MODUL HIPERSENSITIVITAS
SISTEM IMUNOLOGI
Kelompok 4
Egy Herliansyah
Febridayanti Nur F
Mustika Apriyanti
Nursigit
Trias Murni N
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................5
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................................................6
1.1 LATAR BELAKANG..................................................................................................................6
1.2 TUJUAN PEMBELAJARAN.......................................................................................................6
BAB 2 PEMBAHASAN........................................................................................................................7
2.1 Skenario.................................................................................................................................7
2.2 Kata sulit................................................................................................................................7
2.3 Kata / kalimat kunci...............................................................................................................7
2.4 Mind map..............................................................................................................................7
2.5 Pertanyaan.............................................................................................................................8
BAB 3 Jawaban.................................................................................................................................9
3.1 NOMOR 1 ( Mustika Apriyanti ).............................................................................................9
3.2 NOMOR 2 ( Fitra dan Anjar )................................................................................................15
3.3 NOMOR 3 ( Trias murni dan Febridayanti )..........................................................................20
3.4 NOMOR 4 ( Rini Astin Triana )..............................................................................................23
3.5 NOMOR 5 ( Lidya )...............................................................................................................31
3.6 NOMOR 6 ( Egi Herliansa )...................................................................................................33
3.7 NOMOR 7 ( Nursigit )...........................................................................................................34
3.8 NOMOR 8 ( Rani Meiliana S )...............................................................................................35
BAB 4 PENUTUP.............................................................................................................................38
4.1 KESIMPULAN........................................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................39
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan ridho-
Nya sehingga kelompok 4 bisa menyelesaikan laporan PBL pertama untuk modul imunologi
dasar pada sistemImunologi
Dalam penyusunan laporan ini, berdasarkan hasil brainstorming kelompok, dan mengacu
pada buku-buku serta website di internet. Masalah yang menyangkut pada skenario dua pada
modul imunologi dasar, kami kemukakan dalam pembahasan laporan yang telah disusun.
Dan tak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada Dr. Busjra sebagai pembimbing
kelompok 4atas tutorial yang membantu pada saat diskusi kelompok kami, sehingga dapat
terselesaikannya laporan PBL modul dasar imunologi ini.
Akhir kata, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dengan suatu harapan
yang tinggi, semoga laporan yang sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi semuanya.
Wassalam.wr.wb
Kelompok 4
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1LATAR BELAKANG
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul dan
jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang
dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnnya terhadap mikroba disebut respon
imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya
yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja, 2009).
Menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau kerusakan jaringan,
tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi dirinya. Sistem pertahanan tubuh
yang dikenal sebagai mekanisme imunitas alamiah ini, merupakan tipe pertahanan yang
mempunyai spektrum luas, yang artinya tidak hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik.
Selain itu, di dalam tubuh manusia juga ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang
hanya diekspresikan dan dibangkitkan karena paparan antigen yang spesifik. Tipe yang
terakhir ini, dapat, dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang didapat secara aktif dan
didapat secara pasif.
Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada
kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat
pada permukaan unsur patogen dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk
menyingkirkan antigen. Dalam pandangan ini, dalam respon imun diperlukan tiga hal, yaitu
pertahanan, homeostatis dan pengawasan. Fungsi pertahanan ditujukan untuk perlawanan
terhadap infeksi mikroorganisme, fungsi homeostasis berfungsi terhadap eliminasi
komponen-komponen tubuh yang sudah tua dan fungsi pengawasan dibutuhkan untuk
menghancurkan sel-sel yang bermutasi terutama yang dicurigai akan menjadi ganas. Dengan
perkataan lain, respon imun dapat diartikan sebagai suatu sistem agar tubuh dapat
mempertahankan keseimbangan antara lingkungan di luar dan di dalam tubuh.
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh,
berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula
menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut
hipersensitivitas atau dengan kata lain pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh
baik humoral maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan
oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan
imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas (Arwin dkk, 2008)
1.2 TUJUAN PEMBELAJARAN
2.2Kata sulit
Dermatitis : peradangan pada kulit yang terjadi karena faktor eksogen atau
endogen
2.4Mind map
7. Jelaskan hubungan penyakit pada skenario dengan riwayat penyakit pada keluarga?
a. Hipersensitivitas tipe cepat, respon yang muncul setelah tekena pajanan oleh
alergen dalam waktu sekitar 20 menit.
b. Hipersensitivitas tipe lambat, respon yang belum muncul sampai 1 hari atau lebih
setelah terkena pajanan.
Perbedaan pada waktu ini disebabkan oleh perbedaan mediator yang berperan. Reaksi
alergi tipe cepat melibatkan sel B dan dipicu oleh interaksi antibodi dengan antigen,
sedangkan reaksi alergi tipe lambat akan melibatkan sel T dan ini merupakan imunitas
selular yang bersifat lebih lambat responnya terhadap antigen.
Antibodi yang berperan dan proses yang timbul setelah pajanan ke suatu alergen
berbeda dari respon biasa terhadap bakteri yang diperantarai oleh antibodi. Alergen
akan berikatan dengan memicu pembentukan antibodi IgE dan bukan antibodi IgG
yang berikatan dengan antigen bakteri.
Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada tempat, alergen, dan mediator yang
terlibat. Jika reaksi terbatas disaluran napas atas setelah menghirup alergen (misalnya
serbuk sari) bahan kimia yang dibebaskan memicu gejala hay-fever—seperti hidung
7
tersumbat akibat edema lokal yang dipicu oleh histamin serta bersin dan pilek akibat
bertambahnya sekresi mukus. Jika reaksi terkonsentrasi di bronkiolus, maka terjadi
asma sebagai respon terhadap SRS-A menyebabkan kontraksi otot polos di dinding
bronkiolus sehingga pasien sulit bernapas akibat konstriksi saluran napas. Jika terjadi
pada kulit, terjadinya pelepasan histamin yang diinduksi oleh alergi menyebabkan
pembengkakan lokal berupa urtika (biduran). Pada saluran cerna, reaksi alergi
memberikan respon terhadap alergen berupa diare.
Sebagian alergen (contohnya toksin poison ivy—sejenis tanaman, dan bahan kimia
tertentu yang sering mengenai kulit seperti kosmetik dan bahan pembersih rumah
tangga) memicu hipersensitivitas tipe lambat yang respon imunnya diperantarai oleh
sel T.
Umumnya respon ditandai oleh erupsi kulit tipe lambat yang mencapai puncak
intensitasnya 1 – 3 hari setelah kontak dengan alergen yang sel T telah tersensitisasi
sebelumnya. Toksik Poison Ivy tidak merusak kulit ketika berkontak, tetapi
mengaktifkan sel T yang spesifik terhadap toksin tersebut, termasuk pembentukan
komponen pengingat.
Pada pajanan berikutnya dengan toksin yang sama, sel T telah aktif berdifusi ke kulit
dalam waktu 1-2 hari, berikatan dengan toksin yang ada. Interaksi yang terjadi
menyebabkan kerusakan jaringan dan keluhan subyektif yang khas untuk penyakit ini.
8
A. TIPE I HIPERSENSITIVITAS
Hipersensitif dimediasi oleh IgE. Komponen seluler utama dalam hipersensitivitas ini
adalah sel mast atau basofil. Reaksi diperkuat dan / atau dimodifikasi oleh trombosit,
neutrofil dan eosinofil. Biopsi dari situs reaksi menunjukkan terutama sel mast dan
eosinofil.
9
B. HIPERSENSITIVITAS TIPE II
Reaksi hipersensitifitas tipe II disebut juga dengan reaksi sitotoksik, atau sitolisis.
Reaksi ini melibatkan antibodi IgG dan IgM yang bekerja pada antigen yang terdapat
di permukaan sel atau jaringan tertentu. Antigen yang berikatan di sel tertentu bisa
berupa mikroba atau molekul-molekul kecil lain (hapten). Ketika pertama kali datang,
antigen tersebut akan mensensitisasi sel B untuk menghasilkan antibodi IgG dan IgM.
Ketika terjadi pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama di permukaan sel
sasaran, IgG dan IgM ini akan berikatan dengan antigen tersebut. Ketika sel efektor
(seperti makrofag, netrofil, monosit, sel T cytotoxic ataupun sel NK) mendekat,
kompleks antigen-antibodi di permukaan sel sasaran tersebut akan dihancurkan
olehnya. Hal ini mungkin dapat menyebabkan kerusakan pada sel sasaran itu sendiri,
sehingga itulah kenapa reaksi ini disebut reaksi sitotoksik/sitolisis (sito=sel,
toksik=merusak, lisis=menghancurkan).
10
C. HIPERSENSITIVITAS TIPE III
Reaksi dapat berlangsung 3 - 10 jam setelah terpapar antigen (seperti dalam reaksi
Arthus ). Hal ini dimediasi oleh kompleks imun larut. Mereka adalah sebagian besar
dari kelas IgG, IgM meskipun juga mungkin terlibat. Antigen mungkin eksogen
(bakteri, virus atau infeksi parasit kronis), atau endogen (non-organ autoimunitas
spesifik: misalnya, lupus eritematosus sistemik, SLE). Antigen dapat larut dan tidak
terikat dengan organ yang terlibat. Komponen utama adalah kompleks imun larut dan
komplemen (C3a, 4a dan 5a). Kerusakan ini disebabkan oleh trombosit dan neutrofil
(Gambar 4). Lesi mengandung terutama neutrofil dan deposit kompleks imun dan
komplemen. Makrofag infiltrasi di tahap selanjutnya mungkin terlibat dalam proses
penyembuhan.
Afinitas antibodi dan ukuran kompleks imun yang penting dalam produksi penyakit
dan menentukan jaringan yang terlibat. Diagnosis melibatkan pemeriksaan biopsi
jaringan untuk deposito imunoglobulin dan komplemen dengan mikroskop
imunofluoresensi. The immunofluorescent pewarnaan tipe III hipersensitivitas adalah
granular (sebagai lawan linear di tipe II seperti terlihat pada sindrom Goodpasture).
Kehadiran kompleks imun dalam serum dan penurunan dalam tingkat komplemen
11
juga diagnostik. Polyethylene glycol-dimediasi kekeruhan ( nephelometry )
pengikatan C1q dan uji sel Raji yang digunakan untuk mendeteksi kompleks imun.
Perawatan termasuk agen anti-inflamasi.
D. HIPERSENSITIVITAS TIPE IV
Reaksi hipersensitifitas tipe IV berbeda dengan reaksi sebelumnya, karena reaksi ini
tidak melibatkan antibodi akan tetapi melibatkan sel-sel limfosit. Umumnya reaksi ini
timbul lebih dari12 jam stelah pemaparan pada antigen, sehingga reaksi tipe ini
disebut reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Antigen untuk reaksi ini bisa
berupa jaringan asing, mikroorganisme intraseluler (virus, bakteri), protein, bahan
kimia yang dapat menembus kulit, dan lain-lain.
12
3.2 NOMOR 2 ( Fitra dan Anjar )
Reaksi hipersensitivitas menurut mekanisme
1. Reaksi hipersensitivitas tipe I
Disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi. Timbul segera
setelah tubuh terpajan dengan alergen. Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas
tipe I mulanya antigen masuk ke tubuh dan merangsang sel B untuk membentuk IgE
dengan bantuan sel Th. IgE diikat oleh sel mast atau basofil melalui reseptor Fcɛ.
Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan
diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast atau basofil. Akibat ikatan
tersebut, sel mast atau basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator.
Reaksi tipe I mempunyai dua tahap yang dapat ditentukan secara jelas:
1) respons awal, ditandai dengan vasodilatasi , kebocoran vaskular, dan spasme otot
polos, yang baisanya muncul dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit setelah terpajan
oeh suatu alergen dan menghilang setelah 60 menit.
2) reaksi fase lambat, yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung selama
beberapa hari. Reaksi fase lambat ini terjadi dengan infiltrasi eosinofil serta sel
peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai
dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.
Senyawa vasoaktif yang dilepaskan oleh sel mast atau basofil, yaitu:
Histamin s Mediator primer
(respons awal)
Faktor kemotaktik eosinofilik a
Senyawa lain yang juga dilepaskan yaitu substansi reaksi lambat anafilaksis yang
disintesis oleh sel. Substansi tersebut terdiri atas:
Prostaglandin
Leukotrin Mediator sekunder
(reaksi fase lambat)
Tromboksan
Faktor pengaktif trombosit
Pada kasus asma, menyebabkan sekresi berlebihan dan kelenjar mukus bronkus
dan spasme bronkus.
13
Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:
Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast atau basofil.
Fase aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi.
Fase efektor, yaitu waktu terjadi respon yang kompleks sebagai efek mediator-
mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.
Contoh yang sering dari hipersensitivitas tipe I ialah demam, pilek, eksema pada masa
kanak-kanak, dan asma ekstrinsik. Diagnosis hipersensitivitas tipe I biasanya dibuat
dengan memperlihatkan adanya hubungan antara pemaparan antigen dalam
lingkungan tertentu dan timbulnya gejala pada waktu anamnesis yang teliti.
14
trombosit yang membentuk mikrotombi dan melepas amin vasoaktif, selain itu
komplemen mengaktifkan makrofag yang melepas IL-1 dan produk lainnya. Bahan
vasoaktif yang dibentuk sel mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi,
peningkatan permeabilitas vaskular, dan inflamasi. Neutrofil ditarik dan
mengeliminasi kompleks. Bila neutrofil terkepung di jaringan akan sulit untuk
memakan kompleks dan akan melepas granulnya (angry cell). Kejadian ini
menimbulkan banyak kerusakan jaringan. Makrofag yang dikerahkan ke tempat
tersebut melepas berbagai mediator, antara lain enzim-enzim yang dapat merusak
jaringan sekitarnya. Manifestasi klinisnya antara lain lupus eritamatosis sistemik,
penyakit serum, artritis reumatoid, infeksi malaria, virus, dan lepra.
15
Reaksi Reaktan imun Efek yang diharapkan Efek yang tidak
diharapkan
Tipe I Antibodi IgE Permeabilitas vaskuler Hay fever, asma
meningkat, antibodi, ekstrinsik, anafilaksis
sel, dan komplemen
masuk ke jaringan.
Tipe II Antibodi Membunuh bakteri Anemia hemolitik
IgE/IgM
Tipe III Antibodi IgG Mobilisasi polimorf ke Glomerulonefritis,
tempat infeksi vaskulitis
Tipe IV Limfosit T Menghancurkan virus, Penolakan cangkokan,
membunuh sel tuberkulosis, lepra
terinfeksi
(Underwood, 1999)
Jadi secara ringkas reaksi hipersensitivitas dibagi lebih lanjut kedalam empat tipe, tiga
tipe merupakan variasi pada cidera yang diperantai oleh antibodi, sedangkan tipe
keempat diperantarai oleh sel:
Penyakit tipe I diakibatkan oleh antibodi IgE yang diabsorbsi pada sel mast atau
basofil, ketika molekul IgE ini berikatan pada antigen sepsifiknya (alergen),
Molekul akan dipicu untuk melepaskan amina vasoaktif dan mediator lain yang
kemudian memengaruhi permeabilitas vaskular dan kontraksi otot polos di
berbagai organ.
Gangguan tipe II disebabkan oleh antibodi humoral yang berikatan pada jaringan
tertentu atau antigen permukaan sel dan menyebabkan proses patologis dengan
memudahkan sel mengalami fagositosis atau lisis yang diperantai oleh komplemen.
Gangguan tipe III paling baik dianggap sebagai “penyakit komplek imun”, antibodi
mengikat antigen untuk membentuk kompleks antigen-antibodi yang besar yang
mengendap di berbagai pembuluh darah dan mengaktivasi komplemen. Kompleks
imun serta fragmen aktivasi komplemen juga menarik perhatian neutrofil. Pada
akhirnya, komplemen yang diaktivasi serta pelepasan enzim neutrofilik dan
molekul toksik lain (misalnya, metabolit oksigen) inilah yang menyebabkan
kerusakan jaringan pada penyakit kompleks imun.
Gangguan tipe IV (disebut pula “hipersensitivitas tipe lambat”) merupakan respon
imun selular yang limfosit T spesifik antigennya merupakan penyebab utama jejas
sel dan jaringan.
16
Mekanisme berbagai gangguan yang diperantai secara imunologis
17
3.3 NOMOR 3 ( Trias murni dan Febridayanti )
DIAGNOSIS DIFERENSIAL
1. Rhinitis Alergi
Definisi :
Inflamasi mukosa hidung yang ditandai oleh salah satu gejala bersin, gatal,rinorea,
hidung tersumbat. Inflamasi yg diinduksi respon imun yg dimediasi Ig E thd
alergen tertentu.
Klasifikasi :
Menurut ARIA (Alergic Rhinitis and its Impact on Asthma) 2008
-Intermiten
Gejala < 4 hari/minggu atau < 4 mgg berturut-turut
- Persisten
Gejala > 4 hari/minggu atau > 4 mgg berturut-turut
- Ringan
Tidur normal
Tidak terdapat gangguan aktifitas harian
Tidak terdapat penurunan produktivitas kerja/sekolah
Gejala tidak mengganggu
-Sedang - berat
Terdapat gangguan tidur
Terdapat gangguan aktifitas harian
Penurunan produktifitas kerja/sekolah
Gejala mengganggu
18
Selanjutnya menginjak kepada penyebab asma bronkial ini. Penyebab dari asma
bronchiale ini terdiri dari dua faktor yaitu faktor intrinsik dan juga faktor
ekstrinsik.
Dua hal tersebut yang bisa menyebabkan penyakit asma bronkial yaitu :
1. Faktor Intrinsik ( asma non imunologi / asma non alergi ) :
Infeksi : Parainfluenza virus, pneumonia, mycoplasmal.
Fisik : Cuaca yang dingin, perubahan temperatur secara dratis.
Iritan : Kimia.
Polusi udara : Karbondioksida, asap rokok, parfum.
Emosional : rasa takut, cemas dan tegang.
Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus. (Suriadi, 2001 : 7)
19
3. Stadium Kronik ( Lanjut )Tanda dan gejala penyakit asma bronkial pada
stadium tingkat lanjut ini adalah :
Batuk, ronchi
Sesak nafas berat dan dada seolah –olah tertekan.
Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan.
Suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest).
Thorak seperti barel chest.
Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus.
Sianosis.
Hasil Blood Gas Analisis Pa O2 kurang dari 80%.
Rontgen paru terdapat adanya peningkatan gambaran bronchovaskuler
kanan dan kiri.
Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik.
20
3.4 NOMOR 4 ( Rini Astin Triana )
Penatalaksanaan Asma
2. Mencegah kekambuhan.
2. Menghilangkan hipoksemi
4. Mencegah kekambuhan
21
Derajat
Obat Pengontrol (harian) Obat Pelega
Asma
- Intensitas
pengobatan
tergantung
beratnya
serangan
- Inhalasi agonis
beta2 atau Na-
kromolin dipakai
sebelum aktivitas
atau pajanan
allergen
- Dosis kortikosteroid
dapat dinaikkan menjadi
800 mg atau
ditambahkan
bronkodilator kerja
panjang (oral atau hirup)
22
- Bronkodilator aksi lama melebihi 3-4 kali
terutama untuk untuk sehari
mengontrol asma malam,
berupa agonis beta 2 aksi
lama inhalasi, oral atau
teofilin lepas lambat
- Kortikosteroid oral
jangka panjang
1. Bronkodilator
a. Agonis2
b. Metilxantin
c. Antikolinergik
2. Anti inflamasi
23
Antiinflamasi menghambat inflamasi jalan napas dan mempunyai efek supresi dan
profilaksis.
a. Kortikosteroid
BERATNYA
TERAPI LOKASI
SERANGAN
- Denyut nadi
<100/menit - Agonis beta2 oral
dan atau 3x1/2 –1
tablet (2mg) oral
- (APE>60%)
- Teofilin 75-150 mg
- Lama terapi
menurut kebutuhan
24
diulangi sampai - Unit Gawat Darurat
- Bicara dalam dengan 3 kali dalam
kalimat terputus- 1jam pertama dan
putus dapat dilanjutkan
setiap 1-4 jam - Praktek dokter
kemudian umum
- Agonis beta 2
sk/iv /6jam
- Oksigen 4
25
liter/menit
- Pertimbangkan
nebulisasi
ipratropiumbromide
20 tetes
- Lanjutkan terapi
- Kesadaran menurun sebelumnya
- Kelelahan - Pertimbangkan
intubasi dan
ventilasi mekanik
- Sianosis
- Pertimbangkan
anastesi umum
- Henti napas untuk terapi
pernapasan intensif.
Bila perlu dilakukan
kurasan bronco
alveolar (BAL)
2. Agonis2 (salbutamol 5mg atau feneterol 2,5 mg atau terbutalin 10mg) inhalasi
nebulasi dan pemberiannya dapat diulang setiap 20 menit sampai 1 jam. Dapat
diberikan secara subkutan atau iv dengan dosis salbutamol 0,25 mg atau terbutalin
0,25 mg dalam larutan dextrose 5% dan diberikan perlahan.
3. Aminofilin bolus iv 5-6 mg/kg BB, jjikasudah menggunakan obat ini dalam 12jam
sebelumnya cukup diberikan setengah dossis
26
4. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg iv jika tidak ada respon segera atau pasien
sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat.
Jika respon tidak ada atau tidak baik terhadap terapi awal maka sebaiknya pasien
dirawat di rumah sakit.
1. Asma ringan: agonis2 inhalasi bila perlu atau agonis 2 oral sebelum exercise atau
terpapar allergen.
2. Asma sedang: antiinflamasi setiap hari dan agonis2 inhalasi bila perlu.
3. Asma berat: steroid inhalasi setiap hari, teofilin slow release atau agonis 2 long
acting, steroid oral selang sehari atau dosis tunggal harian dan agonis2 inhalasi
sesuai kebutuhan.
Penatalaksanaan yang baik dapat membuat asma menjadi terkontrol yaitu gejala
penyakit berkurang dan faal paru menjadi optimal, kriteria asma yang terkontrol
adalah :
2. Eksaserbasi jarang
3. Kebutuhan2-agonis minimal
27
Penatalaksanaan Rhinitis Alergika
Tujuan terapi
Meminimalisasi/mencegah gejala dengan efek samping seminimal mungkin dan biaya
pengobatan rasional serta pasien dapat mempertahankan pola hidup normal.
Penatalaksanaan
1. Terapi Non-farmakologi
Terapi non-farmakologi yang paling ideal adalah dengan menghindari alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
Generasi kedua lebih bersifat lipofobik dan memiliki ukuran molekul lebih besar sehingga
lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma dan berkurang kemampuannya
melintasi otak. Generasi kedua AH1 mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan
farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1
jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang
efektif dalam mengatasi kongesti hidung.
28
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung
oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara
topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa. Beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung untuk menyebabkan
vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang membengkak, dan memperbaiki pernapasan.
29
a. Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat
ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif
terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat
setelah beberapa hari. Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan
karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan
tentang efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis
steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali
sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan
hidung tersumbat yang menonjol.
Anti-leukotrien seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, akan memblok reseptor
CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam
30
kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai
obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.
c. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).
31
3.5 NOMOR 5 ( Lidya )
32
- Umumnya tidak berisiko
Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind Placebo
Control) atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan dosis dinaikkan
secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15 – 30 menit.
Dalam satu hari hanya boleh satu macam obat yang dites, untuk tes terhadap bahan/zat
lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya untuk mengetahui reaksi alergi
tipe lambat.
Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.
Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes harus benar,
dan cara melakukan tes harus tepat dan benar.
33
3.6 NOMOR 6 ( Egi Herliansah )
1. Asma bronchiale
Akut :
- Dehidrasi
- Gagal nafas
- Infeksi saluran nafas
Kronis :
- Kor-pulmonale
- PPOK
- Pneumotorak
- Atelektasis
2. Rinitis alergica
34
3.7 NOMOR 7 ( Nursigit )
o Hubungan Penyakit pada Anak dengan Penyakit Alergi pada Orang Tua
Reaksi yang terjadi bila seseorang yang pernah terpapar pada antigen tertentu, maka
pada pemaparan berikutnya dari antigen yang sama akan menyebabkan respons
imunologik sekunder, reaksi imunologik berlangsung berlebihan secara tidak wajar ,
sehingga menimbulkan kerusakan jaringan.
o Reaksi hipersensitivitas I, II dan III terjadi karena interaksi antara antigen dengan
antibodi sehingga termasuk reaksi humoral.
35
Dari segi waktu timbulnya reaksi, termasuk reaksi tipe segera (immediate),
walaupun reaksi yang timbul bervariasi antara beberapa detik atau menit pada tipe i
hingga beberapa jam pada tipe ii dan iii.
Dari segi waktu timbulnya reaksi, termasuk reaksi tipe lambat (delayed), karena
reaksi berlangsung lebih lambat yaitu umumnya lebih dari 12 jam.
o Di Indonesia : Tahun 2000 : 23,67% dari 611 kasus baru ( 7 RS, 5 kota di
Indonesia)
36
Faktor Pemicu Pada Dermatitis Atopi
1. Dari segi waktu timbulnya reaksi, termasuk reaksi tipe segera (immediate),
karena reaksi berlangsung lebih lambat yaitu umumnya kurang dari 12 jam.
Jadi Hipersensitivitas tipe I.
37
3.8 NOMOR 8 ( Rani Meiliana S )
Faktor penyebab hipersensitivitas :
Defisiensi sel T
Mediator feedback
38
Menurut penelitian, inhibisis reseptor H2 oleh pelepasan enzim lisosom dan
aktifasi penahan sel T oleh histamin akan meningkatkan jumlah IgE.
Faktor lingkungan
Kelas imunoglobulin
Proses hemodinamik
39
Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-tempat dengan
tekanan darah tinggi dan ada turbulensi. Banyak kompleks imun mengendap
dalam glomerulus dimana tekanan darah meningkat hingga 4 kali dan dalam
dinding pencabangan arteri dan di tempat-tempat terjadinya filtrasi, seperti pad
pleksus choroid dimana terdapat turbulensi.
40
BAB 4 PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Jadi penyakit pada skenario menunjukkan gejala hipersensitivitas I. Karena pada
skenario anak tersebut menunjukkan gejala asma dan ayahnya menderita dermatitis.
Dimana gejala tersebut merupakan penyakit alergi pada hipersensitivitas tipe I yang
merupakan reaksi cepat dan pada suatu keadaan bisa menyebabkan anafilaksis
alergi, dimana alergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respon imun
berupa IgE dan penyakit alergi seperti, asma, dan dermatitis atopi.
41
DAFTAR PUSTAKA
Bousquet J, Cauwenberge P V., Khaltaev N., 2001. ARIA workshop group.
World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on asthma.J allergy
clinical immunol : S147-S276.
Harmadji S, 1993. Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT. Dalam : Kumpulan
Makalah Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT, Bukit Tinggi.
Hassan, rusepno dkk. 1985. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 2. Jakarta: Info Medika
Underwood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas
42