Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK

PADA LANSIA DENGAN DIABETES MELITUS DI RUANG LAVENDER


GRIYA WREDHA JAMBANGAN SURABAYA

OLEH:

DHIAN TIARA SARI

NIM. P27820820013

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
2021
LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP DASAR LANSIA

1. Definisi Lansia
Seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas dapat dikatakan
sebagai lansia. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan suatu
proses yang berangsur-angsur yang mengakibatkan perubahan kumulatif,
merupakan proses menurunya daya tahan tubuh dalam menghadapi
rangsangan dari dalam dan luar tubuh (UU No 13 tahun 1997, dalam
Kholifah, 2016).
Menua merupakan proses menghilangnya secara perlahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994 dalam Aspiani,2014).

2. Batasan Lansia
Batasan-batasan lansia menurut WHO 2008 meliputi:
a. Usia pertengahan (middle age), antara 45 sampai 59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) antara 60 sampai 74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) antara 75 samapi 90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Menurut Siti Maryam (2009) dalam Ratnawati (2017), batasan- batasan lansia
di kategorikan sebagai berikut:
a) Pralansia (Prasenilis) : seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
b) Lansia : seseorang yang berusia diatas 60 tahun.
c) Lansia resiko tinggi : seseorang yang berusia 70 tahun ke atas atau usia 60
tahun ke atas dengan masalah kesehatan.
d) Lansia potensial : lansia yang masih mampu untuk melakukan pekerjaan
atau kegiatan yang dapat menghasilkan uang.
e) Lansia tidak potensial : lansia yang sudah tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada orang lain.
3. Tipe-tipe Lanjut Usia

Tipe-tipe lansia menurut Azizah (2011) sebagai berikut :


1. Tipe arif bijaksana
Lansia yang kaya akan hikmah pengalaman dalam menyesuaikan diri dengan
perubahan jaman, memiliki kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
darmawan, memenuhi undangan, dan dapat menjadi panutan.
2. Tipe mandiri
Lansia yang mampu mengganti kegiatan-kegiatan yang hilang dengan kegiatan-
kegiatan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, teman pergaulan, serta
mampu memenuhi undangan.
3. Tipe tidak puas
Lansia yang dengan konflik lahir batin menentang proses menua, yang
menyebabkan kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik jasmaniah,
kehilangan kekuasaan, status teman yang disayangi, mudah marah, tidak sabaran,
mudah tersinggung, sangat menuntut, sulit dilayani dan pengkritik.
4. Tipe pasrah
Lansia yang menerima serta menunggu nasib baik, memiliki konsep habis gelap
datang terang, rajin mengikuti kegiatan beribadah, pekerjaan apasaja dilakukan.
5. Tipe bingung
Lansia yang kehilangan kepribadian, sering mengasingkan diri, merasa minder,
menyesal, pasif, mental, sosial dan ekonominya.
4. Proses Menua
Proses menua adalah suatu proses biologis yang tidak dapat dihindari,
yang dialami oleh setiap orang. Menua merupakan suatu proses
menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri
dan mempertahankan struktur serta fungsinya secara normal, ketahanan
terhadap injury termasuk adanya infeksi. Proses menua mulai berlangsung
dari seorang mencapai tahap dewasa, misalanya terjadinya kehilangan
jaringan pada otot, susunan syaraf, dan jaringan lain sehingga lama-kelamaan
tubuh akan mati. Setiap orang mempunyai fungsi fisiologis tubuh yang
berbeda-beda, baik dalam hal pencapaian puncak fungsi ataupun saat
menurunya. Kebanyakan pencapaian puncaknya pada umur 20-30 tahun.
Setelah mencapai puncaknya, fungsi tubuh akan berada dalam kondisi tetap
utuh dalam beberapa waktu, lama-kelamaan akan menurun sedikit demi
sedikit seiring bertambahnya usia (Aspiani, 2014). Ada beberapa teori yang
membahas tentang proses menua yaitu :
1. Teori biologi
Teori biologis didalam proses penuaan mengacu pada asumsi bahwa
proses menua merupakan suatu perubahan yang terjadi dalam struktur dan
fungsi tubuh selama masa kehidupan (Zairt,1980 dalam Aspiani, 2013).
Teori ini lebih menekankan pada perubahan kondisi tingkat struktural
sel/organ tubuh, termasuk di dalamnya adalah pengaruh agen patologis.
Teori ini berfokus dalam mencari determinan- determinan yang dapat
menghambat proses penuaan fungsi organisme. Fungsi organisme dapat
mempengaruhi dampak terhadap organ tubuh lainnya dan dapat
berkembang sesuai dengan peningkatan usia kronologis. Aspiani (2014)
menyimpulkan bahwa teori penuaan menurut teori biologis sebagai
berikut:
2. Teori Genetik Clock
Menurut teori ini menua sudah terprogram secara genetik setiap
spesies-spesies tertentu. Setiap spesies didalam inti selnya mempunyai jam
genetik yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Secara teoritis
dapat dimungkinkan memutar jam ini lagi meskipun hanya beberapa waktu
dengan pengaruh- pengaruh di luar, berupa peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit dengan obat-obatan, atau dengan tindakan tertentu.
3. Teori Mutasi Somatik (Eror Catastrophe Theory)
Menurut teori ini penuaan disebabkan oleh kesalahan yang beruntutan
dalam jangka waktu lama melalui traskripsi dan translasi. Kesalahan
tersebut menyebabkan terbentuknya enzim yang salah dan berakibat pada
metabolisme yang salah, sehingga mengurangi fungsional sel.
4. Teori Autoimun (Auto Immune Theory)
Menurut teori ini proses metabolisme didalam tubuh suatu saat akan
menghasilkan zat khusus. Ada beberapa jaringan tubuh tertentu yang tidak
tahan terhadap suatu zat, sehingga mengakibatkan jaringan tubuh menjadi
lemah dan sakit.
5. Teori Radikal Bebas
Radikal bebas terbentuk di alam bebas. Tidak stabilnya radikal bebas
(kelompok atom) yang masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan oksidasi
oksigen berbahan organik, seperti karbohidrat dan protein
6. Teori Rantai Silang
Didalam teori ini penuaan disebabkan oleh adanya sel-sel yang sudah tua
atau telah usang yang menghasilkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan
kolagen. Ikatan ini mengakibatkan jaringan menjadi kurang elastis, kaku
dan hilangnya fungsi tubuh. Teori psikososial.

Aspiani (2014) menyimpulkan bahwa penuaan menurut teori


psikososial diantranya :
a. Activity Theory (teori aktivitas)
Didalam teori ini menyatakan bahwa seorang individu harus eksis
dan aktif didalam kehidupan sosialnya untuk mencapai
kesuksesan di hari tua. Aktivitas dalam teori ini dipandang
sebagai sesuatu yang vital untuk memenuhi kepuasan pribadi.
Teori ini berdasar pada asumsi bahwa: (1) Aktif lebih baik dari
pada pasif (2) Gembira lebih baik daripada tidak gembira (3)
Orang tua adalah orang yang baik untuk mencapai sukses dan
akan memilih alternatif pilihan aktif dan bergembira. Penuaan
menyebabkan penurunankegiatan secara langsung.
b. Teori Kontinuitas
Dalam teori ini memandang bahwa tua merupakan keadaan yang
selalu terjadi dan berkesinambungan yang harus dihadapi oleh
semua orang. Adanya suatu kepribadian berlanjut yang
mengakibatkan adanya perilaku yang meningkatkan stress.
c. Disanggement Theory
Terputusnya hubungan dengan dunia luar seperti dengan
masyarakat, dan hubungan dengan individu lain.
d. Teori Stratisfikasi Usia
Dalam teori ini dijelaskan orang yang digolongkan dalam usia tua
akan mempercepat proses penuaan.

e. Jung Teory
Didalam teori ini dijelaskan bahwa terdapat lingkungan hidup
yang mempunyai tugas dalam perkembangan kehidupan.
f. Course of Human Life Theory
Teori ini menjelaskan seseorang dalam berhubungan dengan
lingkungan ada tingkat maksimumnya.
g. Devlopment Task Theory
Setiap tingkat kehidupan memiliki tugas perkembangan sesuai
dengan usianya.
2. Teori Lingkungan
Aspiani (2014) menyimpulkan penuaan menurut teori
lingkungan diantaranya:
a. Teori Radiasi
Setiap hari manusia terpapar oleh radiasi, baik dari sinar
ultraviolet ataupun dalam bentuk gelombang mikro yang telah
menumpuk didalam tubuh tanpa terasa dapat mengakibatkan
perubahan struktur DNA dalam sel hidup maupun sel rusak dan
mati.
b. Teori Stres
Stres fisik maupun psikologis dapat menyebabkan pengeluaran
neurotransmiter tertentu yang bias mengakibatkan perfusi jaringan
menurun sehingga jaringan mengalami kekurangan oksigen dan
mengalami gangguan metabolisme sel sehingga dapat terjadi
penurunan jumlah cairan dalam sel dan penurunan eksisitas
membran sel.

c. Teori Polusi
Lingkungan yang tercemar dapat mengakibatkan tubuh
mengalami gangguan sistem psikoneuroimunologi yang dapat
mempercepat terjadinya proses penuaan.
d. Teori Pemaparan
Terpaparnya sinar matahari sama dengan terpaparnya sinar
ultraviolet yang dapat mempengaruhi susunan DNA sehingga
proses penuaan atau kematian sel bisa terjadi.
5. Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
Kemampuan mulai berkurang saat orang bertambah tua. Aspiani (2014)
menyimpulkan perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai
berikut:
1. Perubahan Fisik
a. Sel
Jumlah sel sedikit, ukurannya menjadi lebih besar, berkurangnya
cairan intra seluler, porposi protein di otak, ginjal, dan hati menurun,
jumlah sel otak menurun, mekanisme perbaikan sel terganggu
b. Sistem Persyarafan
Respon menjadi lambat dan menurunnya hubungan antar
persyarafan, berat otak menurun, syaraf panca indra mengecil
sehingga menyebabkan berkurangnya penglihatan dan pendengaran,
mengecilnya syaraf penciuman dan perasa, sensitif terhadap suhu,
ketahanan tubuh terhadap dingin rendah, kurang sensitif terhadap
sentuhan.
c. Sistem Penglihatan
Menurunnya lapang pandang dan daya akomodasi mata, kekeruhan
pada mata sehingga menjadi katarak, pupil muncul sclerosis, daya
membedakan warna menurun.
c. Sistem Pendengaran
Menurunnya daya pendengaran, terutama pada bunyi suara atau
nada yang tinggi, suara menjadi tidak jelas, sulit memahami kata-
kata, membrane timpani menjadi atrofi menyebabkan atosklerosis.
d. Sistem Kardivaskuler
Terjadinya penurunan elastisitas oarta, katup jantung menebal dan
menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun,
kurangnya elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas
pembuluh darah perifer dalam memenuhi oksigenasi, perubahan
pada posisi dari tidur ke duduk atau dari duduk ke berdiri bisa
mengakibatkan tekanan darah menurun, dan tekanan darah
meninggi akibat dari meningkatnya resistensi dari pembuluh darah
perifer.
e. Sistem Pengaturan Temperatur TubPada pengaturan suhu hipotalamus
dianggap memiliki suatu suhu tertentu, kemunduran terjadi karena
beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain: temperatur tubuh
menurun, keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat memproduksi
panas yang banyak sehingga menyebabkan rendahnya aktivitas otot.

f. Sistem Respirasi
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,
menurunya aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas,
menarik napas menjadi lebih berat, menurunya kapasitas
pernafasan maksimum, dan menurunnya kedalaman dalam
bernafas, serta kemampuan kekuatan otot pernafasan menurun.
g. Sistem Gastrointestinal
Gigi yang tanggal menjadi banyak, menurunnya sensifitas indra
pengecap, pelebaran esophagus, tidak memiliki rasa lapar, asam
lambung menurun, waktu pengosongan menurun, peristaltik usus
menurun, dan sering timbul konstipasi, dan fungsi absorpsi
menurun.
h. Sistem Genitourinaria
Otot vesika urinaria melemah dan kapasitasnya menurun,
frekuensi buang air kecil meningkat, pada wanita sering terjadi
atrofi vulva, selaput lendir mengering, menurunnya elastisitas
jaringan dan disertai penurunan frekuensi seksual.
i. Sistem Endokrin
Hampir semua produksi hormon menurun (ACTH, TSH, FSH,
LH) penurunan sekresi hormon kelamin misalnya : estrogen,
progesteron, dan testeron.
j. Kulit atau Integumen
Kulit keriput karena kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit
kasar, dan bersisik akibat kehilangan proses keratinisasi, serta
perubahan ukuran dan bentuk sel epidermis, rambut menipis,
berkurangnya elastisitas akibat menurunya cairan dam
vaskularisasi, perubahan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi
keras dan rapuh, serta kelenjar keringan menjadi berkurang.
k. Sistem Muskuloskeletal
Tulang kehilangan cairan dan rapuh, kifosis, terjadi penipisan dan
pemendekan tulang, persendian menjadi besar dan kaku, tendon
mengerut, dan mengalami sclerosis, atrofi serabut otot sehingga
gerakan menjadi lambat, terjadi kram otot, dan tremor.
d. Perubahan Kondisi Mental

Perubahan-perubahan mental erat sekali dengan perubahan fisik


terutama organ perasa, keadaan kesehatan, tingkat pendidikan, atau
pengetahuan, factor keturunan dan lingkungan. Adanya kekacauan
mental akut, merasa terancam akan timbulnya suatu penyakit atau
takut ditelantarkan karena tidak berguna. Munculnya perasaan
kurang mandiri serta bersifat introvert (Aspiani, 2014).
e. Perubahan Psikososial
Masalah perubahan psikososial dan reaksi individu terhadap
perubahan ini sangat beragam, tergantung kepribadian individu yang
bersangkutan. Orang yang menjalani hidupnya dengan bekerja, tiba-
tiba dihadapkan untuk menyesuaikan diri dengan masa pensiun.
Perubahan yang menjadikan kehidupan mereka merasa kurang
melakukan kegiatan yang berguna.
Aspiani (2014) menyimpulkan perubahan psikososial pada
lansia meliputi :
a. Pensiun
b. Sadar akan kematian
c. Perubahan cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan,
bergerak terbatas
d. Ekonomi, karena pemberhentian dari jabatan,
biaya hidup meningkat, bertambahnya biaya pengobatan
e. Timbul penyakit kronis
f. Kesepian karena pengasingan dari lingkungan sosial
g. Gangguan saraf pancaindra, timbul
kebutaan dan gangguan pendengaran
h. Kehilangan hubungan dengan teman dan keluarga.
i. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan
terhadap gambaran diri dan perubahan konsep diri.

6. Penyakit Yang Sering Terjadi Pada Lansia


Menurut pendapat Stieglitz (1945) dalam Aspiani(2014), terdapat empat
penyakit yang erat hubungannya dengan proses menua, yaitu :
1. Terjadi gangguan sirkulasi darah, misalnya hipertensi, kelainan
pembuluh darah, gangguan pembuluh darah di otak, koroner dan ginjal
2. Terjadi gangguan metabolisme hormonal misalnya Diabetes Melitus,
klimakterium dan ketidakseimbangan tiroid
3. Terjadi gangguan pada persendian, misalnya Osteoarthritis,gout
arthritis, ataupun penyakit kolagen lainnya

4. Gangguan berbagai macam neoplasma.


Menurut Azizah (2011) penyakit lain yang sering terjadi pada
lansia diantaranya :
1. Penyakit pada sistem pernafasan
Fungsi paru terjadi kemunduran karena datangnya usia tua sehingga
elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam
usia lanjut kekuatan kontraksi otot pernafasan berkurang sehingga
susah bernafas.
2. Penyakit sistem kardiovaskula
Pada orang lansia, besar jantung akan sedikit mengecil. Yang paling
sering mengalami penurunan fungsi adalah rongga bilik kiri, karena
berkurangnya aktivitas. Sel-sel otot jantung juga mengalami
penurunan sehingga mengakibatkan menurunya kekuatan otot.
3. Penyakit sistem hematologi
Kelainan sistem hematologi yang paling sering terjadi adalah
sirkulasi jumlah sel darah merah menurun. Kondisi ini disebut
anemia. Anemia terjadi karena produksi sel darah merah oleh sum-
sum tulang berkurang atau tingginya penghancuran sel darah merah
dalam sirkulasi. Anemia pada lansia sering kali terjadi dan sering
multifactorial, kegagalan dalam mengevaluasi anemia pada orang
tua mengakibatkan lambatnya penegakan diagnosis.
4. Penyakit sistem pencernaan
Menurunnyaproduksi saliva pada lansia, dapat mempengaruhi proses
perubahan kompleks karbohidrat menjadi disakarida. Fungsi ludah

sebagai pelicin makanan berkurang sehingga proses menelan menjadi


lebih sukar.
5. Penyakit pada persendian dan tulang
Penyakit persendian ini akibat dari degenerasi atau kerusakan pada
permukaan sendi-sendi tulang yang banyak dijumpai pada lanjut usia
terutama yang gemuk. Keluhan yang dirasakan biasanya linu-linu,
pegal, dan kadang terasa seperti nyeri. Biasanya yang terkena yaitu
persendian pada jari-jari, tulang punggung, sendi-sendi penahan
tubuh (lutut dan panggul). Hal ini disebabkan oleh gangguan
metabolisme asam urat dalam tubuh.

6. Penyakit sistem urogenital


Peradangan pada sistem urogenital banyak dijumpai pada wanita
lanjut usia berupa peradangan kandung kemih sampai peradangan
ginjal akibat sisa air seni dalam vesika urinaria (kandung kemih).
Keadaan ini diakibatkan karena berkurangnya tonus kandung kemih
dan adanya tumor yang menyumbat saluran kemih. Pada pria sisa
seni dalam kandung kemih dapat menyebabkan pembesaran kelenjar
prostat. Pada pria lanjut usia banyak terjadi kasus kanker pada
kelenjar prostat.
7. Penyakit yang disebabkan proses keganasan kanker
Semakin tua seseorang semakin mudah terkena penyakit kanker.
Pada wanita, kanker banyak dijumpai pada rahim, payudara dan
saluran pencernaan sedangkan pada pria paling banyak dijumpai
pada paru- paru, saluran pencernaan, dan kelenjar prostat.
SINDROM GERIATRI

A. Konsep Dasar Sindrom Geriatri


1. Pengertian Sindrom Geriatri
Sindrom geriatri adalah serangkaian kondisi klinis pada orang tua yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien dan dikaitkan dengan kecacatan. (amplan klinis
yang tidak khas sering membuat sindrom geriatri tidak terdiagnosis. (Vina, 2015).
Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinesia,
ketergantungan fungsional, dan jatuh. Sindrom ini dapat menyebabkan angka
morbiditas yang signifikan dan keadaan yang buruk pada usia tua yang lemah.
Sindrom ini biasanya melibatkan beberapa sistem organ. Sindrom geriatric mungkin
memiliki kesamaan patofisiologi meskipun presentasi yang berbeda, dan memerlukan
interventasi dan strategi yang berfokus terhadap faktor etiologi (Darmojo B, 2009).
2. Jenis dan Klasifikasi Sindrom Geriatri
Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering
dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut Solomon dkk:
The “13i” yang terdiri dari Immobility (imobilisasi), Instability (instabilitas dan
jatuh), Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti demensia dan delirium),
Incontinence (inkontinensia urin dan alvi), Isolation (depresi), Impotence
(impotensi), Immunodeficiency (penurunan imunitas), Infection (infeksi), Inanition
(malnutrisi), Impaction (konstipasi), Insomnia (gangguan tidur), Iatrogenic disorder
(gangguan iatrogenic) dan Impairement of hearing, vision and smell (gangguan
pendengaran, penglihatan dan penciuman) (Setiati dkk., 2006).
a. Immobility (imobilisasi)
Didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau
lebih, dengan gerak anatomi tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologis.
Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi
pada usia lanjut. Lansia yang terus-menerus berada ditempat tidur (disebut berada
pada keadaan (bed ridden). Berakibat atrofi otot, decubitus, malnutrisi, serta
pnemonia. Faktor resikonya dapat berupa osteortritis, gangguan penglihatan, fraktur,
hipotensi postural, anemia, stroke, nyeri, demensia, lemah otot, vertigo, keterbatsan
ruang lingkup, PPOK, gerak sendi hipotiroid dan sesak napas, imobilisasi pada lansia
diakibatkan oleh adanya gangguan nyeri, kekakuan, ketidakseimbangan, serta
kelainan psikolog.

b. Instability (instabilitas dan jatuh)


Terdapat banyak faktor yang berperan untuk terjadinya instabilitas dan jatuh pada
orang usia lanjut. Berbagai faktor tersebut dapat diklasifikasikan sebagai faktor
intrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien) dan faktor risiko ekstrinsik (faktor yang
terdapat di lingkungan). Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah
instabilitas dan riwayat jatuh adalah: mengobati berbagai kondisi yang mendasari
instabilitas dan jatuh, memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara
berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai, serta mengubah
lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup, pegangan, lantai yang
tidak licin (Kane et al., 2008; Cigolle et al., 2007).
c. Incontinence (inkontinensia urin dan alvi)
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak
dikehendaki dalam jumlah dan frekuensi tertentu sehingga menimbulkan masalah
sosial dan atau kesehatan. Inkontinensia urin merupakan salah satu sindroma
geriatrik yang sering dijumpai pada usia lanjut. Diperkirakan satu dari tiga wanita
dan 15-20% pria di atas 65 tahun mengalami inkontinensia urin. Inkontinensia urin
merupakan fenomena yang tersembunyi, disebabkan oleh keengganan pasien
menyampaikannya kepada dokter dan di lain pihak dokter jarang mendiskusikan hal
ini kepada pasien (Kane et al., 2008; Cigolle et al., 2007). International
Consultation on Incontinence, WHO mendefinisikan Faecal Incontinence sebagai
hilangnya tak sadar feses cair atau padat yang merupakan masalah sosial atau
higienis. Definisi lain menyatakan, Inkontinensia alvi/fekal sebagai perjalanan
spontan atau ketidak mampuan untuk
mengendalikan pembuangan feses melalui anus. Kejadian inkontinensia alvi/fekal
lebih jarang dibandingkan inkontinensia urin (Kane et al., 2008)
d. Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti demensia dan
delirium)
Keadaan yang terutama menyebabkan gangguan intelektual pada pasien lanjut
usia adalah delirium dan demensia. Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan
memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan
gangguan tingkat kesadaran. Demensia tidak hanya masalah pada memori. Demensia
mencakup berkurangnya kemampuan untuk mengenal berpikir, menyimpan atau
mengingat pengalaman yang lalu dan juga kehilangan pola sentuh, pasien menjadi
perasa, dan terganggunya aktivitas (Geddes et al.,2005; Blazer et al., 2009).

e. Infection (infeksi)
Infeksi pada usia lanjut (usila) merupakan penyebab kesakitan dan kematian
no. 2 setelah penyakit kardiovaskular di dunia. Hal ini terjadi akibat beberapa hal
antara lain: adanya penyakit komorbid kronik yang cukup banyak, menurunnya daya
tahan/imunitas terhadap infeksi, menurunnya daya komunikasi usia sehingga
sulit/jarang mengeluh, sulitnya mengenal tanda infeksi secara dini. Ciri utama pada
semua penyakit infeksi biasanya ditandai dengan meningkatnya temperatur badan,
dan hal ini sering tidak dijumpai pada usia lanjut, 30-65% usia lanjut yang terinfeksi
sering tidak disertai peningkatan suhu badan, malah suhu badan dibawah 36 0C lebih
sering dijumpai. Keluhan dan gejala infeksi semakin tidak khas antara lain berupa
konfusi/delirium sampai koma, adanya penurunan nafsu makan tiba-tiba, badan
menjadi lemas, dan adanya perubahan tingkah laku sering terjadi pada pasien usia
lanjut (Kane et al., 2008).
f. Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran,
penglihatan dan penciuman)
Gangguan pendengaran sangat umum ditemui pada geriatri. Prevalensi
gangguan pendengaran sedang atau berat meningkat dari 21% pada kelompok usia 70
tahun sampai 39% pada kelompok usia 85 tahun. Pada dasarnya, etiologi gangguan
pendengaran sama untuk semua umur, kecuali ditambah presbikusis untuk kelompok
geriatri. Otosklerosis biasanya ditemui pada usia dewasa muda, ditandai dengan
terjadinya remodeling tulang di kapsul otik menyebabkan gangguan pendengaran
konduktif, dan jika penyakit menyebar ke telinga bagian dalam, juga dapat
menimbulkan gangguan sensorineural. Penyakit Ménière adalah penyakit telinga
bagian dalam yang menyebabkan gangguan pendengaran berfluktuasi, tinnitus dan
pusing. Gangguan pendengaran karena bising yang disebabkan oleh energi akustik
yang berlebihan yang menyebabkan trauma permanen pada sel-sel rambut.
Presbikusis sensorik yang sering sekali ditemukan pada geriatri disebabkan oleh
degenerasi dari organ korti, dan ditandai gangguan pendengaran dengan frekuensi
tinggi. Pada pasien juga ditemui adanya gangguan pendengaran sehingga sulit untuk
diajak berkomunikasi. Penatalaksanaan untuk gangguan pendengaran pada geriatric
adalah dengan cara memasangkan alat bantu dengar atau dengan tindakan bedah
berupa implantasi koklea (Salonen, 2013).
Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari
pasien pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan
oleh usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan
sebelumnya. Masalah polifarmasi pada pasien geriatri sulit dihindari dikarenakan
oleh berbagai hal yaitu penyakit yang diderita banyak dan biasanya kronis, obat
diresepkan oleh beberapa dokter, kurang koordinasi dalam pengelolaan, gejala yang
dirasakan pasien tidak jelas, pasien meminta resep, dan untuk menghilangkan efek
samping obat justru ditambah obat baru. Karena itu diusulkan prinsip pemberian obat
yang benar pada pasien geriatri dengan cara mengetahui riwayat pengobatan lengkap,
jangan memberikan obat sebelum waktunya, jangan menggunakan obat terlalu lama,
kenali obat yang digunakan, mulai dengan dosis rendah, naikkan perlahan-lahan,
obati sesuai patokan, beri dorongan supaya patuh berobat dan hatihati mengguakan
obat baru (Setiati dkk.,2006).
g. Isolation (depresi)
Isolation (terisolasi) dan depresi, penyebab utama depresi pada usia lanjut
adalah kehilangan seseorang yan disayangi, pasangan hidup, anak, bahkan binatang
peliharaan. Selain itu kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan,
menyebabkan dirinya terisolasi dan menjadi depresi. Keluarga yang mulai
mengacuhkan karena merasa direpotkan menyebabkan pasien akan merasa hidup
sendiri dan menjadi depresi. Beberapa orang dapat melakukan usaha bunuh diri
akibat depresi yang berkepanjangan.
h. Inanition (malnutrisi)
Kelemahan nutrisi merujuk pada hendaya yang terjadi pada usia lanjut karena
kehilangan berat badan fisiologis dan patologis yang tidak disengaja. Anoreksia pada
usia lanjut merupakan penurunan fisiologis nafsu makan dan asupan makan yang
menyebabkan kehilangan berat badan yang tidak diinginkan (Kane et al., 2008). Pada
pasien, kekurangan nutrisi disebabkan oleh keadaan pasien dengan gangguan
menelan, sehingga menurunkan nafsu makan pasien.
i. Impecunity (kemiskinan)
Impecunity (kemiskinan), usia lansia dimana seseorang menjadi kurang
produktif (bukan tidak produktif) akibat penurunan kemampuan fisik untuk
beraktivitas. Usia pensiun dimana sebagian dari lansia hanya mengandalkan hidup
dari tunjangan hari tuanya. Pada dasarnya seorang lansia masih dapat bekerja, hanya
saja intensitas dan beban kerjanya yang harus dikurangi sesuai dengan
kemampuannya, terbukti bahwa seseorang yang tetap menggunakan otaknya hingga
usia lanjut dengan bekerja, membaca, dsb., tidak mudah menjadi “pikun” . Selain
masalah finansial, pensiun juga berarti kehilangan teman sejawat, berarti interaksi
sosial pun berkurang memudahakan seorang lansia mengalami depresi.
j. Iatrogenic disorder (gangguan iatrogenic)
Iatrogenics (iatrogenesis), karakteristik yang khas dari pasien geriatric yaitu
multipatologik, seringkali menyebabkan pasien tersebut perlu mengkonsumsi obat
yang tidak sedikit jumlahnya. Akibat yang ditimbulkan antara lain efek samping dan
efek dari interaksi obat-obat tersebut yang dapat mengancam jiwa. Pemberian obat
pada lansia haruslah sangat hati-hati dan rasional karena obat akan dimetabolisme di
hati sedangkan pada lansia terjadi penurunan fungsi faal hati sehingga terkadang
terjadi ikterus (kuning) akibat obat. Selain penurunan faal hati juga terjadi penurunan
faal ginjal (jumlah glomerulus berkurang), dimana sebagaian besar obat dikeluarkan
melalui ginjal sehingga pada lansia sisa metabolisme obat tidak dapat dikeluarkan
dengan baik dan dapat berefek toksik.
k. Insomnia (gangguan tidur)
Pada lansia dapat disebabkan oleh faktor yang terdiri dari nyeri kronis, sesak
napas pada penyakit paru obstruktif kronis, gangguan psikiatrik (gangguan cemas
dan depresi), penyakit neurologi (parkinson’s disease, alzheimer disease) dan obat-
obatan kortikosteroid dan diuretik) (Dini, A.A., 2013).
l. Immunodeficiency (penurunan imunitas)
Immuno-defficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh) banyak hal yang
mempengaruhi penurunan sistem kekebalan tubuh pada usia lanjut seperti atrofi
thymus (kelenjar yang memproduksi sel-sel limfosit T) meskipun tidak begitu
bermakna (tampak bermakna pada limfosit T CD8) karena limfosit T tetap terbentuk di
jaringan limfoid lainnya. Begitu juga dengan barrier infeksi pertama pada tubuh seperti
kulit dan mukosa yang menipis, refleks batuk dan bersin yang berfungsi
mengeluarkan zat asing yang masuk ke saluran nafas- yang melemah. Hal yang sama
terjadi pada respon imun terhadap antigen, penurunan jumlah antibodi. Segala
mekanisme tersebut berakibat terhadap rentannya seseorang terhadap agen-agen
penyebab infeksi, sehingga penyakit infeksi menempati porsi besar pada pasien lansia.
m. Impotence (impotensi)
Impotency (Impotensi), ketidakmampuan melakukan aktivitas seksual pada
usia lanjut terutama disebabkan oleh gangguan organik seperti gangguan hormon,
syaraf, dan pembuluh darah. Disfungsi ereksi psikogenik merupakan penyebab utama
pada gangguan organik,walaupun faktor psikogenik ikut memegang peranan.
Disfungsi ereksi jenis ini yang berpotensi reversible potensial biasanya yang
disebabkan oleh kecemasan,depresi, rasa bersalah, masalah perkawinan atau juga
akibat dari rasa takutakan gagal dalam hubungan seksual.
n. Irritable bowel
Irritable bowel (usus besar yang sensitif -mudah terangsang-) sehingga
menyebabkan diare atau konstipasi/ impaksi (sembelit). Penyebabnya tidak jelas,
tetapi pada beberapa kasus ditemukan gangguan pada otot polos usus besar, penyeab
lain yang mungkin adalah gangguan syaraf sensorik usus, gangguan sistem syaraf
pusat, gangguan psikologis, stres, fermentasi gas yang dapat merangsang syaraf, kolitis
3. Etiologi dan Faktor Resiko
a. Imobilisasi
Berbagai faktor baik fisik, psikologis, dan lingkungan dapat
menyebabkan imobilisasi pada pasien usia lanjut. Beberapa penyebab utama
imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan,
dan masalah psikologis. Penyakit Parkinson, artritis reumatoid, gout, dan obat‐
obatan antipsikotik seperti haloperidol juga dapat menyebabkan kekakuan. Rasa
nyeri, baik dari tulang (osteoporosis, osteomalasia, Paget’s disease, metastase
kanker tulang, trauma), sendi (osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot
(polimalgia, pseudoclaudication) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan
imobilisasi. Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan
fungsi mental seperti pada depresi tentu sangat sering menyebabkan terjadinya
imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan atau kemalasan petugas
kesehatan dapat pula menyebabkan orang usia lanjut terus menerus berbaring di
tempat tidur baik di rumah maupun di rumah sakit. Efek samping beberapa obat
misalnya obat hipnotik dan sedatif dapat pula menyebabkan gangguan
mobilisasi.
b. Instability (Instabilitas Dan Jatuh)
Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa faktor,
antara lain:
1) Kecelakaan (merupakan penyebab utama)
- Murni kecelakaan, misalnya terpleset, tersandung.
- Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan-
kelainan akibat proses menua, misalnya karena mata kurang
jelas, benda-benda yang ada di rumah tertabrak, lalu jatuh
2) Nyeri kepala dan/atau vertigo
3) Hipotensiorthostatic:
- Hipovolemia / curah jantung rendah
- Disfungsi otonom terlalu lama berbaring
- Pengaruh obat-obat hipotensi
4) Obat-obatan
- Diuretik / antihipertensi
- Antidepresan trisiklik
- Sedativa
- Antipsikotik
- Obat-obat hipoglikemik
- Alkohol
5) Proses penyakit
- Aritmia
- Stenosis
- Stroke
- Parkinson
- Spondilosis
- Serangan kejang
6) Idiopatik
7) Sinkope
- Penurunan darah ke otak secara tiba-tiba
- Terbakar matahari
c. Incontinence (Inkontinensia Urin Dan Alvi)
Pada lansia biasanya terjadi penurunan kemampuan berkemih. Pada
lansi terjadi proses enua yang berdampak pada perubahan hampir
seluruh organ tubuh termasuk organ berkemih yang menyebabkan
lansia mengalami inkontinensia urin. Perubahan ini diantaranya
adalah melemahnya otot dasar panggul yang menjaga kandung
kemih dan pintu saluran kemih, timbulnya kontraksi abnormal pada
kandung kemih yang menimbulkan rangsangan berkeih sebelum
waktunya dan meninggalkan sisa. Pengosongan kandung kemih yang
tidak sempurna menyebabkan urine di dalam kanddung kemih yang
cukup banyak sehingga dengan pengisian sedikit saja sudah
merangsang untuk berkeih. Hipertrofi prostat juga dapat
mengakibatkan banyaknya sisa air kemih di kandung keih sebagai
akibat pengosongan yang tidak sempurna (Setiati,2000).
d. Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran,
penglihatan dan penciuman)
Umumnya diketahui bahwa presbikusis merupakan akibat
dari proses degenerasi. Diduga kejadian presbikusis mempunyai
hubungan dengan faktor faktor herediter, pola makanan,
metabolisme, arteriosklerosis, infeksi, bising, gaya hidup atau
bersifat multifaktor. Menurunnya fungsi pendengaran secara
berangsur merupakan efek kumulatif dari pengaruh faktor-faktor
tersebut diatas. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 60 tahun.
Progesifitas penurunan pendengaran dipengaruhi oleh usia dan jenis
kelamin, pada laki-laki lebih cepat dibandingkan dengan perempuan.
Kornea, lensa iris, aquous humormvitorous humor akan
mengalami perubahan seiring bertambahnya usia, karena bagian
utama yang mengalami perubahan/penurunan sensifitas yang
menyebabkan lensa pada mata, produksi aquosus humor juga
mengalami penurunan tetapi tidak terlalu terpengaruh terhadap
keseimbangan dan tekanan intra okuler lensa umum. Bertambahnya
usia akan mempengarui fungsi organ pada mata seseorang yang ber
usia 60 tahun, fungsi kerja pupil akan mengalami penurunan 2/3 dari
pupil orang dewasa atau muda, penurunan tersebut meliputi ukuran –
ukuranpupil dan kemampuan melihat dari jarak jauh. Proses
akomodasi merupakan kemampuan untukmelihat benda – benda dari
jarak dekat maupun jauh
4. Manifestasi Klinis
Semakin bertambah usia seseorang semakin banyak terjadi
perubahan pada berbagai sistem dalam tubuh. Perubahan yang terjadi
cenderung mengarah pada penurunan berbagai fungsi tersebut. Pada
sistem saraf pusat terjadi pengurangan massa otak, aliran darah otak,
densitas koneksi dendritik, reseptor glukokortikoid hipokampal, dan
terganggunya autoregulasi perfusi. Timbul proliferasi astrosit dan
berubahnya neurotransmiter, termasuk dopamin dan serotonin. Terjadi
peningkatan aktivitas monoamin oksidase dan melambatnya proses
sentral dan waktu reaksi.
Pada fungsi kognitif terjadi penurunan kemampuan
meningkatkan fungsi intelektual; berkurangnya efisiensi transmisi saraf
di otak yang menyebabkan proses informasi melambat dan banyak
informasi hilang selama transmisi; berkurangnya kemampuan
mengakumulasi informasi baru dan mengambil informasi dari memori.
Kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan
kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi. ingat kejadian
yang baru saja terjadi. Pada fungsi penglihatan terjadi gangguan
adaptasi gelap; pengeruhan pada lensa: ketidakmampuan untuk fokus
pada benda-benda jarak dekat (presbiopia);berkurangnya sensitivitas
terhadap kontras dan lakrimasi. Hilangnya nada berfrekuensi tinggi
secara bilateral timbul pada funsgsi pendengaran. Di samping itu pada
usia lanjut terjadi kesulitan untuk membedakan sumber bunyi dan
terganggunya kemampuan membedakan target dari noise.
Pada sistem kardiovaskuler, pengisian ventrikel kiri dan sel
pacu jantung (pacemaker) di nodus SA berkurang; terjadi hipertrofi
atrium kiri; kontraksi dan relaksasi ventrikel kiri bertambah lama;
respons inotropik, kronotropik, terhadap stimulasi beta-adrenergik
berkurang; menurunnya curah jantung maksimal; peningkatan atrial
natriuretic peptide (ANP) serum dan resistensi vaskular perifer. (Pada
fungsi paru-paru terjadi penurunan forced expiration volume 1 second
(FEVI) dan forced volume capacity (FVC); berkurangnya efektivitas
batuk dan fungsi silia dan meningkatnya volume residual. Adanya
‘ventilation-perfusion mismatching’ yang menyebabkan PaO2 menurun
seiring bertambahnya usia : 100 – (0,32 x umur).
Pada fungsi gastrointestinal terjadi penururan ukuran dan
aliran darah ke hati, terganggunya bersihan (clearance) obat oleh hati
sehingga membutuhkan metabolisme fase I yang lebih ekstensif.
Terganggunya respons terhadap cedera pada mukosa lambung,
berkurangnya massa pankreas dan cadangan enzimatik, berkurangnya
kontraksi kolon yang efektif dan absorpsi kalsium. Menurunnya
bersihan kreatinin (creatinin clearance) dan laju filtrasi glomerulus
(GFR) 10ml/dekade terjadi dengan semakin bertambahnya usia
seseorang. Penurunan massa ginjal sebanyak 25%, terutama dari
korteks dengan peningkatan relative perfusi nefron jukstamedular.
Aksentuasi pelepasan anti diuretic hormone (ADH) sebagai respons
terhadap dehidrasi berkurang dan meningkatnya ketergantungan
prostaglandin ginjal untuk mempertahankan perfusi.
Pada saluran kemih dan kelamin timbul perpanjangan waktu
refrakter untuk ereksi pada pria, berkurangnya intensitas orgasme pada
pria maupun wanita, berkurangnya sekresi prostat di urin dan
pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna serta peningkatan
volume residual urin. Toleransi glukosa terganggu (gula darah puasa
meningkat 1 mg/dl/dekade; gula darah postprandial meningkat 10
mg/dl/dekade). Insulin serum meningkat, HbA1C meningkat, IGF-1
berkurang. Penurunan yang bermakna pada dehidroepiandrosteron
(DHEA), hormon T3, testosteron bebas maupun yang bioavailable, dan
produksi vitamin D oleh kulit serta peningkatan hormon paratiroid
(PTH). Ovarian failure disertai menurunnya hormone ovarium.
Pada sistem saraf perifer lanjut usia mengalami hilangnya
neuron motor spinal, berkurangnya sensasi getar, terutama di kaki,
berkurangnya sensitivitas termal (hangatdingin), berkurangnya
amplitudo aksi potensial yang termielinasi dan meningkatnya
heterogenitas selaput akson myelin. Massa otot berkurang secara
bermakna (sarkopenia) karena berkurangnya serat otot. Efek penuaan
paling kecil pada otot diafragma; berkurangnya sintesis rantai berat
miosin, inervasi, meningkatnya jumlah miofibril per unit otot dan
berkurangnya laju basal metabolic (berkurang 4%/dekade setelah usia
50). Pada sistem imun terjadi penurunan imunitas yang dimediasi sel,
rendahnya produksi antibodi, meningkatnya autoantibodi, berkurangnya
hipersensitivitas tipe lambat, berkurangnya produksi sel B oleh sumsum
tulang; dan meningkatnya IL-6 dalam sirkulasi.
Pada umumnya lansia mengalami depresi ditandai oleh mood
depresi menetap yang tidak naik, gangguan nyata fungsi atau aktivitas
seharihari, dan dapat berpikiran atau melakukan percobaan bunuh diri.
Pada lansia gejala depresi lebih banyak terjadi pada orang dengan
penyakit kronik, gangguan kognitif, dan disabilitas. Kesulitan
konsentrasi dan fungsi eksekutif lansia depresi akan membaik setelah
depresi teratasi. Gangguan depresi lansia dapat menyerupai gangguan
kognitif seperti demensia, sehingga dua hal tersebut perlu dibedakan.
Para lansia depresi sering menunjukkan keluhan nyeri fisik tersamar
yang bervariasi, kecemasan, dan perlambatan berpikir. Perubahan pada
lansia depresi dapat dikategorikan menjadi perubahan fisik, perubahan
dalam pemikiran, perubahan dalam perasaan, dan perubahan perilaku.
5. Patofisiologi
Patatofisologi yang terjadi pada setiap orang bisa berbedah, tetapi antara
lain mencangkup (Stanley, Mickey.2006)
a. Penurunan fungsi otonom yang berhubungan dengan usia dan
mungkin disertai hilangnya elastisatas dinding pembuluh darah
b. Gangguan dari aktivitas baro-refleks akibat tirah baring yang terlalu
lama. Keadaan ini sering terdapat pada penderita lansia yang tekanan
darahnya dipertahankan dengan vasokontriksi yang hamper maksimal
(misaknya setelah terkena infark miocard). Tak terdapat lagi cadangan
otot jantung , sehingga pada saat bangun tiudr tekanan tidak bisa
dipertahankan lagi.
c. Hipovalemia dan atau hiponatremia sebagai akibat berbagai keadaan,
antara lain pemberian diuretika
d. Berbagai obat yang bersifat hipotensif, antara lain tiasid dan diuretika,
fenotiasin, antidepresan trisiklik, butirofenon, lefodopa, dan
bromokriptin
e. Akibat berbagai penyakit yang menggangu saraf otonom.
6. Pemeriksaan Penunjang
Geriatri komprehensif mencakup: kesehatan fisik, mental, status
fungsional, kegiatan sosial, dan lingkungan.Tujuan asesmen ialah
mengetahui kesehatan penderita secara holistic supaya dapat
memberdayakan kemandirianpenderita selama mungkin dan mencegah
disabilitas-handicap diwaktu mendatang Asesmen ini bersifat tidak
sekedar multi-disiplin tetapi interdisiplin dengan koordinasi serasi antar
disiplin dan lintas pelayanan kesehatan (Darrmojo, B. 2009).
Anamnesis dilengkapi dengan berbagai gangguan yang terdapat :
menelan, masalah gigi, gigi palsu, gangguan komunikasi/bicara,
nyeri/gerak yang terbatas pada anggota badan dan lain-lain.
f. Penilaian sistem : Penilaian system dilaksanakan secara urut, mulai
dari system syaraf.
g. Pusat, saluran nafas atas dan bawah, kardiovaskular,
gastrointestinal (seperti inkontinensia alvi, konstipasi), urogenital
(seperti inkontinensia urin). Dapat dikatakan bahwa penampilan
penyakit dan keluhan penderita tidaktentu berwujud sebagai
penampilan organ yang terganggu.
h. Anamnesis tentang kebiasaan yang merugikan kesehatan (merokok,
minum alkohol).
i. Anamnesis Lingkungan perlu meliputi keadaan rumah tempat
tinggal.
j. Review obat-obat yang telah dan sedang digunakan perlu sekali
ditanyakan, bila perlu, penderita atau keluarganya.
k. Ada tidaknya perubahan perilaku.

Anamnesis Nutrisi:( Siti, Maryam Rdkk. 2008)


a. Pada gizi perlu diperhatikan :
1) Keseimbangan (baik jumlah kalori maupun makronutrien)
2) Cukup mikronutrien (vitamin dan mineral)
3) Perlu macam makanan yang beranekaragam.
4) Kalori berlebihan atau dikurangi disesuaikan dengan kegiatan
AHSnya, dengan tujuan mencapai berat badan ideal.
5) Keadaan gigi geli, mastikasi dan fungsi gastro-intestinal.
6) Apakah ada penurunan atau kenaikan berat badan.
b. Pengkajian Nutrisi (Kuswardhani, RAT. 2011)
Pengkajian nutrisi dilakukan dengan memeriksa indeks massa tubuh.
Rumus Indeks Masa Tubuh (IMT) : Berat Badan (kg)[Tinggi
Badan (m)2]2 IMT : 18-23 (normal).
7. Penatalaksanaan
Kondisi multipatologi mengakibatkan seorang usia lanjut mendapatkan
berbagai jenis obat dalam jumlah banyak. Terapi non-farmakologi dapat
menjadi pilihan untuk mengatasi masalah pada pasien usia lanjut,
namun obat tetap menjadi pilihan utama sehingga polifarmasi sangat
sulit dihindari. Prinsip penggunaan obat yang benar dan tepat pada usia
lanjut harus menjadi kajian multi/interdisiplin yang mengedepankan
pendekatan secara holistik (Siti, Maryam Rdkk. 2008).
a. Pengelolaan inkontinensia urin
Pengelolaan inkontinensia urin pada penderita usia lanjut, secara garis
besar dapat dikerjakan sebagai berikut (Suryanto, 2008).
1) Program rehabilitasi, antara lain:
a) Melatih perilaku berkemih.
b) Modifikasi tempat berkemih (komodo, urinal).
c) Melatih respons kandung kemih.
d) Latihan otot-otot dasar panggul.
2) Katerisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap
(indweling).
3) Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi kandung kemih,
estrogen.
4) Pembedahan, misalnya: untuk mengangkat penyebab sumbatan
atau keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan
lain-lain.
5) Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung
untuk kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan
bahan-bahan penyerap khusus untuk mengurangi dampak
inkontinensia.
b. Jatuh
Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau
mengeliminasi faktor risiko, penyebab jatuh dan menangani
komplikasinya. Penatalaksanaan ini harus terpadu dan membutuhkan
kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah
ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik dan lain-lain), sosiomedik dan
ahli lain yang terkait serta keluarga penderita. Penatalaksanaan
bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus karena
perbedaan faktor faktor yang mengakibatkan jatuh. Lebih banyak
pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktoral sehingga
diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi dan perbaikan
lingkungan. Pada kasus lain intervensi diperlukan untuk mencegah
terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan bepergian,
penggunaan alat bantu gerak dan sebagainya.
Faktor Pelindung Terhadap Cedera Retak.
1) Terapiestrogen
2) Berat badan setelah usia
3) Berjalan untuk latihan
4) Asupan kalsium yang cukup

Pengobatan untuk gangguan berjalan


1) Manajemen gangguan berjalan termasuk peningkatan
kemampuan fungsional dan pengobatan penyakit tertentu,namun
banyak kondisi yang menyebabkan kelainan gaya berjalan hanya
sebagian dapat diobati.
2) Peningkatan substansial terjadi dalam pengobatan gangguan
sekunder untuk vitamin B12 dan folat, penyakit tiroid, radang
sendi lutut, penyakit Parkinson dan polineuropati inflamasi.
3) Peningkatan Sedang, tetapi dengan cacat sisa, dapat terjadi
setelah perawatan bedah untuk myelopathy serviks, stenosis
lumbar, dan hidrosefalus tekanan normal.
c. Sleep Dsiturbance
1) Perawatan Non-farmakologis
a) Hilangkan faktor yang dicurigai: mengobati penyakit yang
mendasari, menghentikan atau mengubah obat,
menghentikan alkohol, kafein atau penggunaan nikotin.
b) Perubahan Kebiasaan: mengembangkan rutinitas persiapan
tidur, gunakan kamar tidur untuk tidur saja,
mengembangkan cerita tidur untuk mempromosikan
keadaan pikiran, mengurangi tidur siang hari, dan
mengembangkan latihan rutin sehari-hari.
2) Pengobatan farmakologis
a) Hanya direkomendasikan untuk penggunaan jangka pendek
pada pasien yang lebih tua.
b) Benzodiazepin dengan aksi pendek atau menengah seperti
Temazepam (7,5-15 mg), dengan jangka waktu maksimum
dua minggu untuk menghindari ketergantungan.
c) Antihistamin dapat diterima untuk digunakan sesekali,
namun cepat kehilangan khasiat.
d) Anti-depresan, misalnya, Trazadone, adalah pilihan yang
baik untuk insomnia kronis.
d. Pencegahan Komplikasi Imobilisasi
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi penatalaksanaan
farmakologik dan non farmakologik. Upaya non farmakologis
yang dapat dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik dan
latihan jasmani secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah
baring total, perubahan posisi secara teratur dan latihan di
tempat tidur. Selain itu, mobilisasi dini berupa turun dari tempat
tidur, berpindah dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional
dapat dilakukan secara bertahap. Untuk mencegah terjadinya
dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah menghilangkan
penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit. Untuk
itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 300 C, penggunaan
kasur anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga. Pada
pasien dengan kursi roda dapat dilakukan reposisi tiap jam atau
diistirahatkan dari duduk. Melatih pergerakan dengan
memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta mencegah
terjadinya gesekan juga dapat mencegah dekubitus.
Pemberian minyak setelah mandi atau mengompol dapat
dilakukan untuk mencegah maserasi. Kontrol tekanan darah
secara teratur dan penggunaan obat‐obatan yang dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini
perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi.
Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat
perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu
juga perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan
buang air besar pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu
diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada pasien
imobilisasi. Tata laksana farmakologis yang dapat diberikan
terutama pencegahan terhadap terjadinya trombosis. Pemberian
antikoagulan yaitu Low dose heparin (LDH) dan low molecular
weight heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan
efektif untuk pasien geriatri denganimobilisasi namun harus
mempertimbangkan fungsi hati, ginjal dan interaksi dengan obat
lain (Stanley, Mickey.2006).
e. Delirium
Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari, kecuali bila
sumber deliriumnya adalah reaksi putus zat alkohol atau sedatif
atau ketika agitasi yang berat tidak dapat dikontrol oleh obat
neuroleptik. Hal ini disebabkan karena benzodiazepin dapat
menyebabkan reaksi berkebalikan yang memperburuk delirium.
Reaksi berkebalikan yang diakibatkan oleh benzodiazepin
adalah sedasi yang berlebihan yang dapat menyulitkan penilaian
status kesadaran pasien itu sendiri (Dewi, S.R., 2014).
Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik, obat
yang sering dipakai pada kasus delirium adalah Haloperidol.
Haloperidol digunakan karena profil efek sampingnya yang
lebih disukai dan dapat diberikan secara aman melalui jalur oral
maupun parenteral. Dosis yang biasa diberikan adalah 0,5 - 1,0
mg per oral (PO) atau intra muscular maupun intra vena
(IM/IV); titrasi dapat dilakukan 2 sampai 5 mg tiap satu jam
sampai total kebutuhan sehari sebesar 10 mg terpenuhi. Setelah
pasien lebih baik kesadarannya atau sudah mampu menelan obat
oral maka haloperidol dapat diberikan per oral dengan dosis
terbagi 2-3 kali perhari sampai kondisi deliriumnya teratasi.
Haloperidol intravena lebih sedikit menyebabkan gejala
ekstrapiramidal daripada penggunaan oral (Stanley,
Mickey.2006).
f. Infeksi
Pengobatan infeksi pada lansia juga merupakan masalah karena
meningkatkan bahaya toksisitas obat antimikroba pada lansia.
Terapi antibiotik tergantung pada kuman patogen yang didapati.
Pasien harus dibantu dalam mengembangkan kesadaran
terhadap isyarat isyarat lingkungan dan bagaimana isyarat-
isyarat tersebut dapat membantu kekurangan informasi
dengarnya. Perlu diperagakan bagaimana struktur bahasa
menimbulkan hambatan-hambatan tertentu pada pembicara.
Petunjuk lingkungan, ekspresi wajah, gerakan tubuh dan sikap
alami cenderung melengkapi pesan yang diucapkan. Bila
informasi dengar yang diperlukan untuk memahami masih
belum mencukupi, maka petunjuk petunjuk lingkungan dapat
mengisi kekurangan ini. Seluruh aspek rehabilitasi pendengaran
harus membantu pasien untuk dapat berinteraksi lebih efektif
dengan lingkungannya. (Dini, A.A., 2013).
8. Komplikasi
Imobilisasi dapat mengakibatkan komplikasi pada sistem pernafasan
misalnya penurunan ventilasi, atelektasis dan pneumonia. Komplikasi
endokrin dan ginjal, peningkatan diuresis, natriuresis dan pergeseran
cairan ekstraseluler, intoleransi glukosa, hiperkalsemia dan kehilangan
kalsium, batu ginjal serta keseimbangan nitrogen negatif Komplikasi
gastrointestinal yang dapat timbul adalah anoreksia, konstipasi dan luka
tekan (ulkus dekubitus). Pada sistem saraf pusat, dapat terjadi deprivasi
sensorik, gangguan keseimbangan dan koordinasi (Rizka, 2015).
LAPORAN PENDAHULUAN DIABETES MELITUS

1. Pengertian
Diabetes Melitus Tipe II adalah gangguan metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia (kenaikan kadar glukosa) akibat kurangnya hormon
insulin, menurunnya efek insulin atau keduanya. (kowalak, dkk. 2016 ).
Diabetes melitus merupakan penyebab hiperglikemi. Hiperglikemi
disebabkan oleh berbagai hal, namun hiperglikemi paling sering
disebabkan oleh diabetes melitus. Pada diabetes melitus gula menumpuk
dalam darah sehingga gagal masuk kedalam sel. Kegagalan tersebut
terjadi akibat hormoninsulin jumlahnya kurang atau cacat fungsi.
Hormoninsulin merupakan hormon yang membantu masuknya gula
darah (WHO, 2016).
2. Etiologi
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insuline dan
gangguan sekresi insuline pada diabetis tipe II masih belum diketahui.
Faktor genetik diperkirakan memegang peran dalam proses terjadinya
resistensi insuline. Selain itu terdapat pula faktor-faktor risiko tertentu
yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe II. Faktor-
faktor ini adalah
1) Obesitas. Obesitas menurunkan jumlah reseptor insulin dari sel target
diseluruh tubuh sehingga insulin yang tersedia menjadi kurang efektif
dalam meningkatkan efek metabolik.
2) Usia.Resistensi unsilen cendrung Cenderung meningkat pada usia atas
65 tahun
3) Gestasional diabetes mellitus dengan kehamilan (diabetes melitus
gaestasional (DMG) adalah kehamilan normal yang di sertai dengan
peningkatan insulin resistensi (ibu hamil gagal mempertahankan
euglycemia). Pada golongan ini, kondisi diabetes di alami sementara
selama masa kehamilan Artinya kondisi diabetes atau intoleransi
glukosa pertama kali di dapat selama kehamilan, biasanya pada
trimester kedua atau ketiga (Brunner & suddarth.2015).

3. Klasifikasi Diabetik Mellitus menurut American Diabetis


Association adalah Sebagai Berikut
1) DM Tipe I Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolute, Autoimun, Idiopatik.
2) Tipe II Bervariasi mulai dari yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai defek insulin diserta resistensi insulin.
3) Tipe Lain : Defek genetik fungsi sel beta, Defek genetik kerja insulin:
resistensi insulin tipe A, leprechaunisme, sindrom rabson Mendenhal,
Penyakit eksokrin pancreas: pancreatitis, trauma/pankreatektomi,
neoplasma, fibrosis kistik, Endokrinopati: akromegali, sindrom
cushing, feokromositoma, Obat atau zat kimia: vacor, pentamidin,
asam nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid, tiazid,
Infeksi: rubella congenital , Imunologi (jarang): sindrom stiff-man,
anti bodi anti reseptor insulin , Sindrom genetik lain yang berkaitan
dengan DM
4) Diabetes Melitus Gestasional (Gestational diabetes melitus) GDM.
5%-10% penderita diabetes adalah tipe I Kurang lebih 90% hingga
95% penderita mengalami diabetes tipe I, yaitu diabetes yang tidak
tergantung insulin. awetan mendadak biasanya terjadi sebelum usia
30%. Diabetes tipe II terjadi akibat penurunan sensitivitas insulin
(yang disebut resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah
produksi insulin. Diabetes melitus tipe II umumnya disebabkan oleh
obesitas dan kekurangan olahraga faktor yang mempengaruhi
timbulnya diabetes melitus secara umum yaitu usia lebih dari 40
tahun, obesitas dan riwayat keluarga. (Brunner dan Suddarth, 2015)

4. Patofisiologi
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada
reseptor khusus dan meskipun kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja
glukosa tidak dapat masuk kedalam sel sehingga sel akan kekurangan
glukosa. Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa
dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat peningkatan jumlah
insulin yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta tidak
mampu mengimbanginya, maka kadar glukosa akan meningkat dan
terjadilah DM tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang
merupakan ciri khas diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin
dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan
produksi badan keton yang menyertainya. karena itu, ketoasidosis
diabetik tidak terjadi pada diabetis tipe II. (Brruner & suddarth, 2015)

5. Manifestasi Klinis
1) Poliuri
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane
dalam sel menyebabkan hiperglikemia sehinggaserum plasma
meningkat atau hiperosmolariti menyebabkancairan intrasel berdifusi
kedalam sirkulasi atau cairanintravaskuler, aliran darah ke ginjal
meningkat sebagai akibatdari hiperosmolaritas dan akibatnya akan
terjadi diuresis osmotic (poliuria)
2) Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler
menyebabkan penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah
dehidrasi sel. Akibat dari dehidrasi sel mulut menjadi kering dan
sensor haus teraktivasi menyebabkan seseorang haus terus dan ingin
selalu minum (polidipsia).
3) Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya
kadar insulin maka produksi energi menurun, penurunan energi akan
menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah seseorang
akan lebih banyak makan (poliphagia).
4) Penurunan berat badan
Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel
kekurangan cairan dan tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat
dari itu maka sel akan menciut, sehingga seluruh jaringan terutama
otot mengalami atrofidan penurunan secara otomatis.
5) Malaise atau kelemahan
Kesemutan, Lemas dan Mata kabur. (Brunner & Suddart, 2015)

6. Tanda dan Gejala


Menurut Paramita, 2011 tanda gejala pasien DM yaitu :
a. Ketoasidosis atau serangan diam- diam pada tipe 1
b. Yang Paling sering terjadi adalah keletihan akibat defisiensi
eneri dan keadaan katabolis
c. Kadang kadang tidak ada gejala (pada diabetes tipe 2
d. Dieuretik ostomotik yan disertai poliuria, dehidrasi, polidipsia,
selaput lendir, dan kekencangan kulit buruk
e. Pada Ketoasidosi dan keadaan non-ketotik hipermosmolar
hiperglikemik, dehidrasi berpotensi menyebabkan hipovolemia
dan syok
f. Jika diabetes tipe 1 tidak dikontrol, pasien mengalami penurunan
berat badan dan selalu lapar, padahal ia sudah makan sangat banyak
g. Gejala klasik :
 Poliuri
 Polidipsi
 Polifagi
h. Penurunan Berat Badan
i. Lemah
j. Kesemutan, rasa baal
k. Bisul / luka yang lama tidak sembuh
l. Keluhan impotensi pada laki-laki
m. Keputihan
n. Infeksi saluran kemih
7. Komplikasi
 Akut
a. Ketoasidosis diabetic
b. Hipoglikemi
c. Koma non ketotik hiperglikemi hiperosmolar
d. Efek Somogyi ( penurunan kadar glukosa darah pada malam hari
diikuti peningkatan rebound pada pagi hari )
e. Fenomena fajar / down phenomenon ( hiperglikemi pada pagi hari
antara jam 5-9 pagi yang tampaknya disebabkan peningkatan
sikardian kadar glukosa pada pagi hari )

 Komplikasi jangka panjang


a. Makroangiopati
 Penyakit arteri koroner ( aterosklerosis )
 Penyakit vaskuler perifer
 Stroke
b. Mikroangiopati
 Retinopati
 Nefropati
 Neuropati diabetik
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
 Pemeriksaan kadar serum
glukosa
a. Gula darah puasa :
Glukosa lebih dari 120 mg/dl pada 2x tes. Pada
pemeriksaan ini pasien harus berpuasa 8-10 jam sebelum
pemeriksaan dilakukan. Spesimen darah yang digunakan dapat
berupa serum atau plasma vena atau juga darah kapiler.
Pemeriksaan gula darah puasa dapat digunakan untuk
pemeriksaan penyaringan, memastikan diagnostik atau memantau
pengendalian DM. Nilai normal 70-110 mg/dl.
b. Gula darah 2 jam pp :
200 mg / dl. Pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan pada
pasien tanpa perlu diperhatikan waktu terakhir pasien pasien.
Spesimen darah dapat berupa serum atau plasma yang berasal
dari darah vena. Pemeriksaan gula darah sewaktu plasma vena
dapat digunakan untuk pemeriksaan penyaringan dan memastikan
diagnosa Diabetes Melitus. Nilai normal <200 mg/dl.
c. Gula darah sewaktu :
Lebih dari 200 mg / dl. Pemeriksaan ini sukar di
standarisasi, karena makanan yang dimakan baik jenis maupun
jumlah yang sukar disamakan dan juga sukar diawasi pasien
selama 2 jam untuk tidak makan dan minum lagi, juga
selama menunggu pasien perlu duduk,

istirahat yang tenang, dan tidak melakukan kegiatan jasmani yang


berat serta tidak merokok. Untuk pasien yang sama, pemeriksaan
ini bermanfaat untuk memantau DM. Nilai normal <140 mg/dl.
 Tes toleransi glukosa
Nilai darah diagnostik : kurang dari 140 mg/dl dan hasil 2 jam serta
satu nilai lain lebih dari 200 mg/ dlsetelah beban glukosa 75 gr
 HbA1C
> 8% mengindikasikan DM yang tidak terkontrol
 Pemeriksaan kadar glukosa urin
Pemeriksaan reduksi urin dengan cara Benedic atau
menggunakan enzim glukosa . Pemeriksaan reduksi urin positif
jika
9. Penatalaksanaan
1). Terapi Non Farmakologi
a). Diet untuk pasien Diabetes Melitus meliputi :
Tujuan Diet Penyakit Diabetes melitus adalah membantu pasien
memperbaiki kebiasaan makan dan olahraga untuk mendapatkan
kontrol metabolik yang lebih baik, dengan cara: Mempertahankan
kadar glukosa darah supaya mendekati normal dengan
menyeimbangkan asuhan makanan dengan insulin, Mencapai dan
mempertahankan kadar lipida serum normal, Memberi cukup energi
untuk mempertahankan atau mencapai berat badan normal,
Menghindari atau menangani komplikasi akut pasien yang
menggunakan insulin seperti hipoglikemia, meningkatkan derajat
kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal
Syarat diet: Energi cukup untuk mencapai dan mempertahankan
berat badan normal, Kebutuhan protein normal, yaitu 10-15% dari
kebutuhan energi total, Kebutuhan lemak sedang, yaitu 10-15%
dari kebutuhan energi total, Kebutuhan karbohidrat adalah sisa dari
kebutuhan energi total, yaitu 60-70%, Penggunaan gula alternatif
dalam jumlah terbatas, Asupan serat dianjurkan 25g/hari dengan
mengutamakan serat larut air yang terdapat dalam sayur dan buah,
Pasien DM dengan tekanan darah normal diperbolehkan
mengonsumsi natrium dalam bentuk garam dapur seperti orang
sehat yaitu 3000mg/hari. Cukup vitamin dan mineral.
Bahan makanan yang boleh dianjurkan untuk diet DM: Sumber
karbohidrat kompleks : Seperti nasi, Roti, Kentang, Ubi, Singkong
dan sagu, Sumber Protein Redah Lemak : seperti ikan, ayam tanpa
kulit, susu skim, tempe dan kacang-kacangan, Sumber lemak dalam
jumlah terbatas. Makanan terutama dengan cara dipanggang,
dikukus, disetup, direbus dan dibakar.
Bahan-bahan makanan yang tidak dianjurkan
(Dibatasi/dihindari): Mengandung banyak gula sederhana seperti :
Gula pasir, Gula Jawa, sirop, jeli, buah-buahan yang diawetkan
dengan gula, susu kental manis, minuman botol ringan dan es krim,
Mengandung banyak lemak seperti cake, makanan siap saji,
gorengan-gorengan, Mengandung banyak natrium : seperti ikan
asin, makanan yang diawetkan.
b). Latihan Jasmani
Pada penyandang diabetes tipe II yang obesitas, latihan dan
penatalaksanaan diet akan memperbaiki metabolisme glukosa serta
meningkatkan penghilang lemak tubuh. Latihan yang digabung dengan
penurunan BB akan memperbaiki sensitivitas insulin dan menurunkan
kebutuhan pasien terhadap insuline atau obat hipoglikemia oral. Pada
akhirnya, toleransi glukosa dapat kembali normal. Penderita diabetes
tipe II yang tidak mengguanakan insuline mungkin tidak memerlukan
makanan ekstra sebelum melakukan latihan.
c). Pendidikan kesehatan
Edukator bagi pasien diabetes yaitu pendidikan dan pelatihan
mengenai pengetahuan dan keterampilan yang bertujuan menunjang
perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan
penyakitnya, yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat yang
optimal. Penyesuaian keadaan psikologik kualifas hidup yang lebih
baik. (Bare & Suzanne, 2002)
2). Terapi Farmakologi
a) Sulfonilurea. Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :
Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan, Menurunkan
ambang sekresi insulin.Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat
rangsangan glukosa. Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien
dengan BB normal dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya
sedikit lebih.
b) Insulin: Indikasi pengobatan dengan insulin adalah: Semua penderita
DM dari setiap umur (baik IDDM maupun NIDDM) dalam keadaan
ketoasidosis atau pernah masuk kedalam ketoasidosis, DM dengan
kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan diet
(perencanaan makanan), DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat
hipoglikemik oral dosif maksimal. Dosis insulin oral atau suntikan
dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan – lahan sesuai
dengan hasil glukosa darah pasien. Bila sulfonylurea atau metformin
telah diterima sampai dosis maksimal tetapi tidak tercapai sasaran
glukosa darah maka dianjurkan penggunaan kombinasi sulfonylurea
dan insulin. Dosis pemberian insulin pada pasien dengan DM:

Jenis obat :Kerja cepat (rapid acting) retensi insulin 5-15 menit
puncak efek 1-2 jam, lama kerja 4-6 jam. Contoh obat: insuli
lispro( humalo), insulin aspart, Kerja pendek ( sort acting) awitan 30-
60 menit, puncak efek 2-4 jam, lama kerja 6-8 jam, kerja menengah
(intermediate acting) awitan 1,5-4 jam, puncak efek 4-10 jam, lama
kerja 8-12 jam), awitan 1-3 jam, efek puncak hampir tanpa efek, lama
kerja 11-24 jam. Contoh obat: lantus dan levemir.Hitung dosis insulin
Rumus insulin: insulin harian total = 0,5 unit insulin x BB
pasien ,Insulin prandial total( IPT) = 60% , Sarapan pagi 1/3 dari IPT,
Makan siang 1/3 dari IPT, Makan malam 1/3 dari IPT
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
1). Identitas
Identitas merupakan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang: jati diri
seseorang. Identitas klien meliputi 1) Nama; sangat penting untuk
menjalin sebuah hubungan komunikasi yang baik dan mempermudah
dalam hal sapa menyapa. 2) Umur; pentingnya diketahui umur pada
lansia sangat berkaitan erat dengan kemampuan aktivitas fisik seorang
lansia. 3) Jenis kelamin; perlu diketahui untuk bisa membedakan mana
yang perlu ditanyakan mengenai laki-laki dan perempuan. 4) Agama;
sangat diperlukan dalam hal kerohanian misalnya katolik berhubungan
dengan doa rosario dan lain-lain. 5) Suku bangsa; berhubungan denga
adat istiadat dan bahasa yang digunakan setiap hari. 6) Alamat; untuk
mengetahui tempat tinggal sebelum masuk di Panti dan apakah tempat
yang dulu menyenangkan atau tidak. 7) Tanggal masuk Panti; penting
untuk diketahui berapa lama berada di Panti. 8) Tanggal pengkajian;
diketahui untuk dapat menentukan rencana asuhan keperawatan berapa
hari kedepannya, dan kesedian lansia untuk dikaji. 9) Diagnosa medis;
untuk mengetahun penyakit apa yang diderita lansia tersebut.

2). Keluhan Utama


Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk Panti.
Data yang dapat ditemukan: nyeri pada pinggul, lemah, letih, kesulitan
bergerak, tidak nyaman, mata kabur, kram otot

3). Riwayat Kesehatan Saat Ini:


Meliputi perjalanan penyakit yang dialami pasien saat ini, berapa lama
penyakit sudah dialami, gejala yang dialami selama menderita penyakit
saat ini dan perawatan yang sudah dijalani untuk mengobati penyakit
saat ini. Disamping itu apakah saat ini pasien memiliki pola hidup yang
tidak sehat seperti minum kopi, merokok, alkohol, sering konsumsi
makanan manis, dan keseharian dengan beban psikis.

4). Riwayat Kesehatan Keluarga


Meliputi status kesehatan anggota keluarga yang lain, apakah ada
keluarga yang mengalami sakit serupa yaitu diabetes mellitus dengan
pasien saat ini, atau penyakit keturunan lainnya.

5). Riwayat Lingkungan Hidup


Pengkajian ini merupakan bentuk pengkajian yang bertujuan untuk
mengidentifikasi pengaruh lingkungan terhadap kesehatan pasien,
faktor lingkungan yang ada keterkaitanny dengan sakit yang dialami
pasien saat ini dan kemungkinan masalah yang dapat terjadi akibat
pengaruh lingkungan. Data pengkajian dapat meliputi kebersihan dan
kerapian ruangan, penerangan, sirkulasi udara, keadaan kamar mandi
dan WC, pembuangan air kotor, sumber air minum, pembuangan
sampah, sumber pencemaran, penataan halaman, privasi, resiko injury.

6). Riwayat Kesehatan Dahulu


Pengkajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perjalanan penyakit
yang sebelumnya pernah dialami oleh pasien, sehingga dapat dijadikan
acuan dalam analisis sakit yang saat ini pasien alami dan dalam
penentuan pengobatan selanjutnya. Data yang dapat dikaji berupa
penyakit yang pernah diderita, riwayat alergi, riwayat kecelakaan,
riwayat dirawat di Panti, riwayat pemakaian obat. Apakah sewaktu
sehat pasien memiliki kebiasaan yang buruk misalnya merokok, minum
kopi, alcohol, sering makan-makanan yang manis atau makanan dengan
kolesterol tinggi.

7). Tinjauan Sistem


a) Keadaan umum
Saat dilakukan inspeksia biasanya ditemukani kondisi seperti tingkat
ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran kualitatif atau GCS dan
respon verbal klien (Pasien harus waspada dan sadar akan waktu,
tempat dan orang. Disorientasi terjadi pada gangguan otak (misalnya
delirium, demensia), stroke, dan trauma fisik. Pasien letargi
umumnya mengantuk dan mudah tertidur, terlihat mengantuk, dan
merespon pertanyaan dengan sangat lambat. Pasien stupor hanya
merespon jika digoncang dengan keras dan terus menerus dan hanya
dapat member jawaban yang terdengar seperti menggerutu tidak
jelas. Pasien yang sama sekali tidak sadar (pasien koma) tidak
merespon stimulus dari luar ataupun nyeri. Pada respon motorik
ketika di panggil pasien langsung merespon dan respon mata
langsung melihat ke arah yang di panggil, melakukan pengukuran
tanda-tanda vital seperti peningkatan glukosa dalam darah > 140
mg/dL dapat ditemukan, dan dilanjutkan dengan pemeriksaan heat to
toe
b). Kepala
Untuk daerah kepala, mata, hidung, telinga dan heler penulis
melakukan pemeriksaan dengan metode Inspeksi dan Palpasi saja;
saat Inspeksi terlihat bentuk kepala, warna rambut, terdapat lesi,
ketombe pada rambut dan kebersihan kepala; pada mata bentuk mata,
kesimetrisan mata kiri dan kanan, konjungtiva; bentuk telinga kiri
dan kanan, kelainan pada telinga. kelainan hidung, adanya mimisan,
kotor atau bersih; adanya kelainan pada leher, adanya lesi,
edema,kemerahan dan palpasi apakah ada pembersaran kelenjar
tiroid, dan JVP; sedangka saat dilakukan palpasi untuk mengetahui
apakah terdapat nodul; apakah terjadi edema atau pembengkakan
pada mata.apakah ada nyeri tekan dan adanya kotoran di daerah
telinga; di daerah sinus hidung apakah terjadi nyeri tekan; dan
pengukuran vena jugulari pada leher.
c). Dada
Dada : Inspeksi : bentuk dada normal diameter anterior posterior-
transversal 1:2, ekspansi simetris, sifat pernapasan dada dan perut,
frekuensi pernapasan 22x/menit, ritme pernapasan eupnea,tidak ada
retraksi dinding dada. Palpasi : tidak ada nyeri tekan, ekspansi dada
simetrisi, Perkusi : suara perkusi sonor batas organ sisi dada kiri dari
atas ke bawah ditemukan sonor/resonan-tympani: ICS 7/8 (paru-paru
dan lambung), pada sisi dada kanan ICS 4/5 (paru dan hati), dinding
posterior: supraskapula (3-4 jari dipundak), Askultasi: suara nafas
vesikuler terdengar disemua lapang paru normal, bersifat halus,
inspirasi lebih panjang dari ekspirasi.
g). Sistem Kardiovaskuler
Jantung: Inspeksi: tampak denyut nadi daerah apeks, Palpasi : apeks
teraba pada interkosta V, apeks segaris dengan midclavicula kiri,
Perkusi Batas jantung: batas atas pada ics III, batas bawah ICS V,
batas kiri pada midclavicularis atau 4 jari dari midsternum, batas
kanan sejajar sejajar sisi sternum kanan, Auskultasi : S1 terdengar
bunyi lub pada ruang ICS V seblah kiri sternum diatas apeks, S2
terdengar bunyi dub pada ICS II seblah kanan sternum
h). Gastrointestinal/Abdomen
Inspeksi bentuk abdomen apakah terjadi kelainan, adanya lesi. Sedangkan
palpasi dilakuakan dengan palpasi ringan atau palpasi dalam tergantung
tujuan untuk mengetahui bentuk, ukuran, dan konsistensi organ-organ
dan struktur-struktur dalam perut, palpasi ringan dilakuakan untuk
mengetahui area-area nyeri tekan dan adanya massa, palpasi dalam
dilakukan untuk mengetahui keadaan hepar, lien, ginjal, dan kandung
kemih. Lakukan perkusi di empat kuadran dan perhatikan suara yang
timbul pada saat melakukannya dan bedakan batas-batas dari organ
dibawah kulit. Organ berongga seperti lambung, usus, kandung kemih
berbunyi timpani, sedangkan bunyi pekak terdapat pada hati, limfa,
pankreas, ginjal.Tehnik perkusi yaitu pertama kali yakinkan tangan
pemeriksa hangat sebelum menyentuh perut pasien Kemudian tempatkan
tangan kiri dimana hanya jari tengah yang melekat erat dengan dinding
perut. Selanjutnya diketok 2-3 kali dengan ujung jari tengah tangan
kanan. Lakukanlah perkusi pada keempat kuadran untuk memperkirakan
distribusi suara timpani dan redup. Biasanya suara timpanilah yang
dominan karena adanya gas pada saluran gastrointestinal, tetapi cairan
dan faeces menghasilkan suara redup. Pada sisi abdomen perhatikanlah
daerah dimana suara timpani berubah menjadi redup. Periksalah daerah
suprapublik untuk mengetahui adanya kandung kencing yang teregang
atau uterus yang membesar. Perkusilah dada bagian bawah, antara paru
dan arkus costa, Anda akan mendengar suara redup hepar disebelah
kanan, dan suara timpani di sebelah kiri karena gelembung udara pada
lambung dan fleksura splenikus kolon. Suara redup pada kedua sisi
abdomen mungkin menunjukkan adanya asites. Auskultasi abdomen
dengan normal bising usus 15-35 x/menit:Letakkan kepala stetoskop sisi
diafragma yang telah dihangatkan di daerah kuadran kiri bawah. Berikan
tekanan ringan, minta pasien agar tidak berbicara. Bila mungkin
diperlukan 5 menit terus menerus untuk mendengar sebelum pemeriksaan
menentukan tidak adanya bising usus.

Dengarkan bising usus apakah normal, hiperaktif, hipoaktif, tidak


ada bising usus dan perhatikan frekwensi/karakternya; Bila bising
usus tidak mudah terdengar, lanjutkan pemeriksaan dengan
sistematis dan dengarkan tiap kuadran abdomen. Dan dilanjutkan
dengan menggunakan gunakan sisi bel stetoskop, untuk
mendengarkan bunyi desiran dibagian epigastrik dan pada tiap
kuadran diatas arteri aortik, ginjal, iliaka, femoral dan aorta torakal.
Pada orang kurus mungkin dapat terlihat gerakan peristaltik usus
atau denyutan aorta.
i). Extremitas
ispeksi bentuk ekstremitas apakah ada kelainan bentuk, adanya lesi,
edema, dan kemerahan. Palpasi apakah ada nodul dan nyeri tekan
pada daerah ekstremitas atas dan bawah.

Review of System (B6)


Pemeriksaan Review Of System (ROS)
a) Sistem pernafasan (B1: Breathing)
Pada Diabetes Mellitus dapat ditemukan peningkatan frekuensi
nafas atau dalam batas normal.
b) Sistem sirkulasi (B2: Bleeding)
Kaji adanya penyakit jantung, frekuensi nadi apikal, sirkulasi
perifer, warna, dan kehangatan.
c) Sistem persyarafan (B3: Brain)
Kaji adanya hilang gerakan/sensasi, spasme otot, terlihat
kelemahan/hilang fungsi. Pergerakan mata/kejelasan melihat,
dilatasi pupil. Agitasi (mungkin berhubungan dengan
nyeri/ansietas).
d) Sistem perkemihan (B4: Bladder)
Perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urin, dysuria,
distensi kandung kemih, warna dan bau urin, dan kebersihannya.
Dapat ditemukan adanya retensi cairan, penurunan output urine.
e) Sistem pencernaan (B5: Bowel)
Ditemukan adanya peningkatan peristaltic usus, nafsu makan
meningkat, berat badan menurun, diare dan nyeri abdomen.
f) Sistem musculoskeletal (B6: Bone)
Kaji adanya nyeri berat tiba-tiba/mungkin terlokalisasi pada area
jaringan, dapat berkurang pada imobilisasi, kontraktur atrofi otot,
laserasi kulit dan perubahan warna.
8). Pengkajian Psikososial dan Spiritual
a). Psikososial
Jelaskan kemampuan sosialisasi klien pada saat sekarang, sikap klien
pada orang lain, harapan- harapan klien dalam melakukan sosialisasi
b). Identifikasi masalah emosional seperti: kesulitan tidur, merasa
gelisah, murung dan menangis, kuatir banyak pikira,masalah
dengan keluarga, menggunakan obat tidur/penenang atas anjuran
dokter, mengurung diri, jiak lebih dari atau sama 1 jawaban “ya”
memiliki Masalah Emosional Positif (+)

9). Pengkajian Fungsional Klien (INDEKS KATZ)


Mengamatai kemandiri dalam makan, kontinensia (BAB/BAK),
menggunakan pakaian, pergi ke toilet, berpindah dan mandi apakah
mandiri semuanya kecuali salah satu dari fungsi diatas, atau mandiri
kecuali mandi dan salah satu fungsi lain, mandiri kecuali mandi,
berpakaian dan salah satu fungsi diatas, mandiri kecuali mandi,
berpakaian, ke toilet dan salah satu fungsi yang lain, mandiri kecuali
mandi, berpakaian, ke toilet, berpindah dan satu fungsi yang lain atau
ketergantungan untuk semua fungsi dengan catatan Mandiri berarti tanpa
pengawasan, pengarahan atau bantuan efektif dari orang lain, seseorang
yang menolak untuk melakukan suatu fungsi dianggap tidak melakukan
fungsi, meskipun ia dianggap mampu Modifikasi Dari Barthel Indeks
Dengan
No Kriteria Mandiri Keterangan
Bantuan
Makan Frekuensi ;
1 5 10 Jumlah :
Jenis :
minum Frekuensi :
2 5 10 Jumlah :
Jenis :
Berpindah dari kursi
3 roda ketempat tidur/ 5-10 15
sebaliknya
Persona toilet (cuci Frekuensi:
muka, menyisir
4 0 5
rambut, menggosok
gigi)
Keluar masuk toilet
(mencuci pakaian,
5 5 10
menyeka tubuh,
menyiram)
6 mandi 5 15
7 Jalan diperukaan datar 0 5 Frekuensi :
8 Naik turun tangga 5 10
9 Menggunakan Pakaian 5 10
Kontrol Bowel (BAB) Frekuensi?
10 5 10
Konsistensi?
Control Bladder Frekuensi?
11 5 10
(BAK) Warna?

Keterangan : 110 : Mandiri, 65-105: Ketergantungan Sebagian, ≤

10). Pengkajian Status Mental Gerontik

a).Identifikasi tingkat intelektual dengan short portable mental


status questioner (SPSMQ)
Instruksi :
Ajukan pertanyaan 1-10 pada daftar ini dan catat semua
jawaban. Catat jumlah kesalahan total berdasarkan total
kesalahan berdasarkan 10 pertanyaan.

NO PERTANYAAN BENAR SALAH

1 Tanggal berapa hari ini

2 Hari apa sekarang

3 Apa nama tempat ini

4 Alamat anda?

5 Berapa umur anda?

6 Kapan anda lahir (minimal tahun lahir)

7 Siapa presiden indonesia sekarang?

8 Siapa presiden ndonesia sebelumnya?


9 Siapa nama ibu anda?

10 Kurangi 3 dari 20 dan tetap pengurangan 3


dari setiap angka baru, semua secara
menurun

Jumlah
Interpretasi Hasil :

1) Salah 0 – 3 : Fungsi intelektual utuh


2) Salah 4 - 5 : Kerusakan intelektual ringan
3) Salah 6 - 8 : Kerusakan intelektual sedang
4) Salah 9 - 10 : Kerusakan intelektual berat

b). Identifikasi aspek kognitif dan fungsi mental dengn


menggunakan MMSE (Mini Mental Status Exam)
Interpretasi hasil > 23 : aspek kognitif dari fungsi mental
baik 18-22 : kerusakan aspek fungsi mental ringan, 
17 :terdapat kerusakan aspek fungsi mental berat

13. Diagnosa Keperawatan


Diagnosa umum yang muncul pada pasien Diabetes Melitus :
 Defisit nutrisi berhubungan dengan defisiensi insulin, penurunan
intake oral, status hipermetabolisme
 Ketidakseimbangan kadar glukosa darah berhubungan dengan
penggunaan insulin atau obat glikemik oral
 Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan gangguan
penglihatan karena glaukoma
14. INTERVENS KEPERAWATAN
Standart Diagnosa
Standart Luaran Keperawatan
No. Keperawatan Standart Intervensi Keperawatan Indonesia
Indonesia
Indonesia
1. (D.0019) Status Nutrisi (L.03030) Manajemen Nutrisi (I. 03119)
Defisit nutrisi Setelah diberikan intervensi Observasi
berhubungan dengan keperawatan selama ….kali, status 1. Identifikasi status nutrisi
defisiensi insulin, nutrisi membaik dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
penurunan intake - Berat badan sesuai IMT 3. Identifikasi makanan yang disukai
oral, status - Porsi makan yang cukup sesuai 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
hipermetabolisme kebutuhan tubuh 5. Identifikasi perlunya penggunaan selang
- Frekuensi makan membaik nasogastrik
6. Monitor asupan makanan
7. Monitor berat badan
8. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
2. Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis.
Piramida makanan)
3. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang
sesuai
4. Berikan makan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
5. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
6. Berikan suplemen makanan, jika perlu
7. Hentikan pemberian makan melalui selang
nasigastrik jika asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang
diprogramkan Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
(mis. Pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan,
jika perlu

Manajemen Hiperglikemia (I. 03115)


Observasi
2. Identifikasi kemungkinan penyebab hiperglikemia
3. Identifikasi situasi yan gmenyebabkan kebutuhan
insulin meningkat
4. Monitor kadar glukosa darah
5. Monitor tanda dan gejala hiperglikemi
6. Monitor input dan output
cairan Terapeutik
1. Berikan asupan cairan oral
2. Konsultasi dengan medis jika ada tanda gejala
hiperglikemia tetap ada atau memburuk
Edukasi
1. Anjurkan menghindari olah raga saat kadar glukosa
darah lebih dari 250mg/dL
2. Anjurkan monitor kadar glukosas darah secara
mandiri
3. Anjurkan kepatuhan terhadap diet dan olahraga
4. Ajarkan pengelolaan diabetes (mis. dengan insulin)
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian insulin
2. (D.0027) Kestabilan Kadar Glukosa Darah (L. Manajemen Hiperglikemia (I. 03115)
Ketidakstabilan kadar 03022) Observasi
glukosa darah Setelah diberikan intervensi 7. Identifikasi kemungkinan penyebab hiperglikemia
berhubungan dengan keperawatan selama ….kali, kadar 8. Identifikasi situasi yan gmenyebabkan kebutuhan
penggunaan insulin glukosa darah berada pada rentang insulin meningkat
atau obat glikemik normal dengan kriteria hasil : 9. Monitor kadar glukosa darah
oral - Mengantuk menurun 10. Monitor tanda dan gejala hiperglikemi
- Ousing menurun 11. Monitor input dan output
- Lelah/lesu menurun cairan Terapeutik
- Kadar glukosa dalam darah 3. Berikan asupan cairan oral
membaik 4. Konsultasi dengan medis jika ada tanda gejala
- Kesadaran membaik hiperglikemia tetap ada atau memburuk
Edukasi
5. Anjurkan menghindari olah raga saat kadar glukosa
darah lebih dari 250mg/dL
6. Anjurkan monitor kadar glukosas darah secara
mandiri
7. Anjurkan kepatuhan terhadap diet dan olahraga
8. Ajarkan pengelolaan diabetes (mis. dengan
glaukoma meningkat 1. Diskusikan
insulin) tingkat toleransi terhadap beban
Kolaborasi
- Tanda- vital dalam batas Kolaborasi pemberian
sensori (mis. bising,insulin
terlalu terang)
3. (D.0085) tanda Sensori (L.09083)
Persepsi 2.Minimalisasi
Batasi stimulus lingkungan(I.08241)
Rangsangan (mis. cahaya,
Gangguan persepsi normal diberikan
Setelah intervensi suara, aktivitas)
Observasi
sensori berhubungan keperawatan selama ….kali, persepsi 3.Periksa
Jadwalkan aktivitas
status mental,harian
statusdan waktudan
sensori, istirahat
tingkat
dengan gangguan sensori membaik dengan kriteria hasil : 4.kenyamanan
Kombinasikan prosedur/tindakan
(mis. nyeri, kelelahan) dalam satu
penglihatan karena - Verbalisasi melihat bayangan Terapeutik
waktu, sesuai kebutuhan
Edukasi
Ajarkan cara meminimalisasi stimulus (mis.
mengatur pencahayaan ruangan, mengurangi
kebisingan, membatasi kunjungan)
Kolaborasi
1. Kolaborasi dalam meminimalkan
prosedur/tindakan
2. Kolaborasi pemberian obat yang mempengaruhi
persepsi stimulus
15. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan (Implementasi) adalah kategori dari perilaku
keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan
danhasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan
dandiselesaikan. Implementasi mencakup melakukan, membantu,
ataumengarahkan kinerja aktivitas kehidupan sehari-hari, memberikan
asuhanperawatan untuk tujuan yang berpusat pada klien (Potter & Perry,
2005). Pelaksanaan keperawatan pada Diabetes Melitus dikembangkan
untuk memantau tanda-tanda vital, melakukan latihan rentang pergerakan
sendi aktif dan pasif, meminta klien untuk mengikuti perintah sederhana,
memberikan stimulus terhadap sentuhan, membantu klien dalam
personalhygiene, dan menjelaskan tentang penyakit, perawatan dan
pengobatan Diabetes Melitus.

16. Evaluasi

Menurut Craven dan Hirnle (2000) evaluasi merpakan keputusan dari


efektifitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan keperawatan yang
telah ditetapkan dengan respon perilaku lansia yang tampilkan.

1). Penilaian keperawatan adalah mengukur keberhasilan dari rencana,


dan pelaksanaan tindakan keperawatan dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan lansia, maka beberapa kegiatan yang harus diikuti oleh
perawat, antara lain: Mengkaji ulang tujuan klien dan kriteria hasil yang
telah ditetapkan, Mengumpulkan data yang berhubungan dengan hasil
yang diharapkan. Mengukur pencapaian tujuan. Mencatat keputusan atau
hasil pengukuran pencapaian tujuan, Melakukan revisi atau modifikasi
terhadap rencana keperawatan bila perlu.

2). Evaluasi hasil: Evaluasi ini berfokus pada respons dan fungsi klien.
Respons perilaku lansia merupakan pengaruh dari intervensi keperawatan
dan akan terlihat pada pencapaian tujuan dan kriteria hasil. Cara
membandingkan antara SOAP (Subjektive-Objektive-Assesment-Planning)
dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan. S (Subjective)
adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari lansia setelah tindakan
diberikan. O (Objective) adalah informasi yang didapat berupa hasil
pengamatan, penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah
tindakan dilakukan. A (Assessment) adalah membandingkan antara
informasi subjective dan objective dengan tujuan dan kriteria hasil,
kemudian diambil kesimpulan bahwa masalah teratasi, teratasi sebagian,
atau tidak teratasi.P (Planning) adalah rencana keperawatan lanjutan yang
akan dilakukan berdasarkan hasil analisi.
Daftar Pustaka

American Diabetes Association. (2017). “Standards of Medical Care in Diabetes 2017”.


Vol. 40. USA : ADA
Brunner & Suddarth , 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah. Terjemahan
Suzanne C. Smeltzer. Edisi 8. Vol 8. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Brunner & Suddarth , 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah. Terjemahan Suzanne
C. Smeltzer. Edisi 8. Vol 9. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Bare, Suzanne 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8,
Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo…(dkk), EGC, Jakarta.
Cigolle CT, Langa KM, Kabeto MU, Tian Z, Blaum CS. 2007. Geriatric conditions and
disability: the health and retirement study. American College of Physicians.
147(3):156-164.
Craven & Hirnle. 2000. Fundamentals of Nursing. Philadelphia: Lippincott
Darmojo &Martono, (2009). Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Lanjut Usia). Jakarta :
Balai Penerbit FKUI
Depkes RI. (2005). Pedoman Pembinaan Kesehatan Lansia Bagi Petugas
Kesehatan I. Jakarta
Dini A.(2013). Sindrom geriatri (imobilitas, instabilitas,gangguan Intelektual,
inkontinensia, infeksi, malnutrisi, Gangguan pendengaran). Lampung:Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung
International Diabetes Federation (IDF). 2015. IDF Diabetes Atlas - 7th
Edition. ywww.diabetesatlas.org
Kane RL,Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B. 2008. Essentials of clinical geriatris.
6th ed. New York, NY: McGraw-Hill.
Kemenkes Ri. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:
Balitbang Kemenkes Ri
Kowalak, dkk. 2016. Buku Ajar Patofisiologi. Terjemahan oleh Renata
Komalasari. 2011. Jakarta: Buku Kedokteran EG
Nugroho (2006). Keperawatan Gerontik. Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017
Edisi 10 editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta:
EGC.
Potter, P.A, Perry, A.G.Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses,
dan Praktik.Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata
Komalasari,dkk.Jakarta:EGC.2005
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2019. Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia.
Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standart Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Vina. 2015. LP Geriatric Syndrom. http://docslide.us/document/lp-
geriatricsyndrome-vina.html diakses pada tanggal 22 April 2021
Yogiantoro, M. 2006. Diabetes dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Edisi
IV.Jakarta.
Yulianti. 2015. Laporan Pendahuluan Gerontology “Geriatric Syndrome”.
http://docshare03.docshare.tips/files/26793/267934371.pdf. Diakses pada 22
April 2021

Anda mungkin juga menyukai