Sitostatik
2.1.2.1. Zat-Zat Alkilasi (Ankylating Agents)
Agen alkilasi adalah kelas obat antineoplastik atau antikanker yang bekerja
dengan menghambat transkripsi DNA menjadi RNA dan dengan demikian
menghentikan sintesis protein. Agen alkilasi menggantikan gugus alkil untuk
atom hidrogen pada DNA, menghasilkan pembentukan ikatan silang dalam rantai
DNA dan dengan demikian menghasilkan efek sitotoksik, mutagenik, dan
karsinogenik. Tindakan ini terjadi di semua sel, tetapi agen alkilasi memiliki efek
utama pada sel yang membelah dengan cepat yang tidak memiliki waktu untuk
perbaikan DNA.1,6,14

Gambar 4. Dua basa DNA yang dihubungkan silang oleh mustard nitrogen.
Mustarf nitrogen yang berbeda akan memiliki gugus kimia (R) yang berbeda.
Nitrogen mustard paling sering mengalkilasi nitrogen N7 guanin (seperti yang
ditunjukkan di sini) tetapi atom lain dapat dialkilasi15

Hasil akhir dari proses alkilasi menghasilkan kesalahan pembacaan kode


DNA dan penghambatan sintesis DNA, RNA, dan protein serta memicu kematian

10
sel terprogram (apoptosis) dalam sel tumor yang berkembang biak dengan cepat.
Proses ini dapat berakhir dengan kematian sel. Disamping itu dapat terjadi alkilasi
yang kurang intensif terhadap adenin dan sitosin. Reaksi ini dapat menyebabkan
reksi mutagenik, karsinogenik dan sitotoksik. Kerjanya terhadap siklus sel tidak
sesifik.1,6,14
Efek sitotoksik Alkylating agent terutama berkaitan dengan interaksi
antara elektrofil dan DNA. Interaksi ini dapat menyebabkan reaksi substitusi,
reaksi cross-linking, atau reaksi strand-breaking. Dampak dari interaksi
Alkylating agent dengan DNA adalah untuk mengubah informasi yang dikodekan
dalam molekul DNA. Hasil perubahannya ialah dalam penghambatan atau
replikasi DNA yang tidak tepat, dengan hasil berupa mutasi atau kematian sel.
Agen Alkilasi merupakan sebuah reaksi Guanin di dalam DNA.15
Secara umum, guanin akan membentuk ion karbonium (alkil) yang sangat
reaktif di mana gugus alkil ini akan berikatan kovalen silang pada konstituen sel
Nukleofilik. Guanin biasanya terdapat dalam tautomer keto yang dapat berikatan
dengan sitosin. Namun, karena Guanin teralkilasi, maka akan terbentuk tautomer
enol sehingga menyebabkan terjadinya pasangan basa yang abnormal yaitu, basa
guanin yang berikatan dengan basa timin akibat terjadinya miscoding.15

2.1.2.2. Antimetabolit
Bersifat spesifik dengan menghambat enzim essensial yang diperlukan
dalam sintesis DNA. Dan replikasi sel. Bekerja pada fase sintesis siklus sel, oleh
karena itu kerjanya disebt spesifik terhadap fase S, kecuali 5-fluorouracil.
Kebanyakan antimetabolit merupakan analog struktural dari metabolit sel yang
diperlukan untuk pertumbuhan. Obat-obat ini menghambat sintesis asam nukleik
dengan cara: menggantikan metabolit alami sehingga terjadi pesan yang salah;
bersaing dengan metabolit alami dalam enzim yang diperlukan untuk sintesis
senyawa penting.1,6,14

11
Gambar 5. Obat-obatan antimetabolit

Methotrexate (MTX) adalah anti-metabolit yang paling umum digunakan


dalam kemoterapi dan imunosupresan pada penyakit autoimun. Methotrexate
merupakan antagonis asam folat yang disetujui FDA dan diindikasikan untuk
pengobatan rheumatoid arthritis karena potensi dan efektifitasnya yang tinggi.
Methotrexate memiliki mekanisme kerja yang berbeda sebagai agen kemoterapi
dan imunosupresi. Pada kanker, metotreksat bekerja sebagai antimetabolit
antifolat. Metotreksat diambil ke dalam sel oleh pembawa yang disebut pembawa
folat tereduksi manusia (SLC19A1), kemudian membentuk metotreksat-
poliglutamat. Metotreksat dan metotreksat-poliglutamat menghambat enzim
dihidrofolat reduktase yang mengkatalisis konversi dihidrofolat menjadi
tetrahidrofolat sebagai bentuk aktif asam folat.6

2.1.2.4. Antibiotik
Beberapa senyawa alami dengan aktivitas antibiotik juga memiliki
aktivitas antitumor yang kuat dan dikembangkan sebagai agen antikanker.
Antibiotik sitotoksik ini sering dikelompokkan bersama, meskipun mereka
memiliki mekanisme aksi yang beragam, indikasi yang sangat berbeda, berbagai
khasiat dan toksisitas yang khas. Antibiotik sitotoksik yang saat ini digunakan di
Amerika Serikat meliputi: bleomycin (Blenoxane, 1973), dactinomycin
(Cosmegen, 1964), daunorubicin (Cerubidine, 1979), doxorubicin (Adriamycin,
1974), epirubicin (Ellence, 1999), idarubicin (Idamycin, 1990), plicamycin

12
(mithramycin, masih percobaan), mitomycin (Mutamycin, 2002) dan
mitoxantrone (Novantrone, 1987).6

2.1.3. Obat yang Bekerja pada Imunofilin


Cyclosporine atau siklosporin, merupakan obat imunosupresan golongan
inhibitor kalsineurin yang berfungsi untuk mencegah penolakan transplantasi
organ, seperti sumsum tulang, ginjal, dan hati. Cyclosporine juga diindikasikan
pada amyotrophic lateral sclerosis (ALS), focal segmental glomerulosclerosis
yang tidak respon terhadap kortikosteroid pada sindrom nefrotik, keratitis berat
pada dry eyes syndrome.16
Farmakologi cyclosporine atau siklosporin yang utama adalah
menghambat sel T dan produksi sitokin sel T. Mekanisme sekundernya adalah
melalui penghambatan perkembangan dan aktivasi sel B dan antigen presenting
cells, mengurangi produksi antibodi, degranulasi, pelepasan histamin, sintesis
leukotrien, dan ekspresi molekul adhesif. Efek farmakologi cyclosporine
diperoleh melalui pengikatan reseptor intraseluler siklofilin-1, membentuk
kompleks siklofilin-cyclosporine. Kompleks ini akan menghambat kalsineurin
yang mencegah terjadinya defosforilasi dan aktivasi dari nuclear factor of
activated T cells (NFAT).16

13
Gambar 6. Mekanisme kerja cyclosporin dan tacrolamus

NFAT merupakan faktor transkripsi yang meregulasi produksi dari sitokin


proinflamasi seperti interleukin (IL) 1, IL 4, interferon gamma, dan tumor
necrosis factor alpha. Selain itu, penghambatan pada NFAT juga menyebabkan
defisiensi faktor lain yang berkaitan dengan diferensiasi sel T helper, toleransi sel
T, dan perkembangan timosit. Farmakokinetik cyclosporine yang penting
diketahui adalah bahwa pemberian bersama makanan akan menghambat dan
menurunkan absorpsi sehingga kerja obat untuk menangani rheumatoid arthritis,
psoriasis, dan penolakan transplantasi organ menjadi kurang maksimal. Obat ini
didistribusikan secara luas, termasuk ke ASI.16
Absorpsi cyclosporine yang diberikan per oral terjadi inkomplit. Makanan
akan menghambat dan menurunkan absorpsi. Makanan berlemak yang
dikonsumsi sekitar 30 menit pemberian obat akan menurunkan area under the
curve (AUC) hingga 13% dan konsentrasi maksimum hingga 33%. Cyclosporine
didistribusikan secara luas di kompartemen ekstravaskular. Obat ini mayoritas
berikatan dengan protein. cyclosporine dapat menembus sawar plasenta dan
masuk ke ASI.16
Cyclosporine dimetabolisme secara ekstensif di hepar oleh enzim sitokrom
P450-3A. Sebagian kecil juga dimetabolisme di saluran cerna dan ginjal.
Setidaknya telah ada 25 metabolit cyclosporine yang diketahui dan dideteksi di
kandung empedu, feses, darah, dan urin. Semua metabolit ini memiliki aktivitas
biologi dan toksisitas yang minimal dibandingkan obat utama. Waktu paruh
eliminasi dari cyclosporine berkisar antara 5-20 jam, dengan waktu yang lebih
cepat pada anak. Ekskresi terjadi utamanya melalui empedu ke feses, dan sekitar
6% diekskresikan melalui urin.16
Tacrolimus merupakan obat imunosupresif untuk mencegah penolakan
organ pada transplantasi hati dan ginjal. Tacrolimus sediaan topikal digunakan
sebagai antiinflamasi untuk mengatasi eksim, seperti dermatitis atopik. Efek terapi
tacrolimus adalah mengikat protein FK506 dengan mengurangi aktivasi isomerasi
peptidyl-prolyl. Kondisi ini akan menghambat transduksi limfosit T dan IL-2

14
sehingga menekan sistem kekebalan tubuh untuk membantu tubuh menerima
organ baru.17

Gambar 7. Mekanisme imunosupresan pada NFAT

Obat ini merupakan lini pertama untuk pasien pasca transplantasi ginjal
atau transplantasi hati, karena memiliki potensi menekan sistem kekebalan lebih
kuat dibanding obat imunosupresif lainnya, serta risiko efek samping yang lebih
kecil. Efek samping penggunaan tacrolimus adalah infeksi, karena obat ini
menekan sistem kekebalan tubuh. Efek samping lain yang dapat muncul adalah
sakit kepala, diare, mual, muntah, hilang nafsu makan, sulit tidur, dan rasa kebas
pada tangan atau kaki. Kemungkinan seseorang mengalami efek samping dari
obat ini sangat kecil.17
Siklosporin A dan tacrolimus memblokir proliferasi sel-T dengan
menghambat aktivitas fosfatase dari Ca2+ protein teraktivasi kalsineurin
fosfatase, yang diperlukan untuk aktivasi faktor transkripsi NFAT. Kedua obat ini
menghambat kalsineurin dengan terlebih dahulu berikatan dengan molekul
imunofilin; siklosporin A berikatan dengan siklofilin, dan tacrolimus dengan
protein pengikat FK (FKBPs).17

2.1.4. Antibodi
Antibodi adalah salah satu komponen terpenting dari respons imun
humoral. Mereka melindungi inang dari infeksi. Antibodi poliklonal (PoAb) dapat

15
ditingkatkan dengan mengimunisasi hewan. Antibodi monoklonal (MoAb)
diproduksi oleh fusi B-limfosit dengan sel myeloma. Antibodi poliklonal dan
monoklonal memiliki implikasi luas bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia.
Antibodi digunakan sebagai metode imunosupresi yang cepat dan ampuh untuk
mencegah reaksi penolakan akut.18

Tabel 2. Perbedaan antibodi poliklonal dan monoklonal


Antibodi poliklonal Antibodi monoklonal
Tidak mahal dalam pembuatannya Mahal dalam pembuatannya
Tidak butuh teknologi yang terlalu Membutuhkan teknologi yang sangat
canggih canggih
Waktu produksi relatif singkat Waktu produksi lama karena harus
membentuk hibridoma
Menghasilkan antibodi nonspesifik dalam Menghasilkan antibodi spesifik dalam
jumlah banyak jumlah banyak
Mengenal beberapa epitop dalam antigen Hanya mengenal satu epitop dalam
antigen
Kumpulan yang tergentuk bervariasi Setelah hibridoma dibuat konstan dan
sumber yang terbarukan dan semua
kumpulan akan sama

Antibodi terdiri dari dua jenis: Antibodi poliklonal & Antibodi


monoklonal Antibodi poliklonal menghambat limfosit T dan menyebabkan lisis,
sitolisis tersebut dimediasi komplemen dan opsonisasi yang dimediasi sel yang
diikuti dengan pembuangan sel retikuloendotelial dari sirkulasi di limpa dan hati.
Antibodi monoklonal menyasar ke antigen yang ditentukan dengan tepat. Oleh
karena itu, mereka menyebabkan lebih sedikit efek samping.18

2.1.5. Obat lain


2.1.5.1. Statin
Statin mempengaruhi produksi banyak reaktan fase akut, seperti IL-6, IL-
8, TNF-α, monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1), dan C-reactive protein
(CRP). CRP terutama diproduksi oleh hepatosit sebagai respons terhadap IL-6.
Dalam sebuah penelitian in vitro, 14 hepatosit manusia distimulasi dengan IL-6
dengan ada atau tidak adanya simvastatin dan atorvastatin. Hepatosit yang diobati
dengan statin menunjukkan penghambatan yang signifikan dari produksi CRP

16
yang diinduksi IL-6. Penurunan kadar CRP lebih terlihat dengan atorvastatin
dibandingkan dengan statin lainnya.22

Gambar 8. Efek antiinflamasi statin

2.1.5.2. Vitamin D
Vitamin D adalah nama generik dari dua molekul, yaitu ergokalsiferol
(vitamin D2) dan kolekalsiferol (vitamin D3). Prekursor vitamin D hadir dalam
fraksi sterol dalam jaringan hewan (di bawah kulit) dan tumbuh-tumbuhan dalam
bentuk 7-dehidrokolesterol dan ergosterol. Keduanya membutuhkan radiasi sinar
ultraviolet untuk mengubahnya ke dalam bentuk provitamin D3 (kolekalsiferol)
dan D2 (ergokalsiferol). Kedua provitamin membutuhkan konversi menjadi
bentuk aktifmya melalui penambahan dua gugus hidroksil.20
Vitamin D termasuk dalam grup sterol. Mula-mula disangka hanya
terdapat satu jenis vitamin D, tetapi kemudian ternyata terdapat beberapa ikatan
organik yang mempunyai kegiatan vitamin D ini. Berbagai jenis vitamin D ini
dihasilkan dari penyinaran beberapa jenis kolesterol dengan sinar ultraviolet.

17
Gambar 2.9. Struktur Vitamin D

2.1.5.3. Antimalaria
Klorokuin merupakan bentuk amin asidotropik dari kuinin. Klorokuin dan
hidroksiklorokuin memiliki cara kerja yang sama dan struktur yang serupa,
kecuali adanya penambahan gugus hidroksil pada ujung rantai senyawa.
Penambahan ini, menyebabkan HCQ kurang toksik (~40%), serta absorpsi saluran
cerna dan eliminasi ginjal yang lebih cepat dibandingkan CQ. Sebagai anti-
inflamasi, CQ/HCQ meningkatkan pH lisosom sel yang menghadirkan antigen.6,22

Gambar 10. Gugus kimia Kuinolon dan Hidkroksikuinolon

Hal tersebut kemudian diikuti dengan blokade toll-like receptor (TLR)


pada sel dendritik yang menekan aktivasi sel tersebut, serta mengurangi inflamasi
dengan menghambat produksi faktor rheumatoid dan reaktan fase akut. CQ/HCQ
juga terakumulasi dalam sel darah putih dan dengan menstabilkan membran

18
lisosom, menghambat aktivitas enzim yang menyebabkan kerusakan tulang
rawan, yaitu kolagenase dan protease. Setelah TLR-9 mengenali kompleks imun
yang mengandung DNA, selanjutnya dihambat oleh CQ/HCQ sebagai proses anti-
inflamasi anti-DNA, seperti yang terjadi pada SLE.6,22
Hidroksiklorokuin (C18H26ClN3O) merupakan campuran rasemik yang
terdiri dari enansiomer R dan S. Hidroksiklorokuin merupakan turunan klorokuin
yang toksisitasnya lebih rendah dari klorokuin. Hidroksiklorokuin menunjukkan
efek antivirus in-vitro yang unggul dibandingkan dengan klorokuin karena
farmakokinetiknya berupa akumulasi yang tinggi didalam sel dan waktu paruh
eliminasi yang lebih panjang.24

Gambar 11. Mekanisme kerja antimalaria yang diusulkan

Hidroksiklorokuin adalah obat yang biasa digunakan dalam pengobatan


malaria tanpa komplikasi yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum,
Plasmodium malariae, Plasmodium ovale, atau Plasmodium vivax; rheumatoid

19
arthritis; lupus erythematosus dan juga digunakan sebagai profilaksis malaria
yang resistensi terhadap klorokuin.24
Mekanismenya adalah dengan mengganggu aktivitas lisosom dan
autophagy, berinteraksi dengan stabilitas membran dan mengubah jalur
pensinyalan dan aktivitas transkripsi, yang dapat mengakibatkan penghambatan
produksi sitokin dan modulasi molekul co-stimulatory tertentu. Hidroksiklorokuin
cukup efektif pada pengobatan rheumatoid arthritis dini.24

Gambar 12. Mekanisme kerja antimalaria

Hidroksiklorokuin menyebabkan aritmia ventrikel, perpanjangan interval


QT, dan toksisitas jantung lainnya yang beresiko memperparah kondisi pasien.
Diperlukan pemantauan klinis, tanda dan gejala terjadinya toksisitas pada jantung
berupa pemantauan menggunakan alat diagnostik yang sesuai seperti EKG
terutama pada pasien yang memiliki riwayat penyakit jantung. Resiko lainnya
adalah memburuknya psoriasis dan porfiria; kejadian piopati proksimal dan
neuropati; risiko hipoglikemia; dan peristiwa neuropsikiatri (sangat jarang).22,24

2.2. Pengaruh Hipoablumi terhadap Kerja Obat Imunosupresan


Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak ditemukan di
dalam tubuh manusia, yaitu merupakan 55-60% dari total protein serum yang ada
di dalam darah. Albumin merupakan rantai polipeptida tunggal yang memiliki
berat molekul 66,4 kDa dan tersusun atas 585 asam amino. Molekul albumin juga

20
memiliki 17 ikatan disulfida. Mereka menghubungkan asam amino yang
mengandung sulfur. Molekul albumin berbentuk elips sehingga bentuk molekul
seperti itu tidak akan meningkatkan viskositas plasma dan terlarut sempurna.
Kadar albumin serum ditentukan oleh fungsi laju sintesis, laju degradasi dan
distribusi antara kompartemen intravaskular dan ektravaskular.25
Nilai serum albumin normal memiliki rentang anatra 3,5 sampai dengan
4,5 gr/dL, dimana kandungan tubuh total 300-500 g. Sintesis albumin hanya
terjadi di hepar dengan kecepatan pembentukan 12-25 gram/hari. Pada keadaan
normal hanya 20-30% hepatosit yang memproduksi albumin. Akan tetapi laju
produksi ini bervariasi tergantung keadaan penyakit dan laju nutrisi karena
albumin hanya dibentuk pada lingkungan osmotik, hormonal dan nutrisional yang
cocok. Tekanan osmotic koloid cairan interstisial yang membasahi hepatosit
merupakan regulator sintesis albumin yang penting.25

Tabel 3. Pengikatan protein obat-obatan imunosupresan26


Imunosupresant Binding protein
azatriopine 30%
mechopenolate 82-97%
cyclosporine 90
tacrolimus 99%
metotrexate 50%
dexametasone 77%
prednisone <50%
methylprednisolone 76,8%

Albumin adalah protein plasma yang berfungsi mempertahankan tekanan


onkotik plasma. Membantu metabolisme dan tranportasi berbagai obat-obatan dan
senyawa endogen dalam tubuh terutama substansi lipofilik (fungsi metabolit,
pengikatan zat dan transport carrier). Albumin akan mengikat partikel yang
bermuatan negatif dan positif, serta berfungsi sebagai pembawa dan pengangkut
molekul metabolit dan obat secara reversibel. Meskipun banyak teori tentang
pentingnya albumin sebagai pengangkut dan pengikat protein, namun masih
sedikit mengenai perubahan yang terjadi pada pasien dengan
hipoalbuminemia.27,28

21
Albumin serum manusia, merupakan transportasi utama dan protein
reservoir dalam sistem peredaran darah manusia, berinteraksi dengan banyak ligan
endogen dan eksogen dengan berbagai karakteristik struktural. Cara pengikatan
obat ke albumin sangat penting untuk memahami profil farmakokinetiknya dan
memiliki pengaruh besar pada kemanjuran in vivo-nya. Perubahan pengikatan
obat ke albumin karena interaksi obat-obat atau fisiologi abnormal
(hipoalbuminemia) dapat mengakibatkan perubahan nyata dalam konsentrasi obat
aktif, sehingga mempengaruhi sifat farmakokinetik dan farmakodinamiknya.29

22
BAB 3
PENUTUP

Hipoalbumin mempengaruhi distribusi obat obatan imunosupresan.


Sebagian besar imunosupresan binding dengan albumin >50% kecuali prednison,
metotrexate, dan azatriopine. Klinisi harus aggresif dalam koreksi albumin
terutama dalam kondisi flare yang membutuhkan penurunan proses inflamasi
lebih cepat.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci AS, Jameson JL, Kasper D, et al. Harrison’s Principles of Internal


Medicine 19th Edition. New York: McGraw-Hill Education; 2018.
2. Thong B, Olsen NJ. Systemic lupus erythematosus diagnosis and
management. Rheumatology. 2017;56:3–13.
3. Parikh SV, Hebert LA, Rovin BH. Lupus Nephritis, Diagnosis and
Treatment. Encycl Med Immunol. 2014;
4. Almaani S, Meara A, Rovin H. Update on Lupus Nephritis. CJASN.
2017;12(5):825–35.
5. Kasjmir Y, Handono K, Wijaya L, Hamijoyo L, Albar Z. Rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis dan Pengelolaan
Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta: IRA; 2011.
6. Bruntol L, Dandan R, Knollmann B. Goodman & Gilman’s: The
Pharmacological Basis of Therapeutics. Philadelphia: Mc Graw Hill
Education; 2018.
7. Ando H, Ukena K, Nagata S. Handbook of hormones: comparative
endocrinology for basic and clinical research. Academic Press; 2021.
8. Gardner DG, Shoback DM. Greenspan’s basic and clinical endocrinology.
McGraw-Hill Education; 2017.
9. Nicolaides NC; Galata Z; Kino T; et al. The human glucocorticoid receptor:
molecular basis of biologic function. Steroids. 2010;75(1):1–12.
10. Nicolaides NC, Pavlaki AN, Alexandra MAM, et al. Glucocorticoid
Therapy and Adrenal Suppression. Endotext. 2018.
11. Gupta P; Bhatia V. Corticosteroid Physiology and Principles of Therapy.
Indian J Pediatr. 2008;76:1039–44.
12. Williams DM. Clinical Pharmacology of Corticosteroids. Respir Care
[Internet]. 2018 Jun 1;63(6):655 LP – 670. Available from:
http://rc.rcjournal.com/content/63/6/655.abstract
13. Adcock IM, Ito K. Molecular mechanisms of corticosteroid actions.
Monaldi Arch Chest Dis Arch Monaldi per le Mal del Torace.

24
2000;55(3):256–66.
14. Ralhan R, Kaur J. Alkylating agents and cancer therapy. Expert Opin Ther
Pat. 2007;17(9):1061–75.
15. Renu MKS. PHARMACOKINETICS ACTIVITY AND INTERACTION
OF VINBLASTIN AND VINCRISTINE COMPOUNDS OF
CATHARANTHUS ROSEUS INVOLVED IN TIA BIOSYNTHEISIS. J
Adv Sci Res. 2021;12(2 Suppl 2).
16. Tedesco D, Haragsim L. Cyclosporine: a review. J Transplant. 2012;2012.
17.. Li C-J, Li L. Tacrolimus in preventing transplant rejection in Chinese
patients–optimizing use. Drug Des Devel Ther. 2015;9:473.
18. Singh A, Chaudhary S, Agarwal A, Verma AS. Chapter 15 - Antibodies:
Monoclonal and Polyclonal. In: Verma AS, Singh ABT-AB, editors. San
Diego: Academic Press; 2014. p. 265–87. Available from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780124160026000158
20. Wagner CL, Greer FR, Nutrition S on B and C on. Prevention of rickets
and vitamin D deficiency in infants, children, and adolescents. Pediatrics.
2008;122(5):1142–52.
21. Blomberg Jensen M, Nielsen JE, Jørgensen A, Rajpert-De Meyts E,
Kristensen DM, Jørgensen N, et al. Vitamin D receptor and vitamin D
metabolizing enzymes are expressed in the human male reproductive tract.
Hum Reprod. 2010;25(5):1303–11.
22. Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology. Basic and clinical
Pharmacology. 2014.
23. Neto ETR, Kakehasi AM, Pinheiro MM, et al. Revisiting
hydroxychloroquine and chloroquine for patients with chronic immunity-
mediated inflammatory rheumatic diseases. Adv Rheumatol. 2020;60(32).
24. US Food and Drug Administration (FDA). PLAQUENIL®
HYDROXYCHLOROQUINE SULFATE TABLETS. 2020.
25. Belinskaia DA, Voronina PA, Batalova AA, Goncharov N V. Serum
Albumin. Encyclopedia. 2020;1(1):65–75.
26. Tayyab S, Feroz SR. Serum albumin: Clinical significance of drug binding

25
and development as drug delivery vehicle. Adv Protein Chem Struct Biol.
2021;123:193–218.
27. Hornok V. Serum albumin nanoparticles: Problems and prospects.
Polymers (Basel). 2021;13(21):3759.
28. Bern M, Sand KMK, Nilsen J, Sandlie I, Andersen JT. The role of albumin
receptors in regulation of albumin homeostasis: Implications for drug
delivery. J Control Release. 2015;211:144–62.
29. Scheife RT. Protein binding: what does it mean? Dicp. 1989;23(7–8):S27–
31.

26

Anda mungkin juga menyukai