Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis
1. Konsep Lanjut Usia
a. Definisi Lansia
Lanjut usia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
lkehidupan manusia. Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) uu no.13 tahun
1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah
mencapai usia lebih dari 60 tahun (Mariyam dkk, 2010). Berdasarkan definisi secara
umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun keatas.
Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan sesseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis. Kegagalaan ini
berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta penigkatan kepekaan
individual (Efendi dalam Wijayanti et al 2016). Lansia didefinisikan sebagai masa
dimana seseorang mencapai kematangan ukuran fungsi sel sehingga menimbulkan
kemunduran dari waktu ke waktu (Rosita Dalam Sayekti, 2015)

b. Batasan Umur Lansia


Menurut Khalid (2012), batasan- batasan lansia dibagi menjadi
1) Menurut WHO
a) Usia pertengahan (middle age) yaitu 45-49 tahun
b) Lanjut usia (elderty) yaitu 60-74 tahun
c) Lanjut usia tua (old) yaitu 75-90 tahun
d) Usia sangat tua (very old) yaitu diatas 90 tahun.
2) Menurut UU RI No. 12 tahun 1998 tentang
Kesejahteraan lanjut usia, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia
diatas 60 tahun.
3) Menurut Depkes RI
Usia lanjut digolongkan menjadi 3 golongan yaitu:
a) Kelompok usai ini (55-64 tahun)
b) Kelompok lansia pertengahan (65 tahun)
c) Kelompok lansia dengan resiko tinggi (70 tahun keatas)

4) Menurut Levinson (1978)


a) Lansia peralihan awal, antara 50-55 tahun
b) Lansia peralihan mengangah, antara 55-60 tahun
c) Lansia peralihan tengah akhir, antara (60-65 tahun)

c. Masalah Lansia
Bertambahnya usia biasanya disertai dengan timbulnya penyakit dan
berkurangnya peranan serta munculnya tanda-tanda penuaan yang dapat memicu
masalah yang dialami oleh lansia antara lain depresi, skozoprenia, gangguan jiwa,
kecemasan, somatiform yaitu sikap yang selaluberhati-hati, gangguan penggunaan
alcohol, gangguan tidur, kurang gizi, penurunan finansial dan kesepian (Wahyunita &
Fitra, 2010)

d. Perubahan Lasnia
Seiring perjalanan dan pertambahan usia, proses penuaan pun terus
berlanghsung dan menimbulkan berbagai macam perubahan. Tubuh akan mengalami
peru bahan pada sturktur dan fisiologis dari berbagai sel, jaringan ataupun organ dan
system menyebabkan involusi dan degradasi, organ tubuh pun mulai mengalami
kemunduran, baik fisik maupun mental. Pada lanjut usia terjadi perubahan-
perubahan yang menuntut dirinya untuk menyesuaikan diri secara terus-menerus.
Apabila poroses penyesuaian diri dengan lingkungan kurang berhasil, maka timbulah
berbagai masalah. Namun, perubahan yang terjaadi tidaklah sama antara satu
undividu dengan individu lainnya dan terdapat pula varibilitas antara induvidu
(Wijayanti et al., 2016)
Menurut Nugroho (2010), perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia
meliputi peerubahan fisik, yang meliputi sel, system pernafasan, system persyarafan,
system pendengaran, penglihatan, system kardiovaskuler, system genitor urinaria,
system endokrin dan metabolic, system pencernaanm system muskulosletal, system
kulit dan jaringan ikat, system reproduksi dan kegiatan seksual, system pengaturan
tubuh, serta perubahan mental, dan perubahan psikososial.

e. Teori-Teori Proses Menua


Teori-teori tentang penuaan (Padila, 2013) antara lain:
1) Teori biologis
a) Teori genetic
Menurut teori ini, menua telah terprogram secara genetic untuk
spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia
yang deprogram oleh molekul-molekul atau dna dan setiap sel pada saatnya
akan mengalami mutasi
b) Teori cross-linkage (rantai silang)
Kolagen yang merupakan unsur penyusun tulang moleculer, lama
kelamaan ajan meningkat kelakuannya (tidak elastis).
c) Teori radikal bebas
Radikal bebas merusak membrane sel yang menyebabkan kerusakan
dan kemunduran secara fisik.
d) Teori immunologi
System imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya
virus ke dalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.
e) Teori stress- adaptasi
Menua terjadi akibat hilangnya sel –sel yang biasa digunakan tubuh.
Regenersi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan
internal, kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
f) Teori wear and tear ( pemakaina dan rusak)
Kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel-sel tubuh lelah
(terpakai).
g) Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah
setelah sel-sel tersebut mati.
2) Teori psikologis
Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan
keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian induvidu
yang terdiri atas motivaasi dan intelegensi dapat menjadi karakteristik konsep diri
atass motivasi dan intelegensi dapat menjadi karakteristik konsep diri dari
seseorang lansia. Konsep diri yang positif dapat menjadikan seorang lansia.
Konsep diri yang positif dapat menjadikan seorang lansia mampu berintraksi
dengan mudah terhadap nilai-nilai yang ada ditunjang dengan status sosialnya.
Adanya penurunan dari intelektualitas yang meliputi presepsi, kemampuan
kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut. Presepsi meruapakan kemampuan
interprestasi pada lingkungan. Dengan adanya penurunan fungsi sensorik, maka
aka n terjad penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespon
stimulasi sehingga terkadang akan muncul aksi yang berbeda dari stimulasi yang
ada.
3) Teori intraksi social
Teori ini menjelaskan mengapa usia lanjut bertindak kepada suatu situasi
tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Kemampuan usia
lanjut untuk terus menjalin intraksi social merupakan kunci mempertahankan
status socialnyha berdasarkan kemampuan bersosialisasi. Pada usia lanjut
kekuasaan dan pretisenya berkurang, sehingga menyebabkan intraksi social
mereka juga berkurang yang tersisa adalah harga diri.
4) Teori spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian
hubungan induvidu dengan alam semesta dan presepsi individu tentang arti
kehidupan. Keprcayaan adalah sebagai suatu bentuk pengetahuan dan cara
berhubungan dengan kehidupan akhir. Sehingga dapat menumbuhkan antara
orang lingkungan yang terjadi karena adanya kombinasi antara nilai-nilai dari
pengetahuan.

f. Tipe- Tipe Lansia


Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kondisi fisik, mental, social dan ekonominya (Azizah & Ma’rifatul,
2011) Yaitu:
1) Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaian diri dengan perubahan
zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.
2) Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari
pekerjaan, bergaul dengan teman dan memenuhi undangan.
3) Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan, yang menyebabkan
kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik jasmani, kehilangan kekuasaan,
status, teman yang disayangi, pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung,
menuntut, sulit dilayani dan pengkritik.
4) Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mempunyai konsep habis gelap
terbitlah terang mengikuti kegiatan beribadah, ringan kaki, pekerjaan apa saja
dilakukan.
5) Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal,
pasif, mental, social dan ekonominya.

g. Tugas Perkembangan Lansia


Tugas perkembangan lansia (Bandiyah, 2009) Sebagai Berikut:
1) Menyesuaikan Terhadap Penurunan Kekuatan fisik dan kesehatan
2) Mnyesuaikan ter\hadap masa pensiunan dan penurunaan pendapat
3) Menyesuaikan terhadap kematian pasangan
4) Menerima diri sendiri sebagai induvidu lansia
5) Mempertahankan kepuasan pengaturan hidup.
6) Mendefinisikan ulng hubungan dengan anak yang dewasa
7) Menentukan cara untuk mempertahankan kualitas hidup.

2. Konsep Spiritualitas
a. Definisi Spiritualitas
Secara etimologis spiritual berasal dari bahasa latin “spiritualitas yang berarti
sangat atau nafas kehidupan dimana spiritualitas merupakan daya hidup untuk
memaknai kehidupan (Gusnia, 2012). Spiritualitas adalah keyakinan dalam
hubungannya dengan yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta (Hamid, 2009).
Sedangkan menurut Mickley et al (1992) dalam Hamid (2009), menguraikan bahwa
spiritualitas suatu yang multidimensi yaitu dimensi eksitensial yang befokus pada
tujuan dan arti kehidupan dan dimensi agama yang berfokus pada hubungan
sedangkan dengan tuhan yang maha Penguasa.
b. Factor Yang Mempengaruhi Spiritual
1) Tahap perkembangan
usia perkembangan dapat menentukan proses pemenuhan kebutuhan
spiritual, karena setiap tahap perkembangan memiliki cara meyakini kepercayaan
terhadap tuhan (Hidayat, 2013)
2) Agama yang dianut
Keyakinan pada agama tertentu yang dimiliki oleh seseorang dapat
menentukan kepentingan spiritual
3) Kegiatan beragama
Adanya kegiatan keagamaan dapat selalu mengingatkan keberadaan
dirinya dengan tuhan, dan selalu mendekatkan diri dengan penciptanya
4) Keluarga
Peran orang tua sangat menentukan perkembangan spiritualitas anak.
Yang penting bukan apa yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya tentang
tuhan, tetapi apa yang anak pelajari tentang tuhan, kehidupan, diri sendiri dari
perilaku orang tua mereka. Oleh karena keluarga merupakan lingkungan teerdekat
dan pengalaman pertama anak dalam mempersiapkan kehidupan dunia,
pandangan anak pada umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka dalam
berhubungan dengan orang tua dan saudaranya
5) Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan
social budaya. Pada umunya, seseorang akan mengikuti tradisi agama dan
spiritual keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama,
termasuk nilai moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai
kegiatan keagamaan. Perlu diperhatikan apapun tradisi agama atau system
kepercayaan yang dianut induvidu, tetap saja pengalaman spiritual adalah haal
unik bagi setiap induvidu
6) Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup, baik yang positif maupun pengalaman negative dapat
memengaruhi spiritual seseorang, sebaliknya, juga dipengaruhi oleh bagaimana
seseorang mengartikan secara spiritual kejadian atau pengalaman tersebut
7) Kririsi dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman spiritual seseorang.
Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, khususnya pada
klien dengan penyakit terminal atau dengan prognosis yang buruk. Perubahan
pada kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman
spiritual selain juga pengalaman yang bersifat fisik dan emosional
Krisis dapat hubungan dengan perubahan patosiologi, terapi atau
pengobatan yang diperlukan, atau situasi yang mempengaruhi seseorang.
Diagnosis penyakit terminal pada umumnya akan menimbulkan pertanyaan
tentang system kepercayaan seseorang. Jika klien dihadapkan pada kematian,
keyakinan spiritual dan keinginan untuk sembahyang dan berdoa lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien yang berpenyakit bukan terminal
8) Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, sering kali membuat induvidu
merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan system dukungan social.
Klien yang dirawat merasa terisolasi dalam ruangan yang asing baginya dan
merasa tidak aman. Kebiasan hidup sehari-hari juga berubah, antara lain tidak
dapat mengahadiri acara resmi, mengikuti kegiatan kegamaan atau tidak dapat
berkumpul dengan keluarga atau teman dekat yang bisa memberi dukungan setiap
saat diinginkan. Terpisahnya klien dari ikatan spiritual dapat berisiko terjadinya
perubahan fungsi spiritualnya
9) Isu moral terkait dengan terapi
Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara
tuhan untuk menunjukan kebesarannya walaupun ada juga yang menolak
intervensi pengobatan, prosedur medic serringkali dapat dipengaruhi oleh
pengajaran agama, misalnya sirkulasi, transpaltasi organ, pencegahan kehamilan,
dan sterilisasi. Konflik antara jenis terapi dengan keyakinan agama sering dialami
oleh klien dan tenaga kesehatan
10) Asuhan keperawatan yang kurang sesuai
Ketika pemberian asuhan keperawatan kepada klien, perawat diharapkan
peka terhadap kebutuhan spiritual klien, tetapi dengan berbagai alasan pada
kemungkinan perawat justru menghindar untuk memberi asuhan spiritual. Alasan
tersebut antara lain karena lain karena perawat merasa kurang nyaman dengan
kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting kebutuhan spiritual, tidak
mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritual dalam kepercayaan, atau merasa
bahwa pemenuhan kebutuhan spiritual klien bukan menjadi tugasnya, tetapi
tanggung jawab pemuka agama
c. Perkembangan Spiritualitas
Menurut Hamid (2009), perkembangan spiritual sebagai berikut:
1) Bayi dan toddler (0-3 tahun)
Tahap awal perkembangan spiritual adalah rasa percaya kepada yang
mengasuh yang sejalan dengan perkembangan rasa aman dan dalam hubungan
interpersonal, karena sejak awal kehidupan manusia mengenal dunia melalui
hubungannya dengan lingkuangan, khususnya orang tua. Bayi dan toddler belum
memiliki rasa salah dan benar, serta keyakinan spiritual. Mereka meniu kegiatan
ritual tanpa mengerti arti kegiatan tersebut serta ikut ke tempat ibadah yang
memengaruhi citra diri mereka.
2) Prasekolah (3-5 tahun)
Sikap orang tua tentang kode moral dan agama mengajarkan kepada anak
tentang apa yang dianggap baik dan buruk. Anak prasekolah meniru apa yang
mereka lihat bukan yang dikatakan orang lain. Permasalahan akan timbul apabila
tidak ada kesesuaian atau tertolak belakang antara apa yang dilihat dan yang
dikatakan kepada mereka. anak prasekolah sering bertanya tentang moralitas dan
agama, seperti perkataan atau tindakan tertentu yang dianggap salah.
3) Usia sekolah (6-18 tahun)
Anak usia sekolah mengharapkan tuhan menjawab doanya, yang salah
akan dihukum dan yang baik diberi hadiah. Pada masa ini prapubertas, anak
sering mengalami kekecewaan karena mereka mulai menyadari bahwa doanya
tidak selalu dijawab menggunakan cara mereka dan mulai mencari alasan tanpa
mau menerima keyakinan begitu saja.
Pada usia ini, anak mulai mengalami keputusan akan melepaskan atau
meneruskan agama yang dianutnya karena ketergantungannya kepada orang tua.
Pada masa remaja, mereka membandingkan standar orang tua mereka dengan
orang tua lain dan menetapkan standar apa yang akan dintergrasikan dalam
prilakunya. Remaja juga membandingkan pandangan ilmiah dengan pandangan
agama serta mencoba untuk menyatukannya. Pada masa ini, remaja yang
mempunyai orang tua berbeda agama akan memutuskan pilihan agama yang akan
dianutnya atau tidak memilih satupun dari kedua agama orang tuanya.
4) Dewasa (18-40 tahun)
Kelompok usia dewasa muda yang dihadapkan pada pertanyaan bersifat
keagamaan dari anaknya akan menyadari apa yang pernah diajarkan kepadanya
pada masa anak-anak dahulu, lebih cepat diterima pada masa dewasa dari pada
waktu remaja dan masukan dari orang tua tersebut dipakai untuk mendidik
anaknya.
5) Usia pertengahan dan lansia (>40 tahun)
Kelompok usia pertengahan dan lansia mempunyai lebih banyak waktu
dan kegiatan agama dan berusaha untuk mengerti nilai agama yang diyakini oleh
generasi muda. Perasaan kehilangan karena pension dan tidak aktif serta
menghadapi kematian orang lain (saudara, sahabat) menimbulkan rasa kesepian
dan mawas diri. Perkembangan filosofis agama yang lebih matang sering dapat
membantu orang tua untuk menghadapi kenyataan berperan aktif dalam
kehidupan dan merasa berharga, serta lebih dapat menerima kematian sebagai
sesuatu yang tidak dapat ditolak atau dihindari.

d. Karakteristik Spiritual
Menurut Hamid (2009), karakteristik spiritual adalah
1) Hubungan diri dengan diri sendiri ( Kekuatan dalam atau Self reliance)
a) Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya)
b) Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa depan,
ketenangan pikiran, harmoni/keselarasan dengan diri sendiri)
2) Hubungan dengan alam (harmoni)
a) Mengetahui tentang tanaman, margasatwa dan iklim
b) Beerkomunikasi dengan alam (bertanam dan berjalan kaki), mengabdikan dan
melindungi alam.
3) Hubungan dengan orang lain ( harmoni supportif)
a) Berbagi waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik
b) Mengasuh anak, orang tua dan orang sakit
c) Meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat dan lain-lain) bila
tidak harmonis akan terjadi:
1) Konflik dengan keluarga
2) Resolusi yang menimbulkan ketidak harmonisan dan friksi
4) hubungan dengan ketuhanan (agamis atau tidak agamis)
a) sembahyang atau berdoa maupun meditasi
b) perlengkapan keagamaan
c) bersatu dengan alam

3. Konsep Kematian
a. Definisi Kematian
Kematian atau ajal adalah akhir dari kehidupan ketiadaan nyawa dalam
organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara parmanen,
baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti
kecelakaan. Setelah, kematian tubuh makhluk hidup mengalami pembusukan
(Wahyuningsih, 2014). Menurut Parlmutter dan Hall (1985) dalam hanifullah (2015)
kematian adalah suatu kejadian yang terjadi pada saat pernafasan dan denyut jantung
berhenti. Tidak ada oksigen yang mengaliri pembuluih darah sehingga sel otak tidak
lagi hidup dan orang segera mati (Hanifullah, 2015). Semua orang sadar, bahwa pada
saatnya nanti pasti mati, menghadap tuhan. Selanjutnya bila kelak meninggal,
semuanya berharap agar bisa “meninggal dengan bermartabat”. (Sudirman, 2011)
b. Fase Kematian
Menurut Berk (2007) menyatakan bahwa masa transisi dari hidup ke proses
me ninggal atau menghembuskan nafas terakhir melalui 3 fase: (Wahyuningsih,
2014)
1) Fase bertahan (the agonal fase). Istilah agon berasal dari bahasa yunani yang
berarti “struggle” atau bertahan. Di sini agonal mengandung arti menghembuskan
nafas dan kejang otot selama beberapa saat sehingga tubuhnya tidak dapat
mempertahankan hidupnya.
2) Kematian klinis (clinical death). Suatu jarak waktu pendek yang mengikuti,
dimana denyut jan tung, sirkulsi, pernafasan, fungsi otak berhenti meskipun masih
sadar.
3) Kematian (mortality). Seseorang memasuki kematian permanen. Dalam beberapa
saat, hilangnya kehidupan baru menjadi tampak mengecil/menyusut, sama sekali
seperti ketika mereka masih hidup.

c. Tahap Tahap Kematian Penerima Kematian


Dr. Elisabeth Kubler-Ross (1969), telah mendetifikasi lima tahap berduka
yang dapat terjadi pada pasien menjelang ajal. Tahap-tahap tersebut adalah
mengingkari, marah, tawar menawar, depresi dan menerima. Jika cukup waktu dan
dukungan mental, beberapa pasien dapat menggerakan emosinya melalui tiap tahap
sampai titik penerimaan penyakit dan kematiannya. Tahap-tahap tersebut yaitu:
(Wahyuningsih, 2014)

1) Menolak (daniel)
Pada fase ini, pasien/kloen tampak tidak siap menerima keadaan yang
sebenarnya, dan menunjukan reaksi menolak. Timbul pemikiran-pemikiran
seperti:”seharusnya tidak terjadi dengan diriku, tidak salahkah keadaan ini?”.
Bebrapa orang bereaksi pada fase ini dengan menunjukan keceriaan yang palsu
(biasanya orang akan sedih mengalami keadaan menjelang ajal).
2) Marah (anger)
Kemarahan terajadi karena kondisi klien mengancam kehidupannya
dengan segala hal yang telah diperbuatnya sehingga menggagalkan cita-citanya.
Timbul pemikiran pada diri seperti:”mengapa hal ini terjadi dengan diriku?”.
Kemarahan tersebut biasanya diekpresikan kepada obyek-obyek yang dekat
dengan klien, seperti keluarga, teman, dan tenaga kesehatan yang merawatnta.
3) Menawar (bargaining)
Pada ini kemarahan biasanya mereda dan pasien malahan dapat
menimbulkan kesah sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan dirinya. Pada
pasien yang sedang menuju kekematian, keadaan demikian dapat terjadi,
seringkali klien berkata: “ yah tuhan, jangan dulu saya mati dengan segara,
sebelum anak saya lulus sarjana”.
4) Kemurungan (depresi)
Selama tahap ini, pasien cenderung untuk tidak banyak bicara dan
mungkin banyak menangis. Ini saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang
disamping pasien yang sedang melalui sdedihnya sebelum meninggal.
5) Menerima/pasrah (acceptance)
Pada fase ini terjadi proses penerimaan ssecara sadar oleh klien dan
keluarga tentang kondisi dan hal-hal yang akan terjadi yaitu kematian. Fase ini
sangat membantu apabila klien dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau rencana-
rencana yang terbaik bagi dirinya menjelang ajal. Misalnya ingin bertamu dengan
keluarga terdekat, menulis surat wasiat, dan sebagainya.
Menurut Sudirman 2011, menjelaskan tidak semua orang yang
menghadapi ke matian menunjukan semua reaksi tersebut, atau sesuai dengan
urutan tersebut, masing-masing induvidu memiliki gaya masing-masing yang
saling bervariasi, sesuai dengan tingkat kematangan, kehidupan beragama, usia,
pendidikan, sikap terhadap keluarga dan lain-lain, pada umumnya proses
cendrung pada gejala-gejala yang dimulai: shock, penolakan, dan marah yang
akhirnya penerimaan. Idelanya, kematian melibatkan pemecahan masalah yang
berhasil. Penerimaan, kekuatan dari dalam, dan menemukan arti diakhir hidupnya.
Hasilnya adalah kematian yang positif, kematian seseorang yang bermanfaat.
(sudirman, 2011)

d. Kesiapan Menghadapi Kematian


Kesiapan dalam mengahadapi kematian terdiri dari dua aspek yaitu kesiapan
menghadapi kematian secara psikis dan kesiapan menghadapi kematian seccara
spiritual, secara psikis, kesiapan dalam menghadapi kematian dapat dilihat dari lansia
yang yakin akan datangnya kematian, lebih memahami maksa hidup dan kematian,
dapat mengatasi rasa takut akan datangnya kematian, serta sering mengingat dan
membicarakan kematian, sedangkan kesiapan menghadapai kematian secara spiritual,
lanjut usia lebih berfokus pada kehidupan batin seperti perenungan, sehingga lebih
mendekatkan diri kepada tuhan (Indriana, 2012)
1) Kesiapan menghadapi kematian secara psikis

a) Menerima adanya berbeda dari masa sebelumnya, (Hurlock 1993 dalam


Wahyuningsih 2014)

b) Mengatasi rasa cemas maupun takutnya pada keamtian dan sabar bahwa
kematian pasti akan dating (Backer 1982 dalam wahyuningsih 2014)

c) Memiliki pandangan dan sikap posititf terhadap kematian, ( Shihab, 2007


dalam Wahyuningsih 2014)

d) Menerima kematian sebagai suatu hal yang nyata (najati 2001 dalam
wahyuningsih 2014)

e) Memakai hidup dengan nilai-nilai positif (hidayah 2007 dalam wahyuningsih


2014)

2) Kesiapan menghadapi kematian secara spiritual


a) Banyak mengingat kematian
Rasulullah “Bahwasanya hati manusia dapat berkarat sebagaimana
berkaratnya besi” para sahabat bertanya “Lalu bagaimana cara
menanggulanginya ya Rasul. Rasulullah bersabda “dengan membaca Al-
Qur’an dan mengingat mati (HR. Tarmizi dan Abu Daud)
b) Mengunjunginya ketika sedang sakit
Menjenguk orang sakit adalah menjadi hak setiap orang muslim, keadaan
sakit menandakan bahwa keadaan tubuh manusia itu pada hakekatnya sengan
lemah dibandingkan dengan kemaha perkasaan Allah allah subhanahu wa
ta’ala. Dengan menjenguk orang sakit kita akan menyadari bahwa kita ada
yang memiliki dan sekaligus akaan memupuk serta mengikat tali
persaudaraan. Selain itu menjenguk orang sakit akan selalu mengingatkan kita
untuk menjaga kesehatan itu untuk mengabdi sepenuhnya kepada Allah
subhanahu wa ta’ala mempersiapkan diri untuk mengabdi
c) Memerintahkan mereka untuk berwasiat
Rasulullah bersabda “ tidak ada hak seseorang muslim yang dia wasiatkan
selama dua malaam kecuali wasiatnya itu sudah tertulis. HR. Bukhari
Muslim).
Apabila ia memiliki harta peninggalan maka wasiatnya tidak boleh dari
sepertiga dan itu sudah dianggap banyak.
d) Sering berzikir
Berzikir atau mengingat allah subhanahu wa ta’ala membantu manusia untuk
selalu mengetahui perintah dan larangan Allah subhanahu wa ta’ala.
Seringnya berzikir menjadi pertanda bahwa orang yang melaksanakan akan
dijamin oleh Allah subhanahu wa ta’ala masuk surge. Daya dan kekuatan zikir
serta do’a hakikatnya memancar dengan dahsyatnya kelak dihari akhir yang
harus kita alami setelah melalui perjalan menembus pintu kematian. Dalam
hal ini memperbanyak istigfar sangat dianjurkan (dalam Wahyuningsih, 2014)
e) Ziarah kubur
Ziarah kubur berguna mengingat kita bahwa manusia yang hidup dipastikan
akan menajdi penghuni kubur mendiami alam barzah bahwa kuburan itu
secara langsung merupakan batas antara hidup dan mati. Setiap saat kita
dituntut untuk bersiap-siap menjadi penghuninya. Oleh karena tidak ada
alasan sedikitpun untuk takut menghadapi kematian (Wahyuningsih, 2014)
f) Memotivasi dia untuk bertaubat
Rasulullah bersabda “sesungguhnya Allah menerima taubat hamba
sebelum nyamanya sampai ketenggorakan” (Shahih Jami’ As-Shagir). Semua
yang bertaubat sebelum mati maka ia dianggap telah segera beratubat. Maka
hendaknya setiap orang segera bertaubat sebelum ajaal tiba.
g) Hendaknya mengingatkan dia untuk berbaik sangka kepada Allah
Rasulullah bersabda”Jangan seseorang meninggal dunia kecuali berbaik
sangka kepada Allah’. Rasulullah bersabda: Allah berfirman, ‘Aku sesuai
dengan prasangka hamba-Ku, jika sangkanya baik maka baik jika jelek maka
jelek (yang didapati).”(HR. Muslim)
h) Hidup mulia
Tidak ada jalan lain untuk mati dalam keadaan husnul khatimah kecuali
dengan hidup mulia. Mulai akhir dan moralitasnya, mulia cara
keberagamanya, mulia dalam pengabdiannya kepada Allah subhanahu wa
ta’ala. Dan mulia dalam artian taqwa dalam segala sisi kehidupannya. Hidup
mulia ini sebenarnya cukup sederhana, yakni dengan melaksanakan perintah
dan menjauhi selama larangannya. (Wahyuningsih 2014)
e. Lansia Menghadapi Kematian
Angka stastik menunjukan, bahwa kematian banyak terjadi pada usia lanjut
usia dari pada usia muda, oleh usia lanjut sering menghadapinya dengan sikap
menolak, seperti halnya rasa sakit atau tiadanya pertolongan, dari pada lematian itu
sendiri. Hal ini menunjukan bahwa orang cenderung tidak takut akan kematian, tetap
secara umum mereka menolak kematian. Penolak ini tampak dalam kata-kata yang
digunakan untuk menyebut orang yang meninggal dunia dengan
sebutan:”beristirahat”, “menghadapi tuhan”, “dipanggil tuhan”,”pergi kealam abadi”,
menghadapi sang khalik dan sebagainya, (Sudirman, 2011)
Konsep hidup dan mati memegang peranan penting dalam persiapan lanjut
usia menghadapi kematian dan persiapan tersebut dapat mempengaruhi pencapaian
optimum aging (ericson 1986). Hal ini dibuktikan dengan penelitian fry (2003) dalam
penelitian tentang ”pereceived selfefficacy domains as predictors of fear of the
unknow and fear of dying among older adults” menyatakan bahwa semakin kuat
afiafasi menguasai diri maka rendah tingkat kecemasan menjelang kematian
(Wahyuningsih, 2014).
Menurut Harapan (2014), menjelaskan bahwa kesiapan mengahdapi kematian
pada lansia dipengaruhi oleh 3 persepsi, yaitu:
1) Pengalaman pribadi
Menurut (Erickson 1986 dalam Wahyuningsih 2014) menjelaskan bahwa
proses kehidupan seseorang sebelumnya juga menentukan bagaimana seseorang
akan bereaksi terhadap ancaman yang akan dihadapinya dimasa sekarang dan
nanti. Pandangan umum mengenai kondisi fisik lansia yang semakin melemah
dan perunbahan lainnya membuat lansia menganggap masa usia lanjut tidak
menyenangkan, selain itu sejalan dengan menururnnya kondisi fisik lansia
mengalami kecemasan akan datangnya kematian.
2) Spiritualitas
Spiritualitas merupakan kualitas dasar manusia yang akan dialami oleh
setiap orang dari semua keyakinan dan bahkan oleh orang-orang yang tidak
berkeyakinan tanpa memandang ras, warna, asal, negara, jenis kelamin, usia, atau
disabilitas. Spiritualits mencakup hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan
alam harmonis, hbungan dengan orang lain, dan hubungan dengan ketuhanan,
Hamid (2009). Penelitian yang dilakukan oleh Williams , menunjukan bahwa
lansia yang memiliki tingkat spiritualitas tingggi maka dalaam menjalani akhir
kehidupan, hidup dalam ketenangan hingga ajal menjemput. (Sari, 2015).
Pada umumnya kehidupan lansia sudah sampai pada tahapan kesadaran
berserah diri kepada tuhan. Kepasrahan akan membawa seseorang kepada
ketenangan dan tidak mengenal putus asa, sekalipun mengalami masa-masa sulit,
selallu mengharapkan ridha tuhan. Bahkan dalam al-qur’an, allah subhanahu wa
ta’ala dengan tegas berfirman:…. Yang artinya : dengan berdzikir kepada allah,
hati kamu menjadi tenang. Dzikir (mengingat allah dengan lafad-lafadz tertentu)
merupakan salah satu metode kecerdasan spiritual untuk mendidik hati menjadi
tenang dan damai, (Sudirman, 2011)
3) Dukungan keluarga
Keluraga merupakan tempat dimana orang dapat menjadi diri sendiri,
merasa bebas, aman dan nyaman, oleh karena itu kelurga merupakan suatu
kondisi nyata yang mempunyai arti isimewa bagi setiap orang,salah satu factor
penting yang menentukan keberhasilan usia lanjut dalam menjalani sisa
kehidupannya adalah sikap orang disekitarnya, (Sudirman, 2011)
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Harapan (2013),
dukungan keluarga mempengaruhi partisipan tentang presepsi lansia terhadap
siapa yang ia inginkan berada disampingnya ketika menjelang kematian, pendapat
ini diperbuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Hattoni (2005) dalam Harapan
(2013) yang meneyebutkan bahwa factor keluarga mempengaruhi tempat
kematian dan siapa yang diinginkan lansia berada disamping saat menjelang
kematian.

B. Penelitian Terkait
1. Penelitian Yufezo, Sabrian & Novayelinda (2015), tentang Hubungan Status Spiritual
dengan Kualitas Hidup Lansia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 51 orang
responden yang memiliki status spiritual tinggi, sebanyak 32 orang responden memiliki
kualitas hidup baik dan 19 orang responden memiliki kualitas hidup buruk. Hasil uji Chi-
Square status spiritual dengan kualitas hidup diperoleh p value 0,034<0,05 yang
menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status spiritual dengan kualitas
hidup lansia
2. Penelitian Setyawan (2013), tentang Hubungan Spiritualitas dengan Tingkat Kecemasan
Menghadapi Kematian pada Lansia Umur di Atas 60 Tahun di Dusun Tanggukangin,
Pandean, Ngablak, Magelang, Jawa Tengah. Hasilnya penelitian ini menunjukan adanya
hubungan antara spiritualitas dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi kematian
lanisa umur di atas 60 tahun di Dusun Tanggukangin, Pandean, Ngablak, Magelang, Jawa
Tengah. Hasil uji analisis dengan Kendall tau didapatkan nilai yang siginifikan p sebesar
0,001 (<0,05) dan nilai V sebesar -0,389 sehingga dinyatkan ada hubungan bermakna dan
keeratan rendah. Kepada Dusun Tanggulangin agar dapat membekali lansia dalam
menghadapi kematian dengan suatu yang dapat menimbulkan ketenangan secara batin.
3. Penelitian Naftali, Raninpin & Anwar (2017). Tentang Kesehatan Spiritual dan Kesiapan
lansia Dalam Menghadapi Kematian. Hasilnya lansia yang tinggal dirumah dan lansia
yang tinggal dipanti memiliki perbedaan dalam konsep intraksi social, konsep agama dan
ketuhanan. Sedangkan dalam menghadapi kematian, baik dipanti maupun dirumah
kesiapan lansia dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu pengertian mengenai kematian,
pengalaman kehilangan, tempat yang diinginkan ketika menghadapi kematian, orang
yang akan mendampingi ketika kematian dan tempat yang dituju setelah kematian,
sedangkan ketidaksiapan lansia dalam menghadapi kematian dipengaruhi oleh perbuatan
dilakukan semasa lansia hidup maupun factor keluarga seperti masih ingin hidup lebih
lama bersama keluarga.

C. Kerangka Konsep
kerangka konsep adalah penjelasan tentang konsep-konsep yang terdukung didalam
asumsi teoritis yang digunakan untuk mengabstraksikan unsur-unsur yang terkandung
dalam fenomena yang akan diteliti dan mengambarkan bagaiman hubungan antara
konsep-konsep tersebut. Secara operasional kerangka konsep dalam penelitian
didefenisikan sebagai penjelasan tentang variable-variable apa saja yang akan diteliti
yang diturunkan dari konsep-konsep terpilih, bagai mana hubungan antara variable-
variable tersebut dan hal yang merupakan indicator untuk mengukur variable-variable
tersebut (Dharma,2015).
Skema 2.1
Kerangka Konsep
Variable independen Variable Dependen
Kesiapan menghadapi
Spiritualitas
kematian

D. Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan awal peneliti mengenai hubungan antar variable yang
meruppakan jawaban peneliti tentang kemungkiinan hasil penelitian. Didlam penyataan
hipotesis terkandung variable yang akan diteliti dan hubungan antara variable-variable
tersebut. Pernyataan hipotesis mengarahkan peneliti untuk menentukan desain penelitian,
teknik pemilihan sampel, pengumpulan dan metode analisa data (Dharma, 2015).

Hipotesis penelitian ini adalah:


Ho : Tidak Ada Hubungan Spiritualitas dengan Kesiapan Menghadapi Kematian
Pada lansia di Puskesmas Harapan Raya Pekanbaru.
Ha : Ada Hubungan Spiritualitas dengan Kesiapan Menghadapi Kematian Pada
lansia di Puskesmas Harapan Raya Pekanbaru

Anda mungkin juga menyukai