Anda di halaman 1dari 43

IMUNOLOGI

OBAT – OBAT IMUNOLOGI

ACHMAD SYARBAWI ( 202002267 )

BRILLIAN HENDRICO ( 202002269 )

LABORATORIUM KIMIA FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
ADILA
BANDAR LAMPUNG

2022
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG..................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH..............................................................................4
C. TUJUAN.......................................................................................................4
BAB II......................................................................................................................5
PEMBAHASAN......................................................................................................5
A. IMUNOSUPRESAN.....................................................................................5
1. Pengertian Imunosupresan........................................................................5
2. Mekanisme Kerja dan Pilahan Obat Imunosupresan................................6
3. Obat-obat Imunosupresan........................................................................12
B. IMMUNOMODULATOR..........................................................................19
a) Metode uji aktivitas imunomoduator......................................................19
b) Persyaratan imunomodulator...................................................................18
c) Dasar fungsional paramunitas.................................................................18
C. ANTIHISTAMIN........................................................................................19
1. Pengertian Antihistamin..........................................................................19
2. Penggolongan Obat Antihistamin...........................................................24
3. Mekanisme Kerja Antihistamin...............................................................29
BAB III..................................................................................................................39
PENUTUP..............................................................................................................39
A. Kesimpulan.................................................................................................39
B. Saran............................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................42
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masa sekarang ini arti respon imun sudah lebih luas, yang pada

dasarnya mencakuppengobatan maupun pencegahan suatupenyakit yang

disebabkan oleh pengaruhfaktor dari luar tubuh atau zat asing. Aktivitassistem

imun dapat menurun karena berbagaifaktor, diantaranya karena usia atau

penyakit.

Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah mekanisme

pertahanan tubuh yang bertugas merespon atau menanggapi ''serangan'' dari

luar tubuh kita. Saat terjadi serangan, biasanya antigen pada tubuh akan mulai

bertugas. Antigen bertugas menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Kelak,

mekanisme inilah yang akan melindungi tubuh dari serangan berbagai mikro

organisme seperti bakteri, virus, jamur, dan berbagai kuman penyebab

penyakit. Ketika sistem imun tidak bekerja optimal, tubuh akan rentan

terhadap penyakit. Beberapa hal dapat mempengaruhi daya tahan tubuh.

Misalnya saja karena faktor lingkungan, makanan, gaya hidup sehari-hari,

stres, umur dan hormon.

Fungsi sistem imun bagi tubuh ada tiga.Pertama sebagai pertahanan

tubuh yakni menangkal ''benda'' asing.Kedua, untuk keseimbangan fungsi

tubuh terutama menjaga keseimbangan komponen yang tua, dan ketiga,

sebagai pengintai (surveillence immune system), untuk menghancurkan sel-sel

yang bermutasi atau ganas. Pada prinsipnya jika sistem imun seseorang
bekerja optimal, maka tidak akan mudah terkena penyakit, sistem

keseimbangannya juga normal.

Banyak cara guna meningkatkan sistem kekebalan tubuh, salah satunya

melalui suplemen obat yang berfungsi sebagai imunomodulator

(meningkatkan sistem imun tubuh). Saat ini tersedia banyak suplemen

makanan imunomodulator, terutama yang menggunakan bahan herbal alami

seperti tanaman meniran (Phyllanthus niruri).Imunomodulator adalah obat

yang dapat mengembalikan dan memperbaiki sistem imun yang fungsinya

terganggu atau untuk menekan yang fungsinya berlebihan. Fungsi

imunomodulator adalah memperbaiki sistem imun yaitu dengan cara stimulasi

(imunostimulan) atau menekan/menormalkan reaksi imun yang abnormal

(imunosupresan).Komponen yang bersifat imunomodulator adalah dari

golongan flavonoid, golongan flanoid mampu meningkatkan sistem kekebalan

tubuh hingga mampu menangkal serangan virus, bakteri atau mikroba lainnya.

Selain imunomodulator terdapat juga imunosupresan.Imunosupresan

adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respon imun seperti

pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit autoimun dan mencegah

hemolisis rhesus dan neonatus.Sebagain dari kelompok ini bersifat sitotokis

dan digunakan sebagai antikanker.

Maka untuk mencegah berbagai penyakit yang dapat menggangu

sistem imun diperlukan pengatahuan yang lebih tentang sistem imun dan obat-

obat yang digunakan untuk mencegah atau mengobati ganguan tersebut seperti

imunosupresant dan imunomodulator.


Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak terpisah dengan makhluk

lainnya baik hewan, tumbuhan maupun benda-benda mikroskopik seperti

debu, tungau, serbuk bunga sampai berbagai makanan yang kita konsumsi

sehari-hari seperti susu, telur, kacang-kacangan dan seafood.

Alergi merupakan suatu reaksi abnormal yang terjadi di tubuh akibat

masuknya suatu zat asing. Zat asing yang dinamakan alergen tersebut masuk

ke dalam tubuh melalui saluran nafas (inhalan) seperti debu, tungau, serbuk

bunga. Alergen juga dapat masuk melalui saluran percernaan (ingestan)

seperti susu, telur, kacang-kacangan dan seafood. Di samping itu juga dikenal

alergen kontak yang menempel pada kulit seperti komestik dan perhiasan.

Saat alergen masuk ke dalam tubuh, sistem imunitas atau kekebalan tubuh

bereaksi secara berlebihan dengan membuat antibodi yang disebut

Imunoglobulin E. Imunoglobulin E tersebut kemudian menempel pada sel

mast (mast cell). Pada tahap berikutnya, alergen akan mengikat Imunoglobulin

E yang sudah menempel pada sel mast. Ikatan tersebut memicu pelepasan

senyawa Histamin dalam darah. Peningkatan Histamin menstimulasi rasa gatal

melalui mediasi ujung saraf sensorik. Senyawa Histamin yang teramat banyak

juga bisa disebabkan oleh stress dan depresi.

Pengobatan gatal-gatal karena alergi dilakukan dengan jalan pemberian

obat antihistamin yang banyak dijual secara bebas. Efek samping dari

pemakaian obat diantaranya linglung, pusing, sembelit, sulit berkemih dan

penglihatan kabur, namun jarang ada penderita yang mengalami hal tersebut.

Dewasa ini terdapat obat antihistamin generasi terbaru yang tidak berefek
sedatif (mengantuk) dan beraksi lebih lama, namun harganya lebih mahal dan

harus ditebus dengan resep dokter. Sesungguhnya pemakaian obat

antihistamin hanya menghilangkan gejala alergi dan menghindari serangan

yang lebih besar di masa mendatang, tidak menyembuhkan alergi. Jika

penderita kontak lagi dengan alergen, maka alergi akan muncul kembali. Oleh

karena itu, yang terbaik untuk mengatasi alergi adalah dengan menghindari

kontak dengan alergen, menjaga kebersihan diri dan lingkungan,

meningkatkan sistem kekebalan tubuh serta menjauhi stress.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan immunosupresan?

2. Apa yang dimaksud dengan imunomodulator?

3. Apa yang dimaksud dengan antihistamin?

C. TUJUAN

1. Untuk menegtahui yang dimaksud dengan immunosupresan.

2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan imunomodulator.

3. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan antihistamin.


BAB II

PEMBAHASAN

A. IMUNOSUPRESAN

1. Pengertian Imunosupresan

Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk

menekan respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi

penyakit autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain

dari kelompok ini bersifat sitotokis dan digunakan sebagai antikanker.

Immunosupresan merupakan zat-zat yang justru menekan aktivitas sistem

imun dengan jalan interaksi di berbagai titik dari sistem tersebut. Titik

kerjanya dalam proses-imun dapat berupa penghambatan transkripsi dari

cytokin, sehingga mata rantai penting dalam respon-imun diperlemah.

Khususnya IL-2 adalah esensial bagi perbanyakan dan diferensial limfosit,

yang dapat dihambat pula oleh efek sitostatis langsung. Lagi pula T-cells

bisa diinaktifkan atau dimusnahkan dengan pembentukan antibodies

terhadap limfosit.

Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu,

transplanatasi organ, penyakit autoimun, dan pencegahan hemolisis

Rhesus pada neonatus.


2. Mekanisme Kerja dan Pilahan Obat Imunosupresan

Mekanisme Kerja obat imunosupresan berdasarkan

penghambatan/supresi reaksi umum secara dini. Pada literatur,

menunjukkan bahwa tempat kerja obat imunosupresan dalam mengatasi

Selain dengan obat, imunosupresi dapat juga diperoleh dengan

memanipulasi jumlah Ag dan Ab dalam tubuh. Penggunaan

imunosupresan bertujuan untuk mendapatkan toleransi spesifik (terarah),

yaitu toleransi terhadap suatu antigen tertentu saja. Alasan

dikehendakinya suatu toleransi spesifik, dan bukan umum, ialah karena

toleransi umum dapat membahayakan individunya; khusunya

memudahkan timbulnya penyakit infeksi berat. Tetapi sayangnya

toleransi spesifik seringkali sulit dicapai. Perlu dimengerti bahwa bila Ag

masih terdapat dalam tubuh, reaksi imunologik akan muncul kembali

dengan penghentian pemberian imunosupresan.

Efek imunosupresi dapat dicapai dengan salah satu cara berikut:

(1) Menghambat proses fagositosis dan pengolahan Ag menjadi Ag

imunogenik oleh makrofag; (2) Menghambat pengenalan Ag oleh sel

limfoid imunokompeten; (3) Merusak sel limfoid imunokompeten; (4)

Menekan diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten, sehingga tidak

terbentuk sel plasma penghasil Ab, atau sel T yang tersensitisasi untuk

respons imun selular; dan (5) Menghentikan produksi Ab oleh sel plasma,

serta melenyapkan sel T yang tersensitisasi yang telah terbentuk.


Beberapa imunosupresan mempengaruhi berbagai reaksi respons imun,

umpamanya reaksi inflamasi.

Secara praktis, di klinik penggunaan obat imunosupresan

berdasarkan waktu pemberiannya. Untuk itu respons imun dibagi dalam

dua fase. Fase pertama adalah fase induksi, yang meliputi: (1) Fase

pengolahan Ag oleh makrofag, dan pengenalan Ag oleh limfosit

imunokompeten; (2) Fase proliferasi dan diferensiasi sel B dan sel T,

masing-masing untuk respons imun humoral dan selular. Fase kedua: fase

produksi, yaitu fase sintesis aktif Ab dan limfokin.

Berdasarkan fase-fase tersebut di atas, imunosupresan dibagi dalam

tiga kelas. Imunosupresan kelas I harus diberikan sebelum fase induksi,

yaitu sebelum terjadi perangsangan oleh Ag. Jadi kerjanya adalah

merusak limfosit imunokompeten (limfolitik). Contohnya: alkilator

radiomimetic dan kortikosteroid (sinar X juga bekerja pada fase ini). Jika

diberikan setelah terjadi perangsangan oleh Ag, biasanya tidak diperoleh

efek imunosupresif sehingga respons imun dapat berlanjut terus.

Imunosupresan kelas II adalah yang harus diberikan dalam fase

induksi; biasanya satu atau dua hari setelah perangsangan oleh Ag

berlangsung. Obat golongan ini bekerja menghambat proses diferensiasi

dan proliferasi sel imunokompeten, misalnya antimetabolit. Jika diberikan

sebelum adanya perangsangan oleh Ag, umumnya tidak memperlihatkan

efek imunosupresif; malahan sebaliknya, beberapa obat tersebut justru

dapat meningkatkan respons imun, umpamanya azatioprin dan


metotreksat. Bagaimana mekanisme terjadinya hal yang disebut

belakangan belum diketahui dengan pasti.

Imunosupresan kelas III memiliki sifat imunosupresan kelas I

maupun kelas II. Jadi golongan ini dapat menghasilkan imunosupresi bila

diberikan sebelum maupun sesudah adanya perangsangan oleh Ag.

Pilahan imunosupresan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Kelas I Kelas II Kelas III

Klorambusil
Busulfan
Metotreksat
L-Melfalan
Azatioprin
D-Melfalan
6-Merkaptopurin (6-MP)
Glukokortikoid:
Sitarabin (ARA-C)
D.  Prednison
5-Bromo-deoksiuridin (5- Siklofosfamid
E.   Prednisolon BUdR)
Prokarbazin
F.   Glukokortikoid lainnya 5-Fluoro-deoksiuridin (5-
FUdR)
Mitomisin C
5-Fluorourasil (5-FU)
Kolkisin
Vinblastin (VBL)
Fitohemaglutinin
Vinkristin (VCR)
Sinar-X
Siklosporin*

*paling efektif bila diberikan bersamaan dengan antigen

Dari obat yang tertera dalam tabel tersebut hanya beberapa saja

yang telah lazim digunakan sebagai imunosupresan, yaitu: (1) alkilator:

siklofosfamid dan klorambusil; (2) antimetabolit: aztioprin dan 6-


merkaptopurin (analog purin), metotreksat (analog folat); (3)

kortikosteroid: prednisolon, prednison; dan (4) siklosporin.

Obat yang digunakan sebagai imunosupresan sebagian besar

termasuk dalam golongan obat kelas II, contohnya azatioprin, 6-

merkaptopurin, klorambusil dan metotreksat. Efek utama obat kelompok

ini ialah menghancurkan sel yang sedang berproliferasi, maka tahap

proliferasi dan diferensiasi umumnya merupakan fase yang lebih sensitif

daripada tahap lainnya. Obat-obat ini paling efektif diberikan beberapa

hari setelah berlangsungnya stimulasi Ag yaitu pada periode dengan

sensitivitas maksimal.

Imunosupresan kelas III yang telah banyak digunakan sampai kini

hanyalah sikolofosfamid. Efek imunosupresif dapat diperoleh bila

diberikan sebelum maupun sesudah berlangsungnya stimulasi Ag, tetapi

efek ini terkuat pada pemberian beberapa hari setelah stimulasi Ag

berlangsung.

Golongan imunosupresan kelas I yang telah digunakan sampai kini

hanyalah glukokortikoid, khususnya prednisolon dan prednison.


3. Obat-obat Imunosupresan

AZATIOPRIN

Nama Generik : Imustrum

Nama Dagang : Erlimpeks

Golongan : B

Per 5 ml : prebiotik 500 mg, colostrum bovine 250 mg,

curcuminoid 2 mg, bubuk dha 32 mg, lysine hci 100

mg, vit b1 3 mg, vit b2 phosphate 2 mg, vit b6 5 mg, vit

b12 5 mcg, panthenol 3 mg, nicotinamide 5 mg, vit a

2000 iu, vit d 200 iu, zn (sebagai zn sulfat 7h20) 5 mg.

Indikasi : Suplemen suplemen nutrisi dan multi vitamin untuk

menjaga sistem imun dan kesehatan fungsi pencernaan

pada anak.

Dosis : Anak : 4-12 tahun 10 ml 1x /hari 1-4 Tahun 5 ml

1x/hari

Kemasan : Sir 60 Ml Rp.20.000,-

KOLSISIN

ORECOLFAI Fahrenheit K

Kolsisin 0,5 mg. In: lihat dosis. Ki: penyakit saluran kemih dan jantung

parch, hipersensitif, diskrasia dash, wanita hamil. Es: kemungkinan

peningkatan toksisitasi kolsisin pads kasus disfungsi hati hares

dipertimbangkan, kelemahan otot, meal, muntah, nyeri perut atau diare,

urtikaria, anemia aplastik, agranulositosis, dermatitis, purpura, alopesia,


pada dosis toksik menyebabkan diare bent, kerusakan umum pembuluh,

dan kerusakan ginjal disertai hematoria dan oliguria. Ds: artritis gout,

arthritis akut: dasis awal, 4,5-1,2 mg; diikute dengan 0,5 mg i setiap 2 jam

sampai rasa sakit hilang. Serangan akut: 4 ; 8 mg. Propfilaksis gout:

pencegahan, 0,5 mg diberikan' sekali seminggu sampai sekali sehari, km:

dos 3x10 tablet rp. 16.500,-

METOTREKSAT

ETHOTREXATE Kalbe Farma K

Metotreksat. In: koriokarsinoma gestasional, korioadenoma destruens,

mola hidatiform. Profilaksis leukemia meningeal pada leukemia limfositik

akut & sebagai terapi pemeliharaan dalam kombinasi dengan antikanker

lain. Terapi leukemia meningeal. Sebagai terapi tunggal atau kombinasi

untuk kanker payudara, kanker epidermoid kepala & leher, kanker paru

stadium lanjut (terutama jenis sel kecil & sel skuamosa). Sebagai terapi

kombinasi untuk limfoma non hodgkin stadium lanjut. Terapi simtomatik

psoriasis berat. Ki: wanita hamil dan menyusui. Alkoholisme, penyakit

hati alkoholik, atau penyakit hati kronis lainnya. Pasien dg diskrasia darah.

Hipersensitivitas terhadap metotreksat. Perh: pantau toksisitas sumsum

tulang, hati, paru, ginjal. Hati-hati pd pasien dg kerusakan fungsi ginjal,

ascites, atau efusi pleura. Hati-hati penggunaan bersama ains. Io: preparat

asam folat dapat menurunkan respon terapi. Pemberian bersama

trimetoprim/sulfametoksazol pernah dilaporkan terjadi peningkatan efek

samping-supresi sumsum tulang. Dosis:. Koriokarsinoma & penyakit


trofoblastik sejenis: 15-30 mg/hari i.m. Selama 5 had. Ulangi 3-5 kali

dengan periode istirahat selama e" 1 minggu. Karsinoma payudara: 40

mg/mz i.v. Pada had ke-1 & 8. Terapi induksi leukemia: 3,3 mg/mz dalam

kombinasi dengan 60 mgjmz, diberikan tiap hari. Methotrexate

diberikan'bersama antineoplastik lain untuk terapi pemelihara6n, diberikan

2 kali/minggu setiap 14 had. Leukemia meningeal: 200-500 mcg/kgbb

intratekal, interval 2-5 had. Psoriasis: 10-25 mg/minggu i.m/i.v. Dosis

tunggal. Es,.supresi sumsum tulang & toksisitas gastrointestinal. Dlare.

Umfoma malignan. Stomatitis ulseratif, leukoperiamual, ketidaknyaman

abdominal. Malaise, fatigue, ,demam & menggigil, penurunan ketahanan

terhadap infeksi. Jangka panjang: hepatotoksisitas, fibrosis, sirosis. Km:

injeksi 50 mg/2 ml vial rp.55.000.

METHOTREXATE 50 MG/ 2 ML DBL Tempo SP, DBL K

Metotreksat 5 mg/2 ml; 50 mg/2 ml tiap vial. In: kemoterapi

antineoplastik. Km: dos 5 vial 5 mg/2 ml rp. ', 54.250,-; 5 vial 50 mg/2 ml

rp. 135.550,

METHOTREXATE Delta West Pharmacia K

Metotreksat 25 mg/ml injeksi dalam 20 ml/2 ml landan steril, isotonik,

bebas zat pengawet; 100 mg/ml dalam larutan steril, isotonik, bebas zat

pengawet. In: terapi kanker payudara, koriokarsinoma, korioademona

destruen, dan hidatidiform mole. Ki. Gangguan fungsi ginjal, gizi buruk,

gangguan hati atau paru. Perh: harus diberikan oleh dokter pengalaman,

pasien harus diberitahu efek toksik clan bahaya obat; jangan diberikan
pada wanita hamil clan menyusui. Es: intoksikasi kulit, darah, sistem

urogenital, saluran cerna dan fungsi syaraf. Ds: koriokarsinoma clan

penyakit tropoblastik yang sama: 15-30 mg im tiap had selama 5 had;

seluruh gejala toksikasi harus sudah hilang, sebelum dimulai paket berikut,

biasanya diperlukan 3-5 paket; kanker payudara 10-60 mg/mi, biasanya

diberikan bersama dengan obat sitosis lain; leukemia 3,3 mg/m2 secara

oral bersama dengan 60 mg/mz prednison.Km: 1 vial 50 mg/2 ml rp.

68.180,-

SIKLOFOSFAMID

CYCLOPHOSPHAMIDE KALBE FARMA

Cyclophosphamide.In: Karsinoma paru, karsinoma payudara, karsinoma

ovarium. Limfogranulomatosis maligna, limfosarkoma, sarcoma sel

retikulum, leukemia serta myeloma multiple. KI: Penyakit sumsum tulang,

hipersensitivitas, sistitis hemoragik, wanita hamil & menyusui. Perh:

leukopenia, trombositopenia, infiltrasi sel tumor pada sumsum tulang,

pernah diterapi dengan agen sitotoksik lainnya atau radioterapi, kerusakan

fungsi hati/ginjal. Dapat memicu sterilitas permanen pada anak-anak.

Hitung sel darah harus dipantau selama terapi. ES: Mual, muntah. Depresi

sumsum tulang (leucopenia, trombositopenia). Amenorrhea, azospermia,

sistitis haemorrhagik steril. Alopecia. Fibrosis & karsinoma kandung

kemih pernah dilaporkan pada penggunaan jangka panjang. Disfungsi

hati, hiperpigmentasi, ulkus oral. Ds: Regimen dosis individual. Dosis


rendah 80-240 mg/m2 permukaan tubuh (2-6 mg/kgBB) dosis tunggal per

minggu i.v. atau dosis terbagi secara oral. Dosis menengah: 400-600

mg/m2 (10-15 mg/kgBB) dosis tunggal per minggu i.v. Dosis tinggi: 800-

1600 mg/m2 20-40 mg/kgBB) dosis i.v, interval 10-20 hari. Km: Injeksi

200 mg vial Rp. 112.000; Injeksi 1000 mg vial Rp. 300.000; Tablet salut

gula 50 mg botol 28’s Rp. 100.000.

CYTOXAN BRISTOL-MYERS SQUIBB K

Siklofosfamid 200 mg/vial injeksi. In: Keganasan pada sumsum tulang

dan jaringan limfoid, adenokarsinoma ovarium, neuroblastoma,

retinoblastoma, kanker paru dan payudara. ES: Neoplasia sekunder,

leukemia, anoreksia, mual dan muntah, alopesia, interstitial pulmonary

fibrosis dan kardiotoksisitas. Km: Dos vial 200 mg Rp. 77.000,-

ENDOXAN BAXTER ONCOLOGY/TRANSFARMA K

Siklofosfamid 200 mg; 500 mg; 1 g/vial injeksi; 50 mg/tablet. In:

Karsinoma dan sarcoma (leukemia, limfogranulomatosis, limfosarkoma,

retotelial sarkoma, multiple myeloma, mammary carcinoma, ovarian

carcinoma). KI: Kerusakan fungsi sumsum tulang yang parah, trimester

pertama kehamilan,sistitis. ES: Dosis tinggi dapat mengakibatkan

leukositopenia, trombositopenia dan anemia. Ds: Injeksi iv: Sehari 3-6

mg/kgBB. Tablet: Sehari 1-4 tablet (50-200 mg). Km: Vial 200 mg Rp.

120.000; vial 500 mg Rp. 262.000; vial 1 g Rp. 380.000; dos 100 tablet

Rp. 390.000.

SIKLOSPORIN
SANDIMMUN SANDOZ K

Siklosporin 100 mg/ml larutan obat minum; 25 mg; 50 mg; 100

mg/kapsul; 50 mg/ml konsentrat infuse intravena (mengandung

polyoxyethylated castor oil). In: Transplantasi organ (ginjal, hati dan

jantung). Km: 5x10 kapsul lunak 25 mg Rp. 694.240,-; 5x10 kapsul lunak

50 mg Rp. 1.248.485,-; 5x10 kapsul lunak 100 mg Rp. 2.339.900,-; botol

50 ml larutan obat minum 100 mg/ml Rp. 2.841.685,-; dos 10 ampul

konsentrat infus intravena 50 mg/ml Rp. 332.380,-; 10 ampul konsentrat

infus intravena 250 mg/ml Rp. 1.796.150,-

VINCRISTINE DELTA WEST PHARMACIA K

Vinkristin 1 mg/ml; 2 mg/2 ml injeksi. In: Terapi kombinasi pengobatan

leukemia limpoblastik akut (terutama pada anak), kanker limfa,

rabdomiosarkoma, neuroblastoma, tumor Wilm, sarkoma osteogenik,

mikosis fungoides, sarkoma Ewing, kanker rahim atau payudara, malignan

melanoma, kanker paru dan tumor organ seks pada anak. Ds: Intravena:

Anak, 1,5-2,0 mg/m2; dewasa 0,4-1,4 mg/m2. Km: Vial 1 mg/ml Rp.

93.180,-; 2 mg/m2 ml Rp. 165.910,-

VINCRISTINE KALBE FARMA K

Vinkristin sulfat. In: Sebagai komponen kemoterapi kombinasi leukemia

akut. Kombinasi dengan kemoterapi lain untuk limfoma Hodgkin,

limfoma non-Hodgkin, neuroblastoma, rhabdomyosarkoma, sarcoma

osteogenik, sarkoma Ewing, mycosis fungoides, tumor Wilm, karsinoma

payudara, serviks paru. Terapi idiopathic trombocytopenic purpura yang


refrakter terhadap kortikosteroid dan spelenektomi. KI: Sindrom Charcot

Marie-Tooth. Pasien yang menerima terapi radiasi meliputi liver. Perh:

Tidak boleh diberikan secara i.m. atau s.c. Hati-hati terjadinya kompilkasi

leucopenia. Hati-hati pemberian pada wanita hamil dan menyusui.

Disarankan tidak menyusui selama menggunakan obat ini. Sesuaikan

dosis pada penderita penyakit hati atau jaundice. ES: Neurotoksisitas,

umumnya berupa neuropati perifer. Penurunan reflex tendon dalam,

parestesia perifer. Toksisitas autonom: konstipasi, ileus paralitik,

gangguan fungus saluran kemih, gangguan berkeringat, hipotensi

ortostatik, kontraksi mioklonik. Toksisitas sistem syaraf pusat. Alopesia.

Mielosupresi jarang terjadi pada dosis lazim. Mual, muntah, diare,

stomatitis. IO: Allopurinol. Obat-obat yang bekerja pada sistem syaraf

perifer. Metotreksat. Ds: Dosis lazim: Anak-anak: 1,5-2 mg/m2. Dewasa:

0,4-1,4 mg/m2. Dapat diberikan dengan infuse i.v. atau injeksi langsung

selama 1 menit. Km: Injeksi 1 mg vial 1 ml Rp. 101.200. Injeksi 2 mg vial

2 ml Rp. 195.000,-
B. IMMUNOMODULATOR

Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan

mekanisme pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik, dan

terjadi induksi non spesifik baik mekanisme pertahanan seluler maupun

humoral. Pertahanan non spesifik terhadap antigen ini disebut paramunitas,

dan zat berhubungan dengan penginduksi disebut paraimunitas. Induktor

semacam ini biasanya tidak atau sedikit sekali kerja antigennya, akan tetapi

sebagian besar bekerja sebagai mitogen yaitu meningkatkan proliferasi sel

yang berperan pada imunitas. Sel tujuan adalah makrofag, granulosit, limfosit

T dan B, karena induktor paramunitas ini bekerja menstimulasi mekanisme

pertahanan seluler.Mitogen ini dapat bekerja langsung maupun tak langsung

(misalnya melalui sistem komplemen atau limfosit, melalui produksi

interferon atau enzim lisosomal) untuk meningkatkan fagositosis mikro dan

makro (Gambar 1).Mekanisme pertahanan spesifik maupun non spesifik

umumnya saling berpengaruh.Dalam hal ini pengaruh pada beberapa sistem

pertahanan mungkin terjadi, hingga mempersulit penggunaan

imunomodulator, dalam praktek.

a) Metode uji aktivitas imunomoduator yang dapat digunakan, yaitu:

1. Metode bersihan karbon ("Carbon-Clearance")

Pengukuran secara spektrofluorometrik laju eliminasi partikel karbon

dari daerah hewan.Ini merupakan ukuran aktivitas fagositosis.

2. Uji granulosit

Percobaan in vitro dengan mengukur jumlah sel ragi atau bakteri yang
difagositir oleh fraksi granulosit yang diperoleh dari serum manusia.

Percobaan ini dilakukan di bawah mikroskop.

3. Bioluminisensi radikal Jumlah radikal 02 yang dibebaskan akibat

kontak mitogen dengan granulosit atau makrofag, merupakan ukuran

besarnya stimulasi yang dicapai.

4. Uji transformasi limfosit T Suatu populasi limfosit T diinkubasi

dengan suatu mitogen. Timidin bertanda ( 3 H) akan masuk ke dalam

asam nukleat limfosit 1. Dengan mengukur laju permbentukan dapat

ditentukan besarnya stimulasi dibandingkan dengan fitohemaglutinin

A (PHA) atau konkanavalin A (Con A).

b) Persyaratan imunomodulator

Menurut WHO, imunomodulator haruslah memenuhi persyaratan

berikut:

1. Secara kimiawi murni atau dapat didefinisikan secara kimia.

2. Secara biologik dapat diuraikan dengan cepat.

3. Tidak bersifat kanserogenik atau ko-kanserogenik.

4. Baik secara akut maupun kronis tidak toksik dan tidak mempunyai

efek samping farmakologik yang merugikan.

5. Tidak menyebabkan stimulasi yang terlalu kecil ataupun terlalu besar.

c) Dasar fungsional paramunitas (menurut A. Mayr)

1. Terjadinya peningkatan kerja mikrofag dan makrofag serta

pembebasan mediator.
2. Menstimulasi limfosit (yang berperan pada imunitas tetapi belum

spesifik terhadap antigen tertentu), terutama mempotensiasi proliferasi

dan aktivitas limfosit.

3. Mengaktifkan sitotoksisitas spontan.

4. Induksi pembentukan interferon tubuh sendiri.

5. Mengaktifkan faktor pertahanan humoral non spesifik (misalnya

sistem komplemen properdin-opsonin).

6. Pembebasan ataupun peningkatan reaktivitas limfokin dan mediator

atau aktivator lain.

7. Memperkuat kerja regulasi prostaglandin.

C. ANTIHISTAMIN

1. Pengertian Antihistamin

Alergi (hipersensitifitas) menggambarkan reaktivitas khusus host

terhadap suatu unsur eksogen pada kontak kedua kali. Reaksi

hipersensitivitas meliputi sejumlah peristiwa autoimun dan alergi serta

merupakan kepekaan berbeda terhadap suatu antigen eksogen atas dasar

proses imunologi. Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan

kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam

bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya

imunogenik (antigenik) atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat

atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap

lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan

berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat


atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut

alergen. Alergi adalah sebuah reaksi yang dilakukan tubuh terhadap

masuknya sebuah benda asing. Ketika sebuah substansi tak dikenal masuk,

antigen, tubuh serta merta akan meningkatkan daya imunitasnya untuk

bekerja lebih giat.

Seperti alergi terhadap makanan berupa protein Pada orang normal,

protein-protein tersebut adalah “teman’ bagi sistim kekebalan (imunitas)

tubuh. Tetapi, pada orang alergi, sistim kekebalan tubuh mereka

mengenali protein tersebut sebagai ‘musuh’ yang berbahaya dan harus

segera disingkirkan dari tubuh.

Pada tahun 1940 untuk pertama kali diperkenalkan obat

antihistamin. Sejak itu, antihistamin secara luas digunakan dalam

pengobatan simtomatik penyakit alergi. Antihistamin adalah zat-zat yang

dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dangan

jalan memblokir reseptor histamin (penghambatan saingan). Histamin

adalah suatu zat yang dihasilkan tubuh sebagai respons terhadap proses

peradangan atau alergi. Senyawa ini terlibat dalam tanggapan imun lokal,

selain itu senyawa ini juga berperan dalam pengaturan fungsi fisiologis di

lambung dan sebagai neurotransmitter.


Sebagai tanggapan tubuh terhadap patogen, maka tubuh

memproduksi histamin di dalam basofil dan sel mast, dengan adanya

histamin maka terjadi peningkatan permeabilitas kapiler-kapiler terhadap

sel darah putih dan protein lainnya. Hal ini akan mempermudah sel darah

putih dalam memerangi infeksi di jaringan tersebut. Histamin bekerja

dengan cara berikatan dengan reseptor histamin di sel.

Histamin memegang peranan utama pada proses peradangan dan

system daya tangkis. Kerjanya berlangsung melaui beberapa reseptor.

Histamin memiliki khasiat farmakologi yang hebat, antara lain dapat

menyebabkan vasodilatasi yang kuat  dari kapiler-kapiler, serentak dengan

konstriksi (penciutan) dari vena-vena dan arteri-arteri, sehingga

mengakibatkan penurunan tekanan darah perifer. Sehubungan dengan

sirkulasi darah yang tidak sempurna ini, maka  diuresis dihalangi. Juga

permeabilitas dari kapiler-kapiler menjadi lebih tinggi, artinya lebih

mudah ditembusi,  sehingga cairan dan protein-protein plasma dapat

mengalir ke cairan diluar sel dan menyebabkan udema. Disamping  ini

organ-organ yang memiliki otot-otot licin, sebagai kandungan dan saluran

lambung usus, mengalami konstriksi, sehingga menimbulkan rasa nyeri,

muntah-muntah, diare. Begitu pula di paru-paru terjadi konstriksi dari 

ranting-ranting tenggorok (bronchioli) dengan akibat nafas menjadi sesak

(dyspnoe) atau timbulnya serangan asma  (bronchiale).

Histamin juga mempertinggi sekresi kelenjar-kelenjar, misalnya

ludah, asam dan getah lambung, air mata  dan juga adrenalin. Dalam
keadaan normal jumlah histamin dalam darah adalah sedikit sekali,

sehingga tidak menimbulkan efek-efek tersebut diatas. Histamin yang

berlebihan diuraikan oleh enzim histaminase (=diamino-oksidase) yang

terdapat pada ginjal, paru-paru, selaput lendir usus, dan jaringan-jaringan

lainnya.

2. Penggolongan Obat Antihistamin

Antihistamini dapat digolongkan menurut struktur kimianya

sebagai berikut  : Persenyawaan aminoalkileter (dalam rumus umum X =

O) difenhidramin dan turunan-turunannya, klorfenoksamin (Systral),

karbinoksamin (Rhinopront), feniltoloksamin dalam Codipront.

Persenyawaan-persenyawaan ini memiliki daya kerja seperti atropin dan

bekerja depresif terhadap susunan saraf pusat. Efek sampingannya yaitu:

mulut kering, gangguan penglihatan dan perasaan mengantuk.

Persenyawaan alkilendiamin (X = N) tripelenamin, antazolin,

klemizol dan mepiramin. Kegiatan depresif dari persenyawaan ini terhadap

susunan saraf pusat hanya lemah. Efek sampingannya yaitu: gangguan

lambung usus dan perasaan lesu.

Persenyawaan alkilamin (X = C) feniramin dan turunan-

turunannya, tripolidin. Didalam kelompok antihistamin ini terdapat zat-zat

yang memiliki kegiatan merangsang maupun depresif terhadap susunan

saraf pusat.

Sebelumnya antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup

berdasarkan struktur kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin,


piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang

ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya menggeser popularitas

penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih dikenal dengan

penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni

generasi pertama, kedua, dan ketiga. Generasi pertama dan kedua berbeda

dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama, lebih menyebabkan

sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini

dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi

pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi

kedua.Generasi kedua, lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein

plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak. Sedangkan

generasi ketiga, merupakan derivat dari generasi kedua, berupa  metabolit

(desloratadine dan fexofenadine)  dan enansiomer (levocetirizine).

Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil

antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih

minimal. Faktanya, fexofenadine memang memiliki risiko aritmia jantung

yang lebih rendah dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian

juga dengan levocetirizine atau desloratadine, tampak juga lebih baik

dibandingkan dengan cetrizine atau loratadine.

Pengelompokan berdasarkan sasaran kerjanya terhadap reseptor

histamine:
 Antagonis Reseptor Histamin H1

Secara klinis digunakan untuk mengobati alergi. Contoh

obatnya adalah: difenhidramina, loratadina, desloratadina, meclizine,

quetiapine (khasiat antihistamin merupakan efek samping dari obat

antipsikotik ini), dan prometazina.

 Antagonis Reseptor Histamin H2

Reseptor histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya

adalah meningkatkan sekresi asam lambung. Dengan demikian

antagonis reseptor H2 (antihistamin H2) dapat digunakan untuk

mengurangi sekresi asam lambung, serta dapat pula dimanfaatkan

untuk menangani peptic ulcer dan penyakit refluks gastroesofagus.

Contoh obatnya adalah simetidina, famotidina, ranitidina, nizatidina,

roxatidina, dan lafutidina.

 Antagonis Reseptor Histamin H3

Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan

memperkuat kemampuan kognitif. Penggunaannya sedang diteliti

untuk mengobati penyakit Alzheimer's, dan schizophrenia. Contoh

obatnya adalah ciproxifan, dan clobenpropit.

 Antagonis Reseptor Histamin H4

Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya

sebagai antiinflamasi dan analgesik. Contohnya adalah tioperamida.

Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin.

Contohnya adalah obat antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina


adalah obat yang awalnya ditujukan sebagai antipsikotik, namun kini

digunakan sebagai antihistamin. Senyawa-senyawa lain seperti

cromoglicate dan nedocromil, mampu mencegah penglepasan histamin

dengan cara menstabilkan sel mast, sehingga mencegah degranulasinya.

a. Penggolongan alergi

Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi

menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun

yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan

Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.

1. Tipe 1, gangguan gangguan alergi (reaksi segala, immediate)

berdasarkan reaksi antara allergen-antibody (IgE) dengan

degranulasi mast-cells dan khusus terjadi pada orang yang

berbakat genetick(keturunan). Tipe-I ini juga dinamakan alergi

atopis atau reaksi anafilaksis dan terutama berlangsung disaluran

nafas (serangan pollinosis, rhinitis, asma) dan di kulit (eksim

resam = dermatitis atopis), jarang di cerna (alergi makanan) dan

di pembuluh (shock anafilaksis). Mulai reaksi nya cepat , dalam

waktu 5 sampai 20 menit setelah terkena alergen, maka sering

kali di sebut reaksi segera. Gejalanya bertahan lebih kurang 1

jam.

2. Tipe 2, autoimunitas (reaksi sitolitis). Antigen yang terikat yang

terikat pada membrane sel beraksi dengan IgG atau IgM  dalam

darah dan menyebabkan sel musnah (cytos=sel, lysis= melarut ).


Reaksi ini terutama berlangsung di sirkulasi darah. Contohnya

adalah gagguanauto-imun akibat obat, seperti anemia

hemolitis(akibat pinisilin)’ agranulotosis (akibat sulfamida)’

arhitis rheumatika ’SLE (system lupus erymetodes) akibat

hedrolazim atau prekaimida. Reaksi autonium  jenis ini umumnya

sembu dalam waktu berapa bulan setelah penggunaan obat

berhenti. Timbulnya penyakit auto-imun adalah bila system imun

tidak “mengenali” jaringan tubuh sendiri dan menyerangnya.

Gangguan ini bercirikan terdapatnya auto-antibodies atau sel-sel-

T autoreaktif dan lazimnya dibagi dalam dua kelompok, yang

berdasarkan:auto-imunitas organ-pesifik (menyangkut organ

tunggal), mis. Animia pernicoios, addiison’s diaese, lih bab 46,

ACTH.auto-imunitas nonorgan spesifik (menyangkut pelbagai

organ), mis SLE, MS.

3. Tipe 3, gangguan ilmun-komplek (reaksi arthus). Pada paristiwa

ini, antigen dalam sirkulasi bergabung dengan terutama  IgG

menjadi suatu imun-kompleks, yang diendapkan pada endotel

pembulu. Di tempat itu sebagai respons terjadi peradangan, yang

disebut penyakit serum yang bercirikan urticaria, demam dan

nyeri otot serta sendi. Reaksinya dimulai 4-6 jam setelah

“terkena” (exposure) dan lamanya 4-12 hari. Obat-obat yang

dapat menginduksi reaksi ini adalah sulfanamidin, penisilin dan

iodide. Imun-kompleks dapat terjadi di jaringan yang


menimbulkan reaksi local (arth us) atau dalam srikulasi

(gangguan sistemis).

4. Tipe 4 (reaksi lambat,’delenyet’). Anti gen terdiri dari suatu

kompleks hapten ditambah protein, yang bereaksi dengan T-

limposit yang sudah disensitasi. Limfokin tertentu (=sitokin dari

limfosit) dibebaskan, yang menarik magrofog dan neutrofil,

sehinga terjadi reaksi peradangan. Proses penarikan itu disebut

chemotaxis.mulai reaksi sesudah 24-48 jam dan bertahan

beberapa hari. Contohnya adalah reaksi tuberculin dan dermatitis

kontak.

Bentuk alergi tipe 1 s/d 3 berkaitan dengan dan imunitas

imonoglobulin homolar (lat. Humor=cairan tubuh), artinya

adahubungan dengan plasma. Hanya tipe 4 berdasarkan imunitas-

sekuler (liimfosit-T)

3. Mekanisme Kerja Antihistamin

Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau

menghindarkan efek atas tubuh dari histamin yang berlebihan,

sebagaimana terdapat pada gangguan-gangguan alergi. Bila dilihat dari

rumus molekulnya, bahwa inti molekulnya adalah etilamin, yang juga

terdapat dalam molekul histamin. Gugusan etilamin ini seringkali

berbentuk suatu rangkaian lurus, tetapi dapat pula merupakan bagian dari

suatu struktur siklik, misalnya antazolin.


Antihistamin tidak mempunyai kegiatan-kegiatan yang tepat

berlawanan dengan histamin seperti halnya dengan adrenalin dan turunan-

turunannya, tetapi melakukan kegiatannya melalui persaingan substrat atau

”competitive inhibition”.

Obat-obat inipun tidak menghalang-halangi pembentukan histamin

pada reaksi antigen-antibody, melainkan masuknya histamin kedalam

unsur-unsur penerima didalam sel (reseptor-reseptor) dirintangi dengan

menduduki sendiri tempatnya itu. Dengan kata lain karena antihistamin

mengikat diri dengan reseptor-reseptor yang sebelumnya harus menerima

histamin, maka zat ini dicegah untuk melaksanakan kegiatannya yang

spesifik terhadap jaringan-jaringan. Dapat dianggap etilamin lah dari

antihistaminika yang bersaing dengan histamin untuk sel-sel reseptor

tersebut. Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan

bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif,

sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor

histamine H1 ini bisa mengurangi permiabilitas vaskular, pengurangan

pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Tak ayal secara

klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai

gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan

sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion

yang terkait dengan reaksi fase akhir.

Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki

profil farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor
perifer dan juga bisa menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping

pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki

kemampuan antilergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin.

Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel

mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel

mast/membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium

intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja

pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-

platelet activating factor.

Selain berefek sebagai anti alergi, antihistamin H1 diduga juga

memiliki efek anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro

desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan,

desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti

menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh

sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan

imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin

menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa memperbaiki

nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies.

Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan

kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri

dari efek tambahan ini.


a. Mekanisme kerja alergi

Hipersensitivitas terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam

beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang

sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah

pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi

atopik seperti hay fever).

Urutan kejadian reaksi hipersensitifias adalah sebagai berikut:

1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan

IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada

permukaan sel mast dan basofil.

2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang

dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang

berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks

(anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel

mast dengan aktivitas farmakologik.

Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat

dijelaskan sebagai berikut. Secara imunologis, antigen protein utuh

masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk mencegah

respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon

yang ditekan secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi.

Kegagalan untuk melakukann toleransi oral ini memicu produksi

antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop yang terdapat


pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE

pada basofil dan sel mast, juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah

pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan trombosit.

Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi

silang dengan antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah

berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan berbagai

mediator (histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan

vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel

inflamasi lain sebagai bagian dari hipersensitivitas cepat. Sel mast

yang teraktivasi juga mengeluarkan berbagai sitokin lain yang dapat

menginduksi reaksi tipe lambat.

b. Diagnosa Penyakit Alergi

Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita

penyakit alergi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah

memastikan terlebih dahulu apakah pasien benar-benar menderita

penyakit alergi. Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan untuk

mencari alergen penyebab, selain juga faktor-faktor non alergik yang

mempengaruhi timbulnya gejala.

Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi

beberapa tahapan berikut,

1) Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan

awal adanya keterkaitan penyakit dengan alergi.


2) Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat,

dengan perhatian ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi

kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru. Pemeriksaan difokuskan

pada manifestasi yang timbul.

3) Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya

penyakit alergi, namun tidak untuk menetapkan diagnosis.

Pemeriksaan laboaratorium dapat berupa hitung jumlah leukosit

dan hitung jenis sel, serta penghitungan serum IgE total dan IgE

spesifik.

4) Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test

(tes tempel) hanya dilakukan terhadap alergen atau alergen lain

yang dicurigai menjadi penyebab keluhan pasien.

5) Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen

secara langsung kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini

hanya dilakukan jika terdapat kesulitan diagnosis dan

ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes

provokasi dapat berupa tes provokasi nasal dan tes provokasi

bronkial.

c. Penyebab Penyakit Alergi

Penyebab alergi yang lazim ditemukan antara lain sebagai berikut:

 Sengatan lebah atau serangga lain.

 Makanan, khususnya kacang, ikan, seafood.

 Gigitan serangga.
 Obat.

 Serbuk sari.

 Debu.

 Udara panas atau udara dingin.

Makanan merupakan salah satu penyebab reaksi alergi yang

berbahaya. Seperti alergen lain, alergi terhadap makanan dapat

bermanifestasi pada salah satu atau berbagai organ target: kulit

(urtikaria, angiodema, dermatitis atopik), saluran nafas (rinitis, asma),

saluran cerna (nyeri abdomen, muntah, diare), dan sistem

kardiovaskular (syok anafilaktik). Urtikaria akibat alergi makanan

biasanya timbul  setelah 30-90 menit setelah makan dan biasa disertai

gejala lain seperti diare, mual, kejang perut, hidung buntu,

bronkospasme, hingga gangguan vaskular. Semua gejala ini

diperantarai oleh IgE. Hampir setiap jenis makanan memiliki potensi

untuk menimbulkan reaksi alergi. Alergen dalam makanan terutama

berupa protein yang terdapat di dalamnya. Namun, tidak semua protein

dalam makanan mampu menginduksi produksi IgE. Penyebab tersering

alergi pada orang dewasa adalah kacang-kacangan, ikan, dan kerang.

Sedangkan penyebab alergi tersering pada anak adalah susu, telur,

kacang-kacangan, ikan, dan gandum. Sebagian besar alergi hilang

setelah pasien menghindari makanan tersebut, dan melakukan

eliminasi makanan, kecuali terhadap kacang-kacangan, ikan, dan

kerang cenderung menetap atau menghilang setelah jangka waktu yang


sangat lama. Ikan dapat menimbulkan sejumlah reaksi. Alergen utama

dalam codfish adalah Gad c1 telah diisolasi dari fraksi miogen. Udang

mengandung beberapa alergen. Antigen II dianggap sebagai alergen

utama. Otot udang mengandung glikoprotein otot yang mengandung

Pen a1 (tropomiosin). Gambaran klinis reaksi alergi terhadap makanan

terjadi melalui IgE dan menunjukkan manifestasi terbatas:

gastrointestinal, kulit dan saluran nafas. Tanda dan gejalanya

disebabkan oleh pelepasan histamine, leukotrien, prostaglandin, dan

sitokin. Alergen yang dimakan dapat menimbulkan efek luas, berupa

respon urtikaria di seluruh tubuh, karena distribusi random IgE pada

sel mast yang tersebar di seluruh tubuh.

d. Faktor Resiko Penyakit Alergi

Meskipun alergi makanan hanya dialami oleh individu yang

berbakat alergi, terdapat beberapa faktor risiko untuk kejadian tersebut,

seperti faktor keturunan, umur, jenis kelamin, pola makan, dan jenis

makanan awal yang diberikan pada bayi. Selain itu juga faktor lain

dapat berpengaruh seperti permeabilitas sistem gastrointestinal,

paparan alergen, dan faktor lingkungan termasuk paparan mikroba dan

jumlah antigen. Faktor lingkungan seperti asap rokok, stress, latihan

fisik yang berat , dan cuaca juga dapat memperberat gejala alergi yang

timbul.

Paparan terhadap antigen merupakan persyaratan awal untuk

terjadinya alergi makanan, dan paparan awal ini dapat terjadi baik pada
saat prenatal maupun postnatal. Pada individu dengan risiko tinggi

atopik, paparan awal alergen akan menyebabkan timbulnya reaksi

alergi.Reaksi alergi awal yang dapat timbul berupa bloody stool

diarrhea , atau kelainan pada sistem gastrointestinal lain disertai

manifestasi dermatologis seperti eksema. Permeabilitas gastrointestinal

berpengaruh terhadap penetrasi antigen dan presentasi ke sel limfosit.

Kondisi seperti penyakit gastrointestinal, malnutrisi, prematuritas, dan

imunodefisiensi, dapat meningkatkan permeabilitas dan risiko kejadian

alergi makanan.

Umur berkaitan dengan jenis bahan makanan yang sering

menyebabkan alergi. Sebagai contoh susu sapi adalah penyebab alergi

makanan utama pada bayi usia 0 – 3 bulan, dan kejadiannya akan

makin berkurang seiring dengan peningkatan umur anak, tetapi alergi

akibat bahan makanan lain seperti telur, ikan, udang, dan lain-lain akan

meningkat. Akan tetapi pada umumnya prevalensi alergi makanan

pada anak akan menurun sesuai dengan pertambahan umur.

Pola makanan juga akan berpengaruh terhadap kejadian alergi

makanan. Di berbagai negara yang berbeda akan dijumpai alergen

makanan yang berbeda pula, seperti misalnya di negara-negara

Skandinavia banyak dijumpai alergi terhadap ikan, karena

penduduknya banyak yang mengkonsumsi ikan. Sedangkan alergi

kacang banyak dijumpai di USA, alergi terhadap kedelai banyak

dijumpai di Jepang dan telur di Spanyol.


The Food and Drug Administration (FDA) mengidentifikasi

delapan bahan makanan yang sering menimbulkan alergi, yaitu susu,

telur, kacang-kacangan, ikan, kerang-kerangan, kedelai, dan gandum.

Bahan makanan lain yang juga dapat menimbulkan alergi makanan

adalah daging ayam, daging babi, daging sapi, dan kentang. Dua puluh

lima persen anak yang alergi terhadap susu sapi juga alergi terhadap

kedelai. Alergi terhadap kacang juga semakin meluas, terutama di

negara sedang berkembang.

Faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya alergi makanan

ditinjau dari teori Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu : faktor

biologi, faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor

perilaku.

e. Penyakit Alergi

1. Non Farmakologi

Satu-satunya terapi tanpa obat untuk alergi adalah menghindari

pencetus alergi. Penderita dan keluarganya diberikan pendidikan untuk

mampu mengenali pemicu alergi karena sifatnya individual dan alergi

sangat sulit untuk disembuhkan, hanya mampu dijaga agar tidak

muncul. Pengenalan pemicu ini sangat penting dalam penenangan

reaksi anafilaksis khususnya karena dengan menghindari pemicu,

kematian dapat terhindarkan.


2. Farmakologi

Obat antihistamin dan antiserotomin, serta penghambat sel

mast adalah pilihan untuk terapi alergi. Antihistamin generasi lama

selalu menimbulkan efek samping sedasi atau mengantuk, seperti

CTM, dimenhidrinat, difenhidramin, triprolidin dan prometasen.

Antihistamin generasi baru sebagian besar tidak menimbulkan rasa

ngantuk, seperti loratadin, terfenadin dan cetrisin. Namun ada juga satu

jenis yang bahkan menyebabkan efek sedasi kuat yaitu mebhidrolin

napadiksilat. Sementara itu, satu-sayunya antiserotonin yang

dipasarkan adalah siproheptadin. Obat ini selain menghambat alergi

juga dikenal sebagai pemicu nafsu makan. Penghambat sel mast yang

dipasarkan adalah sodium kromoglikat.

3. Pencegahan

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya

alergi :

a. Jagalah kebersihan lingkungan, baik di dalam maupun diluar

rumah. Hal ini termasuk tidak menumpuk banyak barang di dalam

rumah ataupun kamar tidur yang dapat menjadi sarang

bertumpuknya debu sebagai rangsangan timbulnya reaksi alergi.

Usahakan jangan memelihara binatang di dalam rumah ataupun

meletakkan kandang hewan peliharaan di sekitar rumah anda.


b. Kebersihan diri juga harus diperhatikan, untuk menghindari

tertumpuknya daki yang dapat pula menjadi sumber rangsangan

terjadinya reaksi alergi.

c. Jangan menggunakan pewangi ruangan atau pun parfum, obat-obat

anti nyamuk. Jika di rumahan dan terdapat banyak nyamuk,

gunakanlah raket anti nyamuk.

d. Gunakan kasur atau bantal dari bahan busa, bukan kapuk.

e. Awasi setiap makanan atau minuman maupun obat-obatan yang

menimbulkan reaksi alergi. Hindarilah bahan makanan, minuman,

maupun obat-obatan tersebut. Anda harus mematuhi aturan diet

alergi anda.

f. Temui ahli. Konsultasikan dengan spesialis.

g. Hindari pemicu alergi, misalnya makanan atau obat. Cari tahu

komposisi atau kandungan makanan atau obat. Biasakan membaca

label yang tertera di luar kemasan.

h. Jika anak-anak alergi makanan tertentu, kenalkan jenis makanan

baru dalam porsi kecil sehingga kita dapat mengetahui reaksi

alerginya.

i. Penderita alergi sebaiknya selalu membawa kartu atau daftar jenis

alergi atau alergen yang dideritanya. Simpan dalam dompet untuk

keadaan darurat.

j. Selalu bawa obat anti alergi sesuai rekomendasi dari dokter.

f.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai

berikut :

1. Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan

respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi

penyakit autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus.

Sebagain dari kelompok ini bersifat sitotokis dan digunakan sebagai

antikanker.

2. Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan

mekanisme pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non

spesifik, dan terjadi induksi non spesifik baik mekanisme pertahanan

seluler maupun humoral.

3. Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan

kerja histamin dalam tubuh melalui mekanisme penghambatan

bersaing pada reseptor H-1, H-2 dan H-3.

B. Saran

Sebaiknya bagi penderita yang terkena alergi segera diberi

pertolongan pertama seperti minum air kelapa muda atau dengen segera

dibawa kedokter atau rumah sakit terdekat dan mendepatkan pengobatan

yang layak.
DAFTAR PUSTAKA

Anang Endaryanto, Ariyanto Harsono, Prospek Probiotik dalam pencegahan


alergi melalui induksi aktif toleransi imunologis: Divisi Alergi Imunologi:
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK-Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya

Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI.

Brooks, Geo F. Butel, Janet S. Morse, Stephen A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran


Edisi 21. Jakarta: Salemba Medika.

Budi, Imam. 2008. Pemakaian Antihistamin Pada Anak : FK-USU.

Djuanda A, dkk, 2010, MIMS Indonesia petunjuk konsultasi, CMP Medika


Jakarta.

Janet L, Stringer, 2006, Konsep dasar farmakologi Edisi III, EGC, Jakarta.

Joyce L, 1996, Farmakologi, EGC, Jakarta.

Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium.


Jakarta: FKUI

Putra, I.B., 2008, Pemakain Anti Histamin Pada Anak, Fakultas Kedokteran-USU,
Medan.

Rengganis, Iris. Yunihastuti, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Sukandar, Elin Yulinah, ISO Farmakoterapi. 2008. Jakarta: PT. ISFI

Sulistiawati L., dan Rostita, 2008, saat anak pilek terus-menerus, Qanita PT
Mizan Pustaka, Bandung.

Tan, Hoan Tjai. Obat-obat Penting. 2007.Jakarta: PT. Gramedia

Anda mungkin juga menyukai