Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Lansia

1. Pengertian

Lansia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur

kehidupan manusia. Menurut UU No. 13/Tahun 1998 tentang

Kesejahteraan Lansia disebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang

telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Dewi, 2014).

2. Klasifikasi

Menurut Depkes RI (2003, dalam Dewi, 2014) lansia

diklasifikasikan dalam kategori sebagai berikut:

a. Pralansia (prasenilis), seseorang yang berusia antara 4–59 tahun.

b. Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

c. Lansia resiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau

lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah

kesehatan.

d. Lansia potensial, lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan

dan/ ataukegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa.

Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya mencari nafkah

sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

3. Karakteristik

Menurut Dewi (2014) lansia memiliki tiga karakteristik sebagai

berikut :
a. Berusia lebih dari 60 tahun.

b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai

sakit, dari kebutuhan biopsikososial hingga spiritual, serta dari

kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif.

c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

4. Tugas Perkembangan Lansia

Menurut Ericksoon dalam Dewi (2014) kesiapan lansia untuk

beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap perkembangan usia lanjut

dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya.

Apabila seseoarang dalam tahap tumbuh kembang sebelumnya

melakukan kegiatan sehari–hari dengan teratur dan baik serta membina

hubungan yang serasi dengan orang–orang disekitarnya, maka pada usia

lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan pada tahap

perkembangan sebelumnya seperti olahraga, mengembangkan hobi

bercocok tanam dan lain-lain.

Adapun tugas perkembangan lansia menurut Dewi (2014) adalah

sebagai berikut:

a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun

b. Mempersiapkan diri untuk pensiun

c. Membentuk hubungan baik dengan orang yang seusianya

d. Mempersiapkan kehidupan baru

e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial /masyarakat

secara santai

f. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan.


B. Konsep Menua

1. Pengertian Menua

Menua merupakan proses yang berangsur–angsur mengakibatkan

perubahan yang kumulatif, merupakan proses penururnan daya tahan

tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang

berakhir dengan kematian (Dewi, 2014).

2. Teori Menua

Menurut Dewi (2014) ada beberapa teori yang berkaitan dengan

proses penuaan, yaitu teori biologis, teori psikologis, dan teori sosiologi.

a. Teori biologi

1) Teori genetik

Teori genetik menyebutkan bahwa penuaan terutama dipengaruhi

oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan pada pembentukan

kode genetik. Menurut teori genetika, penuaan adalah suatu proses

yang secara tidak sadar diwariskan yang berjalan dari waktu ke

waktu untuk mengubah sel atau struktur jaringan. Dengan kata lain,

perubahan tentang hidup dan panjang usia telah ditentukan

sebelumnya.

2) Wear and tear theory

Menurut teori “pemakaian dan perusakan” (wear and tear theory)

disebutkan bahwa proses menua terjadi akibat kelebihan usaha dan

stres yang menyebabkan sel tubuh menjadi lelah dan tidak mampu

meremajakan fungsinya. Proses menua merupakan porses

fisiologis.
3) Teori nutrisi

Proses menua dan kualitas proses menua dipengaruhi intake nutrisi

seseoarang sepanjang hidupnya. Intake nutrisi yang baik pada

setiap tahap perkembangan akan membantu meningkatkan kualitas

seseorang.

4) Teori mutasi somatik

Penuaan terjadi karena adanya mutasi somatik akibat pengaruh

lingkungan yang buruk. Terjadi kesalahan dalam proses transkripsi

DNA dan RNA dan dalam proses translasi RNA protein/enzim.

Kesalahan ini terjadi terus menerus sehingga akhirnya akan terjadi

penurunan fungsi organ atau perubahan sel normal meliputi sel

kanker atau penyakit.

5) Teori stres

Menua terjadi akibat hilangnya sel–sel yang biasa digunakan

tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan

lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stres yang menyebabkan

sel–sel tubuh lelah terpakai.

6) Slow immunology theory

Menurut teori ini, sistem imun menjadi efektif dengan

bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh yang dapat

menyebabkan kerusakan organ tubuh.

7) Teori radikal bebas

Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya

radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen


bahan–bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini

menyebabkan sel–sel tidak dapat melakukan generasi.

8) Teori rantai silang

Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel–sel

yang tua dan usang menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya

jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan penurunan elastisitas,

kekacauan, dan hilangnya fungsi sel.

b. Teori psikologis

1) Teori kebutuhan dasar manusia

Menurut hierarki Maslow tentang kebutuhan dasar manusia, setiap

manusia memiliki kebutuhan dan berusaha untuk memenuhi

kebutuhannya itu. Ketika individu mengalami proses menua, ia

akan berusaha memenuhi kebutuhan di piramida tertinggi menurut

hierarki Maslow yaitu aktualisasi diri.

2) Teori individualisme jung

Menurut teori ini kepribadian seseorang tidak hanya berorieantasi

pada dunia luar namun juga pengalaman pribadi. Keseimbangan

merupakan faktor yang sangat penting untuk menjaga kesehatan

mental. Menurut teori ini proses menua dikatakan berhasil apabila

seorang individu melihat ke dalam dan nilai dirinya lebih dari

sekedar kehilangan atau pembatasan fisiknya.

3) Teori pusat kehidupan manusia

Teori ini berfokus pada identifikasi dan pencapaian tujuan

kehidupan seseorang menurut lima fase perkembangan, yaitu:


a) Masa anak–anak; belum memiliki tujuan hidup yang realistik

b) Remaja dan dewasa muda; mulai memiliki konsep tujuan hidup

yang spesifik

c) Dewasa tengah; mulai memiliki tujuan hidup yang lebih

kongkrit dan berusaha untuk mewujudkannya

d) Usia pertengahan; melihat ke belakang, mengevaluasi tujuan

yang telah dicapai

e) Lansia; saatnya berhenti untuk melakukan pencapaian tujuan

hidup.

4) Teori tugas perkembangan

Menurut tugas tahapan perkembangan ego Erickson, tugas

perkembangan lansia adalah integrity versus despair. Jika lansia

menemukan arti dari hidup yang dijalaninya, maka lansia akan

memiliki integritas ego untuk menyesuaikan dan mengatur proses

menua yang dialaminya. Jika lansia tidak memiliki integritas

makan ia akan marah, depresi, dan merasa tidak adekuat dengan

kata lain mengalami keputusasaan.

c. Teori sosiologi

1) Teori interaksi sosial

Menurut teori ini, pada lansia terjadi penurunan kekuasaan dan

prestise sehingga interaksi sosial mereka juga berkurang, yang

tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan mereka untuk

mengikuti perintah.

2) Teori penarikan diri


Kemisikinan yang diderita lansia dan menurunnya derajad

kesehatan mengakibatkan seorang lansia perlahan–lahan menarik

diri dari pergaulan di sekitarnya.

3) Teori aktivitas (activity theory)

Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung pada

bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan

aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting

dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan.

4) Teori berkesinambungan (continuity theory)

Menurut teori ini, setiap orang pasti berubah menjadi tua namun

kepribadian dasar dan pola perilaku individu tidak akan mengalami

perubahan. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat

merupakan gambarannya kelas pada saat menjadi lansia.

5) Subculture theory

Menurut teori ini lansia dipandang sebagai bagian dai sub kultur.

Secara antropologis, berarti lansia memiliki norma dan standar

budaya sendiri. Standar dan norma budaya ini meliputi perilaku,

keyakinan, dan harapan yang membedakan lansia dari kelompok

lainnya.

3. Perubahan Sistem Organ Tubuh Akibat Menua

Perubahan organ akibat proses menua dijelaskan sesuai sistem organ

tubuh. Kata “fungsi’ mengarah pada kemampuan lansia untuk melakukan

aktivitas sehari–hari. ADL dan aktivitas sehari–hari independen (IADL)

yang berpengaruh terhadap kehidupan individu lansia. Lansia mengalami


perubahan akibat proses menua (Dewi, 2014). Berikut adalah perubahan –

perubahan sistem organ tubuh akibat proses menua:

a. Sistem cardiovaskular

1) Jantung

a) Kekuatan otot jantung menurun

b) Katub jantung mengalami penebalan dan menjadi lebih kaku

c) Nodus sinotrial yang bertanggung jawab terhadap kelistrikan

jantung menjadi kurang efektif dalam menjalankan tugasnya

dan impuls yang dihasilkan melemah

2) Pembuluh darah

a) Dinding arteri menjadi kurang alestis

b) Dinding kapiler menebal sehingga menyebabkan melambatnya

pertukaran antara nutrisi dan zat sisa metabolisme antara sel

dan darah

c) Dinding pembuluh darah yang semakin kaku akan

meningkatkan tekanan darah sitolik maupun diastolik

3) Darah

a) Volume darah menurun sejalan penurunan volume cairan tubuh

akibat proses menua

b) Penurunan jumlah sel darah merah, kadar hematokrit dan kadar

hemoglobin

c) Kontraksi jantung melemah, volume darah yang dipompa

menurun, dan cardiac output penurunan sekitar 1% per tahun

dari volume cardiac output orang dewasa normal sebesar 5 liter


b. Sistem pernafasan

1) Cavum thorak

a) Cavum thorak mejadi kaku seiring dengan proses kalsifikasi

kartilago

b) Vertebrae thorakalis mengalami pemendekan dan osteoporosis

menyebabkan postur bungkuk yang akan menurunkan ekspansi

paru dan membatasi pergerakan thorak

2) Otot bantu pernafasan

a) Otot abdomen melemah sehingga menurunkan usaha nafas baik

inspirasi maupun ekspirasi

3) Perubahan intrapulmonal

a) Daya recoil paru semakin manurun seiring pertambahan usia

b) Alveoli melar dan menjadi lebih tipis, dan walaupun jumlahnya

konstan, jumlah alveoli yang berfungsi menurun secara

keseluruhan

c) Peningkatan ketebalan membran alveoli–kapiler, menurunkan

area permukaan fungsional untuk terjadinya pertukaran gas

c. Sistem muskuloskeletas

1) Struktur tulang

a) Penurunan massa tulang menyebabkan tulang menjadi rapuh

dan lemah

b) Columna vertebralis mengalami kompresi sehingga

menyebabkan penuruna tinggi badan


2) Kekuatan otot

a) Regenerasi jaringan otot berjalan lambat dan massa otot

berkurang

b) Otot lengan dan betis mengecil berglambir

c) Seiring dengan inaktivitas otot kehilangan fleksiblitas dan

ketahanannya

3) Sendi

a) Keterbatasan rentang gerak

b) Kartilago menipis sehingga sendi menjadi kaku, nyeri dan

mengalami inflamasi

d. Sistem integumen

1) Kulit

a) Elastisitas kulit menurun, sehingga kulit berkerut dan kering

b) Kulit menipis sehingga fungsi kulit sebagai pelindung bagi

pembuluh darah yang terletak dibawahnya berkurang

c) Lemak subkutan menipis

d) Penumpukan melanosit, menyebabkan terbentuknya pigmentasi

yang dikenal sebagai “aged spot”

2) Rambut

a) Aktivitas folikel rambut menurun sehingga rambut menipis

b) Penurunan melanin sehingga terjadi perubahan warna rambut

3) Kuku

a) Penurunan aliran darah ke kuku menyebabkan bantalan kuku

menjadi tebal, keras dan rapuh dengan garis longitudinal


4) Kelenjar keringat

a) Terjadi penurunan ukuran dan jumlah

e. Sistem gastrointestinal

1) Cavum oris

a) Reabsorbsi tulang bagian rahang dapat menyebabkan

tanggalnya gigi sehingga menurunkan kemampuan mengunyah

b) Lansia yang mengenakan gigi palsu harus mengecek ketepatan

posisinya

2) Esofagus

a) Reflek telan melemah sehingga meningkatkan resiko aspirasi

b) Melemahnya otot halus sehingga memperlambat waktu

pengosongan

3) Lambung

a) Penurunan sekresi asam lambung menyebabkan gangguan

absorbsi besi, vitamin B12, dan protein

4) Intestinum

a) Peristaltik menurun

b) Melemahnya peristaltik usus menyebabkan inkompetensi

pengosongan bowel

f. Sistem genitourinaria

1) Fungsi ginjal

a) Aliran darah ke ginjal menurun karena penurunan cardiac

output dan laju filtrasi glomerulus menurun


b) Terjadi gangguan dalam kemampuan mengkonsentrasikan

urine

2) Kandung kemih

a) Tonus otot menghilang dan terjadi gangguan pengosongan

kandung kemih

b) Penurunan kapasitas kandung kemih

3) Miksi

a) Pada pria, dapat terjadi peningkatan frekuensi miksi akibat

pembesaran prostat

b) Pada wanita, peningkatan frekuensi miksi dapat terjadi akibat

melemahnya otot perineal

4) Reproduksi wanita

a) Terjadi atropi vulva

b) Penurunan jumlah rambu pubis

c) Sekresi vaginal menurun, dinding vagina menjadi tipis dan

kurang elastic

5) Reproduksi pria

a) Ukuran testis mengecil

b) Ukuran prostat membesar

g. Sistem persarafan

1) Neuron

a) Terjadi penurunan jumlah neuron di otak dan batang otak

b) Sintesa dan metabolisme neuron berkurang

c) Massa otak berkurang secara progresif


2) Pergerakan

a) Sensasi kinestetik berkurang

b) Gangguan keseimbangan

c) Penurunan reaction time

3) Tidur

a) Dapat terjadi insomnia dan mudah terbangun di malam hari

b) Tidur dalam (tahap IV) dan tidur REM berkurang

h. Sistem sensori

1) Penglihatan

a) Penurunan kemampuan memfokuskan objek dekat

b) Terjadi peningkatan densitas lensa, dan akumulasi lemak di

sekitar iris, menimbulkan adanya cincin kuning keabu–abuan

c) Produksi air mata menurun

d) Penurunan ukuran pupil dan sensitivitas pada cahaya

e) Kemampuan melihat di malam hari menurun, iris kehilangan

pigmen sehingga bola mata berwarna biru muda atau keabu–

abuan

2) Pendengaran

a) Penurunan kemampuan untuk mendengarkan suara

berfrekuensi tinggi

b) Serumen mengandung banyak keratin sehingga mengeras

3) Perasa

a) Penurunan kemampuan untuk merasakan rasa pahit, asin dan

asam
4) Peraba

a) Penurunan kemampuan untuk merasakan nyeri ringan dan

perubahan suhu

C. Konsep Nyeri

1. Pengertian Nyeri

Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan

maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang

mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang

pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007 dalam Arfa, 2014). Menurut

International Association for Study of Pain (IASP), nyeri sebagai suatu

sensori subjektif dan pengalaman perasaan emosional yang tidak

menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau

menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

2. Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri disebut nosiseptor yang merupakan ujung-ujung saraf

bebas, tidak bermielin atau sedikit bermielin dari neuron afferen.

Nosiseptor tersebar luas pada kulit dan mukosa dan terdapat pula pada

struktur yang lebih dalam seperti visera, persendian, dinding arteri, hati

dan kandung empedu. Nosiseptor memberi respon yang terpilih terhadap

stimulasi yang membahayakan seperti stimulasi kimia, thermal, listrik

atau mekanis. Yang tergolong stimulasi kimia terhadap nyeri adalah

histamin, bradikinin, prostaglandin, substansi P serta bermacam-macam

asam. Sebagian bahan tersebut dilepaskan oleh jaringan yang rusak.

Jaringan yang rusak tersebut menyebabkan terjadinya anoksia yang dapat


menimbulkan persepsi nyeri. Selain jaringan yang rusak, spasme otot juga

dapat menimbulkan nyeri karena menekan pembuluh darah pada daerah

yang terjadi anoksia tersebut. Pembengkakan jaringan juga dapat

menyebabkan nyeri karena tekanan (stimulasi mekanik) kepada

nociceptor yang menghubungkan jaringan (Insaffita, 2005 dalam Arfa,

2014).

3. Faktor–faktor yang mempengaruhi Nyeri

a. Usia

Menurut Potter dan Perry (2006) dalam Arfa (2014) usia adalah

variabel penting yang mempengaruhi nyeri terutama pada anak,

remaja dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan yang ditemukan

antara kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak,

remaja dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Sedangkan menurut

Tamsuri (2007) dalam Arfa (2014) menyatakan bahwa anak-anak

lebih kesulitan untuk memahami nyeri sedangkan orang dewasa

kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami

kerusakan fungsi.

b. Jenis Kelamin

Hidayat (2006) dalam Arfa (2014) menyatakan bahwa arti nyeri bagi

seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir sebagian

mengartikan nyeri merupakan hal yang negatif, seperti

membahayakan, merusak dan lain-lain. Keadaan ini lebih sering

dipengaruhi oleh jenis kelamin. Menurut Burn, dkk (1989) yang

dikutip dalam Potter dan Perry (2006) dalam Arfa (2014) bahwa
kebutuhan narkotik post operative pada wanita lebih banyak

dibandingkan dengan pria. Ini menunjukkan bahwa individu berjenis

kelamin perempuan lebih mengartikan negatif terhadap nyeri.

c. Kebudayaan

Ernawati (2010) dalam Arfa (2014) menyatakan bahwa orang akan

belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon

terhadap nyeri. (Ex: suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri

adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan

kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika merasakan nyeri).

d. Pengalaman masa lalu dengan nyeri

Bagi beberapa orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak

terselesaikan, seperti pada nyeri berkepanjangan atau kronis dan

persisten (Smeltzer dan Bare, 2002 dalam Arfa, 2014).

e. Perhatian

Tingkat perhatian seorang klien memfokuskan perhatiannya pada

nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat

akan meningkatkan respon nyeri , sedangkan upaya distraksi

dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi,

guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri (Prasetyo,

2010 dalam Arfa, 2014).

f. Ansietas (Kecemasan)

Hubungan antara nyeri dan cemas bersifat kompleks, cemas

meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan

seseorang cemas (Prasetyo, 2010 dalam Arfa, 2014). Pernyataan yang


sama juga dikemukakan oleh Gill (1990) yang dikutip dalam Ernawati

(2010) dalam Arfa (2014), yang melaporkan adanya suatu bukti

bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang

diyakini mengendalikan emosi seseorang. Sistem limbik dapat

memproses reaksi emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk atau

menghilangkan nyeri.

4. Respon Nyeri

a. Respon Psikologis

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahamanan klien

terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Arti nyeri bagi

setiap individu berbeda-beda antara lain : Bahaya atau merusak,

komplikasi seperti infeksi, penyakit yang berulang, penyakit baru,

penyakit yang fatal, peningkatan ketidakmampuan dan kehilangan

mobilitas (Smeltzer dan Bare, 2002 dalam Arfa, 2014).

b. Respon Fisiologis

Prasetyo (2010) dalam Arfa (2014) menyatakan bahwa pada saat

impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan

thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian

dari respon sterss. Stimulasi tersebut menghasilkan respon fisiologis

tubuh sebagai berikut:

Tabel 2.1 Perbedaan Respon Simpatis dan Parasimpatis

Respon Fisiologis Tubuh Terhadap Nyeri

Respon simpatis a. Dilatasi saluran bronchial dan

peningkatan respirasi rate.


b. Peningkatan heart rate.

c. Vasokontriksi perifer (pucat,

peningkatan tekanan darah).

d. Peningkatan glukosa darah.

e. Diaphoresis.

f. Peningkatan kekuatan otot.

g. Dilatasi pupil.

h. Penurunan motilitas gaster

intestinal.

Respon parasimpatis a. Muka pucat.

b. Otot mengeras.

c. Penurunan denyut jantung dan

tekanan darah.

d. Nafas cepat dan irregular.

e. Nausea dan vomitus.

f. Kelelahan dan keletihan.

c. Respon Tingkah Laku

Menurut Potter dan Perry (2006) dalam Arfa (2014): secara umum

respon pasien terhadap nyeri terbagi atas respon perilaku dan respon

yang dimanifestasikan oleh otot dan kelenjar otonom. Respon perilaku

diantaranya:

1) Secara vocal: merintih, menangis, menjerit, bicara terengah-engah

dan menggerutu.
2) Ekspresi wajah: meringis, merapatkan gigi, mengerutkan dahi,

menutup rapat atau membuka lebar mata atau mulut, menggigit

bibir dan rahang tertutup rapat.

3) Gerakan tubuh: kegelisahan, immobilisasi, ketegangan otot,

peningkatan pergerakan tangan dan jari, melindungi bagian tubuh.

4) Interaksi sosial: menghindari percakapan, hanya berfokus pada

ntuk aktivitas penurunan nyeri, menghindari kontak sosial,

berkurangnya perhatian.

5. Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat dikelompokkan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis.

Nyeri akut biasanya datang tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cedera

spesifik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan penyembuhan.

Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung beberapa detik

hingga enam bulan (Smeltzer dan Bare 2002 dalam Arfa, 2014).

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap

sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai

awitan yang ditetapkan dan sering sulit untuk diobati karena biasanya

nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan

pada penyebabnya. Nyeri kronis sering didefinisikan sebagai nyeri yang

berlangsung selama enam bulan atau lebih (Smeltzer dan Bare 2002

dalam Arfa, 2014).

Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronik

Memperingatkan
Tujuan Tidak ada
adanya cedera atau
masalah

Terus menerus atau


Awitan Mendadak
intermiten

Intensitas Ringan sampai berat Ringan sampai berat

Durasi singkat (dari


Durasi lama (enam
Durasi beberapa detik sampai
bulan atau lebih)
enam bulan)

a. Konsistensi dengan

respon simpatis.

b. Frekuensi jantung

meningkat.

c. Volume sekuncup

meningkat.

d. Tekanan darah

meningkat.
Tidak terdapat respon
Respon otonom e. Dilatasi pupil
otonom
meningkat.

f. Tegangan otot

meningkat.

g. Motalitas

gastrointestinal

menurun.

h. Aliran saliva

menurun (mulut
kering).

a. Depresi

b. Mudah marah.

c. Menarik diri dari


Komponen psikologis Ansietas
minat dunia luar.

d. Menarik diri dari

persahabatan.

a. Tidur terganggu.

b. Obido menurun.
Respon jenis lainnya
c. Nafsu makan

menurun.

Contoh Nyeri bedah, trauma Nyeri kanker, arthritis

Tabel 2.2 Perbedaan Nyeri Akut dan Kronik

Hidayat (2006) dalam Arfa (2014) menyatakan bahwa selain

klasifikasi nyeri diatas, terdapat pula jenis nyeri lain yang spesifik,

diantaranya nyeri somatis dalam (deep somatic pain), nyeri viseral, nyeri

kutaneus/supeficial (cutaneus pain), nyeri psikogenik, reffered pain, nyeri

phantom dari ekstremitas dan nyeri neurologis.

D. Konsep Gout Arthritis

1. Pengertian Gout Arthritis

Gout bisa diartikan sebagai sebuah penyakit dimana terjadi

penumpukan asam urat dalam tubuh secara berlebihan, baik akibat

produksi yang meningkat, pembuangan yang menurun, atau akibat


peningkatan asupan makanan kaya purin. Gout ditandai dengan serangan

berulang arthritis (peradangan sendi) yang akut, kadang-kadang disertai

pembentukan kristal natrium urat besar yang dinamakan tophus,

deformitas (kerusakan) sendi secara kronis dan cidera (Naga 2012, dalam

Sofiyulloh, 2015).

Arthrtis gout adalah suatu sindrom klinis yang mempunyai gambran

khusus, yaitu arthritis akut, artritis gout lebih banyak terdapat pada pria

dari pada wanita, pada pria seringkali mengenai usia pertengahan,

sedangkan pada wanita biasanya mendekati masa menopouse (Mansjoer

2009, dalam Sofiyulloh, 2015).

Dari definisi diatas, penyakit asam urat dapat disempulkan penyakit

yang disebabkan karena meningkatnya kadar asam urat dalam tubuh yang

umumnya lebih banyak menyerang pada laki-laki, serangan asam urat ini

ditandai dengan peradangan sendi yang akut yaitu berupa rasa nyeri seperti

ditusuk-tusuk pada sendi yang sakit secara terus menerus atau saat

aktivitas.

2. Etiologi

Menurut Mansjoer (2012) dalam Sofiyulloh (2015), gejala artritis

akut disebabkan oleh reaksi inflamasi jaringan terhadap pembentukan

kristal monosodium urat monohidrat, karena itu dilihat dari penyebabnya,

penyakit ini termasuk dalam golongan metabolik, kelainan ini

berhubungan dengan gangguan kinetik asam urat hiperurisemia.

Hiperuresemia pada penyakit ini terjadi karena:


a. Pembentukan asam urat yang berlebihan

1) Gout primer metabolik, disebakan sintesis langsung yang bertambah

2) Gout sekunder metabolik, disebabkan pembentukan asam urat

berlebihan karena penyakit lain seperti leukemia.

b. Kurangnya pengeluaran asam urat melalui ginjal

1) Gout primer renal, terjadi karena gangguan ekskresi asam urat

ditubuh distal yang sehat, penyebab ini tidak diketahui

2) Gout sekunder renal, disebabkan oleh kerusakan ginjal, misalnya

pada gromerulonefritis

3) Perombakan dalam usus yang berkurang. Namun, secara klinis hal

ini tidak penting

Sedangkan menurut sustrani (2005) dalam Sofiyulloh (2015), faktor

yang berpengaruh sebagai penyebab asam urat adalah

a. Faktor keturunan

b. Diet tinggi protein dan makanan kaya senyawa purin lainnya seperti

daging, makanan laut, kacang-kacangan, bayam, jamur dan kembang

kol

c. Akibat konsumsi alkohol berlebihan

d. Hambatan dari pembuangan asam urat karena penyakit tertentu,

terutama gangguan ginjal

e. Penggunaan obat tertentu yang meningkatkan kadar asam urat, terutama

diuretika (furosemida dan hidroklorotiazida)

f. Penggunaan antibiotika berlebihan

g. Penyakit tertentu pada darah seperti leukimia dan polisitomia


h. Faktor lain seperti stres, diet ketat, cidera sendi, darah tinggi dan olah

raga berlebihan

3. Pathofisiologi

Adanya gangguan metabolisme purin dalam tubuh, intake bahan

yang mengandung asam urat tinggi dan sistem ekskresi asam urat yang

tidak adekuat akan menghasilkan akumulasi asam urat yang berlebihan di

dalam plasma darah (Hiperurecemia), sehingga mengakibatkan kristal

asam urat menumpuk dalam tubuh. Penimbunan ini menimbulkan iritasi

lokal dan menimbulkan respon inflamasi.

Saat asam urat menjadi bertumpuk dalam darah dan cairan tubuh

lain, maka asam urat tersebut akan mengkristal dan akan membentuk

garam-garam urat yang akan berakumulasi atau menumpuk di jaringan

konektif diseluruh tubuh, penumpukan ini disebuttofi. Adanya kristal akan

memicu respon inflamasi akut dan netrofil melepaskan lisosomnya.

Lisosom tidak hanya merusak jaringan, tapi juga menyebabkan inflamasi.

Pada penyakit gout akut tidak ada gejala-gejala yang timbul. Serum urat

meningkat tapi tidak akan menimbulkan gejala. Lama kelamaan penyakit

ini akan menyebabkan hipertensi karena adanya penumpukan asam urat

pada ginjal.

Serangan akut pertama biasanya sangat sakit dan cepat memuncak.

Serangan ini meliputi hanya satu tulang sendi. Serangan pertama ini sangat

nyeri yang menyebabkan tulang sendi menjadi lunak dan terasa panas,

merah. Tulang sendi metatarsophalangeal biasanya yang paling pertama

terinflamasi, kemudian mata kaki, tumit, lutut dan tulang sendi pinggang.
Kadang-kadang gejalanya disertai dengan demam ringan. Biasanya

berlangsung cepat tetapi cenderung berulang dan dengan interval yang

tidak teratur.

Periode interkritical adalah periode dimana tidak ada gejala selama

serangan gout. Kebanyakan pasien mengalami serangan kedua pada bulan

ke-6 sampai 2 tahun setelah serangan pertama. Serangan berikutnya

disebut dengan polyarticular yang tanpa kecuali menyerang tulang sendi

kaki maupun lengan yang biasanya disertai dengan demam. Tahap akhir

serangan gout atau gout kronik ditandai dengan polyarthritis yang

berlangsung sakit dengan tofi yang besar pada kartilago, membrane

sinovial, tendon dan jaringan halus. Tofi terbentuk di jari, tangan, lutut,

kaki, ulnar, helices pada telinga, tendon achiles dan organ internal seperti

ginjal. Kulit luar mengalami ulcerasi dan mengeluarkan pengapuran,

eksudat yang terdiri dari kristal asam urat (Sofiyulloh, 2015).

4. Manifestasi Klinis

Menurut Mansjoer (2009) dalam Sofiyulloh (2015), Secara klinis

ditandai denagan adanya artritis, tofi, dan batu ginjal. Yang penting

diketahui bahwa asam urat sendiri tidak akan mengakibatkan kristal

monosodium urat, pengendapannya dipengaruhi oleh suhu dan tekanan,

oleh sebab itu, sering terbetuk tofi pada daerah-daerah telinga, siku, lutut.

Pada telinga misalnya, karena permukaannya yang lebar dan tipis serta

mudah tertiup angin, kristal-kristal tersebut mudah mengedap dan menjadi

tofi, demikian pula di tempat lainnya, tofi itu sendiri terjadi dari kristal-
kristal urat yang dikelilingi oleh benda-benda asing yang meradang,

termasuk sel-sel raksasa.

Serangan seringkali terjadi pada malam hari, biasanya sehari

sebelumnya pasien tampak segar bugar tanpa keluhan. Tiba-tiba tengah

malam terbangun oleh rasa sakit yang hebat sekali. Daerah khas yang

sering mendapat sering mendapat serangan adalah pangkal ibu jari kaki

sebelah dalam.

5. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium darah

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar asam urat yang tinggi

dalam darah (> 6 mg%). Kadar asam urat normal dalam serum pada

pria 8 mg% dan pada wanita 7 mg% pemeriksaan kadar asam urat ini

akan lebih tepat lagi bila dilakukan dengan cara enzimatik. Kadang-

kadang didapatkan leukosit ringan dan LED meninggi sedikit, kadar

asam urat dalam urin juga sering tinggi (500 mg%/liter per 24 jam)

b. Pemiriksaan cairan tofi

Pemeriksaan cairan tofi, juga penting untuk mengakkan diagnosis,

cairan tofi adalah cairan berwarna putih seperti susu dan kental sekali

sehingga sukar diaspirisasi, diagnosis dapat dipastikan bila ditemukan

gambaran kristal asam urat (bentuk lidi) pada pemeriksaan mikroskopik

(Mansjoer,2009 dalam Sofiyulloh, 2015).

6. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan medik
Menurut Mansjoer (2009) dalam Sofiyulloh (2015), penatalaksanaan

pada asam urat dibagi menjadi dua:

1) Penatalaksanaan secara akut

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan

pasien dengan serangan akut artithis gout. Yang pertama bahwa

pengobatan serangan akut dengan atau tanpa hiperuresemia tidak

berbeda. Juga diperhatikan agar penurunan asam urat serum tidak

dilakukan tergesa-gesa karena penurunan secara mendadak

seringkali mencentusakan serangan lain atau mempersulit

penyembuhan. Obat yang diberikan pada serangan akut antara lain:

a) Kolkisin

Merupakan obat pilihan utama dalam pengobatan artrithis gout

maupun pencegahannya dengan dosis lebih rendah. Efek samping

yang sering ditemui diantaranya sakit perut diare mual atau

muntah-muntah. Kolkisin bekerja pada peradangan terhadap

kristal urat dengan menghambat kemotaksis sel radang. dosis oral

0,5-0,6 ml/jam sampai nyeri mual atau diare hilang. Kemudian

obat dihentikan, biasanya pada dosis 4-6 mg, maksimal 8 gram.

Kontra indikasi pemberian oral jika terdapat inflamatory bowel

diseases. Dapat diberikan intravena pada pasien yang tidak dapat

menelan dengan dosis 2-3 mg/hari, makasimal 4 mg. Hati-hati

karena potensi toksisitas berat. Kontra indikasinya pada pasien

ginjal atau hati.

b) OAINS
Semua jenis OAINS dapat diberikan, yang paling sering

digunakan adalah indometasin. Dosis awal indometasin 25-50 mg

setiap 8 jam diteruskan sampai gejala menghialang (5-10 hari).

Kontra indikasinya jika terdapat ulkus peptikum aktif, gangguan

fungsi ginjal dan riwayat alergi terhadap OAINS. Kolkisin dan

OAINS tidak dapat mencegah akumulasi asam urat, sehingga tofi,

batu ginjal dan arthritis gout menahun yang destruktif dapat

terjadi setelah beberapa tahun.

c) Kortikosteroid

Untuk pasien yang tidak dapat memakai OAINS oral, jiak sendi

yang terserang monoartikular, pemberian intraartikular sangat

efektif, contohnya triamsinolon 10-40 mg intraaktikular untuk

gout poliartikular, dapat diberikan secara intravena

(metilpredinsolon 40mg/hari, tapering off! Hari) atau oral

(prednison 40-60mg/hari, tapering off! Hari). Mengingat

kemungkinan terjadi artritis septik, maka harus dilakukan aspirasi

sendi dan sedian apus gram dari cairan sendi sebelum diberikan

kortikosteroid.

d) Analgesik

Diberikan bila rasa nyeri sangat berat. Janan diberikan aspirin

karena dalam dosis rendah akan menghambat ekskresi asam urat

dari ginjal dan memperberat hiperuresimia.

e) Tirah baring
Merupakan suatu keharusan dan diteruskan sampai 24 jam setelah

serangan menghilang artrithis gout dapat kambuh jbila terlalu

cepat bergerak.

2) Penatalaksanaan periode antara

Bertujuan mengurangi endapaan urat dalam jaringan dan

menurunkan frekuensi serta keparahan serangan.

a) Diet

Dianjurkan menurunkan berat badan pada pasien yang gemuk,

serta diet rendah purin (tidak usah terlalu ketat). Hindari alkohol

dan makanan tinggi purin (hati, ginjal, ikan, sarden, daging

kambing, dan sebagainya), termasuk manis. Perbanyak minum.

Pengeluran urin 2 liter/hari atau lebih akan membatu pengeluaran

asam urat dan mengurangi pembentukan endapan disaluran

kemih.

b) Hindari obat-obatan yang mengakibatkan peningkatan kadar asam

urat seperti tiazid. Diuretik, aspirin. Dan asam mekotinat yang

menghambat ekskresi asam urat dari ginjal.

c) Kolkisisn secara teratur diindikasikan untuk:

(1) Mencegah serangan gout yang akan datang. Obat ini tidak

mempengaruhi tingginya kadar asam urat namun

menurunkan frekuensi terjadinya seranagan.

(2) Menekan serangan akut yang dapat terjadi akibat perubahan

mendadak dari kadar asam urat serum dalam pemakaian obat

urikosuri atau allopurinol.


d) Penurunan kadar asam urat serum

Diindikasikan pada arthritis akut yang sering dan tidak

terkontrol dengan kolkisin, terdapat endapan tofi atau kerusakan

ginjal. Tujuannya untuk mempertahankan kadar asam urat

serum dibawah 6 mg/dL, agar tidak terbentuk kristalisasi urat.

Ada dua jenis obat yang dapat digunakan yaitu kelompok

urikosurik dan inhibitor xantin oksidase seperti allopurinol.

Pemilihannya tergantung dari hasil urun 24 jam. Kadar dibawah

1000 mg/hari menandakan sekresi asam urat yang rendah,

sehingga harus diberikan obat urikosurik sedangkan untuk

pasien dengan kadar asam urat lebih dari 1000 mg/hari diberikan

alopurinol karen terjadi produksi asam urat yang berlebihan.

b. Penatalaksanaan Komplementer

Selain pentalakasanaan secara medik, menurut sustrani (2005) dalam

Sofiyulloh (2015), dapat menggunakan penatalaksanaan secara

komplementer salah satunya dengan menggunakan terapi herbal.

Banyak Jamu-jamuan dan ramuan herbal telah digunakan selama

berabad-abad untuk memperbaiki regulasi asam urat darah dan

menghilangkan efek samping (komplikasi) asam urat. Tanaman Obat

Asli Indonesia (OAI) yang mempunyai indikasi kuat untuk mengatasi

asam urat yang telah melalui pengujian klinis juga tersedia, antara lain:
1) Meniran

Mengandung falavonid kuesetin dan gilkosida flavonoid yang efektif

menghambat produksi asam urat selain kaya garam kalium yang

bekerja sebagai deuritika.

2) Daun sendok

Biji dan daunya mengandung falvonoid apegin dan akubin, serta

mineral kalium yang efektif sebagai obat antiasam urat. rebus daun

sendok-segar 15 g atau kering 10 g- dalam 3 gelas air, sampai h 1

gelas. Minum sekaligus dipagi hari ketika perut masih kosong.

3) Sambiloto

Mengandung flavonoid apigenin, mineral kalium dan zat pahit

senyawa laktone andrografolid sebagai anti radang dan analgetik.

Pilih daun sambiloto segar berukuran sedang sebanyak 15 helai atau

bila berbentuk kering 10 g, seduh dalam secangkir air mendidih,

tutup, diamkan ± 10 menit, sering dan minum sekaligus.

4) Daun salam

Berkhasiat sebagai diueritika, analgesik, dan antiradang yang efektif.

5) Daun suruh

Mengandung alkaloid tanin, minyak atsiri ( yang mudah menguap).

Dan kalsium aksalat, berkhasiat sebagai antiradang dan analgetik.

6) Kunyit

Kunyit mempunyai khasiat utama untuk meperbaiki dan

menyehatkan pencernaan, tapi juga bekerja sebagai antiradang dan

telah digunakan dalam pengobatan tradisional cina dan india


(ayurveda) untuk mengatasi asam urat, artritis dan radang tulang

alinya. Sebagai pencegahan seranagn asam urat, penggunaan kunyit

secara teratur sangat dianjurkan.

E. Penelitian Terkait

Pada tahun 2014 Masyhurrosyidi dkk melakukan penelitian tentang

“Pengaruh Kompres hangat Rebusan jahe Terhadap Tingkat Nyeri Subakut

Dan Kronis Pada Lanjut Usia Dengan Osteoarthritis Lutut di Puskesmas

Arjuna Kecamatan Klojen Malang Jawa Timur. Peneitian ini bertujuan untuk

mengetahui perbedaan tingkat nyeri subakut dan kronis sebelum dan sesudah

kompres hangat rebusan jahe pada lansia dengan osteoarthritis lutut di

posyandu lanjut usia Puskesmas Arjuna Kecamatan Klojen Malang Jawa

Timur. Penelitian ini menggunakan desain quasy experiment. Populasi

penelitian adalah semua lanjut usia dengan osteoarthritis lutut yang

mengikuti posyandu lanjut usia Puskesmas Arjuna Kecamatan Klojen Malang

Jawa Timur yang berjumlah 20 orang yang diambil secara total samping,

memakai uji statistik paired mean dependent (Uji T) dengan tingkat

signifikasi 0,05. Secara keseluruhan ada hubungan yang bermakna antara

tingkat skala nyeri sebelum dan setelah pemberian kompres hangat rebusan

jahe dengan p-value 0.000. Pada data pre dan post treatment didapatkan

penurunan skala nyeri dari berat ke sedang, dari skala sedang ke rendah dan

tidak mengalami skala nyeri dari rendah ke sedang atau tinggi. Ada

perbedaan signifikan tingkat nyeri sebelum dan setelah pemberian kompres

hangat rebusan jahe pada lanjut usia dengan osteoarthritis lutut.


Pada tahun 2015, Purnamasari dkk melakukan peneitian yang berjudul

Kompres Air Rendaman Jahe Dapat Menurunkan Nyeri Pada Lansia Dengan

Asam Urat Di Desa Cengkalsewu Kecamatan Sukolio Kabupaten Pati.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompres air rendaman

jahe dalam menurunkan skala nyeri pada penderita asam urat di Desa

Cengkalsewu. Penelitian ini quasy eksperiment dengan desain pre test and

post test nonequivalen control group. Jumlah sampel 62 responden. Teknik

pengambilan sampel total samping. Hasil uji Wilcoson dan Mann-Whitney

didapatkan nilai p value=0,000 hasil nilai p value<0,01 dengan kesimpulan

ada pengaruh kompres air rendaman jahe terhadap penurunan skala nyeri

rata-rata nyeri turun 5,35 pada lansia asam urat di Desa Cengkalsewu.

Pada tahun 2016, Samsudin dkk melakukan penelitian yang berjudul

Pengaruh Pemberian Kompres Hangat Memakai Parutan Jahe Merah

(Zingiber Officinale Roscoe Var Rubrum) Terhadap Penurunan Skala Nyeri

Pada Penderita Gout Artritis Di Desa Tateli Dua Kecamatan Mandolang

Kabupaten Minahasa. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh

pemberian kompres hangat memakai parutan jahe terhadap perubahan skala

nyeri pada penderita hout arthritis. Sampel yang ditemukan 30 responden.

Metode penelitian ini menggunakan pre experimenta dengan desain One

Group Pretest Posttes, pemilihan sampe dengan purposive samping.

Penelitian ini menggunakan analisi statistik uji Wilcoxon Signed Ranks Test

dengan α 0,05. Hasil penelitian didapatkan nilai p value 0,000 dimana p<α

0,05 maka H0 ditolak dan disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang

signifikan pemberian kompres hangat memakai parutan jahe merah (Zingiber


Officinale Roscoe Var Rubrum) terhadap penurunan skala nyeri pada

penderita gout arthritis di Desa Tateli Dua, Kecamatan Mandolang,

Kabupaten Minahasa.

Anda mungkin juga menyukai