Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH FARMAKOTERAPI PADA SISTEM IMUN

(IMUNOLOGIC DISORDERS)
SISTEM SLE (SYISTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS)
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Farmakoterapi 3

Dosen Pengampu:
apt. Sunarti, M.Sc.

Disusun oleh:

1. Awang Pardigantara (200105012)


2. Fani Nur Fauziah (200105028)
3. Herlan Budi Kusuma (200105038)
4. Ira Rachmawati (200105048)
5. Lintang Septiani Putri (200105052)
6. Muhammad Maulana (200105058)
7. Nita Ayu Putri Amelia R. (200105062)
8. Vina Yuliana Cahyani (200105078)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
PURWOKERTO
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkankehadirat Allah SWT. Sebab karena rahmat dan nikmat Nyalah
kelompok kami dapat menyelesaikan sebuah Tugas Makalah “Farmakoterapi Pada Sistem
Imun (Imunologic Disorders)” Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah
satutugas Mata Kuliah tugas kelompok mata kuliah Farmakoterapi 3 Dosen Pengampu apt.
Sunarti, M.Sc.
Adapun sumber-sumber dalam pembuatan makalah ini, didapatkan dari beberapa artikel
dan jurnal yang membahas tentang materi yang berkaitan. Kami sebagai penyusun makalah ini,
sangat berterima kasih kepada penyedia sumber walau tidak dapat secara langsung untuk
mengucapkannya. Kami menyadari bahwa setiap manusia memiliki keterbatasan, begitu pun
dengan kami yang masih seorang mahasiswa.

Dalam pembuatan makalah ini mungkin masih banyak kekurangan yang ditemukan, oleh
karena itu kami mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya, kami mengharapkan kritik
dan saran dari para pembaca sekalian dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembacanya.

Purwokerto, 25 Mei 2023

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... ii

BAB I .............................................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 2

C. Tujuan .................................................................................................................................. 2

BAB II............................................................................................................................................. 4

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................. 4

A. Definisi ................................................................................................................................. 4

B. Klasifikasi ............................................................................................................................ 6

C. Etiologi ................................................................................................................................. 9

D. Patofisiologi ....................................................................................................................... 10

E. Antigen dan Antibodi ......................................................................................................... 12

F. Gambaran Klinis ................................................................................................................ 15

G. Diagnosis............................................................................................................................ 16

H. Pengobatan ......................................................................................................................... 19

I. Tujuan Terapi ..................................................................................................................... 21

J. Terapi Farmakologi ............................................................................................................ 22

K. Terapi Non Farmakologi .................................................................................................... 23

L. Farmakoterapi Dan Evaluasi Terapi Pada Transplantasi Organ ................................... 23

BAB III ......................................................................................................................................... 29

ii
STUDI KASUS DAN REVIEW JURNAL .................................................................................. 29

A. Studi Kasus ........................................................................................................................ 29

B. Review Jurnal..................................................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 37

LAMPIRAN .................................................................................................................................. 39

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem imun adalah sistem yang membentuk kemampuan tubuh untuk melawan
bibit penyakit dengan menolak berbagai benda asing yang masuk ke tubuh agar terhindar
dari penyakit(Hidayat & Syahputra, 2020). Sistem imun tubuh memilki dua mekanisme
pertahanan dalam menjaga tubuh, yaitu sistem imun spesifik dan sistem imun non-
spesifik. Menurut Fox (2008), sistem imun mencakupi semua struktur dan proses yang
menyediakan pertahanan tubuh untuk melawan bibit penyakit dan dapat di kelompokkan
menjadi dua kategori yaitu; sistem imun bawaan (innate) yang bersifat non-spesifik dan
sistem imun adaptif yang bersifat spesifik(Hidayat & Syahputra, 2020).
Sistem imun non-spesifik yaitu sistem imun yang akan berfungsi saat benda asing
atau virus apapun yang masuk ke dalam tubuh tanpa harus mengenali suatu bibit penyakit
tertentu karena sistem imun ini tidak memiliki ingatan atau memori, sedangkan sistem
imun spesifik adalah sistem imun khusus yang akan mulai berkerja saat suatu virus atau
bakteri itu sudah dikenali sebelumnya karena sistem imun ini memiliki memori atau daya
ingat tentang suatu bibit penyakit yang sebelumnya dan mulai memproses sel imun
khusus yang disebut limfosit untuk membasmi penyakit tersebut. Hal ini mencakup
pengenalan terlebih dahulu terhadap suatu bibit penyakit, kemudian memproduksi
antibodi atau T-limfosit khusus yang hanya akan bereaksi terhadap bibit penyakit tersebut
yang sudah dikenali(Hidayat & Syahputra, 2020).
Leukosit adalah sel imun tubuh non-spesifik atau yang disebut sebagai sel darah
putih yang bekerja melawan benda virus atau benda asing lainnya secara langsung atau
tanpa harus mengenali virus tersebut terlebih dahulu. Sedangkan Limfosit atau sel imun
tubuh spesifik adalah sel khusus yang akan melawan penyakit atau virus yang sudah
pernah masuk kedalam tubuh, sehingga limfosit bisa menjadi lebih kuat dari sebelumnya
(Hidayat & Syahputra, 2020).
Imunologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang imunitas atau kekebalan
akibat adanya rangsangan molekul asing dari luar maupun dari dalam tubuh manusia.

1
Manusia memiliki sistem pelacakan dan penjagaan terhadap benda asing yang dikenal
dengan sistem imun, dimana akan melindungi tubuh terhadap penyebab penyakit,
patogen seperti virus, bakteri, parasit, dan jamur.
Imunologic disorders atau gangguan imunologi adalah kondisi dimana sistem
imun tubuh mengalami gangguan atau kelainan, sehingga menyebabkan respon imun
yang berlebihan atau tidak adekuat. Gangguan imunologi dapat berupa penyakit
autoimun, alergi, atau imunodefisiensi. Imunologic disorders juga dapat melibatkan
berbagai bagian tubuh, termasuk kulit, saluran pernapasan, sistem pencernaan, sistem
saraf, serta organ dalam seperti jantung, ginjal, dan hati.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan penyakit pada system imun?
2. Bagaimana klasifikasi penyakit pada system imun?
3. Bagaimana etiologi penyakit pada system imun?
4. Bagaimana patofisiologi penyakit pada system imun?
5. Apakah yang dimaksud dengan antigan dan antibodi pada system imun?
6. Bagaimana gambaran klinis penyakit pada system imun?
7. Bagaimana diagnosis dan pengobatan penyakit pada system imun?
8. Bagaimana tujuan terapi penyakit pada system imun?
9. Bagaimana terapi farmakologi untuk penyakit pada system imun?
10. Bagaimana terapi non farmakologi untuk penyakit pada system imun?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi penyakit pada system imun?
2. Mengetahui klasifikasi penyakit pada system imun?
3. Mengetahui etiologi penyakit pada system imun?
4. Mengetahui patofisiologi penyakit pada system imun?
5. Mengetahui antigan dan antibodi pada system imun?
6. Mengetahui gambaran klinis penyakit pada system imun?
7. Mengetahui diagnosis dan pengobatan penyakit pada system imun?
8. Mengetahui tujuan terapi penyakit pada system imun?
9. Mengetahui terapi farmakologi untuk penyakit pada system imun?
10. Mengetahui terapi non farmakologi untuk penyakit pada system imun?
2
3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
1. Definisi Sistem Imun
Istilah Imunologi berasal dari bahasa latin yaitu Imunis dan Logos, Imun yang
berarti kebal dan logos yang berarti ilmu. Imunologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang mekanisme kekebalan tubuh. Imunitas adalah perlindungan dari penyakit,
khususnya penyakit infeksi. Sel-sel dan molekul-molekul dalam tubuh manusia yang
terlibat di dalam mekanisme perlindungan akan mengaktifkan respon kekebalan dengan
cara membentuk sistem imun. Sedangkan respon yang terjadi untuk menyambut paparan
benda asing disebut respon imun. Imunologi adalah suatu cabang ilmu yang luas dari
biomedis yang mencakup kajian mengenai semua aspek sistem imun (kekebalan) pada
semua organisme (Encyclopedia, 2019).
Gangguan imunologi, juga dikenal sebagai penyakit imunologis atau gangguan
sistem kekebalan tubuh, adalah kondisi di mana sistem kekebalan tubuh seseorang tidak
berfungsi dengan baik. Sistem kekebalan tubuh bertanggung jawab untuk melindungi
tubuh dari infeksi, penyakit, dan bahan asing. Ketika sistem kekebalan tubuh terganggu,
dapat terjadi berbagai gangguan imunologi yang dapat mempengaruhi berbagai bagian
tubuh.
Sistem imun (kekebaan tubuh) adalah sistem pertahanan pada tubuh manusia yang
berfungsi untuk menjaga manusia dari benda-benda yang asing bagi tubuh manusia. Pada
sistem imun ada istilah yang disebut imunitas. Imunitas adalah ketahanan tubuh atau
resistensi tubuh terhadap suatu penyakit. Jadi sistem imun pada tubuh manusia
mempunyai imunitas terhadap berbagai macam penyakit yang dapat membahayakan
tubuh.
Jika sistem kekebalan tubuh manusia dapat bekerja dengan benar, sistem ini akan
mampu melindungi tubuh terhadap paparan infeksi bakteri dan virus, serta

4
menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Hal yang akan terjadi apabila
sistem kekebalan kurang optimal atau melemah dalam bekerja, maka akan didapatkan
kemampuannya dalam melakukan proses perlindungan terhadap tubuh yang berkurang
optimal, sehingga potensial sekali untuk menyebabkan patogen baik itu kuman, parasit
maupun virus dapat berkembang dalam tubuh. Selain sebagai perlindungan terhadap
kuman, parasit dan virus, sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap
perkembangan dan munculnya sel tumor. Apabila sistem imun mengalami hambatan
dalam berkerja, maka dapat meningkatkan resiko timbulnya beberapa jenis tumor dalam
tubuh baik yang bersifat jinak maupun ganas (Smeltzer & Bare, 2013).

2. Definisi Sistem SLE (Syistemic Lupus Erythematosus)


Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker. Tidak
sedikit pengindap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi penyandang
penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap
tahunnya. Tubuh memiliki kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat.
Namun, apa jadinya jika kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat.
Penyakit lupus diduga berkaitan dengan sistem imunologi yang berlebih. Penyakit ini
tergolong misterius. Lebih dari 5 juta orang dalam usia produktif di seluruh dunia telah
terdiagnosis menyandang lupus atau SLE (Systemic Lupus Erythematosus), yaitu
penyakit auto imun kronis yang menimbulkan bermacam-macam manifestasi sesuai
dengan target organ atau sistem yang terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit
1000 wajah.

Lupus Eritematous Sistemik (SLE) atau dikenal dengan lupus adalah suatu
penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan
gejala dari penyakit ini bisa bermacam – macam, bersifat sementara, dan sulit untuk
didiagnosis karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang oleh
penyakit ini sulit diperoleh. SLE menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih
sering dari pada laki-laki. Penyakit ini seringkali dimulai pada akhir masa remaja atau
awal dewasa. Di Amerika Serikat, penyakit ini menyerang perempuan Afrika Amerika
tiga kali lebih sering daripada perempuan Kaukasia. Jika penyakit ini baru muncul pada
usia di atas 60 tahun, biasanya akan lebih mudah untuk diatasi (Sylvia & Lorraine, 2005).

5
Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar tahun 1800-
an, dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-kupu”, melintasi
tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan serigala (lupus
adalah kata dalam bahasa Latin yang berarti serigala). Lupus discoid adalah nama yang
sekarang diberikan pada penyakit ini apabila kelainannya hanya terbatas pada gangguan
kulit. SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difusi yang etiologinya
tidak diketahui. Kelompok ini meliputi SLE, scleroderma, polimiositis, artritis
rheumatoid, dan sindrom Sjogren. Gangguan – gangguan ini seringkali memiliki gejala
yang saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya dan dapat menjadi semakin slit
untuk ditegakkan secara akurat. (Sylvia & Lorraine, 2005).

Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem imun
yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Mekanisme
sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan
organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi yang menyerang
jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan
kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan (Underwood,
1999).

SLE merupakan prototipe kelainan autoimun sistemik, ditandai dengan bermacam-


macam antibodi, terutama antibodi antinukleus. Antibodi antinukleus tidak memasuki sel
utuh. Namun, nukleus sel yang rusak bereaksi dengan antibodi antinukleus, kehilangan
pola kromatinnya, dan menjadi badan LE yang homogen, (badan hematoksilin).
Fagositosis badan LE oleh neutrofil atau makrofag in vitro akan membentuk sel LE
smapai kira-kira 70 % penderita SLE. Selain antibodi antinukleus, penderita SLE juga
menunjukkan adanya berbagai macam autoantibodi antara lain terhadap elemen darah
(sel darah merah, trombosit, leukosit). Juga antara 20%-40% mempunyai antibodi
terhadap fosfolipid (Robbins dkk; 1999).

B. Klasifikasi
1. Klasifikasi Sistem Imun
Sejak lahir setiap individu sudah dilengkapi dengan sistem pertahanan,
sehingga tubuh dapat mempertahankan keutuhannya dari berbagai gangguan dari luar

6
maupun dari dalam tubuh. Sistem imun dirancang untuk melindungi inang (host) dari
patogen-patogen penginvasi dan untuk menghilangkan penyait.
Sistem imun berdasarkan responnya terhadap suatu jenis penyakit
diklasifikasikan sebagai sistem imun bawaan (innate immunity system) atau sering
juga disebut respon/sistem spesifik, bergantung pada derajat selektivitas mekanisme
pertahanan.
Klasifikasi gangguan imunodefisiensi primer.

2. Klasifikasi SLE (Syistemic Lupus Erythematosus)


Sampai saat ini tidak ada kriteria diagnosis, yang ada hanyalah Kriteria
Klasifikasi SLE yang dibuat oleh American College of Rheumatology (ACR) pada
tahun 1971 yang kemudian mengalami dua kali revisi pada tahun 1982 dan 1997
(Tabel 3.1) (Tan et al, 1982;Hochberg, 1997). Dari kriteria ini dianggap memenuhi
diagnosis SLE bila memenuhi 4 dari 11 kriteria. Kriteria ini digunakan hanya untuk
kepentingan penelitian karena SLE sering bermanifestasi dengan penyakit connecitve
tissue lainnya, misal Rheumatoid Arthritis (RA), Polimiositis, dan Scleroderma.
Meskipun SLE gejalanya multi organ failure, namun gejala yang satu dengan yang
lainnya tidak timbul bersamaan, ada satu gejala bisa timbul dalam waktu bertahun-

7
tahun atau hanya beberapa bulan dan baru diikuti gejala lain sehingga menggambar
secara klinis SLE yang lengkap, yaitu gambaran multiorgan (Dall‟era & Wofsy,
2017).
Tabel Kriteria Klasifikasi SLE American College of Rheumatology tahun 1997
(Hochberg, 1997)

Kriteria Definisi

Ruam Malar Eritema, datar maupun menonjol, muncul di daerah pipi,


(Malar rash) tidak mengenai lipatan nasolabial

Bercak eritema yang menonjol menyerupai penebalan


Ruam discoid
keratotik (plaque) dan pembuntuan folikel; scar atrofik
(Discoid rash)
dapat muncul pada lesi yang sudah lama

Fotosensitivitas Ruam akibat reaksi terhadap sinar matahari (ditentukan

Kriteria Definisi

berdasarkan anamnesis atau pengamatan langsung)

Stomatitis Ulkus pada mukosa mulut, orofaring, atau nasofaring yang


(Oral ulcers) biasanya tidak nyeri

Artritis non-erosiva yang melibatkan 2 atau lebih sendi-


Artritis sendi perifer yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri
tekan, atau efusi sendi

Riwayat nyeri dada khas pleuritis, pleural rub yang


terdengar saat pemeriksaan fisik, atau adanya efusi pleura
atau
Serositis
Ditemukannya perikarditis pada hasil elektrokardiogram,
pericardial rub yang terdengar saat pemeriksaan fisik, atau
adanya efusi pericardial

Proteinuria persisten >0.5 gram/hari (lebih dari 3+) atau


Gangguan ginjal terdapat cellular casts (eritrosit, haemoglobin, granular
tubular, atau campuran)

8
Kejang tanpa adanya riwayat penggunaan obat yang
memicu kejang atau adanya gangguan metabolik (contoh:
uremia, asidosis, gangguan elektrolit)
Gangguan
atau
neuropsikiatri
Psikosis tanpa adanya riwayat penggunaan obat yang
memicu psikosis atau adanya gangguan metabolik (contoh:
uremia, asidosis, gangguan elektrolit)

Anemia hemolitik dengan retikulositosis


Gangguan atau
hematologik
Leukopenia <4000/mm3

C. Etiologi
Etiologi atau penyebab gangguan imunologi dapat bervariasi tergantung pada jenis
dan klasifikasi spesifik dari gangguan tersebut. Berikut adalah beberapa faktor yang dapat
berperan dalam etiologi gangguan imunologi:
1. Faktor Genetik:
Predisposisi genetik: Beberapa gangguan imunologi, seperti penyakit
autoimun, memiliki komponen genetik yang kuat. Variasi genetik tertentu dapat
meningkatkan risiko seseorang untuk mengembangkan gangguan imunologi dengan
mempengaruhi regulasi sistem kekebalan tubuh atau respons imun. Kelainan genetik:
Imunodefisiensi primer, misalnya, dapat disebabkan oleh kelainan genetik yang
mengganggu fungsi atau produksi sel-sel imun.
2. Faktor Lingkungan:
Paparan alergen: Alergi dapat dipicu oleh paparan alergen tertentu, seperti
serbuk sari, debu rumah, bulu hewan, makanan, atau obat-obatan. Paparan infeksi:
Beberapa gangguan imunologi, seperti penyakit autoimun, dapat dipicu oleh infeksi
tertentu. Infeksi virus atau bakteri dapat merangsang respons imun yang tidak tepat
dan memicu reaksi autoimun. Paparan zat kimia: Beberapa zat kimia, seperti logam
berat atau obat-obatan tertentu, dapat memicu respons imun yang merusak jaringan
tubuh dan menyebabkan reaksi autoimun.
9
3. Faktor Imunodefisiensi:
Penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh: Imunodefisiensi primer atau
sekunder dapat disebabkan oleh kelainan genetik, pengobatan kanker (kemoterapi
atau radiasi), infeksi HIV/AIDS, atau penggunaan obat imunosupresan setelah
transplantasi organ. Penurunan produksi antibodi atau sel imun: Imunodefisiensi
dapat terjadi karena gangguan dalam produksi antibodi, sel B, sel T, atau sel-sel imun
lainnya.
4. Faktor Autoimun:
Gangguan regulasi imun: Dalam penyakit autoimun, terjadi gangguan dalam
regulasi sistem kekebalan tubuh, sehingga sistem kekebalan tubuh menyerang
jaringan tubuh sendiri. Mekanisme kerusakan imun: Kelainan dalam mekanisme
pengenalan diri atau penghapusan sel-sel imun yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan jaringan dan merangsang reaksi autoimun. Penting untuk diingat bahwa
faktor-faktor ini mungkin berinteraksi secara kompleks dan multifaktorial dalam
pengembangan gangguan imunologi. Peran masing-masing faktor dapat bervariasi
tergantung pada jenis gangguan imunologi yang spesifik.

D. Patofisiologi
1. Patosiologi Sistem Imun
Patofisiologi gangguan imunologi melibatkan kelainan dalam fungsi sistem kekebalan
tubuh yang mengakibatkan respons imun yang tidak tepat. Berikut kerangka umum untuk
memahami patofisiologi gangguan imunologi:
1. Penyakit Autoimun:
 Kerusakan atau gangguan pada mekanisme pengenalan "self" dan "non-self"
oleh sistem kekebalan tubuh.
 Produksi antibodi atau sel T yang menyerang jaringan dan organ tubuh
sendiri.
 Mekanisme autoimunitas dapat melibatkan peran faktor genetik dan faktor
lingkungan.
2. Imunodefisiensi Primer:

10
 Gangguan bawaan pada komponen sistem kekebalan tubuh, seperti sel T, sel B,
atau sel fagosit.
 Ketidakmampuan untuk menghasilkan jumlah atau jenis sel imun yang cukup,
atau kelainan dalam fungsi dan diferensiasi sel imun.
 Rentan terhadap infeksi serius, berulang, atau berat.
3. Imunodefisiensi Sekunder:
 Penyebab oleh faktor eksternal, seperti infeksi, pengobatan kanker (kemoterapi,
radiasi), penggunaan obat imunosupresan, atau virus seperti HIV.
 Gangguan pada produksi, distribusi, atau fungsi sel imun.
 Terjadinya penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh yang mengarah pada
peningkatan risiko infeksi dan masalah imunologi lainnya.
4. Alergi:
 Respons imun yang berlebihan terhadap bahan yang biasanya tidak berbahaya,
disebut alergen.
 Produksi imunoglobulin E (IgE) yang meningkat, yang menyebabkan pelepasan
histamin dan mediator imun lainnya.
 Gejala alergi meliputi ruam, gatal-gatal, hidung berair, bersin, sesak napas, dan
reaksi anafilaksis yang parah.
5. Gangguan Inflamasi:
 Respon peradangan yang berlebihan atau tidak terkontrol dalam tubuh.
 Produksi sitokin yang berlebihan, seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-
6), dan faktor nekrosis tumor alfa (TNF-α).
 Kerusakan jaringan dan organ akibat peradangan kronis.

2. Patosiologi SLE (Syistemic Lupus Erythematosus)


Sinar ultraviolet menyebabkan perubahan susunan DNA yang disebut proses
epigenetik dalam proses epigenetik Metilasi DNA mungkin merupakan epigenetik yang
paling banyak dipelajari menambahkan gugus metil ke posisi 5 karbon sitosin dalam
dinukleotida citosin-fosfat-guanosin (CpG) mekanisme epigenetik yang sangat kuat.
Fungsinya mengontrol aksesibilitas terhadap faktor transkripsi, co-activators transkripsi,

11
dan RNA polimerase. Metilasi DNA dalam patofisiologs SLE juga mempunyai peran
penting dalam patogenesis SLE (Javierre et al., 2010).
Mekanisme epigenetik bersifat reversibel dan juga diturun. Epigenetik merupakan
proses yang mengatur ekspresi gen tanpa mengubah yang Urutan DNA. Fungsinya
mengontrol aksesibilitas DNA terhadap kompleks transkripsi, termasuk faktor transkripsi
dan RNA polimerase. Epigenetik bertanggung jawab bila DNA metilasi ini terlepas
uraiannya maka DNA ini banyak mengandung CpG, pada umumnya lebih dari 200 base
pair CpG ini banyak ditemukan pada daerah promoter yang akan menghambat transkripsi
dan mengganggu regulasi silencing pada target gen. Sinar ultraviolet lainnya misalnya
UV A masih berpengaruh secara tidak langsung pada keratinosit melalui produksi radikal
bebas dan ROS yang dapat merusak dsDNA menjadi single strand. Sebagian besar pasien
secara genetis cenderung untuk berkembang jadi SLE Namun, bila hanya mempunyai alel
risiko saja maka tidak kuat untuk memunculkan penyakit diperlukan faktor pendukung,
misalnya faktor hormonal, infeksi, obat-obatan, paparan terhadap racun, dan bahan
kimia), faktor pengaturan kekebalan tubuh, dan adanya proses epigenetik barulah muncul
ekspresi penyakit. Tidak hanya sinar ultraviolet saja sebagai faktor lingkungan yang
dapat men-trigger SLE, namun beberapa obat-obatan juga diduga dapat memicu SLE,
antara lain Hydralazine Procainamide, Isoniazid, Hydantoins, Chlorpromazin Methyldopa
Penicillamie Minocycline, dan TNF inhibitor (Hedrich, 2017).
E. Antigen dan Antibodi
1. Antigen
Antigen merupakan bahan asing yang merupakan target yang akan dihancurkan
oleh sistem kekebalan tubuh. Antigen ditemukan di permukaan seluruh sel, tetapi dalam
keadaan normal, sistem kekebalan seseorang tidak bereaksi terhadap selnya sendiri.
Sehingga dapat dikatakan antigen merupakan sebuah zat yang menstimulasi tanggapan
imun. Antigen biasanya berbentuk protein atau polisakarida. Sistem kekebalan atau
sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel
dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar,
sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksibakteri dan virus, serta
menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan
melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan

12
patogen. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan
terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa
jenis kanker.
Pada umumnya, antigen-antigen dapat di klasifikasikan menjadi dua jenis utama,
yaitu antigen eksogen dan antigen endogen.antigen eksogen adalah antigen-antigen yang
disajikan dari luar kepada hospes dalam bentuk mikroorganisme,tepung sari,obat-obatan
atau polutan.Antigen ini bertanggungjawab terhadap suatu spektrum penyakit manusia,
mulai dari penyakit infeksi sampai ke penyakit-penyakit yang dibenahi secara immologi,
seperti pada asma.Antigen endogen adalah antigen yang terdapat didalam tubuh dan
meliputi antigen-antigen berikut:antigen senogeneik (heterolog), antigen autolog dan
antigen idiotipik atau antigen alogenik (homolog). Antigen senogeneik adalah antigen
yang terdapat dalam aneka macam spesies yang secara filogenetik tidak ada
hubungannya, antigen-antigen ini penting untuk mendiagnosa penyakit. Kelompok-
kelompok antigen yang paling banyak mempunyai arti klinik adalah kelompok-kelompok
antigen yang digunakan untuk membedakan satu individu spesies dengan individu spesies
yang sama. Pada manusia determinan antigen semacam ini terdapat pada sel darah
merah,sel darah putih trombosit, protein serum, dan permukaan sel-sel yang menyusun
jaringan tertentu dari tubuh, termaksud antigen-antigen histokompatibilitas. Antigen ini
dikenal antigen polomorfik, karena adanya dua atau lebih bentuk-bentuk yang berbeda
secara genetik didalam populasi.ciri – ciri antigen yang menentukan imunogenitas dalam
respon imun :
a. Keasingan,yaitu imunogen adalah bahwa zat tersebut secara genetik asing terhadap
hospes
b. Ukuran molekul
c. Kekompleksian kimia dan struktural
d. Penentu antigen ( epilop )
e. Konstitusi genetik inang
f. Dosis, jalur, dan saat pemberian anti gen.

2. Antibodi

13
Antibodi adalah protein yang dapat ditemukan pada darah atau kelenjar
tubuhvertebrata lainnya, dan digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk
mengidentifikasikan dan menetralisasikan benda asing seperti bakteri dan virus. Mereka
terbuat dari sedikit struktur dasar yang disebut rantai. Tiap antibodi memiliki dua rantai
berat besar dan dua [rantai ringan]. Antibodi diproduksi oleh tipe sel darah yang disebut
sel B. Terdapat beberapa tipe yang berbeda dari rantai berat antibodi, dan beberapa tipe
antibodi yang berbeda, yang dimasukan kedalam isotype yang berbeda berdasarkan pada
tiap rantai berat mereka masuki. Lima isotype antibodi yang berbeda diketahui berada
pada tubuh mamalia, yang memainkan peran yang berbeda dan menolong mengarahkan
respon imun yang tepat untuk tiap tipe benda asing yang berbeda yang ditemui. Antibodi
adalah molekul immunoglobulin yang bereaksi dengan antigen spesifik yang
menginduksi sintesisnya dan dengan molekul yang sama; digolongkan menurut cara
kerja seperti agglutinin, bakteriolisin, hemolisin, opsonin, atau presipitin. Antibodi
disintesis oleh limfosit B yang telah diaktifkan dengan pengikatan antigen pada reseptor
permukaan sel. Antibodi biasanya disingkat penulisaanya menjadi Ab.(Dorlan).
Antibodi terdiri dari sekelompok protein serum globuler yang disebut sebagai
immunoglobulin (Ig). Sebuah molekul antibody umumnya mempunyai dua tempat
pengikatan antigen yang identik dan spesifik untuk epitop (determinan antigenik) yang
menyebabkan produksi antibody tersebut. Masing-masing molekul antibody terdiri atas
empat rantai polipeptida, yaitu dua rantai berat (heavy chain) yang identik dan dan dua
rantai ringan (light chain) yang identik, yang dihubungkan oleh jembatan disulfida untuk
membentuk suatu molekul berbentuk Y. Pada kedua ujung molekul berbentuk Y itu
terdapat daerah variabel (V) rantai berat dan ringan. Disebut demikian karena urutan
asam amino pada bagian ini sangat bervariasi dari satu antibodi ke antibodi yang
lain.Daerah V rantai berat dan daerah V rantai ringan secara bersama-sama membentuk
suatu kontur unik tempat pengikatan antigen milik antibodi.Interaksi antara tempat
pengikatan antigen dengan epitopnya mirip dengan interaksi enzim dan substratnya:
ikatan nonkovalen berganda terbentuk antara gugus-gugus kimia pada masing-masing
molekul(Campbell).

3. Interaksi Antigen dan Antibodi

14
Interaksi Antigen dan Antibodi adalah sebagai berikut :
a. Reaksi ini pada umunya spesifik,biarpun ada beberapa ditemukan reaksi silang (cross
– reaction)
b. Pengabunggan antara antigen – antibodi adalah erat sekali, tetapi seringkali
reversible.
c. Antigen dan antibodi bergabung dalam jumlah yang variabel ( Danysz phenomenon )
d. Antigen dan antibodi adalah suatu reaksi kimia, karena yang bergabung adalah gugus
– gugus spesifik dari kedua regens.
e. Dari suatu antigen dengan antiserumnya dapat diperihatkan tipe – tipe reaksi
serologic yang berbeda, mungkin disebabkan oleh molekul – molekul antibodi yang
sama sering merefleksikan yang berbeda.

F. Gambaran Klinis
Sistem imun tubuh memiliki peran penting dalam melindungi tubuh dari infeksi
dan penyakit. Ketika sistem imun berfungsi dengan baik, ia dapat mengenali dan
merespons dengan tepat terhadap patogen, mikroorganisme, dan bahan asing lainnya.
Berikut ini adalah beberapa gambaran klinis umum dari sistem imun yang sehat:
1. Respons Imun Terhadap Infeksi:
Sistem imun mengenali dan merespons terhadap infeksi dengan mengaktifkan
respons inflamasi, yang melibatkan pelepasan zat kimia proinflamasi dan migrasi sel-
sel imun ke daerah yang terinfeksi.Gejala seperti demam, kemerahan, pembengkakan,
dan nyeri dapat terjadi sebagai bagian dari respons imun terhadap infeksi.
2. Perlindungan dari Infeksi:
Sistem imun membantu melindungi tubuh dari infeksi dengan produksi antibodi,
yang merupakan protein khusus yang mengenali dan menetralkan patogen seperti
virus dan bakteri. Sel-sel imun, seperti makrofag dan sel NK (natural killer), bertugas
menghancurkan dan menghilangkan patogen yang menginfeksi sel-sel tubuh.
3. Toleransi terhadap Zat Tubuh Sendiri:

15
Sistem imun seharusnya dapat membedakan antara zat tubuh sendiri (self) dan
bahan asing (non-self). Ini disebut toleransi imunologis. Dalam kondisi normal,
sistem imun tidak menyerang atau merusak jaringan tubuh sendiri, menghindari
perkembangan penyakit autoimun.
4. Pengendalian Reaksi Alergi:
Sistem imun bertanggung jawab untuk mengendalikan respons alergi yang tidak
tepat terhadap zat yang sebenarnya tidak berbahaya. Respons alergi yang normal
melibatkan produksi antibodi khusus (IgE) yang berikatan dengan zat alergen tertentu
dan merangsang pelepasan histamin yang menyebabkan gejala alergi seperti gatal-
gatal, hidung berair, dan ruam kulit.
5. Penekanan Respon Imun yang Berlebihan:
Setelah mengatasi infeksi atau peradangan, sistem imun seharusnya dapat
menekan respons imun yang berlebihan untuk menghindari kerusakan jaringan tubuh
yang tidak perlu. Mekanisme pengaturan imun seperti sel T pengatur (T-regulator)
membantu memelihara keseimbangan respons imun.

Penting untuk diingat bahwa kondisi dan gangguan imunologi dapat mengubah
gambaran klinis sistem imun. Gangguan seperti penyakit autoimun, imunodefisiensi, atau
alergi dapat menyebabkan ketidakseimbangan atau kelainan dalam respons imun yang
menyebabkan gejala dan komplikasi yang berbeda. Jika ada kekhawatiran terkait sistem
imun atau gejala yang mencurigakan, disarankan untuk berkonsultasi dengan profesional
medis yang berkualifikasi.

G. Diagnosis
1. Diagnosis Penyakit Imun
Diagnosis Pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya radang dapat diduga
sebagai gangguan autoimun. Misalnya, pengendapan laju eritrosit (ESR) seringkali
meningkat, karena protein yang dihasilkandalam merespon radang mengganggu
kemampuan sel darahmerah (eritrosit) untuk tetap ada di darah. Sering, jumlah sel
darahmerah berkurang (anemia) karena radang mengurangi produksimereka. Tetapi
radang mempunyai banyak sebab, banyak diantaranya yang bukan autoimun. Dengan

16
begitu, dokter seringmendapatkan pemeriksaan darah untuk mengetahui antibodi
yangberbeda yang bisa terjadi pada orang yang mempunyai gangguanautoimun khusus.
Contoh antibodi ini ialah antibodi antinuclear,yang biasanya ada di lupus
erythematosus sistemik, dan faktorrheumatoid atau anti-cyclic citrullinated peptide
(anti-CCP) antibodi,yang biasanya ada di radang sendi rheumatoid. Antibodi ini
punkadang-kadang mungkin terjadi pada orang yang tidak mempunyaigangguan
autoimun, oleh sebab itu dokter biasanya menggunakankombinasi hasil tes dan tanda
dan gejala orang untuk mengambilkeputusan apakah ada gangguan autoimun.
Beberapa pemeriksaan autoantibodi seringkali dapat membantu diagnosis
penyakit autoimun Pemeriksaan tersebut juga bermanfaat sebagai pemeriksaan
penyaring pada kelompok risiko seperti misalnya keluarga penderita penyakitautoimun,
atau mencari penyakit autoimun lain yang sering menyertai suatu penyakit autoimun
tertentu seperti kemungkinan tiroiditis pada gastritis autoimunatau sebaliknya.
Diagnosis gangguan autoimun sebagian besar bertumpu pada sejarah
yangakurat dan pemeriksaan fisik pasien, dan indeks kecurigaan yang tinggi
denganlatar belakang kelainan tertentu pada tes laboratorium rutin (misalnya, tinggi
protein C-reaktif ). Pada gangguan sistemik beberapa tes serologi yang
dapatmendeteksi spesifik autoantibodi dapat digunakan. Gangguan Local paling
mudahdidiagnosa oleh biopsi spesimen imunofluoresensi . Autoantibodi
digunakanuntuk mendiagnosa beberapa penyakit autoimun . Tingkat autoantibodi
diukuruntuk menentukan kemajuan penyakit.

2. Diangnosis SLE (Syistemic Lupus Erythematosus)


Pasien dengan Lupus Eritematosus Sistemik bisa memiliki gejala yang sangat
bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang berbeda, tidak ada pengujian tunggal
yang dapat mendiagnosa lupus sistemik. Untuk membantu keakuratan diagnosis lupus
eritematosus sistemik, sebelas kriteria diterbitkan oleh asosiasi reumatik Amerika..
Beberapa pasien yang dicurigai menderita lupus eritematosus sistemik mungkin tidak
pernah memenuhi kriteria yang cukup untuk diagnosis defenitif. Pasien yang lain
mungkin mengumpulkan kriteria yang cukup hanya dalam beberapa bulan atau tahun
setelah observasi. Jika seseorang memenuhi empat atau lebih kriteria berikut,

17
diagnosis lupus eritematosus sistemik sangat mungkin. Namun demikian, diagnosis
lupus eritematosus sistemik dapat ditegakkan pada pasien dengan kondisi tertentu
dimana hanya sedikit kriteria yang dapat dipenuhi. Pada pasien-pasien tersebut,
kriteria yang lain dapat berkembang kemudian, tapi pada kebanyakan kasus tidak
demikian (Sjaiffoellah, 1996).
Gejala-gejala penyakit lupus dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik
(LES). Eritomatosus artinya kemerahan, sedangkan sistemik bermakna menyebar luas
keberbagai organ tubuh. Istilahnya disebut LES atau Lupus. Gejala-gejala yang umum
dijumpai adalah:
1. Kulit yang mudah gosong akibat sinar matahari serta timbulnya gangguan
pencernaan.
2. Gejala umumnya penderita sering merasa lemah, kelelahan yang berlebihan,
demam dan pegal-pegal. Gejala ini terutama didapatkan pada masa aktif,
sedangkan pada masa remisi (nonaktif) menghilang.
3. Pada kulit, akan muncul ruam merah yang membentang di kedua pipi, mirip kupu-
kupu. Kadang disebut (butterfly rash). Namun ruam merah menyerupai cakram
bisa muncul di kulit seluruh tubuh, menonjol dan kadang-kadang bersisik. Melihat
banyaknya gejala penyakit ini, maka wanita yang sudah terserang dua atau lebih
gejala saja, harus dicurigai mengidap Lupus.
4. Anemia yang diakibatkan oleh sel-sel darah merah yang dihancurkan oleh penyakit
lupus ini.
5. Rambut yang sering rontok dan rasa lelah yang berlebihan (Sjaiffoellah, 1996).

Cara diagnosis Lupus atau SLE (Lupus Eritematosus Sistemik)

a. Uji Imunologik

Sel lupus eritematosus (sel LE) adalah leukosit polimorfonuklear yang telah
mengingesti bahan-bahan nukleus yang bergabung dengan antibodi antinuklear. Uji
untuk adanya sel-sel ini dapat digunakan untuk membuktikan diagnosis SLE. Darah
perifer atau sumsum tulang diinkubasi pada suhu 37 derajat dan kemudian dicari sel
LE. Yang lebih sering, dicari dalam diagnosis SLE antibodi yang melawan protein

18
atau bahan-bahan nukleus lain. Beberapa antibodi ditemukan dengan fluoresensi,
yang lain ditemukan dengan teknik presipitasi amonium sulfat (Joseph, 1993).
Antibodi antinuklear (ANA) mempunyai kemampuan bergabung dengan
antigen dan mengikat komplemen. Bila penyakitnya sangat aktif, terutama bila ginjal
terlibat, ada pengurangan komplemen dalam sirkulasi (misalnya C3) yang
mempunyai arti penting baik diagnosit maupun terapeutik karena kadarnya menjadi
normal bila terapi berhasil. Uji untuk ANA sekarang sedang digunakan untuk
menyaring SLE. Kadar komplemen dapat memberi pegangan yang berguna dalam
diagnosis maupun pengelolaan penyakit, terutama dengan keterlibatan ginjal.
Antibodi anti-DNA dan pengikatan DNA merupakan uji tambahan yang mempunyai
spesifitas yang tinggi untuk SLE dan digunakan secara seri untuk menilai aktivitas
penyakit. Di antara antibodi-antibodi ini ada antibodi terhadap antigen nukleus yang
diekstraksi (ENA), seperti antigen ribonukleoprotein (RNP), antigen Sm, antigen Ro,
dan antigen La (Joseph, 1993).

H. Pengobatan
Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimun dengan menekan
sistemkekebalan tubuh. Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi autoimun
jugamengganggu kemampuan badan untuk berjuang melawan penyakit, terutamainfeksi.
Gangguan autoimun tertentu (seperti multipel sklerosis dan gangguantiroid) juga
diobati dengan obat lain daripada imunosupresan dan kortikosteroid.Pengobatan untuk
mengurangi gejala juga mungkin diperlukan.Etanercept, infliximab, dan adalimumab
menghalangi aksi faktor tumornecrosis (TNF), bahan yang bisa menyebabkan radang di
badan. Obat ini sangatefektif dalam mengobati radang sendi rheumatoid, tetapi mereka
mungkin berbahaya jika digunakan untuk mengobati gangguan autoimun tertentu
lainnya, seperti multipel sklerosis. Obat ini juga bisa menambah risiko infeksi dan
kankertertentu.
Pengobatan untuk penyakit autoimun secara tradisional sepertiimunosupresif ,
anti-inflamasi (steroid), atau paliatif . Non-imunologi terapi,seperti penggantian hormon
pada tiroiditis Hashimoto atau tipe 1 diabetes mellitusmengobati hasil dari respon
autoaggressive, sehingga ini adalah paliatif perawatan. Intervensi diet dan manipulasi diet

19
membatasi keparahan penyakitceliac, srtritis dan penyakit lainnya.Pengobatan steroid
atau NSAID membatasigejala inflamasi dari banyak penyakit. Terapi spesifik
imunomodulator , sepertiantagonis TNFa (misalnya etanercept ), sel B depleting agen
rituximab , reseptoranti-IL-6 tocilizumab dan pemblokir costimulation abatacept telah
terbukti berguna dalam mengobati RA. Beberapa immunotherapies mungkin
berhubungandengan peningkatan risiko efek samping, seperti kerentanan terhadap
infeksi.
Dua prinsip strategi pengobatan autoimun antara lain supresi respons imunatau
mengganti fungsi organ yang rusak. Penggantian fungsi merupakan metode pengobatan
yang sering digunakan pada autoimun endokrinologi pada gagal organyang ireversibel,
contohnya pada hipotirodisme. Namun apabila kebutuhanhormon yang defisit tidak dapat
diatasi melalui terapi pengganti, maka dapattimbul masalah metabolik. Supresi autoimun
sebelum kerusakan organ ireversibelmenjadi pilihan yang lebih menarik, namun sangat
sulit dalam deteksi dini. Padakasus autoimun seperti SLE, artritis reumatoid dan penyakit
ginjal autoimun,terapi imunosupresi menjadi sarana yang dapat mencegah disabilitas
berat dankematian. Pengobatan penyakit autoimun meliputi kontrol metabolik, obat anti-
inflamasi, imunosupresan, dan kontrol imunologis.
a) Kontrol metabolic Sebagian besar pendekatan pengobatan penyakit autoimun adalah
denganmanipulasi respons imun. Tetapi pada penyakit organ spesifik kontrol
metabolik biasanya sudah memadai, misalnya pemberian tiroksin untuk miksedema
primer,insulin untuk diabetes juvenil, vitamin B12 untuk anemia pernisiosa,
obatantitiroid untuk penyakit Grave, dan lain-lain.Obat antikolinesterase untuk
miastenia gravis biasanya diberikan dalam jangka panjang. Timektomi seringkali
bermanfaat sehingga disimpulkan bahwakelenjar tersebut mengandung reseptor
asetilkolin dalam bentuk antigen.
b) Obat anti-inflamasi Obat yang bekerja sebagai anti-inflamasi, misalnya
kortikosteroid,menunjukkan manfaat terhadap berbagai penyakit autoimun serius
sepertimiastenia gravis, LES, dan nefritis kompleks imun. Obat AINS seperti
salisilat,indometasin, fenoprofen atau ibuprofen dipakai pula untuk artritis
rheumatoid.

20
c) Imunosupresan Siklosporin A yang menghambat sekresi IL-2 bekerja sebagai anti-
inflamasi dan antimitotik, serta telah dicoba pemakaiannya untuk diabetes
juvenil,LES, dan artritis reumatoid walaupun masih belum dapat diambil
kesimpulanakhir tentang manfaatnya.Imunosupresan yang dipakai saat ini umumnya
obat konvensional yang bersifat nonspesifik, misalnya azatioprin, siklofosfamid, dan
metotreksat yang biasanya diberikan bersama kortikosteroid. Pengobatan tersebut
telah seringdilakukan dengan hasil cukup baik, misalnya untuk LES, hepatitis kronik
aktif,dan anemia hemolitik autoimun.
d) Kontrol imunologis Pada saat ini kontrol imunologis terhadap penyakit autoimun
masih sangatterbatas pemakaiannya untuk riset terutama pada hewan percobaan.
Tindakanyang cukup sering dilakukan adalah transfusi tukar plasma untuk
mengurangikompleks imun, yang dilaporkan bermanfaat sementara untuk LES tetapi
cukup baik untuk sindrom Goodpasture. Iradiasi kelenjar limfe total masih
terusdieksplorasi dan diamati hasilnya. Pada saatnya kelak diharapkan akan
dapatdilakukan koreksi terhadap defek sel stem atau timus dengan
transplantasisumsum tulang, sel stem atau timus, atau dengan hormon timus. Selain
itu pemberian faktor timus diharapkan akan dapat menjaga kontrol sel Ts
terhadapautoimunitas.
Percobaan pada hewan telah berhasil untuk melakukan switching-off sel Byang
terlihat dengan menurunnya anti-DNA. Demikian pula pemberian beberapaantibodi
monoklonal seperti anti-kelas II dan antiT4 memperlihatkan perbaikanklinis LES dan
artritis reumatoid pada hewan percobaan. Aksi imunosupresif kuat oleh antibodi anti-
idiotipik telah dicoba untukdimanfaatkan. Bayi yang lahir dari ibu penderita miastenia
gravis dapat bertahan terhadap efek patogen anti-reseptor asetilkolin maternal dengan
membentuk anti-idiotipik terhadap antibodi maternal tersebut. Diharapkan aplikasi
pemahamanterhadap jaringan anti-idiotip akan dapat mengatasi berbagai kesulitan pada
pengobatan penyakit autoimun.

I. Tujuan Terapi
Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan
mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien

21
dengan gejala yang ringan tidak membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti
inflamasi yang intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih serius yang meliputi
kerusakan organ dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan
dengan obat-obatan lain yang menekan sistem imunitas.

J. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi sistem kekebalan tubuh melibatkan penggunaan obat-obatan
untuk memodulasi atau memperkuat respons imun tubuh.
1. Imunomodulator: Imunomodulator adalah jenis obat yang mempengaruhi fungsi
sistem kekebalan tubuh..Dapat digunakan untuk merangsang atau menekan respons
imun tergantung pada kondisi medis yang sedang diobati. Contoh imunomodulator
termasuk interferon, interleukin, dan faktor stimulasi koloni granulosit.
2. Imunosupresan: Imunosupresan adalah obat yang digunakan untuk menghambat
aktivitas sistem kekebalan tubuh. Digunakan dalam transplantasi organ untuk
mencegah penolakan organ yang ditransplantasikan. Contoh imunosupresan meliputi
siklosporin, azatioprin, dan metotreksat.
3. Vaksin: Vaksin adalah agen biologis yang merangsang respons kekebalan tubuh
terhadap infeksi tertentu. Vaksin mengandung antigen yang mirip dengan patogen
yang memicu respons imun. Setelah vaksinasi, tubuh dapat mengembangkan respons
kekebalan terhadap patogen tersebut. Contoh vaksin yakni vaksin influenza, vaksin
hepatitis B, dan vaksin MMR (campak, gondok, dan rubella).
4. Antibiotik: Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mengobati infeksi
bakteri.Bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri yang
menyebabkan infeksi. Antibiotik tidak efektif untuk mengobati infeksi virus. Contoh
antibiotik amoksisilin, eritromisin, dan ciprofloxacin.
5. Terapi biologis: Terapi biologis melibatkan penggunaan obat-obatan yang dibuat dari
bahan-bahan biologis, seperti protein atau antibodi, untuk mengatur respons imun.
Terapi biologis digunakan dalam pengobatan penyakit autoimun, seperti rheumatoid
arthritis dan psoriasis. Contoh terapi biologis termasuk adalimumab, infliximab, dan
rituximab.

22
K. Terapi Non Farmakologi
1. Olahraga dan aktivitas fisik: Berolahraga secara teratur dapat meningkatkan sirkulasi
darah, meningkatkan metabolisme, dan mengoptimalkan fungsi sistem kekebalan
tubuh. Aktivitas fisik juga dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan
kualitas tidur.
2. Nutrisi seimbang: Makanan yang sehat dan nutrisi yang adekuat adalah faktor penting
dalam menjaga sistem kekebalan tubuh yang kuat. Mengonsumsi makanan bergizi,
seperti buah-buahan, sayuran, protein, biji-bijian, dan lemak sehat, membantu
memberikan nutrisi penting dan antioksidan yang dibutuhkan oleh tubuh.
3. Manajemen stres: Stres kronis dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh. Oleh
karena itu, teknik manajemen stres seperti meditasi, pernapasan dalam, relaksasi otot
progresif, dan yoga dapat membantu menurunkan tingkat stres dan meningkatkan
kesehatan sistem imun.
4. Tidur yang cukup dan berkualitas penting untuk fungsi optimal sistem kekebalan
tubuh. Kurang tidur dapat mempengaruhi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi.
Usahakan untuk mendapatkan tidur yang cukup setiap malam, yaitu sekitar 7-8 jam
untuk dewasa.
5. Hindari merokok dan minum alkohol berlebihan: Merokok dan alkohol berlebihan
dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh. Untuk menjaga kesehatan sistem imun,
sebaiknya hindari merokok dan batasi konsumsi alkohol.

L. Farmakoterapi Dan Evaluasi Terapi Pada Transplantasi Organ


Transplantasi adalah memindahkan alat/jaringan tubuh dari satu orang ke orang
lain. Hal tersebut merupakan tindakan pilihan bila suatu alat atau jaringan tubuh yang
vital rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi akibat proses penyakit. Walaupun transplantasi
allograft sudah digunakan secara luas, perhatian terhadap penggunaan jaringan cangkok
dari spesies yang berbeda juga meningkat. Prosedur allograft yang paling sering
dilakukan adalah transfusi darah. Selain itu, dikenal empat jenis transplantasi, antara lain;
autotransplantasi, isotransplantasi, allotransplantasi, dan xenotransplantasi.
Autotransplantasi ialah transplantasi dengan memakai jaringan sendiri, misalnya
kulit sehat untuk menggantikan kulit dengan luka bakar atau pembuluh darah yang sehat

23
untuk menggantikan arteri koroner yang tersumbat. Isotransplantasi adalah transfer
jaringan antar individu yang identik secara genetik, misalnya antar kembar yang
monozigot atau mencit yang mempunyai strain murni yang sama.
Allotransplantasi adalah transplantasi donor dan resipien dari spesies sama, tetapi
secara genetik tidak identik, sebagai contoh dari individu ke individu lain, atau satu strain
tikus ke tikus lain. Allograft yang sangat luas penggunaannya adalah transfusi darah.
Pada tahun 1901, Karl Landsteiner mengungkapkan keberhasilan transfusi darah
ditentukan oleh kecocokan golongan darah.
Selain ketiga transplantasi diatas, juga dikenal xenotransplantasi, yang merupakan
transplantasi dari binatang ke individu. Hal ini biasanya dilakukan karena kurangnya
jumlah organ yang tersedia dapat berakibat pada meninggalnya sejumlah penderita dalam
proses menunggu organ donor. Mortalitasnya adalah 6% pada mereka yang menunggu
untuk transplantasi ginjal dan 14% untuk transplantasi jantung. Sumber alternatif untuk
organ donor telah difokuskan pada xenotransplantasi. Sejumlah besar primata, bukan
manusia (simpanse dan babon), dapat merupakan donor bagi manusia. Meski demikian,
xenograft masih terbatas penggunaannya, karena menimbulkan penolakan hiperakut dan
memungkinkan penyebaran virus patogen dari donor ke resipien.
 Jenis jaringan dan organ yang ditransplantasikan
1) Ginjal
Transplantasi ginjal dilakukan pada gagal ginjal tingkat akhir dengan
menggunakan ginjal asal anggota keluarga atau mayat sebagai donor. Pemadanan
lokus Human Leukocyte Antigen B (HLA-B) dan Human Leukocyte Antigen D
Related (HLA-DR) sangat penting, sedangkan pemadanan lokus Human
Leukocyte Antigen A (HLA-A) tidak memberikan pengaruh yang signifikan bila
resipien mendapat pengobatan dengan imunosupresan seperti Siklosporin A.
Risiko menderita Graft versus Host Disease (GvHD) juga rendah, diperkirakan
terdapat 16.477 transplantasi ginjal pada tahun 2005.
Adanya sensitisasi terhadap antigen donor yang sudah terjadi sebelum
transplantasi juga penting diketahui karena dapat merugikan. Hal tersebut dapat
terjadi akibat transplantasi terdahulu yang menimbulkan antibodi anti-HLA.
Antibodi ini juga dapat digunakan sebagai indikator adanya reaksi penolakan.

24
Mereka yang sebelum transplantasi tidak memiliki anti-HLA, tetapi kemudian
memilikinya, menunjukkan ketahanan hidup graft yang rendah (12%).
Sebaliknya, pasien yang sebelumnya mempunyai anti–HLA dan kemudian
menghilang, mempunyai ketahanan hidup graft yang tinggi (100%). Interleukin 2
(IL-2) dalam serum dapat pula digunakan sebagai petanda penolakan.

2) Jantung dan paru-paru


Pada transplantasi jantung dan paru-paru, biasanya organ berasal dari
donor yang mengalami mati batang otak. Kadang kala, transplantasi jantung dan
paru dapat dilakukan bersamaan jika kedua organ tersebut mengalami kerusakan.
Pada transplantasi jantung, sering terdapat kerusakan arteri koroner yang diduga
disebabkan oleh arteri pejamu. Ketahanan hidup graft selama 1 tahun mencapai
80% pada penderita yang ditangani dengan baik. Penolakan jantung dapat diukur
dari perubahan elektrokardiogram dan biopsi miokard. Pada transplantasi ini juga
dapat terlihat peningkatan ekspresi MHC kelas I pada penolakan dini dan
diperlukan dosis imunosupresan yang lebih tinggi

3) Hati
Transplantasi hati dilakukan pada orang yang mengalami kerusakan atau
kegagalan fungsi hati. Angka harapan hidup pasien yang melakukan transplantasi
hati dapat meningkat sekitar 50%-60%. Umumnya, donor hati didapatkan dari
orang yang telah meninggal. Transplantasi hati merupakan transplantasi dengan
tingkat kesulitan yang tinggi karena hati merupakan imunogen yang lemah.
Implantasi bedahnya juga kompleks. Namun, pasien yang melakukan
transplantasi ini resisten terhadap penolakan hiperakut dan rentan terhadap risiko
GvHD. Selain itu, antiHLA pada resipien dengan transplantasi hati dapat
menimbulkan kerusakan saluran empedu.

4) Kornea
Walaupun didapatkan dari jenazah, transplantasi kornea sangat efektif dan
berhasil untuk waktu yang lama. Tempat kornea terlindung dari aliran limfe

25
sehingga biasanya tidak mempunyai kapiler. Bila terjadi vaskularisasi (misalnya;
akibat trauma) maka risiko penolakan bertambah. Pemadanan HLA-DR sangat
dianjurkan dan imunosupresan yang menggunakan tetes steroid juga diperlukan
untuk mencegah penolakan.

5) Kulit
Skin grafting adalah metode terbaru yang digunakan dalam transplantasi
kulit. Grafting kulit hanya dapat dilakukan sebagai homograft oleh karena kulit
sangat imunogenik. Ada kalanya diperlukan allograft untuk menutupi luka yang
luas sementara waktu dan kemudian diganti dengan homograft. Kebanyakan
transplantasi kulit dilakukan pada kasus autologus atau luka bakar.

6) Sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang dilakukan pada defisiensi imun, aplasia
hematologis, dan untuk mengganti sumsum tulang pada penderita yang mendapat
pengobatan agresif seperti pada leukemia. Ketahanan hidup pasien berbeda
tergantung dari berat dan jenis penyakit yaitu 70% pada anemia aplastik dan
10%-15% pada leukemia. Sumsum tulang sangat imunogenik dan donor terbaik
adalah saudara kembar dengan HLA yang identik. Kompatibilitas ABO tidaklah
terlalu penting, oleh karena sel darah merah sudah disingkirkan dari sumsum
tulang dan sel asal tidak menunjukkan antigen ABO.
Resipien harus telah mendapat iradiasi total dan/atau sudah mendapat
dosis tinggi imunosupresan sebelum transplantasi untuk mengurangi risiko
GvHD. Pada transplantasi sumsum tulang selalu ada risiko terjadinya komplikasi
berupa GvHD, mengingat sumsum tulang mengandung sel T matang. Oleh
karena itu, selalu diusahakan untuk menurunkan jumlah sel T. GvHD merupakan
komplikasi transplantasi sumsum tulang ketika sel T resipien mengenal dan
bereaksi dengan antigen/molekul MHC resipien. Sel T yang aloreaktif
mengerahkan sel-sel efektor pejamu ke tempat transplantasi yang biasanya terjadi
dalam waktu empat minggu (GvHD akut). Organ sasarannya adalah hati
(terutama epitel bilier), kulit, dan saluran cerna.10 Bentuk kronik dapat terjadi

26
setelah GvHD akut. Hal tersebut biasanya responsif terhadap peningkatan dosis
imunosupresan, tetapi akhirnya resipien sering menjadi sangat rentan terhadap
infeksi/ virus oportunistik

7) Pankreas
Keberhasilan transplantasi pankreas pada penderita Diabetes Melitus
(DM) dapat menormalkan kadar insulin. Tingkat keberhasilan 1 tahun
transplantasi pankreas dilaporkan mencapai 55%. Transplantasi tidak
menggunakan seluruh pankreas. Fungsi pankreas dapat kembali normal dengan
hanya melakukan transplantasi pulau Langerhans pada pancreas

 Tipe donor
Kriteria seleksi penderita untuk transplantasi bervariasi di antara berbagai pusat
studi. Usia lanjut, sepsis berat, osteoporosis, kecenderungan perdarahan atau
kontraindikasi lainnya terhadap dosis tinggi steroid, menjadikan penderita sulit
diterima sebagai resipien potensial. MHC merupakan induktor terkuat reaksi
penolakan yang terjadi melalui sel T. Masa hidup graft ditentukan oleh banyaknya
spesifitas yang dimiliki bersama oleh donor dan resipien. Oleh karena itu, tipe donor
dapat dibagi menjadi donor hidup dan jenazah/ kadaver. Pada donor hidup harus
dilakukan evaluasi penyakit jantung, keganasan, infeksi kronis, dan diabetes. Selain
itu, donor juga harus memiliki dua ginjal yang berfungsi baik, tidak memiliki
penyakit menular, dan tidak memiliki kelainan pembuluh darah.
Sebaliknya, jika digunakan organ transplan milik jenazah atau kadaver, sebaiknya
tidak menggunakan organ yang berasal dari penderita infeksi penyakit menular
(misalnya: sepsis klinis, HIV), penyakit ginjal, keganasan atau penyakit sistemik
yang dapat mengganggu fungsi ginjal. Walaupun sudah meninggal, tetap harus
dilakukan pencocokan ABO dan HLA dengan mengambil spesimen dari kelenjar
getah bening atau limpa sebagai sumber limfosit.

 Imunologi transplantasi

27
Sistem MHC yang ada pada manusia (HLA) merupakan molekul glikoprotein
yang terdapat pada permukaan sel yang sebenarnya mempunyai fungsi utama sebagai
molekul penyaji yang memaparkan epitop imunogen di sel limfosit T pada awal
respon imun. Molekul HLA tersebut merupakan produk alel yang terdapat pada
kromosom ke-6 manusia. Gen MHC pada semua spesies hanya memiliki sebuah
lokus yang merupakan kompleks dan menyebabkan reaksi lebih kuat daripada lokus
lain terhadap jaringan asing. Lokus tersebut dinamakan MHC, yang pada manusia
disebut HLA. Dari berbagai jenis antigen, yang terpenting pada transplantasi adalah
antigen HLA atau MHC kelas 1 maupun kelas 2, yang apabila tidak sesuai satu
dengan yang lain akan menimbulkan penolakan jaringan transplantasi dengan tingkat
kekuatan dan kecepatan berbeda. Selain itu, kecocokan antigen eritrosit juga menjadi
salah satu faktor penting dalam transplantasi organ.

28
BAB III

STUDI KASUS DAN REVIEW JURNAL


A. Studi Kasus
1. Kasus Lupus Eritmatosus Sistemik
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit inflamasi autoimun
kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan
penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Faktor genetik, imunologik dan
hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi LES. Seorang pasien
laki-laki, umur 27 tahun dengan keluhan nyeri sendi pada pergelangan kaki dan
tangan yang meningkat sejak 1 minggu sebelum masuk RS. Keluhan ini sudah
dirasakan pasien sejak 2 bulan yang lalu. Nyeri hilang timbul,tidak berpindah dan
tidak disertai kaku pada pagi hari. Bengkak dan memerah pada sendi tidak ada.
Bercak kehitaman pada wajah makin bertambah banyak sejak 3 bulan yang lalu,
mulanya berupa bercak berwarna kemerahan pada kedua pipi ketika terpapar sinar
matahari kemudian menghitam. Bercak kehitaman pada wajah telah muncul sejak 9
bulan yang lalu. Kemudian diikuti dengan bercak kehitaman pada telinga 2,5 bulan
yang lalu dan bercak kehitaman pada punggung 2 bulan yang lalu, tidak gatal dan
masih berasa. Rambut rontok sejak 3 bulan yang lalu. Lemah dan letih sejak 1 bulan
ini. Pucat2 ada, penurunan nafsu makan dan perdarahan tidak ada. Riwayat penyakit
dahulu tidak ada. Riwayat keluarga sakit sperti pasien tidak ada.
Pasien didiagnosis dengan LES sesuai dengan kriteria ACR yang direvisi pada
tahun 1997. diterapi dengan pemberian kloroquin 1 x 250 mg, kortikosteroid 16 mg –
16 mg – 8 mg, Natrium diklofenak 2 x 50 mg, lansoprazol 1 x 30 mg, osteocal 1 x
500 mg dan Hp Pro 2 x 1 kapsul. Setelah beri terapi pada pasien terdapat perbaikan
klinis dan kadar enzim transaminase serta peningkatan Hb. Didapatkan Hb nya 10,4
gr/dl, SGOT 21 u/L dan SGPT 20 u/L.
2. Pemeriksaan Fisiologi
Pemeriksaan fisik; tampak sakit sedang, tinggi badan 158 cm, berat badan 50 kg,
tekanan darah: 120/60 mmHg, nadi: 80x/menit, pernafasan 20x/menit, suhu: 36,8 o C,
adanya konjungtiva anemia, ruam malar pada wajah,dan allopesia areata.

29
Pemeriksaan abdomen terdapatnya hepatomegali dan limpa tidak teraba. Status
Dermatologi: bercak kehitaman pada kedua pipi kanan dan kiri, telinga kiri dan
kanan, dahi, dan punggung yang terlokalisir, bentuk tidak khas, ukuran plakat dan
effloresensi berupa makula hiperpigmentasi
3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan penunjang labor didapatkan: Hb 9,7 gr/dl, Leukosit
8.490/mm3, trombosit 366.000/mm3, hematokrit: 30 %, Hitung Jenis:
0/0/1/79/18/2, LED 4 mm/jam, retikulosit : 1,8 %, GDS: 132 mg/dl, SGOT 62 u/l,
SGPT 120 u/l Ureum 18 mg/dl, Kreatinin 1 mg/dl, Albumin 3,5 gr/dL, Globulin 3,2
gr/dL, anti ds-DNA 502,26 u/dl. Pemeriksaan Combs test : DCT (+), IDCT (-). Ro.
Thoraks dalam batas normal dan USG abdomen dengan kesan Fatty liver, serta dari
biopsi kulit didiagnosis dengan Subacute Cutaneus Luphus Erythematosus (SCLE)
4. Pembahasan
Pada pasien pria ini ditegakkan diagnosis lupus eritematosus sistemik berdasarkan
anamnesis dengan adanya nyeri sendi, bercak kemerahan yang menghitam pada
wajah, telinga, dan punggung; serta rambut rontok. Pemeriksaan fisik didapatkan
malar rash, konjungtiva anemis, artralgia serta organomegali (hepatomegali).
Pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 9,7 gr/dL, Combs test DCT positif,
pemeriksaan imunologi Anti ds-DNA : 502,26 IU/ml (positif) dan Ana profile test
positif dan didukung dengan pemeriksaan biopsi kulit pada wajah dan punggung
dengan suatu Subacute Cutaneus Systemic Luphus erytematosus (SCLE).
Diagnosis sistemik lupus eritematosus sesuai dengan kriteria ACR dimana
ditemukannya 4 atau lebih gejala dari 11 kriteria ACR pada saat yang bersamaan.
Pada pasien ini ditemukan gejala berupa : ruam malar, atralgia (bagian arteritis),
kelainan hematologi (anemia hemolitik autoimun), dan Anti ds - DNA positif.4
Berdasarkan Rekomendasi Ahli Reumatologi Indonesia dikatakan jika ditemukan 4
dari 11 kriteria ACR maka diagnosis sistemik lupus eritematosus bisa ditegakkan
dengan sensitifitas mencapai 85% dan spesifisitas 95%
. Pada pasien ini terdapat peningkatan enzim hepar yaitu SGOT dan SGPT 2-3x
normal, awalnya dicurigai ini merupakan suatu hepatitis autoimmun, tetapi setelah
ditelusuri tidak terbukti untuk mendukung kearah hepatitis autoimmun. Pada pasien

30
ini didapatkan hasil hepatitis marker yang negatif dan AMA yang negatif.
Pemeriksaan USG abdomen didapatkan kesan suatu fatty liver ringan. Jadi
Peningkatan enzim hepar pada pasien bisa karena aktifitas penyakit sistemik lupus
eritematosus itu sendiri dan fatty liver. Terapi yang diberikan pada pasien ini yaitu
mengobati penyakit dasarnya dan modifikasi diet dengan diet rendah lemak.
5. Terapi/Pengobatan
Pasien diterapi dengan pemberian kloroquin 1 x 250 mg, kortikosteroid 16 mg –
16 mg – 8 mg, Natrium diklofenak 2 x 50 mg, lansoprazol 1 x 30 mg, osteocal 1 x
500 mg dan Hp Pro 2 x 1 kapsul. Setelah beri terapi pada pasien terdapat perbaikan
klinis dan kadar enzim transaminase serta peningkatan Hb. Didapatkan Hb nya 10,4
gr/dl, SGOT 21 u/L dan SGPT 20 u/L. Terapi yang diberikan pada pasien ini sudah
sesuai dengan rekomendasi lupus Indonesia pada pasien dengan LES derajat ringan
diberikan terapi kloroquin ditambah dengan OAINS serta kortikosteroid
6. Penatalaksanaan Pasien LES
Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi edukasi tentang penyakitnya dan terapi
non farmakologis berupa istirahat, menghindari kelelahan,dan perlindungan terhadap
sinar matahari .1 Perlindungan terhadap sinar matahari, seperti menggunakan pakaian
dan tabir surya, menghindari paparan matahari langsung, dan eliminasi obat yang
berpotensi fotosensitisasi sangat penting dalam pencegahan perburukan dari
manifestasi kelainan kulit.
Aktivitas fisik yang cukup tetap diperlukan pada pasien ini untuk
mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal, terlebih pada pasien ini
memperoleh terapi steroid jangka panjang. Terapi farmakologis utama yang diberikan
pada pasien ini berupa kortikosteroid (metilprednisolon) 0,8 mg/kg BB/hari yang
terbagi dalam tiga dosis dan klorokuin 4 mg/kg BB/hari dan OAINS
7. Pemantauan
Pemantauan berkala fungsi ginjal pada pasien ini sangat diperlukan melalui
pemeriksaan urin rutin terutama sedimen, proteinuria; kadar kreatinin darah, albumin
serum, dan klirens kreatinin. Pemberian kortikosteroid lebih dari 7,5 mg/hari dalam
jangka panjang (lebih dari 3 bulan) memerlukan suplementasi kalsium. Perlu
dilakukan pemantauan fungsi mata pada pasien lewat pemeriksaan funduskopi dan

31
perimetri setiap 3-6 bulan mengingat efek samping dari klorokuin yang diberikan
pada pasien .
8. Kesimpulan
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit inflamasi autoimun
kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis sangat beragam.
Lupus eritematosus sistemik pada pria merupakan kasus yang jarang dengan keluhan
yang tidak khas dibanding wanita.Terapi dengan klorokuin, OAINS dan steroid serta
hepatoprotektor memberikan perbaikan klinis

B. Review Jurnal
Judul Lupus Eritematosus Sistemik pada Pria
Jurnal Jurnal Kesehatan Andalas
Tahun 2019
Volume & Halaman 8, No. 3
Penulis Fajriansyah, Najirman
Reviewer Kelompok 6 Farmakoterapi 3
Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit
inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum
diketahui serta memiliki manifestasi klinis dan prognosis
yang sangat beragam. Insiden LES di Amerika serikat
sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi
LES di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk
dengan rasiowanita dan laki-laki antara 9-14:1. Kejadian
LES pada pria sangat jarang dan gejalanya tidak khas
dibanding dengan wanita. Telah dilaporkan pasien laki-laki
27 tahun dengan keluhan utama nyeri sendi pada
pergelangan kaki dan tangan. Adanya bercak warna
kehitaman pada wajah, telinga, dan punggung serta rambut
rontok. Pada pemeriksaan fisik: konjungtiva anemis, adanya
ruam malar pada wajah dan hepatomegali tanpa
splenomegali. Didapatkan Hb 9,7 gr/dL, gambaran darah

32
tepi dengan eritrosit normositik normokrom, retikulosit
1,8%, Combs test (DCT) positif, Anti ds-DNA 502,26
U/L , SGOT 62 u/L dan SGPT 120 u/L, ureum 18
mg/dL serta kreatinin 1 mg/dL. Ro. Thorax didapatkan Cor
dan pulmo: normal, USG abdomen didapatkan gambaran
fatty liver. Biopsi kulit: Subacute Cutaneus Luphus
Erytematosus (SCLE). Pasien ini didiagnosis dengan
lupus eritematosus sistemik sesuai dengan kriteria ACR
(American College of Rheumatology) revisi tahun 1997,
dimana bila terdapat 4 dari 11 kriteria ACR. Pasien
diterapi dengan pemberian kloroquin, metilprednisolon,
natrium diklofenak, osteokal, lansoprazol dan
hepatoprotektor.

Tujuan Penelitian Bertujuan untuk mengetahui bagaimana gejala dan kondisi


fisiologis pasien pria yang mengalami penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik.
Kasus Seorang pasien laki-laki, umur 27 tahun dengan
keluhan nyeri sendi pada pergelangan kaki dan tangan
yang meningkat sejak 1 minggu sebelum masuk RS.
Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak 2 bulan yang
lalu. Nyeri hilang timbul,tidak berpindah dan tidak disertai
kaku pada pagi hari. Bengkak dan memerah pada sendi
tidak ada. Bercak kehitaman pada wajah makin bertambah
banyak sejak 3 bulan yang lalu, mulanya berupa bercak
berwarna kemerahan pada kedua pipi ketika terpapar sinar
matahari kemudian menghitam. Bercak kehitaman pada
wajah telah muncul sejak 9 bulan yang lalu. Kemudian
diikuti dengan bercak kehitaman pada telinga 2,5 bulan
yang lalu dan bercak kehitaman pada punggung 2 bulan
yang lalu, tidak gatal dan masih berasa. Rambut rontok
sejak 3 bulan yang lalu. Lemah dan letih sejak 1 bulan ini.

33
Pucat2 ada, penurunan nafsu makan dan perdarahan tidak
ada. Riwayat penyakit dahulu tidak ada. Riwayat
keluarga sakit sperti pasien tidak ada.
Pemeriksaan fisik; tampak sakit sedang, tinggi badan 158
cm, berat badan 50 kg, tekanan darah: 120/60 mmHg,

nadi: 80x/menit, pernafasan 20x/menit, suhu: 36,8oC,


adanya konjungtiva anemia, ruam malar pada wajah,dan
allopesia areata. Pemeriksaan abdomen terdapatnya
hepatomegali dan limpa tidak teraba. Status Dermatologi:
bercak kehitaman padakedua pipi kanan dan kiri, telinga
kiri dan kanan, dahi, dan punggung yang terlokalisir,
bentuk tidak khas, ukuran plakat dan effloresensi berupa
makula hiperpigmentas.

34
Gambar 2. Pasien Kasus LES

Gambar 2. Gambaran Histopatologi

Pemeriksaan penunjang labor didapatkan: Hb 9,7 gr/dl,

Leukosit 8.490/mm3 trombosit 366.000/mm3, hematokrit:


30 . Hitung Jenis: 0/0/1/79/18/2, LED 4 mm/jam,
retikulosit : 1,8 %, GDS: 132 mg/dl, SGOT 62 u/l,
SGPT 120 u/l Ureum 18 mg/dl, Kreatinin 1 mg/dl,
Albumin 3,5 gr/dL, Globulin 3,2 gr/dL, anti ds-DNA
502,26 u/dl. Pemeriksaan Combs test : DCT (+), IDCT (-
). Ro. Thoraks dalam batas normal dan USG abdomen
dengan kesan Fatty liver, serta dari biopsi kulit didiagnosis
dengan Subacute Cutaneus Luphus Erythematosus (SCLE).
Diterapi dengan pemberian kloroquin 1 x 250 mg,
kortikosteroid 16 mg – 16 mg – 8 mg, Natrium diklofenak 2
x 50 mg, lansoprazol 1 x 30 mg, osteocal 1 x 500 mg dan
Hp Pro 2 x 1 kapsul. Setelah beri terapi pada pasien
terdapat perbaikan klinis dan kadar enzim transaminase
serta peningkatan Hb. Didapatkan Hb nya 10,4 gr/dl,
SGOT 21 u/L dan SGPT 20 u/L.

Metode Penelitian Penalitian menggunakan studi kasus (case study), data


dikumpulkan melalui riwayat medis, rekam medis dan
pengamatan langsung pada pasien laki-laki berusia 27

35
tahun yang di diagnosis LES (Lupus Eritematosus
Sistemik).
Hasil penelitian Hasil analisis histologi hati dari 73 pasien dengan LES
ditemukan fatty liver sebagai penyebab utama pada 72%
kasus, sedangkan hiperplasia regeneratif nodular, virus
hepatitis, primary biliary cirrhosis (PBC), dan autoimun
hepatitis (AIH) diidentifikasi sebagai penyebab penyakit
hati hanya pada beberapa kasus (masing-masing 6,8%,
4,1%,
Kesimpulan Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit
inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum
diketahui serta manifestasi klinis sangat beragam. Lupus
eritematosus sistemik pada pria merupakan kasus yang
jarang dengan keluhan yang tidak khas dibanding
wanita.Terapi dengan klorokuin, OAINS dan steroid serta
hepatoprotektor memberikan perbaikan klinis.

36
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sistem imun (kekebaan tubuh) adalah sistem pertahanan pada tubuh manusia yang
berfungsi untuk menjaga manusia dari benda-benda yang asing bagi tubuh
manusia.Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem
imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Etiologi
yang belum diketahui serta manifestasi klinis sangat beragam. Lupus eritematosus
sistemik pada pria merupakan kasus yang jarang dengan keluhan yang tidak khas
dibanding wanita.
B. Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di
atas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis
akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan menggunakan pedoman
dari beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca.

37
DAFTAR PUSTAKA

Abbas K. Abdul et. al. 2015. Innate Imunity in Cellular and Moleculer Immunology 8th. Edition
p 61-64.

Baratawidjaya K G. (2012). Imunologi Dasar Edisi ke-10. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Beer MH, Fletcher AJ, Jones TV. The Merck Manual of Medical Information. 2nd ed.

ChunFeng, W. (2018). Interaction between gut microbiota and the immune system. Journal of
Jilin Agricultural University, 40.

Fernandez J. Overview of immunodeficiency disorders. Merck manual 2018.

Maidhof W, Hilas O. Lupus: An Overview of the Disease And Management Options. P&T.
Vol.37. No.4. April 2012.

Murphy, K. Janeway’s. (2012). Immunobiology. 8th Ed. Garland Science. London.

38
LAMPIRAN

39
40
41
42
43

Anda mungkin juga menyukai