Anda di halaman 1dari 288

MODUL KEPERAWATAN GERONTIK

Ns. Veri,S,Kep.M.Kep

STIKes WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG


PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN
TAHUN 2019
Jl. Padjajaran-Pamulang Barat, Tangerang Selatan Telp 021-74716128

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah mencurahkan rahmat-Nya kepada
penulis sehingga kami dapat menyelesaikan Modul Keperawatan Gerontik ini.
Modul ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman tentang Konsep Dasar
Keperawatan Gerontik. Sekaligus untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan
Gerontik.
Bersama ini kami mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada rekan
dosen yang telah memberikan pengetahuan tentang sistimatika penulisan makalah serta teman-
teman dan berbagai pihak yang telah membantu hingga selesainya penulisan modul ini.
Akhirnya kami berharap semoga modul ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
dapat dijadikan referensi untuk tugas selanjutnya. Saran dan kritik yang membangun untuk
kesempurnaan penulisan ini sangat kami harapkan.

Tangerang Selatan, April 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...............................................................................................................................


Daftar Isi ..........................................................................................................................................
Bab I Pendahuluan .........................................................................................................................
A. Latar Belakang .......................................................................................................................
B. Rumusan Masalah..................................................................................................................
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................................

Bab II Tinjauan Pustaka ................................................................................................................


A. Konsep Dasar Keperawatan Gerontik....................................................................................
B. Perubahan Bio Psikososial Spiritual Pada Lansia..................................................................
C. Askep Gangguan Kardiovaskuler ( Hipertensi ) Pada Lansia ...............................................
D. Askep Gangguan Sistem Pernapasan ( Pneumonia ) Pada Lansia.........................................
E. Askep Gangguan Pencernaan ( Diare) Pada Lansia ..............................................................
F. Askep Gangguan Sistem Endokrin ( DM) Pada Lansia.........................................................
G. Gangguan Sistem Sensorik ( Glaukoma ) Pada Lansia .........................................................
H. Askep Gangguan Muskuloskeletal ( Rhematoid Atritis ) Lansia .........................................
I. Askep Gangguan Sistem Perkemihan ( Inkotinensia Urine ) Lansia.....................................
J. Komunikasi Teraupetik Pada Lansia .....................................................................................
K. Program Nasional Kesehatan Lansia .....................................................................................
L. Askep Lansia Menjelang Ajal ( Paliatif) ...............................................................................
M. Isu, Strategi Promosi Kesehatan Kesejahteraan Lansia .........................................................
N. Askep Lansia Gangguan Psikosoial ( Depresi ).....................................................................

BAB III PENUTUP.........................................................................................................................


A. Kesimpulan .........................................................................................................................................
B. Saran ...................................................................................................................................................
Daftar Pustaka

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lanjut usia (lansia) adalah seseorang dengan usia 65 tahun atau lebih yang
terkadang menimbulkan masalah sosial, tetapi bukanlah suatu penyakit melainkan
suatu proses natural tubuh meliputi terjadinya perubahan deoxyribonucleic acid
(DNA), ketidaknormalan kromosom dan penurunan fungsi organ dalam tubuh. Sekitar
65% dari lansia yang mengalami gangguan kesehatan, hidup hanya ditemani oleh
seseorang yang mengingatkan masalah kesehatannya, dan 35% hidup sendiri. Secara
individu, pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai macam masalah, baik
masalah secara fisik, biologis, mental maupun masalah sosial ekonomi (Nies &
McEwen, 2007; Tamher & Noorkasiani, 2009).
Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2015, populasi
penduduk dunia yang berusia 60 tahun atau lebih, mencapai 900 juta jiwa. Dewasa
ini, terdapat 125 juta jiwa yang berusia 80 tahun atau lebih, pada tahun 2050,
diperkirakan mencapai 2 milliar jiwa di seluruh dunia. Akan ada hampir sebanyak 120
juta jiwa yang tinggal sendiri di Cina, dan 434 juta orang di kelompok usia ini di
seluruh dunia. Di kawasan Asia Tenggara populasi Lansia sebesar 8% atau sekitar
142 juta jiwa. Pada tahun 2000 jumlah Lansia sekitar 5,300,000 (7,4%) dari total
polulasi, sedangkan pada tahun 2010 jumlah Lansia 24,000,000 (9,77%) dari total
populasi, dan tahun 2 2020 diperkirakan jumlah Lansia mencapai 28,800,000
(11,34%) dari total populasi (Departemen Kesehatan RI, 2013; WHO, 2015).
Dari sensus penduduk dunia, Indonesia mengalami peningkatan jumlah lansia
(60 tahun ke atas) dari 3,7% pada tahun 1960 hingga 9,7% pada tahun 2011.
Diperkirakan akan meningkat menjadi 11,34% pada tahun 2020 dan 25% pada tahun
2050. Jumlah orang tua di Indonesia berada di peringkat keempat terbesar di dunia
setelah China, India, dan Amerika. Propinsi Jawa tengah adalah salah satu propinsi
yang mempunyai penduduk usia lanjut diatas jumlah lansia nasional yang hanya 7,6%
pada tahun 2000 dan dengan usia harapan hidup mencapai 64,9 tahun. Secara
kuantitatif kedua parameter tersebut lebih tinggi dari ukuran nasional (Kadar, Francis,
dan Sellick, 2012; Departemen Kesehatan, 2013).
Menurut Ambarwati (2014) semakin tua umur seseorang, maka akan semakin
menurun kemampuan fisiknya, hal ini dapat mengakibatkan kemunduran pada peran
1
sosialnya dan juga akan mengakibatkan gangguan dalam hal mencukupi kebutuhan
hidupnya. Meningkatkan ketergantungan yang memerlukan bantuan orang lain
dengan kata lain akan menurunkan tingkat kemandirian lansia tersebut. Maslow
(1962, dikutip oleh Ambarwati 2014) menyebutkan teori tentang hierarki kebutuhan,
tingkatan yang tertinggi (ke-5) adalah kebutuhan aktualisasi diri (need for self
Actualization) yang terkait dengan tingkat kemandirian, kreatifitas, kepercayaan diri
dan mengenal serta memahami potensi diri sendiri. 3 Kemandirian sangat penting
dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia. Dengan pemikiran para lansia, diakui
sebagai individu yang mempunyai karakteristik yang unik. Kemandirian pada lanjut
usia dapat dinilai dari kemampuannya dalam melakukan aktivitas kesehariannya atau
yang sering disebut dengan Activity of daily living (ADL), sehingga meminimalkan
morbiditas para lanjut usia. Salah satu ukuran penting pada morbiditas adalah
kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas seharihari, seperti mandi,
berpakaian, toileting, dan makan. Ketika tidak dapat melakukan self-care, maka akan
menjadi tergantung dengan bantuan (Dunlop, Hughes, dan Manheim, 1997; Sari,
2013).
Keperawatan lanjut usia dalam bahasa Inggris sering dibedakan atas
Gerontologic nursing (gerontic nursing) dan geriatric nursing sesuai keterlibatannya
dalam bidang yang berlainan. Gerontologic nurse atau perawat gerontologi adalah
perawat yang bertugas memberikan asuhan keperawatan pada semua penderita
berusia diatas 65 tahun (di Indonesia dan Asia dipakai batasan usia 60 tahun) tanpa
melihat apapun penyebabnya dan dimanapun dia bertugas. Secara definisi, hal ini
berbeda dengan perawat geriatrik, yaitu mereka yang berusia diatas 65 tahun dan
menderita lebih dari satu macam penyakit (multipel patologi), disertai dengan
berbagai masalah psikologik maupun sosial.
Kesejahteraan penduduk usia lanjut yang karena kondisi fisik dan/atau
mentalnya tidak memungkinkan lagi untuk berperan dalam pembangunan, maka
lansia perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah dann masyarakat (GBHN,
1993). Pelayanan kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, dan lain-lainnya telah dikerjakan
pada berbagai tingkatan, yaitu ditingkat individu lansia, kelompok lansia, keluarga,
Panti Sosial Tresna Wreda (PSTW), Sasana Tresna Wreda (STW), Sarana Pelayanan
Kesehatan Tingkat Dasar (primer), Sarana Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat
Pertama (sekunder), dan Sarana Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan (tersier) untuk
mengatasi permasalahan yang terjadi pada Perancangan Hari Lanjut Usia Nasional
2
(HALUN) pada tanggal 29 Mei 1996. Pada sebuah provinsi di Cina disebutkan
terdapat populasi lansia yang sebagian besar berusia lebih dari 100 tahun masih hidup
dengan sehat dan sedikit sekali prevalensi kepikunaannya. Menurut mereka,
rahasianya adalah menghindari makanan modern, banyak mengonsumsi sayur dan
buah, aktivitas fisik yang tinggi, sosialisasidengna warga lainnya, serta hidup
ditempat yang sangant bersih dan jauh dari polusi udara. Hal ini merupakan tantangan
bagi kita semua untuk dapat mempertahankan kesehatan dan kemandirian para lansia
agar tidak menjadi beban bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Konsep Dasar Keperawatan Gerontik
2. Apa yang dimaksud dengan Perubahan Bio Psikososial Spiritual Pada Lansia
3. Apa yang dimaksud dengan Askep Gangguan Kardiovaskuler ( Hipertensi ) Pada
Lansia
4. Apa yang dimaksud dengan Askep Gangguan Sistem Pernapasan ( Pneumonia )
Pada Lansia
5. Apa yang dimaksud dengan Askep Gangguan Pencernaan ( Diare) Pada Lansia
6. Apa yang dimaksud dengan Askep Gangguan sistem Endokrin ( DM) Pada Lansia
7. Apa yang dimaksud dengan Gangguan Sistem Sensorik ( Glaukoma ) Pada Lansia
8. Apa yang dimaksud dengan Askep Gangguan Muskuloskeletal ( Rhematoid
Atritis ) Lansia
9. Apa yang dimaksud dengan Askep Sistem Perkemihan ( Inkotinensia Urine)
Lansia
10. Apa yang dimaksud dengan Komunikasi Teraupetik Pada Lansia
11. Apa yang dimaksud dengan Program Nasional Kesehatan Lansia
12. Apa yang dimaksud dengan Askep Lansia Menjelang Ajal ( Paliatif)
13. Apa yang dimaksud dengan Isu Strategi promosi Kesehatan Kesejahteraan Lansia
14. Apa yang dimaksud dengan Askep Lansia Gangguan Psikososial ( Depresi )

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui tentang Konsep Dasar Keperawatan Gerontik
2. Untuk Mengetahui tentang Perubahan Bio Psikososial Spiritual Pada Lansia
3. Untuk Mengetahui tentang Askep Gangguan Kardiovaskuler ( Hipertensi ) Pada
Lansia
3
4. Untuk Mengetahui tentang Askep Gangguan Sistem Pernapasan ( Pneumonia )
Pada Lansia
5. Untuk Mengetahui tentang Askep Gangguan Pencernaan ( Diare) Pada Lansia
6. Untuk Mengetahui tentang Askep Gangguan sistem Endokrin ( DM) Pada Lansia
7. Untuk Mengetahui tentang Gangguan Sistem Sensorik ( Glaukoma ) Pada Lansia
8. Untuk Mengetahui tentang Askep Gangguan Muskuloskeletal ( Rhematoid Atritis
) Lansia
9. Untuk Mengetahui tentang Askep Sistem Perkemihan ( Inkotinensia Urine)
Lansia
10. Untuk Mengetahui tentang Komunikasi Teraupetik Pada Lansia
11. Untuk Mengetahui tentang Program Nasional Kesehatan Lansia
12. Untuk Mengetahui tentang Askep Lansia Menjelang Ajal ( Paliatif)
13. Untuk Mengetahui tentang Isu Strategi promosi Kesehatan Kesejahteraan Lansia
14. Untuk Mengetahui tentang Askep Lansia Gangguan Psikososial ( Depresi )

4
BAB II
A. KONSEP DASAR KEPERAWATAN GERONTIK

B. Definisi Gerontik dan Lansia


Gerontologi berasal dari bahasa yunani Geros yang artinya tua dan logos yang
berarti. Gerontology dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang proses
penuaan dan permasalahan yang dialami oleh lansia serta konsekuensi akibat proses
menua terhadap untuk kehidupan lansia sendiri maupun kelompok masyarakat.
Geriatrik berasal dari bahasa yunani geros (tua) dan eatried ( kesehatan ).
Geriatrik merupakan cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang penyakit dan
permasalahan yang terjadi pada lansia. Geriatrik berfokus pada kondisi abnormal
lansia dan triatmenya.
Pada tahun 1995 WHO menggariskan bahwa focus pembinaan bagi kelompok
lansia adalah upaya promotif dan meminimalkan ketergantungan pada lansia.
Gerontology is Comprehensive study of Ageing and the Problem of the Aged.
(Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari proses menua dan masalahnya.
Gerontologi adalah pengetahuan yang mencakup segala bidang persoalan
mengenai orang berusia lanjut, yang di dasarkan pada hasil penyelidikan ilmu ;
antropologi, antropometri, sosiologi, pekerjaan sosial, kedokteran geriatrik, psikiatrik
geriatrik, psikologi, dan ekonomi (menurut Pergeri).
Gerontologi menurut Kozier, 1987 adalah ilmu yang mempelajari seluruh
aspek menua.Gerontologi adalah cabang ilmu yang mempelajari proses menua dan
masalah yang mungkin terjadi pada lanjut usia (Miller, 1990).
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia (Budi Anna Keliat, 1999). Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU
No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang
yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.

C. Teori-Teori Proses Penuaan


1. Internal
a. Teori Biologi
1) Teori genetik dan mutasi (Somatik Mutatie Theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies-
spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia
5
yang terprogramoleh molekul-molekul atau DNA dan setiap sel pada
saatnya akan mengalami mutasi.
2) Teori radikal bebas
Tidak stabilnya radikal bebas mengakibatkan oksidasi-oksidasi bahan
organik yang menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.
3) Teori autoimun
Penurunan sistem limfosit T dan B mengakibatkan gangguan pada
keseimbangan regulasi system imun (Corwin, 2001). Sel normal yang
telah menua dianggap benda asing, sehingga sistem bereaksi untuk
membentuk antibody yang menghancurkan sel tersebut. Selain itu atripu
tymus juga turut sistem imunitas tubuh, akibatnya tubuh tidak mampu
melawan organisme pathogen yang masuk kedalam tubuh.Teori meyakini
menua terjadi berhubungan dengan peningkatan produk autoantibodi.
4) Teori stress
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.
Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kesetabilan lingkungan
internal, dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah dipakai.
5) Teori telomere
Dalam pembelahan sel, DNA membelah denga satu arah. Setiap
pembelaan akan menyebabkan panjang ujung telomere berkurang
panjangnya saat memutuskan duplikat kromosom, makin sering sel
membelah, makin cepat telomer itu memendek dan akhirnya tidak mampu
membelah lagi.
6) Teori apoptosis
Teori ini disebut juga teori bunuh diri (Comnit Suitalic) sel jika
lingkungannya berubah, secara fisiologis program bunuh diri ini
diperlukan pada perkembangan persarapan dan juga diperlukan untuk
merusak sistem program prolifirasi sel tumor. Pada teori ini lingkumgan
yang berubah, termasuk didalamnya oleh karna stres dan hormon tubuh
yang berkurang konsentrasinya akan memacu apoptosis diberbagai organ
tubuh.
2. Eksternal
a. Teori Kejiwaan Sosial
1) Aktifitas atau kegiatan (Activity theory)
6
Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses adalah
mereka yang aktif dan ikut bnyak kegiatan social.
2) Keperibadian lanjut (Continuity theory)
Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang
yang lanjut usia sangat dipengaruhi tipe personality yang dimilikinya.
3) Teori pembebasan (Disengagement theory)
Dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-angsur
melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan
sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi lanjut usia menurun, baik
secara kualitas maupun kuantitas.
b. Teori Lingkungan
1) Exposure theory: Paparan sinar matahari dapat mengakibatkat percepatan
proses penuaan.
2) Radiasi theory: Radiasi sinar y, sinar xdan ultrafiolet dari alat-alat medis
memudahkan sel mengalami denaturasi protein dan mutasi DNA.
3) Polution theory: Udara, air dan tanah yang tercemar polusi mengandung
subtansi kimia, yang mempengaruhi kondisi epigenetik yang dpat
mempercepat proses penuaan.
4) Stress theory: Stres fisik maupun psikis meningkatkan kadar kortisol
dalam darah. Kondisi stres yang terus menerus dapat mempercepat proses
penuaan.

D. Mitos-Mitos Stereotip Seputar Lansia


1. Mitos kedamaian dan ketenangan
Adanya anggapan bahwa lansia dapat santai menikmati hidup, hasil kerja dan
jerih payahnya dimasa muda. Berbagai gunjangan kehidupan seakan akan sudah
berhasil dilewati. Kenyataannya sering ditemui lansia yang mengalami stress
karena kemiskinan dan berbagai keluhan serta penderitaan karena penyakit.
2. Mitos konservatif dan kemunduran
Konservatif berarti kolot, bersikap mempertahankan kebiasaan , tradisi dan
keadaan yang berlaku. Adanya anggapan bahwa lansia tidak kreatif, menolak
inovasi, berorientasi kemasa silam, kembali ke masa anak-anak, sulit berubah,

7
keras kepala dan cerewat. Kenyataannya tidak semua lansia bersikap dan memiliki
pemikiran demikian.
3. Mitos berpenyakitan
Adanya anggapan bahwa masa tua dipandang sebagai masa degenerasi
biologis yang disertai berbagai penyakit. Kenyataannya tidak semua lansia
berpenyakitan. Saat ini sudah banyak jenis pengobatan serta lansia yang rajin
melakukan pemeriksaan berkala sehingga lansia tetap sehat dan bugar.
4. Mitos senilitas
Adanya anggapan bahwa sebagian lansia mengalami pikun. Kenyataannya
banyak yang masih tetap cerdas dan bermanfaat bagi masyarakat.
5. Mitos tidak jatuh cinta
Adanya anggapan bahwa paralansia tidak lagi jatuh cinta dan bergairah kepada
lawan jenis. Kenyataannya perasaan dan emosi setiap orang berubah sepanjang
masa serta perasaan cinta tidak berhenti hanya karena menjadi tua.
6. Mitos aseksualitas
Adanya anggapan bahwa pada lansia terjadi penurunan hubungan seks, minat,
dorongan, gairah, kebutuhan dan daya seks berkurang. Kenyataannya kehidupan
seks para lansia normal-normal saja dan tetap bergairah. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya para lansia yang meskipun telah ditinggal mati oleh
pasangannya masih memiliki keinginan untuk menikah lagi.
7. Mitos ketidakproduktifan
Adanya anggapan bahwa para lansia tidak produktif lagi. Kenyataannya
banyak para lansia yang mecapai kematangan, kemantapan dan produktivitas
mental maupun material.

E. Klasifikasi Lansia
1. Menurut WHO, batasan lansia meliputi:
a. Usia Pertengahan (Middle Age), adalah usia antara 45-59 tahun.
b. Usia Lanjut (Elderly), adalah usia antara 60-74 tahun.
c. Usia Lanjut Tua (Old), adalah usia antara 75-90 tahun
d. Usia Sangat Tua (Very Old), adalah usia 90 tahun keatas
2. Departemen Kesehatan RI mengklasifikasikan lanjut usia sebagai berikut:
a. Pralansia (prasenilis), seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
b. Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
8
c. Lansia risiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang
yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan
d. Lansia potensial, lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau
kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa
e. Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga
hidupnya bergantung pada bantuan orang lain

F. Tipe pada Lansia


Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho, 2000). Tipe
tersebut dapat dibagi sebagai berikut:
1. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
2. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari
pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
3. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah,
tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak menuntut.
4. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan
melakukan pekerjaan apa saja.
5. Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif,
dan acuh tak acuh

G. Perubahan – Perubahan yang Terjadi pada Lansia


Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara degeneratif
yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia, tidak hanya
perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial dan sexual (Azizah dan Lilik M,
2011, 2011).
1. Perubahan Fisik
9
a. Sistem Indra
1) Penglihatan (Kornea lebih berbentuk sferis (bola), Sfingter pupil timbul
sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar, Lensa lebih suram
(kekeruhan pada lensa), Meningkatnya ambang pengamatan sinar : daya
adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam cahaya
gelap, Menurunnya lapang pandang & berkurangnya luas pandang)
2) Pendengaran (Presbiakusis/gangguan pada pendengaran), Hilangnya
kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap
bunyi suara, antara lain nada nada yang tinggi, suara yang tidak jelas,
sulit mengerti kata kata, 50 % terjadi pada usia diatas umur 65 tahun).
3) Pengecap (Menurunnya kemampuan pengecap)
4) Peraba (Kemunduran dalam merasakan sakit, Kemunduran dalam
merasakan tekanan, panas dan dingin).
b. Sistem kardiovaskuler
1) Katub jantung menebal dan menjadi kaku
2) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1 % pertahun sesudah
berumur 20 tahun Hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan
volumenya
3) Kehilangan elastisitas pembuluh darah.
c. Sistem genito urinaria
1) Ginjal, Mengecil dan nephron menjadi atropi, aliran darah ke ginjal
menurun sampai 50 %, penyaringan diglomerulus menurun sampai 50 %,
fungsi tubulus berkurang akibatnya kurangnya kemampuan
mengkonsentrasi urin, berat jenis urin menurun proteinuria (biasanya + 1)
2) Vesika urinaria / kandung kemih, Otot otot menjadi lemah, kapasitasnya
menurun sampai 200 ml atau menyebabkan frekwensi BAK meningkat,
vesika urinaria susah dikosongkan pada pria lanjut usia sehingga
meningkatnya retensi urin
d. Sistem endokrin
1) Produksi hampir semua hormon menurun
2) Menurunnya aktivitas tiriod
3) Menurunnya produksi aldosteron
4) Menurunnya sekresi hormon: progesteron, estrogen, testosterone

10
5) Defisiensi hormonall dapat menyebabkan hipotirodism, depresi dari
sumsum tulang serta kurang mampu dalam mengatasi tekanan jiwa (stress)

e. Sistem pencernaan pada usia lanjut


1) Kehilangan gigi, penyebab utama adanya periodontal disease yang biasa
terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang
buruk dan gizi yang buruk.
2) Esofagus melebar
3) Lambung, rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun), asam lambung
menurun, waktu mengosongkan menurun
4) Fungsi absorbsi melemah (daya absorbsi terganggu).
5) Liver (hati), makin mengecil.
f. Sistem muskuloskeletal
1) Tulang rapuh.
2) Resiko terjadi fraktur
3) Kyphosis
4) Persendian menjadi kaku
5) Resiko fraktur
6) Pinggang, lutut & jari pergelangan tangan terbatas
g. Sistem integumen
1) Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak
2) Kulit kering & kurang elastis karena menurunnya cairan dan hilangnya
jaringan adipose
3) Kelenjar kelenjar keringat mulai tak bekerja dengan baik, sehingga tidak
begitu tahan terhadap panas dengan temperatur yang tinggi
4) Kulit pucat dan terdapat bintik bintik hitam akibat menurunnya aliran
darah dan menurunnya sel sel yang meproduksi pigmen
5) Menurunnya aliran darah dalam kulit juga menyebabkan penyembuhan
luka luka kurang bai
6) Pertumbuhan rambut berhenti, rambut menipis dan botak serta warna
rambut kelabu
h. Sistem reproduksi
11
1) Selaput lendir vagina menurun/kering
2) Menciutnya ovarium dan uterus
3) Atropi payudara
4) Testis masih dapat memproduksi meskipun adanya penurunan secara
berangsur berangsur
5) Dorongan sex menetap sampai usia diatas 70 tahun, asal kondisi kesehatan
baik

2. Perubahan Kognitif
a. Memory (Daya ingat, Ingatan)
b. IQ (Intellegent Quotient)
c. Kemampuan Belajar (Learning)
d. Kemampuan Pemahaman (Comprehension)
e. Pemecahan Masalah (Problem Solving)
f. Pengambilan Keputusan (Decision Making)
g. Kebijaksanaan (Wisdom)
h. Kinerja (Performance)
i. Motivasi

3. Perubahan mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :
a. Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.
b. Kesehatan umum
c. Tingkat pendidikan
d. Keturunan (hereditas)
e. Lingkungan
f. Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian
g. Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan
h. Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan
famili.
i. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri,
perubahan konsep diri

4. Perubahan spiritual
12
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya. Lansia
semakin matang (mature) dalam kehidupan keagamaan, hal ini terlihat dalam
berfikir dan bertindak sehari-hari.

5. Perubahan Psikososial
a. Kesepian
Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal terutama
jika lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti menderita penyakit fisik
berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama pendengaran.
b. Duka cita (Bereavement)
Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan
kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh pada lansia.
Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan kesehatan.
c. Depresi
Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu
diikuti dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi suatu
episode depresi. Depresi juga dapat disebabkan karena stres lingkungan dan
menurunnya kemampuan adaptasi.

d. Gangguan cemas
Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan cemas
umum, gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif kompulsif,
gangguangangguan tersebut merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan
berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek samping
obat, atau gejala penghentian mendadak dari suatu obat.
e. Parafrenia
Suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan waham (curiga),
lansia sering merasa tetangganya mencuri barang-barangnya atau berniat
membunuhnya. Biasanya terjadi pada lansia yang terisolasi/diisolasi atau
menarik diri dari kegiatan sosial.
f. Sindroma Diogenes
Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan perilaku
sangat mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena lansia bermain-

13
main dengan feses dan urin nya, sering menumpuk barang dengan tidak
teratur. Walaupun telah dibersihkan, keadaan tersebut dapat terulang kembali.

H. Nutrisi pada Lansia


Khusus untuk Indonesia, Departemen Kesehatan telah menerbitkan Pedman
Umum Gizi Seimbang (PUGS) (DepKes, 1995) yang berisi 13 pesan dasar gizi
seimbang bagi lansia dengan dasar PUGS dan dengan memepertimbangkan
pengurangan berbagai resiko pentyakit degenerasi yang dihadapi para lansia.
1. Makanlah aneka ragam makanan
2. Makanlah sumber karbohidrat kompleks (serealia dan umbi)
3. Batasi minyak dan lemak secar berlebihan
4. Makanlah sumber zat besi secara bergantian antara sumber hewani dan nabati
5. Minumlah air yang bersih, aman, dan cukup jumlahnya dan telah didihkan
6. Kurangi konsumsi makanan jajanan dan minuman yang tinggi gula murni dan
lemak
7. Perbanyak frekuensi makan hewani laut dalam menu harian
8. Gunakanlah garam berodium, namaun batasilah penggunaan garam secar
berlebihan, kurangi konsumsi makanan dengan pengawet

Kebutuhan Gizi Pada Lansia


1. Kalori
Kebutuhan akan kalori menurun sejalan dengan pertambahan usia, karena
metabolisme seluruh sel dan kegiatan otot berkurang
2. Protein
Gersovitz (1982) menganjurkan asupan protein sebesar 1,0 g/kg berat
badan/hari untuk mempertahankan keseimbangan protein, Kebutuhan akan
protein meningkat sebagai tanggapan atas stress fisiologis seperti infeksi, luka
baker, patah tulang dan pembedahan
3. Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan untuk dikonsumsi adalah sekitar 55 – 60% dari
kalori total
4. Lemak

14
Asupan lemak dibatasi, batas maksimal 20 – 25% dari energi total. Kelebihan
dan kekurangan lemak diwujudkan dalam bentuk kadar kolesterol darah
5. Serat
6. Vitamin
Meskipun tampak sehat, kekurangan sebagian vitamin dan mineral tetap
berlangsung pada lansia, dianjurkan untuk meningkatkan asupan vitamin B6,
B12, vitamin D dan asam folat.

Komposisi Laki-Laki Perempuan

Energi (kal) 1960 1700

Protein (gram) 50 44

Vitamin A (RE) 600 700

Thiamin (mg) 0,8 0,7

Riboflavin (mg) 1,0 0,9

Niasin (mg) 8,6 7,5

Vitamin B12 (mg) 1 1

Asam folat (mcg) 170 150

Vitamin C (mg) 40 30

Kalsium (mg) 500 500

Fosfor (mg) 500 450

Besi (mg) 13 16

Seng (mg) 15 15

Iodium (mcg) 150 150

Angka kecukupan energi dan zat gizi yang dianjurkan untuk Lansia dalam sehari :

15
Contoh Menu Lansia dalam 1 Hari

Waktu Makan Pria (2200 kal) Wanita (1850 kal)

Pagi 1 ½ gls nasi/ pengganti 1 gls nasi/ pengganti

1 butir telur (Telur Mata Sapi) 1 btr telur

100 gr sayuran (Cah 100 gr sayuran


Kangkung)
1 gls susu skim
1 gls susu skim

Pukul 10.00 Snack/buah (Nagasari) Snack/buah

Siang 1 ½ gls nasi 1 gls nasi

50 gr daging/ikan/unggas 50 gr daging/ikan/unggas
(Pepes Ikan)

25 gr tempe/kacang-kacangan
25 gr tempe/kacang-kacangan
(Tempe bb Tomat)
150 gr sayuran
150 gr sayuran (Sayur Asem)
1 ptg buah
1 ptg buah (Semangka)

Pukul 17.00 Snack/ buah Snack/ buah

(Bubur Kacang Hijau)

Malam 1 ½ gls nasi 1 gls nasi

50 gr daging/ikan/unggas 50 gr daging/ikan/unggas
(Basho Daging)
50 gr tahu
50 gr tahu
150 gr sayuran
150 gr sayuran (Sup Sayur)
1 ptg buah
1 ptg buah (Pisang)

16
I. Masalah-Masalah Fisik yang Sering Terjadi pada Lansia
1. Mudah jatuh
a. Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata
yang melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak
terbaring/terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran atau luka (Ruben, 1996).
b. Jatuh dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor intrinsik: gangguan
gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekuatan sendi dan sinkope-
dizziness; faktor ekstrinsik: lantai yang licin dan tidak rata, tersandung oleh
benda-benda, penglihatan kurang karena cahaya yang kurang terang dan
sebagainya.
2. Mudah lelah, disebabkan oleh :
a. Faktor psikologis: perasaan bosan, keletihan, depresi
b. Gangguan organis: anemia, kurang vitamin, osteomalasia, dll
c. Pengaruh obat: sedasi, hipnotik
3. Kekacauan mental karena keracunan, demam tinggi, alkohol, penyakit
metabolisme, dehidrasi, dsb
4. Nyeri dada karena PJK, aneurisme aorta, perikarditis, emboli paru, dsb
5. Sesak nafas pada waktu melakukan aktifitas fisik karena kelemahan jantung,
gangguan sistem respiratorius, overweight, anemia
6. Palpitasi karena gangguan irama jantung, penyakit kronis, psikologis
7. Pembengkakan kaki bagian bawah karena edema gravitasi, gagal jantung, kurang
vitamin B1, penyakit hati, penyakit ginjal, kelumpuhan, dsb
8. Nyeri pinggang atau punggung karena osteomalasia, osteoporosis, osteoartritis,
batu ginjal, dsb.
9. Nyeri sendi pinggul karena artritis, osteoporosis, fraktur/dislokasi, saraf terjepit
10. Berat badan menurun karena nafsu makan menurun, gangguan saluran cerna,
faktor sosio-ekonomi
11. Sukar menahan BAK karena obat-obatan, radang kandung kemih, saluran kemih,
kelainan syaraf, faktor psikologis
12. Sukar menahan BAB karena obat-obatan, diare, kelainan usus besar, kelainan
rectum
13. Gangguan ketajaman penglihatan karena presbiopi, refleksi lensa berkurang,
katarak, glaukoma, infeksi mata
17
14. Gangguan pendengaran karena otosklerosis, ketulian menyebabkan kekacauan
mental
15. Gangguan tidur karena lingkungan kurang tenang, organik dan psikogenik
(depresi, irritabilitas)
16. Keluhan pusing-pusing karena migren, glaukoma, sinusitis, sakit gigi, dsb
17. Keluhan perasaan dingin dan kesemutan anggota badan karena ggn sirkulasi darah
lokal, ggn syaraf umum dan lokal
18. Mudah gatal-gatal karena kulit kering, eksema kulit, DM, gagal ginjal, hepatitis
kronis, alergi

J. Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Mencegah Penuaan


1. Olah raga yang teratur dan sesuai
2. Istirahat tidur yang cukup
3. Menjaga kebersihan
4. Memeriksakan kesehatan secara teratur
5. Mental dan batin tenang dan seimbang
6. Rekreasi
B.PERUBAHAN BIO PSIKOSOSIAL SPIRITUAL PADA LANSIA

A. Pengertian Usia Lanjut


Usia lanjut adalah mereka yang telah berusia 60 tahun atau lebih. Belum ada
kesepakatan tentang batasan umur lanjut usia disebabkan terlalu banyak pendapat tentang
batasan umur lanjut usia. Dibawah ini dikemukakan batasan umur lansia (Nugroho
1999:19).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, Lanjut usia meliputi :
1. Usia pertengahan (middle age) : usia 45 – 59 tahun
2. Lanjut Usia (elderly) : antara 60 dan 74 tahun
3. Lanjut Usia Tua (old) : antara 75 dan 90 tahun
4. Usia sangat tua (very old) : diatas 90 tahun
Saat ini yang berlaku Undang-Undang No.13/th. 1998 tentang kesejahteraan lanjut
usia yang berbunyi sebagai berikut : BAB I pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “ Lanjut Usia
adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas.

18
Dalam penelitian ini batasan umur untuk menentukan lanjut usia, yaitu seseorang
individu laki-laki maupun perempuan yang berumur antara 60-69 tahun. (Nugroho
1999:20)
B. Pengertian Proses Menua
Aging process atau proses menua merupakan suatu proses biologis yang tidak
dapat dihindarkan, yang akan dialami oleh setiap orang. Menua adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan (graduil) kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri atau menggantikan dan mempertahankan struktur fungsi secara normal, ketahanan
terhadap injury termasuk adanya infeksi(Paris Constantinides, 1994).
Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai dewasa,
misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan syaraf dan jaringan
lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit. Pada setiap orang, fungsi fisiologis alat
tubuhnya sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak maupun saat menurunnya.
Namun umumnya fungsi fisiologis tubuh mencapai puncaknya pada umur 20-30 tahun.
C. Perubahan Yang Lazim Pada Proses Menua
Banyak kemampuan berkurang pada saat orang bertambah tua. Dari ujung rambut
sampai ujung kaki mengalami perubahan dengan makin bertambahnya umur. Menurut
Nugroho (2000) perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai berikut:
1. Perubahan Biologis
a. Sel
Jumlah sel menjadi menurun atau lebih sedikit, ukuran sel lebih besar,
berkurangnya cairan intra seluler, menurunnya proporsi protein di otak; otot;
ginjal; darah dan hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya mekanisme
perbaikan sel. Otak menjadi atrofi (beratnya berkurang 5-10%), lekukan otak
akan menjadi lebih dangkal dan melebar.
b. Perubahan Sistem Persyarafan
Struktur dan fungsi system saraf berubah dengan bertambahnya usia.
Berkurangnya massa otak progresif akibat berkurangnya sel syaraf yang tidak
bisa diganti. Terjadi penurunan sintesis dan neuro transmitter utama. Impuls
saraf dihantarkan lebih lambat, sehingga lansia memerlukan waktu yang lebih
lama untukmerespons dan bereaksi.
Respon menjadi lambat dan hubungan antara persyarafan menurun, berat otak
menurun 10-20%, mengecilnya syaraf panca indra sehingga mengakibatkan
berkurangnya respon penglihatan dan pendengaran, mengecilnya syaraf
19
penciuman dan perasa, lebih sensitif terhadap suhu, ketahanan tubuh terhadap
dingin rendah, kurang sensitif terhadap sentuhan.
Waktu reaksi yang lama menyebabkan lansia beresiko mengalami kecelakaan
dan cedera. Kehilangan kesadaran atau pingsan dapat terjadi bila orang tersebut
berdiri terlalu cepat dari posisi berbaring atau duduk. Perawat harus menasehati
orang tersebut untuk menunggu waktu merespons terhadap rangsang dan
bergerak lebih pelan. Kebingungan yang terjadi tiba-tiba mungkin merupakan
gejala awal infeksi atau perubahan kondisi fisik (pneumonia, infeksi saluran
kencing, interaksi obat, dehidrasi dan lainnya).
c. Perubahan Penglihatan
Karena sel-sel baru terbentuk di permukaan luar lensa mata, maka sel tengah
yang tus akan menumpuk dan menjadi kuning, kaku, padat dan berkabut. Jadi,
bagian luar lensa yang masih elastic untuk berubah bentuk (akomodasi) dan
berfokus pada jarak jauh dan dekat.
Lansia memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan gelap dan terang dan memerlukan sinar yang lebih terang untuk
melihat benda yang sangat dekat. Meskipun kondisi visual patologis bukan
merupakan bagian penuaan normal, namun terjadi peninekatan penyakit mata
pada lansia. Menurun lapang pandang dan daya akomodasi mata, lensa lebih
suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, pupil timbul sklerosis, daya
membedakan warna menurun.
d. Perubahan Pendengaran
Kehilangan kemampuan untuk mendengar nada berfrekuensi tinggi terjadi pada
usia pertengahan. Ini disebabkan karena perubahan telinga dalam yang
irreversible. Lansia sering tidak mampu mengikuti percakapan karena nada
konsonan frekuensi tinggi (huruf f, s, th, ch, sh, b, t, p) semuanya terdengar
sama.
Ketidakmampuan berkomunikasi, membuat mereka terasa terisolasi dari
menarik diri dari pergaulan social. Bila dicurigai ada gangguan pendengaran,
maka harus dilakukan kajian telinga dan pendengaran. Hilangnya atau turunnya
daya pendengaran, terutama pada bunyi suara atau nada yang tinggi, suara tidak
jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas umur 65 tahun,
membran timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis.

20
Kehilangan pendengaran menyebabkan lansia berespons tidak sesuai dengan
yang diharapkan, tidak memahamin percakapan, dan menghindari interaksi
social. Perilaku ini sering disalahkaprahkan sebagai kebingungan atau “senile”.
e. Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Penyakit jantung merupakan penyebab utama kematian pada semua kelompok
umur termasuk lansia. Angka kematian akibat penyakit kardiovaskuler juga
meningkat dengan meningkatnya usia. Perubahan structural yang normal dari
penuaan yang terjadi pada jantung dan system vascular mengakibatkan
kemampuannya untuk berfungsi secara efisien menurun.
Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung menurun 1%
setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, kehilangan sensitivitas dan elastisitas
pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
perubahan posisi dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bisa menyebabkan
tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg dan tekanan darah meninggi akibat
meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer, sistole normal ±170
mmHg, diastole normal ± 95 mmHg.
Hipertensi sistolik pernah dipercaya sebagai bagian dari proses penuaan normal.
Hipertensi, merupakan masalah yang banyak ditemui pada populasi lansia.
Hipertensi merupakan faktor resiko yang menonjol bagi semua kelompok usia
terhadap penyakit kardiovaskuler dan stroke.

Pada individu lansia, diagnosis hipertensi diklasifikasikan sebagai berikut :


1) Hipertensi sistolik saja dimana tekanan sistolik terukur melebihi 160 mmhg,
dengan tekanan distolik normal atau mendekati normal (di bawah 90 mmhg).
2) Hipertensi esensial dimana tekanan diastoliknya lebih besar atau sama
dengan 90 mmhg berapapun tekanan sistoliknya.
3) Hipertensi sekunder atau hipertensi yang dapat disebabkan oleh penyebab
yang mendasarinya.

f. Perubahan Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh


Pada pengaturan suhu, hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu thermostat
yaitu menetapkan suatu suhu tertentu, kemunduran terjadi beberapa faktor yang
mempengaruhinya yang sering ditemukan antara lain: temperatur tubuh menurun
21
(hipotermi) yang secara fisiologis keadaan ini akibat metabolisme yang menurun,
keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak
sehingga terjadi rendahnya aktifitas otot. Pada kondisi ini, lanjut usia akan merasa
kedinginan dan dapat pula menggigil, pucat, dan gelisah.
g. Perubahan Sistem Respirasi
Perubahan sistem respirasi yang berhubungan dengan usia yang mempengaruhi
kapasitas dan fungsi paru meliputi yang berikut : peningkatan diameter
anterioposterior dada, kolaps osteoporotic vertebra yang mengakibatkan kifosis
(peningkatan kurvatura konveks tulang belakang), kalsifikasi kartilago kosta dan
penurunan mobilitas alveoli. Peningkatan rigiditas atau hilangnya recoil
elastisitas paru mengakibatkan peningkatan volume residual paru dan penurunan
kapasitas vital.
Paru-paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik nafas lebih
berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun dan kedalaman nafas turun.
Kemampuan batuk menurun (menurunnya aktivitas silia), O2 arteri menurun
menjadi 75 mmHg, CO2 arteri tidak berganti.
h. Sistem Gastrointestinal
Fungsi traktus gastrointestinal biasanya tetap adekuat sepanjang hidup. Namun
demikian beberapa orang lansia mengalami ketidaknyamanan akibat motilitas
yang melambat. Peristaltic di esophagus kurang efisien pada lansia. Selain itu,
sfingter gastroesofagus gagal berelaksasi dan keluhan utama biasanya berpusat
bpada perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan.
Banyak gigi yang tanggal, sensitivitas indra pengecap menurun, pelebaran
esophagus, rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu pengosongan
menurun, peristaltik lemah, dan sering timbul konstipasi, fungsi absorbsi
menurun.
Peningkatan kesehatan untuk sistem gastrointestinal pada lansia dapat dipandu
untuk meningkatkan fungsi gastrointestinalnya untuk mengikuti praktik
peningkatan kesehatan seperti; menggosok gigi setiap hari, perawatan gigi yang
teratur, menghindari aktivitas berat setelah makan, makan makanan tinggi serat,
diet rendah lemak, minum banyak air, menjaga kebiasaan defekasi secara teratur,
dan menghindari laksatif dan antasida.
i. Sistem Genitourinaria

22
Otot-otot pada vesika urinaria melemah dan kapasitasnya menurun sampai 200
mg, frekuensi BAK meningkat, pada wanita sering terjadi atrofi vulva, selaput
lendir mongering, elastisitas jaringan menurun dan disertai penurunan frekuensi
seksual intercrouse berefek pada seks sekunder.
Peningkatan kesehatan sistem genitourinaria dilakukan dengan mengonsumsi
cairan yang mencukupi sangat penting untuk mencegah infeksi kandung kemih
dan memelihara keseimbangan caira.
Masalah kontinensia urin dan sering berkemih dapat dikurangi bila individu
lansia mengikuti petunjuk berikut:
1) Selalu dekat dengan fasilitas kamar mandi
2) Berkemih secara teratur
3) Melatih otot dasar panggul
Latihan otot dasar panggul sangat berguna dalam mengurangi gejala stress dan
dorongan inkontinensia. Karena untuk mencapai control muskulus yang baik
diperlukan latihan beberapa minggu, maka individu lansia harus didorong untuk
melakukan latihan secara teratur.
j. Sistem Endokrin
Produksi hampir semua hormon menurun (ACTH, TSH, FSH, LH), penurunan
sekresi hormon kelamin misalnya: estrogen, progesterone, dan testoteron.

k. Sistem Kulit
Kulit menjadi keriput dan mengkerut karena kehilangan proses keratinisasi dan
kehilangan jaringan lemak, berkurangnya elastisitas akibat penurunan cairan dan
vaskularisasi, kuku jari menjadi keras dan rapuh, kelenjar keringat berkurang
jumlah dan fungsinya, perubahan pada bentuk sel epidermis.
l. Sistem Muskuloskeletal
Penurunan progresif dan gradual masa tulang mulai terjadi sebelum usia 40 tahun.
Kehilangan densitas tulang yang massif akan mengai]kibatkan osteoporosis.
Kondisi ini kebanyakan terjadi pada wanita pasca menopausedan berhubungan
dengan inaktivitas, masukan kalsium yang tidak adekuat, dan kehilangan
estrogen. Perubahan tersebut mengakibatkan penurunan mobilitas, keseimbangan
dan fungsi organ internal berkurangnya ukuran otot dan kehilangan kekuatan,
fleksibilitas, dan ketahanannya sebagai akibat penurunan aktivitas pada lnsia yang
ditandai dengan nyeri punggung.
23
Tulang kehilangan cairan dan rapuh, kifosis, penipisan dan pemendekan tulang,
persendian membesar dan kaku, tendon mengkerut dan mengalami sclerosis,
atropi serabut otot sehingga gerakan menjadi lamban, otot mudah kram dan
tremor.
Peningkatan kesehatan tulang pada lansia dengan osteoporosis.
Osteoporosis merupakan masalah yang sering terjadi pada wanita lansia.
Demineralisasi yang terjadi pada osteoporosis dipercepat dengan hilangnya
estrogen, inaktivitas, dan diet rendah kalsium tinggi fosfat. Perawat dapat
menganjurkan:
1) Masukan tinggi kalsium
2) Diet rendah fosfor
3) Olahraga
Peningkatan kesehatan untuk fungsi musculoskeletal dengan melaksanakan
Program olahraga rutin harus dijalankan seumur hidup atau dimulai pada lansia.
Aksioma ”gunakan atau kamu kehilangan” sangat sesuai dengan kapasitas fisik
lansia.
m. Perubahan Sistem Reproduksi
Perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi wanita antara lain vagina
mengalami kontraktur dan mengecil, ovari menciut, uterus mengalami atrofi,
atrofi payudara, atrofi vulva, selaput lendir vagina menurun.
Sedangkan perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi pria antara lain ada
penurunan secara berangsur-angsur meskipun testis masih dapat memproduksi
spermatzoa, dan sebanyak ±75% pria usia di atas usia 65 tahun mengalami
pembesaran prosta
Perubahan mental faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah:
1) Perubahan fisik.
2) Kesehatan umum.
3) Tingkat pendidikan.
4) Hereditas.
5) Lingkungan.
6) Perubahan kepribadian yang drastis namun jarang terjadi misalnya kekakuan
sikap.
7) Kenangan, kenangan jangka pendek yang terjadi 0-10 menit.
8) Kenangan lama tidak berubah.
24
9) Tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal,
berkurangnya penampilan, persepsi, dan ketrampilan psikomotor terjadi
perubahan pada daya membayangkan karena tekanan dari faktor waktu.
2. Perubahan Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan
fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan
perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik meliputi hal-
hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan,
koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami
perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian
lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian
lansia sebagai berikut :
a. Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy). biasanya tipe ini tidak
banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
b. Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality). pada tipe ini ada
kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia
tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.
c. Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy). pada tipe ini biasanya
sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu
harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup
meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika
tidak segera bangkit dari kedukaannya.
d. Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality). pada tipe ini setelah
memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan
yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan
kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
e. Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy). pada lansia tipe ini
umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain
atau cenderung membuat susah dirinya.
Beberapa gejala psikologis yang menonjol ketika menopause adalah mudah
tersinggung, sukar tidur, tertekan, gugup, kesepian, tidak sabar, tegang (tension),
cemas dan depresi. Ada juga lansia yang kehilangan harga diri karena menurunnya
25
daya tarik fisik dan seksual serta mereka merasa tidak dibutuhkan oleh
keluarganya,. Beberapa keluhan psikologis yang terjadi pada proses menua:
1) Ingatan Menurun
Gelaja ini terlihat bahwa sebelum menopause wanita dapat mengingat dengan
mudah, namun sesudah mengalami menopause terjadi kemunduran dalam
mengingat, bahkan sering lupa pada hal-hal yang sederhana, padahal sebelumnya
secara otomatis langsung ingat.
2) Kecemasan
Kecemasan yang timbul sering dihubungkan dengan adanya kekhawatiran dalam
menghadapi situasi yang sebelumnya tidak pernah dikhawatirkan. Misalnya kalau
dulu biasa pergi ke luar kota sendirian, namun sekarang merasa cemas dan
khawatir, hal itu sering juga diperkuat oleh larangan dari ana-anaknya. Kecemasan
pada lansia umumnya bersifat relatif, artinya ada orang yang cemas dan dapat
tenang kembali, setelah mendapatkan semangat / dukungan dari orang di
sekitarnya; namun ada juga yang terus-menerus cemas, meskipun orang-orang
disekitarnya telah memberi dukungan.
3) Mudah Tersinggung
Gejala ini lebih mudah terlihat dibandingkan kecemasan. Lansia lebih mudah
tersinggung dan marah terhadap sesuatu yang sebelumnya dianggap tidak
menggangu. Perasaannya menjadi sangat sensitif terhadap sikap dan perilaku
orang-orang di sekitarnya, terutama jika sikap dan perilaku tersebut dipersepsikan
sebagai menyinggung proses penerimaan yang sedang terjadi dalam dirinya.
4) Stress
Tidak ada orang yang bisa lepas sama sekali dari rasa was-was dan cemas,
termasuk para lansia. Ketegangan perasaan atau stress selalu beredar dalam
lingkungan pekerjaan, pergaulan sosial, kehidupan rumah tangga dan bahkan
menyelusup ke dalam tidur.
5) Depresi
Simptom-simptom psikologis adanya depresi bila ditinjau dari beberapa aspek,
menurut Marie Blakburn dan Kate Davidson (1990:5) adalah sebagai berikut :
a) Suasana hati, ditandai dengan kesedihan, kecemasan, mudah marah
b) Berpikir, ditandai dengan mudah hilang konsentrasi, lambat dan kacau dalam
berpikir, menyalahkan diri sendiri, ragu-ragu
harga diri rendah.
26
c) Motivasi, ditandai dengan kurang minat bekerja dan menekuni hobi,
menghindari kegiatan kerja dan sosial, ingin melarikan diri, ketergantungan
tinggi pada orang lain.
d) Perilaku gelisah terlihat dari gerakan yang lamban, sering mondar-mandir,
menangis, mengeluh.
e) Simptom biologis, ditandai dengan hilang nafsu makan atau nafsu makan
bertambah, hilang hasrat sesksual, tidur terganggu, gelisah.
Perubahan lain adalah adanya perubahan psikososial yang menyebabkan rasa
tidak aman, takut, merasa penyakit selalu mengancam sering bingung panik
dan depresif. Hal ini disebabkan antara lain karena ketergantungan fisik dan
sosioekonomi. Pensiunan menyebabkan kehilangan financial, pendapatan
berkurang, kehilangan status, teman atau relasi, sadar akan datangnya
kematian dan perubahan dalam cara hidup.
3. Perubahan Spiritual
a. Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya (Maslow, 1970).
b. Lanjut usia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam berfikir
dan bertindak dalam sehari-hari (Murray dan Zentner, 1970)
c. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Fowler: Universalizing,
perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah berfikir dan bertindak dengan cara
memberikan contoh cara mencintai dan keadilan.
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan
keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf
atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan
artinya adalah kebutuhan untuk mencari arti tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan
dicintai serta untuk memberikan maaf (Watson, 2003).
Perkembangan spiritual yang matang akan membantu lansia untuk menghadapi
kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan, maupun merumuskan arti dan tujuan
keberadaannya di dunia/kehidupan. Rasa percaya diri dan cinta mampu membina
integritas personal dan merasa dirinya berharga, merasakan kehidupan yang terarah
terlihat melalui harapan, serta mampu mengembangkan hubungan antara manusia yang
positif (Graha Cendikia, 2009).Manusia adalah manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
sebagai pribadi yang utuh dan unik mempunyai aspek bio–psiko–sosio-kultural dan
spiritual. Kebutuhan spiritual pada lansia tersebut dipengaruhi oleh faktor usia yang sudah
mulai renta/uzur dan kondisi tidak aktif karena pensiun/tidak bekerja.
27
Upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan spiritual lansia adalah
dengan melibatkan keluarga sebagai orang terdekat akan mencurahkan segala
perhatiannya bagi kesejahteraan lansia khususnya kesejahteraan spiritual mereka (Alvianti,
2008).
Kebutuhan spiritual pada usia lanjut adalah memenuhi kenyamanan,
mempertahankan fungsi tubuh dan membantu menghadapi kematian dengan tenang dan
damai. Lingkup asuhannya Preventif upaya melakukannya dengan mengadakan
penyegaran dan pengajian, Caring upaya yang dilakukan mengadakan kegiatan spiritual
lansia untuk saling belajar menerima keadaan, dan Rehabilitasi memberikan dukungan,
spirit untuk bisa menerima untuk menghadapi kematian. Kebutuhan keperawatan gerontik
adalah memperoleh kesehatan optimal, memelihara kesehatan, menerima kondisinya dan
menghadapi ajal.
4. Perubahan kultural
a. Kolektifitas Etnis
Adalah kelompok dengan asal yang umum, perasaan identitas dan memiliki standart
perilaku yang sama. Individu yang bedasarkan dalam kelompok seperti itu mengikuti
budaya oleh norma-norma yang menentukan jalan ikiran dan perilaku mereka.
(Harwood, 1981)
b. Shok Budaya
Adalah salah satu sebab karena bekerja dengan individu yang latar belakang kulturnya
berbeda. Shock budaya sebagai perasaan yang tidak ada yang menolong
ketidaknyamanan dan kondisi disoirentasi yang dialami oleh orang luar yang berusaha
beradaptasi secara komprehensif atau secara efektif degan kelompok yang berbeda
akibat akibat paraktek nilai-nilai dan kepercayaan. ( Leininger, 1976)
c. Pola Komunikasi
Kendala yang paling nyata timbul bila kedua orang berbicara dengan bahasa ang
berbeda. Kebiasaan berbahasa dari klien adalah salah satu cara untuk melihat isi dari
budaya. Menurut Kluckhohn 1972, bahwa tiap bahasa adalah merupakan jalan khusus
untuk meneropong dan interprestasi pengalaman tiap bahasa membuat tatanan
seluruhnya dari asumsi yang tidak disadari tetang dunia dan penghidupan. Kendala
untuk komunkasi bisa saja terjadi walaupun individu berbicara dengan bahasa yang
sama.

28
Perawat kadang kesulitan untuk menjelaskan sesuatu dengan bahasa yang sederhana,
bebas dari bahasa yang jlimet yang klien bisa menagkap. Sangat penting untuk
menentukan ahwa pesan kita bisa diterima dan dimengerti maksudnya .
d. Jarak Pribadi dan Kontak
Jarak pribadi adalah ikatan yang tidak terlihat dan fleksibel. Pengertian tentang jarak
pribadi bagi perawat kesehatan masyarakat memungkinkan proses pengkajian dan
peningkatan interaksi perawat klien. Profesional kesehatan merasa bahwa mereka
mempunyai ijin keseluruh daerah badan klien. Kontak yang dekat sering diperlukan
perawat saat pemeriksaan fisik, perawat hendaknya berusaha untuk mengurangi
kecemasan dengan mengenal kebutuhan individu akan jarak dan berbuat yang sesuai
untuk melindungi hak privasi.
e. Pandangan Sosiokultural tentang Penyakit dan Sakit
Budaya mempengaruhi harapan dan persepsi orang mengenai gejala cra memberi etika
kepada penyakit, juga mempengaruhi bilamana, dan kepada siapa mereka harus
mengkomunikasikan masalah – masalah kesehatan dan berapa lama mereka berada
dalam pelayanan. Karena kesehatan dibentuk oleh faktor – faktor budaya, maka
terdapat variasi dari perilaku pelayanan kesehatan, status kesehatan, dan pola – pola
sakit dan pelayanan didalam dan diantara budaya yang berbeda – beda. Perilaku
pelayanan kesehatan merujuk kepada kegiatan-kegiatan sosial dan biologis individu
yang disertai penghormatan kepada mempertahankan akseptabilitas status kesehatan
atau perubahab kondisi yang tidak bisa diterima. Perilaku pelayanan kesehatan dan
status kesehatan saling keterkaitkan dan sistem kesehatan.(Elling,1977)

C.ASKEP GANGGUAN KARDIOVASKULER (HIPERTENSI) PADA LANSIA

A. Konsep Lansia
1. Definisi Lansia
Menurut World Health Organozation (WHO), lansia adalah seseorang yang
memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok pada umur manusia
29
yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupanya. Kelompok yang
dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut aging process atau
proses penuaan. Dalam Undang-undang No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan
lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun
keatas. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia, ada 3 aspek yang perlu
dipertimbangkan yaitu, aspek biologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial (BKKBN).
Lansia merupakan tahap akhir dari proses penuaan. Proses menjadi tua akan
dialami oleh setiap orang. Masa tua merupakan masa hidup menusia yang terakhir,
dimana pada masa ini seseorang akan mengalami kemunduran fisik, mental dan
sosial secara bertahap sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari (tahap
penurunan). Penuaan merupakan perubahan komulatif pada makhluk hidup,
termasuk tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas fungsional.
Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit,
tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainya. Dengan
kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan terkena berbagai
penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa
(Kholifah,2016)

2. Batasan Lansia
Batasan seseorang dikatakan lanjut usia masih diperdebatkan oleh para ahli karena
banyak faktor fisik, psikis dan lingkungan yang saling mempengaruhi sebagai
indikator dalam pengelompokan usia lanjut. Proses penuaan berdasarkan teori
psikologis ditekanankan pada perkembangan. World Health Organization (WHO)
mengelompokan usia lanjut sebagai berikut:
a. Middle Age (45-59 Tahun)
b. Erderly (60-74 Tahun)
c. Old (75-90 Tahun)
d. Very Old (≥ 90 Tahun)
3. Proses Menua Pada Lansia
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-
lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau ganti dengan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi
dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides,1994). Terdapat 2 jenis
penuaan, antara lain penuaan primer merupakan proses kemunduran tubuh gradual
30
tak terhindarkan yang dimulai pada masa awal kehidupan dan terus berlangsung
selama bertahun-tahun, terlepas dari apa yang orang-orang lakukan untuk
menundanya. Sedangkan penuaan sekunder merupakan hasil penyakit, kesalahan
dan penyalahgunaan faktor-faktor yang sebenarnya dapat dihindari dan berasa dalam
kontrol seseorang (Papalia, Olds & Feldman, 2008)

4. Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia


a. Perubahan Fisik
Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai ke semua sistem organ tubuh,
diantaranya : sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan,
kardiovaskular,sistem pengaturan tubuh,muskuloskeletal,
gastrointestinal,genitaurinaria,endokrin dan integumen.
1) Sistem Pernafasan pada lansia
a) Otot pernafasan kaku dan kehilangan kekuatan, sehingga volumen
udara inspirasi berkurang, sehingga pernafasan cepat dan dangkal
b) Penurunan aktivitas silia menyebabkan penurunan reaksi batuk
sehingga potensial terjadi penumpukan sekret
c) Penurunan aktivitas paru (mengembang dan mengempisnya) sehingga
jumlah udara pernaasan yang masuk ke paru mengalami penurunan,
kalau pada pernafasan yang tenang kira-kira 500ml
d) Alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang (luas permukaan
normal 500 m2 ), menyebabkan terganggunya proses difusi
e) Penurunan oksigen (O2) arteri menjadi 75mmHg mengganggu proses
oksigenasi dari hemoglobin sehingga O2 tidak terangkut semua ke
jaringan
f) CO2 pada arteri tidak brganti sehingga komposisi O2 dalam arteri juga
menurun yang lama-kelamaan menjadi racun pada tubuh sendiri.
g) Kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret dan corpus
alium dari saluran nafas berkurang sehingga potensial terjadinya
obstruksi.
2) Sistem persarafan pada lansia
a) Cepatnya menurunkan hubungan persarafan
b) lambat dalam merespon dan waktu untuk berfikir
c) Mengecilnya saraf panca indera
31
d) Berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya saraf
pencium dan perasa lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan
rendahnya terhadap dingin.
3) Perubahan pada panca indera yang terjadi pada lansia
a) Penglihatan
a. Kornea lebih berbentuk skleris
b. Sfringter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar
c. Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa)
d. Meningkatnya ambang pengamatan sinar : daya adaptasi terhadap
kegelapan lebih lambat. Susah melihat dalam cahaya gelap
e. Hilangnya daya akomodasi
f. Menurunnya daya membedakan warna biru atau warna hijau pada
skala
b) Pendengaran
a. Presbiakusis (gangguan pada pendengaran) : hilangnya kemampuan
(daya pendengaran pada telinga dalam, terumata terhadap bunyi
suara, antara lain nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit
mengerti kata-kata
b. Membran timpany menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis
c. Terjadinya pengumpulan serumen, dapat mengeras karena
meningkatnya kreatin
c) Pengecap
a. Menurunya kemampuan mengecap
d) Peraba
a. Kemunduran dalam merasakan sakit
b. Kemunduran dalam merasakan tekanan, panas dan dingin

4) Perubahan kardiovaskular pada lansia


a) Katup jantung menebal dan menjadi kaku
b) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% pertahun sesudah
berumur 20 tahun. Hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan
volume nya.
c) Kehilangan elastisitas pembuluh darah.

32
Kurangnya efektifitasnya pembuluh darah perifer untuk oksigenasi,
perubahan posisi dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bisa
menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg
(mengakibatkan pusing mendadak)
d) Tekanan darah meningkat akibat meningkatnya resistensi pembuluh
darah perifer (normal ± 170/95 mmHg)
5) Perubahan sistem genitourinaria
a) Ginjal, mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal
menurun sampai 50%, penyaringan di glomerolus menurun sampai
50%, fungsi tubulus berkurang akibat kurangnya kemampuan
mengkonsentrasi urine, berat jenis urine menurun proteinuria (biasanya
+1), nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat
b) Vesika urinaria, otot-otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai
200 ml atau menyebabkan frekuensi BAK meningkat, vesika urinaria
susah dikosongkan pada pria lanjut usia sehingga meningkatnya retensi
urine
c) Pembesaran prostat ± 75% dimulai oleh pria usia diatas 65 tahun.
d) Atrofi vulva
e) Vagina, selaput menjadi kering, elastisitas jaringan menurun juga
permukaan menjadi halus, sekresi menjadi berkurang.
f) Daya seksual, frekuensi seksual intercouse cenderung menurun tapi
kapasitas untuk melakukan dan menikmati berjalan terus.

6) Sistem endokrin pada lansia


a) Produksi hampir semua hormon menurun
b) Fungsi paratiroid dan sekresi nya tak berubah
c) Pituitary, pertumbuhan hormon ada tetapi lebih rendah dan hanya ada
dipembuluh darah dan berkurangnya produksi dari ACTH, TSH, FSH
dan LH
33
d) Menurunnya produksi aldosteron
e) Menurunya sekresi hormon bonads : progesteron, esterogen, testosteron
7) Perubahan sistem pencernaan pada lansia
a) Kehilangan gigi, penyebab utama adanya periodontal disease yang
biasa terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan
gigi yang buruk dan gizi yang buruk
b) Indera pengecap menurun, hilangnya sensitifitas dari saraf pengecap di
lidah terutama rasa manis, asin, asam, dan pahit
c) Esofagus melebar
d) Lambung, rasa lapar menurun, asam lambung menurun
e) Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi
f) Fungsi absorbsi melemah
g) Liver (hati), makin mengecil dan menurunya tempat penyimpanan,
berkurangnya aliran darah
8) Sistem muskuloskeletal pada lansia
a) Tulang kehilangan densikus nya rapuh
b) Resiko terjadi fraktur
c) Kiposis
d) Persendian besar dan menjadi kaku
e) Pada wanita lansia lebih besar resiko fraktur
f) Pinggang, lutut dan jari pergelangan tangan terbatas
g) Tinggi badan berkurang
9) Perubahan Sistem Kulit dan jaringan ikat
a) Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak
b) Kulit kering dan kurang elastis karena menurunya cairan dan hilangnya
jaringan adiposa
c) Kelenjar keringat mulai tak berkerja dengan baik, sehingga tidak begitu
tahan terhadap panas dengan temperature yang tinggi
d) Kulit pucat dan terdapat bintik hitam akibat menurunya aliran darah
dan menurunya sel-sel yang memproduksi pigmen
e) Kuku pada jari tangan dan kaki menjadi tebal dan rapuh
f) Pertumbuhan rambut berhenti, rambut menipis dan botak
g) Temperature tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang
menurun
34
b. Perubahan Mental/ Psikologis
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah :
1) Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa
2) Kesehatan Umum
3) Tingkat Pendidikan
4) Keturunan
5) Lingkungan
6) Gangguan saraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian
7) Gangguan Konsep diri akibat kehilangan jabatan
8) Rangkaian Dari kehilangan yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan
family
9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri
dan perubahan konsep diri
Perubahan kepribadian yang drastis keadaan ini jarang terjadi lebih sering
berupa ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekakuan mungkin oleh
kerena faktor lain, seperti penyakit-penyakit.
Kenangan (memori) ada 2 :
1) Kenangan jangka panjang, Berjam-jam sampai berhari-hari yang lalu,
mencakup beberapa perubahan
2) Kenangan jangka pendek atau seketika (0-10 menit), kenangan buruk

c. Perubahan Spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupanya (Maslow,
1970). Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaan nya, hal ini terlihat
dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari.

B. Hipertensi
1. Definisi Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan


sistolik diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi usia
lanjut, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan

35
diastolik 90 mmHg (Sheps, 2005). Tekanan darah tersebut persisten artinya, tekanan
darah bertahan terus-menerus secara konsisten pada level tinggi. Hipertensi
dikategorikan sebagai the silent disease karena penderita tidak mengetahui dirinya
mengidap hipertensi sebelum memeriksa tekanan darahnya. Hipertensi yang terjadi
dalam jangka waktu lama dan terus-menerus bisa memicu stroke, serangan jantung,
gagal jantung, dan merupakan penyebab utama gagal ginjal kronik (Agrina, dkk,
2011).

Tekanan darah diukur dengan sphygmomanometer yang telah dikalibrasi


dengan tepat (80% dari ukuran manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat
nyaman, posisi duduk punggung tegak atau telentang paling sedikit selama 5 menit
sampai 30 menit setelah merokok atau minum kopi (Anggraeni, dkk, 2009). Menurut
WHO (word Healt Organization), batas normal adalah 120-140 mmHg sistolik dan
80-90 mmHg diastolik. Jadi seseorang disebut mengidap hipertensi jika tekanan
darah ≥ 160 mmHg dan tekan darah diastolik ≥ 95 mmHg, dan tekanan darah
perbatasan bila tekanan darah sistolik antara 140 mmHg – 160 mmHg dan tekanan
darah diastolik antara 90 mmHg – 95 mmHg (Poerwati, 2008). Sedangkan menurut
lembaga-lembaga kesehatan nasional (The National Institutes Of Health)
mendefinisikan hipertensi sebagai tekanan sistolik yang sama atau diatas 140 dan
tekanan diastolik yang sama atau diatas 90 (Diehl, 2004).

2. Klasifikasi Hipertensi
a. Hipertensi primer
Hipertensi primer juga disebut hipertensi “esensial” atau “idiopatik” dan
merupakan 95% dari kasus-kasus hipertensi. Selama 75 tahun terakhit telah
banayak penelitian untuk mencari etiologinya. Tekanan darah merupakan hasil
curah jantung dan resistensi fascular, sehingga tekanan darah meningkat jika
curah jantung meningkat, resistensi fascular meningkat perifer bertambah, atau
keduanya. Beberapa faktor yang dikemukakan relevan terhadap mekanisne
penyebab hipertensi yaitu, genetik, lingkungan, jenis kelamin, atrium (Gray, dkk,
2005).
b. Hipertensi renal (sekunder)

36
Sekitar 5% kasus hipertensi telah diketahui penyebabnya, dan dapat
dikelompokan seperti, penyakit parengkim ginjal (3%) dimana setiap penyebab
gagal ginjal (glomerulonefritis, pielonefritis, sebab-sebab penyumbatan) yang
menyebabkan kerusakan parengkim akan cenderung menimbulkan hipertensi dan
hipertensi itu sendiri akan mengakibatkan kerusakan ginjal. Penyakit
renovaskular (1%) dimana terdiri atas penyakit yang menyebabkan gangguan
pasokan darah ginjal dan secara umum dibagi atas aterosklerosis dan
fibrodisplasia. Endokrin (1%) jika terdapat hipokalemia bersama hipertensi,
tingginya kadar aldosteron dan renin yang rendah akan mengakibatkan kelebihan
(overload) natrium dan air (Gray, dkk. 2005).
No Kriteria hipertensi

Sistolik Diastolik Keterangan

1. < 130 < 85 Normal

2. 131 – 159 86 – 99 Hipertensi ringan

3. 160 – 179 100 – 109 Hipertensi sedang

4. 180 – 209 110 – 119 Hipertensi berat

5. > 210 > 120 Hipertensi sangat berat

Sumber : AHA, Family Guide to Stroke

3. Etiologi hipertensi

Hipertensi primer adalah hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui dengan


pasti. Sekitar 95% kasus tekanan darah tinggi digolongkan hipertensi primer.
Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus. Hipertensi ini
disebabkan berbagai faktor yang berkaitan. Faktor resiko yang menyebabkan
seseorang lebih mudah terkena hipertensi dibagi menjadi faktor yang tidak dapat
diubah dan faktor yang dapat diubah. Faktor-faktor yang tidak dapat diubah antara
lain riwayat keluarga, usia, ras, dan jenis kelamin. Sedangkan faktor-faktor yang
diubah antara lain obesitas, kurang gerak(olahraga), merokok, sensitifitas natrium,

37
kalium rendah, minum-minuam beralkohol secara berlebihan, dan stress (Anggraini,
dkk, 2009).

Sementara, hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat


diketahui. Hipertensi sekunder lebih jarang terjadi, hanya sekitar 5% dari seluruh
kasus tekanan darah tinggi. Hipertensi darah sekunder dapat disebabkan oleh
penyakit ginjal, reaksi obat-obatan tertentu misalnya pil KB, hipertiroid,
hiperaldosteronisme, dan lain sebagainya (Rusdi, 2009).

4. Manifestasi klinis hipertensi

Secara umum, tekanan darah tinggi ringan tidak terasa dan tidak mempunyai
tanda-tanda. Boleh jadi berlangsung selama beberapa tahun tanpa disadari oleh
orang tersebut. Sering hal itu ketahuan tiba-tiba, misalnya pada waktu mengadakan
pada pemeriksaan kesehatan, atau pada saat mengadakan pemeriksaan untuk
asuransi jiwa. Kadang-kadang tanda-tanda tekanan darah tinggi yang di gambarkan
itu adalah sakit kepala, pusing, gugup, dan palpitasi (Knight, 2006). Hipertensi
jarang menimbulkan gejala yang kas dan satu-satunya cara untuk mengetahuinya
adalah dengan mengukur tekanan darah. British Hypertension Sosiety
merekomendasikan untuk mengukur tekanan darah setidaknya sekali dalam 5 tahun
lebih sering jika memungkinkan (Palmer, 2007).

Tanda dan gejala yang kas tidak akan timbul sampai pada taraf hipertensi yang
sudah lanjut dan membahayakan nyawa penderita, tetapi banyak orang dengan
tekanan darah yang sangat tinggi sekalipun tidak menunjukan tanda atau gejala.
Tanda dan gejala yang sering dihubungkan dengan hipertensi seperti keringat
berlebihan, kejang otot, sering berkemih, denyut jantung yang cepat atau tak
beraturan (palpitasi), dan umumnya disebabkan oleh masalah lain yang kemudian
dapat menjadi hipertensi (Sheps, 2005).

38
5. Patofisiologi hipertensi
Hal yang mempengaruhi pengaturan tekanan darah adalah curah jantung,
tahanan valkular perifer, dan refleks baroreseptor. Curang jantung ditentukan oleh
volume sekuncup dan frekuensi jantung. Tahanan perifer ditentukan oleh diameter
arteriol. Bila diameternya mengecil (vasokontraksi), maka tahanan perifer meningkat
dan bila diameternya membesar (vasodilatasi), maka tahanan perifer akan menurun.
Selain itu, peningkatan tekanan darah juga dipengaruhi oleh faktor ginjal. Jika
tekanan dan volume darah menurun, maka ginjal akan melepaskan renin dan
eritropoetin. Renin akan mengakibatkan terbentuknya angiostensin I, yang akan
berubah menjadi angiotensin II. Angiostensin II akan meningkat curah jantung dan
tahanan perifer. Sedangkan eritropoetin yang dilepaskan akan meningkat
pembentukkan sel darah merah. Manifestasi dari ginjal ini secara keseluruhan akan
menyebabkan peningkatan volume darah dan tekanan darah (Muttakin, 2009).

6. Komplikasi hipertensi

Beberapa penyakit yang bisa ditimbulkan akibat menderita hipertensi antara


lain stroke, serangan jantung dan gagal jantung, penyakit ginjal dan mata. Stroke
lazim disebut dengan “serangan otak” yang terjadi karena terputusnya aliran darah
yang mengalir ke otak (Rusdi, 2009). Hipertensi mengakibatkan munculnya
perdarahan di otak yang disebabkan pecahnya pembuluh darah. Hal ini di sebut
dengan stroke hemoragik. Dan ada juga yang diakibatkan oleh thrombosis
(pembekuan darah pada pembuluh darah) serta emboli (benda asing yang terbawa
aliran darah di dalam pembuluh darah) yang bisa menyumbat bagian distal
pembuluh darah. Sumbatan ini dapat menyebabkan sel-sel otak tidak tersuplai
oksigen. Hal ini di sebut dengan stroke iskemik (Ridwan, 2002).

Serangan jantung merupakan kematian otot jantung yang diakibatkan oleh


penyumbatan pada arteri koroner dalam jangka waktu lama. Penyumbatan ini dapat
diakibatkan oleh gumpalan darah atau thrombus (Ridwan, 2009). Gagal jantung
adalah lemahnya gerak jantung memompa darah sehingga keperluan tubuh yang
terus-menerus akan oksigen dan zat nutrisi tidak terpenuhi. Penyebab utama gagal

39
jantung adalah ada nya penyempitan atau penyumbatan pada arteri koroner oleh plak
di dinding arteri yang disebut aterosklerosis (Rusdi, 2009).

Hipertensi dapat menyebabkan penumpukan lemak di dalam dan di bawah


lapisan dinding arteri. Untuk mengatasi kekurangan darah pada organ-organ dan
jaringan tubuh karena menyempitnya pembuluh maka tubuh menaikkan tekanan
darah. Hal ini dapat memperparah kerusakan pembuluh darah (Sheps, 2005).
Hipertensi merupakan penyebab utama gagal ginjal. Jika tekanan darah terlalu
tinggi, maka aliran darah ke nefron akan menurun sehingga ginjal tidak dapat
membuang produk sisa dari dalam darah. Lama-kelamaan produk sisa akan
menumpuk dalam darah, ginjal akan mengecil dan berhenti berfungsi (Sheps, 2005).

Hipertensi juga mempercepat penuaan pembuluh darah halus dalam mata serta
menyebabkan pembuluh darah halus dalam retina robek, berdarah dan cairan
merembes kejaringan sekitarnya. Pada keadaan berat, saraf yang membawa sinyal-
sinyal dari mata ke otak (saraf optik) akan mulai membengkak dan bisa
menyebabkan kebutaan (Sheps, 2005).

7. Penatalaksanaan hipertensi
Tujuan program penanganan bagi setiap pasien hipertensi adalah mencegah
terjadinya morbiditas dan mortalitas dengan mencapai dan mempertahankan tekanan
darah di bawah 140/90 mmHg. Pengobatan hipertensi dapat dibagi menjadi dua
bagian pada pengobatan nonfarmakologis (modifikasi gaya hidup) dan pengobatan
farmakologis (Chobanian, et al, 2004). Pengobatan nonfarmakologis (modifikasi
gaya hidup) meliputi penurunan berat badan pada pasien dengan overweight atau
obesitas, perencanaan diet berdasarkan DASA (Dietary Approaches to Stop
Hypertension) yaitu buah-buahan, sayuran, dan produk susu rendah kolestrol dan
lemak jenuh dan total, mengonsumsi makanan yang tinggi kalium dan kalsium,
rendah natrium, olahraga, membatasi asupan alkohol dan berhenti rokok. Perubahan
gaya hidup selain menurunkan tekanan darah juga meningkatkan efektivitas obat
antihipertensi dan menurunkan risiko kardiovaskular (Chobanian, et al, 2004).
Penurunan kelebihan berat badan yang dapat dilakukan dengan menerapkan
gaya hidup sehat dengan olahraga dan pola makan seimbang. Penurunan berat badan
sebesar 45 kg dapat menurunkan tekanan darah. Cara menentukan berat badan sehat

40
adalah dengan mengukur Indeks Massa Tubuh (IMT) dan mengukur lingkar
pinggang. Menentukan IMT yaitu membagi angka berat badan (dalam kg) dengan
kuadrat tinggi badan (dalam meter). IMT 18,5 – 22,9 dinyatakan sehat, 23-24,9
menyakatan kondisi berat badan lebih dan 25 atau lebih menyatakan obesitas. Cara
mengukur lingkar pinggang yaitu dengan melingkari perut tepat di atas titik tertinggi
pada kedua tulang pinggul. Pengukuran sebesar lebih dari 102 cm pada pria dan 88
cm pada wanita menunjukan peningkatan resiko terhadap kesehatan (Sheps, 2005).
Meningkatkan konsumsi buah-buahan juga dapat menurunkan tekanan darah.
Dianjurkan makan lima porsi atau lebih buah dan sayuran sehari. Tekanan darah,
kolestrol, dan risiko penyakit kardiovaskular dapat diturunkan dengan mengganti
lemak jenuh dengan lemak tak jenuh tunggal (misalnya minyak zaitun) dan lemak
tak jenuh ganda (misalnya lemak omega-3 dalam minyak ikan) (Palmer, 2007). Para
ahli gizi menyarankan konsumsi ikan sedikitnya dua kali seminggu, tetapi hindari
makan ikan besar karena ikan besar dapat mengandung metilmerkuri yang
berbahaya bagi tubuh. Dalam mengurangi asupan garam, Britihs Hypertension
Society menganjurkan asupan garam dibatasi sampai kurang dari 2,4 g sehari atau
setara dengan 6 g garam atau sekitar 1 sendok teh perhari. Cara yang dapat
dilakukan untuk mengurangi asupan garam seperti jaringan menambah garam meja
pada makanan, jangan menambah garam saat memasak, gunakan bumbu lain untuk
menambah rasa makanan, perhatikan berapa banyak garam yang terkandung dalam
saus dan makanan yang di proses, dan hindari makanan yang berkadar natrium
tinggi (Palmer, 2007).
Ketentuan mengkonsumsi natrium bagi penderita hipertensi antara lain bagi
yang menjalani diet ringan diperbolehkan mengonsumsi garam tidak lebih dari 3,75-
7,5 g perhari, bagi yang menjalani diet menengah diperbolehkan mengonsumsi
garam tidak lebih dari 1,25-3,75 g perhari, sedangkan bagi yang menjalani diet berat
diperbolehkan mengonsumsi garam tidak lebih dari 1,25 g perhari (Rusdi, 2009).
Pengobatan nonfarmakologis berikutnya dapat dilakukan dengan berolahraga atau
mengaktivitaskan fisik. Olahraga mampu menyusutkan hormon noradrenalin dan
hormon-hormon lainnya yang menjadi penyebab menciutnya pembuluh darah
sehingga mengakibatkan naiknya tekanan darah (Rusdi, 2009). Olahraga sebaiknya
dilakukan teratur ndan bersifat aerobik karena kedua sifat ini dapat menurunkan
tekanan darah serta sebaiknya dilakukan 30 menit sehari dan usahakan setiap hari.
Latihan aerobik misalnya bersepeda, berenang, berlari dan berjalan cepat. Aktivitas
41
fisik yang teratur dapat menurunkan tekanan darah sebanyak 5-10 mmHg (Sheps,
2005).
Hal ini yang penting dalam mengobati hipertensi adalah menghindari rokok
dan batasi konsumsi alkohol dan kapein. Mengkonsumsi rokok, alkohol dan kapein
secara berlebihan akan merangsang otak mengeluarkan hormon yang membuat
pembuluh darah menyempit sehingga memaksa jantung untuk bekerja lebih berat
karena tekanan darah yang lebih tinggi serta menyebabkan penumpukkan lebih
banyak natrium dan air. Hal ini menyebabkan kenaikkan tekanan darah. Merokok
dua batang saja maka baik tekanan sistolik maupun diastolik akan meningkat 10
mmHg. Minum alkohol dapat mempengaruhi efektifitas beberapa obat hipertensi
dan memperparah efek sampingnya. Mengurangi alkohol dapat menurunkan tekanan
sistolok 5 mmHg dan diastolik 3 mmHg. Kapein dalam 2-3 cangkir kopi juga dapat
meningkatkan tekanan sistolok 3-14 mmHg dan diastolik 4-13 mmHg pada orang
yang tidak mempunyai hipertensi (Sheps, 2005).
Oleh karena itu, menghindari konsumsi rokok, alkohol, dan kapein akan lebih
baik untuk menurunkan tekanan darah. Bila tidak mampu, berhentilah secara
bertahap. Hal lain yang perlu di lakukan untuk menurunkan tekanan darah adalah
megendalikan stress. Orang yang stress, pemnuluh darahnya akan mengkerut dan
menyempit sehingga mengakibatkan naiknya tekanan darah (Ridwan, 2009).

8. Pengobatan Hipertensi
Setelah diagnosa hipertensi ditegakkan dan di klasifikasikan menurut golongan atau
drajatnya, maka dapat dilakukan dua strategi penatalaksanaan dasar yaitu :
a. Non Farmakologik
Yaitu tindakan untuk mengurangi faktor resiko yang telah diketahui akan
menyebabkan atau menimbulkan komplikasi, misalnya menghilangkan obesitas,
menghentikan kebiasaan merokok, alkohol, dan mengurangi asupan garam serta
rileks.
b. Farmakologik
Yaitu memberikan obat anti hipertensi yang telah terbukti kegunaannya dan
keamanannya bagi penderita. Obat-obatan yang digunakan pada hipertensi
adalah:
1) Diuretik, contohnya furosemide, triamferena, spironolactone
2) Beta blockers, contohnya metaprolol, atenolol, timolol
42
3) ACE-inhibitor, contohnya lisinopril, captopril, quinapril
4) Alpha-blockers, contohnya prazosin, terazosin
5) Antagonis kalsium, contohnya diltiazem, amlodipine, nifedipine
6) Vasedilator-direct, contohnya minixidil, mitralazine
7) Angiotensin reseptor antagonis, contohnya, clodine, metildopa, guanabens.

9. Pengobatan Tradisional hipertensi


a. Buah Belimbing
Dwipayanti (2011) melakukan penelitian terhadap efektifitas buah
berlimbing pada masyarakat yang menderita hipertensi dikelurahan Lebak
Banten, dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa dari sebanyak 30
responden telah didapatkan hasil rata-rata dari MAP sebelum diberikan terapi
belimbing sebesar 126,45 mmHg, sedangkan hasil rata-rata MAP setelah
diberikan terapi buah belimbing sebesar 112,78 mmHg. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa adanya penurunan nilai rata-rata MAP antara pre test dan
post test sebesar 13,67 mmHg disebabkan karena responden telah diberikan
terapi buah belimbing. Pada dasarnya buah belimbing mengandung kadar
kalium yang tinggi serta natrium yang rendah sebagai obat anti hipertensi.
Kandungan kalium (potassium) dalam satu buah belimbing (127 gram) adalah
sebesar 207 mg. Hal ini menunjukan bahwa kalium dalam buah belimbing
mempunyai jumlah yang paling banyak dari jumlah mineral yang ada dalam
kandungan satu buah belimbing (afrianti, 2010).
Terjadinya penurunan tekanan darah responden disebabkan oleh karena
kandungan buah belimbing yang kaya akan kalium dan rendah natrium. Dimana
dalam hal ini awal mula terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
Angiostensin I yang di ubah menjadi Angiostensin II oleh ACE (Angiostensin I
– Converting Enzyme) yang memiliki peran dalam menaikkan tekanan darah
melalui 2 aksi utama, yaitu menurunnya cairan intraseluler dan meningkatkan
cairan ekstraseluler dalam tubuh. Namun dengan pemberian terapi buah
belimbing yang tinggi kalium dan rendah natrium kepada responden yang
menderita hipertensi, maka 2 aksi utama tersebut telah mengalami perubahan
arah dari semula. Dimana dengan tingginya kalium akan mampu menurunkan
produksi atau sekresi hormone antidiuretik (ADH) dan rasa haus. Hormon ini
bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolaliitas dan volume urine. Dengan
43
menurunya ADH, maka urine yang diekskresikan keluar tubuh akan meningkat,
sehingga menjadi encer dengan osmolalitas yang rendah. Untuk
memekatkannya, volume cairan intraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian ekstraseluler. Sedangkan menurunnya konsentrasi
NaCl akan dipekatkan dengan cara menurunkan cairan ekstraseluler yang
kemudian akan menurunkan tekanan darah (Astawan Made, 2010).
b. Buah Timun
Dalam penelitian Sonia (2012), dengan mengkonsumsi mentimun dapat
menurunkan tekanan darah. Buah mentimun mengandung flavanoid yang
sangat terbukti dalam menghalangi reaksi oksidasi kolestrol jahat (LDL) yang
menyebabkan darah mengental, sehingga mencegah pengendapan lemak pada
dinding pembuluh darah serta kandungan saponin yang dapat meningkatkan
absorpsi senyawa-senyawa di uretikum (natrium, klorida dan air) ditubulus
distalis ginjal, juga merangsang ginjal untuk lebih aktif hal ini yang mampu
menurunkan tekanan darah. Sifat diuretik pada mentimun yang terdiri dari 90%
air mampu mengeluarkan kandungan garam dari dalam tubuh. Mineral yang
kaya dalam buah mentimun mampu mengikat garam dan dikeluarkan melalui
urine.
c. Daun Salam
Daun salam mengandung senyawa tanin, saponin dan vitamin C. Tanin bereaksi
dengan protein mukosa dan sel epitel usus sehingga menghambat penyerapan
lemak. Sedangkan saporin berfungsi mengikat kolestrol dengan asam empedu
sehingga menurunkan kadar kolestrol. Kandungan vitamin C didalamnya
membantu reaksi hidroksilasi dalam pembentukan asam empedu, akibat reaksi
itu meningkatkan eksresi kolestrol. Mengkonsumsi 15 lembar daun salam
dengan cara direbus dalam 2 gelas sampai tersisa 1 gelas. Angkat, lalu saring.
Minum 2 kali sehari masing-masing ½ gelas dinilai dapat menurunkan tekanan
darah (Setiawan, 2009).
d. Daun Seledri
Dalam penelitian Muzakar dan Nuryanto (2012), dengan mengkonsumsi daun
seledri mampu menurunkan tekanan darah. Pada 100 gram seledri terkandung
344 mg kalium. Didalam tubuh kalium berfungsi sebagai diuretik yaitu
merangsang pengeluaran cairan dalam tubuh yang diikat oleh garam. Selain itu,
kandungan apiin dalam seledri, berperan sebagai diuretic (memperlancar air
44
kencing) yaitu membantu kerja ginjal dalam mengeluarkan cairan dan garam
dari dalam tubuh, berkurangnya cairan dalam darah akan menurunkan tekanan
darah.

10. Pencegahan hipertensi


Pencegahan lebih daripada pengobatan, demikian juga terhadap hipertensi. Pada
umumnya, orang berusaha mengenali hipertensi jika dirinya atau keluarganya sakit
keras atau meninggal dunia akibat hipertensi. tidak semua penderita hipertensi
memerlukan obat. Apabila hipertensi tergolong ringan maka masih dapat dikontrol
melalui sikap hidup sehari-hari. Pengontrolan sikap hidup ini merupakan langkah
pencegahan amat baik agar penderita hipertensi tidak kambuh gejala penyakitnya.
Usaha pencegahan juga bermanfaat bagi penderita hipertensi agar penyakitnya tidak
menjadi parah, tentunya harus disertai obat-obatan yang ditentukan oleh dokter.
Agar terhindar dari komplikasi fatal hipertensi, harus di ambil tindakan pencegahan
yang baik (Stop High Blood Pressure), antara lain dengan cara menghindari faktor
resiko hipertensi.

45
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK DENGAN HIPERTENSI
PADA NY. N DI KELURAHAN LEBAK BANTEN RT/RW: 004/008
KABUPATEN LEBAK

Kasus
Ny. N berusia 72 tahun tinggal dirumah anaknya bersama dengan menantu dan cucunya,
suami Ny. N sudah lama meninggal. Ny. N merasa senang tinggal bersama dengan keluarga
anaknya karena disitu Ny. N mendapatkan perhatian dari pada ia tinggal sendiri. Ny. N sering
mengeluh nyeri bagian kepala, klien mengatakan sakitnya berdenyut-denyut serta kaku pada
leher bagian belakang, sakitnya datang sewaktu-waktu. Klien mengetahui tentang
penyakitnya (hipertensi) tetapi pasien jarang memeriksakan tekanan darahnya secara rutin ke
puskesmas, dan pasien juga tidak pernah mengkonsumsi obat hipertensi secara rutin. Pasien
mengatakan lebih sering mengkonsumsi ikan asin untuk makan sehari-hari dibandingkan
dengan lauk yang lainya. Ny. N merasa mampu melakukan aktivitasnya sendiri tanpa bantuan
anak dan menantunya, klien suka mengeluh kadang-kadang kesemutan dibagian tangan atau
di kaki.

I. Identitas Diri Klien


Nama : Ny. N
Usia : 72 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kelurahan Lebak Banten
Status Perkawinan : Janda
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaaan : Tidak Berkerja
II. Kondisi Kehidupan Klien Saat ini
Ny. N berusia 72 tahun tinggal dirumah anaknya bersama dengan menantu dan cucunya,
suami Ny. N sudah lama meninggal. Ny. N merasa senang tinggal bersama dengan
keluarga anaknya karena disitu Ny. N mendapatkan perhatian dari pada ia tinggal sendiri.
Ny. N menjalani tiap harinya hanya diam dirumah saja karena tidak berkerja, kadang-
kadang main kerumah tetangga tetapi lebih sering berada dirumah bermain bersama
cucu-cucunya.

46
III. Genogram

Keterangan :

: Perempuan

: Laki-laki

: Klien

: Meninggal Dunia

: Tinggal satu rumah

: Garis Perkawinan

: Garis Keturunan

IV. Riwayat Penyakit Keluarga


Ny.N Mengatakan ia mengetahui bahwa keluarganya memang memiliki penyakit
hipertensi, tetapi keluarganya jarang untuk memeriksakan tekanan darahnya dan tidak
pernah mengkonsumsi obat hipertensi secara rutin.

47
V. Riwayat Penyakit
1. Keluhan Utama Saat Ini
Ny. N mengatatakan saat ini masih merasa nyeri bagian kepala, klien mengatakan
sakitnya berdenyut-denyut serta kaku pada leher bagian belakang, sakitnya datang
sewaktu-waktu. Ny. N tahu bahwa dirinya mempunyai hipertensi sejak lama namun
Ny. N mengatakan tidak pernah mengkonsumsi obat hipertensi. Ny. N merasa tidak
cocok dengan obat tersebut karena jantungnya merasa berdebar-debar stelah minum
obat tersebut.
2. Apa yang dipikirkan saat ini
Ny. N mengatakan kadang-kadang banyak hal yang dipikirkan terutama kondisi
kesehatanya saat ini.
3. Siapa yang dipikirkan saat ini
Ny. N merasa sedih memikirkan anaknya yang baru saja meninggal.
4. Riwayat penyakit dahulu
Ny. N mengatakan tidak ada riwayat penyakit yang berat hanya demam biasa yang
sembuh dengan meminum obat warung.
VI. Pengkajian
1. Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Ny. N mengetahui bahwa kesehatan itu penting untuk dikontrol, tetapi Ny. N
mengatakan jarang mengontrol atau mengecek tekanan darahnya hanya bila ia
kebetulan saja sedang berobat ke puskesmas. Karena Ny. N merasa hanya pusing
biasa dan bisa sembuh sendiri. Ny. N juga tidak pantang terhedap makanan meskipun
Ny. N tahu bahwa makanan tersebut bisa memicu tekanan darahnya meningkat.
2. Pola nutrisi
Ny. N mengatakan nafsu makanya baik, makan 3x sehari 1 porsi makan habis,
minum 5-6x sehari.
3. Pola eliminasi
Ny. N mengatakan BAB lancar 1x sehari, BAK 4-5x sehari dan mengatakan tidak
ada masalah dengan BAB dan BAK nya.

48
4. P
o
Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4
l
Makan atau minum 
a
Mandi 
a
Toileting 
k
tBerpakaian 
iMobilitas di tempat tidur 
v
Berpindah atau berjalan 
i
tAmbulasi atau ROM 
a
s dan latihan

Keterangan :

0 : Mandiri

1 : Alat bantu

2 : Dibantu orang lain

3 : Dibantu orang lain dan alat

4 : Tergantung total

5. Pola tidur dan istirahat


Ny. N mengatakan kalau tidur malam mulai jam 21.00 WIB bangun pagi jam 05.00
WIB, kadang-kadang terbangun tengah malam bila ingin BAK saja dan biasa tidur
kembali. Ny. N mengatakan jarang tidur siang hanya bila merasa kurang sehat saja.
6. Pola pereptual
Ny. N mengatakan sering memikirkan tentang penyakitnya namun ia tetap tidak mau
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada, tidak mau berobat dan pasrah saja dengan
kesehatannya.

49
7. Pola persepsi diri
a. Gambaran diri
Ny. N tidak bisa menyebutkan gambaran diri yang diinginkan
b. Ideal diri
Ny. N mengatakan selalu merasa sehat agar bisa melihat cucu-cucu nya sukses.

c. Harga diri
Ny. N mengatakan dirinya masih mampu melakukan aktivitas sehingga merasa
tidak enak bila merepotkan orang lain, Ny. N akan melakukan apa saja yang
masih bisa dilakukan sendiri tanpa menyusahkan orang lain.
d. Identitas diri
Ny. N mengatakan bahwa dirinya adalah seorang ibu dari 7 anak yang sudah
menikah sehingga saat ini yang dilakukan adalah hanya mengasuh cucu-cucu nya
e. Peran diri
Ny. N merupakan seorang ibu dan saat ini telah menjadi seorang nenek sehingga
keseharian Ny. N mengasuh dan bermain bersama cucu
8. Pola peran dan hubungan
Ny. N mengatakan bahwa dirinya berhubungan baik dengan anak-anaknya, dengan
menantu-menantunya dan cucu-cucunya, sanak saudara serta tetangga sekitarnya. Ny.
N mengatakan sering berkumpul dan mengobrol dengan tetangga sekitarnya.
9. Pola manajemen koping stress
Ny. N mengatakan bila sedang merasa stress dengan banyak hal yang iampikirkan
maka yang dilakukan Ny. N hanya ingin tidur dan diam saja sampai pikiran itu
perlahan hilang sendiri.
10. Sistem nilai dan keyakinan
Ny. N selalu percaya bahwa Tuhan memberikan setiap persoalan pasti ada kunci
jawabannya, hanya perlu bersabar dan pasrah saja sambil terus menjalani hidup apa
adanya, selalu bersyukur atas berkat yang Tuhan berikan.

VI. Pemeriksaan fisik

1. Pemeriksaan fisik
a. Tinggkat kesadaran : composmentis

50
b. TD : 190/100 mmHg, Nadi : 90x/ menit, Respirasi : 20x/ menit
c. Temperatur : 36,70 C, BB : 75 kg dan TB : 156 cm
d. Kepala : rambut pendek dan hampir semua sudah beruban, tidak ada benjolan,
luka ataupun lesi.
e. Leher : normal, tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kelenjar, tidak ada nyeri
tekan ataupun nyeri telan.
f. Thoraks : tampak simetris, tidak ada distensi atau pengembangan dada yang
abnormal, tidak ada dispneu, tidak ada nyeri dada.
g. Abdomen : tampak simetris, tidak ada pembesaran hepar, tidak ada nyeri tekan
atau benjolan.
h. Ekstremitas bagian atas dan bawah tampak normal atau simetris, tidak ada
deformitas, pergerakan normal, tidak ada nyeri sendi.
2. Pemeriksaan panca indra
a. Penglihatan (mata)
1) Bola mata : tampak simentris, pupil isokor, pergerakan normal
2) Konjungtipa unanemis
3) Skrela : normal
4) Refleks pupil : ada
5) Gangguan penglihatan : tidak ada masalah
b. Pendengaran (telinga)
1) Bentuk telinga : simetris
2) Nyeri : tidak ada
3) Liang telinga : kurang bersih
4) Gangguan pendengaran : tidak ada masalah
c. Pengecap (mulut) : tidak ada masalah
d. Sensasi (kulit) : ada
e. Penciuman (hidung) : tidak ada masalah

51
VII. Analisa data

Data Problem Etiologi

DS :

 Ny. N mengeluh pusing dan


sakit kepala (nyeri)
 Merasa tidak enak badan dan
kurang sehat
 Ny. N jarang minum obat
hipertensinya karena merasa
Nyeri kronik Peningkatan tekanan
tidak cocok dengan obat tersebut
vaskuler selebral
DO :

 Ny. N tampak lemah dan lesu


 Kesadaran composmentis
 TD : 190/100 mmHg, RR : 20x/
menit, N : 90x/ menit, S : 36,70C
 Nyeri skala 5

DS :

 Ny. N mengatakan tidak mau


dibantu orang lain dalam
beraktivitas
 Ny. N mengatakan bahwa masih Resiko jatuh Umur >65 tahun

kuat berjalan sendiri dengan


berpegangan pada dinding

DO :

 Usia Ny. N 72 tahun


 Tremor
 Berjalan sempoyongan dan
berpegangan pada dinding

DS :

52
 Ny. N mengatakan mempunyai
riwayat tekanan darah tinggi
(Hipertensi)
 Ny. N mengatakan jarang
mengontrol tekanan darahnya
dan jarang minum obat
hipertensi
 Ny. N juga mengatakan tidak Kurang pengetahuan Kurangnya informasi
pernah pantang dengan makanan kesehatan mengenai
termasuk dengan makanan yang proses penyakit
dapat memicu tekanan darahnya
naik

DO :

 Ny. N tampak bingung saat


dikaji
 Ny. N tampak banyak bertanya
tentang masalah kesehatannya
 Pemeriksaat fisik didapatkan TD
: 190/100 mmHg, RR : 20x/
menit, N : 90x/ menit, S : 36,70C

VIII. Diagnosa Sesuai Prioritas

1. Nyeri kronis berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral


2. Resiko jatuh berhubungan dengan umur >65 tahun
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi kesehatan
mengenai proses penyakit

53
IX. INTERVENSI KEPERAWATAN

DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN


KEPERAWATAN
TUJUAN INTERVENSI

Nyeri kronis Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji TTV


berhubungan dengan keperawatan selama 8jam, 2. Kaji Karakteristik nyeri :
peningkatan tekanan diharapkan klien dapat Intensitas,frekuensi,lokasi,durasi
vaskuler serebral menunjukan tingkat nyeri dan kualitas.
berkurang dengan kriteria 3. Observasi respon
hasil: ketidaknyamanan secara verbal
dan non verbal.
1. Laporkan penyebab
4. Anjurkan pasien teknik relaksasi
nyeri
atau mengurangi nyeri
2. Laporkan frekuensi
5. Anjurkan klien istirahat yang
nyeri
cukup dan hindari pikiran yang
3. Laporakan lamanya
berlebihan untuk mengurangi
nyeri
nyeri.
4. Tunjukan ekspresi
nyeri
Resiko jatuh Setelah dilakukan diagnosa 1. Gali pengetahuan klien
berhubungan dengan keperawatan selama 2x24 mengenai upya pencegahan agar
usia ≥ 65 tahun jam diharapkan klien dapat tidak jatuh
mengenal resiko jatuh 2. Kaji faktor pendukung
dengan kriteria hasil : terjadinya jatuh ulangan: kondisi
rumah, kondisi penderita
1. Mampu
3. Diskusikan dan ajarkan cara-
menjelaskan cara
cara pencegahan jatuh pada
pencegahan agar
klien
tidak jatuh
4. Gali pengetahuan keluarga
2. Dapat
terhadap lingkungan yang aman

54
mendemonstrasikan 5. Diskusikan dan jelaskan
cara pencegahan lingkungan yang aman bagi usia
3. Keluarga lanjut.
menyatakan akan 6. Diskusikan mengenai keadaan
memodifikasi rumah yang sekarang dan
lingkungan agar keterkaitanya dengan kesehatan
lebih aman klien.
7. Beri pujian atas usaha yang
dilakukan

Kurang pengetahuan Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji tingkat pengetahuan klien


berhubungan dengan keperawatan (penyuluhan) dan keluarga
kurangnya informasi diharapkan klien 2. Jelaskan tentang tanda dan
kesehatan mengenai menunjukan pengetahuan gejala yang muncul pada
penyakitnya. tentang proses penyakit penyakit dengan cara yang tepat
dengan kriteria hasil : 3. Berikan penyuluhan kesehatan
yang sesuai dengan kondisi
1. Klien dan keluarga
penyakit yang klien rasakan
menyatakan
pemahaman
tentang penyakit,
kondisi, prognosis
dan program
pengobatan
2. Klien dan keluarga
mampu
melaksanakan
prosedure yang
dijelaskan secara
benar
3. Klien dan keluarga
mampu
menjelaskan
kembali apa yang

55
sudah dijelaskan
oleh perawat

X. IMPLEMENTASI & EVALUASI


Implementasi Hari 1
DIAGNOSA WAKTU IMPLEMENTASI EVALUASI
Nyeri kronis Selasa, 16 1. Mengkaji TTV TD Selasa, 16 april 2019
berhubungan april 2019 190/100 mmHg, Nadi :
dengan S: klien mengatakan pusing
peningkatan 90x/ menit, Respirasi :
dan sakit kepala berkurang.
tekanan 20x/ menit
vaskuler
2. Mengkaji Karakteristik O: Kesadaran kompos
serebral
nyeri : mentis TD: 190/100 mmHg.
Intensitas,frekuensi,lokas A: Masalah Teratasi
i,durasi dan kualitas. sebagian
Skala nyeri : 5, lokasi
P: Intervensi dilanjutkan :
nyeri dileher bagian
belakang, nyeri timbul  Kaji karakteristik nyeri
pada saat aktivitas berat,  Monitoring perubahan
nyeri terasa seperti nyeri aktual maupun
ditusuk-tusuk potensial
3. Mengobservasi respon  Anjurkan klien istirahat
ketidaknyamanan secara yang cukup dan hindari
verbal dan non verbal. pikiran yang berlebihan
Dengan melihat ekspresi untuk mengurangi nyeri.
wajah pasien meringis
atau tidak.
4. Menganjurkan pasien
teknik relaksasi atau
mengurangi nyeri,
dengan cara jika nyeri
kambuh anjurkan pasien
untuk istirahat atau tidur.

56
5. Menganjurkan klien
istirahat yang cukup dan
hindari pikiran yang
berlebihan untuk
mengurangi nyeri.

Resiko jatuh Selasa, 16 1. Menggali pengetahuan Selasa, 16 april 2019


berhubungan april 2019 klien mengenai upaya
dengan usia ≥ S: Klien mengatakan
65 tahun pencegahan agar tidak
meskipun masih
jatuh, dengan
sempoyongan tetapi masih
memberikan penyuluhan
kuat berjalan sendiri.
2. Mengkaji faktor
pendukung terjadinya O: Klien mampu

jatuh ulangan: kondisi mengulangi hal yang telah


rumah, kondisi penderita. dijelaskan
Dengan melihat keadaan A: Masalah teratasi sebagian
lingkungan rumah
P: Intervensi dilanjutkan :
pasien.
3. Mendiskusikan dan  Kontrak untuk
ajarkan cara-cara kunjungan
pencegahan jatuh pada selanjutnya
klien dengan  Jelaskan pencegahan
memberikan penyuluhan jatuh dan
kepada keluarga mendemonstrasikan.
4. Menggali pengetahuan
keluarga terhadap
lingkungan yang aman,
dengan sesi tanya jawab.
5. Mendiskusikan dan
jelaskan lingkungan yang
aman bagi usia lanjut
pada sesi penyuluhan
hipertensi
6. Mendiskusikan

57
mengenai keadaan rumah
yang sekarang dan
keterkaitanya dengan
kesehatan klien dengan
melihat kondisi rumh
secara langsung.
7. Memberi pujian atas
usaha yang dilakukan

Kurang Selasa, 16 1. Mengkaji tingkat Selasa, 16 april 2019


pengetahuan april 2019 pengetahuan klien dan
berhubungan S: klien menfatakan tidak
dengan keluarga melalui
tahu bagaimana menontrol
kurangnya penyuluhan hipertensi
informasi hipertensi karena klien
dan tanya jawab
kesehatan jarang mengecek tekananan
mengenai 2. Menjelaskan tentang
darahnya.
penyakitnya. tanda dan gejala yang
muncul pada penyakit O: klien tampak tenang,
dengan cara yang tepat kesadaran kompor mentis,
melalui penyuluhan klien banyak bertanya

hipertensi tentang pencegahan

3. Memberikan penyuluhan hipertensi, dan cara

kesehatan yang sesuai pengobatan tradisional

dengan kondisi penyakit hipertensi.


yang klien rasakan A: Masalah kurang
pengetahuan berhubungan
kurangnya informasi
keseahatan mengenai
penyakit belum teratasi.

P: Intervensi dilanjutkan :

 Anjurkan klien
makan buah yang
disukai, dapat dibuat
jus atau diparut

58
kemudian dimunum
airnya
 Anjurkan klien untuk
rutin mengontrol
kesehatanya
terutama tekanan
darahnya di fasilitas
keseahatan terdekat
 Anjurkan klien
minum obat seraca
teratur dan rutin.

Implementasi 2
DIAGNOSA WAKTU IMPLEMENTASI EVALUASI
Nyeri kronis Rabu, 17 1. Mengkaji TTV TD 170/90 Rabu, 17 april 2019
berhubungan april 2019 mmHg, Nadi : 98x/ menit,
dengan S: klien mengatakan
peningkatan Respirasi : 20x/ menit
kepalanya pusing
tekanan 2. Mengkaji Karakteristik nyeri :
vaskuler hanya ketika banyak
Intensitas,frekuensi,lokasi,durasi
serebral aktivitas.
dan kualitas. Skala nyeri : 5,
lokasi nyeri bagian O: Kesadaran kompos
dileher
belakang, nyeri timbul pada saat mentis , Klien tampak
aktivitas berat, nyeri terasa tenang, TD: 170/90

seperti ditusuk-tusuk mmHg.

3. Menganjurkan pasien
teknik A: Masalah Teratasi
relaksasi atau mengurangi nyeri, sebagian
dengan cara jika nyeri kambuh
P:Intervensi
anjurkan pasien untuk istirahat
dilanjutkan :
atau tidur.
4. Menganjurkan klien istirahat  Kontrak Untuk
yang cukup dan hindari pikiran pertemuan
yang berlebihan untuk selaanjutnya.

59
mengurangi nyeri.  Monitoring
perubahan nyeri
aktual maupun
potensial
 Ajarkan klien untuk
teknik relaksasi
 Anjurkan klien
untuk istirahat yang
cukup dan hindari
pikiran yang
berlebihan untuk
mengurangi nyeri.

Resiko jatuh Rabu, 17 1. Menggali pengetahuan klien Rabu, 17 april 2019


berhubungan april 2019 mengenai upaya pencegahan
dengan usia ≥ S: Klien mengatakan
65 tahun agar tidak jatuh, dengan
kalau berjalan, “saya
memberikan penyuluhan
masih bisa
2. Mengkaji faktor pendukung
berpegangan dengan
terjadinya jatuh ulangan:
benda-benda.”. klien
kondisi rumah, kondisi
mengatakan belum
penderita. Dengan melihat
pernah jatuh.
keadaan lingkungan rumah
pasien. O: Klien menjelaskan

3. Mendiskusikan ajarkan dan


dan mampu

cara-cara pencegahan jatuh mendemonstrasikan


pada klien pada saat pencegahan jatuh.
penyuluhan hipertensi A: Masalah teratasi
4. Menggali pengetahuan keluarga sebagian
terhadap lingkungan yang aman
P: Intervensi
dengan sesi tanya jawab.
dilanjutkan :
5. Mendiskusikan dan jelaskan
lingkungan yang aman bagi usia  Kontrak untuk
lanjut pada penyuluhan kunjungan
keluarga tentang hipertensi. selanjutnya

60
6. Mendiskusikan mengenai  Jelaskan
keadaan rumah yang sekarang Lingkungan
dan keterkaitanya dengan yang aman bagi
kesehatan klien. klien.
7. Memberi pujian atas usaha yang
dilakukan

Kurang Rabu, 17 1. Mengkaji tingkat pengetahuan Rabu, 17 april 2019


pengetahuan april 2019 klien dan keluarga dengan
berhubungan S: klien mengatakan
dengan memberikan penyuluhan dan
sudah tahu bagaimana
kurangnya sesi tanya jawab
informasi cara mengontrol
2. Menjelaskan tentang tanda dan
kesehatan hipertensi dan sudah
mengenai gejala yang muncul pada
mau mengecek tekanan
penyakitnya. penyakit dengan cara yang tepat
darahnya ke fasilitas
pada sesi penyuluhan kesehatan
kesehatan terdekat.
pada keluarga
3. Memberikan penyuluhan O: klien tampak

kesehatan yang sesuai dengan tenang, kesadaran

kondisi penyakit yang klien kompor mentis, Hasil


rasakan TTV: TD: 170/90

4. Menganjurkan klien minum mmHg, Nadi :

obat seraca teratur dan rutin. 98x/menit, RR:


20x/Menit, Suhu:
36,50C

A: Masalah
pengetahuan
berhubungan
kurangnya informasi
keseahatan mengenai
penyakit sudah teratasi.

P: Intervensi
dihentikan.

61
Implementasi 3
DIAGNOSA WAKTU IMPLEMENTASI EVALUASI
Nyeri kronis Kamis, 18 1. Mengkaji TTV TD 150/90 Kamis, 18 april 2019
berhubungan april 2019 mmHg, Nadi : 91x/ menit,
dengan S: klien mengatakan
peningkatan Respirasi : 22x/ menit
tidak merasa pusing
tekanan 2. Mengkaji Karakteristik nyeri :
vaskuler dan sakit kepala lagi.
Intensitas,frekuensi,lokasi,dura
serebral
si dan kualitas. Skala nyeri : 3, O: Kesadaran kompos
lokasi nyeri dileher bagian mentis , Klien tampak
belakang, nyeri timbul pada tenang, TD: 150/90

saat aktivitas berat, nyeri terasa mmHg.


seperti ditusuk-tusuk A: Masalah Teratasi.
3. Menganjurkan pasien teknik
P:Intervensi dihentikan
relaksasi atau mengurangi
:
nyeri, dengan cara jika nyeri
kambuh anjurkan pasien untuk  Anjurkan klien
istirahat atau tidur. untuk mengrontrol
4. Menganjurkan klien istirahat tekanan darah
yang cukup dan hindari pikiran secara teratur di
yang berlebihan untuk fasilitas kesehatan
mengurangi nyeri. terdekat dan
menghindari stress.

Resiko jatuh Kamis, 18 1. Menggali pengetahuan klien Kamis, 18 april 2019


berhubungan april 2019 mengenai upya pencegahan
dengan usia ≥ S: Klien mengatakan
65 tahun agar tidak jatuh melalui
selalu berhati-hati saat
penyuluhan kesehatan keluarga
berjalan terutama saat
2. Mendiskusikan menganai
ke kamar mandi karena
keadaan rumah yang sekarang
lantainya agak licin.
dan keterkaitanya dengan
kesehatan klien O: Klien meemahami

3. Mendiskuksikan lingkungan pentingnya lingkungan


yang aman bagi usia lanjut rumah yang aman bagi
klien serta akan

62
dengan penyuluhan penyakit melaksanakan anjuran-
hipertensi. anjuran perawat.
4. Menanyakan kepada keluarga
A: Masalah teratasi.
klien kesanggupanya untuk
menciptakan lingkungan yang P: Intervensi

aman. dihentikan, monitor

5. Mengevaluasi keadaan rumah oleh keluarga.


klien dengan melihat keadaan
rumah secara langsung.

63
D.ASKEP GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN (PNEUMONIA)PADA
LANSIA

A. Penyakit Pada Sistem Pernafasan


Fungsi paru-paru mngalami kemunduran dengan datangnya usia tua disebabkan
elastisitas jaringan paru-paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia yang
lebih lanjut kekuatan kontraksi otot pernafasan dapat berkurang sehingga sulit
bernafas. Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang. Berkirangnya
fungsi paru-paru menentukan konsusmsi oksigen seseorang. Berkurang nya fungsi
paru-paru juga disebabkan oleh berurang nya fungsi sistem respirasi seperti fungsi
ventilasi paru-paru. Faktor-faktor yang memperburuk fungsi paru adalah:
1. Faktor merokok
Merokok akan memperburuk fungsi paru, yaitu terjadinya penyempitan
saluran nafas.
2. Obesitas
Kelebihan berat badan dapat memperburuk fungsi paru seseorang pada
obesitas biasanya terjadi penimbunan lemak pada leher. Dada dan dinding
perut,akan dapat ,menggangu compliance dinding dada,berakibat penurunan
volume paru atau terjadi keterbatasan gerakan pernafasaan ( retriksi) dan timbul
gangguan fungsi paru tipe restriktif.
3. Immobilits
Immobilitas akan mengakibatkan kekakuan dan keterbatasaan gerak saat otot
berkontraksi, sehingga kapasitas vital paksa atau volume paru akan relatif
berkurang. Immobilitas karena kelelahan otot-otot pernapasan pada usia lanjut
dapat memperburuk fungsi paru ( ventilasi pneumothoraks, tumor paru, dsb.
4. Operasi
Tidak semua operasi mempengaruhi fungsi paru. Pembedahan yang
mempengaruhi fungsi paru adalah: pembedahan thoraks ( jantung dan paru),
pembedahan abdomen bagian atas, anestesi atau jenis obat anastesi jenis tertentu.
Perubahan fungsi paru yang timbul meliputi: perubahan proses ventilasi, distribusi
gas, difusi gas serta perfusi darah kapiler darah. Adanya perubahan
pathofisiologik paru pasca bedah dapat menimbulkan komplikasi paru: atelektasi,
infeksi atau sepsis.

64
B. Penyakit sistem pernapasaan yang lazim pada lansia
1. Pneumonia
Insiden :
Pada usia lanjut risko terjadinya infeksi saluran nafas bagian bawah khususnya
pneumonia cukup tinggi.
Kejadian pneumonia pada usia lanjut tergantung pada 3 hal:
a. Kondisi fisik penderita ( daya tahan tubuh rendah).
b. Lngkungan dimana mereka berada ( komunitas atau lingkungan rumah sakit).
c. Kuman penyebab atau virulensinya.
Secara epidemiologik, pneumonia pada usia lanjut dibedakan menjadi
pneumonia komunitas dan pneumonia nosokonial. Insiden pneumonia komunitas
pada usia lanjut sekitar 6,8-11,4% ( mangkunegoro,1992). Dirumah sakit insiden
pneumonia pada usia lanjut 3 kali lebih besar dibandingkan pneumonia pada usia
muda.
Pneumonia pada usia lanjut mempunyai angka kematian yang tinggi, kira-kira
40%. Penyebabnya adalah:
a. karena pneumonianya sendiri
b. pada penderita sering disertai berbagai kondisi atau penyakit penyerta
c. pada kenyatanya pneumonia pada usia lanjut lebih sulit diobati. ( harasawa,
1989).

C. Definisi Pneumonia
Pneumonia ialah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam
etiologi seperti bakteri virus, jamur, dan benda asing yang mengensi jaringan paru
(aveoli) (DEPKES,2006).
Pneumonia adalah suatu penyakit infeksi atau peradangan pada organ paru-
paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, ataupun parasite dimana alveoli yang
bertanggung jawab menyerap oksigen dari atmosfer menjadi “ inflame” dan terisi
cairan. ( fanani , 2009).
Pneumonia adalah proses pada peradangan pada paru-paru yang biasanya
dihubungkan dengan meningkatnya cairan pada alveoli. istilah pneumonia lebih baik
digunakan dari pada pneumonitis karena istilah pneumonitis sering digunakan untuk
menyatakan peradangan paru-paru non spesifik yang etiologinya tidak diketahui. (
santa manurung,2009).

65
D. Klasifikasi Pneumonia
1. Pneumonia lobaris
Penyakit pneumonia dimana seluruh lobus (biasanya 1 lobus) terkena infeksi
secara difusi. Penyebabnya adalah streptococcus pneumonia. Lesinya yaitu
bakteri yang hasilkan menyebar merata keseluruh lobus.
2. Bronchopneumonia
Pada Bronchopneumonia terdapat kelompok-kelompok infeksi pada seluruh
jaringan pulmo dengan “multiple focl infection” yang berdistribusi berdasrkan
tempat dimana gerombolan bakteri dan debrisnya tersangkut di bronchus.
Penyebab utamanya adalah obstruksi bronchus oleh mucus dan aspirasi isi
lambung lalu bakteri terperangkap disana kemudian memperbanyak diri dan
terjadi infeksi pada pulmo. Bronchopneumonia terbagi menjadi 2 yaitu :
a. Pneumona aspirasi
Mekanisme infeksi terjadi saat partikel partikel udara membawa
bakteri masuk ke paru paru. Banyak terjadi pada pasien-pasien post operasi
dan pasien-pasien dengan kondisi yang lemah
b. Pneumonia intertitialis
Reaksi inflamasi melibatkan dinding avoli dengan ekssudat yang
relative sedikit dan sel sel leukosit poli-morfo-neukleat yang jumlah yang
relative sedikit. Pneumonia intertitialis biasanya di kaitkan dengan adanya
infeksi saluran pernafassan atas. Penyebabnya adalah virus (Influenza tipe A
dan Tipe B, Respiratori sytial Virus Rhino Virus) dan micro plasma
pneumonia.

E. Etiologi
Penyebab paling sering adalah kombinasi beberapa kuman. Pada usia lanjut
pneumonia komunitas lebih sering disebabkan oleh bakteri gram positif, sebagian
besar adalah streptococcus pneumonia. Sedangankan pneumonia nosokomial sering
sebagai komplikasi pada pemasangan alat-alat ( misalnya endotracheal tube).
Penyebab pneumonia nosokomial pada usia lanjut paling sering adalah bakteri gram
negatife. Pneumonia aspirasi juga sering terjadi pada usia lanjut (10-30%), terjadi
pada penderita yang mengalami bed rest atau penurunan kesadaraan.
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), etiologi pneumonia adalah :
66
1. Bakteri
Bakteri adalah penyebab paling sering pneumonia di masyarakat dan
nosokomial. Berikut ini adalah yang menjadi etiologi pneumonia di masyarakat
dan nosokomial :
a. Lokasi sumber masyarakat
Bakteri nya adalah streptococcus pneumoniae, Myneclopasma
pneumoniae ,legionella pneumoniae , chlamydida pneumonia anaerob oral
(aspirasi), dan influenza tipe A dan B.
b. Lokasi sumber nosokomial
Bakteri nya adalah basil usus gram negatif ( escherischia coli,
klebsiella pneumonia), pseudomonas aeroginosa, staphylococcus aureus, dan
anaerob oral atau aspiarasi.
2. Virus
Setengah dari kejadian pneumonia di perkirakan disebabkan oleh virus. Virus
yang tersering menyebabkan pneumonia adalah espiratori esyncialvirus (RSV).
Meskipun kebanyak virus-virus ini menyerang salura pernafasan bagaian atas,
pada balita gangguan ini bisa memicu pneumonia.
Berikut ini adalah virus yang dapat menyebabkan pneumonia :
a. Influenza virus
b. Adenovirus
c. Virus respiratori
d. Syncytial respiratori virus
e. Pneumonia virus
f. Bedrest
g. Merokok
h. Alkohol

F. Manifestasi klinis
Pada usia lanjut, apabila menderita infeksi akut, onset penyakit berlangsung
pelan-pelan, tidak mendadak seperti pada usia muda. Keluhan utama adalah demam
ringan, batuk dengan produksi sputum (60%). Pada 30% kasus keluhan permulanya
hanya berupa kelemahan dan anoreksi, tanpa demam yang nyata.

67
Menurut corwin (2001), gejala- gejala pneumonia serupa semua jenis
pneumonia, tetapi terutama mencolok pneumonia yang disebabkan oleh bakteri.
Gejala-gejala yang mencakup:
1. Demam dan menggil akibat proses peradangan
2. Batuk
3. Sputum berwarna merah
4. Rasa lelah akibat reaksi peradangan edema
5. Nyeri dada

G. Tanda dan Gejala


1. Batuk berdahak
2. Sesak nafas
3. Demam
4. Muda merasa lelah
5. Penurunan kesadaran

H. Faktor Resiko
1. Usia di atas 65 tahun
2. Bedrest
3. Riwayat merokok
4. Imunitas
5. Alcohol

I. Pemeriksaan Penunjang
1. Kultur sputum
2. Labotorium jumlah sel darah putih
3. Rontgen dada
4. CT-SCAN

J. Komplikasi
1. Jangka Pendek :
a. Efusi pleura
b. Infeksi aliran darah
c. Infeksi pada salah satu bagian jantung

68
2. Jangka Panjang :
a. Gagal jantung
b. Emboli paru
c. Syndrome kegawatan nafas dewasa
d. Pneumonia aspirasi lambung
e. Keganasan paru jenis obat
f. Pneumonia radiasi
g. Reaksi hipersensitivitas terhadap suatu

K. Pengobatan
1. Antibiotik
2. Obat anti virus : osetalmivir (Tamiflu) atau zanamivir
3. Obat penghilang rasa sakit : Ibuprofen dan Acetaminophen.
4. Vaksinasi
5. Minum air yang cukup dan beristirahat

L. Prognosis
Prognosis umumnya baik, sama dengan penderita usia muda , apabila sebelum
sakit dalam keadaan sehat. Faktor penentu prognosis penderita pneumonia tergantung
pada hal-hal yang ada di luar paru, terutama tingginya derajat dehidrasi dan gangguan
fungsi ginjal.

69
ASUHAN KEPERAWATAN
KASUS
Seorang pasien bernama Ny. S datang ke Rumah Sakit bersama anak nya pada
tanggal 14 September 2019, pukul 14.25 . Menurut aanak nya, Ny S sudah 1 minggu ini
batuk dan berdahak, Ny S juga mengatakan saat batuk dada nya tersa sesak, dan Ny. S
juga mengeluh tenggorakan nya sakit. Anak Ny. S juga mengatakan, bahwa sudah 1
minggu Ibu nya terlihat lemas.

A. PENGKAJIAN
Tanggal Masuk : 14 September 2019
Jam : 14.40 WIB
No. RM : 14478102
Tgl Pengkajian : 17 September 2019
Jam : 09.00 WIB
Diagnosa Medis: Dyspnea dengan Pneumonia

1. Identitas Pasien dan Penanggung Jawab


Identitas Pasien Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ny. S Nama : Ny. A
Umur : 51 Tahun Umur : 28 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam Agama : Islam
Alamat : Kebun Duren, Blok Alamat : Kebun Duren, Blok
06/09 06/09
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Karyawan Swasta
Status : Ibu Status : Anak

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Pasien mengatakan dada nya terasa sesak dan pasien mengatakan batuk nya berdahak
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengatakan datang ke IGD dengan sesak nafas 2 hari yang lalu, panas sejak 2
minggu yang lalu, batuk disertai dahak ± 2 bulan dan nyeri tenggorokan
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pasien mengatakan pernah dirawata di Rumah Sakit dengan keluhan yang sama

70
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien mengatakan bahwa keluarga nya tidak ada yang mengalami sakit yang sama
dengan pasien, dan juga tidak memiliki hipertensi maupun DM

3. Pola Aktivitas
a. Sebelum Sakit
Pasien mengatakan dapat beraktivitas sehari-hari dan memenuhi ADL secara mandiri
b. Saat Sakit
Selama sakit pasien mengatakan sesak nafas bila digunakan untuk beraktivitas

4. Daily Living
a. Makan/minum √
b. Mandi / toileting √
c. Berpakaian √
d. Mobilisasi √

5. Pola Persepsi dan Konsep Diri


a. Pengetahuan tentang penyakit saat ini
Pasien mengatakan hanya mengetahui sedikit perawatan/tindakan yang dilakukan
b. Gambaran Diri
Pasien mengatakn saat ini sedang sakit dan mempunyai keinginan untuk sembuh
c. Ideal Diri
Pasien mengatakan bisa menerima penyakitnya walaupun terkadang merasa cemas
d. Identitas Pasien
Pasien mengatakan sebagai ibu rumah tangga dengan 3 orang anak yang masih dalam
usia sekolah. Persepsi diri baik walaupun terkadang merasa cemas berlebih.
e. Harga Diri
Pasien merasa minder dan sedikit menarik diri dari masyarakat karena penyakit yang
dideritanya.

6. Pola Nutrisi
a. Sebelum Sakit
Pasien mengatakan makan 3x sehari, habis 1 porsi dengan menu nasi, lauk dan sayur.
Minum ± 1000 ml/hari.
b. Saat Sakit
Pasien mengatakan nafsu makan berkurang dari sebelumnya. Minum ± 600 ml/jam.

71
7. Pola Eliminasi
a. Sebelum Sakit
Pasien mengatakan BAB 1x/hari di pagi hari dengan konsistensi berwarna coklat dan
bau khas feses. Tidak ada masalah dalam BAB. BAK 4-5 x/hari warna kuning jernih,
bau khas urine.
b. Saat Sakit
Selama sakit Pasien mengatakan selama di Rumah Sakit susah BAB, sudah 2 hari
pasien tidak merasa ingin BAB. BAK ± 5-6 x/hari dengan konsistensi cair warna
kuning jernih dan bau khas urine.

8. Pola Istirahat Tidur


a. Sebelum Sakit
Pasien mengatakan sebelum sakit tidur malam ± 7-8 jam/hari. Pasien mengatakan
tidak pernah tidur siang.
b. Saat Sakit
Pasien mengatakan selama sakit tidur malam ± 5-6 jam /hari. Pasien tidur siang 4
jam/hari

9. Pola Nilai dan Kepercayaan Spiritual


a. Sebelum Sakit
pasien mengatakan bahwa sakit itu datangnya dari Allah dan kita hanya bisa berusaha
untuk sembuh.Sebelum sakit pasien selalu menjalankan shalat 5 waktu di rumah
bersama suami dan anak-anaknya.
b. Saat Sakit
Selama sakit pasien tetap shalat 5waktu di tempat tidur.

10. Pengkajian Fisik


a. Keadaan Umum: KU Sedang, pasien tampak lemas
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. TTV : - TD : 150/90 mmHg
- N : 88x/menit
- R : 26x/menit
- S : 36,7ºC
d. Dada
a. Inspeksi

72
Pernapasan cepat, frekuensi pernapasan 26, pengembangan dada sejajar, simetris,
penggunaan otot bantu pernapasan: Dyspnea
b. Palpasi
Taktil fremitus (getaran) raba kanan dan kiri sama
c. Perkusi
Sonor dari clavikula (batas atas) – ICS 5 (batas bawah) (Paru-paru dextra) Sonor
dari clavikula (batas atas) – ICS 3 (batas bawah) (Paru-paru sinistra)
d. Auskultasi
Terdengar ronki/ cracles (seperti suara gesekan rambut)

ANALISA DATA
NO Symtom Etiologi Problem

1. Ds : Kerusakan Parenkim Paru Nyeri dada (akut)

- Pasien mengatakan dada nya


terasa sakit
- Pasien mengatakan nyeri
sendi

Do :
- Pasien tampak gelisah
- Pasien tampak meringis
kesakitan akibat nyeri
P: nyeri jika melakukan
aktivitas yang berlebihan
Q: nyeri seperti tertusuk
R: nyeri terdapat di daerah
dada pasien
S: skala nyeri 6
T: nyeri dirasakan sewaktu-
waktu dan mendadak

2. Ds : Peningkatan produksi Gangguan bersihan jalan


sputum napas tidak efektif
- Pasien mengatakan batuk nya
berdahak.

73
- Pasien mengatakan dada nya
terasa sesak.

Do :

- Pasien tampak lemas


- Tanda – tanda vital
TD : 150/90 mmHg

N : 88x/menit

R : 24x/menit

S : 36,7ºC

3. Ds : Pertukaran gas sekunder Gangguan intoleransi


aktivitas
- Pasien mengatakan dada nya
terasa sesak.
- Pasien mengatakan batuk nya
berdahak.

Do :

- Pasien tampak lemas


- Tanda – tanda vital
TD : 150/90 mmHg

N : 88x/menit

R : 26x/menit

S : 36,7ºC

Ds :

- Pasien mengatakan suka sesak


napas pada saat beraktivitas
- Keluarga pasien mengatakan

74
aktivitas pasien menjadi
minimal

Do :

- Pasien tampak lemah


- Pasien tampak sulit
beraktivitas
- Keluarga Pasien mengatakan
terkadang aktivitas pasien
dibantu

Prioritas Masalah
1. Nyeri dada (akut) b.d kerusakan parenkim paru
2. Gangguan bersihan jalan napas tidak efektif b.d peningkatan produksi sputum
3. Gangguan intoleransi aktivitas b.d pertukaran gas sekunder

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri dada (akut) b.d kerusakan parenkim paru
2. Gangguan bersihan jalan napas tidak efektif b.d peningkatan produksi sputum
3. Gangguan intoleransi aktivitas b.d pertukaran gas sekunder

RENCANA KEPERAWATAN
Hari/Tanggal Jam No Tujuan Intervensi Paraf
Dx

Selasa, 09.00 1 Setelah dilakukan tindakan - Kaji TTV Kelompok


keperawatan 2x24 jam - Tentukan karakteristik
17-09-2019
diharapkan pasien nyeri. Misalnya lokasi
membaik dengan kriteria: nyeri, dan perubahan
karakter
- Kesulitan bernapas
- Berikan tindakan
tidak ada
nyaman. Misalnya,
- Gelisah tidak ada
pijatan punggung,
- Penurunan kesadaran
latihan napas atau
tidak ada
relaksasi
- Pucat dan sianotis tidak
- Perubahan posisi

75
ada - Kolaborasi pemberian
- Skala nyeri berkurang analgesic

Selasa, 09.00 2 Setelah dilakukan tindakan - Kaji frekuensi / Kelompok


keperawatan 2x24 jam kedalaman pernapasan
17-09-2019
diharapkan pasien dan gerakan dada
membaik dengan kriteria: - Kaji TTV pasien
- Bantu pasien latihan
- Jalan nafas bersih
napas sering
- Tidak ada dispnea
- Berikan cairan
- Tidak sianosis
sedikitnya 2500
- TTV kembali normal
ml/hari (kecuali kontra
-
indikasi)
- Tawarkan air hangat
daripada dingin.
- Kolaborasi pemberian
obat sesuai indikasi

Selasa, 09.00 3 Setelah dilakukan tindakan - Evaluasi respons Kelompok


keperawatan 2x24 jam pasien terhadap
17-09-2019
diharapkan pasien aktivitas.
membaik dengan kriteria: - Berikan lingkungan
tenang dan batasi
- Pasien dapat
pengunjung selama
menunjukan
fase akut sesuai
peningkatan toleransi
indikasi
terhadap aktivitas
- Jelaskan pentingnya
- Tidak ada dispnea
istirahat dalam rencana
- Tidak ada kelemahan
pengobatan dan
berlebih
perlunya
keseimbangan
aktivitas dan istirahat.
- Bantu pasien memilih
posisi nyaman untuk
istirahat dan/atau tidur.
- Bantu aktivitas

76
perawatan diri yang
diperlukan.

IMPLEMENTASI
Hari/Tanggal Jam No Tindakan Respon Paraf
DX

Selasa, 14.00 1 Mengkaji TTV pasien Ds : Kelompok

17-09-2019 Pasien mengatakan akan


nyeri nya masih terasa

Do :

Pasien tampak merintih


kesakitan

TTV :

TD : 150/90 mmHg

N : 88x/menit

RR : 26x/menit

S : 36,7°C

Skala nyeri : 6

Ds :

Pasien mengatakan
17.00 1 Membantu pasien nyeri nya sedikit
melakukan latihan napas berkurang
dalam
Do :

Skala nyeri : 5

Ds :

77
Pasien mengatakan
sudah sedikit lebih
20.30 1 Memberikan posisi semi
nyaman
fowler
Do :

Pasien tampak segera


beristirahat

Selasa, 14.30 2 Memberikan air hangat Ds : Kelompok


kepada pasien
17-09-19 Pasien mengatakan
batuk nya masih
berdahak

Do :

Pasien tampak
meminum air hangat
nya

Batuk pasien masih


tampak berdahak

Ds :

Mengkaji frekuensi Pasien mengatakan


15.45 2
pernapasan dan gerakan sesak nya masih terasa

dada Do :

RR : 24x/menit

78
Ds :

Pasien mengatakan
nyeri nya sedikit
Memberikan cairan
berkurang
tambahan : intravena
19.30 2
Do :

Terpasang infus RL

Selasa, 15.00 3 Mengevaluasi respon Ds : Kelompok


pasien terhadap aktivitas
17-09-2019 Pasien mengatakan jika
melakukan aktivitas
yang berlebihan tampak
sesak

Do :

Pasien tampak berbaring


di tempat tidur

Ds :

Berikan lingkungan yang Pasien mengatakan akan


20.25 3
tenang dan nyaman segera beristirahat

Do :

Pasien tampak segera

79
beristirahat

Hari/Tanggal Jam No Tindakan Respon Paraf


Dx

Rabu, 09.00 1 Memberikan relaksasi Ds :


kepada pasien
18-09-2019 Pasien mengatakan
sesak berkurang

Do :

Pasien tampak
mengikuti tindakan
relaksasi

Ds :
Mengkaji TTV pasien
10.00 1 Pasien mengatakan
nyeri nya berkurang

Do :

TTV

TD : 120/80 mmHg

N : 80x/menit

RR : 22x/menit

80
S : 36,5°C

Skala nyeri 4

Ds :

13.30 1 Mengkaji karakteristik Pasien mengatakan


nyeri nyeri yang dialami
sudah tidak terasa

Do :

P: pasien sudah dapat


melalukan aktivitas

Q: kualitas nyeri
berkurang

R: nyeri di dada pasien


sudah tidak terasa

S : skala nyeri 2

T : tidak terasa nyeri

Rabu, 10.30 2 Memberikan air hangat Ds :

18-09-2019 Pasien mengatakan


tenggorokan nya terasa
ringan

Do :

Pasien tampak
meminum air hangat
yang diberikan

Ds :

11.00 2 Mengajarkan batuk efektif Pasien mengatakan


sudah tidak batuk

81
Do :

Batuk pasien tampak


tidak berdahak dan
suara ronchi sudah tidak
terdengar

Berikan posisi nyaman Ds :

13.30 2 Pasien mengatakan tidur


nya kembali nyaman

Do :

Pasien tampak terlihat


nyaman dan tidak
kesakitan

Rabu, 13.10 3 Berikan PenKes tentang Ds :


posisi saat terasa sesak
18-09-2019 Pasien mengatakan
mengerti apa yang
disampaikan perawat

Do :

Pasien tampak
memahami apa yang
disampaikan perawat

Mengevaluasi respon Ds :
13.45 3
pasien terhadap aktivitas
Pasien mengatakan
tidak merasakan sesak
napas saat beraktivitas

Do :

Pasien tampak terlihat


lebih sehat

82
CATATAN PERKEMBANGAN
Hari/Tanggal Jam No Catatan Perkembangan Paraf
DX

Selasa, 20.30 1 S : - Pasien mengatakan nyeri nya masih terasa Kelompok

17-09-19 - Pasien mengatakan nyeri nya sedikit


berkurang
- Pasien mengatakan sudah sedikit lebih
nyaman

O : - Pasien tampak merintih kesakitan

TTV :

TD : 150/90 mmHg

N : 88x/menit

RR : 26x/menit

S : 36,7°C

Skala nyeri : 6

- Skala nyeri : 5
- Pasien tampak segera beristirahat

A : Masalah teratasi sebagian

P : Intervensi dilanjutkan

- Kaji TTV
- Tentukan karakteristik nyeri. Misalnya
lokasi nyeri, dan perubahan karakter
- Berikan tindakan nyaman. Misalnya,
pijatan punggung, latihan napas atau
relaksasi
- Perubahan posisi
- Kolaborasi pemberian analgesic

83
S : - Pasien mengatakan batuk nya masih berdahak

- Pasien mengatakan sesak nya masih


terasa
- Pasien mengatakan nyeri nya sedikit
19.30 2
berkurang

O : - Pasien tampak meminum air hangat nya

- Batuk pasien masih tampak berdahak


- RR : 24x/menit
- Terpasang infus RL

A : Masalah belum teratasi

P : Intervensi di lanjutkan

- Kaji frekuensi / kedalaman pernapasan dan


gerakan dada
- Kaji TTV pasien
- Bantu pasien latihan napas sering
- Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari
(kecuali kontra indikasi)
- Tawarkan air hangat daripada dingin.
- Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi

S : - Pasien mengatakan jika melakukan aktivitas yang


berlebih tampak sesak

- Pasien mengatakan akan segera beristirahat

O : - Pasien tampak segera beristirahat

- Pasien tampak berbaring di tempat tidur

A : Masalah belum teratasi

84
P : Intervensi dilanjutkan

13.45 3 - Evaluasi respons pasien terhadap aktivitas.

- Berikan lingkungan tenang dan batasi


pengunjung selama fase akut sesuai
indikasi
- Jelaskan pentingnya istirahat dalam
rencana pengobatan dan perlunya
keseimbangan aktivitas dan istirahat.
- Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk
istirahat dan/atau tidur.
- Bantu aktivitas perawatan diri yang
diperlukan.

Rabu, 13.30 1 S : - Pasien mengatakan sesak berkurang Kelompok

18-09-2019 - Pasien mengatakan nyeri nya berkurang


- Pasien mengatakan nyeri yang dialami
sudah tidak terasa

O : - Pasien tampak mengikuti tindakan relaksasi

- TTV
TD : 120/80 mmHg
N : 80x/menit
RR : 22x/menit
S : 36,5°C
- Skala nyeri 4
- P: pasien sudah dapat melalukan aktivitas
Q: kualitas nyeri berkurang
R: nyeri di dada pasien sudah tidak terasa
S : skala nyeri 2

A : Masalah teratasi

85
P : Intervensi dihentikan

S : - Pasien mengatakan tenggorokan nya terasa

ringan

- Pasien mengatakan sudah tidak batuk

13.30 2 - Pasien mengatakan tidur nya kembali


nyaman

O : - Pasien tampak meminum air hangat yang

diberikan

- Batuk pasien tampak tidak berdahak dan


suara ronchi sudah tidak terdengar
- Pasien tampak terlihat nyaman dan tidak
kesakitan

A : Masalah teratasi

P : Intervensi dihentikan

S : - Pasien mengatakan mengerti apa yang


disampaikan perawat

- Pasien mengatakan tidak merasakan sesak


napas saat beraktivitas

O : - Pasien tampak memahami apa yang


13.45 3 disampaikan Perawat

-Pasien tampak terlihat lebih sehat

86
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan

87
E.ASKEP GANGGUAN PENCERNAAN (DIARE) PADA LANSIA

A.
Diare akut adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari pada biasnya lenih
dari 200 gr / 200 ml/24 jam. Defikasi lain memakai frekuensi, yaitu buang air besar
encer lebih dari 3 kali perhari. Buang air tersebut dapat/tanpa disertai lender dan darah.
(Sudoyo Aru,dkk 2009).
Diare menurut Mansjoer (2000) adalah frekuensi defekasi encer lebih dari 3 x
sehari dengan atau tanpa daerah atau tinja yang terjadi secara mendadak berlangsung
kurang dari tujuh hari yang sebelumnya sehat.
Sedangkan menurut Suruadi (2001) Diare adalah kehilangan cairan dan elektrolit
secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi satu kali atau lebih BAB dengan bentuk
tinja yang encer atau cair.
Dan menurut Ngastiyah (2005) Diare adalah BAB dengan jumlah tinja yang
banyak dari biasanya, dengan tinja yang berbentuk cairan atau setengah cair dapat pula
disertai frekuensi defekasi yang meningkat.

B. Klasifikasi Diare
Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan : (Sudoyo Aru,dkk 2009)
a. Lama waktu Diare
1. Akut : berlangsung kurang dari 2 minggu
2. kronik : berlangsung lebih dari 2 minggu
b. Mekanisme patofisiologis : osmotic atau sekretorik dll
c. Berat ringan diare : kecil atau besar
d. Penyebab infeksi atau tidak : infeksi atau non infeksi
e. Penyebab organic atau tidak : organic atau fungsional
C. Etiologi
1. Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus
Parasit. Protozoa : Giardia lambdia, Entamoeba hystolitica, trikomonas hominis,
Isospora sp, Cacing ( A lumbricoides, A. doudenale, N. americanus, T trichiura,
O. vermicularis, S. strecolaris, T. saginata, T. solium).

88
Bakteri : yang memproduksi enterotoksin ( S aureus, C perfrigens, E coli, V
cholera, C difficile) dan yang menimbulkan inflamasi mukosa usus ( shigella,
salmonella spp, Yersinia).
2. Keracunan makanan
Makanan tidak steril yang terkontaminasi bakteri dapat menyebabkan sakit perut
melilit, mual, dan buang-buang air. Ini disebabkan oleh racun yang dikeluarkan
bakteri meninfeksi organ dalam sistem pencernaan Anda.
3. Diare yang disebabkan oleh infeksi
Diare seperti ini biasanya diikuti dengan demam, kotoran yang keluar berlendir
atau mengeluarkan darah yang menunjukkan adanya peradangan di dalam perut.

D. Manifestasi Klinik
1. Diare Akut
a. Akan hilang dalam waktu 72 jam dari onset
b. Onset yang tak terduga dari buang air besar encer, gas-gas dalam perut, rasa
tidak enak, nyeri perut
c. Nyeri pada kuadran kanan bawah disertai kram dan bunyi pada perut
d. Demam

2. Diare Kronik
a. Serangan lebih sering selama 2-3 periode yang lebih panjang
b. Penurunan BB dan nafsu makan
c. Demam indikasi terjadi infeksi
d. Dehidrasi tanda-tandanya hipotensi takikardia, denyut lemah (Yuliana elin,
2009)

Bentuk klinis Diare


Diagnosa Didasarkan pada keadaan

Diare cair akut 1. Diare lebih dari 3x sehari berlangsung kurang dari 14 hari
2. Tidak mengandung darah

Kolera 1. Diare air cucian beras yang sering ada banyak dan cepat
menimbulkan dehidrasi berat, atau
2. Diare dengan dehidrasi bert selama terjadi KLB kolera, atau
3. Diare ddeengan hasil kultur tinja positif untuk V, cholera 01
atau 0139

Disentri Diare berdarah (terlihat atau dilaporkan)

Diare persisten Diare berlangsung selama 14 hari atau lebih

89
Diare dengan gizi buruk Diare apapun yang disertai gizi buruk

Diare terkait Mendapat pengobatan antibiotic oral spectrum luas


antioksidan

Invaginasi 1. Dominan darah dari lendir dalam tinja


2. Masa intra abdominal (abdominal mass)
3. Tangisan keras atau kepucatan pada bayi

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan tinja
a. Makroskopis dan Mikroskopis
b. Ph dan kadar gula dalam tinja
c. Biakan dan resistensi feses (colok dubur)
2. Analisa gas darah apabila didapatkan tanda-tanda gangguan keseimbangan asam
basa (pernapasan kusmaul)
3. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal
4. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar Na, K , kalsium dan posfat

F. PATOFISIOLOGI
Menurut Suriadi (2001), patofisiologi dari Gastroenteritis adalah meningkatnya
motilitas dan cepatnya pengosongan pada intestinal merupakan akibat dari gangguan
absorbsi dan ekskresi cairan dan elektrolit yang berlebihan, cairan sodium, potasium
dan bikarbonat berpindah dari rongga ekstraseluler kedalam tinja, sehingga
mengakibatkan dehidrasi kekurangan elektrolit dan dapat terjadi asidosis metabolik.
Diare yang terjadi merupakan proses dari transpor aktif akibat rangsangan toksin
bakteri terhadap elektrolit ke dalam usus halus, sel dalam mukosa intestinal mengalami
iritasi dan meningkatnya sekresi cairan dan elektrolit. Mikroorganisme yang masuk
akan merusak sel mukosa intestinal sehingga mengurangi fungsi permukaan intestinal.
Perubahan kapasitas intestinal dan terjadi gangguan absorbsi cairan dan elektrolit.
Peradangan akan menurunkan kemampuan intestinal untuk mengabsorbsi cairan dan
elektrolit dan bahan-bahan makanan ini terjadi pada sindrom malabsorbsi. Peningkatan
motilitas intestinal dapat mengakibatkan gangguan absorbsi intestinal.
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ada 3 macam yaitu:
1. Gangguan Osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan
tekanan dalam rongga yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan

90
osmotik dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang
usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
2. Gangguan sekresi akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding
usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam rongga usus dan
selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
3. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk
menyerap makanan sehingga timbul diare.
Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri kambuh
berlebihan, selanjutnya timbul diare pula.
Dari ketiga mekanisme diatas menyebabkan :
1. Kehilangan air dan elektrolit (terjadi dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan
keseimbangan asam basa (asidosis metabolik hipokalemia)
2. Gangguan gizi akibat kelaparan (masukan kurang, pengeluaran bertambah)
3. Hipoglikemia
4. Gangguan sirkulasi dara

91
Pathway

Infeksi Makanan Psikologi

Perkembangan di usus Toksis tak dapat di serap Ansietas

Hipersekresi air dan


elektrolit hiperperistaltik Malabsorbsi KH, lemak,
protein

Isi usus Penyerapan makanan di


usus menurun Mening tekanan osmotik

Pergeseran air dan


elektrolit ke usus

Diare

Frekuensi BAB meningkat Distensi abdomen

Mual muntah
Hilang cairan dan elektrolit Resiko Kerusakan
berlebihan integritas kulit
Nafsu makan menurun

Gangguan keseimbangan Asidosis metabolik


cairan dan elektrolit Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
Sesak tubuh
Dehidrasi

Gangguan pertukaran gas

Kekurangan volume cairan Risiko syok (hipovolemi)

92
G. Komplikasi

Beberapa komplikasi dari diare menurut Suriadi (2001 ) adalah :


1. Hipokalemia ( dengan gejala matiorisme hipotoni otot lemah bradikardi
perubahan elektrokardiogram ).
2. Hipokalsemia
3. Cardiac dysrhythimias akibat hipokalemia dan hipokalsemia.
4. Hiponatremi.
5. Syok hipovalemik.
6. Asidosis
7. Dehidrasi

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Penatalaksanaan medis menurut Biddulp and Stace (1999)
adalah pengobatan dengan cara pengeluaran diet dan pemberian cairan.
a. Diare tanpa dehidrasi memerlukan cairan tambahan berupa apapun
misalnya air gula, sari buah segar, air teh segar, kuah sup, air tajin,
ASI. Jangan memberikan air kembang gula, sari buah air dalam botol
karena cairan yang terlalu banyak mengandung gula akan
memperburuk diare.
b. Diare dengan dehidrasi sedang memerlukan cairan khusus yang
mengandung campuran gula dan garam yang disebut larutan dehidrasi oral
( LRO ). LRO ini dibuat dengan mencampurkan sebungkus garam
rehidrasi kedalam 1 liter air bersih.
c. Diare dengan dehidrasi berat memerlukan cairan intravena disamping
LRO.
2. Penatalaksanaan keperawatan menurut Nelson (1999) antara lain :
a. Penderita yang dirawat inap harus ditempatkan pada tindakan pencegahan
enterik termasuk cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
penderita.
b. Jas panjang bila ada kemungkinan pencernaan dan sarung tangan bila
menyentuh barang terinfeksi.
c. Penderita dan keluarganya dididik mengenal cara perolehan entero
patogen dan cara mengurangi penularan

93
ASKEP

Studi Kasus :

Tn. M berusia 65tahun datang ke Rumah Sakit bersama anknya dengan keluhan lemas akibat
diare 2 hari yang lalu. Tn. M hanya membeli obat diare di kios terdekat , sudah diminum tapi
belum sembuh juga. Dari hasil pemeriksaan didapat TD : 110/70mmhg, N : 100x/menit, RR :
24x/mnt, S : 38,3˚C.

I. Identitas diri klien


Nama : Tn. M
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Alamat : Pamulang
Status perkawinan : Duda
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Tidak bekerja

II. Kondisi kehidupan klien saat ini :


Saat ini Tn. M tinggal dirumahnya bersama anak dengan menantunya. Sedangkan istri
Tn. M sudah meninggal 6 tahun yang lalu. Tn. M merasa senang tinggal bersama
dengan keluarga anaknya, karena mendapatkan perhatian dari anknya. Dalam
kesehariannya Tn. M masih sering mengikuti kegiatan disekitar rumahnya.

Genogram

94
Keterangan :
: Perempuan
: Laki laki
: Garis Perkawinan
: Garis Keturunan
: Klien
: Meninggal
III. Riwayat penyakit keluarga :
Tn. M mengatakan tidak ada riwayat penyakit keluarga yang serius, atau penyakit yang
parah.

IV. Riwayat Penyakit


1. Keluhan Utama saat ini :
Tn. M mengatakan sudah 2 hari klien buang air besar dengan konsistensi cair dan
frekuensi sering ( > 3x/hari), badan terasa lemas, perut terasa mules, dan badan
terasa demam. Klien sudah minum obat diare namun belum berhenti kemudian
klien memutuskan ke puskesmas diantar anaknya.

2. Apa yang dipikirkan saat ini :


Tn. M mengatakan hal yang dipikirkan saat ini hanya kondisi kesehatannya
sekarang

3. Siapa yang paling dipikirkan saat ini :


Tidak ada yang dipikirkan Tn. M saat ini

4. Riwayat penyakit terdahulu :


Klien mengatakan tidak ada riwayat penyakit sebelumnya, klien hanya
mengalami sakit seperti pegal pegal, flu, dan sedikit pusing, tapi klien bisa
sembuh sendiri dengan obat-obat yang dibelinya sendiri di apotik atau di kios
kios terdekat.

V. Pengkajian
1. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
95
Tn. M mengatakan sakit yang dialami saat ini merupakan sakit yang wajar
dialami oleh orang yang sudah lanjut usia.

2. Pola nutrisi
Tn. M mengatakan sejak diare merasa malas makan karna badan merasa lemas
makan ≤ 2x/hari, minum 4 gelas/hari

3. Pola eliminasi
Tn. M mengatakan untuk BAK 8 kali / hari, dan untuk BAB bisa lebih dari 3 kali/
hari sejak diare dengn konsistensi cair.

4. Pola aktivitas dan latihan


Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4

Makan / minum V

Mandi V

Toileting V

Berpakaian V

Mobilitas di tempat tidur V

Berpindah / berjalan V

Ambulasi / ROM V

Keterangan :
0 : Mandiri
1 : Alat bantu
2 : Dibantu orang lain
3 : Divantu orang lain dengan alat
4 : Tergantung total

5. Pola tidur dan istirahat

96
Tn. M mengatakan tidur pada siang hari pukul 14.00-16.00, sedangkan pada
malam hari biasanya mulai pukul 21.00-04.00, dalam sehari klien tidur selama 9
jam.

6. Pola pereptual
Tn. M mengatakan sering memikirkan kondisi kesehatannya sekarang.

7. Pola persepsi diri


a. Gambaran diri
Tn. M mengatakan tidak mengalami masalah dengan gambaran diri.
b. Ideal diri
Tn. M selalu berdoa kepada Tuhan YME agar selalu diberi kesabaran dalam
menghadapi setiap sakit yang dialaminya dan semoga cepat diberikan
kesembuhan
c. Harga diri
Tn. M merasa selama sakit anaknya selalu ada menemani dirinya, sehingga
klien selalu optimis untuk melakukan pengobatan demi mencapai
kesembuhan
d. Identitas diri
Tn. M merupakan seorang duda, karena istri tercinta telah meninggal dunia
sejak 6 tahun yang lalu akibat penyakit ginjal. Dari pernikahannya, klien
memiliki 4 orang anak dan mereka telah memiliki keluarga masing-masing.
e. Peran diri
Tn. M merupakan seorang ayah dan saat ini telah menjadi seorang kakek
sehingga kesehariannya mengasuh dan bermain bersama cucunya.

8. Pola peran hubungan


Tn. M mengatakan bahwa dirinya berhubungan baik dengan anak – anak dan
menantunya, Tn. M juga mengatakan sering mengobrol dengan tetangga sekitar.

9. Pola managemen stress


Tn. M mengatakan bila sedang memiliki masalah atau stress, maka klien
mengalihkannya dengan bermain bersama cucu di rumah.

97
10. Sistem nilai dan keyakinan
Tn.M mengatakan percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam
kehidupannya adalah rencana Tuhan YME. Klien adalah seorang muslim yang
taat beribadah.

VI. Pemeriksaan fisik


1. Pemeriksaan fisik
a. Tingkat kesadaran
Composmentis, klien tampak lemah
b. TD : 110/70 mmHg, Nadi : 100x/menit, RR : 24x/menit
c. Temperatur : 38,3˚C
d. Kepala : rambut pendek beruban, tidak ada benjolan dikepala, dan tidak luka
atau lesi.
e. Leher : Normal, tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kelenjar, tidak ada
nyeri tekan dan nyeri nelan.
f. Thorak : tampak simetris, tidak ada prngembangan dada yang abnormal, tidak
ada nyeri dada.
g. Abdomen : bising usus 35x/menit
h. Ekstremitas : bagian atas dan bawah tampak normal/simetris, tidak ada
deformitas, pergerakan normal, tidak ada nyeri sendi.

2. Pemeriksaan panca indera


a. Penglihatan (mata) :
1) Bola mata : tampak simetris, pupil isokor, pergerakan normal
2) Konjunctiva : unanemis
3) Sclera : normal
4) Reflek pupil : ada
5) Gangguan penglihatan : tidak ada masalah
b. Pendengaran (Telinga)
1) Bentuk telinga simetris
2) Nyeri tidak ada
3) Tidak ada masalah pada gangguan pendengaran
c. Pengecapan (mulut) : Tidak ada masalah
d. Sensasi (kulit) : ada
98
e. Penciuman (hidung) : tidak ada masalah
VII. Analisa Data
No DATA PROBLEM ETIOLOGI

1. DS: Gamgguan Output berlebihan


 Tn. M mengatakan BAB ketidakseimbangan
Mencret dan Sering
 Klien mengatakan BAB cairan dan
sehari ≤ 3x/hari elektrolit
 Klien mengeluh Lemas
DO:
 Ekspresi wajah klien tampak
murung
 Kulit kering
 Mukosa bibir kering
 Klien tampak lemah
 TTV : TD : 110/70mmhg
N : 100x/menit
RR : 24x/mnt
S : 38,3˚C

2. DS : Ketidakseimbangan Intake tidak


 Klien mengatakan malas nutrisi : kurang dari adekuat
makan karna lemas karna kebutuhan tubuh
sering BAB

DO :

 Klien tampak tidak mau


makan
 Klien hanya makan 1x/hari
 Bising usus : 35x/menit

VIII. Diagnosa sesuai prioritas

99
1. Gamgguan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d Output berlebihan
2. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d Intake tidak adekuat

IX. Rencana Keperawatan

DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN


KEPERAWATAN
TUJUAN INTERVENSI

Gamgguan Kriteria hasil : 1. Monitor intake dan output


ketidakseimbangan 1. Mempertahankan cairan
cairan dan elektrolit b.d output 2. Monitor status dehidrasi
Output berlebihan 2. Tidak ada tanda 3. Monitor vital sign
tanda dehidrasi 4. Anjurkan klien untuk
3. Cairan klien dapat minum air putih yang
terpenuhi banyak
5. Anjurkan klien untuk
meminum cairan oralit

Ketidakseimbangan Kriteria hasil : 1. Kaji adanya alergi


nutrisi : kurang dari 1. Mampu makanan
kebutuhan tubuh b.d mengidentifikasi 2. Berikan infromasi tentang
Intake tidak adekuat kenutuhan nutrisi kebutuhan nutrisi
2. Tidak ada tanda – 3. Berikan makanan terpilih
tanda malnutrisi 4. Ajarkan pasien bagaimana
membuat catatan makanan
harian
5. Yakinkan makanan yang
dimakan mengandung
tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
6. Anjurkan pasien untuk
makan sedikit tapi sering

X. Catatan Perkembangan

100
Senin, 30 September 2019
NO Diagnosa Waktu Implementasi Evaluasi

1 Gamgguan Senin, 30 1. Memoonitor S : klien mengatakn


ketidakseimbangan September intake dan output badan masih lemas
cairan dan 2019 cairan O:
elektrolit b.d 2. Monitor status  Klien masih
Output berlebihan dehidrasi tampak lemah
3. Memonitor vital  Mukosa bibir
sign klien masih kering
4. Menganjurkan  Kulit kering
klien untuk
A : Masalah belum
minum air putih
teratasi
yang banyak
5. Menganjurkan P : Lanjutkan

klien untuk intervensi


meminum cairan  Monitor status
oralit dehidrasi
 Memonitor vital
sign klien
 Menganjurkan
klien untuk
minum air putih
yang banyak
 Menganjurkan
klien untuk
meminum cairan
oralit

2 Ketidakseimbangan Senin, 30 1. Mengkaji S : Klien mengatakan


nutrisi : kurang dari september adanya alergi sudah mau makan
kebutuhan tubuh 2019 makanan walau sedikit
b.d Intake tidak 2. Memberikan
adekuat infromasi O:

101
tentang  Klien masih
kebutuhan tampak lemah
nutrisi  Klien tampak
3. Memberikan menghabiskan
makanan makanannya
terpilih sedikit
4. Mengajarkan
A : Masalah belum
pasien
teratasi
bagaimana
membuat P : Lanjutkan

catatan intervesi

makanan harian  Memberikan


5. Meyakinkan makanan terpilih
makanan yang  Mengajarkan
dimakan pasien
mengandung bagaimana
tinggi serat membuat catatan
untuk mencegah makanan harian
konstipasi  Meyakinkan
6. Menganjurkan makanan yang
pasien untuk dimakan
makan sedikit mengandung
tapi sering tinggi serat
untuk mencegah
konstipasi
 Menganjurkan
pasien untuk
makan sedikit
tapi sering

Selasa, 1 Oktober 2019

102
NO Diagnosa Waktu Implementasi Evaluasi

1 Gamgguan Selasa, 1 1. Monitor status S : klien mengatakan


ketidakseimbangan Oktober dehidrasi badannya masih
cairan dan 2019 2. Memonitor vital lemas
elektrolit b.d sign klien Klien mengatakan
Output berlebihan 3. Menganjurkan banyak minum air
klien untuk putih
minum air putih Klien mengatakan
yang banyak frekuensi BAB
4. Menganjurkan berkurang ≤ 3x/hari
klien untuk tapi konsistensi masih
meminum cair
cairan oralit O:
 Mukosa bibir
klien sudah
tidak kering
 Kulit klien
sudah tidak
teraba kering

A : Masalah teratasi
sebagian

P : Lanjutkan
intervensi

 Monitor status
dehidrasi
 Menganjurkan
klien untuk
minum air putih
yang banyak
 Menganjurkan
klien untuk
meminum cairan

103
oralit

2 Ketidakseimbangan Selasa, 1 1. Memberikan S : Klien mengatakan


nutrisi : kurang dari Oktober infromasi tentang sudah mau makan
kebutuhan tubuh 2019 kebutuhan nutrisi walau sedikit
b.d Intake tidak 2. Mengajarkan O:
adekuat pasien bagaimana  Klien masih
membuat catatan tampak lemah
makanan harian  Klien tampak
3. Meyakinkan menghabiskan
makanan yang makanannya
dimakan sedikit
mengandung
A : Masalah teratasi
tinggi serat untuk
sebagian
mencegah
konstipasi P : Lanjutkan

4. Menganjurkan intervesi

pasien untuk  Memberikan


makan sedikit tapi infromasi tentang
sering kebutuhan nutrisi
 Meyakinkan
makanan yang
dimakan
mengandung
tinggi serat untuk
mencegah
konstipasi
 Menganjurkan
pasien untuk
makan sedikit
tapi sering

Rabu, 2 Oktober 2019

104
NO Diagnosa Waktu Implementasi Evaluasi

1 Gamgguan Selasa, 2 1. Memberikan S:


ketidakseimbangan Oktober infromasi Klien mengatakan
cairan dan 2019 tentang sudah tidak lemas lagi
elektrolit b.d kebutuhan Klien mengatakan
Output berlebihan nutrisi frekuensi BAB sudah
2. Meyakinkan berkurang dan tidak
makanan yang cair lagi
dimakan O:
mengandung  Klien tampak tidak
tinggi serat lemah lagi
untuk  Mukosa bibir klien
mencegah tampak tidak
konstipasi kering
3. Menganjurkan
A : Masalah teratasi
pasien untuk
makan sedikit P : Hentikan intervensi
tapi sering
2 Ketidakseimbangan Selasa, 1 1. Memberikan S : Klien mengatakan
nutrisi : kurang dari Oktober infromasi sudah tidak malas
kebutuhan tubuh 2019 tentang makan lagi
b.d Intake tidak kebutuhan O:
adekuat nutrisi  Klien tampak
2. Meyakinkan menghabiskan
makanan yang makanannya
dimakan
A : Masalah teratasi
mengandung
tinggi serat P :Hentikan intervesi
untuk mencegah
konstipasi
3. Menganjurkan
pasien untuk
makan sedikit

105
F. ASKEP GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN (DM) PADA LANSIA

A. Definisi Diabetes Melitus

Diabetes mellitus adalah defisiensi insulin atau retensi insulin, di


tandai dengan tingginya keadaan glukosa darah (hiperglikemia) dan glukosa
dalam urine (glukosuria) atau merupakan sindroma klinis yang ditandai
dengan hiperglikemia kronik dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein sehubungan dengan kurangnya sekresi insulin secara absolut/
relatif dan atau adanya gangguan fungsi insulin.
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia
(Mansjoer, 2000).
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.
(Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes mellitus merupakan penyakit sistemis, kronis, dan
multifaktorial yang dicirikan dengan hiperglikemia dan hipoglikemia.
(Mary,2009)

B. Epidemiologi
Diabetes terutama prevalen diantara kaum lanjut usia. Diantara individu yang
berusia lebih dari 65 tahun, 8,6% menderita diabetes tipe II. Angka ini mencakup 15%
populasi pada panti lansia.

C. Etiologi
Penyebab resitensi insulin pada Diabetes sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi
faktor yang banyak berperan antara lain:
1. Kelainan Genetik
Diabetes dapat menurun silsilah keluarga yang mengidap Diabetes. Ini terjadi
karena DNA pada orang Diabetes Melitus akan ikut diinformasikan pada gen
berikutnya terkait dengan penurunan produksi insulin.

2. Usia

106
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis
menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan ini yang akan
beresiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi
insulin.
3. Gaya Hidup Stress
Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang cepat saji
yang kaya pengawet, lemak, dan gula. Makanan ini berpengaruh besar
terhadap kerja pankreas. Stress juga akan meningkatkan kerja metabolisme
dan meningkatkan kebutuhan akan sumber energi yang berakibat pada
kenaikan kerja pankreas. Beban yang tinggi mebuat pankreas mudah rusak
hingga berdampak pada penurunan insulin.
4. Pola makan yang salah
Kekurangan gizi atau kelebihan berat badan sama-sama meningkatkan resiko
terkena diabetes.Malnutrisi dapat merusak pankreas, sedangkan obesitas
meningkatkan gangguan kerja atau resistensi insulin. Pola makan yang tidak
teratur dan cenderung terlambat juga akan berperan pada ketidakstabilan kerja
pankreas.
5. Obesitas
Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi yang
akan berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin. Hipertropi pankreas
disebabkan karena peningkatan beban metabolisme glukosa pada penderita
obesitas untuk mencukupi energi sel yang terlalu banyak.
6. Infeksi
Masuknya bakteri atau virus ke dalam pankreas akan berakibat rusaknya sel-
sel paankreas. Kerusakan ini berakibat pada penurunan fungsi pankreas
(Riyadi & Sukarmin 2008:73-74).

Pada lansia cenderung terjadi peningkatan berat badan, bukan karena


mengkonsumsi kalori berlebih namun karena perubahan rasio lemak-otot dan
penurunan laju metabolisme basal. Hal ini dapat menjadi faktor predisposisi
terjadinya diabetes mellitus.

107
Penyebab diabetes mellitus pada lansia secara umum dapat digolongkan ke dalam dua
besar:
1. Proses menua/kemunduran
(Penurunan sensitifitas indra pengecap, penurunan fungsi pankreas, dan
penurunan kualitas insulin sehingga insulin tidak berfungsi dengan baik).
2. Gaya hidup (life style)
Gaya hidup yang jelek (banyak makan, jarang olahraga, minuman alkohol,
dll.)
Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress juga dapat menjadi
penyebab terjadinya diabetes mellitus.Selain itu perubahan fungsi fisik yang
menyebabkan keletihan dapat menutupi tanda dan gejala diabetes dan
menghalangi lansia untuk mencari bantuan medis. Keletihan, perlu bangun
pada malam hari untuk buang air kecil, dan infeksi yang sering merupakan
indikator diabetes yang mungkin tidak diperhatikan oleh lansia dan anggota
keluarganya karena mereka percaya bahwa hal tersebut adalah bagian dari
proses penuaan itu sendiri.

A. Klasifikasi
1. Diabetes mellitus tipe I (IDDM)
Destruksi sel beta, umunya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik
melalui proses imunologik maupun idiopatik.
DM tipe 1 merupakan DM yang tergantung insulin karena sistem imun
tubuh menyerang sel beta pancreas yang berperan untuk menghasilkan
hormone insulin, dan mengalami kerusakan permanen, sehingga
membutuhkan insulin dari luar setiap hari (suntik insulin)
Karakteristik DM tipe I:
a. Mudah terjadi ketoasidosis
b. Pengobatan harus dengan insulin
c. Onset akut
d. Biasanya kurus
e. Biasanya terjadi pada umur yang masih muda
f. Berhubungan dengan HLA-DR3 dan DR4
g. Didapatkan antibodi sel islet
108
h. 10%nya ada riwayat diabetes pada keluarga

2. Diabetes mellitus tipe II (NIDDM)


Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin.
DM tipe 2 atau tidak tergantung insulin, tubuh mengalami resistensi
insulin, dan pancreas tidak dapat membuat insulin yang cukup, sehingga
glukosa tidak masuk kedalam sel.
Karakteristik DM tipe II:
a. Sukar terjadi ketoasidosis
b. Pengobatan tidak harus dengan insulin
c. Onset lambat
d. Gemuk atau tidak gemuk
e. Biasanya terjadi pada umur > 45 tahun
f. Tidak berhubungan dengan HLA
g. Tidak ada antibodi sel islet
h. 30%nya ada riwayat diabetes pada keluarga
i. ± 100% kembar identik terkena

B. Manifestasi Klinis
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada lansia umumnya
tidak ada. Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang
tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan
inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya
mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia
atau baru terjadi pada stadium lanjut. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien
adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf.
Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga
gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan
komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan
penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot
(neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan
lazim.
109
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan
adalah :
1. Katarak
2. Glaukoma
3. Retinopati
4. Gatal seluruh badan
5. Pruritus Vulvae
6. Infeksi bakteri kulit
7. Infeksi jamur di kulit
8. Dermatopati
9. Neuropati perifer
10. Neuropati viseral
11. Amiotropi
12. Ulkus Neurotropik
13. Penyakit ginjal
14. Penyakit pembuluh darah perifer
15. Penyakit koroner
16. Penyakit pembuluh darah otak
17. Hipertensi

C. Patofisiologi
Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan penting yaitu
memasukkan glukosa ke dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar. Insulin
adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh sel beta di pankreas. Bila insulin
tidak ada maka glukosa tidak dapat masuk sel dengan akibat glukosa akan tetap
berada di pembuluh darah yang artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat.
Pada Diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan
predisposisi untuk kerusakan autoimun sel beta pankreas. Respon autoimun dipacu
oleh aktivitas limfosit, antibodi terhadap sel pulau langerhans dan terhadap insulin itu
sendiri.
Pada diabetes melitus tipe 2 yang sering terjadi pada lansia, jumlah insulin
normal tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang

110
sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah menjadi
meningkat.

D. Pathway

E. Pemeriksaan Diagnostik
Glukosa darah sewaktu

1. Kadar glukosa darah puasa


2. Tes toleransi glukosa Oral

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan:

1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)


2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

111
F. Komplikasi
Komplikasi diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi akut dan kronis. Yang
termasuk dalam komplikasi akut adalah hipoglikemia, Diabetes Ketoasidosis (DKA),
dan Hyperglycemic Hyperosmolar Nonketocic Coma (HHNC). Yang termasuk dalam
komplikasi kronis adalah retinopati diabetic, nefropati diabetic, neuropati,
dislipidemia, dan hipertensi.
1. Komplikasi akut
a. Diabetes ketoasidosis
Diabetes ketoasidosis adalah akibat yang berat dari deficit insulin yang
berat pada jaringan adipose, otot skeletal, dan hepar. Jaringan tersebut
termasuk sangat sensitive terhadap kekurangan insulin. DKA dapat
dicetuskan oleh infeksi ( penyakit).
2. Komplikasi kronis
a. Retinopati diabetic
Lesi paling awal yang timbul adalah mikroaneurism pada pembuluh
retina. Terdapat pula bagian iskemik, yaitu retina akibat berkurangnya
aliran darah retina. Respon terhadap iskemik retina ini adalah
pembentukan pembuluh darah baru, tetapi pembuluh darah tersebut sangat
rapuh sehingga mudah pecah dan dapat mengakibatkan perdarahan
vitreous. Perdarahan ini bisa mengakibatkan ablasio retina atau berulang
yang mengakibatkan kebutaan permanen.
b. Nefropati diabetic
Lesi renal yang khas dari nefropati diabetic adalah glomerulosklerosis
yang nodular yang tersebar dikedua ginjal yang disebut sindrom
Kommelstiel-Wilson. Glomeruloskleriosis nodular dikaitkan dengan
proteinuria, edema dan hipertensi. Lesi sindrom Kommelstiel-Wilson
ditemukan hanya pada DM.
c. Neuropati
Neuropati diabetic terjadi pada 60 – 70% individu DM. neuropati diabetic
yang paling sering ditemukan adalah neuropati perifer dan autonomic.

d. Displidemia
Lima puluh persen individu dengan DM mengalami dislipidemia.
112
e. Hipertensi
Hipertensi pada pasien dengan DM tipe 1 menunjukkan penyakit ginjal,
mikroalbuminuria, atau proteinuria. Pada pasien dengan DM tipe 2,
hipertensi bisa menjadi hipertensi esensial. Hipertensi harus secepat
mungkin diketahuin dan ditangani karena bisa memperberat retinopati,
nepropati, dan penyakit makrovaskular.
f. Kaki diabetic
Ada tiga factor yang berperan dalam kaki diabetic yaitu neuropati,
iskemia, dan sepsis. Biasanya amputasi harus dilakukan. Hilanggnya
sensori pada kaki mengakibatkan trauma dan potensial untuk ulkus.
Perubahan mikrovaskuler dan makrovaskuler dapat mengakibatkan
iskemia jaringan dan sepsis. Neuropati, iskemia, dan sepsis bisa
menyebabkan gangrene dan amputasi.
g. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah di bawah 60
mg/dl, yang merupakan komplikasi potensial terapi insulin atau obat
hipoglikemik oral. Penyebab hipoglikemia pada pasien sedang menerima
pengobatan insulin eksogen atau hipoglikemik oral.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam diabetes melitus terbagi menjadi 2, yakni : penatalaksanaan
secara medis dan penatalaksanaan secara keperawatan.
Penatalaksanaan secara medis adalah sebagai berikut:
1. Obat Hipoglikemik oral
a. Golongan Sulfonilurea / sulfonyl ureas
Obat ini paling banyak digunakan dan dapat dikombinasikan dengan obat
golongan lain, yaitu biguanid, inhibitor alfa glukosidase atau insulin. Obat
golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan produksi insulin oleh sel-
sel beta pankreas, karena itu menjadi pilihan utama para penderita DM tipe II
dengan berat badan yang berlebihan.
Obat – obat yang beredar dari kelompok ini adalah:
1) Glibenklamida (5mg/tablet).
2) Glibenklamida micronized (5 mg/tablet).
3) Glikasida (80 mg/tablet).
113
4) Glikuidon (30 mg/tablet).

b. Golongan Biguanid / Metformin


Obat ini mempunyai efek utama mengurangi glukosa hati, memperbaiki
ambilan glukosa dari jaringan (glukosa perifer). Dianjurkan sebagai obat
tunggal pada pasien dengan kelebihan berat badan.
c. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Mempunyai efek utama menghambat penyerapan gula di saluran pencernaan,
sehingga dapat menurunkan kadar gula sesudah makan. Bermanfaat untuk
pasien dengan kadar gula puasa yang masih normal.

2. Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang di produksi oleh sel beta pulau langerhans
kelenjar pancreas. Insulin menstimulasi pemasukan asam amino ke dalam sel dan
kemudian meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan penyimpanan lemak
dan mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin menstimulasi
pemasukan glukosa kedalam sel untuk digunakan sebagai sumber energy dan
membantu penyimpanan glikogen didalam sel otot dan hati.

a. Indikasi insulin
Pada DM tipe I yang tergantung pada insulin biasanya digunakan Human
Monocommponent Insulin (40 UI dan 100 UI/ml injeksi), yang beredar adalah
Actrapid. Injeksi insulin juga diberikan kepada penderita DM tipe II yang
kehilangan berat badan secara drastis. Yang tidak berhasil dengan penggunaan
obat – obatan anti DM dengan dosis maksimal, atau mengalami kontraindikasi
dengan obat – obatan tersebut, bila mengalami ketoasidosis, hiperosmolar, dana
sidosis laktat, stress berat karena infeksi sistemik, pasien operasi berat, wanita
hamil dengan gejala DM gestasional yang tidak dapat dikontrol dengan
pengendalian diet.

b. Jenis Insulin
1) Insulin kerja cepat
114
Jenis – jenisnya adalah regular insulin, cristalin zink, dan semilente.
2) Insulin kerja sedang
Jenis – jenisnya adalah NPH (Netral Protamine Hagerdon)
3) Insulin kerja lambat
Jenis – jenisnya adalah PZI (Protamine Zinc Insulin)

c. Dosis Pemberian Insulin Tergantung pada kadar gula darah


Gula darah
1) < 60 mg% = 0 unit
2) < 200 mg% = 5-8 unit
3) 200-250 mg% = 10-12 unit
4) 250-300mg% = 15-16 unit
5) 300-350mg% = 20 unit
6) >350mg% = 20-24 unit

Sedangkan untuk penatalaksanaan secara keperawatan adalah sebagai berikut:


1) Diet
Salah satu pilar utama pengelolaan DM adalah perencanaan makan.
Walaupun telah mendapat tentang penyuluhan perencanaan makanan, lebih
dari 50 % pasien tidak melaksanakannya. Penderita DM sebaiknya
mempertahankan menu diet seimbang, dengan komposisi idealnya sekitar 68
% karbohidrat, 20 % lemak dan 12 % protein. Karena itu diet yang tepat untuk
mengendalikan dan mencegah agar berat badan tidak menjadi berlebihan
dengan cara : Kurangi kalori, kurangi lemak, konsumsi karbohidrat komplek,
hindari makanan yang manis, perbanyak konsumsi serat.
2) Latihan jasmani
Latihan jasmani teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30
menit) merupakan salah satu pilar pengelolaan diabetes tipe II. Latihan
jasmani dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap
insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani
yang dimaksud ialah jalan, bersepeda santai, jogging, berenang.
Latihan jasmani sebaiknya diseusaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,

115
menggunakan tangga, berkebun. Batasi atau jangan terlalu lama melakukan
kegiatan yang kurang gerak seperti menonton tv.

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA NY.K DENGAN


GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN PADA KASUS DIABETES MELITUS
KASUS

Ny.K (60 tahun) dibawa oleh anaknya ke IGD dengan keluhan sering kesemutan gatal
diseluruh tubuh, adanya luka yang tidak kunjung sembuh di kaki dan berbau. Klien
mengatakan mudah lapar, mudah lelah, sering BAK. Ny.K mengatakan kurang tidur akibat
sering terbangun tengah malam karna ingin BAK. anaknya mengatakan bahwa klien memiliki
riwayat diabetes mellitus. Klien juga cemas karna luka nya tak kunjung sembuh. Tetapi
masih sering mengkonsumsi makanan atau minuman manis. Sebelumnya Ny.K sudah pernah
dirawat di RS X dengan keluhan yang sama, Ny.K tidak pernah control dan periksa gds
secara rutin.
Setelah dilakukan pemeriksaan hasilnya:
GDS : 350mg/dl
TD : 140/80 mmHg
Nadi: 100x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,5°C
BB : 39 kg
TB : 157 cm

116
I. Identitas Diri Klien
Nama : Ny.K
Umur : 60 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Depok
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Suku : Betawi
Pendidikan : SLTP/SMP
Pekerjaan :Ibu Rumah Tangga

II. Kondisi kehidupan klien saat ini


Saat ini Ny.K tinggal dirumahnya bersama suami, anak dengan menantu dan
cucu-cucunya, Ny.K sangat senang tinggal bersama keluarga anaknya, karena
disitu Ny.K mendapatkan perhatian, dan senang bermain dengan cucu-
cucunya.
Genogram

117
III. Riwayat Penyakit Keluarga
Ny.K mengatakan bahwa orangtuanya tidak mempunyai penyakit DM.
Namun, Ny.K mengakui jika keluarganya senang mengkonsumsi makanan
manis. Ibu kandung dari Ny.K meninggal dunia karena serangan jantung, dan
ayah kandungnya mengalami sakit paru-paru karena sering merokok.

IV. Riwayat Penyakit


1. Keluhan Utama Saat Ini
Ny.K mengatakan gatal diseluruh tubuh,luka di kakinya tak kunjung
sembuh,kelelahan karna kurang tidur akibat sering terbangun tengah malam
karena ingin BAK, saat Ny.K periksa gula darah, hasil gula darahnya
350mg/dl
2. Apa yang dipikirkan saat ini
Ny.K mengatakan banyak hal yang dipikirkan terutama kondisi
kesehatannya saat ini.
3. Siapa yang paling dipikirkan saat ini
Ny.K mengatakan memikirkan cucunya dan tidak mau menyusahkan suami
dan anaknya dengan kondisi kesehatan yang sedang dialaminya
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Ny.K mengatakan 4 tahun yang lalu Ny.K pernah dirawat di RS dengan
penyakit yang sama yaitu diabetes mellitus selama 1 minggu.

V. Pengkajian
1. Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Ny.Kmengatakan mengetahui bahwa ia memiliki penyakit DM, namun
sebelum sakit, tidak bisa menjaga pola makan dan sering sekali minum
minuman yang manis secara berlebihan. Ny.K jarang cek gula darah dan
sulit untuk mengontrol pola makan nya terutama makanan yang manis.
2. Pola Nutrisi
Ny.K mengatakan sebelum sakit,makan 3 x sehari 1 porsi makan habis,
dengan menu nasi, lauk pauk, sayur-sayuran, buah-buahan. Ny.K tidak

118
memiliki alergi makanan. Ny.K sering merasa lapar dan haus. Minum ±8-
9gelas perhari dengan minuman yang bervariasi air putih, teh manis, dan
susu. Ny.K mengatakan paling suka dengan minuman manis, sebelum sakit
berat badannya 54 kg, setelah di diagnose DM, Ny.K mengalami penurunan
berat badan hingga 39 kg.
3. Pola Eliminasi
Ny.K mengatakan BAB lancar 1 x sehari, BAK 10 x sehari. Ny.K
mengatakan lebih sering BAK dari biasanya.
4. Pola aktivitas dan latihan
Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4

Makan / minum 

Mandi 

Toileting 

Berpakaian / berjalan 

Mobilitas di tempat tidur 

Ambulasi / ROM 

Keterangan :
0 : Mandiri
1 : Alat bantu
2 : Dibantu orang lain
3 : Dibantu orang lain dan alat
4 : Tergantung total

5. Pola tidur dan istirahat


Ny.K mengatakan kalau tidur malam mulai jam 21.00 WIB, bangun pagi
jam 06.00 WIB, dan sering terbangun tengah malam karna sering merasa
ingin BAK. Ny.K merasa kelelahan karena kurang tidur. Saat waktu luang
Ny.K biasanya bermain dengan cucunya.
6. Pola perceptual
Ny.K mengatakan sering memikirkan penyakitnya, karena luka di kakinya
tak kunjung sembuh. Ny.K tetap tidak mau berhenti mengkonsumsi

119
makanan manis dan jarang periksa gula darahnya. Setelah penyakitnya
semakin parah, Ny.K mulai memanfaatkan fasilitas kesehatan, dan mulai
menjaga pola makannya.

7. Pola persepsi diri


a. Gambaran diri
Ny.K mengatakan bisa menerima keadaan fisik tubuhnya saat ini.
b. Ideal diri
Ny.K mengatakan ingin sembuh agar bisa bergerak dengan bebas,
dan ingin cepat pulang melihat cucu-cucunya.
c. Harga diri
Ny.K mengatakan dirinya masih mampu melakukan aktivitas
walaupun sulit berjalan karna luka dikakinya, Ny.K akan melakukan
apa saja yang masih bisa dilakukan sendiri, dan tidak mau
merepotkan suami dan anaknya.
d. Identitas diri
Ny.K mengatakan bahwa dirinya adalah seorang ibu dari 3 orang
anak yang sudah menikah semua, dan memiliki 4 orang cucu,
sehingga saat ini yang dilakukan hanya mengasuh cucunya.
e. Peran diri
Ny.K merupakan seorang ibu dan saat ini telah menjadi seorang
nenek sehingga kesehariannya bermain dengan cucunya.
8. Pola peran hubungan
Ny.K mengatakan bahwa dirinya berhubungan baik dengan anak,
menantu dan cucu-cucunya, serta tetangga sekitar. Ny.K mengatakan
sering berkumpul dan mengobrol dengan tetangga sekitar rumahnya.
9. Pola managemen koping stress
Ny.K mengatakan bila sedang stress, yang dilakukan Ny.K hanya ingin
tidur dan bermain dengan cucunya sampai pikiran itu perlahan hilang.
10. Sistem nilai dan keyakinan

120
Ny.K selalu percaya bahwa Allah memberikan cobaan tidak melebihi
dari batas kemampuan umatnya, Ny.K hanya perlu bersabar dan pasrah
dengan penyakit yang dialaminya.

VI. Pemeriksaan Fisik


1. Pemeriksaan fisik
a. Tingkat kesadaran : compos mentis
b. Tanda-tanda vital
TD : 140/80 mmHg
Nadi : 100x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,5°C
BB : 39 kg
TB : 157 cm
c. Kepala
Bentuk mesosepal, rambut panjang dan hampir semua ubanan, kulit
kepala tampak bersih, tidak ada luka, tidak ada nyeri tekan pada kepala
dan tidak ada benjolan.
d. Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid, tidak ada luka, tidak ada
bendungan vena jugularis, klien mengeluh leher bagian belakang terasa
berat (kaku kuduk).
e. Thorak
Tampak simetris, pengembangan dada kanan-kiri sama, tidak ada
dispneu, tidak ada nyeri dada
f. Abdomen
Tampak simetris, tidak ada pembesaran hepar, tidak ada nyeri tekan
ataupun benjolan, peristaltic usus 10x/menit.
g. Ekstremitas
Bagian atas dan bawah tampak normal/simetris. Terdapat ulkus pada
kaki.

121
2. Pemeriksaan Panca Indera
a. Penglihatan (mata)
Bentuk simetris, konjungtiva anemis, sclera tidak ikterik, penglihatan
kabur, tidak ada peradangan, tidak ada nyeri dan tidak ada benjolan,
reflek pupil baik tidak ada kelainan.
b. Pendengaran (telinga)
Bentuk simetris, bersih, tidak ada serumen, tidak ada gangguan
pendengaran.
c. Pengecapan (mulut)
Mulut tampak sedikit kotor, mukosa mulut tampak kering, tidak ada
peradangan, gigi tampak kuning, gigi tampak ompong sudah hilang
tiga, mengalami kesulitan saat mengunyah dan tidak ada kesulitan
menelan.
d. Integument (kulit)
Turgor kulit kering, gatal, terdapat ulkus dibagian kaki.
e. Penciuman (hidung)
Bentuk tampak simetris, tidakada luka, tidak ada peradangan,tidakada
septum pelasiosi, tidak ada secret pada hidung, tidak ada nyeri tekan,
penciuman masih tetap baik.

VII. Analisa Data


NO DATA PROBLEM ETIOLOGI

1. DS : Kerusakan integritas Nekrosis kerusakan


jaringan jaringan (nekrosis
 Ny.K mengatakan gatal
luka gangrene)
diseluruh tubuh, luka di
kakinya tak kunjung
sembuh.

DO :

 Turgor kulit tampak kering

122
 Terdapat ulkus pada kaki
2. DS : Ketidakstabilan Resistensi insulin
 Ny.K mengatakan makan 5x kadar glukosa darah
sehari 2 porsi dan sering
merasa lapar.
 Ny.K mengatakan berat
badannya turun dari 50 kg
hingga 39 kg.

DO :
 Klien tampak kurus
 BB : 39 kg
 TD: 110/70 mmHg
 N: 100x/menit
 RR: 20x/menit
 S: 36,5°C
3. DS : Retensi urine Inkomplit
 Ny.K mengatakan kelelahan pengosongan
karna kurang tidur akibat kandung kemih,
sering terbangun tengah sfingter kuat,
malam karena sering merasa poliuri.
ingin BAK.
DO :
 Peningkatan output urine 8-
10x/hari
 Klien tampak lemah.

VIII. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan nekrosis kerusakan
jaringan (nekrosis luka gangrene)
2. Kestabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan resistensi insulin
3. Retensi urine berhubungan dengan inkomplit pengosongan kandung kemih,
sfingter kuat, dan poliuri

123
IX. RENCANA KEPERAWATAN
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Keperawatan Intervensi

1. Kerusakan integritas Kriteria Hasil : NIC :


jaringan berhubungan
 Menunjukkan  Anjurkan klien untuk
dengan nekrosis
peningkatan integritas menggunakan pakaian yang
kerusakan jaringan
kulit longgar
(nekrosis luka gangrene)
 Menghindari cidera  Beri perawatan seperti
kulit penggunaan lotion atau
minyak baby oil pada daerah
yang tertekan
 Lakukan perawatan luka
dengan teknik aseptic.
 Anjurkan klien untuk
menjaga agar kuku tetap
pendek.
 Jaga kulit agar tetap bersih
dan lembab.

2. Ketidakstabilan kadar Kriteria Hasil : NIC :


glukosa darah  Kaji kemampuan klien untuk
 Adanya peningkatan
berhubungan dengan mendapatkan nutrisi yang
berat badan sesuai
resistensi insulin dibutuhkan
dengan tujuan
 Timbang berat badan sesuai
 Asupan nutrisi yang
indikasi
tepat
 Tentukan program diet
 Menunjukkan
diabetes, pola makan, dan
peningkatan fungsi
bandingkan dengan makanan
pengecapan dari
yang dapat dihabiskan klien.
menelan
 Beri makanan yang sudah

124
 Tidak terjadi dikonsultasikan dengan ahli
penurunan berat badan gizi
 Lakukan pemeriksaan gula
darah (finger stick)secara
rutin.
 Beri pengobatan insulin
secara teratur melalui IV

3. Retensi urine Kriteria Hasil : NIC


berhubungan dengan  Monitor intake dan output
 Kandung kemih kosong
poliuri  Pantau tanda – tanda vital,
secara penuh
catat adanya perubahan
 Bebas dari ISK
tekanan darah ortostatik.
 Balance cairan
 Pantau pola napas seperti
seimbang
adanya pernapasan Kussmaul
atau pernapasan yang berbau
keton.
 Pantau kelembapan kulit.

X. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI HARI KE-1


Diagnosa Waktu Implementasi Evaluasi
Keperawatan
Kerusakan Jumat, 22 1. Menganjurkan klien S :
integritas jaringan maret 2019 untuk menggunakan Ny.K mengatakan sudah
berhubungan pakaian yang longgar. memberi lotion jika
dengan nekrosis R/: Ny.K terlihat kulitnya terasa gatal, dan
kerusakan jaringan menggunakan pakaian menggunakan pakaian
(nekrosis luka longgar seperti daster. yang longgar.
gangrene) 2. Memberi perawatan O :
seperti penggunaan  Ny.K tampak
lotion atau minyak baby menggunakan pakaian
oil pada daerah yang yang longgar.
tertekan.  Kulit Ny.K tampak

125
R/: Ny.K sudah lembab.
mengoleskan lotion,
A:
kulit tampak lembab.
3. Melakukan perawatan Masalah teratasi sebagian.
luka dengan teknik P :
aseptic.
Lanjutkan intervensi
R/: luka di kaki Ny.K
tampak bersih.
4. Menganjurkan klien
untuk menjaga agar kuku
tetap pendek.
R/ : Ny.K sudah
memotong kukunya,
kuku terlihat pendek.
5. Menjaga kulit agar tetap
bersih dan kering
R/ : kulit Ny.K tampak
bersih dan lembab.

Ketidakstabilan Jumat, 22 S:
kadar glukosa maret 2019 Ny.K mengatakan mulai
1. Melakukan timbang
darah berhubungan mengikuti program diet
berat badan sesuai
dengan resistensi diabetes yang diberikan,
indikasi
insulin walaupun masih minta
R/: setelah ditimbang BB
keluarganya untuk
39 kg
dibawakan makanan manis
2. Menentukan program
O:
diet diabetes, pola
Ny.K tampak mematuhi
makan, dan bandingkan
program diet diabetes yang
dengan makanan yang
diberikan
dapat dihabiskan klien.
A:
R/: Ny.K mulai
Masalah teratasi sebagian
mengikuti program diet
P:
diabetes, walaupun

126
terkadang masih ingin Lanjutkan intervensi
makan makanan yang
manis.
3. Memberi makanan yang
sudah dikonsultasikan
dengan ahli gizi
R/: makanan yang
diberikan Ny.K yaitu
makanan yang
mengandung banyak
serat seperti sayuran dan
sereal.
4. Melakukan pemeriksaan
gula darah (finger stick)
secara rutin.
R/: GDS 350mg/dl
masih lebih dari normal.
5. Memberi pengobatan
insulin secara teratur
melalui IV
R/ : pemberian insulin
sesuai kadar gula darah
Ny.K (20 unit melalui
IV)
Retensi urine Jumat, 22 1. Monitor intake dan S :
berhubungan maret 2019 output Ny.K mengatakan masih
dengan poliuri 2. Memantau tanda – tanda sering merasa ingin BAK.
vital, catat adanya O :
perubahan tekanan darah TD : 140/80 mmHg
ortostatik. S : 36°C
R/ :
N: 100x/menit
TD : 140/80 mmHg
S : 36°C RR: 20x/menit

127
N: 100x/menit A:

RR: 20x/menit Masalah teratasi sebagian

3. Memantau pola napas P :


seperti adanya
Lanjutkan intervensi
pernapasan Kussmaul
atau pernapasan yang
berbau keton.
R/ :
4. Memantau kelembapan
kulit.
R/ : Ny.K menjaga
kelembaban kulit.
5. Pertahankan pemberian
cairan minimal
2500ml/hari
R/: cairan infus RL
500cc/20 tpm

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI HARI KE-2


Diagnosa Waktu Implementasi Evaluasi
Keperawatan
Kerusakan Sabtu, 23 1. Menganjurkan klien S :
integritas jaringan maret 2019 untuk menggunakan Ny.K mengatakan sudah
berhubungan pakaian yang longgar memberi lotion jika
dengan nekrosis R/: Ny.K terlihat kulitnya terasa gatal, dan
kerusakan jaringan menggunakan pakaian menggunakan pakaian
(nekrosis luka longgar seperti daster. yang longgar.
gangrene) 2. Memberi perawatan O :
seperti penggunaan  Ny.K tampak
lotion atau minyak baby menggunakan pakaian

128
oil pada daerah yang yang longgar.
tertekan  Kulit Ny.K tampak
R/: Ny.K sudah lembab.
mengoleskan lotion,
A:
kulit tampak lembab.
3. Melakukan perawatan Masalah teratasi sebagian.
luka dengan teknik P :
aseptic.
Lanjutkan intervensi
R/: luka di kaki Ny.K
tampak bersih.  Anjurkan klien untuk
4. Menganjurkan klien memotong kuku nya
untuk menjaga agar kuku agar tetap pendek
tetap pendek.  Beri perawatan luka
R/ : Ny.K menjaga agar dengan teknik aseptic.
kuku tetap pendek.
5. Menjaga kulit agar tetap
bersih dan lembab
R/ : kulit Ny.K tampak
bersih dan lembab.
Ketidakstabilan Sabtu, 23 1. Melakukan timbang S :
kadar glukosa maret 2019 berat badan sesuai Ny.K mengatakan sudah
darah berhubungan indikasi kapok mengkonsumsi
dengan resistensi R/: BB : 39 kg makanan manis. Dan
insulin 2. Menentukan program hanya ingin mengikuti diet
diet diabetes, pola diabetes agar cepat
makan, dan bandingkan sembuh.
dengan makanan yang O :
dapat dihabiskan klien.  Ny.K tampak
R/: Ny.K mulai merasa mematuhi program diet
kapok mengkonsumsi diabetes
makanan manis, dan  Setelah diperiksa, gula
mulai mengikuti darah Ny.K 330mg/dL
program diet diabetes A :

129
sepenuhnya. Masalah teratasi sebagian
3. Memberi makanan yang P :
sudah dikonsultasikan Lanjutkan intervensi
dengan ahli gizi
R/: Ny.K makan
makanan yang
mengandung TKTP.
4. Melakukan pemeriksaan
gula darah (finger
stick)secara rutin.
R/ : GDS 330mg/dl
5. Memberi pengobatan
insulin secara teratur
melalui IV
R/ :
pemberian insulin sesuai
kadar gula darah Ny.K
(20 unit melalui IV)
Retensi urine Sabtu, 23 1. Monitor intake dan S :
berhubungan maret 2019 output Ny.K mengatakan masih
dengan poliuri 2. Memantau tanda – tanda sering terbangun dimalam
vital, catat adanya hari karna ingin BAK
perubahan tekanan darah O :
ortostatik. Ny.K tampak kelelahan
R/ : karna kurang tidur.
TD : 140/80 mmHg TD : 140/80 mmHg
S : 36°C S : 36°C

N: 100x/menit N: 100x/menit

RR: 20x/menit RR: 20x/menit

3. Memantau pola napas A :


seperti adanya Masalah teratasi sebagian
pernapasan Kussmaul P :

130
atau pernapasan yang Lanjutkan intervensi.
berbau keton.
4. Memantau kelembapan
kulit.
R/ : Ny.K menjaga
kelembaban kulit.
5. Pertahankan pemberian
cairan minimal
2500ml/hari

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI HARI KE-3

Diagnosa Waktu Implementasi Evaluasi


Keperawatan
Kerusakan Sabtu, 23 1. Menganjurkan klien S :
integritas jaringan maret 2019 untuk menggunakan
Ny.Kmengatakan rasa
berhubungan pakaian yang longgar
gatalnya berkurang
dengan nekrosis R/: Ny.K terlihat selalu
kerusakan jaringan menggunakan pakaian
(nekrosis luka longgar seperti daster. O:
gangrene) 2. Memberi perawatan
 Ny.K tampak memakai
seperti penggunaan
lotion pada kulitnya
lotion atau minyak baby
 Kuku Ny.K tampak
oil pada daerah yang
pendek.
tertekan
R/: Ny.K mengoleskan
lotion dengan rutin, kulit
A:
tampak lembab.
3. Melakukan perawatan Masalah teratasi sebagian

luka dengan teknik


aseptic.
P:
R/: luka di kaki Ny.K
tampak bersih. Lanjutkan intervensi.

131
4. Menganjurkan klien
untuk menjaga agar kuku
tetap pendek.
R/ : Ny.K
mempertahankan kuku
nya yang pendek.
5. Menjaga kulit agar tetap
bersih dan lembab
R/ : kulit Ny.K tampak
bersih dan lembab.

Ketidakstabilan Sabtu, 23 1. Melakukan timbang S :


kadar glukosa maret 2019 berat badan sesuai Ny.K mengatakan sudah
darah berhubungan indikasi kapok mengkonsumsi
dengan resistensi R/: BB : 39 kg makanan manis. Dan
insulin 2. Menentukan program hanya ingin mengikuti diet
diet diabetes, pola diabetes agar cepat
makan, dan bandingkan sembuh.
dengan makanan yang O :
dapat dihabiskan klien.  Ny.K tampak
R/: Ny.K patuh mematuhi program diet
mengkonsumsi makanan diabetes
manis, dan program diet  Setelah diperiksa, gula
diabetes sepenuhnya. darah Ny.K 310mg/dL
3. Memberi makanan yang A :
sudah dikonsultasikan Masalah teratasi sebagian
dengan ahli gizi P:
R/: Ny.K makan Lanjutkan intervensi.
makanan yang
mengandung TKTP.
4. Melakukan pemeriksaan
gula darah (finger
stick)secara rutin.
R/: GDS : 300mg/dl

132
6. Memberi pengobatan
insulin secara teratur
melalui IV
R/ : pemberian insulin
sesuai kadar gula darah
Ny.K (20 unit melalui
IV)
Retensi urine Sabtu, 23 1. Memantau tanda – tanda S :
berhubungan maret 2019 vital, catat adanya Ny.K mengatakansemalam
dengan poliuri perubahan tekanan darah terbangun untuk BAK
ortostatik. hanya 3x.
R/: TD : 140/80 mmHg
S : 36°C O:
Ny.K tampak kurang tidur.
N: 100x/menit
TD : 140/80 mmHg
RR: 22x/menit S : 36°C
2. Memantau pola napas N: 100x/menit
seperti adanya
RR: 20x/menit
pernapasan Kussmaul
atau pernapasan yang
berbau keton.
A:
3. Memantau kelembapan
Masalah teratasi sebagian
kulit.
P:
4. Pertahankan pemberian
Lanjutkan intervensi.
cairan minimal
2500ml/hari

133
G.ASKEP GANGGUAN SISTEM SENSORIK (GLAUKOMA ) PADA LANSIA

A. Gangguan Pada Sistem Sensorik


Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam keidupan
manusia. Dalam masa tua tersebut terjadi proses penuaan atau aging yang merupakan
suatu proses dinamis sebagai akibat dari perubahan – perubahan sel, fisiologis, dan
psikologis. Pada masa ini, manusia akan berpotensi mempunyai masalah – masalah
kesehatan secara umum. Salah satu masalah kesehatan yang terjadi pada masa tua atau
lansia adalah terganggunya sensori yang meliputi organ penglihatan pada lansia.
Mata merupakan bagian yang vital dalam kehidupan untuk pemenuhan hidup
sehari-hari, terkadang perubahan yang terjadi pada mata dapat menurunkan kemampuan
beraktifitas. Para lansia yang memiliki masalah mata menyebabkan orang tersebut
mengalami isolasi sosial dan penurunan perawatan diri sendiri.
Beberapa gangguan sensori penglihatan yang sering terjadi pada lansia adalah
sebagai berikut:
1. Penurunan kemampuan penglihatan
Perubahan ini dapat mengakibatkan berbagai masalah pada usia lanjut seperti : mata
kabur, hubungan aktifitas sosial, dan penampilan ADL. Beberapa orang tidak
mengalami atau jarang mengalami penurunan penglihatan seiring dengan
bertambahnya usia.
Faktor Penyebab: kornea, lensa, iris, aquos humor, dan vitrous humor akan
mengalami perubahan seiring bertambahnya usia. Karena bagian utama yang
mengalami perubahan atau penurunan sensitifitas, hal tersebut menyebabkan fungsi
kerja pada mata juga mengalami penurunan. Akibatnya lansia mengalami penurunan
kemampuan penglihatan. Bertambahnya usia, juga mempengaruhi fungsi organ pada
mata seseorang yang berusia 60 tahun. Fungsi kerja pupil akan cenderung
mengalami penurunan 2/3 dari fungsi kerja pupil pada umumnya. Penurunan
tersebut meliputi ukuran pupil dan kemampuan melihat jarak jauh.

2. Gangguan pemusatan penglihatan


Tanda dan gejala gangguan pemusatan penglihatan meliputi : penglihatan samar-
samar dan kadang-kadang menyebabkan pencitraan yang salah. Benda yang dilihat
tidak sesuai dengan kenyataan, saat melihat benda ukuran kecil maka akan terlihat
lebih kecil dan garis lurus akan terlihat bengkok atau bahkan tidak teratur. Pada
134
dasarnya orang yang mengalami gangguan pemusatan penglihatan, peningkatan
sensifitas terhadap cahaya yang menyilaukan, cahaya redup dan warna yang tidak
mencolok. Dalam kondisi yang parah dia akan kehilangan penglihatan secara total.
Pelaksanaan dalam keperawatan adalah dengan membantu aktifitas sehari-harinya,
membantu perawatan diri dan memberikan pendidikan tentang gangguan pemusatan
penglihatan.
Faktor Penyebab : Adanya kerusakan pada organ mata yang bernama makula.
Kejadian ini sering juga disebut sebagai ARMD yaitu age related macular
degeneration. ARMD cenderung terjadi pada usia 50 – 65 tahun. Makula sendiri
berfungsi untuk ketajaman penglihatan dan warna.
3. Glaukoma
Glaukoma dapat terjadi pada semua usia tapi resiko tinggi pada lansia usia 60 tahun
ke atas, kerusakan akibat glaukoma sering tidak bisa diobati namun dengan medikasi
dan pembedahan mampu mengurangi kerusakan pada mata akibat glaukoma.
Faktor Penyebab:
a. Adanya peningkatan tekanan intra okuler (IOP) yang diakibatkan oleh adanya
hambatan sirkulasi atau pengaliran cairan bola mata (cairan jernih berisi O2,
gula, dan nutrisi).
b. Kurangnya aliran darah ke daerah vital jaringan nervous optikus
c. Adanya kelemahan struktur dari syaraf

B. Definisi Glaukoma
Glaukoma berasal dari kata Yunani “glaukos” yang berarti hijau kebiruan, yang
memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma adalah
suatu keadaan tekanan intraokuler/tekanan dalam bola mata relatif cukup besar untuk
menyebabkan kerusakan pupil saraf optik dan menyebabkan kelainan lapang pandang
(Ilyas S, 2008 dalam Jafar, 2017).
Kelainan mata glaukoma ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata, atrofi
saraf optikus, dan menciutnya lapang pandang. Glaukoma adalah suatu penyakit dimana
tekanan di dalam bola mata meningkat, sehingga terjadi kerusakan pada saraf optikus
dan menyebabkan penurunan fungsi penglihatan (Mayenru Dwindra, 2009).
Glaukoma adalah suatu keadaan dimana tekanan bola mata tidak normal atau lebih
tinggi dari pada normal yang mengakibatkan kerusakan saraf penglihatan dan kebutaan
(Sidarta Ilyas, 2004).
135
Glaukoma adalah salah satu jenis penyakit mata dengan gejala yang tidak
langsung, yang secara bertahap menyebabkan penglihatan pandangan mata semakin lama
akan semakin berkurang sehingga akhirnya mata akan menjadi buta. Hal ini disebabkan
karena saluran cairan yang keluar dari bola mata terhambat sehingga bola mata akan
membesar dan saraf mata yang berada dibelakang bola mata akan tertekan, akhirnya
saraf tidak mendapatkan aliran darah sehingga saraf mata akan mati.
Peningkatan tekanan intraokuler menyebabkan glaukoma. Glaukoma merupakan
salah satu penyebab kebutaan paling umum. Tekanan intraokuler normal kurang lebih
15mmHg, dengan rentangan 12 – 20mmHg (Guyton, 1991). Glaukoma muncul ketika
tekanan intraokuler mencapai tingkat patologi yaitu 60 – 70mmHg. Tingkat tekanan
sebesar 20 – 30mmHg dalam waktu yang lama bisa mengakibatkan hilangnya
penglihatan. Pada glaukoma akut, tekanan yang ekstrem bisa mengakibatkan kebutaan
dalam beberapa jam.

C. Fisilogi Aqueous Humor


Aqueous humor adalah zat cair yang ditemukan diruang mata hampir dengan
semua makhluk dengan kemampuan penglihatan. Sebagian besar terbuat dari air, bahan
ini memberikan nutrisi penting untuk mata, serta melayani tujuan fungsional dalam
menjaga kesimbangan tekanan yang benar didalam ruang mata.
Dengan mengisi kedua anterior dan segmen posterior depan mata, tidak hanya
memastikan bahwa mata memiliki cukup nutrisi untuk berkerja dengan baik, itu benar
benar memaksa mata untuk mempertahankan bentuknya.
Konsep humor telah ada didalam penelitian medis selama lebih dari 2000 tahun,
ketika dokter jaman dulu percaya bahwa kesehatan tubuh tergantung pada prilaku
empedu, darah, dan dahak atau air. Zat-zat ini, semua berbentuk cairan,kemudian dikenal
sebagai humor. Meskipun sebagian besar teori tentang pentingnya humor telah
dibantahkan oleh kedokteran modern, aqueous humor mempertahakan namanya.

Untuk membuat aqueous humor, jaringan silia sekitar mata mengeluarkan cairan
sebagian besar berbasis air, yang kemudian diangkut antara lensa dan iris mata. Setelah
melewati pupil, cairan kemudian mengalir keluar dari mata melalui lapisan kecil jaringan
yang disebut anyaman trabekular, sebelum diserap kedalam aliran darah. Saat melewati
mata, zat ini memelihara lensa dan kornea dengan glukosa dan zat penting lainnya.

136
Gerakan terus-menerus cairan melalui bagian depan mata mempertahankan tekanan yang
diperlukan untuk mata untuk mempertahankan bentuknya.
Fungsi penting dari aqueous humor adalah menjaga tekanan intraokuler dan
memompa bola mata, menyediakan nutrisi (seperti asam amino, glukosa) untuk selaput
pembuluh darah seperti kornea, jaringan trabekular, lensa mata serta jaringan vitreous,
menyalurkan vitamin C sebagai antioksidan, sebagai antibodi melawan pathogen,
sebagai pompa bagi kornea untuk mengembang untuk meningkatkan perlindungan dari
debu, udara, serbuk dan beberapa pathogen, sebagai komponen yang memfokuskan
cahaya karena memiliki indeks bias.

D. Klasifikasi Glaukoma
1. Glaukoma Primer
Glaukoma yang tidak diketahui penyebabnya. Glaukoma primer biasanya
ditemukan pada pasien berusia diatas 60 tahun. Pada galukoma akut yaitu timbul
pada mata yang memiliki bakat bawaan berupa sudut bilik depan yang sempit pada
kedua mata. Pada glukoma kronik yaitu karena keturunan dalam keluarga, DM,
Arteriosklerosis, pemakaian kartikosteroid jangka panjang, miopia tinggi dan
progresif dan lain-lain dan berdasarkan anatomis dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Glaukoma sudut terbuka / simplek (kronis).
Glaukoma sudut terbuka adalah glaukoma yang paling sering pada ras kulit
hitam dan putih. Glaukoma sudut terbuka terjadi akibat adanya proses degeneratif
anyaman trabekular, termasuk pengendapan materi ekstrasel di dalam anyaman
dan di bawah lapisan endotel kanal Schlemm. Hal ini berbeda dengan proses
penuaan normal sehingga berakibat dengan penurunan drainase aqueous humor
yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokular (Salmon, 2008).
Patogenesis dari glaukoma sudut terbuka belum begitu diketahui tetapi ada
beberapa teori yang menjelaskan proses terjadinya glaukoma sudut terbuka.
Pertama, faktor risiko seperti genetik, umur, ras, miopi, diabetes, merokok,
hipertensi dan hipertiroid dapat memicu terjadinya glaukoma sudut terbuka.
Kedua, terjadinya peningkatan tekanan intraokular akibat berkurangnya aliran
keluar aqueous karena meningkatnya resistensi aliran keluar aqueous yang
disebabkan oleh penebalan terkait usia dan sklerosis dari trabekula dan tidak
adanya vakuola raksasa di sel-sel pada kanal Schlemm (Khurana, 2007).

137
Ada juga teori mengatakan bahwa glaukoma sudut terbuka ini terjadi karena
terjadinya iskemia pada mikrovaskular diskus optikus (Kanksi, 2007). Kelainan
kromosom 1 oleh mutasi gen myocilin juga menjadi faktor predisposisi terjadinya
glaukoma sudut terbuka (Kwon, et al., 2009).
b. Glaukoma sudut tertutup/sudut semut (akut)
Glaukoma sudut tertutup (sudut sempit), disebut sudut tertutup karena ruang
anterior secara otomatis menyempit sehingga iris terdorong ke depan, menempel
ke jaringan trabekuler dan menghambat humor aqueos mengalir ke saluran
schlemm. Pargerakan iris ke depan dapat karena peningkatan tekanan vitreus,
penambahan cairan diruang posterior atau lensa yang mengeras karena usia tua.
Gejalah yang timbul dari penutupan yang tiba-tiba dan meningkatnya TIO, dapat
nyeri mata yang berat, penglihatan kabur. Penempelan iris memyebabkan dilatasi
pupil, tidak segera ditangni akan terjadi kebutaan dan nyeri yang hebat.
2. Glaukoma sekunder
Adalah glaukoma yang diakibatkan oleh penyakit mata lain atau trauma didalam
bola mata, yang menyebabkan penyempitan sudut /peningkatan volume cairan dari
dalam mata . Misalnya glaukoma sekunder oleh karena hifema, laksasi / sub laksasi
lensa, katarak instrumen, oklusio pupil, pasca bedah intra okuler.
3. Glaukoma kongenital
Glaukoma yang ditemukan sejak dilahirkan, dan biasanya disebabkan oleh
sistem saluran pembuangan di dalam mata tidak berfungsi dengan baik sehingga
menyebabkan pembesaran bola mata yang disebut sebagai buftalmons (Ilyas S,
2003).
Gejala-gejala glaukoma kongenital biasanya sudah dapat terlihat pada bulan
pertama atau sebelum berumur 1 tahun. Kelainan pada glaukoma kongenital terdapat
pada kedua mata. Rasa silau dan sakit akan terlihat pada bayi yang menderita
glaukoma kongenital, hal ini terlihat pada suatu sikap seakan-akan ingin
menghindari sinar sehingga bayi tersebut akan selalu menyembunyikan kepala dan
matanya (Ilyas, S, 2000).

4. Glaukoma absolut
Merupakan stadium akhir glaukoma (sempit/terbuka) dimana sudah terjadi kebutaan
total akibat tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut. Pada glaukoma
absolut kornea terlihat keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan eksvasi
138
glaukomatosa, mata keras seperti batu dan dengan rasa sakit. Sering mata dengan
buta ini mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah sehingga menimbulkan
penyulit berupa neovaskulisasi pada iris, keadaan ini memberikan rasa sakit sekali
akibat timbulnya glaukoma hemoragik
Pengobatan glaukoma absolut dapat dengan memberikan sinar beta pada badan
siliar, alkohol retrobulber atau melakukan pengangkatan bola mata karena mata telah
tidak berfungsi dan memberikan rasa sakit.

E. Etiologi Glaukoma
Penyebabnya tergantung dari klasifikasi glaukoma itu sendiri tetapi pada umumnya
disebabkan karena aliran aqueous humor terhambat yang bisa meningkatkan tekanan
intra okuler. Faktor-faktor resiko dari glaukoma adalah:
1. Faktor Umur
Faktor bertambahnya umur mempunyai peluang lebih besar untuk menderita
glaukoma primer. Salah satu penelitian menyatakan bahwa frekuensi pada umur
sekitar 40 tahun adalah 0.4%–0.7% jumlah penduduk, sedangkan pada umur sekitar
70 tahun frekuensinya meningkat menjadi 2%–3% dari jumlah penduduk (Vaughan,
et al, 1995). Framingham Study dalam laporannya tahun 1994 me- nyatakan bahwa
populasi glaukoma adalah sekitar 0.7% penduduk yang berumur 52–64 tahun, dan
meningkat menjadi 1.6% penduduk yang berumur 65–74 tahun, serta 4.2% pada
penduduk yang berusia 75–85 tahun. 11 Keadaan tersebut didukung juga oleh
pernyataan yang dikeluarkan oleh Ferndale Glaucoma Study di tahun yang sama.
2. Tekanan Bola Mata yang Meningkat
Secara umum dinyatakan bahwa tekanan bola mata yang lebih tinggi akan lebih
memungkinkan terhadap peningkatan progresifitas kerusakan diskus optikus,
walaupun hubungan antara tingginya tekanan bola mata dan besarnya kerusakan,
sampai saat ini masih diperdebatkan. Beberapa kasus menunjukkan, bahwa adanya
tekanan bola mata yang berada di atas normal akan diikuti dengan kerusakan diskus
optikus dan gangguan lapang pandangan dalam beberapa tahun. Sebaliknya, terjadi
juga pada banyak kasus, bahwa selama pemeriksaan tekanan bola mata tidak pernah
di atas normal, namun terjadi kerusakan pada papil dan lapang pandang yang
merupakan khas dari glaukoma (Boyd, 2002). Sejumlah faktor yang dapat
berhubungan dengan timbulnya glaukoma sudut terbuka primer adalah tekanan bola
mata. Hal ini disebabkan karena tekanan bola mata merupakan salah satu faktor
139
yang paling mudah dan paling penting untuk meramalkan timbul- nya glaukoma di
masa mendatang (Vaughan, 1995).
3. Faktor Riwayat dalam Keluarga
Glaukoma primer merupakan suatu kelainan yang diturunkan secara genetik,
mungkin bersifat multifaktor dan poligenik. Adanya penderita glaukoma dalam
keluarga meningkatkan risiko glaukoma. Salah satu penelitian mengatakan
menunjukkan risiko ratio sebesar 2,1 pada orang yang memiliki keluarga 12
penderita glaukoma dibandingkan yang tidak memiliki keluarga penderita glaukoma
(Le et al,2003).
4. Faktor Ras
Beberapa ras etnik diketahui memiliki prevalensi glaukoma yang lebih tinggi, yaitu
di Asia khusunya etnik China untuk glaukoma sudut tertutup dan ras Afrika untuk
glaukoma sudut terbuka (Coleman et al 2009; Quigley&Broman 2006). Pada
glaukoma sudut tertutup primer hal ini dikaitkan dengan faktor hereditar yang
mempengaruhi konfigurasi bilik mata depan yaitu bilik mata depan yang dangkal,
sudut mata yang sempit dan iris plateu (Stamper et al 2009). Pada glaukoma primer
sudut terbuka prevalensi pada ras kulit hitam lebih tinggi. Hal ini dikaitkan dengan
iskemia akibat sickle cell anemia, respon terhadap pengobatan yang lebih buruk,
akses terhadap pengobatan yang lebih buruk, level tekanan intraokular yang lebih
tinggi, dan cup disc ratio yang lebih besar dibandingkan ras kulit putih (Wilensky,
1994).
5. Faktor Jenis Kelamin
Sebagian besar studi pada glaukoma primer sudut terbuka tidak mendapat perbedaan
risiko berdasarkan jenis kelamin. Sedangkan glaukoma sudut tertutup pada beberapa
penelitian menunjukkan prevalensi yang lebih banyak pada perempuan. Hal ini
kemungkinan akibat sudut bilik mata depan perempuan lebih dangkal yaitu
volumenya 10% lebih kecil dibandingkan pada laki-laki (Stamper et al 2009).

6. Faktor Penyakit Sistemik


Insiden dari glaukoma sudut terbuka primer seringkali dihubungkan dengan penyakit
sistemik, yaitu Diabetes Mellitus dan Hipertensi arterial. Penderita diabetes mellitus
beresiko 2 kali terkena glaukoma. Sebesar 50% dari penderita diabetes mengalami
140
penyakit mata dengan risiko kebutaan 25 kali lebih besar (Ilyas, 2001). Penderita
hipertensi pun beresiko lebih tinggi terserang glaukoma daripada yang tidak
mengidap penyakit hipertensi. Penderita hipertensi, beresiko 6 kali lebih sering
terkena glaukoma (Perdami, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Christina
Magdalena (2006), menemukan bahwa penderita yang telah menderita hipertensi ≥ 5
tahun berisiko mengalami glaukoma sebesar 4 kali lebih besar (Magdalena, 2006).

F. Manifestasi Klinis
Pasien dengan glaukoma primer sudut terbuka (glaukoma kronik sudut terbuka)
dapat tidak memberikan gejala sampai kerusakan penglihatan yang berat terjadi,
sehingga dikatakan sebagai pencuri penglihatan. Berbeda pada 16 glaukoma akut sudut
tertutup, peningkatan tekanan TIO berjalan cepat dan memberikan gejala mata merah,
nyeri dan gangguan penglihatan (Khaw T, 2005).
1. Peningkatan TIO
Normal TIO berkisar 10-21 mmHg (rata-rata 16 mmHg). Tingginya TIO
menyebabkan kerusakan saraf optik tergantung beberapa faktor, meliputi tingginya
TIO dan apakah glaukoma dalam tahap awal atau lanjut. Secara umum, TIO dalam
rentang 20-30 mmHg biasanya menyebabkan kerusakan dalam tahunan. TIO yang
tinggi 40-50 mmHg dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang cepat dan
mencetuskan oklusi pembuluh darah retina (Khaw T, 2005).
2. Halo (mata silau) sekitar cahaya dan kornea yang keruh
Kornea akan tetap jernih dengan terus berlangsungnya pergantian cairan oleh sel-sel
endotel. Jika tekanan meningkat dengan cepat (glaukoma akut sudut tertutup),
kornea menjadi penuh air, menimbulkan halo di sekitar cahaya (Khaw T, 2005).
3. Nyeri
Nyeri pada mata dan sekitarnya (orbita, kepala, gigi dan telinga)
4. Penyempitan Lapang Pandang
Tekanan yang tinggi pada serabut saraf dan iskemia kronis pada saraf optik
menimbulkan kerusakan dari serabut saraf retina yang biasanya menghasilkan
kehilangan lapang pandang (skotoma). Pada glaukoma stadium akhir kehilangan
lapang penglihatan terjadi sangat berat (tunnel vision), meski visus pasien masih 6/6
(Khaw T, 2005).
5. Perubahan pada Diskus Optik

141
Kenaikan TIO berakibat kerusakan optik berupa penggaungan dan degenerasi papil
saraf optic (Khaw T, 2005).
6. Okulasi Vena
Sumbatan pada arteri sentralis retina
7. Pembesaran Mata
Pada dewasa pembesaran yang signifikan tidak begitu tampak. Pada anak- anak
dapat terjadi pembesaran dari mata (buftalmus) (Khaw T, 2005).

G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut
(Harnawartiaj, 2008) :
1. Oftalmoskopi : Untuk melihat fundus bagian mata dalam yaitu retina, discus optikus
macula dan pembuluh darah retina.
2. Tonometri : Adalah alat untuk mengukur tekanan intraokuler, nilai mencurigakan
apabila berkisar antara 21-25 mmhg dan dianggap patologi bila melebihi 25 mmhg.
Tonometri dibedakan menjadi dua antara lain (Sidharta Ilyas, 2004) :
a. Tonometri Schiotz
Pemakaian Tonometri Schiotz untuk mengukur tekanan bola mata dengan cara
sebagai berikut :
1) Penderita di minta telentang
2) Mata di teteskan tetrakain
3) Ditunggu sampai penderita tidak merasa pedas
4) Kelopak mata penderita di buka dengan telunjuk dan ibu jari (jangan
menekan bola mata penderita)
5) Telapak tonometer akan menunjukkan angka pada skala tonometer
b. Tonometri Aplanasi
Dengan tonometer aplanasi diabaikan tekanan bola mata yang dipengaruhi
kekakuan sklera (selaput putih mata). Teknik melakukan tonometri aplanasi
adalah
1) Diberi anestesi lokal tetrakain pada mata yang akan diperiksa
2) Kertas fluorosein diletakkan pada selaput lendir
3) Di dekatkan alat tonometer pada selaput bening maka tekanan dinaikkan
sehingga ingkaran tersebut mendekat sehingga bagian dalam terimpit

142
4) Dibaca tekanan pada tombol putaran tonometer aplanasi yang memberi
gambaran setengah lingkaran berimpit. Tekanan tersebut merupakan tekanan
bola mata.
5) Dengan tonometer aplanasi bila tekanan bola mata lebih dari 20 mmHg
dianggap sudah menderita glaukoma.
c. Pemeriksaan lampu-slit.
Lampu-slit digunakan unutk mengevaluasi oftalmik yaitu memperbesar kornea,
sclera dan kornea inferior sehingga memberikan pandangan oblik kedalam
tuberkulum dengan lensa khusus.
d. Perimetri
Kerusakan nervus optikus memberikan gangguan lapang pandangan yang khas pada
glaukoma. Secara sederhana, lapang pandangan dapat diperiksa dengan tes
konfrontasi.
e. Pemeriksaan Ultrasonografi..
Ultrasonografi dalai gelombang suara yang dapat digunakan untuk mengukur
dimensi dan struktur okuler. Ada dua tipe ultrasonografi yaitu :
1) A-Scan-Ultrasan.
Berguna untuk membedakan tumor maligna dan benigna, mengukur mata untuk
pemasangan implant lensa okuler dan memantau adanya glaucoma congenital.
2) B-Scan-Ultrasan.
Berguana unutk mendeteksi dan mencari bagian struktur dalam mata yang
kurang jelas akibat adanya katarak dan abnormalitas lain.

H. Penatalaksanaan
Glaukoma bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, glaukoma dapat dicegah
untuk menghambat kerusakan lanjut dari lapang pandangan dan rusaknya saraf penglihat.
Tujuan penatalaksanaan adalah menurunkan TIO ketingkat yang konsisten dengan
mempertahankan penglihatan, penatalaksanaan berbeda-beda tergantung klasifikasi
penyakit dan respons terhadap terapi (Harnawartiaj, 2008)

1. Terapi Medikamentosa
a. Supresi Pembentukan Humor Aqueous
1) Golongan β-adrenergik Bloker

143
Obat golongan ini dapat digunakan sebagai monoterapi atau dengan
kombinasi dengan obat yang lain. Contoh obat golongan β- adrenergic bloker
misalnya timolol maleat 0,25% dan 0.5%, betaxolol 0,25% dan 0,5%,
levobunolol dan lain-lain. Farmakodinamik golongan β-adrenergic bloker
dengan cara menekan pembentukan humor aquos sehingga tekanan
intraokuler dapat turun.
Sedangkan farmakokinetiknya sebagian besar diserap dengan baik oleh
usus secara peroral sehingga bioavaibilitas rendah , dan memiliki kadar
puncak dalam plasma mencapai 1 sampa 3 jam. Kebanyakan golongan β-
adrenergic bloker memiliki waktu paruh antara 3 sampai 10 jam.
Waktu ekskresi yang dibutuhkan ginjal untuk mengeluarkan obat
golongan ini dapat diperpanjang apabila terdapat hambatan aliran darah yang
menuju ke hati atau hambatan enzim hati. Penggunaan obat golongan ini
dalam jangka lama dapat mengakibatkan kontraindikasi berupa obstruksi
jalan napas kronik. Indikasi pemakaian diberikan pada pasien glaukoma
sudut terbuka sebagai terapi inisial baik secara tunggal atau kombinasi terapi
dengan miotik (Niel, 2006).
2) Golongan α2-adrenergik Agonis
Golongan α2-adrenergik agonis obat ini dibagi menjadi 2 yaitu selektif
dan tidak selektif. Golongan α2-adrenergic agonis yang selektif misalnya
apraklonidin memiliki efek menurunkan produksi humor aquos,
meningkatkan aliran keluar humor aquos melalui trabekula meshwork
dengan menurunkan tekanan vena episklera dan dapat juga meningkatkan
aliran keluar uveosklera.
Indikasi penggunaan apraklonidin untuk mengontrol peningkatan akut
tekanan intraokuler pasca tindakan laser. Sedangkan kontraindikasi
pemakaian obat ini apabila pasien dengan mono amin oksidase (MAO) dan
trisiklik depresan karena mempengaruhi metabolisme dan uptake
katekolamin (Blanco AA,2002).

3) Penghambat Karbonat Anhidrase


a) Asetasolamid Oral
Asetasolamid oral merupakan obat yang sering di gunakan karena
dapat menekan pembentukan humor aqeuos sebanyak 40-60%. Bekerja
144
efektif dalam menurunkan tekanan intraokuler apabila konsentrasi obat
bebas dalam plasma ±2,5 µM. Apabila diberikan secara oral, konsentrasi
puncak pada plasma dapat diperoleh dalam 2 jam setelah pemberian
dapat bertahan selama 4-6 jam dan menurun dengan cepat karena
ekskresi pada urin.
Indikasi asetasolamid terutama untuk menurunkan tekanan
intraokuler, mencegah prolaps korpus vitreum, dan menurunkan tekanan
introkuler pada pseudo tumor serebri (Niel, 2006).
b) Penghambat Karbonat Anhidrase Topikal
Penghambat karbonat anhidrase topikal bersifat larut lemak
sehingga bila digunakan secara topikal daya penetrasi ke kornea relatif
rendah. Pemberian dorsolamid topikal akan terjadi penetrasi melalui
kornea dan sklera ke epitel tak berpigmen prosesus siliaris sehingga
dapat menurunkan produksi humor aqueus dan HCO3- dengan cara
menekan enzim karbonik anhidrase II Penghambat karbonik anhidrase
topikal seperti dorsolamid bekerja efektif menurunkan tekanan
intraokuler karena konsentrasi di prosesus siliaris mencapai 2-10µM.
Penghambat karbonat anhidrase topikal (dorsolamid) dapat
menurunkan tekanan intraokuler sebesar 15-20% (Blanco AA,2002).
Indikasi pemberian untuk mengontrol glaukoma baik jangka pendek
maupun jangka panjang, sebagai obat tunggal atau kombinasi. Indikasi
lain untuk mencegah kenaikan tekanan intraokuler pasca bedah
intraokuler (Niel, 2006).
b. Fasilitasi Aliran Keluar Humor Aqueus
1) Parasimpatomimetik
Golongan obat parasimpatomimetik dapat menimbulkan efek miosis
pada mata dan bersifat sekresi pada mata, sehingga menimbulkan kontraksi
muskulus ciliaris supaya iris membuka dan aliran humor aquos dapat keluar
(Khaw T, 2005).

2) Analog prostaglandin
Analog prostaglandin merupakan obat lini pertama yang efektif
digunakan pada terapi glaukoma misalnya, latanopros. Latanopros
merupakan obat baru yang paling efektif katena dapat ditoleransi dengan baik
145
dan tidak menimbulkan efek samping sistemik Cara kerja obat ini dengan
meningkatkan aliran keluarnya humor aqueus melalui uveosklera.
Obat ini diindikasikan pada glaukoma sudut terbuka, hipertensi okuler
yang tidak toleran dengan antiglaukoma lain. kontrandikasi pada pasien yang
sensitif dengan latanopros (Blanco AA,2002).
c. Penurunan Volume Vitreus
Obat yang digunakan dalam menurunkan volume vitreus dapat menggunakan
obat hiperosmotik dengan cara mengubah darah menjadi hipertonik sehingga air
tertarik keluar dari vitreus dan menyebabkan pengecilan vitreus sehingga terjadi
penurunan produksi humor aquos. Penurunan volume vitreus bermanfaat dalam
pengobatan glaukoma sudut tertutup akut dan maligna (Niel, 2006).
2. Tindakan Operatif
a. Laser iridektomi
Iridektomi diindikasikan pada keadaan glaukoma sudut tertutup. Laser
iridotomy melibatkan pembuatan suatu lubang pada bagian mata yang berwarna
(iris) untuk mengizinkan cairan mengalir secara normal pada mata dengan sudut
sempit atau tertutup (Bruce J, 2006).
b. Laser trabeculoplasty
Adalah suatu prosedur laser dilaksanakan hanya pada penderita glaukoma
dengan sudut terbuka (open angles). Laser trabeculoplasty tidak menyembuhkan
glaukoma, namun sering dilakukan daripada meningkatkan jumlah obat-obat tetes
mata yang berbeda-beda. Pada beberapa kasus, digunakan sebagai terapi
permulaan atau terapi utama untuk open-angle glaukoma.
Prosedur ini adalah metode yang cepat, tidak sakit, dan relatif aman untuk
menurunkan tekanan intraocular. Dengan mata yang dibius dengan obat tetes
bius, perawatan laser dilaksanakan melalui lens kontak yang berkaca pada sudut
mata (angle of the eye). Microscopic laser yang membakar sudut mengizinkan
cairan keluar lebih leluasa dari kanal-kanal pengaliran (Niel, 2006).

c. Trabeculectomy
Adalah suatu prosedur operasi mikro yang sulit, digunakan untuk merawat
glaukoma. Pada operasi ini, suatu potongan kecil dari trabecular meshwork yang

146
tersumbat dihilangkan untuk menciptakan suatu pembukaan dan suatu jalan kecil
penyaringan yang baru dibuat untuk cairan keluar dari mata.
Untk jalan-jalan kecil baru, suatu bleb penyaringan kecil diciptakan dari
jaringan conjunctiva (conjunctival tissue). Conjunctiva adalah penutup bening
diatas putih mata. Filtering bleb adalah suatu area yang timbul seperti bisul yang
ditempatkan pada bagian atas mata dibawah kelopak atas.
Sistim pengaliran baru ini mengizinkan cairan untuk meninggalkan mata,
masuk ke bleb, dan kemudian lewat masuk kedalam sirkulasi darah kapiler
(capillary blood circulation) dengan demikian menurunkan tekanan mata. 24
Trabeculektomy adalah operasi glaukoma yang paling umum dilaksanakan. Jika
sukses, dia merupakan alat paling efektif menurunkan tekanan mata (Ilyas S,
2003).
d. Viscocanalostomy
Adalah suatu prosedur operasi alternatif yang digunakan untuk menurunkan
tekanan mata. Dia melibatkan penghilangan suatu potongan dari sclera (dinding
mata) untuk meninggalkan hanya suatu membran yang tipis dari jaringan
melaluinya cairan aqueous dapat dengan lebih mudah mengalir. Ketika dia lebih
tidak invasive dibanding trabeculectomy dan aqueous shunt surgery, dia juga
bertendensi lebih tidak efektif.
Ahli bedah kadangkala menciptakan tipe-tipe lain dari sistim pengaliran
(drainage systems). Ketika operasi glaukoma seringkali efektif, komplikasi-
komplikasi, seperti infeksi atau perdarahan, adalah mungkin. Maka, operasi
umumnya dicadangkan untuk kasus-kasus yang dengan cara lain tidak dapat
dikontrol (Niel, 2006).

147
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA NY. A DENGAN GLAUKOMA
DI DESA TEGAL RT 08 RW 07 KECAMATAN KEMANG
BOGOR

KASUS
Ny. A datang ke Rumah Sakit Medika BSD diantar keluarga dengan keluhan nyeri pada mata
bagian kanan cenat cenut bertambah pada saat kepala lebih rendah atau bila sujud dan rukuk,
tidak begitu jelas melihat objek disekitarnya,demam,lemas bila diraba Ny. A mengatakan
nyeri pada mata yang sakit, sejak satu hari yang lalu. Ny. A juga mengtakkan matanya silau
bila melihat cahaya sejak 3 hari yang lalu. Hasil cek laboratorium leukositnya meningkat
17000µ/l Hb 12mg/dl.Pada saat dilakukan pengukuran ttv didapatkan hasil TD 130/80
mmHg, RR 24X/menit , suhu 38,50C, HR 90X/menit. Mata yang kanan terlihat lebih
menonjol dan membesar dari yang kiri kesimpulan sementara hasil pemeriksaan fisik Ny. A
mengalami peningkatan tekanan intra okuli 25mmHg, diagnosa sementara Ny. A menderita
glaucoma. Terapi yang diberikan Miotik tiap menit 1 tetes selama 5 menit kemudian 1 tetes
tiap jam selama 6 jam, Carbonic anhidrase inhibitor/azetazolamid 250 mg 2 tab sekaligus
kemudian tiap 4 jam 1 tab sampai 24 jam , morfin 10 mg injeksi.

A. PENGKAJIAN
1. Identitas diri klien
Nama : Ny. A
Umur : 70 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Desa Tegal Rt 08/07 Kecamatan Kemang, Bogor
Status perkawinan : Janda
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pendidikan : Tamat SD
Pekerjaan : Tidak bekerja
2. Kondisi kehidupan klien saat ini
Saat ini Ny. A tinggal di rumahnya bersama anak dan menantu serta cucu-cucunya,
sedangkan suami Ny. A sudah lama meninggal. Ny. A merasa senang tinggal bersama
dengan keluarga anaknya, karena disitu Ny. A mendapatkan lebih banyak perhatian
dibandingkan dengan harus tinggal sendiri. Ny. A menjalani setiap harinya dengan
148
tinggal di rumah, kadang-kadang main ke rumah tetangga, tetapi lebih sering menjaga
dan bermain dengan cucu-cucunya.
Genogram

Keterangan :
: Perempuan
: Laki-laki
: Garis perkawinan
: Garis keturunan
: Tinggal dalam satu rumah
: Klien
: Meninggal

3. Riwayat Penyakit Keluarga


Ny. A mengatakan tidak tahu riwayat penyakit keluarganya karena waktu zaman dahulu
keluarga Ny. A tidak pernah berobat ke fasilitas kesehatan.
4. Riwayat Penyakit
a. Keluhan utama saat ini
Ny. A mengatakan nyeri pada mata sebelah kanan, nyeri dirasakan saat posisi kepala
lebih rendah atau bila sujud. Ny. A juga mengatakan mata kanannya lebih besar dan
menonjol dari mata sebelah kiri. Jika melihat objek yang ada disekitarnya pandangan
Ny. A tidak begitu jelas dan mata sering terasa silau jika melihat cahaya. Ny. A juga
mengatakan badannya sedikit demam dan merasa lemas
b. Apa yang dipikirkan saat ini
149
Ny. A mengatakan kadang-kadang banyak hal yang dipikirkan terutama tentang
kondisi kesehatannya saat ini
c. Siapa yang paling dipikirkan saat ini
Ny. A mengatakan tidak ada yang dipikirkan saat ini karena semua anaknya sudah
menikah.
d. Riwayat penyakit dahulu
Ny. A mengatakan tidak ada riwayat penyakit yang berat, hanya demam biasa dan
sembuh dengan obat warung.

5. Pengkajian
a. Persepsi dan pemeliharan kesehatan
Ny. A mengetahui bahwa kesehatan itu penting untuk di kontrol. Ny. A mengatakan
selalu menjaga kesehatannya dengan makan teratur. Ny. A tidak mempunyai riwayat
merokok maupun minum-minuman keras. Jika Ny. A merasa kurang sehat, Ny. A
akan meminum obat warung.
b. Pola nutrisi
Ny. A mengatakan nafsu makan menurun, makan 2 kali sehari, kadang-kadang mual
tapi tidak disertai dengan muntah. Ny. A minum 6 – 8 gelas/hari.
c. Pola eliminasi
Ny. A mengatakan BAB lancar satu kali sehari saat pagi dan BAK lancar 4-5 kali
sehari dengan warna jernih kekuningan.
d. Pola aktivitas dan latihan
Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4

Makan/minum √

Mandi √

Toileting √

Berpakaian √

Mobilitas di tempat tidur √

Berpindah/berjalan √

Ambulasi/ROM √

150
Keterangan
0 : Mandiri
1 : Alat bantu
2 : Dibantu orang lain
3 : Dibantu orang lain dan alat
4 : Tergantung total
e. Pola tidur dan istirahat
Ny. A mengatakan tidur 8 jam sehari. Waktu tidur dari jam 21.00 WIB dan bangun
jam 05.00 WIB. Terkadang bangun saat tengah malam jika ingin BAK dan nanti
bisa tidur kembali
f. Pola perseptual
Ny. A mengatakn sering memikirkan tentang penyakitnya dan hanya membiarkan
penyakitnya tanpa ke fasilitas kesehatan. Ny. A berfikir bahwa penyakitnya tidak
terlalu serius yang nanti bisa sembuh dengan sendirinya
g. Pola persepsi diri
1) Gambaran diri
Ny. A tidak bisa menyebutkan gambaran diri yang diinginkan
2) Ideal diri
Ny. A mengatakan ingin selalu merasa sehat agar bisa melihat cucu-cucunya
sukses.

3) Harga diri
Ny. A mengatakan dirinya masih mampu melakukan aktivitas sehingga merasa
tidak enak bila merepotkan orang lain, Ny. A akan melakukan apa saja yang
masih bisa dilakukan sendiri tanpa menyusahkan orang lain.
4) Identitas diri
Ny. A mengatakan bahwa dirinya adalah seorang ibu dari 3 orang anak yang
sudah menikah semua sehingga saat ini yang dilakukan adalah mengurus cucu-
cucunya
5) Peran diri

151
Ny. A merupakan seorang ibu dan saat ini telah menjadi seorang nenek
sehingga keseharian Ny. A adalah mengasuh dan bermain bersama cucu-
cucunya.
h. Pola peran hubungan
Ny. A mengatakan bahwa dirinya berhubungan baik dengan anak-anaknya, dengan
menantu-menantunya dan cucu-cucunya, sanak-saudara serta tetangga sekitarnya.
Ny. A mengatakan sering berkumpul dan mengobrol dengan tetangga sekitar
rumahnya.
i. Pola managemen koping stress
Ny. A mengatakan bila sedang merasa stress dengan banyak hal yang ia pikirkan,
maka yang dilakukan Ny. A hanya ingin tidur dan diam saja sampai pikiran itu
perlahan hilang sendiri.
j. Sistem nilai dan keyakinan
Ny. A selalu percaya bahwa Tuhan memberikan setiap persoalan pasti ada jalan
keluarnya, hanya perlu bersabar dan pasrah saja sambil terus menjalani hidup apa
adanya, selalu bersyukur atas berkat yang Tuhan berikan.
6. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan fisik
1) Tingkat kesadaran : Composmentis E3V5M6, TD : 130/80 mmHg, RR : 24
x/menit, N : 90 x/menit, S : 38,50C
2) Kepala : Bentuk kepala mesosephal, tidak ada benjolan, luka atau lesi.
3) Rambut : Panjang dan beruban.
4) Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada nyeri tekan ataupun
nyeri telan.
5) Thorak :Tampak simetris, tidak ada distensi atau pengembangan dada yang
abnormal, tidak ada dispneu, tidak ada nyeri dada.
6) Abdomen : Tampak simetris, tidak ada pembesaran hepar, tidak ada nyeri tekan
atau pun benjolan.
7) Ekstremitas : Bagian atas dan bawah tampak normal atau simetris, tidak ada
deformitas, pergerakan normal, tidak ada nyeri sendi.
b. Pemeriksaan panca indera
1) Mata : Ukuran pupil tidak sama, sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis,
palpebra dekstra oedem dan spasme, oedem pada kornea dekstra.
2) Hidung : Bersih, tidak ada polip hidung, tidak ada septum deviasi.
152
3) Telinga : Bersih, tidak ada serumen, reflek suara baik.
4) Mulut : Gigi kekuningan, tidak lengkap, tidak ada stomatitis.
5) Sensasi (kulit) : Ada

153
B. ANALISA DATA
No Data Problem Etiologi

1. DS :
1) Ny A mengatakan nyeri mata
sebelah kanan.
2) nyeri dirasakan saat posisi kepala
lebih rendah atau bila sujud.
DO :
1) Ny A tampak meringis kesakitan
akibat nyeri
2) Ny A tampak gelisah.
Peningkatan
3) Mata kanan Ny A tampak lebih
Tekanan Intraokuler
besar dan menonjol dari mata Nyeri akut
(TIO)
sebelah kiri.
4) P : Nyeri timbul saat posisi kepala
lebih rendah atau bila sujud
Q : Nyeri terasa seperti ditusuk-
tusuk

R : Nyeri dirasakan pada mata


sebelah kanan
S : Skala nyeri 6
T : Nyeri dirasakan sewaktu –
waktu.

2 DS :
1) Ny. A mengatakan badannya
terasa demam dan lemas
2) Ny. A mengatakan tidurnya
terganggu karena demam

DO :

1) TD : 130/80 mmHg, RR : 24
x/menit, N : 90 x/menit S : 38,50C

154
2) Hasil leukosit 17000 µ/l Proses infeksi Hipertermi
3) Kulit pasien teraba panas dan
terlihat menggigil
4) Badan Ny. A tampak berkeringat
5) Wajah Ny. A tampak pucat dan
lemas

3 DS :
1) Ny. A mengatakan tidak begitu
jelas melihat objek disekitarnya
2) Ny. A mengatakan matanya terasa
silau bila melihat cahaya
3) Ny. A mengatakan kurang
nyaman dengan ketajaman
matanya berkurang Perubahan Gangguan persepsi
penerimaan sensorik sensorik (melihat)
DO :

1) Ny. A tampak menunjukkan


ekspresi kesulitan untuk melihat
2) Klien tidak dapat melihat dengan
jarak normal

C. DIAGNOSA SESUAI PRIORITAS


a. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokuli (TIO)
b. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
c. Gangguan persepsi sensorik (melihat) berhubungan dengan perubahan penerimaan
sensorik

155
D. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN Paraf


KEPERAWATAN
TUJUAN INTERVENSI RASIONAL

1. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji karakteristik nyeri : intensitas, 1. Mengetahui tingkat nyeri untuk Kadek
berhubungan keperawatan selama 2x24 frekuensi, lokasi, durasi, kualitas memudahkan intervensi
dengan jam, diharapkan klien 2. Observasi respon ketidaknyamanan selanjutnya
peningkatan dapat menunjukkan secara verbal dan non verbal 2. Untuk mengetahui tingkat
tekanan intraokuler tingkat nyeri berkurang 3. Ajarkan teknik non farmakologi : ketidaknyamanan yang dirasakan
(TIO) dengan kriteria hasil : napas dalam dan relaksasi pasien
1. Melaporkan penyebab 4. Kontrol lingkungan yang dapat 3. Agar klien mampu menggunakan
nyeri mempengaruhi nyeri seperti suhu teknik nonfarmakologi dalam
2. Melaporkan frekuensi ruangan, pencahayaan dan memanagement nyeri yang
nyeri kebisingan dirasakan
3. Melaporkan lamanya 5. Pertahankan tirah baring ketat pada 4. Stress dan sinar menimbulkan
nyeri posisi semi fowler TIO yang mencetuskan nyeri
4. Menunjukkan 6. Berikan analgesik narkotik yang 5. Tekanan pada mata meningkat
ekspresi rileks diresepkan bila tubuh datar
5. Melaporkan nyeri 6. Untuk mengontrol nyeri
berkurang

1
1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam 1. Mengetahui perubahan suhu, suhu
2. Hipertermi Setelah dilakukan tindakan Dian
0
2. Monitor warna dan suhu kulit 38,9 – 41,1 C menunjukkan
berhubungan keperawatan selama 2x24
3. Monitor tekanan darah, nadi dan proses inflamasi
dengan proses jam gangguan rasa
RR 2. Perubahan pada warna dan suhu
infeksi nyaman dapat teratasi
4. Tingkatkan sirkulasi udara kulit merupakan indikasi demam
dengan kriteria hasil :
5. Kolaborasi pemberian antipiretik 3. Dengan adanya panas berlebihan
1. Suhu tubuh dalam (paracetamol 3x1) mengakibatkan hemodinamika di
rentang normal 6. Kompres pasien pada lipat paha dalam tubuh terganggu
2. Nadi dan RR dalam dan aksila 4. Penyediaan udara bersih
rentang normal 7. Tingkatkan intake cairan dan 5. Untuk menurunkan panas
3. Tidak ada perubahan nutrisi 6. Untuk merangsang penurunan
warna kulit dan tidak 8. Monitor hidrasi seperti turgor panas
ada pusing, kulit, kelembaban membran 7. Mengetahui secara pasti makan
4. Merasa nyaman mukosa yang masuk dan keluar
8. Perubahan status hidrasi,
membran mukosa, turgor kulit
menggambarkan berat ringannya
kekurangan cairan

2
1. Monitor TTV 1. Tanda vital merupakan acuan
3. Gangguan persepsi Setelah dilakukan asuhan Astri
2. Monitor ukuran pupil, ketajaman, untuk mengetahui kondisi umum
sensorik (melihat) keperawatan selama 2x24
kesimetrisan dan reaksi pasien
berhubungan jam gangguan rasa
3. Monitor adanya diplopia, 2. Mengetahui sejauh mana
dengan perubahan nyaman dapat teratasi
pandangan kabur dan nyeri kepala ketidakefektifan perfusi jaringan
penerimaan dengan kriteria hasil :
4. Tunjukkan pemberian tetes mata, 3. Mengetahui ketidakadekuatan
sensorik
1. Pasien akan contoh menghitung tetesan, fungsi dari serebral
berpartisipasi dalam mengikuti jadwal, tidak salah 4. Mengontrol TIO, mencegah
program pengobatan dosis kehilangan penglihatan lanjut
2. Pasien akan 5. Kolaborasi pemberian obat 5. Menurunkan laju produksi akueus
mempertahankan glaukoma : Asetazolamid humor
lapang ketajaman 6. Catat perubahan pasien dalam 6. Mengetahui tingkat kepekaan
penglihatan tanpa merespon stimulus pasien terhadap stimulus setelah
kehilangan lebih dilakukan intervensi
lanjut

3
E. CATATAN PERKEMBANGAN
NO DX WAKTU IMPLEMENTASI RESPON EVALUASI

TGL/JAM

1. Dx. 8 - 10 - 2019
1
08.30 - Mengkaji karakteristik nyeri - Terdapat pembengkakan pada S : Ny. A mengatakan nyeri masih
mata kanan, nyeri dirasakan saat terasa meskipun sudah berkurang
posisi kepala lebih rendah, nyeri
O : Palpebra dekstra oedem dan
terasa berdenyut skala nyeri 6
spasme, kornea dekstra oedem,
- Klien tampak meringis
setelah dilakukan manajemen nyeri
- Mengobservasi kesakitan saat membungkuk
klien tampak lebih tenang, skala
ketidaknyamanan klien nyeri turun dari 6 menjadi 4
secara verbal dan non verbal - Klien merasa lebih tenang dan
rasa sakit yang dirasakan dapat A : Masalah nyeri akut teratasi
- Mengajarkan klien teknik
teralihkan sebagian
nonfarmakologi (napas dalam
dan relaksasi) - Klien merasa nyeri yang P : Intervensi dilanjutkan
- Mengontrol suhu ruangan, dirasakan mulai berkurang
- Observasi ketidaknyamanan
pencahayaan dan kebisingan
- Kontrol suhu ruangan,

- Klien merasa lebih nyaman dan pencahayaan dan kebisingan

nyeri berkurang - Pertahankan tirah baring posisi


- Mempertahankan tirah baring
- Klien terlihat lebih rileks semi fowler
ketat pada posisi semi fowler

4
- Memberikan analgesik - Berikan analgesik narkotik yang
narkotik yang diresepkan diresepkan
10.30

Dx. 8 - 10 - 2019
2
09.30 - Memonitor suhu tiap 2 jam - Suhu klien pada 2 jam pertama S : Ny. A mengatakan badannya
sekali 38,50C masih terasa panas dan sedikit
- Memonitor warna dan suhu - Kulit klien teraba panas dan menggigil
kulit terlihat kemerahan
O : TD : Suhu turun dari 38,50C
- Memonitor TTV klien - TD : 130/80 mmHg, N : 90
menjadi 37,80C, leukosit turun dari
x/menit, RR : 24 x/menit, S :
17.000 µ/l menjadi 14.000 µ/l, kulit
38,50 C
teraba hangat, turgor kulit baik
- Ventilasi kamar klien dibuka
namun membran mukosa masih
- Meningkatkan sirkulasi udara tampak kering

A : Masalah hipertermi teratasi


sebagian
- Berkolaborasi pemberian - Suhu turun menjadi 380C
antipiretik (paracetamol 3x1) P : Intervensi dilanjutkan
- Mengkompres klien pada - Suhu turun 37,80C kulit tidak
- Monitor suhu tiap 2 jam sekali
11.30
lipat paha dan aksila kemerahan dan teraba hangat
- Kompres klien pada lipat paha
- Meningkatkan intake cairan - Intake output klien adekuat
dan aksila

5
dan nutrisi klien - Tingkatkan intake cairan dan
- Memonitor hidrasi : Turgor - Turgor kulit klien baik, nutrisi
kulit dan kelembapan membran mukosa masih tampak - Monitor hidrasi : Turgor kulit &
membran mukosa kering kelembapan membran mukosa

Dx. 8 - 10 – 2019
3
11.00 - Memonitor TTV - TD : 130/80 mmHg, N : 85 S : Klien mengatakan kesulitan
x/menit, RR : 22 x/menit, dalam melihat objek yang ada
S : 37,80C disekitarnya, mata silau bila melihat
- Ukuran pupil tidak sama, klien cahaya disertai dengan kepala pusing
- Memonitor ukuran pupil, kesulitan dalam melihat objek
O : TIO 25 mmHg, ukuran pupil
ketajaman, kesimetrisan dan disekitarnya
tidak sama, klien tampak kesulitan
reaksi - Klien mengatakan pandangan
dalam melihat
- Memonitor adanya diplopia, kabur, apabila melihat cahaya
pandangan akan silau dan A : Masalah gangguan persepsi
pandangan kabur dan nyeri
kepala pusing sensorik (melihat) belum teratasi
kepala
- Menunjukkan cara - Klien dan keluarga mengerti P : Intervensi dilanjutkan
penggunaan obat tetes mata cara penggunaan tetes mata.
- Monitor TTV
(menghitung tetesan, jadwal
- Monitor adanya diplopia,
dan tidak salah dosis)
pandangan kabur dan nyeri
kepala

- Setelah meminum obat klien - Monitor pemberian tetes mata :

6
tampak lemas dan mengantuk Miotik
- Kolaborasi pemberian obat
- Berkolaborasi dalam
glaukoma : Asetazolamid
pemberian obat glaukoma :
- Catat perubahan klien dalam
Asetazolamid
13.00 merespon stimulus
- Mencatat perubahan klien
dalam merespon stimulus

2. Dx. 9 - 10 - 2019
1
08.30 - Mengobservasi - Klien mengatakan nyeri S : Ny. A mengatakan nyeri pada
ketidaknyamanan klien berkurang dan merasa lebih mata kanan sudah tidak terasa.
secara verbal dan non verbal nyaman, klien tidak tampak
O : Klien mampu melakukan
meringis
aktivitas, oedem pada mata kanan
- Mengontrol suhu ruangan, - Lingkungan klien kondusif
berkurang. Klien menyatakan nyeri
pencahayaan dan kebisingan sehingga klien dapat beristirahat
pada mata kanan sudah tidak terasa.
dengan cukup
Skala nyeri 1

A : Masalah nyeri akut teratasi

P : Intervensi dihentikan
- Klien tampak rileks dan mampu
- Mempertahankan tirah baring
beraktivitas diatas tempat tidur
pada posisi semi fowler

7
10.30 - Memberikan analgesik - Klien menyatakan nyeri pada
narkotik yang diresepkan mata kanan sudah tidak terasa

Dx. 9 - 10 - 2019
- Monitor suhu tiap 2 jam
2
09.30 sekali - Suhu normal 37,20C S : Ny. A mengatakan badannya

- Kompres klien pada lipat sudah tidak demam

paha dan aksila - Kulit teraba hangat


O : Suhu normal 37,20C leukosit
- Tingkatkan intake cairan dan 10.000µ/l, kulit tidak tampak
nutrisi kemerahan
- Intake output adekuat
A : Masalah hipertermi teratasi

P : Intervensi dihentikan

- Monitor hidrasi : Turgor kulit


dan kelembapan membran - Turgor kulit baik, membran

8
11.30 mukosa mukosa lembap

9
Dx. 9 - 10 – 2019 - Memonitor TTV - TD : 130/80 mmHg, N : 85 S : Klien mengatakan pandangan
3 x/menit, RR : 22 x/menit, S : tetap kabur, nyeri kepala berkurang.
11.00
370C
O : Klien secara rutin meneteskan
- Klien mengatakan pandangan
obat matanya
- Memonitor ukuran pupil, tetap kabur
A : Masalah teratasi sebagian
ketajaman, kesimetrisan dan
reaksi - Klien mengatakan nyeri kepala P : Intervensi dilanjutkan
- Memonitor adanya diplopia, berkurang
- Monitor pemberian obat tetes
pandangan kabur dan nyeri
mata
kepala
- Kolaborasi dalam pemberian
obat glaukoma :
- Klien secara rutin meneteskan
Asetazolamid
obat matanya
- Setelah meminum obat klien
- Memonitor pemberian tetes
tampak lemas dan mengantuk
mata
13.00 - Berkolaborasi dalam
pemberian obat glaukoma :
Asetazolamid
- Mencatat perubahan klien

1
H.ASKEP GANGGUAN MUSKULOSKELETAL (RHEMATOID ATRITIS )

A. Definisi
Arthritis rheumatoid adalah penyakit sistemik dengan gejala ekstra-artikuler
(Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,Volume 3. 2001 ). Artritis Reumatoid ( AR )
adalah kelainan inflamasi yang terutama mengenai mengenai membran sinovial dari
persendian dan umumnya ditandai dengan dengan nyeri persendian, kaku sendi,
penurunan mobilitas, dan keletihan. (Diane C. Baughman. 2000)
Rheumatoid arthritis (RA) merupakan suatu penyakit autoimun kronis dengan
gejala nyeri, kekakuan, gangguan pergerakan, erosi sendi dan berbagai gejala inflamasi
lainnya. Penyakit yang 75% diderita oleh kaum hawa ini bisa menyerang semua sendi,
namun sebagian besar menyerang sendi-sendi jari (proximal interphalangeal dan
metacarpophalangeal).
Rheumatoid arthritis ditandai dengan adanya peradangan dari lapisan selaput
sendi (sinovium) yang mana menyebabkan sakit, kekakuan, hangat, bengkak dan merah.
Peradangan sinovium dapat menyerang dan merusak tulang dan kartilago. Sel penyebab
radang melepaskan enzim yang dapat mencerna tulang dan kartilago. Sehingga dapat
terjadi kehilangan bentuk dan kelurusan pada sendi, yang menghasilkan rasa sakit dan
pengurangan kemampuan bergerak.
Arthritis adalah inflamasi dengan nyeri, panas, pembengkakan, kekakuan dan
kemerahan pada sendi. Akibat artritis, timbul inflamasi umum yang dikenal sebagai
artritis reumatoid yang merupakan penyakit autoimun.
Umumnya penyakit ini menyerang pada sendi-sendi bagian jari, pergelangan
tangan, bahu, lutut dan kaki. Pada penderita stadium lanjut akan membuat si penderita
tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari dan kualitas hidupnya menurun.
B. Etiologi
Etiologi penyakit ini tidak diketahui secara pasti. Namun ada beberapa factor
resiko yang diketahui berhubungan dengan penyakit ini, antara lain :
1. Usia lebih dari 40 tahun
Dari semua factor resiko untuk timbulnya Osteoarthritis, factor penuaan adalah
yang terkuat. Akan tetapi perlu diingat bahwa Osteoarthritis bukan akibat penuaan
saja, perubahan tulang rawan sendi pada penuaan berbeda dengan perubahan pada
Osteoarthritis.
2. Jenis kelamin wanita lebih sering
Hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada pathogenesis Osteoarthritis.
Pada wanita lebih sering terkena dibagian lutut dan sendi, sedangkan pada laki-laki
dibagian paha, pergelangan tangan, dan leher.
3. Suku bangsa
Nampak perbedaan prevalensi Osteoarthritis pada masing-masing suku bangsa.
Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan pola hidup maupun perbedaan pada
frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan tulang.

1
4. Genetik
5. Kegemukan
Berat badan yang berlebih, ternyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk
timbulnya Osteoarthritis baik pada wanita maupun pria, kegemukan ternyata tidak
hanya berkaitan dengan Osteoarthritis pada sendi yang menanggung beban yang
berlebihan.
6. Cedera sendi Pekerjaan dan Olahraga
Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian satu sendi yang terus menerus
berkaitan dengan peningkatan resiko Osteoarthritis tertentu. Olahraga yang sering
menimbulkan cedera sendi yang berkaitan dengan resiko Osteoarthritis yang lebih
tinggi.
7. Kepadatan tulang
Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat meningkatkan resiko timbulnya
Osteoarthritis. Hal ini mungkin timbul karena tulang yang lebih padat (keras) tidak
membantu mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang rawan sendi.
Akibatnya tulang rawan sendi menjadi lebih mudah robek.

C. Jenis Rheomatoid
Menurut Buffer 2010 mengklasifikasikan Rheumathoid Arthritis dibagi menjadi
empat tipe, yaitu:
1. Rheumatoid Arthritis klasik, pada tipe ini harus terdapat tujuh kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit 6
minggu.
2. Rheumatoid Arthritis defisit, pada tipe ini harus terdapat lima kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam
waktu 6 minggu.
3. Probable Rheumatoid Arthritis, pada tipe ini harus terdapat tiga kriteria.
Tanda dan gejala sendi yang berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam
waktu 6 minggu.
4. Possible Rheumatoid Arthritis, pada tipe ini harus terdapat dua kriteria dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam
waktu 3 bulan.
Kriteria Rheumatoid Arthritis
Kriteria Definisi
1. Kaku di pagi hari Kekakuan pada pagi hari pada
persendian dan sekitarnya, sekurang-
kurangnya selama satu jam sebelum
perbaikan maksimal.
2. Arthritis pada 3 daerah Pembengkakan jaringan lunak atau
persendian atau lebih persendian atau efusi (bukan
pertumbuhan tulang) pada sekurang-

2
kurangnya 3 sendi secara bersamaan
yang diobservasi oleh seorang dokter.
Sendi yang memenuhi kriteria adalah
PIP, MCP, pergelangan tangan, siku,
pergelangan sendi, dan MTP kiri dan
kanan.
3. Arthritis pada persendian tangan Sekurang-kurangnya terjadi
pembengkakan satu persendian tangan.
4. Arthtritis simetris Keterlibatan sendi yang sama (seperti
pada kriteria 2)
5. Nodul Rheumatoid Nodul subkutan pada penonjolan
tulang atau permukaan yang
diobservasi oleh dokter
6. Faktor Rheomatoid serum Terdapat factor abnormal pada saat
pemeriksaan dengan cara memberikan
hasil positif kurang dari 5 %
7. Perubahan gambaran radiologis Perubahan gambaran yang khas bagi
AR pada pemeriksaan sinar X
menunjukkan adanya erosi yang
berlokasi pada sendi atau daerah yang
berdekatan dengan sendi

D. Manifestasi Klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis
reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan
oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan
demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
2. Poliartritis simetris, peradangan sendi terutama pada sendi perifer, termasuk
sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs
distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat generalisata tatapi
terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi
pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan
selalu kurang dari 1 jam.
4. Arthritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik.
Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat
dilihat pada radiogram.
5. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan
penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal,
deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang
sering dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput

3
metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar
juga dapat terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama
dalam melakukan gerak ekstensi.
6. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar
sepertiga orang dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang paling sering
dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau di sepanjang
permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodula-nodula ini dapat
juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya
merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.
7. Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-organ
lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh
darah dapat rusak.
E. Patofisiologi
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti edema, kongesti
vaskular, eksudat febrin dan infiltrasi selular. Peradangan yang berkelanjutan, sinovial
menjadi menebal, terutama pada sendi artikular kartilago dari sendi. Pada persendian ini
granulasi membentuk pannus, atau penutup yang menutupi kartilago. Pannus masuk ke
tulang sub chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan
pada nutrisi kartilago artikuler. Kartilago menjadi nekrosis.
Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi. Bila
kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi, karena
jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang
menyebabkan tendon dan ligamen menjadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau
dislokasi dari persendian. Invasi dari tulang sub chondrial bisa menyebabkan
osteoporosis setempat.
Lamanya arthritis rheumathoid berbeda dari tiap orang. Ditandai dengan masa
adanya serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari
serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Yang lain, terutama yang
mempunyai faktor rheumatoid (seropositif gangguan rheumatoid) gangguan akan menjadi
kronis yang progresif.
Secara singkat dapat dikatakan reaksi autoimun dalam jaringan sinovial yang
melakukan proses fagositosis yang menghasilkan enzim-enzim dalam sendi untuk
mencegah kolagen sehingga terjadi edema proliferasi membran sinovial dan akhirnya
membentuk pannus. Pannus tersebut akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang sehingga akan berakibat menghilangnya permukaan sendi
yang akan mengganggu gerak sendi.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis reumatoid
terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis
paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit
kolagen, dan sarkoidosis.

4
2. Protein C-reaktif biasanya positif.
3. Laju Endap Darah (LED) meningkat.
4. Leukosit normal atau meningkat sedikit.
5. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
6. Trombosit meningkat.
7. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
Pada periksaan rontgen, semua sendi dapat terkena, tapi yang tersering adalah sendi
metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering terkena. Pada
awalnya terjadi pembengkakan jaringan lunak dan demineralisasi juksta artikular.
Kemudian terjadi penyempitan sendi dan erosi.
G. Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus
peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi non steroid
(OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit DMARD (disease modifying
antirheumatoid drugs) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama
pada artritis rheumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran yang
jelas, sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya
berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik
akibat vaskulitis (Mansjoer, 1999).

H. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari terapi adalah:
1. Meringankan rasa nyeri dan peradangan
2. Mempertahankan fungsi sendi dan kapasitas fungsional maksimal penderita
3. Mencegah atau memperbaiki deformitas
Program terapi dasar terdiri dari lima komponen dibawah ini yang merupakan sarana
pembantu untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut yaitu:
1. Istirahat
2. Latihan fisik
3. Panas
4. Pengobatan
a. OAINS, diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi
yang sering dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:
1) Aspirin, Pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari,
kemudian dinaikkan 0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau
gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl.
2) Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.
b. DMARD, digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses
destruksi akibat artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12
bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan
proses reumatoid akan berkurang. Keputusan penggunaannya bergantung pada

5
pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah
diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak baik,
meski masih dalam status tersangka.
Jenis-jenis obat yang digunakan :
1) Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun
efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran
klorokuin fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping
bergantung pada dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan,
dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.
2) Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1
x 500 mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4
x 500 mg. Setelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari
untuk dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika
dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan
diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek sampingnya nausea,
muntah, dan dyspepsia.
3) D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan
dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4
minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300
mg/hari. Efek samping antara lain ruam kulit urtikaria atau mobiliformis,
stomatitis, dan pemfigus.
c. Garam emas gold standard bagi DMARD, khasiatnya tidak diragukan lagi
meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan
intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg,
seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian
diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan
dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika
diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan
remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria,
trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin
yang diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang dijumpai,
pada awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.
d. Obat imunosupresif atau imunoregulator, Metotreksat sangat mudah
digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek dibandingkan dengan yang
lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak
menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20
mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Penggunaan siklosporin untuk
artritis reumatoid masih dalam penelitian.
e. Kortikosteroid, hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan
komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini
memiliki efek samping yang sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti
prednison 5-7,5 mg satu kali sehari) sangat bermanfaat sebagai bridging
therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD mulai bekerja, yang
kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan suntikan kortikosteroid
intraartikular jika terdapat peradangan yang berat. Sebelumnya, infeksi harus
disingkirkan terlebih dahulu.

6
5. Pembedahan
a. Sinovektomi, untuk mencegah arthritis pada sendi tertentu, untuk
mempertahankan fungsi sendi dan untuk mencegah timbulnya kembali
inflamasi
b. Arthrotomi, yaitu dengan membuka persendian
c. Arthrodesis, sering dilaksanakan pada lutut, tumis dan pergelangan tangan
d. Arthroplasty, pembedahan dengan cara membuat kembali dataran pada
persendian.
KASUS
Tn. I berusia 65 tahun tinggal dirumah bersama istri, anak, menantu, dan cucu kembarnya. Tn. I
merasa senang tinggal bersama keluarga karena disitu Tn. I mendapatkan perhatian daripada ia
tinggal sendiri. Tn. I sering mengeluh nyeri pada kaki bagian lutut. Nyeri dirasakan sudah sejak 6
bulan yang lalu. Nyeri bertambah saat beraktivitas fisik yang berat dan terasa kaku saat habis
duduk bersila lama serta rasa panas dan baal pada bagian yang sakit. Tn. I mengatakan nyerinya
seperti ditusuk-tusuk. Tn. I mengatakan tidak mengetahui tetang penyakitnya (rematik) dan Tn. I
tidak pernah datang ke fasilitas kesehatan. Tn. I mengatakan selama ini tidak pernah menderita
penyakit yang berat, hanya sakit demam biasa. Tn I merasa mampu melakukan aktivitas sendiri,
namun ketika beraktivitas berat Tn. I terkadang mengeluh sakit pada bagian lututnya.

7
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK

A. Pengkajian
1. Identitas diri klien
Nama : Tn. I
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Alamat : Desa Jetis RT 002/001
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Buruh
2. Kondisi kehidupan klien saat ini :
Saat ini Tn. I tinggal dirumahnya bersama istri, anak, menantu dan cucu kembarnya.
Tn. I merasa senang karena bisa bermain dengan cucu kembarnya. Tn. I menjalani
setiap harinya sebagai buruh ternak, setiap minggu pagi Tn. I menghadiri rapat kepala
desa, dan setiap malam Jum’at menjadi kepala pos ronda.

Genogram

8
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Tn. I mengatakan tidak tahu riwayat penyakit keluarganya karena tidak pernah datang
ke fasilitas kesehatan.
4. Riwayat Penyakit
a. Keluhan utama saat ini :
Tn. I mengatakan nyeri pada kaki bagian lutut. Penyakit sudah di rasakan sejak
enam bulan yang lalu. Nyeri bertambah saat beraktivitas fisik yang berat dan
terasa kaku saat habis duduk bersila lama. Keluhan yang menyertai adalah rasa
panas dan baal pada bagian yang sakit.
b. Apa yang dipikirkan saat ini :
Tn. I mengatakan saat ini lebih berfokus kepada kondisi kesehatannya.
c. Siapa yang dipikirkannya saat ini :
Tidak ada yang dipikirkan saat ini
d. Riwayat penyakit terdahulu:
Tn. I mengatakan tidak ada riwayat penyakit berat yang ia derita, hanya demam
biasa.
5. Pengkajian
a. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Tn. I mengatakan jarak memeriksakan kesehatannya ke fasilitas kesehatan. Tn. I
mengatakan bahwa jika kakinya sakit hanya dibaluri minyak gosok namun hanya
mengurangi rasa nyerinya sementara. Tn. I hanya memantang makanan yang
mengandung santan.
b. Pola nutrisi
Tn. I mengatakan nafsu makannya baik, makan 3X sehari, minum 1 botol ukuran
1000ml
c. Pola eliminasi
Tn. I mengatakan BAB sekali setiap pagi, BAK 4-5 kali dan mengatakan tidak
ada masalah dengan BAB dan BAK nya.
d. Pola aktivitas dan latihan

Kemampuan Perawatan Diri 0 1 2 3 4


Makan / Minum √
Mandi √
Toileting √
Bepakaian √
Mobilitas di tempat tidur √
Berpindah / berjalan √
Ambulasi / ROM √

9
Keterangan :
0 : Mandiri
1 : Alat Bantu
2 : Dibantu orang lain
3 : Dibantu orang lain dan alat
4 : Tergantung total

e. Pola tidur dan istirahat


Tn. I mengatakan tidur malam jam 21.00 dan bangun pagi jam 04.00, kadang-
kadang terbangun ditengah malam bila ingin BAK saja dan bisa tidur kembali.
f. Pola perseptual
Tn. I mengatakan sering memikirkan tentang penyakitnya dan hanya membiarkan
penyakitnya tanpa ke fasilitas kesehatan. Tn. I mengatakan penyakitnya bisa
sembuh dengan sendirinya.
g. Pola persepsi diri
1) Gambaran diri
Tn. I tidak bisa menyebutkan gambar diri yang diinginkan
2) Ideal diri
Tn. I mengatakan ingin selalu sehat agar bisa bermain dengan cucunya dan
mengikuti kegiatan di desanya
3) Harga diri
Tn. I mengatakan dirinya masih mampu melakukan aktivitas sehingga merasa
tidak enak bila merepotkan orang lain. Tn. I akan melakukan apa saja yang
masih bisa ia lakukan sendiri tanpa menyusahkan orang lain.
4) Identitas diri
Tn. I mengatakan bahwa dirinya seorang kepala keluarga dari 3 anak yang
sudah meniah semua, sehingga saat ini ia berfokus epada ternaknya dan
kegiatan di dusunnya. Jika ada waktu luang ia bermain dengan cucunya.
5) Peran diri
Tn. I merupakan seorang ayah yang saat ini telah menjadi seorang kakek
sehingga saat ia dirumah ia bermain bersama cucunya.
h. Pola peran hubungan
Tn. I mengatakan bahwa dirinya berhubungan baik dengan anak-anaknya, dengan
mnantu-menantunya dan cucu-cucunya, sanak saudaranya serta tetangga
sekitarnya. Tn. I mrngatakan sering menghadiri kegiatan di dusunnya, serta
berkumpul di pos ronda untuk mengobrol dengan tetangga sekitarnya.
i. Pola manegemen koping stres
Tn. I mengatakan bila sedang mengalami stres dengan banyak hal yang ia
pikirkan maka yang ia lakukan adalah memancing ikan di sungai yang tak jauh
dari rumahnya sampai stresnya hilang.
j. Sistem nilai dan keyakinan
Tn. I mengatakan percaya bahwa Allah memberikan setiap persoalan pasti ada
jawabannya, hanya perlu bersabar dan selalu bersyukur atas berkat yang Allah
berikan.

10
6. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Tn. I Ny. K An.G An. P


Fisik (Menantu)
TTV
TD 110/80 mmHg 110/70mmHg 90/60mmHg 100/60mmHg
Nadi 64 x/menit 72x/menit 72x/menit 78x/menit
Suhu 36,5 c 36,8 c 38 c 36 c
Pernafasan 18x/menit 18x/menit 20x/menit 18 x/menit
BB 52 51 42 19
TB 163 153 155 143
Hitam, bersih Hitam, bersih Hitam, bersih Hitam
Rambut tidak mudah tidak mudah tidak mudah kecoklatan,
rontok rontok rontok bersih tidak
mudah rontok
Konjungtiva Konjungtiva Konjungtiva Konjungtiva
Mata tidak enemis tidak enemis tidak enemis tidak enemis

Hidung Normal Normal Normal Normal


Telinga Pendengaran Pendengaran Pendengaran Pendengaran
baik, secret baik, secret baik, secret baik, secret
tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
Mukosa bibir Mukosa bibir Mukosa bibir Mukosa bibir
Mulut lembab lembab lembab lembab

Gigi palsu tidak Gigi palsu Tidak ada Tidak ada


Gigi ada, bersih, gigi tidak ada, gigi gigi
berlubang pada bersih, gigi berlubang , berlubang,
M2 kanan dan tidak ada bersih bersih
kiri berlubang
Leher Normal Normal Normal Normal
Dada Normal Normal Normal Normal
Paru Normal Normal Normal Normal

Jantung Normal Normal Normal Normal

Abdomen Normal Normal Normal Normal


Ekstremitas atas Normal , tidak Normal, tidak Normal, tidak Normal, tidak
ada keluhan, ada keluhan, ada keluhan, ada keluhan,
CRT <3 detik CRT <3 detik CRT <3 detik CRT <3 detik
Ekstremitas bawah Nyeri kaki, lutut Tidak ada Tidak ada Tidak ada
sampai pangkal keluhan keluhan keluhan
paha

11
B. Analisa Data

No. Data Etiologi Problem


1. DS Proses menua Nyeri akut b.d
- Klien mengatakan nyeri ketidakmampuan
pada persendian kaki keluarga merawat
terutama dilutut Perubahan anggota keluarga
- Klien mengatakan nyeri hormonal yang sakit.
bertambah saat aktifitas
berat Permukaan tulang
- Klien mengatakan kekuatan dan sendi tidak
sendinya melemah saat lagi licin
habis bersila lama

P : nyeri dirasakan ketika ia berdiri Tulang mengalami


Q : nyeri terasa seperti ditusuk- gesekan pada
tusuk persendian
R : nyeri terasa di area lututnya
S : skala nyeri 5
T : nyeri dirasakan ketika ia mulai Nyeri
berdiri, nyeri bertambah ketika ia
melakukan aktivitas berlebih

DO
- Klien tampak memegangi
kaki
- Suhu sekitar lutut teraba
hangat
- Tanda-tanda vital
TD : 110/80 mmHg
N : 64 x/menit
S : 36,5 c
R 18 x/menit

2. DS Proses menua Resiko cedera b.d


- Klien mengatakan lututnya ketidakmampuan
terasa lemah ketika ia keluarga
berdiri lama Modifikasi modifikasi
- Klien mengatakan hampir lingungan yang lingkungan.
terpeleset karena lantai kurang
rumahnya licin akibat
cucunya yang suka bermain
air Resiko cedera

12
DO
- Klien tampak memegangi
kakinya
- Klien tampak berdiri lemah

2. DS Keterbatasan Ketidakefektifan
- Klien mengatakan belum informasi manajemen
mengetahui tentang kesehatan
penyakit keluarga b.d
Kurang kurang
DO pengetahuan pengetahuan
- Klien bertanya tentang tentang rematik keluarga tentang
penyakitnya reumatik

Manajemen
kesehatan tidak
efektif

C. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d ketidak mampuan keluarga merawat anggota keluarga yang sakit
2. Resiko cedera b.d ketidakmampuan keluarga modifikasi lingkungan
3. Ketidakefektifan manajemen kesehatan keluarga b.d kurang pengetahuan keluarga
tentang reumatik

13
D. Intervensi Keperawatan

Rencana keperawatan
No. Diagnosa keperawatan
Tujuan dan kriteria obyektif Intervensi Rasional

1. Nyeri akut b.d TUK 2 1. kaji skala nyeri 1. membantu


ketidakmampuan keluarga Keluarga mampu memutuskan 2. anjurkan menentukan
merawat anggota keluarga yang untuk merawat, meningkatkan atau keluarga intervensi
sakit memperbaiki kesehatan membantu Tn.I selanjutnya
TUK 3 untuk mandi ai 2. panas meningkatkan
Keluarga mampu merawat anggota hangat, relaksasi oto dan
keluarga untuk meningkatkan atau kompres sendi- mobilitas,
memperbaiki kesehatan. sendi yang menurunkan rasa
sakit dengan sakit
kompres 3. meningkatkan
hangat relaksasi/mengurangi
3. Mengkaji tegangan otot
keluhan yang 4. meningkatkan
dirasakan klien, relaksasi,
catat factor memberikan rasa
yang control dan mungkin
mempercepat meningkatkan
dan tanda- kemampuan koping
tanda rasa sakit 5. memudahkan untuk
non verbal ikut serta dalam
4. berikan masase terapi dan
yang lembut mengurangi
5. ajarkan teknik tegangan
relaksasi dan otot/spasme
distraksi
6. kolaborasi
pemberian obat
sesuai indikasi

14
yang diberikan
2. Resiko cedera b.d TUK 4 1. anjurkan modifikasi 1. kondisi lingkungan
ketidakmampuan keluarga Keluarga mampu memodifikasi lingkungan yang yang sehat dapat
modifikasi lingkungan lingkungan sehat dan aman menghindarkan
 lantai tidak resiko pada anggota
licin dan kotor keluarga yang sehat
 penerangan
lampu baik
(tidak gelap
dan tidak
terlalu terang
TUK 5 1. minta keluarga 1. untuk memastikan
Keluarga mampu memanfaatkan menunjukan kartu keluarga
fasilitas kesehatan JKN menggunakan
fasilitas kesehatan
apabila ada anggota
keluarga yang sakit
terutama Tn.I
apabila cedera.
2. Ketidakefektifan manajemen TUK 1 1. kaji tingkat 1. memudahkan dalam
kesehatan keluarga b.d kurang keluarga mampu mengenal pengetahuan menentukan
pengetahuan keluarga tentang masalah tentang pengetahuan keluarga intervensi
rematik kesehatan dan perilaku sehat 2. berikan pendidikan selanjutnya
kesehatan tentang 2. menambah
rematik pengetahuan klien
3. evaluasi tingkat dan keluarga tentang
pengetahuan penyakit yang
keluarga dideritanya.
3. Mengetahui sejauh
mana keluarga
memahami tentang
penyakit yang

15
diderita

16
E. Implementasi dan Evaluasi
NO. DX Implementasi Evaluasi
1. Nyeri akut b.d 1. Mengkaji skala S : Klien mengatakan setelah
ketidakmampuan nyeri di kompres hangat nyerinya
keluarga R: sedikit berkurang
merawat anggota P : Klien mengatakan saat O:
keluarga yang berdiri nyeri masih - klien tampak
sakit dirasakan memegangi kakinya
Q : Nyari terasa ditusuk- - kaki klien tampak
tusuk kemerahan setelah
R : Nyeri dibagian dilakukan manegemnt
lututnya nyeri
S : Skala nyeri 3 - klien tampak lebih
T : Nyeri timbul saat tenang
melakukan aktivitas yang - skala nyeri turun dari 5
berat menjadi 3
2. Mengkaji keluhan - klien tampak
yang dirasakan mempraktekkan teknik
klien, catat factor relaksasi nafas dalam
yang mempercepat A : Masatah teratasi sebagian
dan tanda-tanda P : Lanjutkan intervensi
rasa sakit non 1. Observasi
verbal ketidaknyamanan
R : klien tampak 2. Mengkolaborasikan
memegangi kakinya saat pemberian obat sesuai
ia berdiri indikasi yang diberikan
3. Menganjurkan
keluarga
membantu Tn.I
untuk mandi air
hangat, kompres
sendi-sendi yang
sakit dengan
kompres hangat
R : keluarga tampak
membantu Tn. I untuk
mandi dan mengompres
sendi yang sakit
4. Memberikan
massage yang
lembut
R : keluarga tampak
memberikan massage
pada kaki Tn. I
5. Mengajarkan
teknik relaksasi
dan distraksi
R : klien tampak lebih
tenang
2. Resiko cedera 1. Menganjurkan S : Klien mengatakan sudah

17
b.d modifikasi menciptakan lingkungan yang
ketidakmampuan lingkungan yang sehat dan aman, lantai rumah
keluarga sehat dan aman tetap kering
modifikasi - lantai tidak licin O:
lingkungan dan kotor - Keluarga klien tampak
- penerangan lampu membersihkan
baik (tidak gelap rumahnya
dan tidak terlalu - Lantai rumah klien
terang) tampak kering
R : keluarga tampak - Penerangan lampu
memodifikasi lingkungan baik, tidak ada pemicu
rumahnya, penerangan klien jatuh
lampu diperbaiki, dan A : Masalah teratasi
lantai rumah dibersihkan P : Intervensi dihentikan
3. Ketidakefektifan 1. Mengkaji tingkat S : Klien mengatakan sudah
manajemen pengetahuan tau mengenai penyakit
kesehatan keluarga Reumatoid Arthritis
keluarga b.d R : Keluarga tampak O:
kurang belum mengetahui - Klien tampak mengerti
pengetahuan penyakit yang diderita dengan apa yang
keluarga tentang oleh Tn. I dijelaskan
rematik 2. Memberikan - Klien mampu
pendidikan menjelaskan kembali
kesehatan tentang tentang penyakit
rematik rematik
R : Keluarga tampak A : Masalah teratasi
memperhatikan saat P : Intervensi dihentikan
diberikan Pendidikan
kesehatan tentang rematik
3. Mengevaluasi
tingkat
pengetahuan
keluarga
R : Keluarga tampak
memahami dan mampu
menjelaskan tentang
penyakit rematik

I. ASKEP GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN (INKOTINENSIA


URINE)

18
A. Definisi

Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai bahasa
awam merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia. Inkontinensia urine
adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga
mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial. Variasi dari inkontinensia urin
meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak, bahkan terkadang
juga disertai inkontinensia alvi (disertai pengeluaran feses) (brunner, 2011).
Inkontinensia urin (IU) oleh International Continence Society (ICS) didefinisikan
sebagai keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol; secara objektif dapat
diperlihatkan dan merupakan suatu masalah sosial atau higienis. Hal ini memberikan
perasaan tidak nyaman yang menimbulkan dampak terhadap kehidupan sosial, psikologi,
aktivitas seksual dan pekerjaan. Juga menurunkan hubungan interaksi sosial dan
interpersonal. Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten. Inkontinensia urin yang
bersifat akut dapat diobati bila penyakit atau masalah yang mendasarinya diatasi seperti
infeksi saluran kemih, gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, rangsangan obat–obatan dan
masalah psikologik.
B. Anatomi dan Fisiologis Sistem Urinaria
Sistem urinaria adalah suatu system tempat terjadinya proses penyaringan darah
sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat
yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam
air dan dikeluarkan berupa urine (air kemih).
1. Ginjal
Ginjal suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang kavum abdominalis di
belakang peritonium pada kedua sisi vertebra lumbalis III, melekat langsung pada
dinding belakang abdomen. Bentuk ginjal seperti biji kacangm jumlahnya ada dua buah
kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-
laki lebih panjang dari ginjal wanita. Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang
disebut kapsula renalis yang terdiri dari jaringan fibrus berwarna ungu tua. Lapisan luar
terdapat lapisan korteks (substansia kortekalis), dan lapisan sebelah dalam bagian
medulla (substansia medularis) berbentuk kerucut yang disebut renal pyramid. Puncak
kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla
renalis. Masing-masing pyramid saling dilapisi oleh kolumna renalis, jumlah renalis 15-
16 buah.

19
Garis-garis yang terlihat pada pyramid di sebut tubulus nefron yang merupakan
bagian terkecil dari ginjal yang terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal (tubulus
kontorti satu), ansa Henie, tubulus distal (tubuli kontorti dua) dan tubulus urinarius
(papilla vateri).
Pada setiap ginjal diperkirakan ada 1.000.000 nefron, selama 24 jam dapat
menyaring darah 170 liter. Arteri renalis membawa darah murni dari aorta ke ginjal,
lubang-lubang yang terdapat pada pyramid renal masing-masing membentuk simpul
dan kapiler satu badan malfigi yang disebut glomerolus. Pembutuh aferen yang
bercabang mebentuk kapiler menjadi vena renalis yang membawa darah drai ginjal ke
vena kava inferior.
Fungsi ginjal adalah sebagai berikut :
a. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam tubuh akan
diekskresikan oleh ginjal sebagai urine (kemih) yang encer dalam jumlah
besar, kekurangan air (kelebihan keringat) menyebabkan urine yang
diekskresikan berkurang dan konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan
volume cairan tubuuh dapat dipertahankan relative normal.
b. Mengatur keseimbangan osmotic dan mempertahankan keseimbangan ion
yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit). Bila terjadi
pemasukan/pengeluaran yang abnormal ion-ion akibat pemasukan garam yang
berlebihan/penyakit perdarahan (diare, muntah) ginjal akan meningkatkan
ekskresi ion-ion yang penting (mis na, K, Cl, Ca dan fosfat).
c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh bergantung pada apa yang
dimakan, campuran makanan menghasilkan urine yang bersifat agak asam, pH
kurang dari 6 ini disebabkan hasil akhir metabolism protein. Apabila banyak
makan sayur-sayuran, urine akan bersifat basa. pH urine bervariasi antara 4,8-
8,2. Ginjal menyekresi urine sesuai dengan perubahan pH darah.
d. Ekskresi sisa hasil metabolism (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat toksik,
obat-obatan, hasil metabolism hemoglobin dan bahan kimia asing (peptisida).
e. Fungsi hormonal dan metabolism. Ginjal menyekresi hormone rennin yang
mempunyai perananpenting mengatur tekanan darah (system rennin
angiotensin aldesteron) membentuk eritropoiesis mempunyai peranan penting
untuk memproses pembentukan sel darah merah (eritropoiesis). Di samping itu
ginjal juga membentuk hormone dihidroksi kolekalsiferol (vitamin D aktif)
yang diperlukan untuk absorbsi ion kalsium di usus.
20
2. Proses pembentukan urin
Glomerolus berfungsi sebagai ultrafiltrasi pada simpai Bowman, berfungsi untuk
menampung hasil filtrasi dari glomerolus. Pada tubulus ginjal akan terjadi penyerapan
kembali zat-zat yang sudah disaring pada glomerolus, sisa cairan akan diteruskan ke
piala ginjal terus berlanjut ke ureter.
Urine berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk ke dalam ginjal, darah
ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah. Ada tiga
tahap pembentukan urine :
a. Proses filtrasi
Terjadi di glomerolus, proses ini terjadi karena permukaan aferen lebih besar dari
permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan sebagian yang
tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring
ditampung oleh simpai Bowman yang terjadi dari glukosa, air, natrium, klorida,
sulfat, bikarbonat dll, yang diteruskan ke tubulus ginjal.
b. Proses reabsopsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar glukosa, natrium,
klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal
dengan obligator reabsorpsi terjadi pada tubulus atas. Sedangkan pada tubulus
ginjal bagian bawah terjadi kembali penyerapan natrium dan ion bikarbonat. Bila
diperlukan akan diserap kembali ke dalam tubulus bagian bawah. Penyerapannya
terjadi secara aktif dikenal dengan reabsorpsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada
papilla renalis.
c. Proses sekresi
Sisanya penyerapan urine kembali yang terjadi pada tubulus dan diteruskan ke
piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter masuk ke vesika urinaria.
3. Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa, masing-masing bersambung dari ginjal ke kandung
kemih (vesika urinaria), panjangnya kurang lebih 25-30 cm, dengan penampang
kurang lebih 0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian
terletak dalam rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari:
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos
c. Lapisan sebelah dalam lapisa mukosa

21
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltic tiap 5 menit
sekali yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam kandung kemih (vesika
urinaria). Gerakan peristaltic mendorong urine melalui ureter yang diekskresikan oleh
ginjal dan disemprotkan dalam bentuk pancaran, melalui osteum uretralis masuk ke
dalam kandung kemih.
Ureter berjalan hampir vertikal ke bawah sepanjang fasia muskulus psoas dan
dilapisi oleh peritoneum. Penyempitan ureter terjadi pada tempat ureter meninggalkan
pelvis renalis, pembuluh darah, saraf, dan pembuluh limfe berasal dari pembuluh
sekitarnya mempunyai saraf sensorik.
Pars abdominalis ureter dalam kavum abdomen ureter terletak di belakang
peritonium sebelah media anterior m. psoas mayor dan ditutupi oleh fasia subserosa.
Vasa spermatika/ovarika interna menyilang ureter secar oblique, selanjutnya ureter
akan mencapai kavum pelvis dan menyilang arteri iliaka ekterna.
Ureter kanan terletak pada pars desendens duodenum. Sewaktu tururn ke
bawah terdapat di kanan bawah dan disilang oleh kolon dekstra dan vosa iliaka
iliokolika, dekatt apertum pelvis akan dilewati oleh bagian bawah mesenterium dan
bagian akhir ilium. Ureter kiri disilang oleh vasa koplika sisintra dekat aperture pelvis
superior dan berjalan di belakang kolon sigmoid dan mesenterium.
Pars pelvis ureter berjalan pada bagian dinding lateral dari kavum pelvis
sepanjang tepi anterior dari insisura iskhiadika mayor dan tertutup oleh peritoneum.
Ureter dapat ditemukan di depan arteri hipogastrika bagian dalam nervus obturatoris
arteri vasialia anterior dan arteri hemoroidalis media. Pada bagian bawah insisura
iskhiadika mayor, ureter agak miring ke bagian medial untuk mencapai sudut lateral
dari vesika urinaria.
Ureter pada pria terdapat di dalam visura seminalis atas dan disilang oleh
duktus deferens dan dikelilingi oleh pleksus vesikalis. Selanjutnya ureter berjalan
obloque sepanjang 2 cm di dalam dinding vesika urinaria pada sudut lateral dari
trigonum vesika. Sewaktu menembus vesika urinaria, dinding atas dan dinding bawah
ureter akan tertutup dan pada waktu vesika urinaria penuh akan membentuk katup
(valvula) dan mencegah pengembalian dari vesika urinaria.
Ureter pada wanita terdapat di belakang fossa ovarika dan berjalan ke bagian
medial dan ke depan bagian lateralis serviks uteri bagian atas, vagina untuk mencapai
fundus vesika urinaria. Dalam perjalanannya, ureter didampingi oleh arteri uterine
sepanjang 2,5 cm dan selanjutnya arteri ini menyilang ureter dan menuju ke atas di
22
antara lapisan ligamentum. Ureter mempunyai 2 cm dari sisi serviks uteri. Ada tiga
tempat yang penting dari ureter yang mudah terjadi penyumbatan yaitu sambungan
ureter pelvis diameter 2 mm, penyilangan vosa iliaka diameter 4 mm dan pada saat
masuk ke vesika urinaria yang berdiameter 1-5 mm.
4. Vesika Urinaria
Vesika urinaria (kandung kemih) dapat mengembang dan mengempis seperti
balon karet, terletak di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Bentuk
kandung kemih seperti kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat, berhubungan
dengan ligamentum vesika umbilicus medius. Bagian vesika urinaria terdiri dari :
a. Fundus yaitu, bagian yang menghadap kea rah belakang dan bawah, bagian ini
terpisah dari rectum oleh spatium rectovesikale yang terisi oleh jaringan ikat
duktus deferen, vesika seminalis, dan prostat.
b. Korpus, yaitu bagian antara verteks dan fundus.
c. Verteks, bagian yang memancung ke arah muka dan berhubungan dengan
ligamentum vesika umbilikalis.
Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar (peritonium), tunika
muskularis (lapisan otot), tunika submukosa, dan lapisa mukosa (lapisan bagian
dalam). Pembuluh limfe vesika urinaria mengalirkan cairan limfe ke dalam nodi
limfatik iliaka interna dan eksterna.
5. Uretra
Uretra pria
Pada laki-laki ureta berjalan berkelok-kelok melalui tengah-tengah prostat
kemudian menembus lapisan fibrosa yang menembus tulang pubis ke bagian penis
panjangnya kurang lebih 20 cm. Uretra pada laki-laki terdiri dari:
1) Uretra prostatia
2) Uretra membranosa
3) Uretra kavernosa
Lapisan uretra laki-laki terdiri dari lapisan mukosa (lapisan paling dalam), dan
lapisan submukosa. Uretra pria mulai dari orifisium uretra interna di dalam vesika
urinaria sampai orifisium uretra ekterna. Pada penis panjangnya 17,5-20 cm yang
terdiri dari bagian-bagian berikut :
a. Uretra prostatika
Uretra prostatika merupakan saluran terlebar, panjangnya 3 cm, berjalan
hamper vertikulum melalui glandula prostat, mulai dari basis sampai ke apeks dan

23
lebih dekat ke permukaan anterior. Bentuk salurannya seperti kumparan yang bagian
tengahnya lebih luas dan makin ke bawah makin dangkal kemudian bergabung
dengan pars membrane. Potongan transversal saluran ini menghadap ke depan.
Pada dinding posterior terdapat Krista uretralis yang berbentuk kulit yang
dibentuk oleh penonjolan membrane mukosa dan jaringan di bawahnya dengan
panjang 15-17 cm dan tinggi 3 cm. pada kiri dan kanan Krista uretralis terdapat sinus
prostatikus yang ditembus oleh orifisium duktus prostatikus dari lobus lateralis
glandula prostate dan duktus dari lobus medial glandula prostate bermuara di
belakang Krista uretralis.
Bagian depan dari Krista uretralis terdapat tonjolan yang disebut kolikus
seminalis. Pada orifisium utrikulus, prostatikus berbentuk kantong sepanjang 6 cm
yang berjalan ke atas dan ke belakang di dalam substansia prostate di belakang lobus
medial. Dindingnya terdiri dari jaringan ikat, lapisan muskularis dan membrane
mukosa. Beberapa glandula kecil terbuka ke permukaan dalam.
b. Uretra pars membranasea
Uretra pars membranasea ini merupakan saluran yang paling pendek dan
paling dangkal, berjalan mengarah ke bawah dank e depan di antara apeks glandula
prostate dan bulbus uretra. Pars membranasea menembus diafragma urogenitalis,
panjngnya kira-kira 2,5 cm, di bawah belakang simfisis pubis diliputi oleh jaringan
sfingter uretra membranasea, di depan saluran ini terdapat vena dorsalis penis yang
mencapai pelvis diantara ligamentum transversal pelvis dan ligamentum equarta
pubis.
c. Uretra pars kavernosus
Uretra pars kavernosus merupakan saluran terpanjang dari uretra dan terdapat
di dalam korpus kavernosus uretra, panjangnya kira-kira 15 cm, mulai dari pars
membranasea sampai ke orifisium dari difragma urogenitalis. Pars kavernosus yratra
berjalan ke depan dan ke atas menuju bagian depan simfisis pubis. Pada keadaan
penis berkontraksi, pars kavernosus akan membelok ke bawah dan ke depan. Pars
kavernosus ini dangkal sesuai dengan korpus penis 6 mm dan berdilatasi ke belakang.
Bagian depan berdilatasi di dalam gland penis yang akan membentuk fossa
navikularis uretra.
Orifisium uretra eksterna merupakan bagian erector yang paling berkontraksi berupa
sebuah celah vertikal di tutupi oleh kedua sisi bibir kecil dan panjangnya 6 mm.
glandula uretralis yang akan bermuara ke dalam uretra dibagi dalam dua bagian, yaitu
24
glandula dan lacuna. Glandula terdapat di bawah tunika mukosa di dalam korpus
kavernosus uretra (glandula pars uretralis). Lacuna bagian dalam epithelium. Lacuna
yang lebih besar di permukaan atas disebut lacuna magma orifisium dan lacuna ini
menyebar ke depn sehingga dengan mudah menghalangi ujung kateter yang dilalui
sepanjang saluran.
a. Uretra wanita
Uretra pada wanita, terletak di belakang simfisis pubis berjalan miring
sedikitke arah atas, panjangnya kurang lebih 3-4 cm. Lapisan uretra wanita terdiri dari
tunika muskularis (sebelah luar), lapisan spongiosa merupakan pleksusu dari vena-
vena, dan lapisan mukosa (lapisan sebelah dalam). Muara uretra pada wanita terletak
di sebelah atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan urtra di sini hanya sebagai
saluran ekskresi. Apabila tidak berdilatsi diameternya hanya 6 cm. uretra ini
menembus fasia diafragma urogenitalis dan orifisium eksterna langsung di depan
permukaan vagina, 2,5 cm di belakang gland klitoris. Glandula uretra bermuara ke
uretra, yang terbesar diantaranya adalah glandula pars uretralis (skene) yang bermuara
ke dalam orifisium uretra yang hanya berfungsi sebagai saluran ekskresi.
Diafragma urogenitalis dan orifisium eksterna langsung di depan permukaan
vagina dan 2,5 cm di belakang gland klitoris. Uretra wanita jauh lebih pendek
daripada uretra pria dan terdiri lapisan otot polos yang diperkuat oleh sfingter otot
rangka pada muaranya penonjolan berupa kelenjar dan jarongan ikat fibrosa longgar
yang ditandai dengan banyak sinus venosa mirip jaringan kavernosus.
C. Klasifikasi
Menurut Hidayat, 2006 berdasarkan sifat reversibilitasnya inkontinensia urin dapat
dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
1. Inkontinensia urin akut ( Transient incontinence )
Inkontinensia urin ini terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari 6 bulan dan biasanya
berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenic dimana menghilang jika
kondisi akut teratasi. Penyebabnya dikenal dengan akronim DIAPPERS yaitu : delirium,
infeksi dan inflamasi, atrophic vaginitis, psikologi dan pharmacology, excessive urin
production (produksi urin yang berlebihan), restriksi mobilitas dan stool impaction
(impaksi feses).
2. Inkontinensia urin kronik ( Persisten )
Inkontinensia urin ini tidak berkaitan dengan kondisi akut dan berlangsung lama (
lebih dari 6 bulan ). Ada 2 penyebab kelainan mendasar yang melatar belakangi
25
Inkontinensia urin kronik (persisten) yaitu : menurunnya kapasitas kandung kemih akibat
hiperaktif dan karena kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi
otot detrusor. Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan lagi menjadi beberapa tipe
(stress, urge, overflow, mixed). Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing tipe
Inkontinensia urin kronik atau persisten :
a. Inkontinensia urin tipe stress
Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar akibat
peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot dasar panggul, operasi dan
penurunan estrogen. Gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan,
tertawa, bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut.
Pengobatan dapat dilakukan tanpa operasi (misalnya dengan Kegel exercises, dan
beberapa jenis obat-obatan), maupun dengan operasi.
Inkontinesia urin tipe stress dapat dibedakan dalam 4 jenis yaitu:
1) Tipe 0 :pasien mengeluh kebocoran urin tetapi tidak dapat dibuktikan melalui
pemeriksaan
2) Tipe 1 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan manuver stress dan adanya sedikit
penurunan uretra pada leher vesika urinaria
3) Tipe 2 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan uretra pada leher vesika
urinaria 2 cm atau lebih
4) Tipe 3 :uretra terbuka dan area leher kandung kemih tanpa kontraksi kandung
kemih. Leher uretra dapat menjadi fibrotik (riwayat trauma atau bedah
sebelumnya) dengan gangguan neurologic atau keduanya. Tipe ini disebut juga
defisiensi sfingter intrinsik
b. Inkontinensia urin tipe urge
Timbul pada keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil, yang
mana otot ini bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin ini ditandai dengan
ketidak mampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul.
Manifestasinya dapat berupa perasaan ingin kencing yang mendadak ( urge ),
kencing berulang kali ( frekuensi ) dan kencing di malam hari ( nokturia ).
c. Inkontinensia urin tipe overflow
Pada keadaan ini urin mengalir keluar akibat isinya yang sudah terlalu
banyak di dalam kandung kemih, umumnya akibat otot detrusor kandung kemih
yang lemah. Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan saraf akibat penyakit
diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, atau saluran kencing yang
26
tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas setelah kencing ( merasa urin masih
tersisa di dalam kandung kemih ), urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah.
Inkontinensia tipe overflow ini paling banyak terjadi pada pria dan jarang terjadi
pada wanita.
d. Inkontinensia tipe campuran (Mixed)
Merupakan kombinasi dari setiap jenis inkontinensia urin di atas.
Kombinasi yang paling umum adalah tipe campuran inkontinensia tipe stress dan
tipe urgensi atau tipe stress dan tipe fungsional.
D. Etiologi
Kelainan klinik yang erat hubungannya dengan gejala inkontinensia urine antara lain :
1. Kelainan traktus urinearius bagian bawah
Infeksi, obstruksi, kontraktiltas kandung kemih yang berlebihan, defisiensi
estrogen,kelemahan sfingter, hipertropi prostat.
2. Usia
Seiring bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-
kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru
terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
3. Kelainan neurologis
Otak (stroke, alzaimer, demensia multiinfark, parkinson, multipel sklerosis),
medula spinalis (sklerosis servikal atau lumbal, trauma, multipel sklerosis), dan
persarafan perifer (diebetes neuropati, trauma saraf).
4. Kelainan sistemik
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke
toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk
mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan
substitusi toilet.
a. Kondisi fungsional
Inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena
kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang
aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat
27
menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan
bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat
regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar
hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi
penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas
atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko
mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan
mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih
dan otot dasar panggul.
b. Efek samping pengobatan
Diuretik, antikolionergik, narkotika, kalsium chanel bloker, inhibitor kolinestrase.
5. Jenis kelamin
Inkontinensia urine lebih banyak menyerang wanita dari pada pria. Hal ini dapat di
pengaruhi oleh proses kehamilan, melahirkan dan menopause.
6. Operasi pengangkatan rahim
Pada wanita, kandung kemih dan rahim di dukung oleh otot yang sama. Ketika rahim
di angkat, otot-otot dasar panggul tersebut dapat mengalami kerusakan, sehingga
memicu inkontinensia
7. Merokok
tembakau dapat meningkatkan inkontinensia urine, oleh karena itu, perokok lebih
beresiko mengalami resiko ini
8. Obat-obatan
Beberapa jenis obat, seperti antihipertensi, obat penenag, dan obat penyakit jantung,
dapat memicu terjadinya inkontinensia urine.

E. Manifestasi Klinis
Gejala yang terjadi pada inkontinensia urine antara lain :
1. Sering berkemih: merupakan gejala urinasi yang terjadi lebih sering dari normal bila
di bandingkan denga pola yang lazim di miliki seseorang atau lebih sering dari normal
yang umumnya di terima, yaitu setiap 3-6 jam sekali.
2. Frekuensi: berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam waktu 24
jam.
28
3. Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih.
4. Urgensi yaitu keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun penderita
belum lama sudah berkemih dan kandung kemih belum terisi penuh seperti keadaan
normal.
5. Urge inkontinensia yaitu dorongan yang kuat sekali unuk berkemih dan tidak dapat
ditahan sehingga kadang–kadang sebelum sampai ke toilet urine telah keluar lebih
dulu.
Orang dengan inkontinensia urine mengalami kontraksi yang tak teratur pada
kandung kemih selama fase pengisian dalam siklus miksi. Urge inkontinensia
merupakan gejala akhir pada inkontinensia urine. Jumlah urine yang keluar pada
inkontinensia urine biasanya lebih banyak daripada kapasitas kandung kemih yang
menyebabkan kandung kemih berkontraksi untuk mengeluarkan urine. Pasien
dengan inkontinensia urine pada mulanya kontraksi otot detrusor sejalan dengan
kuatnya keinginan untuk berkemih, akan tetapi pada beberapa pasien mereka
menyadari kontraksi detrusor ini secara volunter berusaha membantu sfingter untuk
menahan urine keluar serta menghambat kontraksi otot detrusor, sehingga keluhan
yang menonjol hanya urgensi dan frekuansi yaitu lebih kurang 80 %. Nokturia
hampir ditemukan 70 % pada kasus inkontinensia urine dan simptom nokturia sangat
erat hubungannya dengan nokturnal enuresis. Keluhan urge inkontinensia ditemukan
hanya pada sepertiga kasus inkontinensia urine.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Tes diagnostik pada inkontinensia urin
Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi
kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia. Mengukur sisa urin setelah
berkemih, dilakukan dengan cara : Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang
keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila
sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.
Urinalisis Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi
adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri,
piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan
bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah : Tes
laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium
glukosa sitologi.
29
2. Uji urodinamik
Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat
mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis.
Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin.
Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi
tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan
keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi
litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat
diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya
kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
3. Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.
Menurut National Women’s Health Report, diagnosis dan terapi inkontinensia
urine dapat ditegakkan oleh sejumlah pemberi pelayanan kesehatan, termasuk dokter
pada pelayanan primer, perawat, geriatris, gerontologis, urologis, ginekologis,
pedriatris, neurologis, fisioterapis, perawat kontinensia, dan psikolog. Pemberi
pelayanan primer dapat mendiagnosis inkontinensia urine dengan pemeriksaan
riwayat medis yang lengkap dan menggunakan tabel penilaian gejala.
Tes yang biasanya dilakukan adalah urinealisa (tes urine untuk menetukan
apakah gejalanya disebabkan oleh inkontinensia urine, atau masalah lain, seperti
infeksi saluran kemih atau batu kandung kemih). Bila urinealisa normal, seorang
pemberi pelayanan primer dapat menentukan untuk mengobati pasien atau
merujuknya untuk pemeriksaan gejala lebih lanjut.
Pada beberapa pasien, pemeriksaan fisik yang terfokus pada saluran kemih
bagian bawah, termasuk penilaian neurologis pada tungkai dan perineum, juga
diperlukan. Sebagai tambahan , pasien dapat diminta untuk mengisi buku harian
kandung kemih (catan tertulis intake cairan, jumlah dan seringnya buang air kecil, dan
sensasi urgensi) selama beberapa hari untuk mendapatkan data mengenai gejala. Bila
setelah langkah tadi diagnosis definitif masih belum dapat ditegakkan, pasien dapat
dirujuk ke spesialis untuk penilaian urodinamis. Tes ini akan memberikan data
mengenai tekanan/ volume dan hubungan tekanan/ aliran di dalam kandung kemih.
Pengukuran tekanan detrusor selama sistometri digunakan untuk mengkonfirmasi
diagnosis overaktifitas detrusor.
30
G. Komplikasi
Penderita dengan penyakit inkontinensia urine biasanya dapat menyebabkan antara lain :
1. infeksi saluran kemih
2. ulkus pada kulit
3. problem tidur
4. depresi dan kondisi medis lainnya.
H. Penatalaksanaan
1. Terapi non farmakologis
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia
urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-
lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan
teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan
dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk
berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang
secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.Membiasakan berkemih pada
waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih
mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.
Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul
secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut
adalah dengan cara :
a. Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian
pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali,
dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.
b. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10
kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat
tertutup dengan baik.
b. Terapi farmakologis
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
31
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.Pada sfingter relax diberikan
kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin
untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
c. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin.
Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan
prolaps pelvic (pada wanita).
d. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang
mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu
toilet seperti urinal, komod dan bedpan.
1) Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana
pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun
pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila
jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan
akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan
pada kulit, gatal, dan alergi.
2) Kateter
Kter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena
dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu.
Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang
secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini
digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih.
Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.

I. Patofisiologis
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran
kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara tiba-tiba.
Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord trauma atau bersifat temporer
pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat berakibat terjadinya
32
inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia,
kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian
koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase. Pada keadaan
normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine, walaupun kandung kemih penuh
atau tekanan intra-abdomen meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing dan
peningkatan isi kandung kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal
demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh
kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat atau
memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin
kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung kemih tetap
kendor sehingga meskipun volume kandung kemih meningkat, tekanan di dalam kandung kemih
tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan
tegang. Dengan demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung
kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi pengendoran mekanisme
penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama
antara otot-otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase
pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks).
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali. Sfingter
uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah control volunter dan disuplai oleh saraf
pudenda, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah
kontrol sistem safar otonom,yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri
atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan
lapisanmukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot
kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih berlangsung.
otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih.
Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor,saraf pelvis, medula spinalis dan pusat saraf yang
mengontrol berkemih. Ketikakandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf
diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat
subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi
sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih.
Ketika pengisian kandung kemih berlanjut,rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan
pusat kortikal (pada lobusfrontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat
kortikaldan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda
33
pengeluaran urin. Komponen penting dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra
dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi
yang tepat antara urethra dan kandung kemih.Fungsi sfingter urethra normal juga tergantung
pada posisi yang tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara
efektif ditrasmisikan ke uretre. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada
saat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen.
Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat dimedula
spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung
kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher
kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta penghambatan aktivitas parasimpatis
dan mempertahankan inversisomatik pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas
simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi
otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem
saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Pada usia lanjut
biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu ada inkontinensia urin tipe stress,
inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe overflow.
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain: Fungsi sfingter
yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin. Terjadi hambatan
pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih
sampai kapasitas berlebihan. Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain : melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang
tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding
kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa
ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di
saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi.
Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urine berlebih karena berbagai sebab.
Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Selain hal-hal
yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul,
karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang
aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat
menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan.

34
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot
dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause
(50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih
(uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah
obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan
inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia
urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.

J. Pathway
35
K. Prognosis
a. Inkontinensia tekanan urin: pengobatan tidak begitu efektif. Pengobatan yang efektif
adalah dengan latihan otot (latihan Kegel) dan tindakan bedah. Perbaikan dengan
terapi alfa agonis hanya sebesar 17%-74%, tetapi perbaikan dengan latihan Kegel bisa
mencapai 87%-88%.
b. Inkontinensia urgensi: dari studi, menunjukkan bahwa latihan kandung kemih
memberikan perbaikan yang cukup signifikans (75%) dibandingkan dengan
penggunaan obat antikolinergik (44%). Pilihan terapi bedah sangat terbatas dan
memiliki tingkat morbiditas yang tinggi.

36
c. Inkontinensia luapan: terapi medikasi dan bedah sangat efektif untuk mengurangi
gejala inkontinensia.
d. Inkontinensia campuran: latihan kandung kemih dan latihan panggul memberikan
hasil yang lebih memuaskan dibandingkan penggunaan obat-obata antikolinergik.

ASUHAN KEPERAWATAN

Kasus
Ny.S datang ke rumah sakit usia 60 tahun mengatakan setiap hari pasien BAK lebih
dari 20 kali dengan urine sedikit-sedikit setiap kali BAK dan pasien merasa nyeri
pada saat BAK di bagian genitalia dan menjalar ke bagian pinggang bagian
belakang, pasien mengatakan nyeri seperti perih tertusuk-tusuk hal ini dialami pasien
sekitar seminggu sebelum masuk rumah sakit. Selain itu pasien juga merasa nyeri
pada bagian pinggang saat buang air kecil.

A. Asuhan Keperawatan Kasus


Nama : Ny S.
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 60 tahun
Status Perkawinan : Janda
Agama : Islam
Pendidikan : Sd
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jln Teratai Gang Kukun Rt03 Rw 01 Kel.Sari Rejo
Tanggal pengkajian : 18 mei 2019

B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Klien tampak gelisah,lemah dan lesu
2. Tanda-tanda vital
TD : 110/90 mmHg, N : 84 x/mnt, RR : 24 x/mnt, S : 36,8 C, BB : 50 Kg, TB : 150
Cm
37
C. Pola Kebiasaan Sehari-hari
1. Pola makan dan minum
Pasien makan 3 kali sehari, waktu pemberiaan makan Pagi pada jam 07.00 wib,
siang pada jam 12.00 wib, dan malam pada jam 18.00 wib. Klien di berikan minum
sesering mungkin
2. Pola kegiatan / aktivitas
Aktivitas pasien dibantu oleh anak dan cucunya, Selama pasien sakit, pasien
tetap melakukan ibadah sesuai keyakinannya.
3. Pola eliminasi BAB
Pola BAB klien 1 kali / hari dengan Karakter feses lunak, berwarna kecoklatan
4. Pola eliminasi BAK
Karakter urin Kuning keruh, Ada rasa nyeri dibagian pinggang

D. Analisa data
No Data Penyebab Masalah Keperawatan

1. Ds : - Pasien mengatakan Trauma jaringan ditandai


nyeri di bagian pinggang dan dengan pasien tampak Nyeri
menyebar gelisah, dan fokus pada diri
- Pasien mengatakan nyeri sendiri.
pada bagian genitalia saat
BAK
Do : Pasien tampak gelisah
merintih dan berfokus pada
diri sendiri
2. Ds : - Pasien mengatakan Stimulasi kandung kemih
BAK lebih dari 20 kali tiap oleh batu ditandai dengan Gangguan pola
hari inkontinensia urine. eleminasi
- Pasien mengatakan urine
yang dikeluarkan saat BAK
sakit pada bagian pinggang

Do : Terdapat adanya batu

38
kecil-kecil sebesar pasir pada
urine. Warna urine kuning
pekat

3. Ds : - Pasien mengatakan Penurunan fungsi fisiologis


tidak mau menggunakan yaitu penurunan kekuatan Resiko cedera
pispot dan kateter otot tungkai bawah ditandai
- Pasien mengatakan kakinya dengan pasien tidak
tidak kuat lagi untuk berdiri menggunakan
dan terasa sakit jika lama pispot/pampers melainkan
ke toilet.
Do : - Pasien tidak
menggunakan kateter atau
pispot saat BAK. Pasien
BAK dengan bantuan anak
dan cucunya dan BAK harus
ke toilet

E. Rumusan masalah keperawatan


1. Nyeri
2. Gangguan pola eliminasi
3. Resiko cedera

F. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan ditandai dengan pasien tampak gelisah, dan
fokus pada diri sendiri.
2. Gangguan pola eliminasi berhubungan dengan stimulasi kandung kemih oleh batu
ditandai dengan inkontinensia urine.
3. Resiko cedera pada pasien berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis yaitu
penurunan kekuatan otot tungkai bawah ditandai dengan pasien tidak menggunakan
pispot/pampers melainkan ke toilet.

G. Perencanaan Keperawatan

39
NO DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN
KEPERAWATAN TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
1. Nyeri berhubungan Setelah dilakukan 1.monitor TTv 1. Tanda merupakan
dengan trauma tindakan keperawatan 2. catat lokasi lamanya acuan mengetahui
jaringan ditandai selama 2x24 jam intensistas skala 0-10 dan kondisi umum pasien
dengan pasien diharapkan klien mampu penyebarannya perhatikan 2. membantu
tampak gelisah, dan memperlihatkan teknik tanda non verbal contoh mengevaluasi tempat
fokus pada diri relaksasi dan tingkat peingkatan Td dan nandi obstruksi dan
sendiri. nyeri dengan kriteria gelisah. kemajuan gerakan
hasil : 3. jelaskan penyebab kalkulus, nyeri
1. memepertahankan nyeridan pentingnya pinggang sering
tingkat nyeri atau kurang melaporkan ke staf menyebar ke
2. memperlihatkan perubahan kejadian/ punggung dan
teknik relaksasi yang karakteristik nyeri pembuluh darah yang
efektif mengenali faktor 4. berikan tindakan nyaman menyuplai area lain
penyebab dan contoh pijatan pungung nyeri tiba-tiba dan
menggunakan tindakan lingkungan dan istirahat hebab dapat
3. tindakan untuk 5. dorong/ bantu dengan mencatuskan
memodifikasi faktor ambulasi sering sesuai ketakutan dan gelisah
tersebut indikasi dan pemasukan 3.. memberikan
cairan sedikitnya 3-4 L/hari kesempatan untuk
dalam kolaborasi jantung pemberian analgesi
6.. kolaborasu pemberian sesuai waktu dan
obat anti nyeri kewaspadaan saraf
akan memungkinkan
lewatnya batu/ terjadi
komplikasi
penghentian tiba tiba
nyeri biasanya
menunjukan lewat
batu
4. meningkatkan
relaksasi penurunan

40
tegangan otot dan
meningkatkan koping
5. hidrasi kuat
hilangnya batu
mencegah statis urine
dan membantu
mencegah
pembentukan batu
6.biasanya diberikan
selama episode akut
untuk menurunkan
kolik uretral dan
meningkatkan
relaksasi otot
Gangguan pola Setelah dilakukan asuhan 7. Monitor TTV 7. Tanda merupakan
2. eliminasi keperawatan selama 8. Tanyakan klien tentang acuan mengetahui
berhubungan 2x24 jam, diharapkan waktu berkemih kondisi umum
dengan stimulasi klien dapat 9. Dorong klien untuk pasien
kandung kemih mengendalikan eliminasi dapat melakukan 8. Membantu klien
oleh batu ditandai urinedari kandung kemih eliminasi urine dengan agar dapat miksi
dengan menunjukan dengan teratur secara teratur
inkontinensia urine. kriteria hasil : 10. Hibdari faktor 9. Membantu klien
6. Mengidentifikasi pencetus inkontenensia agar mengurangi
keinginan berkemih urine seperti cemas tingkat kecemasan
7. Berespons tepat 11. Jelaskan tentang karena
waktu terhadap pengobatan, penyebab inkotenensia urine
dorongan berkemih dan tindakan lainnya 10. Mengurangi/
8. Mencapai toilet menghindari
antara dorongan inkotenensia urine
berkemih dan 11. Meningkatkan
pengeluaran online pengetahuan dan
di harapkan pasien
lebih kooperatif

41
3. Resiko cedera pada Setelah dilakukan
pasien tindakan keperawatan 9. Identifikasi bagian 9. Penurunan fungsi
berhubungan selama 2x24 jam dengan tubuh yang mengalami tubuh akan
dengan penurunan kriteria hasil : penurunan fisiologis mengurangi
fungsi fisiologis 5. Mengurangi 10. Bantu pasien saat akan kemaksimalan
yaitu penurunan aktivitas mobilisasi mobilisasi dalam mobilisasi
kekuatan otot 6. Mengurangi resiko Atau anjurkan pasien 10. Menghindari
tungkai bawah cedera keluarga untuk terjadinya cedera
ditandai dengan 7. Pasien dapat memantau dan pada pasien
pasien tidak memenuhi membantu mobilisasi 11. Mengurangi
menggunakan kebutuham dengan toileting resiko terjadinya
pispot/pampers mobilisasi 11. Menganjurkan untuk cedera akibat
melainkan ke toilet menggunakan pispot/ banyak mobilisasi
pampers

H. Implementasi
No. WAKTU IMPLEMENTASI EVALUASI

DX TGL/JAM
1. Kamis 18 Mei 1. Monitor TTV S: klien mengatakan
2019 R: Td: 130/ 90 mmHg nyeri pada bagian
Hr: 80x pinggang bagian
Rr: 24x belakang dirasakan klien
T: 36,4 C menetap
2. memgkaji karakteristik O: skala nyeri : 5
nyeri pinggang bagian Klien tampak meringis
belakang -TTV
R: klien mengatakan nyeri Td: 130/ 90 mmHg
berskala 5 pada pinggang Hr: 80x
bagian belakang dan terus Rr: 24x

42
menetap T: 36,4 C
3. menjelaskan penyebab A: masalah belom
nyerinya dan cara teratasi
pengobatannya P: intervensi lanjutkan
R: klien dan keluarga tau - monitoring TTV
cara pengobatannya - mendorong klien untuk
4. memberikan tindakan dapat eliminasi
nyaman contoh pijatan melakukan urine dengan
punggung relaksasi, teratur.
lingkungan istirahat. - menghindari faktor
R: klien dan keluarga tau pencetus inkotenensia
cara relaksasi sendiri urine seperti cemas
5. mendorong/ klien dengan
sering ambulaai sesuai
indikasi
R: klien dan keluarga tau
ambulasi sesuai indikasi
6. berkolaborasi pemberian
obat anti nyeri : analgesik
R: setelah meminum obat
analgesik nyeri klien
menghilang
2. 1. monitor TTV S : klien mengatakan
R: Td:130/90 mmHg frekuensi berkemih 15
N: 80 xmenit kali
RR: 24 xmenit O : klien tampak lemah
S: 36,4 Cº dan lesu
2. menayakan klien tentang -TTV
berpa kali berkemih Td:130/90 mmHg
R: klien berkemih 15x /hari N: 80 xmenit
3. mendorong klien untuk RR: 24 xmenit
dapat eliminasi melakukan S: 36,4 Cº klien tampak
urine dengan teratur. bingung

43
R: klien dapat melakukan A: masalah belum
eliminasi urine dengan teratasi
teratur P: intervensi selanjutnya
4. menghindari faktor - mengidentifikasi bagian
pencetus inkotenensia urine tubuh yang mengalami
seperti cemas penurunan fungsi
R: klien merasa tampak fsiologis
bingung - mengajurkan untuk
5. menjelaskan tentang pemasangan
pengobatan, penyebab, dan pispot/toileting
tindakan lainnya.
R: klien dan keluarga
mengerti pengobatan,
penyebab dan tindakan
ikontenensia urine
3. Kamis/ 18 mei 1. mengidentifikasi bagian S: klien mengatakan
2019 tubuh yang mengalami sudah tidak merasakan
penurunan fungsi fsiologis sakit di bagian tungkai
R: klien sering mengalami kaki
kesemutan pada tungkai kaki O: klien tampak
2. membantu pasien saat melakukan mobilisasi
akan mobilisasi atau anjurkan sendiri
keluarga pasien memantau A : masalah teratasi
untuk dan mobilisasi toileting P : intervensi di hentikan
R: klien dan keluarga biasa
melakukan mobilisasi sendiri
3. mengajurkan untuk
pemasangan pispot/toileting
R: pemasangan pispot
toileting pada klien

44
J.KOMUNIKASI TERAUPETIK PADA LANSIA

A. Definisi Komunikasi Terapeutik


Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling
memberikan pengertian antar perawat dengan pasien. Persoalan mendasar dan
komunikasi in adalah adanya saling membutuhan antara perawat dan pasien, sehingga
dapat dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara perawat dan pasien,
perawat membantu dan pasien menerima bantuan (Indrawati, 2003 : 48).
Komunikasi terapeutik adalah merupakan hubungan interpersonal antara perawat dan
klien, dalam hal ini perawat dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama
dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional klien (Stuart, 1998) atau proses
dimana perawat menggunakan pendekatan terencana dalam mempelajari klien (Potter
– Perry, 2000).
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan
dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Purwanto, 1994). Sedangkan
menurut Komunikasi terapeutik juga dapat dipersepsikan sebagai proses interaksi
antara klien dan perawat yang membantu klien mengatasi stress sementara untuk
hidup harmonis dengan orang lain, menyesuaikan dengan sesuatu yang tidak dapat
diubah dan mengatasi hambatan psikologis yang menghalangi realisasi diri (Kozier
et.al, 2000).

B. Tujuan Komunikasi Terapeutik


Seperti telah disinggung sebelumnya, komunikasi terapetik bertujuan untuk
mengembangkan pribadi pasien agar mencapai kondisi yang adaptif dan positif.
Komunikasi terapetik diarahkan pada pertumbuhan pasien. Secara lebih rinci, berikut
ini pemaparan tujuan komunikasi terapeutik:
1. Realisasi dan penerimaan diri serta peningkatan penghormatan diri pasien
Pasien yang memiliki penyakit berat kadangkala mengalami perubahan terkait
gambar dirinya. Ia tidak mampu menerima keadaanya, mengalami penurunan
harga diri, hingga merasa tidak berarti dan mengalami depresi. Dengan
komunikasi terapetik, perawat dapat mengembangkan pribadi pasien dengan
mengarahkannya pada pertumbuhan pasien yang meliputi realisasi diri,
penerimaan diri, serta peningkatan penghormatan diri. Dengan demikian,
45
diharapkan terjadinya perubahan dalam diri pasien. Pasien yang pada awalnya
tidak bisa menerima dirinya dan penyakit yang dideritanya dengan apa adanya,
menjadi mampu menerima dirinya
2. Pasien mampu membina hubungan interpersonal dan saling bergantung
dengan orang lain.
Komunikasi terapetik dilakukan agar pasien dapat belajar bagaimana menerima
dan diterima orang lain. Dalam hal ini perawat perlu melakukan komunikasi yang
jujur, terbuka, dan menerima pasien apa adanya. Dengan begitu, perawat dapat
membantu pasien meningkatkan kemampuan klien dalam membina hubungan
saling percaya.Hubungan mendalam yang digunakan perawat dalam berinteraksi
dengan pasien merupakan area untuk mengekpresikan kebutuhan, memecahkan
masalah, dan meningkatkan kemampuan pasien dalam membina hubungan.
3. Meningkatkan fungsi dan kemampuan pasien untuk memuaskan
kebutuhannya serta mencapai tujuan yang realistis.
Terkadang pasien menetapkan ideal diri atau tujuan yang terlalu tinggi atau malah
terlalu rendah, tanpa mengukur kemampuan dirinya. Seseorang yang merasa
kenyataan dirinya mendekati ideal, akan memiliki harga diri yamg tinggi.
Sebaliknya seseorang yang merasa kenyataan hidupnya jauh dari ideal akan
merasa rendah diri. Dengan komunikasi terapetik, perawat akan membantu pasien
mengetahui batasan serta kemampuan dirinya, sehingga dapat menetapkan ideal
diri atau tujuan yang tepat.
4. Pasien memiliki rasa identitas yang jelas dan peningkatan integritas diri
Rasa identitas menyangkut status, peran, serta jenis kelamin seseorang. Pasien
yang mengalami gangguan identitas diri biasanya memiliki integritas diri yang
rendah serta perasaan rendah diri. Dengan komunikasi terapetik, perawat dapat
membantu pasien meningkatkan integritas diri serta identitas diri yang jelas.
Untuk melakukannya, perawat perlu menggali semua aspek kehidupasn pasien,
baik di masa sekarang ataupun masa lalu.
5. Membantu pasien mengurangi beban perasaan dan pikirannya
Dengan komunikasi terapetik, perawat dapat membantu pasien untuk memperjelas
beban perasaan serta pikiran yang dialaminya, kemudian membantu
menguranginya.

6. Membantu pasien mencapai tingkat kesembuhan yang diharapkan.


46
Komunikasi terapetik mempermudah perawat dalam menjalin hubungan saling
percaya dengan pasien, dengan begitu pencapaian tujuan asuhan keperawatan akan
lebih efektif dan memberikan kepuasan secara profesional.
7. Membantu meningkatkan kualitas asuhan keperawatan bagi pasien
Kualitas hubungan antara perawat dengan pasiennya sangat mempengaruhi
kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Komunikasi terapetik
berbeda dengan hubungan sosial biasa. Komunikasi terapetik harus memberi
dampak percepatan kesembuhan pasien. Perawat harus menyadari hal ini dalam
melakukan komunikasi dengan pasien.
8. Membantu pasien mengambil tindakan untuk mengubah situasi
Bila pasien percaya pada hal yang diperlukan, perawat dapat membantu pasien
dalam mengambil tidakan untuk mengubah situasi yang ada.

C. Definisi Lansia
Menurut World Health Organozation (WHO), lansia adalah seseorang yang
memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok pada umur manusia
yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupanya. Kelompok yang
dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut aging process atau
proses penuaan. Dalam Undang-undang No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan
lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun
keatas. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia, ada 3 aspek yang perlu
dipertimbangkan yaitu, aspek biologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial (BKKBN).
Lansia merupakan tahap akhir dari proses penuaan. Proses menjadi tua akan
dialami oleh setiap orang. Masa tua merupakan masa hidup menusia yang terakhir,
dimana pada masa ini seseorang akan mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial
secara bertahap sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari (tahap
penurunan). Penuaan merupakan perubahan komulatif pada makhluk hidup, termasuk
tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada
manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang,
jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainya. Dengan
kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan terkena berbagai penyakit,
sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa (Kholifah,2016)

D. Karakteristik Lansia
47
Berdasarkan usianya, organisasi kesehatan dunia (WHO) mengelompokan usia lanjut
menjadi empat macam meliputi:
1. Usia pertengahan (middle age) kelompok usia 45 samapai 59 tahun
2. Usia lanjut (elderly) kelompok usia antara 60 samapai 70 tahun
3. Usia lanjut usai (old) kelompok usia antara 75 sampai 90 tahun
4. Usai tua (veryold)kelompk usia di atas 90 tahun
Meskipun batasan usia sangat beragam untuk menggolongkan lansia namun
perubahan-perubahan akibat dari usai tersebut telah dapat di identifikasi, misalnya
perubahan pada aspek fisik berupa perubahan neurologi dan sensorik, perubahan
visual, perubahan pendengaran. Perubahan- perubahan tersebut dapat menghambat
proses penerimaan dan interprestasi terhadap maksud komunikasi. Perubahan ini juga
menyebabkan klien lansia mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Belum lagi
perubahan kognetif yang berpengaruh pada tingkat intelegensi, kemampuan belajar,
daya memori dan motivasi klien.
Perubahan emosi yang sering terlihat adalah berupa reaksi penolakan terhadap kondisi
yang terjadi. Gejala-gejala penolakan tersebut misalnya:
1. Tidak percaya terhadap diagnose, gejala, perkembangan serta keterangan yang di
berikan petugas kesehatan
2. Mengubah keterangan yang di berikan sedemikian rupa, sehinga di terima keliru
3. Menolak membicarakan perawatanya di rumah sakit
4. Menolak ikut serta dalam perawatan dirinya secara umum khususnya tindakan
yang mengikut sertakan dirinya
5. Menolak nasehat-nasehat misalnya, istirahat baring, berganti posisi tidur, terutama
bila nasehat tersebut demi kenyamanan klien.

E. Cara Pendekatan Perawatan Lansia Dalam Konteks Komunikasi


1. Pendekatan fisik
Mencari informasi tentang kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadian, yang dialami,
peruban fisik organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bisa di capai dan di
kembangkan serta penyakit yang dapat di cegah progresifitasnya. Pendekatan ini
relative lebih mudah di laksanakan dan di carikan solusinya karena riil dan mudah
di observasi.

2. Pendekatan psikologis
48
Karena pendekatan ini sifatnya absrak dan mengarah pada perubahan prilaku,
maka umumnya membutuhkan waktu yang lebih lama. Untuk melaksanakan
pendekatan ini perawat berperan sebagai konselor, advokat, supporter, interpreter
terhadap sesuatu yang asing atau sebagai penampung masalah-masalah yang
pribadi dan sebagai sahabat yang akrab bagi klien.
3. Pendekatan social
Pendekatan ini di lakukan untuk meningkatkan keterampilan berinteraksi dalam
lingkungan. Mengadakan diskusi, tukar pikiran, bercerita, bermain, atau
mengadakan kegiatan-kegiatan kelompok merupakan implementasi dari
pendekatan ini agar klien dapat berinteraksi dengan sesama klien maupun dengan
petugas kesehatan.
4. Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa membeikan kepuasan batin dalam hubunganya dengan Tuhan
atau agama yang dianutnya terutama ketika klien dalam keadaan sakit.

F. Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi Pada Lansia


Komunikasi dengan pasien lanjut usia dapat menjadi lebih sulit dibandingkan dengan
komunikasi pada populasi biasa sebagai akibat dari gangguan sensori yang terkait usia
dan penurunan memori. Orang ketiga juga dapat menjadi bagian dari interaksi, karena
pasien lanjut usia seringkali ditemani oleh anggota keluarga yang dicintai yang aktif
terlibat pada perawatan pasien dan berpartisipasi dalam kunjungan. Ada banyak faktor
lain yang mempengaruhi efektivitas komunikasi dengan pasien lanjut usia. Pasien
lanjut usia sering hadir dengan masalah yang kompleks dan beberapa keluhan utama,
yang memerlukan waktu untuk menyelesaikannya. Untuk setiap dekade kehidupan
setelah usia 40 tahun, pasien kemungkinan mengalami satu penyakit kronik baru.
Sehingga pada usia 80 tahun, orang kemungkinan memiliki paling tidak 4 penyakit
kronis (Vieder et al., 2002). Faktor lain adalah bahwa pasien lanjut usia umumnya
lebih sedikit bertanya dan menunggu untuk ditanya sesuai kewenangan dokter (Haug
& Ory, 1987;Greene et al.,1989). Masalah usia atau dikenal dengan
istilah ageism juga merupakan hal yang lazim dijumpai pada perawatan kesehatan dan
secara tidak sengaja berperan terhadap buruknya komunikasi dengan pasien lanjut
usia (Ory et al., 2003).

49
G. Teknik Komunikasi Pada Lansia
Untuk dapat melaksanakan komunikasi yang efektif kepada lansia, selain pemahaman
yang memadai tentang karakteristik lansia, petugas kesehatan atau perawat juga harus
mempunyai teknik-teknik khusus agar komunikasi yang di lakukan dapat berlangsung
secara lancar dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Beberapa teknik komunikasi yang dapat di terapkan antara lain:
1. Teknik asertif
Asertif adalah sikap yang dapat menerima, memahami pasangan bicara dengan
menunjukan sikap peduli, sabar untuk mendengarkan dan memperhatikan ketika
pasangan bicara agar maksud komunikasi atau pembicaraan dapat di mengerti.
Asertif merupakan pelaksanaan dan etika berkomunikasi. Sikap ini akan sangat
membantu petugas kesehatan untuk menjaga hubungan yang terapeutik dengan
klien lansia.
2. Responsif
Reaksi petugas kesehatan terhadap fenomena yang terjadi pada klien merupakana
bentuk perhatian petugas kepada klien. Ketika perawat mengetahui adanya
perubahan sikap atau kebiasaan klien sekecil apapun hendaknya menanyakan atau
klarifikasi tentang perubahan tersebut misalnya dengan mengajukan pertanyaan
‘apa yang sedang bapak/ibu fikirkan saat ini, ‘apa yang bisa bantu…? berespon
berarti bersikap aktif tidak menunggu permintaan bantuan dari klien. Sikap aktif
dari petugas kesehatan ini akan menciptakan perasaan tenang bagi klien.
3. Fokus
Sikap ini merupakan upaya perawat untuk tetap konsisten terhadap materi
komunikasi yang di inginkan. Ketika klien mengungkapkan pertanyaan-
pertanyaan di luar materi yang di inginkan, maka perawat hendaknya
mengarahkan maksud pembicaraan. Upaya ini perlu di perhatikan karena
umumnya klien lansia senang menceritakan hal-hal yang mungkin tidak relevan
untuk kepentingan petugas kesehatan.
4. Supportif
Perubahan yang terjadi pada lansia, baik pada aspek fisik maupun psikis secara
bertahap menyebabkan emosi klien relative menjadi labil perubahan ini perlu di
sikapi dengan menjaga kesetabilan emosi klien lansia, mesalnya dengan
mengiyakan , senyum dan mengagukan kepala ketika lansia mengungkapkan
50
perasaannya sebagai sikap hormat menghargai selama lansia berbicara. Sikap ini
dapat menumbuhkan kepercayaan diri klien lansia sehingga lansia tidak menjadi
beban bagi keluarganya. Dengan demikaian di harapkan klien termotivasi untuk
menjadi dan berkarya sesuai dengan kemampuannya. Selama memberi dukungan
baik secara materiil maupun moril, petugas kesehatan jangan terkesan menggurui
atau mangajari klien karena ini dapat merendahan kepercayaan klien kepada
perawat atau petugas kesehatan lainnya. Ungkapan-ungkapan yang bisa memberi
motivasi, meningkatkan kepercayaan diri klien tanpa terkesan menggurui atau
mengajari misalnya: ‘saya yakin bapak/ibu lebih berpengalaman dari saya, untuk
itu bapak/ibu dapat melaksanakanya……. dan bila diperlukan kami dapat
membantu’.
5. Klarifikasi
Dengan berbagai perubahan yang terjadi pada lansia, sering proses komunikasi
tidak berlangsung dengan lancar. Klarifikasi dengan cara mengajukan pertanyaan
ulang dan memberi penjelasan lebih dari satu kali perlu di lakukan oleh perawat
agar maksud pembicaraan kita dapat di terima dan di persepsikan sama oleh klien
‘bapak/ibu bisa menerima apa yang saya sampaikan tadi..? bisa minta tolong
bapak/ibu untuk menjelaskan kembali apa yang saya sampaikan tadi…?.
6. Sabar dan Ikhlas
Seperti diketahui sebelumnya klien lansia umumnya mengalami perubahan-
perubahan yang terkadang merepotkan dan kekanak-kanakan perubahan ini bila
tidak di sikapai dengan sabar dan ikhlas dapat menimbulkan perasaan jengkel
bagi perawat sehingga komunikasi yang di lakukan tidak terapeutik, namun dapat
berakibat komunikasi berlangsung emosional dan menimbulkan kerusakan
hubungan antara klien dengan petugas kesehatan.

H. Hambatan Berkomunikasi Dengan Lansia


Komunikasi pada lansia memang membutuhkan beberapa kemampuan dan kesabaran
yang lebih dibandingkan jika melakukan komunikasi pada personal yang masih dalam
usia produktif. Banyak hambatan-hambatan komunikasi yang terjadi dalam
melakukan komunikasi pada lansia. Untuk lebih memahaminya, berikut kami
jabarkan beberapa faktor penghambat komunikasi pada lansia:
1. Mendominasi pembicaraan

51
Karakter lansia yang terkadang merasa lebih tua dan mengerti banyak hal
menimbulkan perasaan bahwa ia mengetahui segalanya. Kondisi seperti ini akan
menyebabkan seorang lansia jadi lebih mendominasi pembicaraan atau
komunikasi. Selanjutnya adalah ia tidak akan merasa senang jika lawan bicaranya
memotong pembicaraan yang sedang ia lakukan. Hal ini akan sangat menyulitkan
pembicaraan yang terjadi.
2. Mempertahankan hak dengan menyerang
Kebanyakan lansia memang bersifat agresif. Beberapa dari mereka berusaha untuk
mempertahankan haknya dengan menyerang lawan bicaranya. Komunikasi yang
efektif tentunya tidak akan tercapai jika lansia berada dalam kondisi yang seperti
ini. Bahkan meskipun lawan bicara sudah berusaha keras untuk memberikan
pemahaman bahwa ia mendapatkan haknya, namun lansia terkadang tetap merasa
tidak aman sehingga terus melakukan penyerangan pada lawan bicaranya.
3. Cuek
Cuek oleh lansia ditandai dengan sikap menarik diri saat akan diajak berbicara
atau berkomunikasi. Sikap seperti ini biasanya diikuti dengan perasaan
menyepelekan orang lain. Banyak para lansia yang merasa bahwa komunikasi
dengan orang yang lebih muda dibandingkan dengan dirinya adalah satu kegiatan
yang sia-sia dan tidak bermanfaat sehingga ia akan dengan mudah menarik diri
dari pembicaraan.
4. Kondisi fisik
Para lansia yang akan diajak berkomunikasi tentunya memiliki keterbatasan fisik
yang membuatnya menjadi kesulitan dalam berkomunikasi. Banyak masalah yang
timbul akibat kondisi fisik yang tidak baik pada lansia. Misalnya saja jika ia
memiliki masalah pada pendengaran, tentunya akan menjadi masalah juga dalam
komunikasi. Lansia tersebut akan membutuhkan alat bantu dengar agar ia dapat
berkomunikasi dengan baik dan lancar. Jika ia tidak menggunakan alat bantu
dengar, maka lawan bicaranya harus menggunakan suara keras untuk bisa
berbicara dengan lansia tersebut. Sayangnya hal seperti ini sering disalahartikan
oleh lansia sebagai bentuk penghinaan dengan membentak. Disinilah berbagai
masalah baru muncul, maka dari itu sangat dibutuhkan pengertian dan pemahaman
yang baik oleh lawan bicara terhadap kondisi lansia agar komunikasi yang
efektif dapat berjalan dengan baik dan lancar.

52
5. Stress
Hal lain yang menjadi hambatan dalam komunikasi dengan lansia adalah depresi
atau tingkat stres yang dialami oleh lansia. Lansia sangat mudah diserang oleh
stres, baik akibat kondisi fisik yang ia alami, maupun faktor lainnya. Jika seorang
lansia sudah menderita stres, maka ia akan selalu mudah marah dan tidak mau
mendengar apapun yang dikatakan oleh orang lain. Kondisi ini hanya bisa
diperbaiki jika sumber dari beban pikirannya telah diatasi.
6. Mempermalukan orang lain di depan umum
Faktor penghambat komunikasi dengan lansia yang satu ini merupakan salah satu
hal yang banyak dihadapi oleh orang yang berkomunikasi dengan lansia. Lansia
yang selalu merasa benar dan tahu segalanya biasanya juga akan mempermalukan
orang lain di depan umum. Hal ini sering dilakukan untuk menutupi kekurangan
yang terdapat dalam diri mereka sendiri. Jika sudah terjadi, maka biasanya
komunikasi akan langsung berhenti dan tidak lagi dilanjutkan karena lawan bicara
sudah merasa tidak nyaman. Meskipun begitu, kebanyakan lansia menyadari
perbuatan mereka ini dan tidak merasa melakukan kesalahan dalam komunikasi
yang dilakukan.
7. Tertidur
Beberapa lansia mengalami masalah dengan sistem saraf mereka sehingga banyak
dari mereka yang mungkin akan tertidur ketika diajak berbicara. Kelelahan yang
amat sangat akan membuat mereka yang tadinya begitu bersemangat dalam
berbicara, tiba-tiba tertidur dan tidak mengetahui apapun ketika bangun. Hal ini
lebih banyak terjadi pada lansia yang memiliki riwayat penyakit demensia atau
Alzheimer. Lansia dengan riwayat penyakit tersebut biasanya lebih mudah
tertidur, bahkan ketika sedang makan sekalipun.
8. Lupa
Lupa adalah salah satu ciri dari seorang lansia. Kebanyakan lansia akan berkali-
kali menanyakan hal yang sama meskipun sudah dijawab berulang kali. Jika
lawan bicaranya tidak sabar, maka komunikasi yang terjadi pun menjadi tidak
lancar. Menjadi sebuah kewajaran dimana lansia menjadi sangat pelupa, sehingga
sangat dibutuhkan pengertian dan kesabaran dari lawan bicara dalam menghadapi
lansia.
9. Gangguan penglihatan
53
Komunikasi pada lansia juga sering terkendala akibat adanya gangguan
penglihatan pada lansia. Gangguan penglihatan yang terjadi bisa berupa rabun
jauh, dekat, atau bahkan sulit melihat. Beberapa bahasa yang menggunakan
bahasa tubuh mungkin tidak akan terlalu dimengerti jika lansia dalam kondisi
seperti ini, maka dari itu diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai kondisi
lansia yang diajak berkomunikasi sehingga lawan bicara mengerti apa yang
dibutuhkan lansia agar komunikasi berjalan lancar. Gangguan penglihatan yang
dialami lansia dapat diatasi dengan memberikan kacamata yang sesuai dengan
kondisi matanya. Dengan bantuan alat, maka lansia akan lebih memahami bahasa
tubuh atau komunikasi non verbal yang digunakan oleh lawan bicaranya.
10. Lebih banyak diamLansia yang diajak melakukan komunikasi namun lebih
banyak diam biasanya merupakan jenis lansia yang pasif. Lansia dengan kondisi
seperti ini akan menyerahkan setiap topik dan keputusan dalam sebuah
komunikasi pada lawan bicaranya. Mereka juga akan sulit untuk dimintai
pendapat karena lebih banyak mengiyakan dan mengikuti apa yang dipikirkan
oleh lawan bicara.
11. Cerewet
Bagi kebanyakan orang, lansia adalah pribadi yang cerewet yang dihindari untuk
diajak bicara. Beberapa lansia memang terkesan sangat cerewet. Hal ini tidak
terlepas dari pemikiran mereka untuk selalu menasehati orang yang lebih muda.
Keinginan untuk selalu berbicara juga tidak terlepas dari rasa kesepian dan
kebosanan yang mereka rasakan. Salah satu cara mengatasi sifat cerewet yang
banyak dihindari lawan bicara ini adalah dengan berusaha menjadi pendengar
yang baik. Dengan melihat sikap lawan bicaranya yang menghargai apa yang ia
katakan, maka ia pun akan ikut memberikan kesempatan pada lawan bicaranya
untuk berbicara.
12. Mudah marah
Lansia identik dengan berbagai macam penyakit dan komplikasi. Rasa sakit yang
dirasakan tentu saja akan membuatnya tidak nyaman dan menjadi mudah marah,
bahkan meskipun tidak ada penyebabnya. Rasa mudah marah ini membuat banyak
orang menjadi malas untuk melakukan cara berkomunikasi dengan baik dengan
lansia karena akan selalu disalahkan atas segala sesuatu yang ada.
I. Teknik Perawatan Lansia Pada Reaksi Penolakan

54
Penolakan adalah ungkapan ketidakmampuan seseorang untuk mengakui secara sadar
terhadap pikiran, keinginan, perasaan atau kebutuhan pada kejadiaan-kejadian nyata
atau sesuatu yang merupakan ancaman. Penolakan merupakan reaksi ketidaksiapan
lansia menerima perubahan yang terjadi pada dirinya. Perawat dalam menjamin
komunikasi perlu memahami kondisi ini sehingga dapat menjalin komunikasi yang
efektif, tidak menyinggung perasaan lansia yang relatif sensitif.
Ada beberapa langkah yang bisa di laksanakan untuk menghadapi klien lansia dengan
reaksi penolakan, antara lain :
1. Kenali segera reaksi penolakan klien
Membiarkan klien lansia bertingkah laku dalam tenggang waktu tertentu. Hal ini
merupakan mekanisme penyesuaian diri sejauh tidak membahayakan klien, orang
lain serta lingkunganya.
2. Orientasikan klien lansia pada pelaksanan perawatan diri sendiri
Langkah tersebut bertujuan untuk mempermudah proses penerimaan klien
terhadap perawatan yang akan di lakukan serta upaya untuk memandirikan klien.
3. Libatkan keluarga atau pihak keluarga terdekat dengan tepat
Langkah ini bertujuan untuk membantu perawat atau petugas kesehatan
memperoleh sumber informasi atau data klien dan mengefektifkan rencana /
tindakan dapat terealisasi dengan baik dan tepat

J. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Saat Berinteraksi Dengan Lansia


1. Menunjukkan rasa hormat, seperti “bapak”, “ibu”, kecuali apabila sebelumnya
pasien telah meminta anda untuk memanggil panggilan kesukaannya.
2. Hindari menggunakan istilah yang merendahkan pasien
3. Pertahankan kontak mata dengan pasien
4. Pertahankan langkah yang tidak tergesa-gesa dan mendengarkan adalah kunci
komunikasi efektif
5. Beri kesempatan pasien untuk menyampaikan perasaannya
6. Berbicara dengan pelan, jelas, tidak harus berteriak, menggunakan bahasa dan
kalimat yang sederhana.
7. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti pasien
8. Hindari kata-kata medis yang tidak dimengerti pasien
9. Menyederhanakan atau menuliskan instruksi
10. Mengenal dahulu kultur dan latar belakang budaya pasien
55
11. Mengurangi kebisingan saat berinteraksi, beri kenyamanan, dan beri penerangan
yang cukup saat berinteraksi.
12. Gunakan sentuhan lembut dengan sentuhan ringan di tangan. Lengan, atau bahu.
13. Jangan mengabaikan pasien saat berinteraksi.

K.PROGRAM NASIONAL KESEHATAN LANSIA

A. Upaya Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan Lansia


Lansia Menurut UU RI No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut Usia
yang dimaksud dengan lanjut usia ( Lansia) adalah seseorang yang telah mencapai
usia 60 tahunkeatas ditinjau dari aspek kesehatan , kelompok lansia,akan mengalami
penurunan derajat kesehatan baik secara alamiah maupun akibat penyakit oleh karena
itu,sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk lansia maka sejak
sekarang kita sudah harus mempersiapkan dan merencanakan berbagai program
kesehatan yang ditunjukan bagi kelompok lansia.
Upaya Kesehatan Usia lanjut adalah upaya kesehatan paripurna dasar dan
menyeluruh dibidang kesehtan usia lanjut yang meliputi peningkatan kesehatan,
pencegahan, pengobatan dan pemulihan.Tempat pelayanan kesehatan tersebut bisa
dilaksanakan di puskesmas-puskesmas atapun Rumah Sakit serta Panti-Panti dan
institusi lainya.

56
Peran serta masyarakat dalam upaya kesehatan usia lanjut adalah peran serta
masyarakat baik sebagai pemberi pelayanan kesehatan maupun penerima pelayanan
yang berkaitan dengan mobilisasi sumber daya dalam pemecahan masalah usia lanjut
setempat dan dalam bentuk pelaksanan pembinan dan pengembangan upaya kesehtan
usia lanjut setempat.

B. Program Nasional kesehtan lansia


Program kementerian kesehatan di indonesia dalam upaya untuk meningkatkan status
kesehatan para lansia, diantaranya (Arek Adhitiya- Lampungtoday.com) :
1. Peningkatan dan pemantapan upaya kesehatan para lansia di
pelayanan kesehatan dasar, khususnya puskesmas dan
kelompok lansia melalui konsep puskesmas santun lanjut usia.
2. Peningkatan upaya rujukan kesehatan bagi lansia di rumah
sakit,
3. Peningkatan penyuluhan dan penyebarluasan informasi
kesehatan dan gizi bagi lansia,
4. Sosialisasi program kesehatan lansia, serta pemberdayaan
masyarakat melalui pengembangan dan pembinaan kelompok
usia lanjut/posyandu lansia di masyarakat.

Adapaun Program-Program Nasional pada lansia


a. Posyandu Lansia
Pos pelayanan terpadu (posyandu) lansia adalah suatu wadah pelayanan kesehatan
bersumber daya masyarakat ( UKMB) untuk melayani penduduk lansia, yang
proses pembentukan dan pelayanannya dilakukan oleh masyarakat bersama
Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM).Lintas sektor pemerintah dan non
pemerintah swasta, lembaga sosial dan lain-lain, dengan menitik beratkan
pelayanan masyarakat pada upaya promotif dan preventif. disamping pelayanan
kesehatan, posyandu lansia juga memberikan pelayanan sosial, agama,pendidikan,
keterampilan, olah raga, seni budaya, dan pelayanan lain yang dibutuhkaan oleh
para lansia dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup melalui peningkatan
kesehatan dan kesejahteraan sealain itu pasyandu lansia menbantu lansia
beraktivitas dan mengembangkan potensi diri.
57
Kegiatan yang dilaksanakan
1) Pemeriksaan aktivitas sehari-hari
2) Pemeriksaan status mental
3) Pemeriksaan status gizi
4) Pengukuran tekanan drah, denyut nadi
5) Pemeriksaan Hb, gula darah, protein
6) Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas
7) Penyuluhan kesehatan
8) Kunjungan kader dan tenaga kesehtan kerumah lansia yang tidak datang.

b. Puskesmas Santun Lansia


yaitu puskesmas yang menyediakan ruang khusus melalui pelayanan bagi kelompok
usia lanjut yang meliputi pelayanan kesehatan promotif,preventif,kuratif, dan
rehabilitatif. ciri-ciri puskesmas santun lansia yaitu pelayanan secara pro aktif ,baik
berkualitas, sopan, memberikan kemudahan dalam layanan kesehatan kepada lansia,
memberikan keinginan/penghapusan biaya pelayanan bagi lansia yang tak mampu,
memberikan berbagai dukungan dan dukungan dan bimbingan kepada lansia dalam
memeliharavdan meningkatkan kesehatan melalui kerjasama dengan lintas program
dan lintas sektor.

c. Pelayanan Geriatri
yaitu suatu tim multidisiplin yang berkerja secara interdisiplin untuk menangani
masalah kesehatan lanjut usia dengan prinsip kelola pelayanan terpadu dan
paripurna dengan mendekatkan pelayanan kepada pasien lanjut usia. semua upaya
kesehatan: Preventif, Promotif, Kuratif, Rehabilitatif dan Paliatif.
Pembentukan tim terpadu Geriatri di RS
1) Dokter Spesialis Penyakit Dalam
2) Dokter Spesialis Kedokteran fisik dan rehabilitasi atau dokter terlatih.
3) Psikiater/ dokter terlatih
4) Perawat gerontik/ perawat terlatih
5) Dietiesien
6) Pelaksana pelayanan rehabilitasi sederhana ( perkerja sosial medik,
fisioterapi).
Karakteristik pasien Geriatri
58
1) Multipatologi
2) Status fungsional berubah
3) Tampilan kliniknya menyimpang
4) Status nutrisi terganggu
d. Pelayanan Perawatan Lanjut usia di Rumah ( HOME CARE)
yaitu bentuk yankes komprehensif yang dilakukan di rumah lansia dengan
memberdayakan keluarga dan lansia sendiri,bertujuan untuk memandirikan
lansia dan keluarganya yang dilakuakn dalam bentuk tim. di puskesmas
merupakan bagian dari program perawatan kesehatan masyarakat ( Perkesmas).
Perawatan Lanjut Usia di Rumah dapat merupakan
1) kelanjutan perawatan akut dirumah sakit
2) upaya pemeliharaan kesehatan dan pengobatan penyakit yang sudah
diderita.
3) modifikasi perawatan yang seharusnya dilakukan di institusi ( panti-rawat,
ruanga rawat kronik, ruang rawat akut).
4) aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif harus selalu diperhatikan
5) pertimbangan untuk melakukan perawatan dirumah perlu dipikirkan
matang-matang.
e. Pelayanan Kesehatan di Panti sosial Tresna Werdha
yaitu pelayanan bagi para lanjut usia atau suatu perkumpulan yang berada di suatu
perdesaan atau kelurahan atau RT/ rw yang anggota nya adalah para lansia. untuk
meningkatkan kesadaraan dan kemampuan lansia dalam menagani kesehatannya
secara mandiri, memberikan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif, puskesmas harus melakukan pembinaan dan pelayanan kepada panti
lansia yang ada diwilayahnya.
Sasaran Program Kesehatan lansia
1. Lansung
a. Pra Lansia ( 45-59 th)
b. Usia Lanjut ( 60-69 th)
c. Lansia risti ( > 70 th/ 60 th dengan masalah kesehatan
2. Tak Langsung
a. Keluarga dimana usia lanjut berada
b. Masyarakat tempat lansia berada
c. Organisasi Sosial
59
d. Petugas Kesehatan
e. Masyarakat luas

C. Tujuan Program kesehatan Lansia


1. Umum
Meningkatkan derajat dan mutu kehidupan usia lanjut untuk mencapai masa tua yang
bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai dengan
keberadaanya.
2. Khusus
a. Meningkatkan kesadaran para lansia untuk hidup sehat
b. meningkatkan kemampuan da peran keluarga/ masyarakat dalam mengatasi
masalah kesehatan usia lajut
c. meningkatkan jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan lansia
D. Sasaran Pembinaan
 Sasaran pembinaan secara langsung
1. Kelompok usia menjelang usia lanjut (45-54 tahun) atau dalam virilitas dalam
keluarga maupun masyarakat luas.
2. Kelompok usia lanjut dalam masa prasenium (55-64 tahun) dalam keluarga,
organisasi masyarakat usia lanjut dan masyarakat umumnya.
3. Kelompk usia lanjut dalam masa senescens (>65 tahun) dan usia lanjut dengan
resiko tinggi (lebih dari 70 tahun) hidup sendiri, terpencil, hidup dalam panti,
penderita penyakit berat, cacat dan lain-lain.
 Sasaran pembinaan tidak langsung
1. Keluarga dimana usia lanjut berada
2. Organisasi sosialyang bergerak didalam pembinaan kesehatan usia lanjut
3. Masyarakat luas

E. Permasalahan Pelaksanaan Program Lansia


1. Aloksi pendanaan untuk kegiatan lansia belum menjadi prioritas dalam
penggangaran
2. Adanya anggapan bahwa program lansia kurang berdaya guna o.k sudah
terlanjur tua mau diintervensi apa lagi.

60
3. Terbatasnya promosi lansia berpotensi adalah tanggung jawab pemerintah dan
swasta
4. Adanya anggapan bahwa program lansia bukan merupakan prioritas jika
dibandingkan dengan program lain.
F. Isu-isu, Strategi dan Kegiatan untuk promosi Kesehatan dan Kesejahteraan
Lansia
1. Pengertian dan Lingkup Promosi Kesehatan
Dewasa ini promosi kesehatan (health promotion) telah menjadi bidang yang semakin
penting dari tahun ke tahun. Dalam tiga dekade terakhir, telah terjadi perkembangan yang
signifikan dalam hal perhatian dunia mengenai masalah promosi kesehatan. Pada 21
November 1986, World Health Organization (WHO) menyelenggarakan Konferensi
Internasional Pertama bidang Promosi Kesehatan yang diadakan di Ottawa, Kanada.
Konferensi ini dihadiri oleh para ahli kesehatan seluruh dunia, dan menghasilkan sebuah
dokumen penting yang disebut Ottawa Charter (Piagam Ottawa). Piagam ini menjadi rujukan
bagi program promosi kesehatan di tiap negara, termasuk Indonesia.
Dalam Piagam Ottawa disebutkan bahwa promosi kesehatan adalah proses yang
memungkinkan orang-orang untuk mengontrol dan meningkatkan kesehatan mereka (Health
promotion is the process of enabling people to increase control over, and to improve, their
health, WHO, 1986). Jadi, tujuan akhir promosi kesehatan adalah kesadaran di dalam diri
orang-orang tentang pentingnya kesehatan bagi mereka sehingga mereka sendirilah yang akan
melakukan usaha-usaha untuk menyehatkan diri mereka.
Lebih lanjut dokumen itu menjelaskan bahwa untuk mencapai derajat kesehatan yang
sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, individu atau kelompok harus mampu mengenal
serta mewujudkan aspirasi-aspirasinya untuk memenuhi kebutuhannya dan agar mampu
mengubah atau mengatasi lingkungannya (lingkungan fisik, sosial budaya, dan sebagainya).
Kesehatan adalah sebuah konsep positif yang menitikberatkan sumber daya pada pribadi dan
masyarakat sebagaimana halnya pada kapasitas fisik. Untuk itu, promosi kesehatan tidak hanya
merupakan tanggung jawab dari sektor kesehatan, akan tetapi jauh melampaui gaya hidup
secara sehat untuk kesejahteraan (WHO, 1986).
Penyelenggaraan promosi kesehatan dilakukan dengan mengombinasikan berbagai
strategi yang tidak hanya melibatkan sektor kesehatan belaka, melainkan lewat kerjasama dan
koordinasi segenap unsur dalam masyarakat. Hal ini didasari pemikiran bahwa promosi
kesehatan adalah suatu filosofi umum yang menitikberatkan pada gagasan bahwa kesehatan
yang baik merupakan usaha individu sekaligus kolektif (Taylor, 2003).
Bagi individu, promosi kesehatan terkait dengan pengembangan program kebiasaan
kesehatan yang baik sejak muda hingga dewasa dan lanjut usia (Taylor, 2003). Secara kolektif,

61
berbagai sektor, unsur, dan profesi dalam masyarakat seperti praktisi medis, psikolog, media
massa, para pembuat kebijakan publik dan perumus perundang-undangan dapat dilibatkan
dalam program promosi kesehatan. Praktisi medis dapat mengajarkan kepada masyarakat
mengenai gaya hidup yang sehat dan membantu mereka memantau atau menangani risiko
masalah kesehatan tertentu. Para psikolog berperan dalam promosi kesehatan lewat
pengembangan bentuk-bentuk intervensi untuk membantu masyarakat memraktikkan perilaku
yang sehat dan mengubah kebiasaan yang buruk. Media massa dapat memberikan
kontribusinya dengan menginformasikan kepada masyarakat perilaku-perilaku tertentu yang
berisiko terhadap kesehatan seperti merokok dan mengonsumsi alkohol. Para pembuat
kebijakan melakukan pendekatan secara umum lewat penyediaan informasi-informasi yang
diperlukan masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan gaya hidup sehat, serta
penyediaan sarana-sarana dan fasilitas yang diperlukan untuk mengubah kebiasaan buruk
masyarakat. Berikutnya, perumus perundang-undangan dapat menerapkan aturan-aturan
tertentu untuk menurunkan risiko kecelakaan seperti misalnya aturan penggunaan sabuk
pengaman di kendaraan (Taylor, 2003).
2. Lingkup promosi kesehatan
Oleh karena itu, lingkup promosi kesehatan dapat disimpulkan sebagai berikut (Iqi,
2008):
a. Pendidikan kesehatan (health education) yang penekanannya pada
perubahan/perbaikan perilaku melalui peningkatan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan.
b. Pemasaran sosial (social marketing), yang penekanannya pada pengenalan
produk/jasa melalui kampanye.
c. Upaya penyuluhan (upaya komunikasi dan informasi) yang tekanannya pada
penyebaran informasi.
d. Upaya peningkatan (promotif) yang penekanannya pada upaya pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan.
e. Upaya advokasi di bidang kesehatan, yaitu upaya untuk memengaruhi
lingkungan atau pihak lain agar mengembangkan kebijakan yang berwawasan
kesehatan (melalui upaya legislasi atau pembuatan peraturan, dukungan
suasana, dan lain-lain di berbagai bidang/sektor, sesuai keadaan).
f. Pengorganisasian masyarakat (community organization), pengembangan
masyarakat (community development), penggerakan masyarakat (social
mobilization), pemberdayaan masyarakat (community empowerment), dll.
3. Kegiatan Promosi Kesehatan

62
Kesehatan memerlukan prasyarat-prasyarat yang terdiri dari berbagai sumber daya dan
kondisi dasar, meliputi perdamaian (peace), perlindungan (shelter), pendidikan
(education), makanan (food), pendapatan (income), ekosistem yang stabil (a stable eco-
system), sumber daya yang berkesinambungan (a sustainable resources), serta
kesetaraan dan keadilan sosial (social justice and equity) (WHO, 1986). Upaya-upaya
peningkatan promosi kesehatan harus memerhatikan semua prasyarat tersebut.
Menurut Piagam Ottawa, kegiatan-kegiatan promosi kesehatan berarti:
a. Membangun kebijakan publik berwawasan kesehatan (build healthy
public policy)
b. Menciptakan lingkungan yang mendukung (create supportive
environments)
c. Memerkuat kegiatan-kegiatan komunitas (strengthen community
actions)
d. Mengembangkan keterampilan individu (develop personal skills)
e. Reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health services)
f. Bergerak ke masa depan (moving into the future)
G. Kebijakan dan Program Kesehatan Lansia Secara Nasional
Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut
usia (aging struktured population) karena jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas
sekitar 7,18%. Provinsi yang mempunyai jumlah penduduk Lanjut Usia (Lansia)nya sebanyak
7% adalah di pulau Jawa dan Bali. Peningkatan jumlah penduduk Lansia ini antara lain
disebabkan antara lain karena 1) tingkat sosial ekonomi masyarakat yang meningkat, 2)
kemajuan di bidang pelayanan kesehatan, dan 3) tingkat pengetahuan masyarakat yang
meningkat.
Jumlah Penduduk Lansia Indonesia
Tahun Usia Harapan Hidup Jumlah Penduduk Lansia %
1980 52,2 tahun 7.998..543 5,45
1990 59,8 tahun 11.277.557 6,29
2000 64,5 tahun 14.439.967 7,18
2006 66,2 tahun +19 juta 8,90
2010 (prakiraan) 67,4 tahun +23,9 juta 9,77
2020 (prakiraan) 71,1 tahun +28,8 juta 11,34

Jumlah penduduk Lansia pada tahun 2006 sebesar kurang lebih 19 juta, usia harapan hidup
66,2 tahun, pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 23,9 juta (9,77%), usia harapan hidupnya 67,4
tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%), dengan usia harapan hidup 71,1

63
tahun. Dari jumlah tersebut, pada tahun 2010, jumlah penduduk Lansia yang tinggal di perkotaan
sebesar 12.380.321 (9,58%) dan yang tinggal di perdesaan sebesar 15.612.232 (9,97%). Terdapat
perbedaan yang cukup besar antara Lansia yang tinggal di perkotaan dan di perdesaan. Perbedaan ini
bisa jadi karena antara lain Lansia yang tadinya berasal dari desa lebih memilih kembali ke desa di
hari tuanya, dan mungkin juga bisa jadi karena penduduk perdesaan usia harapan hidupnya lebih besar
karena tidak menghirup udara yang sudah berpolusi, tidak sering menghadapi hal-hal yang membuat
mereka stress, lebih banyak tenteramnya ketimbang hari-hari tiada stress atau juga bisa jadi karena
makanan yang dikonsumsi tidak terkontaminasi dengan pestisida sehingga membuat mereka tidak
mudah terserang penyakit sehingga berumurpanjang.

Namun jika dilihat pada tahun 2020 walaupun jumlah Lansia tetap mengalami kenaikan yaitu
sebesar 28.822.879 (11,34%), ternyata jumlah Lansia yang tinggal di perkotaan lebih besar yaitu
sebanyak 15.714.952 (11,20%) dibandingkan dengan yang tinggal di perdesaan yaitu sebesar
13.107.927 (11,51%).

Kecenderungan meningkatnya Lansia yang tinggal di perkotaan ini bisa jadi disebabkan
bahwa tidak banyak perbedaan antara rural dan urban. Karena pemusatan penduduk di suatu wilayah
dapat menyebabkan dan membentuk wilayah urban. Suatu contoh bahwa untuk membedakan wilayah
rural dan urban di antara kota Jakarta dan Bekasi atau antara Surabaya dengan Sidoarjo serta kota-
kota lainnya kelihatannya semakin tidak jelas. Oleh karena itu benarlah kata orang bahwa Pantura
adalah kota terpanjang di dunia, tidak jelas perbatasan antara satu kota dengan kota lainnya.

Alasan lain mengapa pada tahun 2020 ada kecenderungan jumlah penduduk Lansia yang
tinggal di perkotaan menjadi lebih banyak karena para remaja yang saat ini sudah banyak mengarah
menuju kota, mereka itu nantinya sudah tidak tertarik kembali ke desa lagi, karena saudara, keluarga
dan bahkan teman-teman tidak banyak lagi yang berada di desa. Sumber penghidupan dari pertanian
sudah kurang menarik lagi bagi mereka, hal ini juga karena pada umumnya penduduk desa yang pergi
mencari penghidupan di kota, pada umumnya tidak mempunyai lahan pertanian untuk digarap sebagai
sumber penghidupankeluarganya.

Selain itu bahwa di masa depan sektor jasa mempunyai peran yang penting sebagai sumber
penghidupan. Oleh karena itu suatu negara yang tidak mempunyai sumber daya alam yang cukup
maka di era globalisasi akan beralih kepada sektor jasa sebagai sumber penghasilannya, contoh negara
Singapura. Pada hal sektor jasa dapat berjalan dan hidup hanya di daerah perkotaan.

1. Kebijakan
UU dan peraturan yang terkait dengan penanganan Lansia

64
Indonesia telah memiliki perundang-undangan, keputusan, peraturan dan kebijakan
untuk penganan lanjut usia diantaranya:
a. UUD 45 pasal 28 H , setiap orang ber hak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
b. UU No. 13/98 tentang kesejahteraan Lansia yang mengamanatkan kepada
pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan dan perlindungan sosial bagi
Lansia. agar mereka dapat mewujudkan dan menikmati taraf hidup yang wajar.
Amanat terurai dalam pasal-pasal untuk 12 departemen, lembaga non departemen
serta kepada unsure masyarakat.
c. UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional khususnya yang
menyangkut jaminan sosial bagi Lansia UU. No. 11/2009 tentang kesejahteraan
sosial
d. Keppres 52/2004 tentang Komnas Lansia Permendagri No.60/2008 tentang
pembentukan Komda Lansia dan pemberdayaan masyarakat
e. RAN 2003 dan 2008 tentang Kesejahteraan Sosial Lansia
2. Program
Contoh upaya pemerintah di negara maju dalam meningkatkan kesehatan masyarakatnya,
diantaranya adanya medicare dan medicaid. Medicare adalah program asuransi social federal
yang dirancang untuk menyediakan perawatan kesehatan bagi lansia yang memberikan jaminan
keamanan social. Medicare dibagi dua : bagian A asuransi rumah sakit dan B asuransi medis.
Semua pasien berhak atas bagian A, yang memberikan santunan terbatas untuk perawatan rumah
sakit dan perawatan di rumah pasca rumah sakit dan kunjungan asuhan kesehatan yang tidak
terbatas di rumah. Bagian B merupakan program sukarela dengan penambahan sedikit premi
perbulan, bagian B menyantuni secara terbatas layanan rawat jalan medis dan kunjungan dokter.
Layanan mayor yang tidak di santuni oleh ke dua bagian tersebut termasuk asuhan keperwatan
tidak terampil, asuhan keperawatan rumah yang berkelanjutan obat-obat yang diresepkan, kaca
mata dan perawatan gigi. Medical membayar sekitar biaya kesehatan lansia (U.S Senate
Committee on Aging, 1991).
Medicaid adalah program kesehatan yang dibiayai oleh dana Negara dan bantuan pemerintah
bersangkutan. Program ini berbeda antara satu Negara dengan lainya dan hanya diperuntukan bagi
orang tidak mampu. Medicaid merupakan sumber utama dana masyarakat yang memberikan
asuhan keperawatan di rumah bagi lansia yang tidak mampu. Program ini menjamin semua
layanan medis dasar dan layanan medis lain seperti obta-obatan, kaca mata dan perawatan gigi.
H. Kebijakan dan Program Tingkat Kesehatan Lansia Di Provinsi

65
Adapun program kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia yang diperuntukkan khusunya
bagi lansia adalah JPKM yang merupakan salah satu program pokok perawatan kesehatan
masyarakat yang ada di puskesmas sasarannya adalah yang didalamnya ada keluarga lansia.
Perkembangan jumlah keluarga yang terus menerus meningkat dan banyaknya keluarga yang
berisiko tentunya menurut perawat memberikan pelayanan pada keluarga secara professional.
Tuntutan ini tentunya membangun “ Indonesia Sehat 2010 “ yang salah satu strateginya adalah
Jaminan Pemeliharan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Dengan strategi ini diharapkan lansia
mendapatkan yang baik dan perhatian yang selayaknya
Kewajiban pemerintah tersebut tertuang jelas di dalam Undang-Undang No.13 tahun 1998
tentang Kesejahteraan Lansia. Pada pasal 5, dituliskan delapan hak para lansia yang harus dipenuhi
pemerintah berkaitan dengan kesejahteraan sosialnya. Diantaranya mendapatkan perlindungan social,
bantuan social dan pelayanan kesehatan.

I. Dasar Hukum dan Pengembangan Program Pembinaan Kesehatan Lansia


1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 pokok-pokok kesehatan.
2. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1974 Tentang pokok-pokok Organisasi Dapertemen
kesehatan.
3. Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1985 Tentang susunan Organisasi Dapartemen
Kesehatan.
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 99 a Tahun 1982 tentang berlkunya sistem Kesehatan
Nasional dan RP3JPK.
5. Keputusan Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat Nomor 05 tahun 1990 tentang
pembentukan kelompok kerja tetap kesejahteraan usia lanjut.
6. Surat keputusan menteri Kesehatan Nomor 134 Tahun 1990 tentang Pembentukan Tim Kerja
Geatric.

J. Kegiatan Pelayanan dan Penyuluhan kesehatan pada Usia Lanjut


1. Kegiatan promotif
yaitu upaya untuk menggairahkan semangat hidup lansia agar merasa tetap dihargai dan
berguna baik bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat. adapun kegiatan promotif antara lain:
a. Latihan fisik yang dilakukan secara teratur dan disesuaikan dengan
kemampuan usia lanjut agar tetap merasa sehat dan segar.
b. Diet seimbang atau makanan dengan menu yang mengandung gizi seimbang.
c. pembinaan mental dalam meningkatkan ketaqwaan kepada tuhan yang maha esa.

66
d. membina keterampilan agar dapat mengembangkan kegemaraan atau hobinya secara teratur
dan sesuai dengan kemampuannya.
e. meningkatkan kegiatan sosial dimasyarakat atau mengadakan kelompok sosial.
f. menghindari kebiasaan yang tidak baik seperti merokok, alkohol, kopi, kelelahan fisik dan
mental.
g. penanggulangan masalah kesehatan secara benar.
2. Kegiatan Preventif
yaitu upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi dari penyakit-penyakit .
adapun kegiatan preventif antara lain:
a. Pemerikasaan kesehatan secara berkala dan teratur untuk menemukan secara dini penyakit
penyakit usia lanjut.
b. kesegaraan jasmani yang dilakukan secara teratur dan disesuaikan dengan kemampuan usia
lanjut agar tetap merasa sehat dan bugar.
c. penyuluhan tentang penggunan berbagai alat bantu misalnya kaca mata, alat bantu
pendengaraan agar usia lanjut tetap memberikan karya dan tetap merasa berguna.
d. penyuluhan untuk pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan pada usia lanjut.
e. pembinaan mental dalam meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa.
3. Kegiatan Kuratif
yaitu upaya pengobatan dan perawatan bagi usia lanjut yang sakit dan dapat dilakukan melalui
fasilitas pelayanan seperti puskesmas, puskesmas pembantu, dokter praktek swasta. adapun
kegiatannya antara lain:
a. Pelayanan kesehatan dasar
b. Pelayanan kesehatan spesifikasi melalui sistem rujukan
4. Kegiatan Rehabilitatif
yaitu upaya untuk memulihkan fungsi organ
adapun kegiatannya antara lain:
a. mengembalikan kepercayaan pada diri sendiri dan memperkuat mental penderita
b. pembinaan usia dan hal pemenuhan kebutuhan pribadi, aktivitas didalam maupun diluar
rumah.
c. nasehat cara hidup yang sesuai dengan penyakit yang diderita.
d. perawatan fisioterapi.
5. Kegiatan Rujukan
yaitu upaya dilakukan untuk mendapatkan pelayanan kuratif dan rehabilitatif yang memadai dan
tepat waktu sesuai kebutuhan. upaya dapat dilakukan secara vertikal dari tingkat pelayanan
dasar ke tingkat pelayanan horizontal ke sesama tingkat pelayanan yang mempunyai sasaran
lebih lengkap. Kegiatan pelayanan untuk usia lanjut dapat dilakukan oleh petugas kesehatan,

67
petugas sektor terkait sesuai tanggung jawabnya, tokoh masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, keluarga usia lanjut atapun usia lanjut sendiri melalui kegiatan sebagai berikut:
a. Kegiatan Petugas Puskesmas
1. Melaksanakan penyuluhan secara teratur dan berkesinambungan sesuai kebutuhan
melalui berbagai media mengenai kesehatana usia lanjut. Upaya ini dilakukan terhadap
berbagai kelompok sasaran yaitu usia lanjut sendiri, keluarga , masyarakat dilingkungan
usia lanjut.
2. melaksanakan penjaringan usia lanjut dan memberi petunjuk pemeriksaan usia lanjut
dan memberi petunjuk upaya pencegahan penyakit, gangguan psikososial dan bahaya
kecelakan yang dapat terjadi pada usia lanjut.
3. melaksanakan diagnosa dini, pengobatan, perawatan dan pelayanan rehabilitatif yang
harus dijalani, baik kepada usia lanjut maupun keluarganya.
4. melaksanakan rujukan medik kefasilitas rumah sakit untuk pengobatan.
b. Kegiatan petugas sektor terkait, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat
1. Membantu kegiatan penyuluhan secara teratur dan berkesinambungan mengenai
pembinaan kesehatan usia lanjut termasuk fungsi fasilitator dalam komunikasi antara
lain komunikasi antar generasi.
2. Membantu kegiatan pengumpulan sumber daya, pemberian bantuan dan kemudahan
dalam menunjang upaya kesehatan usia lanjut.
c. Kegiatan Keluarga Usia lanjut
1. Memberikan dukungan kepada usia lanjut didalam rumah maupun diluar rumah
dalam kegiatan hidup sehari-hari dan dukungan dalam mencari pengobatan,
perawatan.
2. Mengupayakan sumber dana untuk pemeriksaan kesehatan, pengobatan,
perawatan,pengadaan alat bantu atau alat ganti yang diperlukan usia lanjut.
d. Kegiatan Usia Lanjut
1. Berperan serta dalam kegiatan penyuluhan mengenai kesehatan usia lanjut, secara
berkelompok maupun melalui media masa.
2. Melakukan kegiatan olah raga secara teratur sesuai kemampuan, secara perorangan
maupun kelompok, ikut serta dalam kegiatan rekreasi, keterampilan,
pengembangan hobi, pertemuan kekeluargaan, orientasi realitas.
3. Menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala, mengisi catatan kesehatan pribadi
secara teratur, makan sesuai kebutuhan gizi, berpilaku sehat.
4. Menjalani pengobatan, perawatan sesuai dengan nasehat petugas kesehatan dan
menggunakan alat bantu atau alat ganti yang diperlukan.
5. Meningkatkan upaya kemandirian dan pemenuhan kebutuhan pribadi sehari-hari
seperti makan, minum, tidur, merapikan diri.

68
L.ASKEP LANSIA MENJELANG AJAL (PALIATIF)

I. Pengertian
Pengertian paliatif adalah tindakan aktif guna meringankan beban penderita,
terutama yang tidak mungkin disembuhkan. Yang dimaksud dengan tindakan aktif
yaitu mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan keluhan lain, serta memperbaiki
aspek psikologis, sosial, dan spiritual
Menjelang ajal adalah bagian dari kehidupan, yang merupakan proses menuju
akhir.
Pengertian sakit gawat adalah suatu keadaan sakit, yang klien lanjut usia tidak
dapat lagi atau tidak ada harapan lagi untuk sembuh.
Pengertian kematian/ mati adalah apa bila seseorang tidak lagi teraba denyut
nadinya, tudak bernafas selama beberapa menit, dan tidak menunjukkan beberapa
reflek, serta tidak ada kegiatan otak.
Penyebab kematian:
1. Penyakit
a. Keganasan (karsinoma hati, paru, mammae).
b. Penyakit kronis, misalnya:
1) CVD (cerebrovascular diseases)
2) CRF (chronic renal failure (gagal ginjal))
3) Diabetes militus (ganggua)
4) MCI (myocard infarct (gangguan kardiovaskuler) )
5) COPD (chronic obstruction pulmonary diseases)
2. Kecelakaan (hematoma epidural)
J. Tujuan perawatan paliatif
1. Mencapai kualitas hidup maksimal bagi si sakit (lansia) dan keluarganya.
2. Perawatan paliatif tidak hanya diberikan kepada lansia yang menjelang akhir
hayatnya, tetapi juga diberikan segera setelah di diagnosa oleh dokter bahwa
lansia tersebut menderita penyakit yang tidak ada harapan untuk sembuh
(co/kanker)

69
K. Ciri / Tanda klien lanjut usia menjelang kematian
1. Gerakan dan pengindraan menghilang secara berangsur-angsur. Biasanya dimulai
pada anggota badan, khususnya kaki dan ujung kaki.
2. Gerak peristaltic usus menurun.
3. Tubuh klien lanjut usia tampak menggembung.
4. Badan dingin dan lembap, terutama pada kaki, tangan, dan ujung hidungnya.
5. Kulit tampak pucat, berwarna kebiruan / kelabu.
6. Denyut nadi mulai tidak teratur.
7. Nafas mendengkur berbunyi keras (stidor) yang disebabkan oleh adanya lender
pada saluran pernafasan yang tidak dapat dikeluarkan oleh klien lanjut usia.
8. Tekanan darah menurun.
9. Terjadi gangguan kesadaran (ingatan menjadi kabur).
(Keperawatan. Gerontik & geriatrik, H. wahjudi Nugroho, B. Sc.,SKM 2008).

L. Tanda – Tanda Kematian


1. Pupil mata membesar atau melebar dan tidak berubah.
2. Hilangnya semua reflek dan ketiadaaan kegiatan otak yang tampak jelas dalam hasil
pemeriksaan EEG dalam 24 jam.

M. Pengaruh kematian terhadap keluarga lansia:


1. Bersikap kritis terhadap cara perawatan
2. Keluarga dapat menerima kondisinya
3. Terputusnya komunikasi dengan orang menjelang ajal
4. Penyesalan keluarga dapat mengakibatkan yang bersangkutan tidak dapat mengatasi
rasa sedih
5. Pengalihan tanggung jawab dan beban ekonomi
6. Keluarga menolak diagnosis , penolakan tersebut dapat memperbesar beban emosi
keluarga
7. Mempersoalkan kemampuan tim kesehatan

N. Pemenuhan kebutuhan klien menjelang kematian :


1. Kebutuhan jasmani.
Kemampuan toleransi terhadap rasa sakit berbeda pada setiap orang. Tindakan
yang memungkinkan rasa nyaman bagi klien lanjut usia ( mis., sering mengubah
posisi tidur, perawatan fisik, dan sebagainya ).
2. Kebutuhan fisisologis.
a. Kebersihan Diri

70
Kebersihan dilibatkan untuk mampu melakukan kerbersihan diri sebatas
kemampuannya dalam hal kebersihan kulit, rambut, mulut, badan dan
sebagainya.
b. Mengontrol Rasa Sakit
Beberapa obat untuk mengurangi rasa sakit digunakan pada klien dengan
sakit terminal, seperti morphin, heroin, dsbg. Pemberian obat ini diberikan
sesuai dengan tingkat toleransi nyeri yang dirasakan klien. Obat-obatan
lebih baik diberikan Intra Vena dibandingkan melalui Intra Muskular atau
Subcutan, karena kondisi system sirkulasi sudah menurun.
c. Membebaskan Jalan Nafas
Untuk klien dengan kesadaran penuh, posisi fowler akan lebih baik dan
pengeluaran sekresi lendir perlu dilakukan untuk membebaskan jalan nafas,
sedangkan bagi klien yang tida sadar, posisi yang baik adalah posisi sim
dengan dipasang drainase dari mulut dan pemberian oksigen.
d. Bergerak
Apabila kondisinya memungkinkan, klien dapat dibantu untuk bergerak,
seperti: turun dari tempat tidur, ganti posisi tidur untuk mencegah decubitus
dan dilakukan secara periodik, jika diperlukan dapat digunakan alat untuk
menyokong tubuh klien, karena tonus otot sudah menurun.
e. Eliminasi
Karena adanya penurunan atau kehilangan tonus otot dapat terjadi
konstipasi, inkontinen urin dan feses. Obat laxant perlu diberikan untuk
mencegah konstipasi. Klien dengan inkontinensia dapat diberikan urinal,
pispot secara teratur atau dipasang duk yang diganjti setiap saat atau
dilakukan kateterisasi. Harus dijaga kebersihan pada daerah sekitar
perineum, apabila terjadi lecet, harus diberikan salep.
f. Perubahan Sensori
Klien dengan dying, penglihatan menjadi kabur, klien biasanya menolak
atau menghadapkan kepala kearah lampu atau tempat terang. Klien masih
dapat mendengar, tetapi tidak dapat atau mampu merespon, perawat dan
keluarga harus bicara dengan jelas dan tidak berbisik-bisik.
3. Kebutuhan emosi.
Untuk menggambarkan ungkapan sikap dan perasaan klien lanjut usiadalam
menghadapi kematian.
a. Mungkin klien lanjut usia mengalami ketakutan yang hebat ( ketakutan
yang timbul akibat menyadari bahwa dirinya tidak mampu mencegah
kematian ).
b. Mengkaji hal yang diinginkan penderita selama mendampinginya.
Misalnya, lanjut usia ingin memperbincangkan tentang kehidupan di masa
lalu dan kemudian hari. Bila pembicaraan tersebut berkenaan, luangkan
waktu sejenak.
c. Mengkaji pengaruh kebudayaan atau agama terhadap klien.
4. Kebutuhan social
Klien dengan dying akan ditempatkan diruang isolasi, dan untuk memenuhi
kebutuhan kontak sosialnya, perawat dapat melakukan:

71
a. Menanyakan siapa-siapa saja yang ingin didatangkan untuk bertemu dengan
klien dan didiskusikan dengan keluarganya, misalnya: teman-teman dekat,
atau anggota keluarga lain.
b. Menggali perasaan-perasaan klien sehubungan dengan sakitnya dan perlu
diisolasi.
c. Menjaga penampilan klien pada saat-saat menerima kunjungan kunjungan
teman-teman terdekatnya, yaitu dengan memberikan klien untuk
membersihkan diri dan merapikan diri.
d. Meminta saudara atau teman-temannya untuk sering mengunjungi dan
mengajak orang lain dan membawa buku-buku bacaan bagi klien apabila
klien mampu membacanya.
5. Kebutuhan spiritual
a. Menanyakan kepada klien tentang harapan-harapan hidupnya dan rencana-
rencana klien selanjutnya menjelang kematian.
b. Menanyakan kepada klien untuk mendatangkan pemuka agama dalam hal
untuk memenuhi kebutuhan spiritual.
c. Membantu dan mendorong klien untuk melaksanakan kebutuhan spiritual
sebatas kemampuannya.

O. Tahap Kematian
Tahap-tahap ini tidak selamanya berurutan secara tetap, tetapi saling tindih.
Kadang-kadang seorang klien lanjut usia melalui satu tahap tertentu untuk kemudian
kembali ketahap itu. Apa bila tahap tertentu berlangsung sangat singkat, bisa timbul
kesan seolah-olah klien lanjut usia melompati satu tahap, kecuali jika perawat
memperhatikan secara seksama dan cermat.
1. Tahap pertama (penolakan)
Tahap ini adalah tahap kejutan dan penolakan. Biasanya sikap itu ditandai
dengan komentar, selama tahap ini klien lanjut usia sesungguhnya mengatakan
bahwa mau menimpa semua orang, kecuali dirinya. Klien lanjut usia biasanya
terpengaruh oleh sikap penolakannya sehingga ia tidak memperhatikan fakta yang
mungkin sedang dijelaskan kepadanya oleh perawat. Ia bahkan telah menekan
apa yang telah ia dengar atau mungkin akan meminta pertolongan dari berbagai
macam sumber professional dan nonprofessional dalam upaya melarikan diri dari
kenyataan bahwa mau sudah ada di ambang pintu.
2. Tahap kedua (marah)
Tahap ini ditandai oleh rasa marah dan emosi yang tidak terkendali. Sering
kali klien lanjut usia akan mencela setiap orang dalam segala hal. Ia mudah marah
terhadap perawat dan petugas kesehatan lainnya tentang apa yang telah mereka

72
lakukan.pada tahap ini, klien lanjut usia lebih mengaggap hal ini merupakan
hikmah, daripada kutukan. Kemarahan ini merupakan mekanisme pertahanna diri
klien lanjut usia lebih mengaggap hal ini merupakan hikmah, dari pada kutukan.
Kemarahan di sini merupakan mekanisme pertahanan diri kliebn lanjut usia. Pada
saat ini, perawat kesehatan harus hati-hati dalam member penilaiaan sebagai
reaksi yang normal terhadap kematiaan yang perlu diungkapkan.
3. Tahap ketiga (tawar-menawar)
Kemarahan biasanya mereda dank lien lanjut usia dapat menimbulkan
kesan dapat menerima apa yang sedang terjadi pada dirinya.Akan tetapi pada
tahap tawar-menawar ini bnyak orang cenderung untuk menyelesaikan urusan
rumah tangga mereka sebelum maut tiba, dan mempersiapkan jaminan hidup bagi
orang tercinta yang ditinggalkan.
Selama tawar-menawar, permohonan yang dikemukakan hendaknya dapat
dipenuhi karena merupakan urusan yang belum selesai dan harus diselesaikan
sebelum mati. Misalnya, klien lanjut usia mempunyai permintaan terakhir untuk
melihat pertandingan olahraga, mengunjungi kerabat, melihat cucu terkecil, atau
makan di restoran. Perawat dianjurkan memenuhi permohonan itu karena
membuat klien lanjut usia memasuki tahap berikutnya.
4. Tahap keempat (sedih/depresi)
Hal ini biasanya merupakan saat yang menyedihkan klien lanjut usia sedang
dalam suasana berkabung. Di masa lampau, ia sudah kehilangan orang yang
dicintai dan sekarang ia akan kehilangan nyawanya sendiri. Bersama dengan itu,
ia harus meninggalkan semua hal yang menyenangkan yang dinikmatinya.
Selama tahap ini, klien lanjut usia cenderung tidak banyak bicara dan sering
menangis. Saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang di samping klien
lanjut usia yang sedang melalui masa sedihnya sebelum meninggal.
5. Tahap kelima (menerima/asertif)
Tahap ini ditandai oleh sikap menerima kematian. Menjelang saat ini, klien
lanjut usia telah membereskan segala urusan yang belum selesai dan mungkin
dan mungkin tidak ingin bicara lagi karena sudah menyatakan segala sesuatunya.
Tawar-menawar sudah lewat dan lewat dan tibalah saat kedamaiaan dan
ketenangan.Seseorang mungkin saja lama ada dalam tahap meneriam, tetapi
bukan tahap pasrah yang berarti kekalahan. Dengan kata lain, pasrah pada maut
bukan berarti menerima maut.
73
P. Hak – hak pasien menjelang ajal
Lanjut usia berhak untuk diperlakukan sebagai manusia yang hidup sampai mati. Lanjut
usia:
1. Berhak untuk tetap merasa mempunyai harapan, meskipun fokusnya dapat saja
berubah.
2. Berhak untuk dirawat oleh mereka yang dapat menghidupkan terus harapan,
walaupun dapat berubah.
3. Berhak untuk merasakan perasaan dan emosi mengenai kematian yang sudah
mendekat dengan cara sendiri.
4. Berhak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai
perawatannya.
5. Berhak untuk mengharapkan terus mendapat perhatian medis dan perawatan,
walaupun tujuan penyembuhan harus diubah menjadi tujuan member rasa
nyaman.
6. Berhak untuk tidak mati dalam kesepian.
7. Berhak untuk bebas dalam rasa nyeri.
8. Berhak untuk memperoleh jawaban yang jujur atas pertanyaan.
9. Berhak untuk tidak ditipu.
10. Berhak untuk mendapat bantuan dari dan untuk keluarganya dalam menerima
kematian.
11. Berhak untuk mati dengan tenang dan terhormat.
12. Berhak untuk mempertahankan individualis dan tidak dihakimi atas keputusan
yang mungkin saja bertentangan dengan orang lain.
13. Membicarakan dan memperluas pengalaman keagamaan dan kerohanian.
14. Berhak untuk mengharapkan bahwa kesucian tubuh manusia akan di hormati
sesudah mati.

Q. Asuhan Keperawatan Dalam Menghadapi Kematian

1. Pengkajian
Pengkajian ialah tahap pertama proses keperawatan. Sebelum perawat dapat
merencanakan asuhan keperawatan pada pasien yang tidak ada harapan sembuh, perawat
harus mengidentifikasi dan menetapkan masalah pasien terlebih dahulu. Oleh karena itu,
tahap ini meliputi pengumpulan data, analisis data mengenai status kesehatan, dan

74
berakhir dengan penegakan diagnosis keperawatan, yaitu pernyataan tentang masalah
pasien yang dapat diintervensi.
Tujuan pengkajian adalah memberi gambaran yang terus – menerus mengenai
kesehatan pasien yang memungkinkan tim perawatan untuk merencanakan asuhan
keperawatannya secara perseorangan.
Pengumpulan data dimulai dengan upaya untuk mengenal pasien dan keluarganya.
Siapa pasien itu dan bagimana kondisinya akan membahayakan jiwanya. Rencana
pengobatan apa yang telah dilaksanakan ? Tindakan apa saja yang telah diberikan ?
Adakah bukti mengenai pengetahuannya, prognosisnya, dan pada tahap proses kematian
yang mana pasien berada ? Apakah ia menderita rasa nyeri ? Apkah anggota keluarganya
mengetahui prognosisnya dan bagaiman reaksi mereka ? Filsafat apa yang dianut oleh
pasien dan keluarganya mengenai hidup dan mati. Pengkajian keadaan, kebutuhan, dan
masalah kesehatan / keperawatan pasien khususnya. Sikap pasien terhadap penyakitnya,
antara lain apakah pasien tabah terhadap penyakitnya, apakah pasien menyadari tentang
keadaannya ?
a. Perasaan takut.
Kebanyakan pasien merasa takut terhadap rasa nyeri yang tidak
terkendalikan yang begitu sering diasosiasikan dengan keadaan sakit
terminal, terutama apabila keadaan itu disebabkan oleh penyakit yang
ganas. Perawat harus menggunakan pertimbangan yang sehat apabila
sedang merawat orang sakit terminal. Perawat harus mengendalikan rasa
nyeri pasien dengan cara yang tepat.
Perasaan takut yang mungkin takut terhadap rasa nyeri, walaupun secara
teori, nyeri tersebut dapat diatasi dengan obat penghilang rasa nyeri, seperti
aspirin, dehidrokodein, dan dektromoramid. Apibila orang berbicara
tentang perasaan takut mereka terhadap maut, respon mereka secara tipikal
mencakup perasaan takut tentang hal yang tidak jelas, takut meninggalkan
orang yang dicintai, kehilangan martabat, urusan yang belum selesai, dan
sebagainya.
Kematian merupakan berhentinya kehidupan. Semua orang akan
mengalami kematian tersebut. Dalam menghadapi kematian ini, pada
umumnya orang merasa takut dan cemas. Ketakutan dan kecemasan
terhadap kematian ini dapat membuat pasien tegang an stress.
b. Emosi. Emosi pasien yang muncul pada tahap menjelang kematian, antara
lain mencela dan mudah marah.
c. Tanda vital. Perubahan fungsi tubuh sering kali tercermin pada suhu badan,
denyut nadi, pernapasan, dan tekanan darah. Mekanisme fisiologis yang
mengaturnya berkaitan satu sama lain. Setiap perubahan yang berlainan

75
dengan keadaan yang normal dianggap sebagai indikasi yang penting untuk
mengenali keadaan kesehatan seseorang.
d. Kesadaran. Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal sebagai awas
waspada, yang merupakan ekspresi tentang apa yang dilihat, didengar,
dialami, dan perasaan keseimbangan, nyeri, suhu, raba, getar, gerak, gerak
tekan, dan sikap, bersifat adekuat, yaitu tepat dan sesuai (Mahar Mardjono
dan P. Sidharta, 198).
e. Fungsi tubuh. Tubuh terbentuk atas banyak jaringan dan organ. Setiap
organ mempunyai fungsi khusus.

2. Diagnosa.
Diagnosis keperawatan adalah masalah aktual / potensial yang dimiliki seseorang dalam
memenuhi tuntutan atau kegiatan hidup sehari – hari dan yang berhubungan dengan
kesehatan
( Gordon, 1976 ).
Berikut tabel diagnosis keperawatan:
Data Diagnosis Keperawatan
Status sistem pernapasan Gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen yang
a. Sesak napas berhubungan dengan adanya penyumbatan slem
b. Batuk yang ditandai dengan sesak napas
c. Slem
Gangguan kenyamanan yang berhubungan
Sistem pembuluh darah dengan batuk, panas tinggi yang ditandai pasien
a. Tekanan darah gelisah
b. Denyut tubuh
c. Suhu tubuh

Gangguan psikologis yang berhubungan dengan


Pola tidur dan istrahat perubahan pola seksualitas yang ditandai susah
- Bagaimana istirahatnya ? tidur, pucat, murung.
- Tidur malam ?
- Hal-hal yang dirasa menganggu
tidur?
Cemas yang berhubungan dengan memikirkan
Cemas memikirkan penyakit dan penyakitnya dan keluarga
keluarga yang ada dirumah

76
3. Intervensi
PerencPerancanaan adalah langkah kedua dalam proses keperawatan. Termasuk
penentuan apa yang dapat dilakukan perawat terhadap pasien dan pemilihan intervensi
keperawatan yang tepat.

DK Tujuan Rencana Intervensi Evaluasi


Gangguan Kebutuhan a. Menciptakan Kebutuhan oksigen
kebutuhan oksigen lingkungan yang dapat terpenuhi
oksigen terpenuhi sehat
b. Mengamati dan
mengkaji keadaan
pernapasan pasien
c. Membersihkan
slem
d. Melatih pasien
untuk pernapasan

Gangguan Rasa nyaman Mengupayakan Rasa nyaman


kenyamanan terpenuhi penurunan suhu terpenuhi
tubuh.
Memberi obat sesuai
dengan program

Gangguan pola Kebutuhan - Ciptakan komunikasi Kebutuhan istirahta


tidur istirahat dan yang terapeutik, dan tidur dapat
tidur terpenuhi dengan member trepenuhi
penjelasan kepada - Tak ada keluhan,
pasien tentang dapat tidur
pentingnya istirahat - Ekspresi bangun
terhadap tubuh. tidur ceria, segar
bugar.

Kecemasan Rasa cemas Menciptakan Rasa cemas dapat


hilang/berkurang lingkungan yang hilang / berkurang
terapeutik.

M.ISU STRATEGI PROMOSI KESEJAHTERAAN LANSIA

77
A. Promosi Kesehatan Lansia
Menurut pender, promosi kesehatan adalah pola multidimensional dari tindakan dan
persepsi yang berasal dari dalam diri sendiri yang dapat membantu memelihara atau
meningkatkan kesehatan aktualisasi diri dan pemenuhan kebutuhan individu.
Perilaku–perilaku tersebut misalnya melakukan aktivitas fisik dan mental secara teratur
memperoleh nutrisi istirahat dan relaksasi yang adekuat dan memelihara jaringan
dukungan sosial; semua itu merupakan perilaku promosi kesehatan karena dapat
mempertahankan atau meningkatkan kesejahteraan seseorang.
Promosi kesehatan untuk lansia, tidak difokuskan pada penyakit atau
ketidakmampuan terapi lebih pada kekuatan dan kemampuan lansia tersebut. Promosi
kesehatan berusaha untuk memaksimalakan potensi lansia dan meminimalkan efek
penuaan. Aktivitas promosi kesehatan utama yang tepat untuk lansia adalah aktifitas
fisik, mental, dan sosial secara teratur, nutrisi adekuat, pengendalian berat badan dan
menejemen stres.
Penelitian terbaru menemukan bahwa lansia tertarik dalam promosi kesehatan
dan banyak lansia pada saat ini mempraktikan lebih banyak perilaku promosi
kesehatan daripada kelompok usia yang lebih muda.
Perawat memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas kehidupan dalam porsi
yang penting bagi populasi dengan menggunakan kerangaka kerja promosi
kesehatan untuk mengorganisasikan dan memberikan asuhan keperawatan bagi
lansia. Pendekatan ini mendorong perawat untuk memandang lansia secara
positifuntuk mengidentifikasi dan membangun kekuatan daripada memusatkan
pada keterbatasan dan masalah. Perilaku perlindungan kesehatan adalah aktifitas
yang diarahkan untuk mengurangi resiko individu terhadap perkembangannya
penyakit tertentu. Misalnya pemeriksaan kesehatan secara teratur dan
penggunaan obat – obatan secara tepat merupakan perilaku perlindungan
kesehatan.
Beberapa perilaku ada yang termasuk promosi kesehatan dan perlindungan
kesehatan. Misalnya, olah raga secara teratur merupakan perilaku untuk
melindungi kesehatan jika dilakukan untuk mengurangi resiko seseorang
menderita penyakit kardiovaskuler, depresi, diabetes melitus pada saat dewasa
akibat obesitas dan osteoporosis. Pembatasan diet khusus, seperti diet rendah
kolesterol atau diet tinggi serat merupakan perilaku untuk perlindungan kesehatan
melawan penyakit kardiovaskular dan beberapa jenis kanker.

Menurut Lawrence Green (1990) dalam buku Promosi Kesehatan


Notoatmodjo (2007) tujuan promosi kesehatan terdiri dari 3 tingkatan, yaitu:
1. Peningkatan program

78
Merupakan pernyataan tentang apa yang akan dicapai dalam periode waktu
tertentu yang berhubungan dengan status kesehatan.
2. Peningkatan pendidikan
Merupakan pembelajaran yang harus dicapai agar perilaku yang diinginkan
dalam mengatasi masalah kesehatan dapat tercapai.
3. Peningkatan perilaku
Merupakan gambaran perilaku yang akan dicapai dalam mengatasi masalah
kesehatan yang berhubungan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan.

B. Issu dan Kecenderungan Masalah Kesehatan Gerontik


1. Masalah kehidupan seksual
Adanya anggapan bahwa semua ketertarikn seks pada lansia telah hilang
adalah mitos atau kesalahpahaman. (parke, 1990). Pada kenyataannya
hubungan seksual pada suami isteri yang sudah menikah dapat berlanjut
sampai bertahun-tahun. Bahkan aktivitas ini dapat dilakukan pada saat klien
sakit atau mengalami ketidakmampuan, dengan cara berimajinasi atau
menyesuaikan diri dengan pasanagan masing-masing. Hal ini dapat menjadi
tanda bahwa maturitas dan kemesraan antara kedua pasangan sepenuhnya
normal. Ketertarikan terhadap hubungan intin dapat berulang antara pasangan
dalam membentuk ikatan fisik dan emosional secara mendalam selama masih
mampu melaksanakan.
2. Perubahan
perilaku
Pada lansia sering dijumpai terjaadi perubahan perilaku diantaranya : daya ingat
menurun, pelupa, sering menarik diri, ada kecenderungan penurunan merawat diri,
timbulnya kecemasan karena dirinya sudah tidak menarik lagi, lansia sering
menyebabkan sensitivitas emosional seseorang yang akhirnya menjadi sumber
banyak masalah.
3. Pembatasan
fisik
Dengan semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran
terutama dibidang kemampuan fisik yang dapat mengakibatkan pula timbulnya
gangguan di dalam hal mencakupi kebutuhan hidupnya sehingga dapat
meningkatkan ketergantungan yang memerlukan bantuan orang lain.
4. Palliative care
Pemberian obat pad lansia yang bersifat palliative care adalah obat tersebut
ditujukan untuk mengurangi rasa sakit yang dirasakan oleh lansia. Fenomena
polifarmasi dapat menimbulkan masalah, yaitu adanya interaksi obat dan efek
samping obat. Sebagai contoh klien dengan gangguan jantung dan edema mungkin
diobati dengan digoksin dan diuretika. Diuretic berfingsi untuk mengurangi volume

79
darah dan salah satu efek sampingnya yaitu keracunan digoksin. Klien yang sama
mungkin mengalami depressi sehingga diobati dengan antidepresi. Dan efek
samping Antidepressant adalah retensi urin. Dan efek samping inilah yang
menyebabkan ketidaknyamanan pada lansia.
5. Penggunaan obat
Medikasi pada lansia memerlukan perhatian yang khusus dan
merupakan persoalan yang sering kali muncul dimasyarakat atau rumah sakit.
Persoalan utama dan terapi obat pada lansia adalah terjadinya perubahan
fisiologis pada lansia akibat efek obat yang luas, termasuk efek samping obat
tersebut. (Watson, 1992). Dampak praktis dengan adanya perubahan usia ini
adalah bahwa obat dengan dosis yang lebih kecil cenderung diberikan untuk
lansia. Namun hal ini tetap bermasalah karena lansia sering kali menderita
bermacam-macam penyakit untuk diobati sehingga mereka membutuhkan
beberapa jenis obat. Persoalan yang dialami lansia dalam pengobatan adalah :

a. Bingung
b. Lemah ingatan
c. Penglihatan berkurang
d. Tidak bisa memegang
e. Kurang memahami pentingnya program tersebut untuk dipatuhi
dan dijalankan.
6. Kesehatan mental
Selain mengalami kemunduran fisik lansia juga mengalami kemunduran mental.
Semakin lanjut seseorang, kesibukan sosialnya akan semakin berkurang dan dapat
mengakibatkan berkurangnya integrasi dengan lingkungannya.

C. Upaya Pelayanan Kesehatan Lansia


Upaya pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi asas, pendekatan, dan jenis
pelayanan kesehatan yang diterima.
1. Asas
a. Menurut WHO (1991) adalah to Add Life to the Years that Have Been
Added to Life, dengan prinsip kemerdekaan (independence), partisipasi,
perawatan, pemenuhan diri, dan kehormatan.

b. Asas yang dianut oleh Departemen Kesehatan RI Add Life to the Years,
Add Health to Life, and Add Years to Life. Yaitu meningkatkan mutu
kehidupan lanjut usia, meningkatkan kesehatan, dan memperpanjang usia.

80
2. Pendekatan
Menurut WHO (1982), pendekatan yang digunakan adalah sebagai
berikut:
a. Menikmati hasil pembangunan.
b. Masing-masing lansia memiliki keunikan.
c. Lansia diusahakan mandiri dalam berbagai hal.
d. Lansia turut memilih kebijakan.
e. Memberikan perawatan dirumah.
f. Pelayanan harus dicapai dengan mudah.
g. Mendorong ikatan akrab antar kelompok/antar generasi.
h. Transportasi dan utilitas bangunan yang sesuai dengan lansia.
i. Para lansia dapat terus berguna dalam menghasilkan karya.
j. lansia beserta keluarga aktif memelihara kesehatan lansia.

3. Jenis Pelayanan Kesehatan


Jenis pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi lima upaya kesehatan, yaitu
peningkatan (promotion), pencegahan (prevention), diagnosis dini dan
pengobatan, pembatasan kecacatan, serta pemulihan.
a. Promotif

Upaya promotif merupakan tindakan secara langsung dan tidak


langsung untuk menigkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit.
Upaya promotif juga merupakan proses advokasi kesehatan untuk
meningkatkan dukungan klien, tenaga professional dan masyarakat
terhadap praktik kesehatan yang positif menjadi norma- norma social.
Upaya promotif dilakukan untuk membantu orang- orang mengubah
gaya hidup mereka dan bergerak kea rah keadaan kesehatan yang
optimal serta mendukung pemberdayaan seseorang untuk membuat
pilihan yang sehat tentang prilaku hidup mereka.
Upaya perlindungan kesehatan bagi lansia adalah sebagai berikut:
1) Mengurangi cedera, dilakukan dengan tujuan mengurangi
jatuh, mengurangi bahaya kebakaran dalam rumah,
meningkatkan penggunaan alat pengaman dan mengurangi
kejadian keracunan makanan atau zat kimia.

2) Meningkatkan kemanan ditempat kerja yang bertujuan

81
untuk mengurangi terpapar dengan bahan-bahan kimia dan
menigkatkan penggunaan system keamanan kerja.

3) Meningkatkan perlindungan dari kualitas udara yang buruk,


bertujuan untuk mengurangi penggunaan semprotan bahan-
bahan kimia, mengurangi radiasi di rumah, meningkatkan
pengelolaan rumah tangga terhadap bahan berbahaya, serta
mengurangi kontaminasi makanan dan obat-obatan.

4) Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mulut


yang bertujuan untuk mengurangi karies gigi serta
memelihara kebersihan gigi dan mulut.

Penyampaian 10 prilaku yang baik pada lansia, baik perorangan


maupun kelompok lansia adalah dengan cara sebagai berikut:

1) Mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa.


2) Mau menerima keadaan, sabar dan optimis, serta
meningkatkan rasa percaya diri dengan melakukan kegiatan
sesuai kemampuan.
3) Menjalin hubungan teratur dengan keluarga dan sesama.
4) Olahraga ringan setiap hari
5) Makan sedikit tetapi sering, memilih makanan yang sesuai,
dan banyak minum (sebaiknya air putih).
6) Berhenti merokok dan meminum minuman keras.
7) Kembangkan hobi atau minat sesuai kemampuan.
8) Meminum obat sesuai anjuran dokter.
9) Memeriksakan gigi secara teratur

Menyampaikan pesan B-A-H-A-G-I-A


B-Berat badan berlebihan harus dihindari.
A-Atur makanan yang seimbang.
H-Hindari factor resiko penyakit jantung iskemik dan situasi
menegangkan.
A-Agar terus merasa berguna dengan mengembangkan
kegiatan atau hobi yang bermanfaat.

82
G-Gerak badan teratur dan sesuai kemampuan.
I-Ikuti nasihat dokter.
A-Awasi kesehatan dengan pemeriksaan secara berkala.

b. Preventif
Mencakup pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
1. Jenis pelayanan pencegahan primer adalah sebagai berikut.
a) Program imunisasi, misalnya vaksin influenza.
b) Konseling : berhenti merokok dan minum beralkohol.
c) Dukungan nutrisi.
d) Exercise.
e) Keamanan didalam dan disekitar rumah.
f) Manajemen stress.
g) Penggunaan medikasi yang tepat.

2. Melakukan pencegahan sekunder, meliputi pemeriksaan


terhadap penderita tanpa gejala, dari awal penyakit hingga
terjadi gejala penyakit belum tampak secara klinis, dan
mengidap factor resiko.Jenis pelayanan pencegahan sekunder
antara lain adalah sebagai berikut:
a) Control hipertensi.
b) Deteksi dan pengobatan kanker.
c) Screening : pemeriksaan rectal, mamogram,
papsmear, gigi mulut dan lain-lain.

3. Melakukan pencegahan tersier, dilakukan sesudah terdapat


gejala penyakit dan cacat; mencegah cacat bertambah dan
ketergantungan; serta perawatan bertahap, tahap (1)
perawatan di rumah sakit, (2) rehabilitasi pasien rawat jalan,
dan (3) perawatan jangka panjang.
Jenis pelayanan pencegahan tersier adalah sebagai berikut.
a) Mencegah berkembangnya gejala dengan memfasilitasi
rehabilitasi dan membatasi ketidakmampuan akibat

83
kondisi kronis. Misalnya osteoporosis atau inkontinensia
urine/fekal.
b) Mendukung usaha untuk mempertahankan kemampuan
berfungsi.

D. Strategi untuk Promosi Kesehatan dan Kesejahteraan Lansia


Masyarakat sehat 2010 dan lansia
Masyarakat sehat 2010 telah menetapkan suatu tujuan yaitu meningkatkan
kualitas dan kelangsungan hidup sehat bagi seluruh warga Amerika (USDHHS, 1998).
Dokumen ini mengindikasikan bahwa aspek terpenting dalam promosi kesehatan lansia
adalah mempertahankan kesehatan dan kemandirian fungsional. Banyak tujuan yang
ditetapkan untuk masyarakat sehat 2000 (USDHHS, 1991) yang dicakupkan ke dalam
tujuan Masyarakat sehat 2010. Ketika merencanakan program promosi kesehatan untuk
komunitas lansia perawat komunitas harus memasukkan area prioritas dan tujuan
spesifik yang terdapat dalam masyarakat sehat 2010. Salah satu tujuan masyarakat
sehat 2010 yang dapat diarahkan pada lansia adalah meningkatkan setidaknya 90%
proporsi individu berusia 65 tahun atau lebih yang telah berpartisipasi pada tahun
sebelumnya pada setidaknya satu program promosi kesehatan terorganisasi.

Promosi Kesehatan dan Strategi Proteksi Kesehatan untuk Komunitas Lansia


Promosi kesehatan dan proteksi kesehatan adalah dua elemen pencegahan primer.
Promosi kesehatan menekankan pada upaya membantu masyarakat mengubah gaya
hidup mereka dan bergerak menuju kondisi kesehatan yang optimum sedangkan fokus
proteksi kesehatan adalah melindungi individu dari penyakit dan cedera dengan
memberikan imunisasi dan menurunkan pemajanan terhadap agens karsinogenik
toksin dan hal – hal yang membahayakan kesehatan di lingkungan sekitar. Konsep
kesehatan lansia harus ditinjau kembali dalam upaya merencanakan intervensi
Promosi kesehatan.

Filner dan Williams (1997) mendefinisikan kesehatan lansia sebagai kemampuan


lansia untuk hidup dan berfungsi secara efektif dalam masyarakat serta untuk
menumbuhkan rasa percaya diri dan otonomi sampai pada tahap maksimum,
tidak hanya terbebas dari penyakit. Apabila dibandingkan dengan kelompok usia
lainnya di Amerika lansia lebih aktif dalam mencari informasi mengenai kesehatan dan
mempunyai kemauan untuk mempertahankan kesehatan dan kemandirinya.

Promosi kesehatan harus benar – benar berfokus pada perilaku beresiko yang

84
dapat dimodifikasi yang disesuaikan dengan masalah kesehatan utama menurut usia
(USDHHS,1998). Secara umum, pelayanan kesehatan untuk lansia memiliki tiga tujuan
:

1. Meningkatkan kemampuan fungsional

2. Memperpanjang usia hidup

3. Meningkatkan dan menurunkan penderita (O’Malley dan Blakeney, 1994)

Dalam memaksimalkan promosi kesehatan lansia di komunitas dibutuhkan


suatu pendekatan multiaspek. Target intervensi harus mengarah pada individu dan
keluarga serta kelompok dan komunitas :
1. Intervensi Berfokus – Individu atau Kelompok
Intervensi promosi kesehatan / proteksi kesehatan berfokus – individu atau
keluarga dirancang dalam upaya meningkatkan pengetahuan keterampilan
dan kompetensi individu atau keluarga untuk membuat keputusan
kesehatan yang memaksimalkan promosi kesehatan dan perilaku proteksi
kesehatan. Tujuannya adalah mendayagunakan lansia dan keluarganya dalam
membuat keputusan kesehatan yang rasional. Beberapa kategori yang
termasuk ke dalam intervensi promosi kesehatan dan proteksi kesehatan
dengan target individu dan / atau keluarga adalah :

a. Skrining kesehatan
b. Modifikasi gaya hidup
c. Pendidikan kesehatan (individu atau kelompok)
d. Konseling
e. Kelompok pendukung
f. Pelayanan kesehatan primer
g. Imunisasi
h. Keamanan di rumah
i. Perawatan di rumah (pelayanan kesehatan di rumah, perawatan
personal atau bantuan rumah tangga)
j. Makanan yang dikirimkan ke rumah
k. Dukungan sosial (penjaminan kembali telepon dan kunjungan
rumah)
l. Manajemen kasus

85
m. Bantuan pemeliharaan di rumah

2. Intervensi Berfokus pada Komunitas


Intervensi berfokus komunitas adalah aktivitas dan program yang diarahkan
pada lansia komunitas secara keseluruhan atau sub kelompok lansia yang
beragam di komunitas. Tujuan intervensi berfokus komunitas adalah
meningkatkan kapasitas dan ketersediaan komunitas terhadap pelayanan
gabungan kesehatan dan sosial yang sesuai dan dibutuhkan dalam upaya
mempertahankan kemandirian dan status fungsional lansia di komunitas.
Intervensi di komunitas terutama melibatkan advokasi tindakan politis dan
partisipasi dalam pembuatan kebijakan yang memengaruhi lansia di komunitas.
Contoh intervensi berfokus komunitas adalah sebagai berikut :

a. Kampanye pendidikan kesehatan di masyarakat luas yang


menekankan pada masyarakat lansia
b. Mengadakan kampanye pada bulan mei yang telah ditetapkan
sebagai older American Month ( bulan lansia Amerika )
c. Koalisi komunitas untuk menangani isu spesifik lansia seperti
pengembangan pusat informasi lokal, botlines telepon atau situs
internet
d. Keterlibatan politis untuk advokasi kebutuhan lansia seperti
mempertahankan atau memperluas tanggunagan medicare untuk
pelayanan di rumah
e. Kolaborasi dengan universitas, gereja pusat perkumpulan lansia
proyek pemukiman lansia serta organisasi komunitas lain yang
tersedia untuk memberikan pelayanan yang komprehensif kepada
subkelompok asia
f. Berpartisipasi dalam pameran kesehatan berfokus pada komunitas

3. Kemitraan dengan Komunitas Lansia

Secara umum komunitas lansia terbuka untuk praktik kesehatan baru dan
berespons terhadap bermacam – macam pendekatan yang berpotensi
meningkatkan kesehatan mereka. Dalam merencanakan program kesehatan
yang efektif perawat kesehatan komunitas harus memvalidasi strategi dan
tujuan bersama kelompok lansia yang ditargetkan. Keterlibatan lansia dalam

86
merencanakan promosi kesehatan dan aktivitas pencegahan penyakit adalah
hal yang esensial karena lansia sensitif terhadap kehilangan potensi
kemandiriannya. Oleh karena itu jika lansia dilibatkan rasa kemandirian
mereka akan meningkat. Tahapan tindakan yang dilakukan ketika bekerja
dengan lansia di komunitas antara lain:
a. Jalankan program ditempat – tempat biasa lansia berkumpul
seperti gereja, senior center, dan tempat perkumpulan pensiunan.
b. Libatkan aktivitas outreach ke dalam seluruh program

c. Siapkan sarana transportasi menuju tempat aktivitas kelompok

d. Antisipasi kebutuhan lansia yang memiliki pandangan dan / atau


penglihatan tidak adekuat (contoh penggunaan tulisanyang besar,
membatasi penggunaan makalah, penggunaan ruangan yang tenang
dan / atau pengeras suara yang adekuat.
e. Pertahankan aktivitas secara berlahan dan berikan waktu yang
cukup untuk berespons
f. Berikan waktu yang cukup bagi para lansia untuk berbagi
pengalaman hidup
g. Pertahankan pengajaran dalam waktu yang relatif singkat

h. Lakukan pengulangan ganda dan penguatan informasi

i. Susunlah aktivitas pendidikan kesehatan yang dapat memberikan


rasa nyaman pada para lansia dalam mengajukan pertanyaan
dan atau menanyakan informasi baru atau informasi yang masih
meragukan mereka

j. Dorong keterlibatan keluarga, teman dan kerabat


k. Advokasi untuk meningkatkan sumber sumber yang ada di
komunitas serta kebijakan yang memengaruhi lansia.

4. Kebutuhan Promosi Kesehatan dan Proteksi Kesehatan


Lansia di Komunitas
a. Pelayanan kesehatan
Lansia berusia lebih dari 65 tahun membutuhkan

87
pelayanan kesehatan primer yang teratur untuk
mempertahankan kesehatan dan mencegah penyakit
kronik kecacatan serta kondisi yang mengancam
hidupnya. Pelayanan promosi kesehatan yang dapat
mendasari intervensi keperawatan komunitas meliputi :
1) Imunisasi (influenza, difteri, tetanus, vaksin,
pneumokokus)
2) Skrining penyakit kronik seperti kanker penyakit
kardiovaskuler, dan diabetes.
3) Manajemen dan pengendalian penyakit kronis yang
ada (pendidikan kesehatan, manajemen kasus,dan
manajemen medikasi).
4) Pengetahuan tentang praktik penggantia dan
tangguan biaya (termasuk biaya pengobatan
alternatif) dari Medicare/Medicare Managed Care,
asuransi Medicare tambahan, dan program asuransi
kesehatan spesifik.
5) Program outreach dan upaya advokasi untuk
menjamin akses lansia pada sumber-sumber yang
dibutuhkan; seperti advokasi kesehatan, pelatihan
kesehatan, dan pengendali akses di komunitas,
Personel yang ditugaskan bisa karyawan perusahaan
swasta, staf gereja, dan karyawan perudahaan
BUMN yang dapat merujuk lansia kepada sumber-
sumber yang ada di komunitas (Florioet al, 1996).
6) Rujukan kepada program bantuan farmasi negara
yang ada serta advokasi untuk membuat program
yang mereka butuhkan.
7) Pendidikan mengenai manajemen medikasi
(penjadwalan, kepatuhan, kalender, dan sebagainya).
8) Sumber berkelanjutan datri pelayanan primer.
9) One stop shopping untuk pelayanan kesehatan.
10) Hubungan kepada kelompok pendukung penyakit
kronik.
88
b. Nutrisi
Nutrisi adekuat adalah hal paling penting bagi lansia
dalam mempertahankan kesehatan, mencegah penyakit,
yang memperlambat perkembangan penyakit kronis yang di
derita. Dalam upaya membantu lansia meningkatkan dan
mempertahankan status nutrisinya, pengkajian nutrisi dan
membangun kekuatan yang ada adalah hal yang sangat
membantu. Daftar Periksa Skrining Nutrisi (Nutrision
Screning Checklist) yang dibuat oleh American Academy of
Family Physicians, American Dietetic Association, dan
National Council on Aging (Nutrition Screning Initiative,
1992) adalah alat pengkajian nutrisi yang sangat baik..

c. “Makan sehat dan enak!”


Rencanakan kelas atau serial kelas nutrisi yang berfokus
pada nutrisi dasar dan manajemen resiko nutrisi (rendah
garam, rendah lemak, rendah gula, tinggi serat dan
sebagainya ). Apabila kebutuhan terhadap diet gula khusus
harus dibahas, pertimbangkan untuk mengadakan serial kelas
dan bentuk kelompok menurut ingkatran kebutuhan diet
spesifiknya. Kelas nutrisi akan lebih efektif jiak
penyajiannya sangat interaktif dengan para partisipan-
mencicipi dan berbagi resep, membangun kebiasaan positif
yang ada, dan memasukkan makanan yang etnis.
Pemasangan poster dengan tulisan yang besar dan berwarna-
warni serta tayangan video aalah langkah yang tepat.
Makalah juga bisa membantu. Ingat, lansia senang
membicarakan dan menceritakan pengalaman hidup mereka.
Berikan hadiah kepda lansia yang menghadiri kelas, seperti
tongkat, kanduk kertas, makaronidan makanan yang tidak
cepat membusuk. Dapatkan bantuan hadiah dari toko yang
menjual bahan makanan. Tantangan terbesarnya adalah
menumbuhkan minat para lansia untuk menghadirikelas ini.
Pertimbangkan individu dari komunitas atau kelompok
teman sebaya untuk membantu marketing dan program

89
outreach.

d. Olahraga dan Kebugaran


Manfaat olahraga telah dibuktikan sepanjang rentang
kehidupan manusia. Olahraga untuk lansia harus
mempertimbangkan kesehatan dan status fungsionalnya.

E. Peran Perawat dalam Promosi Kesehatan untuk Lansia


Penuaan di dalam masyarakat kita merupakan fenomena yang dominan
pada saat ini. Tiga dari empat penyebab kematian yang sering terjadi di
kalangan lansia– penyakit jantung, kanker dan stroke merupakan akibat dari
gaya hidup yang kurang sehat. Namun gambaran suram tentang penduduk
lansia yang kurang gerak, lansia yang mengalami penyakit kronis secara
bertahap telah digantikan oleh konsep baru seperti masa tua dengan penuh
kesuksesan (misalnya kemampuan individu untuk beradaptasi terhadap proses
penuaan) dan penurunan morbiditas (misalnya penundaan awitan terjadinya
penyakit kronis dan melemahkan sampai pada tahap akhir kehidupan).
Perlindungan kesehatan dan promosi kesehatan merupakan hal yang
mendesak dan juga merupakan kerangka kerja yang tepat untuk merawat
lansia. Perawat profesional untuk lansia mengenal bahwa pencegahan untuk
orang yang berusia 65 tahun yang dapat diharapkan hidup 20 tahun lagi
merupakan komponen penting dalam perawatan kesehatan.

90
N.ASKEP LANSIA DENGAN GANGGUAN PSIKOSOSIAL ( DEPRESI)

A. Definisi
Secara sederhana depresi dapat dikatakan suatu pengalaman yang sangat
menyakitkan, atau suatu perasaan yang tidak ada harapan lagi. DR. Jonatan Trisna
menyimpulkan bahwa depresi suatu perasaan sendu atau sedih yang biasanya disertai
dengan diperlambatnya gerak dan fungsi tubuh maupun organ tubuh (Hadi 2004).
Depresi adalah perasaan sedih, ketidak berdaayaan, dan pesimis yang hubungannya
dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan kepada diri sendiri atau
perasaan marah yang mendalam. Depresi merupakan gangguan afek yang sering terjadi
pada lansia dan merupakan salah satu gangguan emosi (Nugroho 2012).
Depresi adalah kondisi umum yang terjadi pada lansia dan alasan terjadi kondisi ini
dapat diliat pada saat mengkaji kondisi sosial, kejadian hidup, dan masalah fisik pada
lansia (Watson 2003). Depresi adalah gangguan dalam perasaan (Mood) yang ditandai
dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami
gangguan dalam menilai realitas Reality Testing (RTA), keperibadian seseorang masih
tetap utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian atau Splitting Of Personality)
perilaku dapat terganggu namun masih dalam keadaan normal (Hawari 2011).

B. Etiologi
Etiologi diajukan para ahli mengenai depresi pada usia lanjut (Damping, 2003) adalah:
1. Polifarmasi
Terdapat beberapa golongan obat yang dapat menimbulkan depresi, antara lain :
analgetika, obat antiinflamasi nonsteroid, antihipertensi, antipsikotik, antikanker,
ansiolitak, dan lain – lain.
2. Kondisi medis umum
Beberapa kondisi medis umum yang berhubungan dengan depresi adalah gangguan
endokrin, neoplasma, gangguan neurologi, dan lain - lain
3. Teori neurobiology
Para ahli sepakat bahwa faktor genetik berperan pada depresi lansia. Pada beberapa
penelitian juga ditemukan adanya perubahan neurotransmiter pada depresi lansia,
seperti menurunnya konsentrasi serotonin, norepinefrin, dopamin, asetikolin, serta
meningkatnya konsentrasi monoamin oksidase otak akibat proses penuaan. Atrofi
otak juga diperkirakan berperan pada depresi lansia.
91
4. Teori psikodimanik
Elaborasi Freud pada teori Karl Abraham tentang proses berkabung menghasilkan
pendapat bahwa hilangnya objek cinta diintojeksikan ke dalam individu itu.
Kemarahan terhadap objek yang hilang tersebut ditujukan kepada diri sendiri.
Akibatnya terjadi perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri, merasa diri tidak
berguna, dan sebagainya.
5. Teori kognitif dan perilaku
Konsep Seligman tentang learned helplessness menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara kehilangan yang tidak dapat dihindari akibat proses penuaan seperti
keadaan tubuh, fungsi seksual, dan sebagainya dengan sensasi passive helplessness
pada pasien usia lanjut. Salah satu teori psikologis tentang terjadinya gangguan
depresif adalah terjadinya distorsi kognitif. Dalam hal ini berkaitan dengan
bagaimana interpretasi seseorang terhadap peristiwa-peristiwa kehidupan yang
dialaminya.
6. Teori psikoedukatif
Hal – hal yang dipelajari atau diamati individu pada orang tua usia lanjut misalnya
ketidakberdayaan mereka, pengisolasian oleh keluarga, tiadanya sanaksaudara
ataupun perubahan – perubahan fisik yang diakibatkan oleh proses penuaan dapat
memicu terjadinya depresi pada usia lanjut.
Dukungan sosial yang buruk dan kegiatan religiusnya yang kurang dihubungkan
dengan terjadinya depresi pada lansia. Suatu penelitian komunitas di Hongkong
menunjukkan hubungan antara dukungan sosial yang buruk dengan depresi.
Kegiatan religius dihubungkan dengan depresi yang lebih rendah pada lansia di
Eropa “Religiouscoping” berhubungan dengan kesehatan emosional dan fisik yang
lebih baik. “Religious coping” berhubungan dengan berkurangnya gejala – gejala
depresi tertentu, yaitu kehilangan ketertatrikan, perasaan tidak berguna, penarikan
diri dan interaksi sosial, kehilangan harapan, dan gejala – gekala kognitif lain pada
depresi (Blazer, 2003).

C. Tingkatan Depresi
1. Depresi Ringan
Sementara, alamiah, adanya rasa pedih perubahan proses pikir komunikasi social
dan rasa tidak nyaman.
2. Depresi Sedang
92
a. Afek : murung, cemas, kesal, marah, menangis
b. Proses pikir : perasaan sempit, berfikir lambat, berkurang komunikasi verbal,
komunikasi non verbal meningkat.
c. Pola komunikasi : bicara lambat, berkurang komunikasi verbal, komunikasi
non verbal meningkat.
d. Partisipasi social : menarik diri tak mau bekerja/ sekolah, mudah tersinggung.
3. Depresi Berat
a. Gangguan Afek : pandangan kosong, perasaan hampa, murung, inisiatif
berkurang
b. Gangguan proses pikir
c. Sensasi somatic dan aktivitas motorik : diam dalam waktu lama, tiba – tiba
hiperaktif, kurang merawat diri, tak mau makan dan minum, menarik diri,
tidak peduli dengan lingkungan.

D. Karakteristik Depresi pada Lanjut Usia


Meskipun depresi banyak terjadi dikalangan lansia,- depresi ini sering di
diagnosis salah atau diabaikan. Rata-rata 60-70% lanjut usia yang mengunjungi
praktik dokter umum adalah mereka dengan depresi, tetapi ; acapkali tidak terdeteksi
karena lansia lebih banyak memfokuskan pada keluhan badaniah yang sebetulnya ;
adalah penyerta dari gangguan emosi (Mahajudin, 2007).
Menurut Stanley & Beare (2007), sejumlah faktor yang menyebabkan keadaan
ini, mencakup fakta bahwa depresi pada lansia dapat disamarkan atau tersamarkan
oleh gangguan fisik lainnya (masked depression). Selain itu isolasi sosial, sikap orang
tua, penyangkalan pengabaian terhadap proses penuaan normal menyebabkan tidak
terdeteksi dan tidak tertanganinya gangguan ini. Depresi pada orang lanjut usia
dimanifestasikan dengan adanya keluhan tidak merasa berharga, sedih yang
berlebihan, murung, tidak bersemangat, merasa kosong, tidak ada harapan, menuduh
diri, ide-ide pikiran bunuh diri dan pemilihan diri yang kurang bahkan penelantaran
diri (Wash, 1997).
Samiun (2006) menggambarkan gejala-gejala depresi pada lansia :
1. Kognitif
Sekurang-kurangnya ada 6 proses kognitif pada lansia yang menunjukkan
gejala depresi.

93
a. Pertama, individu yang mengalami depresi memiliki self-esteem
yang sangat rendah. Mereka berpikir tidak adekuat, tidak mampu,
merasa dirinya tidak berarti, merasa rendah diri dan merasa bersalah
terhadap kegagalan yang dialami.
b. Kedua, lansia selalu pesimis dalam menghadapi masalah dan segala
sesuatu yang dijalaninya menjadi buruk dan kepercayaan terhadap
dirinya (self-confident) yang tidak adekuat.
c. Ketiga, memiliki motivasi yang kurang dalam menjalani hidupnya,
selalu meminta bantuan dan melihat semuanya gagal dan sia-sia
sehingga merasa tidak ada gunanya berusaha.
d. Keempat, membesar-besarkan masalah dan selalu pesimistik
menghadapi masalah.
e. Kelima, proses berpikirnya menjadi lambat, performance
intelektualnya berkurang.
f. Keenam, generalisasi dari gejala depresi, harga diri rendah,
pesimisme dan kurangnya motivasi.
2. Afektif
Lansia yang mengalami depresi merasa tertekan , murung, sedih, putus asa,
kehilangan semangat dan muram. Sering merasa terisolasi, ditolak dan tidak
dicintai. Lansia yang mengalami depresi menggambarkan dirinya berada
dalam lubang gelap yang tidak dapat terjangkau dan tidak dapat keluar dari
sana.
3. Somatik
Masalah somatik yang sering dialami lansia yang mengalami depresi seperti
pola tidur yang terganggu ( insomnia ), gangguan pola makan dan dorongan
seksual yang berkurang. Lansia lebih rentan terhadap penyakit karena sistem
kekebalan tubuhnya melemah, selain karena aging proces juga karena orang
yang mengalami depresi menghasilkan sel darah putih yang kurang
(Schleifer et all, 1984 ; Samiun, 2006).

4. Psikomotor
Gejala psikomotor pada lansia depresi yang dominan adalah retardasi motor.
Sering duduk dengan terkulai dan tatapan kosong tanpa ekspresi, berbicara
sedikit dengan kalimat datar dan sering menghentikan pembicaraan karena
94
tidak memiliki tenaga atau minat yang cukup untuk menyelesaikan kalimat
itu. Dalam pengkajian depresi pada lansia, menurut Sadavoy et all (2004)
gejala-gejala depresi dirangkum dalam SIGECAPS yaitu gangguan pola tidur
(sleep) pada lansia yang dapat berupa keluhan susah tidur, mimpi buruk dan
bangun dini dan tidak bisa tidur lagi, penurunan minat dan aktifitas (interest),
rasa bersalah dan menyalahkan diri (guilty), merasa cepat lelah dan tidak
mempunyai tenaga (energy), penurunan konsentrasi dan proses pikir
(concentration), nafsu makan menurun (appetite), gerakan lamban dan sering
duduk terkulai (psychomotor) dan penelantaran diri serta ide bunuh diri
(suicidaly)

E. Skala Pengukuran Depresi pada Lanjut Usia


Depresi dapat mempengaruhi perilaku dan aktivitas seseorang terhadap
lingkungannya. Gejala depresi pada lansia diukur menurut tingkatan sesuai dengan gejala
yang termanifestasi. Jika dicurigai terjadi depresi, harus dilakukan pengkajian dengan alat
pengkajian yang terstandarisasi dan dapat dipercayai serta valid dan memang dirancang
untuk diujikan kepada lansia. Salah satu yang paling mudah digunakan untuk
diinterprestasikan di berbagai tempat, baik oleh peneliti maupun praktisi klinis adalah
Geriatric Depression Scale (GDS). Alat ini diperkenalkan oleh Yesavage pada tahun
1983 dengan indikasi utama pada lanjut usia, dan memiliki keunggulan mudah digunakan
dan tidak memerlukan keterampilan khusus dari pengguna. Instrument GDS ini memiliki
sensitivitas 84 % dan specificity 95 %. Tes reliabilitas alat ini correlates significantly of
0,85 (Burns, 1999). Alat ini terdiri dari 30 poin pertanyaan dibuat sebagai alat penapisan
depresi pada lansia. GDS menggunakan format laporan sederhana yang diisi sendiri
dengan menjawab “ya” atau “tidak” setiap pertanyaan, yang memrlukan waktu sekitar 5-
10 menit untuk menyelesaikannya. GDS merupakan alat psikomotorik dan tidak
mencakup hal-hal somatic yang tidak berhubungan dengan pengukuran mood lainnya.
Skor 0-10 menunjukkan tidak ada depresi, nilai 11-20 menunjukkan depresi ringan dan
skor 21-30 termasuk depresi sedang/berat yang membutuhkan rujukan guna mendapatkan
evaluasi psikiatrik terhadap depresi secara lebih rinci, karena GDS hanya merupakan alat
penapisan.

95
GERIATRIC DEPRESSION SCALE : SHORT FORM
No Keadaan Yang Dirasakan Nilai Respon
Selama Seminggu Terakhir Ya Tidak
1 Apakah Anda sebenarnya puas dengan kehidupan Anda? 0 1
2 Apakah Anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan minat/ 1 0
kesenangan Anda?
3 Apakah Anda merasa kehidupan Anda kosong? 1 0
4 Apakah Anda merasa sering bosan? 1 0
5 Apakah Anda mempunyai semangat yang baik setiap saat? 0 1
6 Apakah Anda merasa takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada 1 0
Anda?
7 Apakah Anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup Anda? 0 1
8 Apakah Anda merasa sering tidak berdaya? 1 0
9 Apakah Anda lebih sering di rumah daripada pergi keluar dan 1 0
mengerjakan sesuatu hal yang baru?
10 Apakah Anda merasa mempunyai banyak masalah dengan daya 1 0
ingat Anda dibandingkan kebanyakan orang?
11 Apakah Anda pikir bahwa hidup Anda sekarang menyenangkan? 0 1
12 Apakah Anda merasa tidak berharga seperti perasaan Anda saat 1 0
ini?
13 Apakah Anda merasa penuh semangat? 0 1
14 Apakah Anda merasa bahwa keadaan Anda tidak ada harapan? 1 0
15 Apakah Anda pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya dari 1 0
pada Anda?
SKOR
Interpretasi :
Jumlah respon dijumlahkan dan dikategorikan menjadi :
1. Skor 10 – 15 : Depresi berat
2. Skor 6 – 9 : Depresi sedang
3. Skor 0 – 5 : Depresi ringan
F. Langkah – langkah Mengatasi Depresi
Ada beberapa anjuran umum untuk mengatasi depresi diantaranya :
1. Secara umum

96
a. Berusaha untuk meneruskan kegiatan-kegiatan rutin setiap hari. Kalau saudara
bekerja, akan sangat menolong kalau saudara mau bangun pagi-pagi, lalu
mandi, berpakaian, sarapan dan pergi ketempat kerja.
b. Bila saudara melakukan pekerjaan dirumah, lakukanlah langkah diatas.
Meskipun saudara merasa apapun yang saya kerjakan tidak ada gunanya,
ketahuilah sebenarnya ada gunanya.
c. Usakanlah untuk beraktifitas diluar rumah walau melakukan kegiatan
sesederhana apapun. Misalnya membeli koran atau majalah ke toko atau
berkunjung ke rumah keluarga dekat.
d. Kegiatan fisik seperti bernyanyi, berenang, bersepeda, atau berolahraga, pada
umumnya sangat membantu mengatasi depresi.
e. Bila nafsu makan dan berat badan saudara menurun, upayakan untuk tetap
makan walau sedikit-sedikit tapi sering.
2. Saran bagi teman atau family penderita depresi :
a. Anda tidak perlu menyenangkan hati penderita dengan godaan atau gurauan
tertentu.
b. Jangan memberi teguran atau kritikan, walaupun anda mengira itu akan
membuat penderita menjadi kuat
c. Yang terpenting berikanlah dukungan, dorongan yang lembut dan ketegasan.
d. Walaupun tidak banyak yang dapat saudara perbuat, kehadiran anda yang
penting bagi si penderita, terlebih saat dalam depresi yang mendalam.
e. Ingatlah bahwa depresi separuh apapun, bisa diatasi dan bisa berakhir.
f. Carilah seseorang yang cukup bijaksana dimana saudara dapat menjadikan
tempat curhat (Hadi, 2004).

G. Manajemen Keperawatan
Manejemen atau penatalaksanaan depresi pada tahap pencegahan dan terapi yang
memerlukan suatu metode pendekatan yang bersifat holistik, yaitu yang mencakup fisik
(somatik), psikologik atau psikiatrik, psikososial dan psikoreligius. Bidang pencegahan
agar seseorang tidak jatuh dalam keadaan depresi maka sebaiknya kekebalan yang
bersangkutan perlu ditingkatkan agar mampu menanggulangi stress psikososial yang
muncul dengan cara hidup yang teratur, serasi, selaras dan seimbang. Ada berbagai
macam terapi yang digunakan untuk mengatasi depresi lanjut usia, diantaranya :
1. Terapi psikofarmaka atau farmaka
97
Merupakan terapi pengobatan untuk depresi dengan memakai obat-obatan yang
berkhasiat memulihkan fungsi gangguan neuro-transmitter (sinyal pengatur saraf)
disusun saraf pusat otak (lymbic sistem). Obat yang digunakan untuk mengatasi
depresi diantaranya : imipramine, amitriptilin, doxepin, maprotilin, mianserin,
amozapine.
2. Terapi somatik
Merupakan terapi yang diberikan kepada penderita depresi yang disertai dengan
penyakit. Untuk menghilangkan keluhan somatik (fisik) dapat diberikan obat-obatan
yang ditujukan pada organ tubuh yang bersangkutan.
3. Psikoterapi
Merupakan terapi kejiwaan yang diberikan kepada pasien yang menderita depresi.
Psikoterapi ini banyak macam dan ragamnya tergantung dari kebutuhan pasien
diantaranya :
a. Psikoterapi suportif
Terapi yang dimaksudkan untuk memberi motivasi, semangat, dan dorongan
agar pasien yang bersangkutan tidak merasa putus asa dengan keadannya.
b. Psikoterapi re-edukatif
Terapi yang digunakan untuk memberikan pendidikan ulang dan koreksi bila
dinilai bahwa ketidakmampuan mengatasi depresinya itu dikarenakan faktor
psiko-edukasi masa lalu dikala yang bersangkutan dalam periode anak dan
remaja.
c. Psikoterapi re-konstruktif
Dengan terapi ini dimaksudkan untuk memperbaiki kembali (re-konstruksi)
kepribadian yang telah mengalami goncangan akibat stressor psikososial yang
tidak mampu diatasi oleh pasien.
d. Psikoterapi kognitif
Terapi ini dimaksudkan untuk memulihkan fungsi kognitif pasien, yaitu
kemampuan untuk berfikir secara rasional, konsentrasi dan daya ingat.
e. Psikoterapi perilaku
Terapi ini dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang mal-adaptif
(ketidakmampuan beradaptasi) akibat stressor psikososial yang dideritanya
f. Psikoterapi keluarga

98
Terapi ini dimaksudkan untuk memperbaiki gangguan kekeluargaan, agar faktor
keluarga tidak lagi menjadi faktor penyebab dan faktor keluarga dapat dijadikan
sebagai faktor pendukung bagi pemulihan pasien yang bersangkutan.
4. Terapi psikoreligius
Terapi ini merupakan terapi keagamaan yang diberikan kepada pasien depresi
dengan cara melakukan pengajuan dan berdoa bersama agar hati dan jiwa terasa
aman dan nyaman
5. Terapi psikososial
Terapi ini dimaksudkan dengan memulihkan kembali kemampuan adaptasi agar
yang bersangkutan dapat kembali berungsi secara wajar dalam kehidupan sehari-hari
di rumah maupun dilingkungan pergaulan sosialnya.
6. Terapi konseling
Semua proses terapi tersebut di atas khususnya psikoterapi dilakukan melalui
konseling. Orang (dokter dan psikiater) yang memberikan konsultasi dinamakan
konselor, sedangkan orang atau (pasien) yang mendapat konsultasi dinamakan klien
atau konseli. Konseling ini tidak hanya ditujukan kepada konseli secara individual
tetapi juga kepada pihak yang terkait misalnya kawan dekat, suami istri, anak, dan
keluarga lainnya (Hawari, 2011).

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA NY. A DENGAN DEPRESI


DI RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI

KASUS
Ny. A. usia 65 tahun dirawat di Rumah Sakit karena sering menyendiri dan tidak mau
melakukan aktivitas sejak 3 bulan yang lalu. Suatu hari Ny. A. tampak murung, lebih banyak
menunduk saat berbicara dengan siapapun. Penampilan fisik tidak rapi, pandangan kosong,
dan menjawab pertanyaan dengan singkat. Ketika perawat menanyakan penyebab, klien
menjawab bahwa ia merasa kesepian dan tidak ada yang peduli lagi dengannya semenjak
suaminya meninggal 3 bulan yang lalu, sehingga ia merasa putus asa akan kehidupan yang
dijalaninya. Diagnosa medis : Depresi

F. PENGKAJIAN
7. Identitas diri klien
Nama : Ny. A
99
Umur : 65 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Desa Tegal Rt 08/07 Kecamatan Kemang, Bogor
Status perkawinan : Janda
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pendidikan : Tamat SD
Pekerjaan : Tidak bekerja

8. Kondisi kehidupan klien saat ini


Ny. A tinggal bersama keluarga anaknya semenjak suaminya meninggal. Ny. A. jarang
melalukan interaksi dengan orang lain dan sering mengurung diri di kamar. Semenjak
suami Ny. A. meninggal, Ny. A selalu terlihat murung, tidak mau melakukan aktivitas
apapun dan bahkan malas untuk melakukan perawatan diri seperti mandi ataupun
berhias.

Genogram

Keterangan :
: Perempuan
: Laki-laki
: Garis perkawinan
100
: Garis keturunan
: Tinggal dalam satu rumah
: Klien
: Meninggal

9. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga Ny. A mengatakan ada riwayat gangguan kesehatan mental yang pernah
diderita oleh kakek Ny. A .
10. Riwayat Penyakit
e. Keluhan utama saat ini
Ny. A. mengatakan dirinya merasa tidak berguna dan merasa tidak ada yang peduli
lagi pada dirinya semenjak suaminya meninggal. Keluarga Ny. A. mengatakan, Ny.
A. malas melakukan perawatan diri seperti mandi, berhias, makan ataupun toileting,
karena ia merasa nyaman untuk tinggal di dalam kamar. Keluarga Ny. A.
mengatakan, Ny.A. lebih sering menghabiskan waktunya di kamar, saat dikamarpun
Ny. A jarang tidur, hanya duduk atau berbaring di atas tempat tidur. Ny. A. sesekali
keluar untuk menengok cucunya

f. Apa yang dipikirkan saat ini


Ny. A tidak mengatakan banyak hal, ia hanya melamun, dan sesekali menjawab
bahwa ia merasa kesepian setelah ditinggal oleh sang suami.
g. Siapa yang paling dipikirkan saat ini
Ny. A. mengatakan sering memikirkan mendiang suaminya, karena ia merasa belum
bisa menjadi istri yang baik.
h. Riwayat penyakit dahulu
Keluarga Ny. A mengatakan tidak ada riwayat penyakit yang berat yang pernah
diderita oleh Ny. A., hanya demam biasa dan sembuh dengan obat warung.
11. Pengkajian
k. Persepsi dan pemeliharan kesehatan
Keluarga Ny. A. mengatakan, sebelum Ny. A. ditinggal oleh suaminya. Ny. A.
adalah seorang pribadi yang aktif, ia selalu rajin memelihara kondisi kesehatannya
dengan makan teratur. Keluarga Ny. A. juga mengatakan Ny. A. tidak mempunyai
riwayat merokok ataupun minum – minuman keras. Namun setelah sakit Ny. A

101
selalu terlihat murung, ia bahkan sesekali menghisap rokok untuk menghilangkan
kejenuhan.
l. Pola nutrisi
Keluarga Ny. A mengatakan nafsu makan Ny. A menurun, makan 2 kali sehari,
kadang-kadang porsi makan tidak habis. Ny. A. minum 4 – 5 gelas/hari.
m. Pola eliminasi
Ny. A mengungkapkan malas untuk melakukan toileting. Ia melakukan BAB/BAK
hanya jika memang sudah tidak bisa ditahan.
n. Pola aktivitas dan latihan
Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4
Makan/minum √
Mandi √
Toileting √
Berpakaian √
Mobilitas di tempat tidur √
Berpindah/berjalan √
Ambulasi/ROM √

Keterangan
0 : Mandiri
1 : Alat bantu
2 : Dibantu orang lain
3 : Dibantu orang lain dan alat
4 : Tergantung total
o. Pola tidur dan istirahat
Keluarga Ny. A. mengatakan, Ny. A. menjadi jarang tidur, ia sering kali melamun
dan selalu terjaga saat malam. Keluarga Ny. A. mengatakan dalam satu hari, Ny. A.
tidur hanya 4 – 6 jam/hari. Tidur Ny. A. tidak nyenyak dan sering terbangun
p. Pola perseptual
Ny. A mengatakan sering memikirkan tentang kehidupannya setelah ditinggal oleh
sang suami. Ia sering kali merasa tidak berguna sehingga tidak ada lagi yang peduli
dengan dirinya
q. Pola persepsi diri

102
6) Gambaran diri
Ny. A tidak bisa menyebutkan gambaran diri yang diinginkan
7) Ideal diri
Ny. A. tidak bisa mengungkapkan ideal diri yang diinginkan.
8) Harga diri
Ny. A mengatakan dirinya masih mampu melakukan aktivitas sehingga merasa
tidak enak bila merepotkan orang lain.
9) Identitas diri
Ny. A. mengetahui bahwa ia adalah seorang ibu sekaligus nenek dari anak dan
cucu – cucunya.
10) Peran diri
Ny. A merupakan seorang ibu dan saat ini telah menjadi seorang nenek.
r. Pola peran hubungan
Keluarga Ny. A. mengatakan Ny. A. jarang melakukan interaksi dengan orang
sekitar, ia lebih memilih untuk tinggal diam di dalam kamar, bahkan saat keluarga
mengajak untuk berbicara, Ny. A. hanya menjawab singkat.

s. Pola managemen koping stress


Ny. A. tidak dapat melakukan manajemen koping yang tepat. Keluarga Ny. A.
mengatakan dari dulu, jika Ny. A. mempunyai masalah, ia selalu memendam
perasaanya dan tidak pernah bercerita dengan orang lain. Bahkan setelah suami Ny.
A. meninggal, Ny. terkadang mulai menghisap rokok untuk menghilangkan
kejenuhan.
t. Sistem nilai dan keyakinan
Keluarga Ny. A selalu percaya bahwa Tuhan memberikan setiap persoalan pasti ada
jalan keluarnya, hanya perlu bersabar dan pasrah sambil terus menjalani hidup apa
adanya, selalu bersyukur atas berkat yang Tuhan berikan.
12. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan fisik
8) Tingkat kesadaran : Composmentis E3V5M6, TD : 120/80 mmHg, RR : 24
x/menit, N : 90 x/menit, S : 36,50C
9) Kepala : Bentuk kepala mesosephal, tidak ada benjolan, luka atau lesi.
103
10) Rambut : Panjang dan beruban.
11) Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada nyeri tekan ataupun
nyeri telan.
12) Thorak :Tampak simetris, tidak ada distensi atau pengembangan dada yang
abnormal, tidak ada dispneu, tidak ada nyeri dada.
13) Abdomen : Tampak simetris, tidak ada pembesaran hepar, tidak ada nyeri tekan
atau pun benjolan.
14) Ekstremitas : Bagian atas dan bawah tampak normal atau simetris, ada farises di
kedua kaki, pergerakan normal.
d. Pemeriksaan panca indera
6) Mata : Tampak simetris, pupil isokor, pergerakan normal
7) Hidung : Bersih, tidak ada polip hidung, tidak ada septum deviasi.
8) Telinga : Bersih, tidak ada serumen, reflek suara baik.
9) Mulut : Gigi kekuningan, tidak lengkap, tidak ada stomatitis.
10) Sensasi (kulit) : Ada

Nama : Ny. A.
No. Reg. : 080417

GERIATRIC DEPRESSION SCALE : SHORT FORM


No Keadaan Yang Dirasakan Nilai Respon
Selama Seminggu Terakhir Ya Tidak
1 Apakah Anda sebenarnya puas dengan kehidupan Anda? √
2 Apakah Anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan minat/ √
kesenangan Anda?
3 Apakah Anda merasa kehidupan Anda kosong? √
4 Apakah Anda merasa sering bosan? √
5 Apakah Anda mempunyai semangat yang baik setiap saat? √
6 Apakah Anda merasa takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada √
Anda?

104
7 Apakah Anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup Anda? √
8 Apakah Anda merasa sering tidak berdaya? √
9 Apakah Anda lebih sering di rumah daripada pergi keluar dan √
mengerjakan sesuatu hal yang baru?
10 Apakah Anda merasa mempunyai banyak masalah dengan daya √
ingat Anda dibandingkan kebanyakan orang?
11 Apakah Anda pikir bahwa hidup Anda sekarang menyenangkan? √
12 Apakah Anda merasa tidak berharga seperti perasaan Anda saat √
ini?
13 Apakah Anda merasa penuh semangat? √
14 Apakah Anda merasa bahwa keadaan Anda tidak ada harapan? √
15 Apakah Anda pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya dari √
pada Anda?
SKOR 9

Hasil : 9 (Depresi ringan)

G. ANALISA DATA
No Data Problem Etiologi
1. DS :
- Ny. A. mengatakan dirinya
sudah tidak berguna lagi
semenjak ditinggal sang suami
- Keluarga Ny. A. mengatakan,
Ny. A. sesekali menghisap
rokok untuk menghilangkan
kejenuhan
DO : Gangguan Alam Koping Maladaptif
- Ekspresi wajah murung Perasaan : Depresi
- Saat bercerita, klien selalu
menyalahkan diri sendiri, penuh

105
rasa pesimis.
- Ny. A tidak mampu
mengutarakan pendapat dan
malas bicara

2 DS :
- Keluarga Ny. A. mengatakan
Ny. A. lebih sering
menghabiskan waktunya di Isolasi Sosial Depresi
dalam kamar (Menarik Diri)
- Keluarga Ny. A. mengatakan,
Ny. A. jarang melakukan
interaksi dengan orang lain, dan
apabila ditanya, Ny. A. hanya
menjawab singkat
DO :
- Ny. A. tampak murung, dan
lebih banyak menunduk saat
diajak bicara dengan siapapun
- Ny. A tampak menjawab
pertanyaan dengan singkat

3 DS :
- Keluarga Ny. A. mengatakan,
Ny. A. jarang tidur, lebih sering
duduk/berbaring di atas tempat
tidur
- Keluarga Ny. A. mengatakan Gangguan Pola Tidur Depresi, kesepian,
Ny. A selalu terjaga saat malam. berduka, terlambat

106
Waktu tidur Ny. A. 4–6 jam/hari tidur, kehilangan
Tidur tidak nyenyak dan sering teman tidur, takut
terbangun berpisah dengan
DO : orang terdekat,
- Ny. A. tampak sedih dan tidak penuaan
bersemangat
- Ny. A. tampak cemas

H. DIAGNOSA SESUAI PRIORITAS


1. Gangguan alam perasaan : depresi berhubungan dengan koping maladaptif.
2. Isolasi sosial (menarik diri) berhubungan dengan depresi.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan depresi, kesepian, berduka, terlambat
tidur,kehilangan teman tidur, takut berpisah dengan orang terdekat, penuaan.

107
I. INTERVENSI KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN Paraf
KEPERAWATAN TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
1 Gangguan alam Setelah dilakukan asuhan 1. Bantu untuk memahami bahwa 1. Membangun motivasi pada
perasaan : depresi keperawatan 2 x 24 jam, klien dapat mengatasi lansia
berhubungan lansia merasa tidak stress, keputusasaannya. 2. Menumbuhkan semangat hidup
dengan koping dengan kriteria hasil : 2. Bantu mengidentifikasi sumber- lansia Klien dapat menggunakan
maladaptif 1. Klien dapat sumber harapan (misal: hubungan dukungan sosial
meningkatkan harga antar sesama, keyakinan, hal-hal 3. Lansia tidak merasa sendiri
diri untuk diselesaikan). 4. Meningkatkan nilai spiritual
2. Klien dapat 3. Kaji dan manfaatkan sumber- lansia Astri
menggunakan sumber ekstemal individu (orang- 5. Untuk mengatasi gejala
dukungan social orang terdekat, tim pelayanan gangguan kecemasan/ansietas
3. Klien dapat kesehatan, kelompok pendukung, seperti cemas, murung, menarik
menggunakan obat agama yang dianut). diri/depresi
dengan benar dan 4. Kaji sistem pendukung keyakinan 6. Klien dapat menggunakan obat
tepat (nilai, pengalaman masa lalu, dengan benar dan tepat. Untuk
aktivitas keagamaan, kepercayaan memberi pemahaman kepada
agama). lansia tentang obat
5. Kolaborasi pemberian obat 7. Prinsip 5 benar dapat
depresi : alganax 3x1 dengan memaksimalkan fungsi obat
dosis 0,25 mg secara efektif

1
6. Diskusikan tentang obat (nama, 8. Menambah pengetahuan lansia
dosis, frekuensi, efek dan efek tentang efek-efek samping obat.
samping minum obat). 9. Lansia merasa dirinya lebih
7. Bantu menggunakan obat dengan berharga
prinsip 5 benar (benar pasien,
obat, dosis, cara, waktu).
8. Anjurkan membicarakan efek
samping obat yang dirasakan.
9. Beri reinforcement positif bila
menggunakan obat dengan benar.

2 Isolasi sosial Setelah dilakukan asuhan 1. Sapa klien dengan ramah baik 1. Kesan pertama pada klien
(menarik diri) keperawatan 2 x 24 jam, verbal maupun non verbal sangat menentukan untuk
berhubungan diharapkan lansia tidak 2. Perkenalkan diri dengan sopan BHSP
dengan depresi menarik diri, dengan 3. Tanyakan nama lengkap klien dan 2. Kepercayaan klien terhadap
kriteria hasil : nama panggilan yang disukai perawat akan muncul jika klien
1. Klien dapat 4. Jelaskan tujuan pertemuan mengenal perawat tersebut
berinteraksi dengan 5. Jujur dan menepati janji 3. Perhatian terhadap klien akan Dian
orang lain, sehingga 6. Tunjukkan sikap empati dan membuat klien merasa dihargai
tidak tjd halusinasi menerima klien apa adanya 4. Mengurangi rasa takut klien
2. Klien dapat membina 7. Beri kesempatan kepada klien terhadap perawat
hubungan saling untuk mengungkapkan 5. Untuk meningkatkan

2
percaya perasaanya kepercayaan klien
3. Klien dapat 8. Berikan perhatian kepada klien 6. Penerimaan akan keadaan klien
menyebutkan dan perhatian kebutuhan dasar akan membuat klien merasa
penyebab menarik diri klien lebih nyaman untuk
4. Klien dapat mengungkapkan perasaanya
menyeburkan 7. Dapat mengurangi stres dan
keuntungan b.d orang penyebab perasaan menarik diri
lain dan kerugian 8. Kepedulian terhadap klien akan
tidak b.d orang lain meningkatkan kepercayaan thd
perawat

3 Gangguan pola Setelah dilakukan asuhan 1. Bersama klien mengidentifikasi 1. Untuk mengetahui apa saja
tidur berhubungan keperawatan 2 x 24 jam, gangguan pola tidur penyebab gangguan pola tidur
dengan depresi, diharapkan lansia mampu 2. Diskusikan cara-cara utuk pada pasien
kesepian, berduka, memenuhi kebutuhan memenuhi kebutuhan tidur 2. Mempermudah pasien untuk
terlambat istirahat dan tidur, dengan (Minum air hangat atau susu memperoleh kebutuhan tidur
tidur,kehilangan kriteria hasil : hangat sebelum tidur, hindarkan yang baik Kadek
teman tidur, takut 1. Klien mampu minum yang mengandung kafein 3. Cara-cara yang sesuai dapat
berpisah dengan memahami faktor dan coca cola, dengarkan musik mempermudah pasien
orang terdekat, penyebab gangguan yang lembut sebelum tidur) 4. Agar pasien dapat kualitas tidur
penuaan. pola tidur. 3. Anjurkan pasien untuk memilih yang baik
2. Klien mampu cara yang sesuai dengan

3
memahami rencana kebutuhannya
khusus untuk 4. Berikan lingkungan yang nyaman
menangani atau untuk meningkatkan tidur.
mengoreksi penyebab
tidur tidak adekuat. Tindakan untuk keluarga :
3. Klien mampu 1. Diskusikan dengan keluarga
menciptakan pola tentang tanda dan gejala
tidur yang adekuat gangguan pola tidur pada pasien
dengan penurunan 2. Anjurkan keluarga untuk
terhadap pikiran yang menciptakan lingkungan yang
melayang-layang tenang untuk memfasilitasi agar
(melamun). pasien dapat tidur.
4. Klien tampak atau
melaporkan dapat
beristirahat yang
cukup.

4
J. Catatan Perkembangan

NO DX WAKTU IMPLEMENTASI RESPON EVALUASI


TGL/JAM
1. Dx. 5 - 12 – 2019
1 07.30 1. Membantu untuk memahami 1. Klien tampak acuh S:
bahwa klien dapat mengatasi 2. Sesekali klien tampak bermain - Ny. A. mengatakan dirinya
keputusasaannya. dengan cucunya merasa tidak berguna lagi
2. Membantu mengidentifikasi 3. Klien tampak malas untuk setelah ditinggal sang suami
sumber-sumber harapan melakukan ibadah - Ny. A. tampak acuh
3. Mengkaji dan manfaatkan 4. Klien meyakini bahwa ia - Ny. A. mengatakan merasa
sumber-sumber ekstemal menganut agama Islam mengantuk setelah meminum
individu 5. Klien mau meminum obat obat
4. Mengkaji sistem pendukung 6. Klien tampak memperhatikan O:
keyakinan saat berdiskusi mengenai obat - Ny. A. tampak murung
5. Berkolaborasi dalam 7. Klien tampak memperhatikan - Sesekali Ny. A tampak bermain
pemberian obat depresi : 8. Klien mengatakan merasa dengan cucunya
alganax 3x1 dengan dosis mengantuk setelah meminum - Saat berdiskusi Ny. A. tampak
0,25 mg obat memperhatikan
6. Mendiskusikan tentang obat 9. Klien tampak lebih bersemangat A : Masalah gangguan alam perasaan
7. Membantu menggunakan saat diberikan pujian : depresi belum teratasi
obat dengan prinsip 5 benar P : Intervensi dilanjutkan

5
8. Menganjurkan 1. Bantu untuk memahami bahwa
membicarakan efek samping klien dapat mengatasi
obat yang dirasakan. keputusasaannya.
9. Memberi reinforcement 2. Kaji dan manfaatkan sumber-
positif bila menggunakan sumber ekstemal individu
obat dengan benar. 3. Kolaborasi pemberian obat
alganax 3x1
4. Diskusikan tentang obat
5. Bantu menggunakan obat
dengan prinsip 5 benar
6. Anjurkan membicarakan efek
samping obat yang dirasakan.
7. Beri reinforcement positif bila
menggunakan obat dengan
benar

2 05-12-2019
09.00 1. Menyapa klien dengan ramah 1. Klien tampak acuh S:

6
baik verbal maupun non 2. Klien tampak memperhatikan - Keluarga Ny. A. mengatakan,
verbal 3. Klien menjawab dengan singkat Ny. A. sering menghabiskan
2. Memperkenalkan diri dengan 4. Klien tampak memperhatikan waktunya di kamar
sopan 5. Klien masih tampak ragu-ragu - Ny. A. mengungkapkan
3. Menanyakan nama lengkap 6. Klien tampak terdiam perasaan bersedih
klien dan nama panggilan 7. Klien mengungkapkan perasaan O:
yang disukai bersedih - Ny. A.menjawab pertanyaan
4. Menjelaskan tujuan 8. Klien tampak melamun dengan singkat
pertemuan - Ny. A. tampak ragu-ragu dan
5. Jujur dan menepati janji sering melamun
6. Menunjukkan sikap empati A : Masalah isolasi sosial (menarik
dan menerima klien apa diri) belum teratasi
adanya P : Intervensi dilanjutkan
7. Memberikan kesempatan 1. Sapa klien dengan ramah baik
kepada klien untuk verbal maupun non verbal
mengungkapkan perasaanya 2. Perkenalkan diri dengan sopan
8. Memberikan perhatian 3. Jelaskan tujuan pertemuan
kepada klien dan perhatian 4. Jujur dan menepati janji
kebutuhan dasar klien 5. Tunjukkan sikap empati dan
menerima klien apa adanya
6. Berikan kesempatan kepada
klien untuk mengungkapkan

7
perasaanya
7. Berikan perhatian kepada klien
dan perhatian kebutuhan dasar
klien

3 05-12-2019
11.00 1. Bersama klien 1. Klien mengatak tidak bisa tidur S:
mengidentifikasi gangguan karena banyak hal yang - Keluarga Ny. A. mengatakan,
pola tidur dipikirkan Ny. A. jarang tidur, lebih sering
2. Diskusikan cara-cara utuk 2. Klien mengatakan lebih suka duduk/ berbaring diatas tempat
memenuhi kebutuhan tidur meminum susu sebelum tidur tidur
3. Anjurkan pasien untuk 3. Klien mengatakan jika tidur - Ny. A. mengatakan tidak bisa
memilih cara yang sesuai harus memutar musik yang tidur
dengan kebutuhannya merilekskan - Ny. A. mengatakan jika tidur
4. Berikan lingkungan yang 4. Klien mengatakan jika tidur lingkungan harus tenang dan
nyaman untuk meningkatkan lingkungan harus tenang sambil diputarkan musik yang
tidur. merilekskan

Tindakan untuk keluarga : Respon keluarga : O:


1. Diskusikan dengan keluarga 1. Keluarga mengatakan Ny. A. - Ny. A. tampak sedih dan tidak
tentang tanda dan gejala selalu terjaga saat malam. bersemangat

8
gangguan pola tidur pada Waktu tidur 4 – 6 jam/hari. - Terdapat lingkaran hitam
pasien Tidur tidak nyenyak dan sering dibawah mata
2. Anjurkan keluarga untuk terbangun A : Masalah gangguan pola tidur
menciptakan lingkungan 2. Keluarga mengatakan selalu belum teratasi
yang tenang untuk menciptakan lingkungan yang P : Intervensi dilanjutkan
memfasilitasi agar pasien nyaman agar Ny. A. dpt tertidur 1. Bersama klien
dapat tidur. mengidentifikasi gangguan
pola tidur
2. Berikan lingkungan yang
nyaman untuk meningkatkan
tidur.
3. Anjurkan keluarga untuk
menciptakan lingkungan yang
tenang untuk memfasilitasi
agar pasien dapat tidur

2 1 6 – 12 – 2019
07.30 1. Membantu untuk memahami 1. Klien tampak menjukkan S:
bahwa klien dapat mengatasi perhatian - Ny. A. mengatakan akan rutin
keputusasaannya. 2. Klien tampak menunjukkan meminum obat
2. Mengkaji dan manfaatkan minat untuk beribadah - Ny. A. mengatakan merasa

9
sumber-sumber ekstemal 3. Klien mau meminum obat mengantuk setelah meminum
individu 4. Klien mengatakan akan rutin obat
3. Berkolaborasi pemberian meminum obat O:
obat alganax 3x1 5. Klien tampak memperhatikan - Ny. A. senang saat diberikan
4. Mendiskusikan tentang obat 6. Klien mengatakan merasa pujian
5. Membantu menggunakan mengantuk setelah meminum - Ny. A. mulai menunjukkan
obat dengan prinsip 5 benar obat perhatian
6. Menganjurkan 7. Klien senang saat diberikan A : Masalah gangguan alam perasaan
membicarakan efek samping pujian : depresi belum teratasi
obat yang dirasakan. P : Intervensi dilanjutkan
7. Memberi reinforcement 1. Bantu untuk memahami bahwa
positif bila menggunakan klien dapat mengatasi
obat dengan benar keputusasaannya.
2. Manfaatkan sumber-sumber
ekstemal individu

3. Kolaborasi pemberian obat


alganax 3x1
4. Diskusikan tentang obat
5. Bantu menggunakan obat
dengan prinsip 5 benar
6. Anjurkan membicarakan efek

10
samping obat yang dirasakan.
7. Beri reinforcement positif bila
menggunakan obat dengan benar

2 6 – 12 – 2019
09.00 1. Menyapa klien dengan ramah 1. Klien tampak mengangguk S:
baik verbal maupun non 2. Klien tampak memperhatikan - Ny. A. mengungkapkan
verbal 3. Klien tampak memperhatikan perasaan yang lebih bersahabat
2. Memperkenalkan diri dengan 4. Klien menunjukkan sedikit O:
sopan kepercayaan - Ny. A. menunjukkan sedikit
3. Menjelaskan tujuan 5. Klien tampak senang saat kepercayaan
pertemuan diperhatikan - Ny. A. tampak senang saat
4. Jujur dan menepati janji 6. Klien mengungkapkan perasaan diperhatikan
5. Menunjukkan sikap empati yang lebih bersahabat A : Masalah isolasi sosial (menarik
dan menerima klien apa diri) belum teratasi
adanya 7. Klien tampak senang saat P : Intervensi dilanjutkan
6. Memberikan kesempatan diperhatikan 1. Sapa klien dengan ramah baik
kepada klien untuk verbal maupun non verbal
mengungkapkan perasaanya 2. Perkenalkan diri dengan sopan
7. Memberikan perhatian 3. Jelaskan tujuan pertemuan
kepada klien dan perhatian 4. Jujur dan menepati janji
kebutuhan dasar klien 5. Tunjukkan sikap empati dan

11
menerima klien apa adanya
6. Berikan kesempatan kepada
klien untuk mengungkapkan
perasaanya
7. Berikan perhatian kepada klien
dan perhatian kebutuhan dasar
klien

3 6 – 12 – 2019
11.00 1. Bersama klien 1. Klien mengatakan tidak bisa S:
mengidentifikasi gangguan tidur karena masih memikirkan - Ny. A. mengatakan sudah jarang
pola tidur suaminya yang telah meninggal terbangun saat malam
2. Memberikan lingkungan 2. Klien mengatakan sudah jarang - Ny. A. mengatakan terkadang
yang nyaman untuk terbangun saat malam masih memikirkan suaminya
meningkatkan tidur. 3. Keluarga mengatakan selalu yang telah meninggal
3. Anjurkan keluarga untuk menyediakan lingkungan yang O:

12
menciptakan lingkungan tenang dan nyaman untuk Ny. A - Saat dilakukan pengkajian Ny.
yang tenang untuk A. tampak sedikit mengantuk
memfasilitasi agar pasien A : Masalah gangguan pola tidur
dapat tidur belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan
1. Berikan lingkungan yang
nyaman untuk meningkatkan
tidur.
2. Anjurkan keluarga untuk
menciptakan lingkungan yang
tenang untuk memfasilitasi
agar pasien dapat tidur

13

Anda mungkin juga menyukai