Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK

PADA NY. K DENGAN HIPERTENSI


DI BLOK B UPTD GRIYA WERDHA JAMBANGAN SURABAYA

Disusun Oleh:

ALRISTA MAWAR WIDANTI


P27820820004

PROGRAM STUDI PROFESI


NERS JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES
SURABAYA TAHUN AKADEMIK
2021
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Gerontik pada
pasien dengan Osteoarthirtis yang dilaksanakan pada tanggal 03 Mei - 22
Mei 2021 telah dilaksanakan sebagai laporan praktik klinik keperawatan
Gerontik Program Studi Pendidikan Profesi Ners Politeknik Kesehatan
Kemenkes Surabaya oleh :
Nama Mahasiswa : Alrista Mawar Widanti

Mengetahui, Surabaya,21 Mei 2021


Pembimbing Akademik
Pembimbing Klinik

Mengetahui,
Kepala UPTD Griya Werdha

Septiani Hendartini, S.Sos Penata TK 1


NIP. 19660918 198901 2 002
LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP DASAR LANSIA

A. Definisi Lansia
Seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas dapat dikatakan
sebagai lansia. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan suatu proses
yang berangsur-angsur yang mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan
proses menurunya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam
dan luar tubuh (UU No 13 tahun 1997, dalam Kholifah, 2016).
Menua merupakan proses menghilangnya secara perlahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang
diderita (Constantinides, 1994 dalam Aspiani,2014).
B. Batasan Lansia
Batasan-batasan lansia menurut WHO 2008 meliputi:
a. Usia pertengahan (middle age), antara 45 sampai 59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) antara 60 sampai 74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) antara 75 samapi 90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Menurut Siti Maryam (2009) dalam Ratnawati (2017), batasan- batasan lansia di
kategorikan sebagai berikut:
a) Pralansia (Prasenilis) : seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
b) Lansia : seseorang yang berusia diatas 60 tahun.
c) Lansia resiko tinggi : seseorang yang berusia 70 tahun ke atas atau usia 60
tahun ke atas dengan masalah kesehatan.
d) Lansia potensial : lansia yang masih mampu untuk melakukan pekerjaan atau
kegiatan yang dapat menghasilkan uang.
e) Lansia tidak potensial : lansia yang sudah tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada orang lain.
C. Tipe-tipe Lanjut Usia
Tipe-tipe lansia menurut Azizah (2011) sebagai berikut :
1. Tipe arif bijaksana
Lansia yang kaya akan hikmah pengalaman dalam menyesuaikan diri dengan
perubahan jaman, memiliki kesibukan, bersikap ramah, rendah hati,
sederhana, darmawan, memenuhi undangan, dan dapat menjadi panutan.
2. Tipe mandiri
Lansia yang mampu mengganti kegiatan-kegiatan yang hilang dengan
kegiatan-kegiatan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, teman
pergaulan, serta mampu memenuhi undangan.
3. Tipe tidak puas
Lansia yang dengan konflik lahir batin menentang proses menua, yang
menyebabkan kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik jasmaniah,
kehilangan kekuasaan, status teman yang disayangi, mudah marah, tidak
sabaran, mudah tersinggung, sangat menuntut, sulit dilayani dan pengkritik.
4. Tipe pasrah
Lansia yang menerima serta menunggu nasib baik, memiliki konsep habis
gelap datang terang, rajin mengikuti kegiatan beribadah, pekerjaan apasaja
dilakukan.
5. Tipe bingung
Lansia yang kehilangan kepribadian, sering mengasingkan diri, merasa
minder, menyesal, pasif, mental, sosial dan ekonominya.
D. Proses Menua
Proses menua adalah suatu proses biologis yang tidak dapat dihindari, yang
dialami oleh setiap orang. Menua merupakan suatu proses menghilangnya secara
perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan
struktur serta fungsinya secara normal, ketahanan terhadap injury termasuk
adanya infeksi. Proses menua mulai berlangsung dari seorang mencapai tahap
dewasa, misalanya terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan syaraf, dan
jaringan lain sehingga lama-kelamaan tubuh akan mati. Setiap orang mempunyai
fungsi fisiologis tubuh yang berbeda-beda, baik dalam hal pencapaian puncak
fungsi ataupun saat menurunya. Kebanyakan pencapaian puncaknya pada umur
20-30 tahun. Setelah mencapai puncaknya, fungsi tubuh akan berada dalam
kondisi tetap utuh dalam beberapa waktu, lama-kelamaan akan menurun sedikit
demi sedikit seiring bertambahnya usia (Aspiani, 2014).
Ada beberapa teori yang membahas tentang proses menua yaitu :
1. Teori biologi
Teori biologis didalam proses penuaan mengacu pada asumsi bahwa proses
menua merupakan suatu perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi
tubuh selama masa kehidupan (Zairt,1980 dalam Aspiani, 2013). Teori ini
lebih menekankan pada perubahan kondisi tingkat struktural sel/organ tubuh,
termasuk di dalamnya adalah pengaruh agen patologis. Teori ini berfokus
dalam mencari determinan- determinan yang dapat menghambat proses
penuaan fungsi organisme. Fungsi organisme dapat mempengaruhi dampak
terhadap organ tubuh lainnya dan dapat berkembang sesuai dengan
peningkatan usia kronologis. Aspiani (2014) menyimpulkan bahwa teori
penuaan menurut teori biologis sebagai berikut:
2. Teori Genetik Clock
Menurut teori ini menua sudah terprogram secara genetik setiap spesies-spesies
tertentu. Setiap spesies didalam inti selnya mempunyai jam genetik yang telah
diputar menurut suatu replikasi tertentu. Secara teoritis dapat dimungkinkan
memutar jam ini lagi meskipun hanya beberapa waktu dengan pengaruh-
pengaruh di luar, berupa peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dengan
obat-obatan, atau dengan tindakan tertentu.
3. Teori Mutasi Somatik (Eror Catastrophe Theory)
Menurut teori ini penuaan disebabkan oleh kesalahan yang beruntutan dalam
jangka waktu lama melalui traskripsi dan translasi. Kesalahan tersebut
menyebabkan terbentuknya enzim yang salah dan berakibat pada metabolisme
yang salah, sehingga mengurangi fungsional sel.
4. Teori Autoimun (Auto Immune Theory)
Menurut teori ini proses metabolisme didalam tubuh suatu saat akan
menghasilkan zat khusus. Ada beberapa jaringan tubuh tertentu yang tidak
tahan terhadap suatu zat, sehingga mengakibatkan jaringan tubuh menjadi
lemah dan sakit.
5. Teori Radikal Bebas
Radikal bebas terbentuk di alam bebas. Tidak stabilnya radikal bebas (kelompok
atom) yang masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan oksidasi oksigen
berbahan organik, seperti karbohidrat dan protein
6. Teori Rantai Silang
Didalam teori ini penuaan disebabkan oleh adanya sel-sel yang sudah tua atau
telah usang yang menghasilkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen.
Ikatan ini mengakibatkan jaringan menjadi kurang elastis, kaku dan hilangnya
fungsi tubuh.

7. Teori psikososial.
Aspiani (2014) menyimpulkan bahwa penuaan menurut teori psikososial
diantranya :

a. Activity Theory (teori aktivitas)


Didalam teori ini menyatakan bahwa seorang individu harus eksis dan aktif
didalam kehidupan sosialnya untuk mencapai kesuksesan di hari tua.
Aktivitas dalam teori ini dipandang sebagai sesuatu yang vital untuk
memenuhi kepuasan pribadi. Teori ini berdasar pada asumsi bahwa: (1)
Aktif lebih baik dari pada pasif (2) Gembira lebih baik daripada tidak
gembira (3) Orang tua adalah orang yang baik untuk mencapai sukses dan
akan memilih alternatif pilihan aktif dan bergembira. Penuaan
menyebabkan penurunankegiatan secara langsung.
b. Teori Kontinuitas
Dalam teori ini memandang bahwa tua merupakan keadaan yang selalu
terjadi dan berkesinambungan yang harus dihadapi oleh semua orang.
Adanya suatu kepribadian berlanjut yang mengakibatkan adanya perilaku
yang meningkatkan stress.
c. Disanggement Theory
Terputusnya hubungan dengan dunia luar seperti dengan masyarakat, dan
hubungan dengan individu lain.
d. Teori Stratisfikasi Usia
Dalam teori ini dijelaskan orang yang digolongkan dalam usia tua akan
mempercepat proses penuaan.

e. Jung Teory

Didalam teori ini dijelaskan bahwa terdapat lingkungan hidup yang


mempunyai tugas dalam perkembangan kehidupan.
f. Course of Human Life Theory
Teori ini menjelaskan seseorang dalam berhubungan dengan lingkungan
ada tingkat maksimumnya.
g. Devlopment Task Theory
Setiap tingkat kehidupan memiliki tugas perkembangan sesuai dengan
usianya.
8. Teori Lingkungan
Aspiani (2014) menyimpulkan penuaan menurut teori lingkungan
diantaranya:

a. Teori Radiasi
Setiap hari manusia terpapar oleh radiasi, baik dari sinar ultraviolet ataupun
dalam bentuk gelombang mikro yang telah menumpuk didalam tubuh tanpa
terasa dapat mengakibatkan perubahan struktur DNA dalam sel hidup
maupun sel rusak dan mati.
b. Teori Stres
Stres fisik maupun psikologis dapat menyebabkan pengeluaran
neurotransmiter tertentu yang bias mengakibatkan perfusi jaringan
menurun sehingga jaringan mengalami kekurangan oksigen dan mengalami
gangguan metabolisme sel sehingga dapat terjadi penurunan jumlah cairan
dalam sel dan penurunan eksisitas membran sel.
c. Teori Polusi
Lingkungan yang tercemar dapat mengakibatkan tubuh mengalami
gangguan sistem psikoneuroimunologi yang dapat mempercepat terjadinya
proses penuaan.
d. Teori Pemaparan
Terpaparnya sinar matahari sama dengan terpaparnya sinar ultraviolet
yang dapat mempengaruhi susunan DNA sehingga proses penuaan atau
kematian sel bisa terjadi.
E. Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
Kemampuan mulai berkurang saat orang bertambah tua. Aspiani (2014)
menyimpulkan perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai
berikut:
1. Perubahan Fisik
a. Sel
Jumlah sel sedikit, ukurannya menjadi lebih besar, berkurangnya cairan
intra seluler, porposi protein di otak, ginjal, dan hati menurun, jumlah sel
otak menurun, mekanisme perbaikan sel terganggu.
b. Sistem Persyarafan
Respon menjadi lambat dan menurunnya hubungan antar persyarafan,
berat otak menurun, syaraf panca indra mengecil sehingga menyebabkan
berkurangnya penglihatan dan pendengaran, mengecilnya syaraf
penciuman dan perasa, sensitif terhadap suhu, ketahanan tubuh terhadap
dingin rendah, kurang sensitif terhadap sentuhan.
c. Sistem Penglihatan
Menurunnya lapang pandang dan daya akomodasi mata, kekeruhan pada
mata sehingga menjadi katarak, pupil muncul sclerosis, daya membedakan
warna menurun.
d. Sistem Pendengaran
Menurunnya daya pendengaran, terutama pada bunyi suara atau nada yang
tinggi, suara menjadi tidak jelas, sulit memahami kata-kata, membrane
timpani menjadi atrofi menyebabkan atosklerosis.
e. Sistem Kardivaskuler
Terjadinya penurunan elastisitas oarta, katup jantung menebal dan menjadi
kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun, kurangnya elastisitas
pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer dalam
memenuhi oksigenasi, perubahan pada posisi dari tidur ke duduk atau dari
duduk ke berdiri bisa mengakibatkan tekanan darah menurun, dan tekanan
darah meninggi akibat dari meningkatnya resistensi dari pembuluh darah
perifer.
f. Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh
Pada pengaturan suhu hipotalamus dianggap memiliki suatu suhu tertentu,
kemunduran terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhinya antara
lain: temperatur tubuh menurun, keterbatasan reflek menggigil dan tidak
dapat memproduksi panas yang banyak sehingga menyebabkan rendahnya
aktivitas otot.
g. Sistem Respirasi
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunya
aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas, menarik napas menjadi
lebih berat, menurunya kapasitas pernafasan maksimum, dan menurunnya
kedalaman dalam bernafas, serta kemampuan kekuatan otot pernafasan
menurun.
h. Sistem Gastrointestinal
Gigi yang tanggal menjadi banyak, menurunnya sensifitas indra pengecap,
pelebaran esophagus, tidak memiliki rasa lapar, asam lambung menurun,
waktu pengosongan menurun, peristaltik usus menurun, dan sering timbul
konstipasi, dan fungsi absorpsi menurun.
i. Sistem Genitourinaria
Otot vesika urinaria melemah dan kapasitasnya menurun, frekuensi buang
air kecil meningkat, pada wanita sering terjadi atrofi vulva, selaput lendir
mengering, menurunnya elastisitas jaringan dan disertai penurunan
frekuensi seksual.
j. Sistem Endokrin
Hampir semua produksi hormon menurun (ACTH, TSH, FSH, LH)
penurunan sekresi hormon kelamin misalnya : estrogen, progesteron, dan
testeron.
k. Kulit atau Integumen
Kulit keriput karena kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit kasar, dan
bersisik akibat kehilangan proses keratinisasi, serta perubahan ukuran dan
bentuk sel epidermis, rambut menipis, berkurangnya elastisitas akibat
menurunya cairan dam vaskularisasi, perubahan kuku lebih lambat, kuku
jari menjadi keras dan rapuh, serta kelenjar keringan menjadi berkurang.
l. Sistem Muskuloskeletal
Tulang kehilangan cairan dan rapuh, kifosis, terjadi penipisan dan
pemendekan tulang, persendian menjadi besar dan kaku, tendon mengerut,
dan mengalami sclerosis, atrofi serabut otot sehingga gerakan menjadi
lambat, terjadi kram otot, dan tremor.
2. Perubahan Kondisi Mental
Perubahan-perubahan mental erat sekali dengan perubahan fisik terutama
organ perasa, keadaan kesehatan, tingkat pendidikan, atau pengetahuan, factor
keturunan dan lingkungan. Adanya kekacauan mental akut, merasa terancam
akan timbulnya suatu penyakit atau takut ditelantarkan karena tidak berguna.
Munculnya perasaan kurang mandiri serta bersifat introvert (Aspiani, 2014).
3. Perubahan Psikososial
Masalah perubahan psikososial dan reaksi individu terhadap perubahan ini
sangat beragam, tergantung kepribadian individu yang bersangkutan. Orang
yang menjalani hidupnya dengan bekerja, tiba-tiba dihadapkan untuk
menyesuaikan diri dengan masa pensiun. Perubahan yang menjadikan
kehidupan mereka merasa kurang melakukan kegiatan yang berguna.

Aspiani (2014) menyimpulkan perubahan psikososial pada lansia meliputi :


a. Pensiun
b. Sadar akan kematian
c. Perubahan cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan, bergerak
terbatas
d. Ekonomi, karena pemberhentian dari jabatan, biaya hidup meningkat,
bertambahnya biaya pengobatan
e. Timbul penyakit kronis
f. Kesepian karena pengasingan dari lingkungan sosial
g. Gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan gangguan pendengaran
h. Kehilangan hubungan dengan teman dan keluarga.
i. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran
diri dan perubahan konsep diri.
F. Penyakit Yang Sering Terjadi Pada Lansia
Menurut pendapat Stieglitz (1945) dalam Aspiani (2014), terdapat empat
penyakit yang erat hubungannya dengan proses menua, yaitu :
1. Terjadi gangguan sirkulasi darah, misalnya hipertensi kelainan pembuluh
darah, gangguan pembuluh darah di otak, koroner dan ginjal
2. Terjadi gangguan metabolisme hormonal misalnya Diabetes Melitus,
klimakterium dan ketidakseimbangan tiroid
3. Terjadi gangguan pada persendian, misalnya Osteoarthritis, gout arthritis,
ataupun penyakit kolagen lainnya
4. Gangguan berbagai macam neoplasma.
Menurut Azizah (2011) penyakit lain yang sering terjadi pada lansia diantaranya
:
1. Penyakit pada sistem pernafasan
Fungsi paru terjadi kemunduran karena datangnya usia tua sehingga elastisitas
jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia lanjut kekuatan
kontraksi otot pernafasan berkurang sehingga susah bernafas.
2. Penyakit sistem kardiovaskular
Pada orang lansia, besar jantung akan sedikit mengecil. Yang paling sering
mengalami penurunan fungsi adalah rongga bilik kiri, karena berkurangnya
aktivitas. Sel-sel otot jantung juga mengalami penurunan sehingga
mengakibatkan menurunya kekuatan otot.
3. Penyakit sistem hematologic
Kelainan sistem hematologi yang paling sering terjadi adalah sirkulasi jumlah
sel darah merah menurun. Kondisi ini disebut anemia. Anemia terjadi karena
produksi sel darah merah oleh sum-sum tulang berkurang atau tingginya
penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi. Anemia pada lansia sering kali
terjadi dan sering multifactorial, kegagalan dalam mengevaluasi anemia pada
orang tua mengakibatkan lambatnya penegakan diagnosis.
4. Penyakit sistem pencernaan
Menurunnya produksi saliva pada lansia, dapat mempengaruhi proses
perubahan kompleks karbohidrat menjadi disakarida. Fungsi ludah sebagai
pelicin makanan berkurang sehingga proses menelan menjadi lebih sukar.
5. Penyakit pada persendian dan tulang
Penyakit persendian ini akibat dari degenerasi atau kerusakan pada permukaan
sendi-sendi tulang yang banyak dijumpai pada lanjut usia terutama yang
gemuk. Keluhan yang dirasakan biasanya linu-linu, pegal, dan kadang terasa
seperti nyeri. Biasanya yang terkena yaitu persendian pada jari-jari, tulang
punggung, sendi-sendi penahan tubuh (lutut dan panggul). Hal ini disebabkan
oleh gangguan metabolisme asam urat dalam tubuh.
6. Penyakit sistem urogenital
Peradangan pada sistem urogenital banyak dijumpai pada wanita lanjut usia
berupa peradangan kandung kemih sampai peradangan ginjal akibat sisa air
seni dalam vesika urinaria (kandung kemih). Keadaan ini diakibatkan karena
berkurangnya tonus kandung kemih dan adanya tumor yang menyumbat
saluran kemih. Pada pria sisa seni dalam kandung kemih dapat menyebabkan
pembesaran kelenjar prostat. Pada pria lanjut usia banyak terjadi kasus kanker
pada kelenjar prostat.
7. Penyakit yang disebabkan proses keganasan kanker
Semakin tua seseorang semakin mudah terkena penyakit kanker. Pada wanita,
kanker banyak dijumpai pada rahim, payudara dan saluran pencernaan
sedangkan pada pria paling banyak dijumpai pada paru- paru, saluran
pencernaan, dan kelenjar prostat.

KONSEP DASAR SINDROM GERIATRI

A. Pengertian Sindrom Geriatri


Sindrom geriatri adalah serangkaian kondisi klinis pada orang tua yang
dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan dikaitkan dengan kecacatan.
(amplan klinis yang tidak khas sering membuat sindrom geriatri tidak
terdiagnosis. (Vina, 2015).
Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinesia,
ketergantungan fungsional, dan jatuh. Sindrom ini dapat menyebabkan angka
morbiditas yang signifikan dan keadaan yang buruk pada usia tua yang lemah.
Sindrom ini biasanya melibatkan beberapa sistem organ. Sindrom geriatric
mungkin memiliki kesamaan patofisiologi meskipun presentasi yang berbeda,
dan memerlukan interventasi dan strategi yang berfokus terhadap faktor etiologi
(Darmojo B, 2009).
B. Jenis dan Klasifikasi Sindrom Geriatri
Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering
dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut Solomon
dkk: The “13i” yang terdiri dari Immobility (imobilisasi), Instability (instabilitas
dan jatuh), Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti demensia dan
delirium), Incontinence (inkontinensia urin dan alvi), Isolation (depresi),
Impotence (impotensi), Immunodeficiency (penurunan imunitas), Infection
(infeksi), Inanition (malnutrisi), Impaction (konstipasi), Insomnia (gangguan
tidur), Iatrogenic disorder (gangguan iatrogenic) dan Impairement of hearing,
vision and smell (gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman) (Setiati
dkk., 2006).
a. Immobility (imobilisasi)
Didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari
atau lebih, dengan gerak anatomi tubuh menghilang akibat perubahan fungsi
fisiologis. Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat
menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Lansia yang terus-menerus berada
ditempat tidur (disebut berada pada keadaan (bed ridden). Berakibat atrofi
otot, decubitus, malnutrisi, serta pnemonia. Faktor resikonya dapat berupa
osteortritis, gangguan penglihatan, fraktur, hipotensi postural, anemia, stroke,
nyeri, demensia, lemah otot, vertigo, keterbatsan ruang lingkup, PPOK, gerak
sendi hipotiroid dan sesak napas, imobilisasi pada lansia diakibatkan oleh
adanya gangguan nyeri, kekakuan, ketidakseimbangan, serta kelainan
psikolog.
b. Instability (instabilitas dan jatuh)
Terdapat banyak faktor yang berperan untuk terjadinya instabilitas dan
jatuh pada orang usia lanjut. Berbagai faktor tersebut dapat diklasifikasikan
sebagai faktor intrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien) dan faktor risiko
ekstrinsik (faktor yang terdapat di lingkungan). Prinsip dasar tatalaksana usia
lanjut dengan masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah: mengobati
berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh, memberikan terapi
fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu,
sepatu atau sandal yang sesuai, serta mengubah lingkungan agar lebih aman
seperti pencahayaan yang cukup, pegangan, lantai yang tidak licin (Kane et
al., 2008; Cigolle et al., 2007).
c. Incontinence (inkontinensia urin dan alvi)
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak
dikehendaki dalam jumlah dan frekuensi tertentu sehingga menimbulkan
masalah sosial dan atau kesehatan. Inkontinensia urin merupakan salah satu
sindroma geriatrik yang sering dijumpai pada usia lanjut. Diperkirakan satu
dari tiga wanita dan 15-20% pria di atas 65 tahun mengalami inkontinensia
urin. Inkontinensia urin merupakan fenomena yang tersembunyi, disebabkan
oleh keengganan pasien menyampaikannya kepada dokter dan di lain pihak
dokter jarang mendiskusikan hal ini kepada pasien (Kane et al., 2008; Cigolle
et al., 2007). International Consultation on Incontinence, WHO
mendefinisikan Faecal Incontinence sebagai hilangnya tak sadar feses cair
atau padat yang merupakan masalah sosial atau higienis. Definisi lain
menyatakan, Inkontinensia alvi/fekal sebagai perjalanan spontan atau
ketidakmampuan untuk mengendalikan pembuangan feses melalui anus.
Kejadian inkontinensia alvi/fekal lebih jarang dibandingkan inkontinensia urin
(Kane et al., 2008)
d. Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti demensia dan
delirium)
Keadaan yang terutama menyebabkan gangguan intelektual pada pasien
lanjut usia adalah delirium dan demensia. Demensia adalah gangguan fungsi
intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang
tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Demensia tidak hanya
masalah pada memori. Demensia mencakup berkurangnya kemampuan untuk
mengenal berpikir, menyimpan atau mengingat pengalaman yang lalu dan
juga kehilangan pola sentuh, pasien menjadi perasa, dan terganggunya
aktivitas (Geddes et al.,2005; Blazer et al., 2009).
e. Infection (infeksi)
Infeksi pada usia lanjut (usila) merupakan penyebab kesakitan dan
kematian no. 2 setelah penyakit kardiovaskular di dunia. Hal ini terjadi akibat
beberapa hal antara lain: adanya penyakit komorbid kronik yang cukup
banyak, menurunnya daya tahan/imunitas terhadap infeksi, menurunnya daya
komunikasi usia sehingga sulit/jarang mengeluh, sulitnya mengenal tanda
infeksi secara dini. Ciri utama pada semua penyakit infeksi biasanya ditandai
dengan meningkatnya temperatur badan, dan hal ini sering tidak dijumpai
pada usia lanjut, 30-65% usia lanjut yang terinfeksi sering tidak disertai
peningkatan suhu badan, malah suhu badan dibawah 360C lebih sering
dijumpai. Keluhan dan gejala infeksi semakin tidak khas antara lain berupa
konfusi/delirium sampai koma, adanya penurunan nafsu makan tiba-tiba,
badan menjadi lemas, dan adanya perubahan tingkah laku sering terjadi pada
pasien usia lanjut (Kane et al., 2008).
f. Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran,
penglihatan dan penciuman)
Gangguan pendengaran sangat umum ditemui pada geriatri. Prevalensi
gangguan pendengaran sedang atau berat meningkat dari 21% pada kelompok
usia 70 tahun sampai 39% pada kelompok usia 85 tahun. Pada dasarnya,
etiologi gangguan pendengaran sama untuk semua umur, kecuali ditambah
presbikusis untuk kelompok geriatri. Otosklerosis biasanya ditemui pada usia
dewasa muda, ditandai dengan terjadinya remodeling tulang di kapsul otik
menyebabkan gangguan pendengaran konduktif, dan jika penyakit menyebar
ke telinga bagian dalam, juga dapat menimbulkan gangguan sensorineural.
Penyakit Ménière adalah penyakit telinga bagian dalam yang menyebabkan
gangguan pendengaran berfluktuasi, tinnitus dan pusing. Gangguan
pendengaran karena bising yang disebabkan oleh energi akustik yang
berlebihan yang menyebabkan trauma permanen pada sel-sel rambut.
Presbikusis sensorik yang sering sekali ditemukan pada geriatri disebabkan
oleh degenerasi dari organ korti, dan ditandai gangguan pendengaran dengan
frekuensi tinggi. Pada pasien juga ditemui adanya gangguan pendengaran
sehingga sulit untuk diajak berkomunikasi. Penatalaksanaan untuk gangguan
pendengaran pada geriatric adalah dengan cara memasangkan alat bantu
dengar atau dengan tindakan bedah berupa implantasi koklea (Salonen, 2013).
Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari
pasien pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang
disebabkan oleh usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan
yang digunakan sebelumnya. Masalah polifarmasi pada pasien geriatri sulit
dihindari dikarenakan oleh berbagai hal yaitu penyakit yang diderita banyak
dan biasanya kronis, obat diresepkan oleh beberapa dokter, kurang koordinasi
dalam pengelolaan, gejala yang dirasakan pasien tidak jelas, pasien meminta
resep, dan untuk menghilangkan efek samping obat justru ditambah obat baru.
Karena itu diusulkan prinsip pemberian obat yang benar pada pasien geriatri
dengan cara mengetahui riwayat pengobatan lengkap, jangan memberikan
obat sebelum waktunya, jangan menggunakan obat terlalu lama, kenali obat
yang digunakan, mulai dengan dosis rendah, naikkan perlahan-lahan, obati
sesuai patokan, beri dorongan supaya patuh berobat dan hatihati mengguakan
obat baru (Setiati dkk.,2006).
g. Isolation (depresi)
Isolation (terisolasi) dan depresi, penyebab utama depresi pada usia lanjut
adalah kehilangan seseorang yan disayangi, pasangan hidup, anak, bahkan
binatang peliharaan. Selain itu kecenderungan untuk menarik diri dari
lingkungan, menyebabkan dirinya terisolasi dan menjadi depresi. Keluarga
yang mulai mengacuhkan karena merasa direpotkan menyebabkan pasien
akan merasa hidup sendiri dan menjadi depresi. Beberapa orang dapat
melakukan usaha bunuh diri akibat depresi yang berkepanjangan.
h. Inanition (malnutrisi)
Kelemahan nutrisi merujuk pada hendaya yang terjadi pada usia lanjut
karena kehilangan berat badan fisiologis dan patologis yang tidak disengaja.
Anoreksia pada usia lanjut merupakan penurunan fisiologis nafsu makan dan
asupan makan yang menyebabkan kehilangan berat badan yang tidak
diinginkan (Kane et al., 2008). Pada pasien, kekurangan nutrisi disebabkan
oleh keadaan pasien dengan gangguan menelan, sehingga menurunkan nafsu
makan pasien.
i. Impecunity (kemiskinan)
Impecunity (kemiskinan), usia lansia dimana seseorang menjadi kurang
produktif (bukan tidak produktif) akibat penurunan kemampuan fisik untuk
beraktivitas. Usia pensiun dimana sebagian dari lansia hanya mengandalkan
hidup dari tunjangan hari tuanya. Pada dasarnya seorang lansia masih dapat
bekerja, hanya saja intensitas dan beban kerjanya yang harus dikurangi sesuai
dengan kemampuannya, terbukti bahwa seseorang yang tetap menggunakan
otaknya hingga usia lanjut dengan bekerja, membaca, dsb., tidak mudah
menjadi “pikun” . Selain masalah finansial, pensiun juga berarti kehilangan
teman sejawat, berarti interaksi sosial pun berkurang memudahakan seorang
lansia mengalami depresi.
j. Iatrogenic disorder (gangguan iatrogenic)
Iatrogenics (iatrogenesis), karakteristik yang khas dari pasien geriatric
yaitu multipatologik, seringkali menyebabkan pasien tersebut perlu
mengkonsumsi obat yang tidak sedikit jumlahnya. Akibat yang ditimbulkan
antara lain efek samping dan efek dari interaksi obat-obat tersebut yang dapat
mengancam jiwa. Pemberian obat pada lansia haruslah sangat hati-hati dan
rasional karena obat akan dimetabolisme di hati sedangkan pada lansia terjadi
penurunan fungsi faal hati sehingga terkadang terjadi ikterus (kuning) akibat
obat. Selain penurunan faal hati juga terjadi penurunan faal ginjal (jumlah
glomerulus berkurang), dimana sebagaian besar obat dikeluarkan melalui
ginjal sehingga pada lansia sisa metabolisme obat tidak dapat dikeluarkan
dengan baik dan dapat berefek toksik.
k. Insomnia (gangguan tidur)
Pada lansia dapat disebabkan oleh faktor yang terdiri dari nyeri kronis,
sesak napas pada penyakit paru obstruktif kronis, gangguan psikiatrik
(gangguan cemas dan depresi), penyakit neurologi (parkinson’s disease,
alzheimer disease) dan obat-obatan kortikosteroid dan diuretik) (Dini, A.A.,
2013).
l. Immunodeficiency (penurunan imunitas)
Immuno-defficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh) banyak hal yang
mempengaruhi penurunan sistem kekebalan tubuh pada usia lanjut seperti
atrofi thymus (kelenjar yang memproduksi sel-sel limfosit T) meskipun tidak
begitu bermakna (tampak bermakna pada limfosit T CD8) karena limfosit T
tetap terbentuk di jaringan limfoid lainnya. Begitu juga dengan barrier infeksi
pertama pada tubuh seperti kulit dan mukosa yang menipis, refleks batuk dan
bersin yang berfungsi mengeluarkan zat asing yang masuk ke saluran nafas-
yang melemah. Hal yang sama terjadi pada respon imun terhadap antigen,
penurunan jumlah antibodi. Segala mekanisme tersebut berakibat terhadap
rentannya seseorang terhadap agen-agen penyebab infeksi, sehingga penyakit
infeksi menempati porsi besar pada pasien lansia.
m. Impotence (impotensi)
Impotency (Impotensi), ketidakmampuan melakukan aktivitas seksual
pada usia lanjut terutama disebabkan oleh gangguan organik seperti gangguan
hormon, syaraf, dan pembuluh darah. Disfungsi ereksi psikogenik merupakan
penyebab utama pada gangguan organik,walaupun faktor psikogenik ikut
memegang peranan. Disfungsi ereksi jenis ini yang berpotensi reversible
potensial biasanya yang disebabkan oleh kecemasan,depresi, rasa bersalah,
masalah perkawinan atau juga akibat dari rasa takutakan gagal dalam
hubungan seksual.
n. Irritable bowel
Irritable bowel (usus besar yang sensitif -mudah terangsang-) sehingga
menyebabkan diare atau konstipasi/ impaksi (sembelit). Penyebabnya tidak
jelas, tetapi pada beberapa kasus ditemukan gangguan pada otot polos usus
besar, penybeab lain yang mungkin adalah gangguan syaraf sensorik usus,
gangguan sistem syaraf pusat, gangguan psikologis, stres, fermentasi gas yang
dapat merangsang syaraf, kolitis
C. Etiologi dan Faktor Resiko
1. Imobilisasi
Berbagai faktor baik fisik, psikologis, dan lingkungan dapat
menyebabkan imobilisasi pada pasien usia lanjut. Beberapa penyebab utama
imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Penyakit Parkinson, artritis
reumatoid, gout, dan obat‐obatan antipsikotik seperti haloperidol juga dapat
menyebabkan kekakuan. Rasa nyeri, baik dari tulang (osteoporosis,
osteomalasia, Paget’s disease, metastase kanker tulang, trauma), sendi
(osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot (polimalgia, pseudoclaudication)
atau masalah pada kaki dapat menyebabkan imobilisasi. Gangguan fungsi
kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada
depresi tentu sangat sering menyebabkan terjadinya imobilisasi. Kekhawatiran
keluarga yang berlebihan atau kemalasan petugas kesehatan dapat pula
menyebabkan orang usia lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik
di rumah maupun di rumah sakit. Efek samping beberapa obat misalnya obat
hipnotik dan sedatif dapat pula menyebabkan gangguan mobilisasi.
2. Instability (Instabilitas Dan Jatuh)
Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa faktor,
antara lain:
1) Kecelakaan (merupakan penyebab utama)
- Murni kecelakaan, misalnya terpleset, tersandung.
- Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan-kelainan akibat
proses menua, misalnya karena mata kurang jelas, benda-benda yang
ada di rumah tertabrak, lalu jatuh
2) Nyeri kepala dan/atau vertigo
3) Hipotensiorthostatic:
- Hipovolemia / curah jantung rendah
- Disfungsi otonom terlalu lama berbaring
- Pengaruh obat-obat hipotensi
4) Obat-obatan
- Diuretik / antihipertensi
- Antidepresan trisiklik
- Sedativa
- Antipsikotik
- Obat-obat hipoglikemik
- Alkohol
5) Proses penyakit
- Aritmia
- Stenosis
- Stroke
- Parkinson
- Spondilosis
- Serangan kejang
6) Idiopatik
7) Sinkope
- Penurunan darah ke otak secara tiba-tiba
- Terbakar matahari
3. Incontinence (Inkontinensia Urin Dan Alvi)
Pada lansia biasanya terjadi penurunan kemampuan berkemih. Pada lansia
terjadi proses enua yang berdampak pada perubahan hampir seluruh organ
tubuh termasuk organ berkemih yang menyebabkan lansia mengalami
inkontinensia urin. Perubahan ini diantaranya adalah melemahnya otot dasar
panggul yang menjaga kandung kemih dan pintu saluran kemih, timbulnya
kontraksi abnormal pada kandung kemih yang menimbulkan rangsangan
berkeih sebelum waktunya dan meninggalkan sisa. Pengosongan kandung
kemih yang tidak sempurna
menyebabkan urine di dalam kanddung kemih yang cukup banyak sehingga
dengan pengisian sedikit saja sudah merangsang untuk berkeih. Hipertrofi
prostat juga dapat mengakibatkan banyaknya sisa air kemih di kandung keih
sebagai akibat pengosongan yang tidak sempurna (Setiati,2000).
4. Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran,
penglihatan dan penciuman)
Umumnya diketahui bahwa presbikusis merupakan akibat dari proses
degenerasi. Diduga kejadian presbikusis mempunyai hubungan dengan faktor
faktor herediter, pola makanan, metabolisme, arteriosklerosis, infeksi, bising,
gaya hidup atau bersifat multifaktor. Menurunnya fungsi pendengaran secara
berangsur merupakan efek kumulatif dari pengaruh faktor-faktor tersebut
diatas. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 60 tahun. Progesifitas penurunan
pendengaran dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin, pada laki-laki lebih
cepat dibandingkan dengan perempuan.
Kornea, lensa iris, aquous humormvitorous humor akan mengalami
perubahan seiring bertambahnya usia, karena bagian utama yang mengalami
perubahan/penurunan sensifitas yang menyebabkan lensa pada mata, produksi
aquosus humor juga mengalami penurunan tetapi tidak terlalu terpengaruh
terhadap keseimbangan dan tekanan intra okuler lensa umum. Bertambahnya
usia akan mempengarui fungsi organ pada mata seseorang yang ber usia 60
tahun, fungsi
kerja pupil akan mengalami penurunan 2/3 dari pupil orang dewasa atau
muda, penurunan tersebut meliputi ukuran – ukuranpupil dan kemampuan
melihat dari jarak jauh. Proses akomodasi merupakan kemampuan
untukmelihat benda – benda dari jarak dekat maupun jauh
D. Manifestasi Klinis
Semakin bertambah usia seseorang semakin banyak terjadi perubahan pada
berbagai sistem dalam tubuh. Perubahan yang terjadi cenderung mengarah pada
penurunan berbagai fungsi tersebut. Pada sistem saraf pusat terjadi pengurangan
massa otak, aliran darah otak, densitas koneksi dendritik, reseptor glukokortikoid
hipokampal, dan terganggunya autoregulasi perfusi. Timbul proliferasi astrosit
dan berubahnya neurotransmiter, termasuk dopamin dan serotonin. Terjadi
peningkatan aktivitas monoamin oksidase dan melambatnya proses sentral dan
waktu reaksi.
Pada fungsi kognitif terjadi penurunan kemampuan meningkatkan fungsi
intelektual; berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak yang menyebabkan
proses informasi melambat dan banyak informasi hilang selama transmisi;
berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan mengambil
informasi dari memori. Kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik
dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi. ingat
kejadian yang baru saja terjadi. Pada fungsi penglihatan terjadi gangguan
adaptasi gelap; pengeruhan pada lensa: ketidakmampuan untuk fokus pada
benda-benda jarak dekat (presbiopia);berkurangnya sensitivitas terhadap kontras
dan lakrimasi. Hilangnya nada berfrekuensi tinggi secara bilateral timbul pada
funsgsi pendengaran. Di samping itu pada usia lanjut terjadi kesulitan untuk
membedakan sumber bunyi dan terganggunya kemampuan membedakan target
dari noise.
Pada sistem kardiovaskuler, pengisian ventrikel kiri dan sel pacu jantung
(pacemaker) di nodus SA berkurang; terjadi hipertrofi atrium kiri; kontraksi dan
relaksasi ventrikel kiri bertambah lama; respons inotropik, kronotropik, terhadap
stimulasi beta-adrenergik berkurang; menurunnya curah jantung maksimal;
peningkatan atrial natriuretic peptide (ANP) serum dan resistensi vaskular
perifer. (Pada fungsi paru-paru terjadi penurunan forced expiration volume 1
second (FEVI) dan forced volume capacity (FVC); berkurangnya efektivitas
batuk dan fungsi silia dan meningkatnya volume residual. Adanya ‘ventilation-
perfusion mismatching’ yang menyebabkan PaO2 menurun seiring bertambahnya
usia : 100 – (0,32 x umur).
Pada fungsi gastrointestinal terjadi penururan ukuran dan aliran darah ke
hati, terganggunya bersihan (clearance) obat oleh hati sehingga membutuhkan
metabolisme fase I yang lebih ekstensif. Terganggunya respons terhadap cedera
pada mukosa lambung, berkurangnya massa pankreas dan cadangan enzimatik,
berkurangnya kontraksi kolon yang efektif dan absorpsi kalsium. Menurunnya
bersihan kreatinin (creatinin clearance) dan laju filtrasi glomerulus (GFR)
10ml/dekade terjadi dengan semakin bertambahnya usia seseorang. Penurunan
massa ginjal sebanyak 25%, terutama dari korteks dengan peningkatan relative
perfusi nefron jukstamedular. Aksentuasi pelepasan anti diuretic hormone
(ADH) sebagai respons terhadap dehidrasi berkurang dan meningkatnya
ketergantungan prostaglandin ginjal untuk mempertahankan perfusi.
Pada saluran kemih dan kelamin timbul perpanjangan waktu refrakter
untuk ereksi pada pria, berkurangnya intensitas orgasme pada pria maupun
wanita, berkurangnya sekresi prostat di urin dan pengosongan kandung kemih
yang tidak sempurna serta peningkatan volume residual urin. Toleransi glukosa
terganggu (gula darah puasa meningkat 1 mg/dl/dekade; gula darah postprandial
meningkat 10 mg/dl/dekade). Insulin serum meningkat, HbA1C meningkat, IGF-
1 berkurang. Penurunan yang bermakna pada dehidroepiandrosteron (DHEA),
hormon T3, testosteron bebas maupun yang bioavailable, dan produksi vitamin
D oleh kulit serta peningkatan hormon paratiroid (PTH). Ovarian failure disertai
menurunnya hormone ovarium.
Pada sistem saraf perifer lanjut usia mengalami hilangnya neuron motor
spinal, berkurangnya sensasi getar, terutama di kaki, berkurangnya sensitivitas
termal (hangatdingin), berkurangnya amplitudo aksi potensial yang termielinasi
dan meningkatnya heterogenitas selaput akson myelin. Massa otot berkurang
secara bermakna (sarkopenia) karena berkurangnya serat otot. Efek penuaan
paling kecil pada otot diafragma; berkurangnya sintesis rantai berat miosin,
inervasi, meningkatnya jumlah miofibril per unit otot dan berkurangnya laju
basal metabolic (berkurang 4%/dekade setelah usia 50). Pada sistem imun terjadi
penurunan imunitas yang dimediasi sel, rendahnya produksi antibodi,
meningkatnya autoantibodi, berkurangnya hipersensitivitas tipe lambat,
berkurangnya produksi sel B oleh sumsum tulang; dan meningkatnya IL-6 dalam
sirkulasi.
Pada umumnya lansia mengalami depresi ditandai oleh mood depresi
menetap yang tidak naik, gangguan nyata fungsi atau aktivitas seharihari, dan
dapat berpikiran atau melakukan percobaan bunuh diri. Pada lansia gejala depresi
lebih banyak terjadi pada orang dengan penyakit kronik, gangguan kognitif, dan
disabilitas. Kesulitan konsentrasi dan fungsi eksekutif lansia depresi akan
membaik setelah depresi teratasi. Gangguan depresi lansia dapat menyerupai
gangguan kognitif seperti demensia, sehingga dua hal tersebut perlu dibedakan.
Para lansia depresi sering menunjukkan keluhan nyeri fisik tersamar yang
bervariasi, kecemasan, dan perlambatan berpikir. Perubahan pada lansia depresi
dapat dikategorikan menjadi perubahan fisik, perubahan dalam pemikiran,
perubahan dalam perasaan, dan perubahan perilaku.
E. Patofisiologi
Patofisologi yang terjadi pada setiap orang bisa berbedah, tetapi antara lain
mencangkup (Stanley, Mickey.2006)
1. Penurunan fungsi otonom yang berhubungan dengan usia dan mungkin
disertai hilangnya elastisatas dinding pembuluh darah
2. Gangguan dari aktivitas baro-refleks akibat tirah baring yang terlalu lama.
Keadaan ini sering terdapat pada penderita lansia yang tekanan darahnya
dipertahankan dengan vasokontriksi yang hamper maksimal (misaknya setelah
terkena infark miocard). Tak terdapat lagi cadangan otot jantung , sehingga
pada saat bangun tiudr tekanan tidak bisa dipertahankan lagi.
3. Hipovalemia dan atau hiponatremia sebagai akibat berbagai keadaan, antara
lain pemberian diuretika
4. Berbagai obat yang bersifat hipotensif, antara lain tiasid dan diuretika,
fenotiasin, antidepresan trisiklik, butirofenon, lefodopa, dan bromokriptin
5. Akibat berbagai penyakit yang menggangu saraf otonom.
F. Pemeriksaan Penunjang
Geriatri komprehensif mencakup: kesehatan fisik, mental, status
fungsional, kegiatan sosial, dan lingkungan.Tujuan asesmen ialah mengetahui
kesehatan penderita secara holistic supaya dapat memberdayakan
kemandirianpenderita selama mungkin dan mencegah disabilitas-handicap
diwaktu mendatang Asesmen ini bersifat tidak sekedar multi-disiplin tetapi
interdisiplin dengan koordinasi serasi antar disiplin dan lintas pelayanan
kesehatan (Darrmojo, B. 2009).
Anamnesis dilengkapi dengan berbagai gangguan yang terdapat : menelan,
masalah gigi, gigi palsu, gangguan komunikasi/bicara, nyeri/gerak yang terbatas
pada anggota badan dan lain-lain.
a) Penilaian sistem : Penilaian system dilaksanakan secara urut, mulai dari
system syaraf.
b) Pusat, saluran nafas atas dan bawah, kardiovaskular, gastrointestinal (seperti
inkontinensia alvi, konstipasi), urogenital (seperti inkontinensia urin). Dapat
dikatakan bahwa penampilan penyakit dan keluhan penderita tidaktentu
berwujud sebagai penampilan organ yang terganggu.
c) Anamnesis tentang kebiasaan yang merugikan kesehatan (merokok, minum
alkohol).
d) Anamnesis Lingkungan perlu meliputi keadaan rumah tempat tinggal.
e) Review obat-obat yang telah dan sedang digunakan perlu sekali ditanyakan,
bila perlu, penderita atau keluarganya.
f) Ada tidaknya perubahan perilaku.
Anamnesis Nutrisi:( Siti, Maryam Rdkk. 2008)
a. Pada gizi perlu diperhatikan :
1) Keseimbangan (baik jumlah kalori maupun makronutrien)
2) Cukup mikronutrien (vitamin dan mineral)
3) Perlu macam makanan yang beranekaragam.
4) Kalori berlebihan atau dikurangi disesuaikan dengan kegiatan AHSnya,
dengan tujuan mencapai berat badan ideal.
5) Keadaan gigi geli, mastikasi dan fungsi gastro-intestinal.
6) Apakah ada penurunan atau kenaikan berat badan.
b. Pengkajian Nutrisi (Kuswardhani, RAT. 2011)
Pengkajian nutrisi dilakukan dengan memeriksa indeks massa tubuh. Rumus
Indeks Masa Tubuh (IMT) : Berat Badan (kg)[Tinggi Badan (m)2]2 IMT : 18-
23 (normal).
G. Penatalaksanaan
Kondisi multipatologi mengakibatkan seorang usia lanjut mendapatkan
berbagai jenis obat dalam jumlah banyak. Terapi non-farmakologi dapat menjadi
pilihan untuk mengatasi masalah pada pasien usia lanjut, namun obat tetap
menjadi pilihan utama sehingga polifarmasi sangat sulit dihindari. Prinsip
penggunaan obat yang benar dan tepat pada usia lanjut harus menjadi kajian
multi/interdisiplin yang mengedepankan pendekatan secara holistik (Siti,
Maryam Rdkk. 2008).
a. Pengelolaan inkontinensia urin
Pengelolaan inkontinensia urin pada penderita usia lanjut, secara garis besar
dapat dikerjakan sebagai berikut (Suryanto, 2008).
1) Program rehabilitasi, antara lain:
a) Melatih perilaku berkemih.
b) Modifikasi tempat berkemih (komodo, urinal).
c) Melatih respons kandung kemih.
d) Latihan otot-otot dasar panggul.
2) Katerisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap
(indweling).
3) Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi kandung kemih, estrogen.
4) Pembedahan, misalnya: untuk mengangkat penyebab sumbatan atau
keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-lain.
5) Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk
kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan
penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.
b. Jatuh
Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau mengeliminasi
faktor risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan
ini harus terpadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter
(geriatrik, neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik dan lain-
lain), sosiomedik dan ahli lain yang terkait serta keluarga penderita.
Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus karena
perbedaan faktor faktor yang mengakibatkan jatuh. Lebih banyak pasien jatuh
karena kondisi kronik, multifaktoral sehingga diperlukan terapi gabungan
antara obat, rehabilitasi dan perbaikan lingkungan. Pada kasus lain intervensi
diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan
bepergian, penggunaan alat bantu gerak dan sebagainya.
Faktor Pelindung Terhadap Cedera Retak.
1) Terapiestrogen
2) Berat badan setelah usia
3) Berjalan untuk latihan
4) Asupan kalsium yang cukup
Pengobatan untuk gangguan berjalan
1) Manajemen gangguan berjalan termasuk peningkatan kemampuan
fungsional dan pengobatan penyakit tertentu,namun banyak kondisi yang
menyebabkan kelainan gaya berjalan hanya sebagian dapat diobati.
2) Peningkatan substansial terjadi dalam pengobatan gangguan sekunder
untuk vitamin B12 dan folat, penyakit tiroid, radang sendi lutut, penyakit
Parkinson dan polineuropati inflamasi.
3) Peningkatan Sedang, tetapi dengan cacat sisa, dapat terjadi setelah
perawatan bedah untuk myelopathy serviks, stenosis lumbar, dan
hidrosefalus tekanan normal.
c. Sleep Disturbance
1) Perawatan Non-farmakologis
a) Hilangkan faktor yang dicurigai: mengobati penyakit yang mendasari,
menghentikan atau mengubah obat, menghentikan alkohol, kafein atau
penggunaan nikotin.
b) Perubahan Kebiasaan: mengembangkan rutinitas persiapan tidur,
gunakan kamar tidur untuk tidur saja, mengembangkan cerita tidur
untuk mempromosikan keadaan pikiran, mengurangi tidur siang hari,
dan mengembangkan latihan rutin sehari-hari.
2) Pengobatan farmakologis
a) Hanya direkomendasikan untuk penggunaan jangka pendek pada pasien
yang lebih tua.
b) Benzodiazepin dengan aksi pendek atau menengah seperti Temazepam
(7,5-15 mg), dengan jangka waktu maksimum dua minggu untuk
menghindari ketergantungan.
c) Antihistamin dapat diterima untuk digunakan sesekali, namun cepat
kehilangan khasiat.
d) Anti-depresan, misalnya, Trazadone, adalah pilihan yang
baik untuk insomnia kronis.
d. Pencegahan Komplikasi Imobilisasi
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi penatalaksanaan
farmakologik dan non farmakologik. Upaya non farmakologis yang dapat
dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasmani secara
teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi
secara teratur dan latihan di tempat tidur. Selain itu, mobilisasi dini berupa
turun dari tempat tidur, berpindah dari tempat tidur ke kursi dan latihan
fungsional dapat dilakukan secara bertahap.
Untuk mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah
menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit.
Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 300 C, penggunaan kasur
anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga. Pada pasien dengan kursi
roda dapat dilakukan reposisi tiap jam atau diistirahatkan dari duduk. Melatih
pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta mencegah
terjadinya gesekan juga dapat mencegah dekubitus. Pemberian minyak setelah
mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah maserasi. Kontrol
tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat‐obatan yang dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu dilakukan
untuk mencegah terjadinya hipotensi.
Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu
dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar pasien.
Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya
malnutrisi pada pasien imobilisasi. Tata laksana farmakologis yang dapat
diberikan terutama pencegahan terhadap terjadinya trombosis. Pemberian
antikoagulan yaitu Low dose heparin (LDH) dan low molecular weight
heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan efektif untuk pasien
geriatri denganimobilisasi namun harus mempertimbangkan fungsi hati, ginjal
dan interaksi dengan obat lain (Stanley, Mickey.2006).
e. Delirium
Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari, kecuali bila sumber
deliriumnya adalah reaksi putus zat alkohol atau sedatif atau ketika agitasi
yang berat tidak dapat dikontrol oleh obat neuroleptik. Hal ini disebabkan
karena benzodiazepin dapat menyebabkan reaksi berkebalikan yang
memperburuk delirium. Reaksi berkebalikan yang diakibatkan oleh
benzodiazepin adalah sedasi yang berlebihan yang dapat menyulitkan
penilaian status kesadaran pasien itu sendiri (Dewi, S.R., 2014).
Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik, obat yang sering
dipakai pada kasus delirium adalah Haloperidol. Haloperidol digunakan
karena profil efek sampingnya yang lebih disukai dan dapat diberikan secara
aman melalui jalur oral maupun parenteral. Dosis yang biasa diberikan adalah
0,5 - 1,0 mg per oral (PO) atau intra muscular maupun intra vena (IM/IV);
titrasi dapat dilakukan 2 sampai 5 mg tiap satu jam sampai total kebutuhan
sehari sebesar 10 mg terpenuhi. Setelah pasien lebih baik kesadarannya atau
sudah mampu menelan obat oral maka haloperidol dapat diberikan per oral
dengan dosis terbagi 2-3 kali perhari sampai kondisi deliriumnya teratasi.
Haloperidol intravena lebih sedikit menyebabkan gejala ekstrapiramidal
daripada penggunaan oral (Stanley, Mickey.2006).
f. Infeksi
Pengobatan infeksi pada lansia juga merupakan masalah karena
meningkatkan bahaya toksisitas obat antimikroba pada lansia. Terapi
antibiotik tergantung pada kuman patogen yang didapati. Pasien harus dibantu
dalam mengembangkan kesadaran terhadap isyarat isyarat lingkungan dan
bagaimana isyarat-isyarat tersebut dapat membantu kekurangan informasi
dengarnya. Perlu diperagakan bagaimana struktur bahasa menimbulkan
hambatan-hambatan tertentu pada pembicara. Petunjuk lingkungan, ekspresi
wajah, gerakan tubuh dan sikap alami cenderung melengkapi pesan yang
diucapkan. Bila informasi dengar yang diperlukan untuk memahami masih
belum mencukupi, maka petunjuk petunjuk lingkungan dapat mengisi
kekurangan ini. Seluruh aspek rehabilitasi pendengaran harus membantu
pasien untuk dapat berinteraksi lebih efektif dengan lingkungannya. (Dini,
A.A., 2013).
H. Komplikasi
Imobilisasi dapat mengakibatkan komplikasi pada sistem pernafasan
misalnya penurunan ventilasi, atelektasis dan pneumonia. Komplikasi endokrin
dan ginjal, peningkatan diuresis, natriuresis dan pergeseran cairan ekstraseluler,
intoleransi glukosa, hiperkalsemia dan kehilangan kalsium, batu ginjal serta
keseimbangan nitrogen negatif Komplikasi gastrointestinal yang dapat timbul
adalah anoreksia, konstipasi dan luka tekan (ulkus dekubitus). Pada sistem saraf
pusat, dapat terjadi deprivasi sensorik, gangguan keseimbangan dan koordinasi
(Rizka, 2015).
KONSEP DASAR HIPERTENSI

A. Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan suatu peningkatan
abnormal tekanan dalam pembuluh darah arteri secara terus menerus lebih dari
satu periode. Hal ini terjadi jika arteriole-arteriole konstriksi. Konstriksi arteriole
membuat darah sulit mengalir dan meningkatkan tekanan melawan dinding
arteri. Hipertensi menambah beban kerja jantung dan arteri yang bila berlanjut
dapat menyebabkan kerusakan jantung dan pembuluh darah (Udjianti,2011).
Hipertensi dapat diartikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan darah diastolik diatas 90 mmHg.
Pada lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik ≥ 160 mmHg dan
tekanan distoliknya ≥ 90 mmHg (Brunner & Sudarth, 2001 dalam Aspiani,
2014).
Menurut Nurhidayat (2015) hipertensi adalah peningkatan tekanan darah
yang abnormal dengan sistolik lebih dari 140 mmHg dan diastolic lebih dari 90
mmHg. Pada lanjut usia peningkatan tekanan sistolik diatas 160 mmHg dan
tekanan diastolik diatas 90 mmHg.
Menurut WHO (2013) dalam Hanum (2017) hipertensi adalah peningkatan
tekanan persisten pada pembuluh darah arteri, dimana tekanan darah sistolik
sama dengan atau >140 mmHg dan tekanan diastolik sama dengan atau lebih
dari 90 mmHg.

Tabel 3.2. Klasifikasi pengukuran tekanan darah menurut WHO 2013


Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
<120 <80
Optimal
120-140 <85
Normal
140-159 90-99
Hipertensi derajat I
160-179 100-109
Hipertensi derajat II
≥180 ≥110
Hipertensi derajat III
≥140 ≥90
Hipertensi sistol terisolasi
Sumber: Hanum, 2017
B. Klasifikasi Hipertensi
Menurut Udjianti (2011) Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi
dua golongan yaitu :
1) Hipertensi Primer/ Esensial
Hipertensi primer yaitu hipertensi yang belum diketahui penyebabnya
dengan jelas (Ideopatik). Beberapa faktor penyebab diduga berkaitan dengan
berkembangnya hipertensi primer seperti berikut:
a. Genetik: beresiko tinggi terkena hipertensi, padaindividu yang
mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi.
b. Jenis kelamin dan usia: laki-laki berusia 35-50 tahun dan wanita pasca
menopause beresiko tinggi terkena hipertensi.
c. Diet: konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung
berhubungan dengan berkembangnya hipertensi.

d. Berat badan: obesitas (>25% diatas berat badan ideal) dikaitkan dengan
berkembangnya hipertensi.
e. Gaya hidup: merokok dan konsumsi alkohol meningkatkan tekanan darah,
jika tidak mengubah gaya hidup.
2. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan karena kerusakan
suatu organ. Yang termasuk hipertensi sekunder seperti: hipertensi jantung,
hipertensi penyakit ginjal, hipertensi penyakit jantung dan ginjal, hipertensi
diabetes melitus, dan hipertensi sekunder lain yang tidak spesifik.
C. Etiologi
Menurut Nurhidayat 2015 berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi
dua golongan yaitu :
1. Hipertensi Primer (esensial)
Disebut juga hipertensi idiopatik karena tidak diketahui penyebabnya. Faktor
yang mempengaruhi adalah: genetic, lingkungan, hiperaktifitas syaraf
simpatis system rennin. Angiotensin dan peningkatan Na+Ca intraseluler.
Obesitas, merokok, alkohol, dan polisitemia merupakan faktor-faktor yang
meningkatkan resiko hipertensi.
2. Hipertensi Sekunder
Disebabkan oleh: penggunaan estrogen, penyakit ginjal, sindrom cusing dan
hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.
Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas:
a. Hipertensi yang tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg
dan tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg.
b. Hipertensi sistolik terisoalasi karena tekanan sistolik lebih besar dari
160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.
Penyebab hipertensi pada lansia karena terjadinya perubahan pada:
a. Elastisitas pada dinding aorta menurun.
b. Katub jantung menebal dan menjadi kaku.
c. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% satu tahun sesudah
berusia 20 tahun, kemampuan jantung memompa darah menurun
menyebabkan menurunnya kontraksi dalam volumenya.
d. Hilangnya elastisitas pembuluh darah hal ini terjadi karena kekurangan
efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi.
e. Meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer.
D. Pathofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor bermula jaras
saraf sympatis, yang berlanjut ke bawah konda spinalis dan keluar dari kolumna
medulla spinalis ke ganglia simpatis di thoraks dan abdomen. Rangsangan pusat
vasomotor dihantarkan dalam bentuk implus yang bergerak ke bawah melewati
sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada keadaan ini, neuron pada
masing-masing ganglia melepaskan asetikolin yang akan merangsang serabut
saraf pusat ganglia ke pembuluh darah, dimana dilepaskannya norepinefrin
menyebabkan konstriksi pembuluh darah.
Berbagi faktor kecamasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriktor. Seseorang dengan hipertensi
sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak di ketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf
simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, Kelenjar
adrenal juga terangsang sehingga menyebabkan bertambahnya aktivitas
vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin sehingga akhirnya
mengakibatkan vasokonstriksi korteks adrenal serta mensekresi kortisol dan
steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh
darah. Vasokontriksi tersebut juga menyebabkan menurunnya aliran darah ke
ginjal yang kemudian mengakibatkan pelepasan renin. Renin merangsang
pembentukan angiotensin I, kemudian di ubah menjadi angiotensin II, yaitu
suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron
oleh korteks adrenal. Hormon ini mengakibatkan retensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler.
Faktor-faktor tersebut dapat mencetuskan keadaan hipertensi untuk
pertimbangan gerontology. Perubahan structural dan fungsional pada system
pembuluh perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi
pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas
jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang
pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh
darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung, mengakibatkan
penurunan curah jantung dan peningkatan tekanan vaskuler serebral. Peningkatan
tekanan vaskuler serebral tersebut yang menyebabkan arteri utama pembawa
darah yang mengandung Oksigen menurun, sehingga suplai darah keotak
berkurang dan mengakibatkan nyeri pada bagian kepala
(Brunner&Suddarth,2002 dalam Nurhidayat, 2015).
E. Manifestasi Klinis
Menurut Rokhaeni (2001) dalam Nurhidayat (2015) manifestasi klinis pasien
yang menderita hipertensi yaitu:
1. Mengeluh nyeri kepala, pusing
2. Rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk
3. Lemas, kekelahan
4. Sesak nafas
5. Gelisah
6. Mual, muntah
Crowin (2000) dalam Aspiani (2014) menjelaskan bahwa sebagian besar
gejala klinis muncul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa:
1. Nyeri kepala, kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan
tekanan vaskuler serebral.
2. Penglihatan menjadi kabur karena kerusakan retina karena hipertensi
3. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat
4. Nokturia terjadi karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerolus.
5. Edema dan pembengkakan karena peningkatan tekanan kapiler.
F. Faktor-faktor yang Mengakibatkan Hipertensi
Sampai sekarang penyebab hipertensi secara pasti belum diketahui dengan
jelas. Secara umum, faktor resiko terjadinya hipertensi yang teridentifikasi antara
lain :
1. Faktor resiko terjadinya hipertensi yang tidak dapat dirubah menurut
Nurhidayat (2015) sebagai berikut:
a. Keturunan
Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk terkena
hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi.
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam regulasi tekanan darah.
Beberapa fakta menyatakan hormon sex mempengaruhi sistem renin
angiotensin. Secara umum tekanan darah pada laki-laki lebih tinggi dari
pada perempuan. Pada perempuan resiko hipertensi meningkat setelah
masa menopause yang menunjukkan adanya pengaruh hormon.
c. Umur
Semakin tua umur seseorang maka semakin tinggi tekanan darahnya. Hal
ini di sebabkan oleh elastisitas dinding pembuluh darah semakin menurun
karena bertambahnya umur.
d. Ras atau suku bangsa
Orang berkulit hitam memiliki resiko lebih besar menderita hipertensi
primer ketika predisposisi kadar renin plasma yang rendah mengurangi
kemampuan ginjal untuk mengekskresikan kadar natrium yang berlebih.
2. Faktor resiko terjadinya hipertensi yang dapat diubah menurut Black &
Hawks (2014) sebagai berikut :
a. Diabetes Mellitus
Hipertensi terbukti terjadi dua kali lipat pada seseorang yang menderita
diabetes mellitus karena diabetes mellitus mempercepat aterosklerosis dan
menyebabkan hipertensi karena kerusakan pada pembuluh darah.
b. Stress
Stress dapat meningkatkan resistensi vaskuler perifer, curah jantung serta
menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Stress merupakan permasalahan
persepsi, interpretasi orang terhadap kejadian yang menciptakan banyak
stressor dan respon stress.
c. Obesitas
Obesitas terutama pada tubuh bagian atas, meningkatnya jumlah lemak
disekitar diafragma, pinggung, dan perut, dihubungkan dengan
perkembangan hipertensi. Kombinasi obesitas dengan faktor lain dapat
ditandai dengan sindrom metabolis, yang dapat meningkatkan resiko
hipertensi.
d. Nutrisi
Kelebihan dalam mengonsumsi garam menjadi faktor terjadinya hipertensi
pada seseorang. Diit tinggi garam mengakibatkan pelepasan hormon
natriuretik yang berlebihan, yang secara tidak langsung meningkatkan
tekanan darah. Muatan natrium juga dapat menstimulasi mekanisme
vaseoresor didalam system saraf pusat. Asupan diit rendah kalsium,
kalium, dan magnesium dapat berkontribusi dalam pengembangan
hipertensi.
e. Penyalahgunaan obat
Merokok, mengonsumsi alkohol, dan penggunaan obat terlarang menjadi
faktor resiko hipertensi. Pada dosis tertentu nikotin didalam kandungan
rokok serta obat seperti kokain dapat menyebabkan hipertensi secara
lansung.

G. Komplikasi Hipertensi
Hipertensi yang tidak di tanggulangi lama-kelamaan akan menyebabkan
rusaknya arteri didalam tubuh dan rusaknya organ yang mendapat suplai darah
dari arteri tersebut. Wijaya&Putri (2014) menyimpulkan komplikasi hipertensi
terjadi pada organ-organ tubuh, diantanya :
1. Jantung
Hipertensi dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung dan penyakit koroner.
Individu yang menderita hipertensi, beban kerja jantung akan meningkat, otot
jantung akan mengendor dan berkurang elastisitasnya yang disebut
dekompensasi. Sehingga mengakibatkan jantung tidak lagi mampu memompa
sehingga banyaknya cairan yang tertahan di paru dan jaringan tubuh yang
menyebabkan sesak napas atau odema. Keadaan ini disebut gagal jantung.
2. Otak
Komplikasi hipertensi pada bagian otak dapat mengakibatkan resiko stroke,
apabila tidak diobati resiko terkena stroke 7 kali lebih besar.
3. Ginjal
Hipertensi dapat menyebabkan rusaknya ginjal, sehingga menyebabkan
kerusakan system penyaringan didalam ginjal karena lambat laun ginjal tidak
mampu membuang zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh yang masuk
melalui aliran darah dan terjadi penumpukan dalam tubuh.
4. Mata
Hipertensi dapat menyebabkan terjadinya retinopati hipertensi dan dapat
menyebabkan kebutaan.
H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Udjianti (2011) pemeriksaan penunjang untuk pasien hipertensi yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Hb/Ht: untuk mengetahui hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan
dan dapat mengidentifikasi faktor resiko seperti hipokoagulabilita, anemia.
b. BUN/ kreatinin: memberikan informasi tentang perfusi/fungsi ginjal.
c. Glukosa: hiperglikemi (Diabetes Melitus adalah pencetus hipertensi) dapat
diakibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
d. Urinalisa: untuk mengetahui protein dalam urine, darah dan glukosa.
e. Kadar Kolesterol atau trigliserida: peningkatan kadar kolesterol
mengindikasikan predisposisi pembentukan plaque atheromatus.
f. Kadar serum aldosteron: menilai adanya aldosteronisme primer.
g. Asam Urat: hiperuricemia merupakan implikasi faktor resiko hipertensi.
2. EKG: menilai adanya hipertrofi miokard, pola strain,
gangguan konduksi atau disritmia.
3. Elektrolit
a. Serum potasium atau kalium (hipokalemia mengidentifikasikan adanya
efek samping terapi diuretik).
b. Serum kalsium bila meningkat berkontribusi terhadap hipertensi.
4. Radiologi
a. Intra Venous Pyelografi (IVP): mengidentifikasi penyebab hipertensi
seperti renal pharenchymal disease, urolithiasis, dan BPH.
b. Rontgen toraks: menilai adanya klasifikasi obstruktif katup jantung,
deposit kalsium pada aorta, dan pembesaran jantung.
5. CT scan: mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati.
6. Photo dada: menunjukkan destruksi klasifikasi pada area katup,
pembesaran jantung.
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Non Farmakologi menurut Aspiani (2014):
1. Pengaturan diet
Beberapa diet yang dianjurkan:
a. Rendah garam, diet rendah garam mampu menurunkan tekanan darah pada
klien hipertensi. Pengurangan konsumsi garam dapat mengurangi stimulasi
system renin-angiotensin sehingga sangat berpotensi sebagai anti
hipertensi. Jumlah masukan sodium yang diajurkan adalah 50-100 mmol
atau sama dengan 3-6 gram garam perhari.
b. Diet tinggi patasium, dapat menurunkan tekanan darah akan tetapi
mekanismenya belum jelas. Pemberian Potasium secara intravena dapat
mengakibatkan vasodilatasi, yang dipercaya dimediasi oleh nitric oxide
pada dinding vascular.
c. Diet kaya buah dan sayur, Mengkonsumsi buah, terutama buah belimbing
karena buah belimbing sangat bermanfaat untuk menurunkan tekanan
darah tinggi karena kandungan serat, kalium, fosfor, dan vitamin C. Buah
belimbing memiliki efek diuretic yang dapat memperlancar air seni
sehingga dapat menggurangi beban kerja jantung (Chaturvedi, 2009 dalam
Nathalia, 2017).
d. Diet rendah kolesterol sebagai pencegah terjadinya jantung koroner.
2. Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan dapat mengurangi tekanan darah, karena mengurangi
beban kerja jantung dan volume sekuncup juga berkurang.
3. Olahraga
Olahraga teratur seperti berjalan, lari, berenang, bersepedah, bermanfaat untuk
menurunkan tekanan darah dan memperbaiki keadaan jantung. Olahraga
teratur selama 30 menit sebanyak 3-4 kali dalam satu minggu sangat
dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah. Olahraga meningkatkan kadar
HDR, yang dapat mengurangi pembentukan arterosklerosis karena hipertensi.
4. Memperbaiki gaya hidup yang kurang sehat
Berhenti merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol, penting untuk
mengurangi efek jangka panjang hipertensi karena asap rokok diketahui
menurunkan aliran darah ke berbagai organ dan meningkatkan kerja jantung.
Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan farmakologi adalah penatalaksanaan dengan menggunakan
obat-obatan. Menurut Brunner &Suddarth (2002) dalam Aspiani (2014)
golongan obat-obatan yang dapat digunakan sebagai antihipertensi antara lain:
a. Diuretik: Chlorthalidan, Hydromox, Lasix, Aldactone, Dyrenium Diuretic
bekerja melalui berbagai mekanisme untuk mengurangi curah jantung dengan
mendorong ginjal meningkitkan ekskresi garam dan airnya.
b. Penyekat saluran kalsium dapat menurunkan kontraksi otot polos jantung atau
arteri. Sebagian penyekat saluran kalsium bersifat lebih spesifik untuk saluran
lambat kalsium otot jantung,sedangkan sebagian yang lain lebih spesifik
untuk saluran kalsium otot polos vascular. Dengan demikian, berbagai
penyekat kalsium memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam
menurunkan kecepatan denyut jantung, volume sekuncup, dan TPR.
c. Penghambat Enzim mengubah angiotensin II atau inhibitor ACE berfungsi
menurunkan angiotensin II dengan menghambat enzim yang diperlukan untuk
mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Kondisi ini menurunkan
TPR, dan secara tidak langsung menurunkan sekresi aldosterone, yang
akhirnya meningkatkan pengeluaran natrium pada urin kemudian menurunkan
volume plasma dan curah jantung.
d. Antagonis (Penyekat) reseptor beta (β-blocker), terutama penyekat selektif,
bekerja pada reseptor beta di jantung sebagai penurun kecepatan denyut dan
curah jantung.
e. Antagonis reseptor alfa (β-blocker) menghambat reseptor alfa di otot polos
vascular yang normalnya berespon terhadap rangsangan saraf simpatis dengan
vasokonstriksi. Kondisi ini akan menurunkan TPR.
f. Vasodilator arterior, langsung dapat digunakan untuk menurunkan TPR.
Misalnya: Natrium, Nitroprusida, Nikardipin, Hidralazin, Nitrogliserin, dll

J. Pathway

ASUHAN KEPERAWATAN TEORI


A. Pengkajian
Pengkajian secara Umum:
1. Identitas Pasien
Hal -hal yang perlu dikaji pada bagian ini yaitu antara lain: Nama, Umur,
Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan, Agama, Status Mental, Suku,
Keluarga/orang terdekat, alamat, nomor registrasi.
2. Riwayat atau adanya factor resiko
a. Riwayat garis keluarga tentang hipertensi
b. Penggunaan obat yang memicu hipertensi
3. Aktivitas / istirahat
a. Kelemahan,letih,napas pendek,gaya hidup monoton.
b. Frekuensi jantung meningkat
c. Perubahan irama jantung
d. Takipnea
4. Integritas ego
a. Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria atau marah
kronik.
b. Faktor faktor stress multiple (hubungan, keuangan yang berkaitan dengan
pekerjaan).
5. Makanan dan cairan
Makanan yang disukai, dapat mencakup makanan tinggi garam, tinggi lemak,
tinggi kolesterol (seperti makanan yang digoreng, keju, telur) gula-gula yang
berwarna hitam, kandungan tinggi kalori. Mual, muntah. Perubahan berat
badan akhir-akhir ini (meningkat atau menurun).
6. Nyeri atau ketidak nyamanan :
a. Angina (penyakit arteri koroner /keterlibatan jantung
b. Nyeri hilang timbul pada tungkai.
c. Sakit kepala oksipital berat seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
d. Nyeri abdomen.
Pengkajian Persistem :
1. Sirkulasi
a. Riwayat hipertensi, ateroskleorosis, penyakit jantung koroner atau katup
dan penyakit cerebro vaskuler.
b. Episode palpitasi,perspirasi.
2. Eliminasi : Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu seperti infeksi atau
obtruksi atau riwayat penyakit ginjal masa lalu.
3. Neurosensori :
a. Keluhan pusing.
b. Berdenyut, sakit kepala subokspital (terjadi saat bangun dan menghilang
secara spontan setelah beberapa jam).
4. Pernapasan
a. Dispnea yang berkaitan dengan aktifitas/kerja
b. Takipnea, ortopnea, dispnea noroktunal paroksimal.
c. Batuk dengan/tanpa pembentukan sputum.
d. Riwayat merokok
B. Diagnosa

1. Resiko penurunan curah jantung b.d peningkatan afterload, vasokonstriksi,


hipertrofi/ringiditas ventrikulr, iskemia miokard.
2. Risiko perfusi serebral tidak efektif b.d gangguan sirkulasi
3. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan, ketidak seimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen
4. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan vascular Cerebral
5. Berat badan lebih b.d masukan berlebihan
6. Defisit pengetahuan berhubungnya dengan kurang informasi atau
keterbatasan kognitif
C. Intervensi

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Tindakan Keperawatan

1 Resiko penurunan curah jantung Tujuan : Perawatan Jantung


b.d peningkatan afterload, Keadekuatan jantung memompa darah Observasi
vasokonstriksi, hipertrofi/rigiditas meningkat - Identifikasi tanda/gejala primer penurunan
ventrikuler, iskemia miokard curah jantung
Kriteria hasil : - Identifikasi tanda sekunder penurunan
- Takikardia menurun curah jantung
- Palpitasi menurun - Monitor tekanan darah
- Edema menurun - Monitor intake dan output cairan
- Dispnea menurun - Monitor saturasi oksigen
- Oliguria menurun - Monitor keluhan nyeri dada
- Ortopnea menurun Terapeutik
- Tekanan darah membaik - Posisikan pasien semi fowler/fowler
- Capillary refil time membaik - Berikan diit jantung yang sesuai
- Central venous pressure membaik - Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi
stress
- Berikan dukungan emosional dan spiritual
Edukasi
- Anjurkan aktivitas sesuai toleransi
- Anjurkan berhenti merokok
- Ajarkan pasien dan keluarga mengukur
intake dan output airan harian
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian antiaritmia
- Rujuk ke program rehabilitasi jantung
2 Intoleransi aktivitas b.d Tujuan: Manajemen energi
kelemahan, ketidak seimbangan Respon fisiologis terhadap aktivitas Obsevasi
meningkat
suplai dan kebutuhan oksigen - Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
Kriteria Hasil:
mengakibatkan kelelahan
- Frekuensi nadi meningkat
- Monitor kelelahan fisik dan emosional
- Kekuatan tubuh meningkat
- Monitor pola dan jam tidur
- Keluhan lelah menurun
Terapeutik
- Dyspnea saat aktivitas menurun
- Lakukan latihan rentan gerak pasif atau aktif
- Dyspnea setelah aktivitas menurun
- Berikan aktivitas distraksi yang
menenangkan
- Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika
tidak dapat berpindah atau berjalan
Edukasi
- Anjurkan melakukan aktivitas secara
bertahap
- Anjurkan menghubungi perawat jika tanda
dan gejala kelalahan tidak berkurang
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan
3 Nyeri berhubungan dengan Tujuan: Manajemen nyeri
peningkatan tekanan vascular Nyeri menurun Observasi
Cerebral Kriteria Hasil: - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
- Keluhan nyeri menurun frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Meringis menurun - Identifikasi skala nyeri
- Gelisah menurun - Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
- Kesulitan tidur menurun tentang nyeri
- Frekuensi nadi menurun - Monitor krbrrhasilan terapi komplementer
yang sudah diberikan
Terapeutik
- Berikan teknik non farmakologis untuk
mengurangi nyeri
- Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
- Jelaskan penyebab periode dan pemicu nyeri
- Jelaskan stategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Ajarkan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Pemberian analgertik
D. Implementasi
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan asuhan
keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki
perawat pada tahap implementasi adalah kemampuan komunikasi yang efektif,
kemampuan untuk menciptakan hubungan saling percaya dan saling bantu,
kemampuan melakukan teknik psikomotor, kemampuan melakukan observasi
sistematis, kemampuan memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan
advokasi, dan kemampuan evaluasi (Asmadi, 2008).
Intervensi keperawatan berlangsung dalam tiga tahap. Fase pertama
merupakan fase persiapan yang mencakup pengetahuan tentang validasi
rencana, implementasi rencana, persiapan klien dan keluarga. Fase kedua
merupakan puncak implementasi keperawatan yang berorientasi pada tujuan.
Pada fase ini, perawat menyimpulkan data yang dihubungkan dengan reaksi
klien. Fase ketiga merupakan terminasi perawat-klien setelah implementasi
keperawatan selesai dilakukan (Asmadi, 2008).
E. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati
dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi
dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga
kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan
kriteria hasil, klien bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya,
klien akan masuk kembali ke dalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang
(reassessment) (Asmadi, 2008).
Evaluasi terbagi atas dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil
tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan
keperawatan yang telah dilaksanakan. Penurunan evaluasi formatif ini meliputi
empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif (data
berupa keluhan klien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisis data
(perbandingan data dengan teori), dan perencanaan (Asmadi, 2008).
Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi yang terkait dengan pencapaian tujuan
keperawatan
a. Tujuan tercapai jika klien menunjukan perubahan sesuai dengan standar
yang telah ditentukan.
b. Tujuan tercapai sebagaian atau klien masih dalam proses pencapaian tujuan
jika klien menunjukan perubahan pada sebagian kriteria yang telah
ditetapkan.
c. Tujuan tidak tercapai jika klien hanya menunjukan sedikit perubahan dan
tidak ada kemajuan sama sekali serta dapat timbul masalah baru.
DAFTAR PUSTAKA

Aspiani, R. Y. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik Jilid 2. Jakarta : CV


Trans Info Media
Azizah. (2011). Keperawatan Lanjut Usia Edisi pertama. Jakarta : EGC
Blazer, DG and Steffens, DC. 2009. The american psychiatric publishing textbook of
geriatric psychiatry. America : Psychiatric Pub.
Cigolle CT, Langa KM, Kabeto MU, Tian Z, Blaum CS. 2007. Geriatric conditions
and disability: the health and retirement study. American College of
Physicians. 147(3):156-164.
Darmojo & Martono, (2009).Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Lanjut
Usia).Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Dini A. (2013). Sindrom geriatri (imobilitas, instabilitas, gangguan Intelektual,
inkontinensia, infeksi, malnutrisi, Gangguan pendengaran). Lampung :
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Hanum. 2017. Hubungan Karakteristik Dan Dukungan Keluarga Lansia Dengan
Kejadian Stroke Pada Lansia Hipertensi Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik Medan. Jumantin. Vol. 3, No. 1
Kholifah, S.N. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Gerontik. Jakarta :
Kemenkes RI Pusdik SDM Kesehatan.
Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B. 2008. Essentials of clinical geriatris.
6th ed. New York, NY: McGraw-Hill.
Maryam, S., dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta :
Salemba Medika.
Natalia, Wihelmina T U. (2017). Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Dan
Berjalan Kaki Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Penderita
Hipertensi Di Posbindu Ceria Pangkalan Jati – Depok. Skripsi thesis,
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.
Nurhidayat, Saiful.  (2015).  Faktor Risiko Penyakit Hipertensi Berbasis
Pedesaan. Faktor Risiko Penyakit Hipertensi Berbasis Pedesaan. Fakultas
Ekonomi. Universitas Muhammadiyah Ponorog. pp. 301-310. ISSN 978-
602-0815-15-2

Udjianti, W. J.(2011). Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika


Salonen, Jaakko. 2013. Hearing impairement and tinnitus in the elderly. Turku :
Universitas of Turku.
Setiati, Siti.,Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang., Alwi, Idrus., Simadibrata K,
Marcellus. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Ed IV. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Drfinisi Dan Indicator Diagnostic. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standart Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI
Vina. 2015. LP Geriatric Syndrom. http://docslide.us/document/lp-
geriatricsyndrome-vina.html diakses pada tanggal 22 April 2021
Yulianti. 2015. Laporan Pendahuluan Gerontology “Geriatric Syndrome”.
http://docshare03.docshare.tips/files/26793/267934371.pdf. Diakses pada
22 April 2021
FORMAT PENGKAJIAN LANSIA ADAPTASI
TEORI MODEL CAROL A MILLER
JURUSAN KEPERAWATAN POLTEKKES KEMENKES SURABAYA

Nama wisma : UPTD Griya Werdha Jambangan Surabaya Tanggal


Pengkajian : 04 Mei pukul 18.30 WIB

1IDENTITAS KLIEN

Nama Ny. K
Umur 68 Tahun
Agama Islam
Alamat asal kediri
Tanggal datang 5 Mei 2019 Lama Tinggal di Panti ± 2,5 Tahun
2DATA KELUARGA -

Nama
Hubungan
Pekerjaan
Alamat
3STATUS KESEHATAN SEKARANG :

Keluhan utama: klien mengatakan nyeri di bagian kepala,tengkuk dan juga punggung dengan
nyeri skala 7. Nyeri dirasakan terus menerus.

Pengetahuan, usaha yang dilakukan untuk mengatasi keluhan:


Klien mengatakan saat nyeri datang klien mengmenyandarkan punggung ke tembok untuk mengurangi rasa
nyeri

Obat-obatan:
Amplodipin 1x1

Asmef 500mg 1x1 pada siang hari


‘B complex 1x1

4. AGE RELATED CHANGES (PERUBAHAN TERKAIT PROSES MENUA) :

FUNGSI FISIOLOGIS

1. Kondisi Umum
Ya Tidak
Kelelahan : √
Perubahan BB : √
Perubahan nafsu makan :
Masalah tidur : √ √
Kemampuan ADL : √
KETERANGAN : klien mampu melakukan aktivitas secara mandiri tetapi
menggunakan alat bantu berupa walker.

2. Integumen
Ya Tidak
Lesi / luka : √
Pruritus : √
Perubahan pigmen : √
4. Kepala
Ya Tidak
Sakit kepala √
Pusing √
Gatal pada kulit kepala √
KETERANGAN Klien mengalami pusing, sakit kepala
Memar √
Pola penyembuhan lesi √
KETERANGAN Tidak terdapat masalah luka/lesi
3. Hematopoetic
Ya Tidak
Perdarahan abnormal √
Pembengkakan kel. limfe √
Anemia √
KETERANGAN Konjungtiva tidak menunjukkan tanda-tanda anemia/pucat,
tidak terjadi pembengkakan limfe
5. Mata
Ya Tidak
Perubahan :
penglihatan

Pakai kacamata : √
Kekeringan mata : √
Nyeri : √
Gatal : √
Photobobia : √
Diplopia : √
Riwayat infeksi : √
KETERANGAN : Mata simetris, konjungtiva merah, sklera putih, pupil mata kanan kiri ishokor
6. Telinga
Ya Tidak
Penurunan pendengaran : √
Discharge : √
Tinitus : √
Vertigo : √
Alat bantu dengar : √
Riwayat infeksi : √
Kebiasaan membersihkan telinga : √
Dampak pada ADL : Klien mandiri dalam memenuhi personal hygiene
KETERANGAN : Personal hygiene mandi mampu secara mandiri, BAK
mampu secara mandiri
7. Hidung sinus
Ya Tidak
Rhinorrhea √
Discharge √
Epistaksis √
Obstruksi √
Snoring √
Alergi √
Riwayat infeksi √
KETERANGAN Hidung simetris, tidak terjadi epistaksis, rhinorrhea ataupun obstruksi.
Kebersihan hidung terjaga, tidak ada oedema, tidak ada suara nafas
tambahan yang terdengar.
8. Mulut, tenggorokan
Ya Tidak
Nyeri telan : √
Kesulitan menelan : √
Lesi : √
Perdarahan gusi : √
Caries : √
Perubahan rasa : √
Gigi palsu : √
Riwayat Infeksi : √
Pola sikat gigi : 1 x sehari
KETERANGAN : Klien tidak mengalami gangguan nyeri telan
9. Leher
Ya Tidak
Kekakuan : √
Nyeri tekan : √
Massa : √
KETERANGAN : Leher normal, tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada nyeri tekan.

10. Pernafasan
Ya Tidak
Batuk √
Nafas pendek √
Hemoptisis √
Wheezing √
Asma √
KETERANGAN Klien tidak ada masalah keperawatan, klien tidak mengeluh batuk

11. Kardiovaskuler
Ya Tidak
Chest pain : √
Palpitasi : √
Dipsnoe : √
Paroximal nocturnal : √
Orthopnea : √
Murmur : √
Edema : √
KETERANGAN : S1S2 tunggal, tidak ada oedema, tidak ada nyeri
tekan atau kesulitan dalam bernafas, tidak terjadi
takikardi.
12. Gastrointestinal
Ya Tidak
Disphagia √
Nausea / vomiting √
Hemateemesis √
Perubahan nafsu makan √
Massa √
Jaundice √
Perubahan pola BAB √
Melena √
Hemorrhoid √
Pola BAB klien mengatakan BAB 1 kali sehari
KETERANGAN Klien mengatakan BAB dalam sehari tergantung seberapa
banyak makanan yang dikonsumsi klien, klien mengatakan tidak
ada nyeri
perut/ gangguan pencernaan
13. Perkemihan
Ya Tidak
Dysuria : √
Frekuensi : 0,5cc x 60 kgBB x 24 jam = 720 cc/kgBB/24 jam
Hesitancy : √
Urgency : √
Hematuria : √
Poliuria : √
Oliguria : √
Nocturia : √
Inkontinensia : √
Nyeri berkemih : √
Pola BAK : Klien mengatakan 4-5 kali sehari
KETERANGAN : Klien mengatakan urine berbau khas, warna urine kuning bening,
tidak ada nyeri saat BAK .

14. Reproduksi (laki-laki)


Ya Tidak
Lesi :
Disharge :
Testiculer pain :
Testiculer massa :
Perubahan gairah sex :
Impotensi :

Reproduksi (perempuan)
Lesi :
Discharge :
Postcoital bleeding :
Nyeri pelvis :
Prolap :
Riwayat menstruasi : ..............................................................................................
Aktifitas seksual :
Pap smear :
KETERANGAN : Tidak Terkaji
15. Muskuloskeletal
Ya Tidak
Nyeri Sendi : √
Bengkak : √
Kaku sendi : √
Deformitas : √
Spasme : √
Kram : √
Kelemahan otot : √
Masalah gaya berjalan :
Nyeri punggung : √
Pola latihan :Klien sering duduk di atas kamar tidur, saat berjalanklien
menggunakan bantuan walker

Dampak ADL : Klien masih bisa menggerakkan kakinya


KETERANGAN : Klien nyeri pada punggung bagian belakang dari tengkuk sampai
bawah

16. Persyarafan
Ya Tidak
Headache : √
Seizures : √
Syncope : √
Tic/tremor : √
Paralysis : √
Paresis : √
Masalah memori : √
KETERANGAN : Klien tidak ada masalah pada gangguan memori
5. POTENSI PERTUMBUHAN PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL :
Psikososial YA Tidak

Cemas : √
Depresi : √
Ketakutan : √
Insomnia : √
Kesulitan dalam mengambil :

Keputusan
Kesulitan konsentrasi : √
Mekanisme koping :
Persepsi tentang kematian : Tidak terkaji

Dampak pada ADL :


Spiritual
 Aktivitas ibadah : rutin setiap hari melaksanakan sholat 5 waktu meskipun
diatas tempat tidur

 Hambatan : hambatan mobilitas fisik


KETERANGAN :

6. LINGKUNGAN :

 Kamar :bersih dan rapi

 Kamar mandi :bersih

 Dalam rumah.wisma :lantai bersih

 Luar rumah :bersih


7. NEGATIVE FUNCTIONAL CONSEQUENCES

1. Kemampuan ADL
Tingkat kemandirian dalam kehidupan sehari-hari (Indeks Barthel)
No Kriteria Dengan Mandiri Skor
Bantuan Yang
Didapat

1 Makan 5 10 10

2 Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur, atau sebaliknya 5-10 15 10

3 Personal toilet (cuci muka, menyisir rambut, gosok gigi) 0 5 5

4 Keluar masuk toilet (mencuci pakaian, menyeka tubuh, 5 10 10


menyiram)

5 Mandi 0 5 5

6 Berjalan di permukaan datar (jika tidak bisa, dengan kursi 0 5 5


roda )

7 Naik turun tangga 5 10 10

8 Mengenakan pakaian 5 10 10

9 Kontrol bowel (BAB) 5 10 10

10 Kontrol Bladder (BAK) 5 10 10


2. Aspek Kognitif

MMSE (Mini Mental Status Exam)

No Aspek Nilai Nilai Kriteria


Kognitif maksimal Klien
1 Orientasi 5 4 Menyebutkan dengan benar : Tahun :
2021 Hari : selasa
Musim : kemarau Bulan : mei
Tanggal : 4
2 Orientasi 5 5 Dimana sekarang kita berada ?
Negara: Indonesia Panti : werdha
Propinsi: Jawa timur Wisma : -
Kabupaten/kota : Jambangan
3 Registrasi 3 5 Sebutkan 3 nama obyek (misal : kursi, meja, kertas),
kemudian ditanyakan kepada klien, menjawab :
1) Kursi 2). Meja 3). Lemari
4 Perhatiandankalkulasi 5 4 Meminta klien berhitung mulai dari 100 kemudia
kurangi 7 sampai 5 tingkat.
Jawaban :
1). 93 2). 86 3). 79 4). 72 5). 65
5 Mengingat 3 3 Minta klien untuk mengulangi ketiga obyek pada
poin ke- 2 (tiap poin nilai 1)
6 Bahasa 9 8 Menanyakan pada klien tentang benda (sambil
menunjukan benda tersebut).
1). Kasur
2). kursi
3). Minta klien untuk mengulangi kata berikut :
“ tidak ada, dan, jika, atau tetapi )
Klien menjawab :
Tidak ada, dan, jika, tetapi
Minta klien untuk mengikuti perintah berikut yang
terdiri 3 langkah.
4). Ambil kertas ditangan anda
5). Lipat dua
6). Taruh dilantai.
Perintahkan pada klien untuk hal berikut (bila
aktifitas sesuai perintah nilai satu poin.
7). “Tutup mata anda”
8). Perintahkan kepada klien untuk menulis kalimat
dan
9). Menyalin gambar 2 segi lima yang saling
bertumpuk

Total nilai 30 29
Interpretasi hasil :
24 – 30 : tidak ada gangguan kognitif
18 – 23 : gangguan kognitif sedang
0 - 17 : gangguan kognitif berat
Kesimpulan :gangguan kognitif sedang
3. Tes Keseimbangan
Time Up Go Test
No Tanggal Pemerksaan Hasil TUG (detik)
1 4/05/2021 23 detik

2 17/05/2021 18 detik

3 13 detik
18/05/2021
Rata-rata Waktu TUG 18 detik

Interpretasi hasil ≥ 24 detik Diperkirakan


jatuh dalam kurun waktu 6
bulan

Interpretasi hasil:
Apabila hasil pemeriksaan TUG menunjukan hasil berikut:
>13,5 detik Resiko tinggi jatuh
>24 detik Diperkirakan jatuh dalam kurun waktu 6 bulan
>30 detik Diperkirakan membutuhkan bantuan dalam
mobilisasi dan melakukan ADL
(Bohannon: 2006; Shumway-Cook,Brauer & Woolacott: 2000; Kristensen, Foss & Kehlet: 2007:
Podsiadlo & Richardson:1991)

4. Kecemasan, GDS
Pengkajian Depresi
Jawaban
No Pertanyaan
Ya Tdk Hasil
1. Anda puas dengan kehidupan anda saat ini 0 1 0
2. Anda merasa bosan dengan berbagai aktifitas dan kesenangan 1 0 0
3. Anda merasa bahwa hidup anda hampa / kosong 1 0 0
4. Anda sering merasa bosan 1 0 0
5. Anda memiliki motivasi yang baik sepanjang waktu 0 1 0
8. Anda takut ada sesuatu yang buruk terjadi pada anda 1 0 1
7. Anda lebih merasa bahagia di sepanjang waktu 0 1 0
8. Anda sering merasakan butuh bantuan 1 0 0
9. Anda lebih senang tinggal dirumah daripada keluar melakukan 1 0 1
sesuatu hal
10. Anda merasa memiliki banyak masalah dengan ingatan anda 1 0 0
11. Anda menemukan bahwa hidup ini sangat luar biasa 0 1 0
12. Anda tidak tertarik dengan jalan hidup anda 1 0 1
13. Anda merasa diri anda sangat energik / bersemangat 0 1 0
14. Anda merasa tidak punya harapan 1 0 0
15. Anda berfikir bahwa orang lain lebih baik dari diri anda 1 0 0
Jumlah 3
(Geriatric Depressoion Scale (Short Form) dari Yesafage (1983) dalam Gerontological
Nursing, 2006)

Interpretasi :
Jika Diperoleh skore 5 atau lebih, maka diindikasikan depresi

5. Status Nutrisi

Pengkajian determinan nutrisi pada lansia:

No Indikators score Pemeriksaan


1. Menderita sakit atau kondisi yang mengakibatkan perubahan jumlah 2 1
dan jenis makanan yang dikonsumsi
2. Makan kurang dari 2 kali dalam sehari 3 1
3. Makan sedikit buah, sayur atau olahan susu 2 0
4. Mempunyai tiga atau lebih kebiasaan minum minuman beralkohol 2 0
setiap harinya
5. Mempunyai masalah dengan mulut atau giginya sehingga tidak dapat 2 0
makan makanan yang keras
6. Tidak selalu mempunyai cukup uang untuk membeli makanan 4 0
7. Lebih sering makan sendirian 1 0
8. Mempunyai keharusan menjalankan terapi minum obat 3 kali atau lebih 1 0
setiap harinya
9. Mengalami penurunan berat badan 5 Kg dalam enam bulan terakhir 2 0
10. Tidak selalu mempunyai kemampuan fisik yang cukup untuk belanja, 2 0
memasak atau makan sendiri
Total score 2
(American Dietetic Association and National Council on the Aging, dalam
Introductory Gerontological Nursing, 2001)

Interpretasi:

0 – 2 : Good

3 – 5 : Moderate nutritional risk

6≥ : High nutritional risk

6. Hasil pemeriksaan Diagnostik


No Jenis pemeriksaan Tanggal Hasil
Diagnostik Pemeriksaan
1. Tensi 4 Mei 2021 160/80 mmHg
17 Mei 2021 150/70 mmHg
18 Mei 2021 159/80 mmHg
2. Asam Urat 4 Mei 2021 6,0 mg/dL
17 Mei 2021 5,9 mg/dL
18 Mei 2021 5,7mg/dL
7. Fungsi sosial lansia

APGAR KELUARGA DENGAN LANSIA

Alat Skrining yang dapat digunakan untuk mengkaji fungsi sosial lansia

NO URAIAN FUNGSI SKORE


1. Saya puas bahwa saya dapat kembali pada keluarga (teman-teman) ADAPTATION 0
saya untuk membantu pada waktu sesuatu menyusahkan saya
2. Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman)saya membicarakan PARTNERSHIP 1
sesuatu dengan saya dan mengungkapkan masalah dengan saya
3. Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman) saya menerima dan GROWTH 2
mendukung keinginan saya untuk melakukan aktivitas / arah baru
4. Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman) saya AFFECTION 2
mengekspresikan afek dan berespon terhadap emosi-emosi saya
seperti marah, sedih/mencintai
5. Saya puas dengan cara teman-teman saya dan saya meneyediakan RESOLVE 2
waktu bersama-sama
Kategori Skor: TOTAL 7
Pertanyaan-pertanyaan yang dijawab:
1). Selalu : skore 2 2). Kadang-kadang : 1
3). Hampir tidak pernah : skore 0
Intepretasi:
< 3 = Disfungsi berat
4 - 6 = Disfungsi sedang
> 6 = Fungsi baik
Smilkstein, 1978 dalam Gerontologic Nursing and health aging 2005

Anda mungkin juga menyukai