Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP LANSIA DAN PROSES PENUAAN

1. Definisi Lansia
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998
tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah
mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008).
Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia)
apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan
tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan
kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah
keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan
keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan
penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara
individual (Efendi, 2009).

2. Batasan Umur Lanjut Usia


Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-batasan umur yang
mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut:
Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat
kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) adalah 45-59 tahun, lanjut usia
(elderly) adalah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75-90 tahun, usia sangat
tua (very old) ialah di atas 90 tahun.

3. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia berdasarkan Depkes RI
(2003) dalam Maryam dkk (2009) yang terdiri dari : pralansia (prasenilis) yaitu
seseorang yang berusia antara 45-59 tahun, lansia ialah seseorang yang berusia 60
tahun atau lebih, lansia resiko tinggi ialah seseorang yang berusia 70 tahun atau

1
lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan,
lansia potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau
kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa, lansia tidak potensial ialah lansia
yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan
orang lain.

4. Tipe Lansia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kodisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho 2000 dalam
Maryam dkk, 2008). Tipe tersebut dijabarkan sebagai berikut.
a. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
b. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari
pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
c. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah,
tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak
menuntut.
d. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan
melakukan pekerjaan apa saja.
e. Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif,
dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe independen
(ketergantungan), tipe defensif (bertahan), tipe militan dan serius, tipe

2
pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta
tipe putus asa (benci pada diri sendiri).

5. Proses Penuaan
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat
diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks
multidimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang
sampai pada keseluruhan sistem. (Stanley, 2006).
Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang
maksimal. Setelah itu tubuh mulai menyusut dikarenakan berkurangnya jumlah
sel-sel yang ada di dalam tubuh. Sebagai akibatnya, tubuh juga akan mengalami
penurunan fungsi secara perlahan-lahan. Itulah yang dikatakan proses penuaan
(Maryam dkk, 2008).
Aging process atau proses penuaan merupakan suatu proses biologis yang
tidak dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap orang. Menua adalah suatu
proses menghilangnya secara perlahan-lahan (gradual) kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri atau mengganti serta mempertahankan struktur dan fungsi
secara normal, ketahanan terhadap cedera, termasuk adanya infeksi.
Proses penuaan sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai dewasa,
misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan
jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit. Sebenarnya tidak ada
batasan yang tegas, pada usia berapa kondisi kesehatan seseorang mulai menurun.
Setiap orang memiliki fungsi fisiologis alat tubuh yang sangat berbeda, baik
dalam hal pencapaian puncak fungsi tersebut maupun saat menurunnya.
Umumnya fungsi fisiologis tubuh mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun.
Setelah mencapai puncak, fungsi alat tubuh akan berada dalam kondisi tetap utuh
beberapa saat, kemudian menurun sedikit demi sedikit sesuai dengan
bertambahnya usia (Mubarak, 2009).

3
Pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah, baik secara
biologis, mental, maupun ekonomi. Semakin lanjut usia seseorang, maka
kemampuan fisiknya akan semakin menurun, sehingga dapat mengakibatkan
kemunduran pada peran-peran sosialnya (Tamher, 2009). Oleh karena itu, perlu
perlu membantu individu lansia untuk menjaga harkat dan otonomi maksimal
meskipun dalam keadaan kehilangan fisik, sosial dan psikologis (Smeltzer, 2001).

6. Teori-Teori Proses Penuaan


Menurut Maryam, dkk (2008) ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses
penuaan, yaitu : teori biologi, teori psikologi, teori sosial, dan teori spiritual.
a. Teori biologis
Teori biologi mencakup teori genetik dan mutasi, immunology slow theory,
teori stres, teori radikal bebas, dan teori rantai silang.
1) Teori genetik dan mutasi
Menurut teori genetik dan mutasi, semua terprogram secara genetik untuk
spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan
biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada
saatnya akan mengalami mutasi.
2) Immunology slow theory
Menurut immunology slow theory, sistem imun menjadi efektif dengan
bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh yang dapat
menyebabkan kerusakan organ tubuh.
3) Teori stress
Teori stres mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang
biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan
kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stres yang
menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
4) Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
(kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik

4
seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat
melakukan regenerasi.
5) Teori rantai silang
Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua
menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini
menyebabkan kurangnya elastisitas kekacauan, dan hilangnya fungsi sel.
b. Teori psikologi
Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan keakuratan
mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya penurunan dan
intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan
belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan
berinteraksi. Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan.
Dengan adanya penurunan fungsi sistem sensorik, maka akan terjadi pula
penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespons stimulus
sehingga terkadang akan muncul aksi/reaksi yang berbeda dari stimulus yang
ada.
c. Teori sosial
Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori
interaksi sosial (social exchange theory), teori penarikan diri (disengagement
theory), teori aktivitas (activity theory), teori kesinambungan (continuity
theory), teori perkembangan (development theory), dan teori stratifikasi usia
(age stratification theory).
1) Teori interaksi sosial
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi
tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Pada lansia,
kekuasaan dan prestasinya berkurang sehingga menyebabkan interaksi
sosial mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah harga diri dan
kemampuan mereka untuk mengikuti perintah.
2) Teori penarikan diri

5
Teori ini menyatakan bahwa kemiskinan yang diderita lansia dan
menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara
perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan di sekitarnya.
3) Teori aktivitas
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung bagaimana
seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta
mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas
dan aktivitas yang dilakukan.
4) Teori kesinambungan
Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan
lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan
gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat terlihat bahwa
gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah
meskipun ia telah menjadi lansia.
5) Teori perkembangan
Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua merupakan
suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap berbagai tantangan
tersebut yang dapat bernilai positif ataupun negatif. Akan tetapi, teori ini
tidak menggariskan bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan atau yang
seharusnya diterapkan oleh lansia tersebut.
6) Teori stratifikasi usia
Keunggulan teori stratifikasi usia adalah bahwa pendekatan yang dilakukan
bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk mempelajari sifat
lansia secara kelompok dan bersifat makro. Setiap kelompok dapat ditinjau
dari sudut pandang demografi dan keterkaitannya dengan kelompok usia
lainnya. Kelemahannya adalah teori ini tidak dapat dipergunakan untuk
menilai lansia secara perorangan, mengingat bahwa stratifikasi sangat
kompleks dan dinamis serta terkait dengan klasifikasi kelas dan kelompok
etnik.
7) Teori spiritual

6
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian
hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti
kehidupan.

7. Tugas Perkembangan Lansia


Lansia harus menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik yang terjadi seiring
penuaan. Waktu dan durasi perubahan ini bervariasi pada tiap individu, namun
seiring penuaan sistem tubuh, perubahan penampilan dan fungsi tubuh akan
terjadi. Perubahan ini tidak dihubungkan dengan penyakit dan merupakan
perubahan normal. Adanya penyakit terkadang mengubah waktu timbulnya
perubahan atau dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.
Adapun tugas perkembangan pada lansia dalam adalah : beradaptasi terhadap
penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan
penurunan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri
sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan,
menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, menemukan cara
mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2009).

8. Permasalahan yang Terjadi pada Lansia


Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pencapaian kesejahteraan lanjut
usia, antara lain: (Setiabudhi, T. 1999 : 40-42)
a. Permasalahan umum
1) Makin besar jumlah lansia yang berada dibawah garis kemiskinan.
2) Makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang
berusia lanjut kurang diperhatikan , dihargai dan dihormati.
3) Lahirnya kelompok masyarakat industri.
4) Masih rendahnya kuantitas dan kulaitas tenaga profesional pelayanan
lanjut usia.
5) Belum membudaya dan melembaganya kegiatan pembinaan
kesejahteraan lansia.

7
b. Permasalahan khusus
1) Berlangsungnya proses menua yang berakibat timbulnya masalah baik
fisik, mental maupun social
2) Berkurangnya integrasi sosial lanjut usia.
3) Rendahnya produktifitas kerja lansia.
4) Banyaknya lansia yang miskin, terlantar dan cacat.
c. Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah pada tatanan masyarakat
individualistik.
d. Adanya dampak negatif dari proses pembangunan yang dapat mengganggu
kesehatan fisik lansia

9. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penuaan


a. Hereditas atau ketuaan genetic
b. Nutrisi atau makanan
c. Status kesehatan
d. Pengalaman hidup
e. Lingkungan
f. Stres

10. Perubahan – Perubahan yang Terjadi pada Lansia


a. Perubahan fisik
Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua sistim organ tubuh,
diantaranya sistim pernafasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler,
sistem pengaturan tubuh, muskuloskeletal, gastro intestinal, genito
urinaria, endokrin dan integumen.
b. Perubahan mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :
1) Perubahan fisik, khsusnya organ perasa.
2) Kesehatan umum
3) Tingkat pendidikan

8
4) Keturunan (hereditas)
5) Lingkungan
6) Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.
7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.
8) Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan
teman dan family
9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri
c. Perubahan spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya
(Maslow, 1970). Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya , hal
ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari (Murray dan
Zentner, 1970).

11. Penyakit yang Sering pada Lansia


Menurut the National Old People’s Welfare Council, dikemukakan 12 macam
penyakit lansia, yaitu :
a. Depresi mental
b. Gangguan pendengaran
c. Bronkhitis kronis
d. Gangguan pada tungkai/sikap berjalan.
e. Gangguan pada koksa / sendi pangul
f. Anemia
g. Demensia

9
LAPORAN PENDAHULUAN SNH PADA LANSIA

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi
Stroke adalah gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan
defisit neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi sirkulasi
saraf otak (Sudoyo Aru, dkk 2009).
Stroke iskemik atau Stroke Non Hemorrhage (SNH) adalah stroke yang
disebabkan adanya obtruksi dari pembuluh darah oleh plak aterosklerotik,
bekuan darah atau kombinasi keduanya sehingga menghambat aliran darah ke
area otak (Linton, 2007).
Stroke Non Haemorhagic dapat berupa iskemia atau emboli dan
thrombosis serebral, biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru
bangun tidur atau di pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi
iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema
sekunder. Kesadaran umumnya baik (Muttaqin, 2008).   

Menurut Harsono (2007) stroke iskemik secara patologik dapat dibagi tiga yaitu
Trombosis pembuluh darah (thrombosis serebri), Emboli serebri, Arteritis
sebagai akibat dari lues/arteritis temporalis. Sedangkan berdasarkan bentuk
klinisnya stroke iskemik diklasifikasikan menjadi:
a. Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA) pada bentuk ini
gejala neurologic yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan
menghilang dalam waktu 24 jam.
b. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurological
Deficit (RIND), gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam
waktu lebih lama dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
c. Stroke Progresif (Progessive Stroke/stroke in evolution), stroke yang gejala
neurologiknya makin lama makin berat.

10
d. Stroke Komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke), stroke yang gejala
klinisnya sudah menetap.
2. Faktor Predisposisi
a. Faktor yang tidak dapat dirubah (Non Reversible)
 Jenis kelamin, pria lebih sering ditemukan menderita stroke
dibandingkan wanita
 Usia, makin tinggi usia makin tinggi juga resiko terkena stroke
 Keturunan, adanya riwayat keluarga yang terkena stroke.
b. Faktor yang dapat dirubah (Reversible)
1) Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang potensial. Hipertensi
dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh
darah otak. Apabila pembuluh darah otak pecah maka timbullah
perdarahan otak dan apabila pembuluh darah otak menyempit maka
aliran darah ke otak akan terganggu dan sel – sel otak akan
mengalami kematian.
2) Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak
yang berukuran besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak
akan menyempitkan diameter pembuluh darah tadi dan penyempitan
tersebut kemudian akan mengganggu kelancaran aliran ke otak, yang
pada akhirnya akan menyebabkan infark sel – sel otak.
3) Penyakit Jantung
Berbagai penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke.
Faktor risiko ini akan menimbulkan hambatan/sumbatan aliran darah
ke otak karena jantung melepas gumpalan darah atau sel –
sel/jaringan yang telah mati ke dalam aliran darah.
4) Gangguan Aliran Darah Otak Sepintas

11
Pada umumnya bentuk – bentuk gejalanya adalah sebagai berikut:
Hemiparesis, disartri, kelumpuhan otot – otot mulut atau pipi,
kebutaan mendadak, hemiparestesi dan afasia.
5) Kolesterol tinggi (Hiperkolesterolemi)
Meningginya angka kolesterol dalam darah, terutama low density
lipoprotein (LDL), merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya
arteriosklerosis (menebalnya dinding pembuluh darah yang kemudian
diikuti penurunan elastisitas pembuluh darah). Peningkatan kad ar
LDL dan penurunan kadar HDL (High Density Lipoprotein)
merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner.
6) Infeksi
Penyakit infeksi yang mampu berperan sebagai faktor risiko stroke
adalah
tuberkulosis, malaria, lues, leptospirosis, dan infeksi cacing.
7) Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung.
8) Merokok
Merokok merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya infark
jantung.
9) Kelainan pembuluh darah otak
Pembuluh darah otak yang tidak normal suatu saat akan pecah dan
menimbulkan perdarahan.
10) Peningkatan hematokrit (resiko infark serebral)
11) Kontrasepasi oral (khususnya dengan disertai hipertensi, merokok,
dan kadar estrogen tinggi)
12) Penyalahgunaan obat (kokain)
13) Konsumsi alkohol

3. Etiologi
a. Trombosis serebral

12
Arteriosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah
penyebab utama trombosis serebral, yang merupakan penyebab paling
umum dari stroke. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi. Sakit
kepala adalah awitan yang tidak umum. Beberapa pasien dapat
mengalami pusing, perubahan kognitif, atau kejang, dan beberapa
mengalami awitan yang tidak dapat dibedakan dari haemorrhagi
intracerebral atau embolisme serebral. Secara umum, trombosis serebral
tidak terjadi dengan tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara,
hemiplegia, atau parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului awitan
paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
b. Embolisme serebral
Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang -
cabangnya, yang merusak sirkulasi serebral. Awitan hemiparesis atau
hemiplegia tiba-tiba dengan afasia atau tanpa afasia atau kehilangan
kesadaran pada pasien dengan penyakit jantung atau pulmonal adalah
karakteristik dari embolisme serebral.
c. Iskemia serebral
Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena
konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak (Smeltzer,
2001).

4. Patofisiologi
  Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di
otak. Luasnya infark tergantung pada factor-faktor seperti lokasi dan
besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area
yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak
dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan local (thrombus,
emboli, perdarahan, dan spasme vascular) atau karena gangguan umum
(hipoksia karena gangguan paru dan jantung. Aterosklerosis sering sebagai
factor penyebab infark pada otak. Thrombus dapat berasal dari plak

13
aterosklerotik, atau darah dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran
darah mengalami perlambatan atau terjadi turbulensi.
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai
emboli dalam aliran darah. Thrombus dapat mengakibatkan iskemi jaringan
otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan
kongesti di sekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih
besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam
beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan
berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena
thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi
pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan
nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi septic infeksi akan meluas pada
dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika
sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan
dilatasi aneurisme pembuluh darah. Hal ini menyebabkan perdarahan
serebral, jika aneurisme pecah atau rupture.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak,
dan perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi
pada sepertiga kasus perdarahan otak di nucleus kaudatus, thalamus dan
pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral.
Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversible untuk
waktu 4-6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit.
Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah
satunya henti jantung (Muttaqin, Arif, 2008).

14
Pathway stroke

15
16
5. Manifestasi Klinis
Stroke menyebabakan berbagai deficit neurologic, bergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (skunder atau
aksesori). Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
a. Kehilangan motorik.
Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan
control volunter terhadap gerakan motorik. Karena neuron atas melintas,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat
menunjukan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang
berlawanan dari otak. Disfungsi motor paling umum adalah hemiplegia
(paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Hemiparesis, atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang
lain.
Di awal tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul biasanya adalah
paralisis dan hilang atau menurunnya refleks tendon dalam. Apabila
refleks tendon dalam ini muncul kembali (biasanya dalam 48 jam),
peningkatan tonus disertai dengan spastisitas (peningkatan tonus otot
abnormal) pada ekstremitas yang terken dapat dilihat.
b. Kehilangan Komunikasi.
Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan
komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling umum. Disfungsi
bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut:
1) Disatria (kesulitan berbicara), ditunjukan dengan bicara yang sulit
dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung
jawab untuk menghasilkan bicara.
2) Disfasia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara), yang
terutama ekspresif atau reseptif.

17
3) Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang
dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika mengambil sisir dan
berusaha untuk menyisir rambutnya.
c. Gangguan persepsi.
Persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi.
Stroke dapat mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan dalam
hubungan visual-spasial dan kehilangan sensori. Disfungsi persepsi
visual karena gangguan jaras sensori primer diantara mata dan korteks
visual. Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang pandang)
dapat terjadi karena stroke dan mungkin sementara atau permanen.
Sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi tubuh yang paralisis.kepala
pasien cenderung berpaling dari sisi tubuh yang sakit dan cenderung
mengabaikan bahwa tempat dan ruang pada sisi tersebut; ini disebut
amorfosintesis. Pada keadaan ini, pasien tidak mampu melihat
makanan pada setengah nampan, dan hanya setengah ruangan yang
terlihat. Penting untuk perawat secara konstan mengingatkan pasien
tentang sisi lain tubuhnya, mempertahankan kesejajaran ekstremitas dan,
bila mungkin, menempatkan ekstremitas dimana pasien mampu
melihatnya.
d. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau
lebih objek dalam area spasial)
Sering terlihat pada pasien dengan hemiplegia kiri. Pasien mungkin tidak
dapat memakai tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk
mencocokan pakaian ke bagian tubuh. Untuk membantu pasien ini,
perawat dapat mengambil langkah untuk mengatur lingkungan dan
menyingkirkan perabot karena pasien dengan masalah persepsi mudah
terdistraksi. Akan bermanfaat menganjurkan pasien memperlambat dan
memberikan pengingat lembut tentang dimana objek ditempatkan.
e. Kehilangan sensori

18
Stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat,
dengan kehilangan propriopsesi (kemampuan untuk merasakan posisi dan
gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli
visual, taktil, dan auditorius.
f. Kerusakan Fungsi Kognitif dan efek Psikologik.
Bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas,
memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak.
Disfungsi ini dapat ditunjukan dalam lapang pandang perhatian terbatas,
kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi yang
menyebabkan pasien ini menghadapi masalah frustasi dalam program
rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin diperberat oleh
respons alamiah pasien terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah
psikologik lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas
emosional, bermusuhan, frustasi, dendam, dan kurang kerja sama.
g. Disfungsi kandung kemih
Setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontinensia urinarius
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomuniksikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mrnggunakan urinal / bedpan
karena kerusakan control motorik dan postural. Kadang-kadang setelah
stroke kandung kemih menjadi atonik, dengan kerusakan sensasi dalam
respon terhadap pengisian kandung kemih. Kadang-kadang control
sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selam periode ini,
dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Ketika tonus otot
meningkat dan refleks tendon kembali, tonus kandung kemih meningkat
dan kapasitas kandung kemih dapat terjadi. Karena indera kesadaran
pasien kabur, inkontinensia urinarius menetap atau retensi urinarius
mungkin stmtomatik karena kerusakan otak bilateral. Inkontinensia ani
dan urine yang berlanjut menunjukan kerusakan neurologic yang luas.

19
6. Pemeriksaan Diagnostik/Pemeriksaan Laboratorium
a. CT Scan, memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan
adanya infark.
b. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri.
c. Fungsi lumbal: Menunjukan adanya tekanan normal, tekanan meningkat
dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan.
d. MRI: Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik.
e. Ultrasonografi Dopler: Mengidentifikasi penyakit arteriovena.
f. Sinar X Tengkorak: Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal.

7. Penatalaksanaan Medis
a. Neuroproteksi
Pada stroke iskemik akut, dalam batas-batas waktu tertentu sebagian
besar cedera jaringan neuro dapat dipulihkan. Mempertahankan fungsi
jaringan adalah tujuan dari apa yang disebut sebagai strategi
neuroprotektif. Hipoternia adalah terapi neuroprotektif yang sudah lama
digunakan pada kasus trauma otak dan terus diteliti pada stroke. Cara
kerja metode ini adalah menurunkan aktivitas metaboisme dan tentu saja
kebutuhan oksignen sel-sel neuron. Dengan demikian neuron terlindung
dari kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia berkepanjangan
eksitotoksisitas yang dapat terjadi akibat jenjang glutamate yang biasanya
timbul setelah cedera sel neuron. The Cleveland Clinic telah meneliti
pemakaian selimut dingin dan mandi air es dalam 8 jam awitan gejala
dan mempertahankan hipotermia ke suhu 89,6 oF selama 12 sampai 72
jam sementara pasien mendapat bantuan untuk mempertahankan
kehidupan. Selama rehabilitasi, pasien ayng diberi terapi hipotermik
cenderung mengalami lebih sedikit kecacatan (skala Rankin) dan daerah
infark yang lebih kecil dari pada kelompok control (Abou-Chebl et
al.,2001).

20
Pendekatan lain untuk mempertahankan jaringan adalah pamakaian obat
neuroprotektif. Banyak riset stroke yang meneliti obat yang dapat
menurunkan metabolism neuron, mencegah pelepasan zat-zat toksik dari
neuron yang rusak, atau memperkecil respons hipereksitatorik yang
merusak dari neuron-neuron di penumbra iskemik yang mengelilingi
daerah infark pada stroke. Meningkatkan pengetahuan tentang
patofisiologi cedera sel otak iskemik telah mendorong para peneliti untuk
berfokus pada pengembangan antagonis kalsium, antagonis glutamate,
antioksidan, dan berbagai jenis obat neuroprotektif lainnya.
Tantangan dalam mengusahakan neuroproteksi pascacedera adalah
menemukan obat yang selektif untuk neuron iskemik, yaitu memiliki
indeks terapeutik (dosis letal ÷ dosis terapeutik) yang baik (Salazar,
Fulmor, Srinivas, 2000). Berbagai agen telah diuji, termasuk nitroksida
(Leker, et al, 2000).suatu obat neuroprotektif yang menjanjikan,
cerebrolisin (CERE) memiliki efek pada metabolism kalsium neuron dan
juga memperlihatkan efek neurotrofik (Ladurner, 2001). Saat ini terdapat
beragam obat dan senyawa obat mencegah dan mengobati secara akut
stoke yang berada dalam berbagai tahap pengembangan. Karena sifat
cedera sel otak iskemik yang multidimensi dan sekuensial, maka kecil
kemungkinannya ada satu obat yang akan dapat melindungi secara total
otak selama stroke; kemungkinan besar, diperlukan kombinasi beberapa
obat agar potensi pemulihan dapat diupayakan secara penuh.
b. Antikoagulasi
The European Stroke Initiative (2000) merekomendasikan bahwa
antikoagulan oral (INR 2,0 sampai 3,0) diindikasikan pada stroke yang
disebabkan oleh fibrilasi atrium. Diperlukan antikoagulasi dengan derajat
yang lebih tinggi (INR 3,0 sampai 4,0) untuk pasien stroke yang memiliki
katup prostetik mekanis. Bagi pasien yang bukan merupakan kandidat
untuk terapi warfarin (Coumadin), maka dapat digunakan aspirin

21
tersendiri atau dalam kombinasi dengan dipiridamol sebagai terapi
antitrombotik awal untuk profilaksis stroke.
c. Trombolisis Intravena
Satu-satunya yang telah disetujui oleh the US Food and Drugs
Administration (FDA) untuk terapi stroke iskemik akut adalah activator
plasminogen jaringan (TPA) bentuk rekombinan. Selelah disetujui pada
bulan Juni 1996, TPA dapat digunakan untuk menghindari cedera otak,
dan angka kematian nasional yang telah disesuaikan dengan usia untuk
stroke berkurang 1,1 % sejak tahun 1995 (Peters at al., 1998).
Keberhasilan ini mendorong diintensifkannya upaya-upaya untuk
menyuluh masyarakat dan petugas kesehatan bahwa stroke adalah suatu
kedaruratan dan bahwa gejala stroke akut harus diterapi sama segeranya
seperti luka tembak di kepala.
Dengan demikian terapi dengan TPA intravena tetap menjadi stndar
keperawatan untuk stroke akut dalam tiga jam pertama setelah awitan
gejala (National Institute of Health [NIH], 1995). Namun hanya 1 %
sampai 2 % pasien yang saat ini mendapat terapi, biasanya karena mereka
datang terlambat ke unit gawat darurat di luar batas waktu tiga jam.
Risiko terbesar menggunakan terapi trombolitik adalah perdarahana
intraserebrum. Dengan demikian terapi harus diguakan hanya bagi pasien
yang telah disaring secara cermat dan yang tidak memenuhi satupun dari
criteria eksklusif berikut:
1) Gambaran perdarahan intrakranium berupa massa yang membesar
pada CT
2) Angiogram yang negative untuk adanya bekuan
3) Peningkatan waktu protrombin/INR, yang mengisyaratkan
kecenderungan perdarahan
4) Adanya pembuluh dan luka yang belum sembuh dari trauma atau
pembedahan yang baru saja terjadi

22
5) Tekanan darah diastolic yang sangat tinggi; hilangnya autoregulasi
adalah suatu resiko besar
Selain itu, pasien dengan riwayat baru-baru ini pernah menggunakan
kokain atau amfetamin sering disingkirkan karena risiko perdarahan dari
pembuluh otak dibawah tekanan tinggi.
d. Trombolisis Intraarteri
      Pemakaian trombolisis intraarteri untuk pasien dengan stroke iskemik
akut sedang dalam penilaian, walaupun saat ini belum disetujui oleh FDA
(Furlan et al., 1999). Pasien ayng berisiko besar mengalami perdarahan
akibat terapi ini adalah mereka yang skor National Institute of Health
Stroke Scale) (NIHSS)-nya tinggi, memerlukan waktu lebih lama untuk
rekanalisasi pembuluh, kadar glukosa darah yang lebih tinggi, dan hitung
trombosit yang rendah (Kidwell et al., 2001).
e. Terapi Perfusi
      Serupa dengan upaya untuk memulihkan sirkulasi otak pada kasus
vasospasme saat pemulihan dari perdarahan subaraknoid, pernah
diusahakan induksi hipertensi sebagai usaha untuk meningkatkan tekanan
darah arteri rata-rata sehingga perfusi otak dapat meningkat (Hillis et al.,
2001).
f. Pengendalian Edema dan Terapi Medis Umum
      Edema otak terjadi pada sebagian besar kasus infark serebrum
iskemik, terutama pada keterlibatan pembuluh-pembuluh besar di daerah
arteria serebri media. Terapi konservatif dengan membuat pasien sedikit
dehidrasi, dengan natrium serum normal atau sedikit meningkat.

8. Komplikasi
Komplikasi stroke meliputi:
a. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah
adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang
dikirimkan ke jaringan Pemberian oksigen suplemen dan

23
mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat
diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
b. Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan
integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena)
harus menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran
darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk
mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya
area cedera.
c. Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi
atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan
menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran
darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral.
Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan
penghentian thrombus local. Selain itu, disritmia dapat menyebabkan
embolus serebral dan harus diperbaiki.

9. Perawatan Pasca Stroke


a. Rehabilitasi Stroke
Rehabilitasi stroke termasuk seluruh tujuan dari rehabilitasi lansia.
Pencegahan komplikasi dan keterbatasan sekunder adalah hasil utama
yang diharapkan. Peningkatan kualitas dan arti dalam hidup dengan
keterbatasan dan deficit klien lansia juga merupakan hal yang penting
bagi keberhasilan program rehabilitasi stroke. Selain memposisikan klien
dan latihan rentang gerak, suatu program rehabilitasi stroke
memfokuskan pada AKS. Aktivitas kehidupan sehari-hari termasuk
makan, berdandan, hygiene, mandi, dan yang sejenisnya. Dengan
melibatkan ahli terapi fisik dan okupasi dapat meningkatkan kemampuan
perawat untuk merencanakan perawatan.
Evaluasi tingkat sensorik motorik , pengukuran rentang gerak sendi , dan
kekuatan otot adalah tujuan spesifik bagi ahli terapi dan perawat.

24
Pemeriksaan genggaman , kekuatan trisep, dan keseimbangan
memberikan data yang berharga untuk perencanaan strategi kompensasi
untuk menyelesaikan tugas tugas perawatan diri. Propriosepsi,
sensasi,dan tonus otot dievaluasi. Suatu pengkajian yang seksama juga
termasuk tingkat deficit neurologis yang mungkin telah di alami oleh
klien akibat stroke. Data tersebut termasuk kemampuan klien untuk
mandi, berpakaian, makan, ke toilet, dan berpindah. Selain itu, status
fungsi usus dan kandung kemih klien adalah informasi yang sangat
penting untuk perencanaan perawatan. Fungsi penglihatan dan
pendengaran dikaji dan setiap penyimpangan dimasukkan dalam
pendekatan tim.
Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kemandirian klien dengan
terus memberikan peluang untuk melakukan tugas yang mampu ia
lakukan. Perawat adalah kunci pemberi perawatan dalam proses
rehabilitasi, mengkoordinasikan asuhan perawatan dan terapi
rehabilitative. Dengan memperhatikan tujuan ini, perawat dapat
memaksimalkan potensi klien tersebut.
b. Kognisi dan komunikasi
Konfusi, disorientasi, dan masalah komunikasi adalah akibat yang sering
dari stroke. Masalah komunikasi dapat diakibatkan oleh afasia dan
disartria, perawat perlu menyertakan teknik komunikasi yang
memfasilitasi kemampuan klien untuk memahami kata-kata. Teknik
komunikasi tersebut meliputi berbicara secara perlan-lahan, memberikan
petunjuk sederhana(satu pada satu waktu), membatasi distraksi, dan
mendengar secara aktif.Selain itu, menghubungkan kata-kata dengan
objek,menggunakan pengulangan dan kata-kata yang banyak, dan
mendorong keluarga untuk membawa objek kecil yang dikenal oleh klien
dan untuk menyebutkan nama objek-objek tersebut dapat meningkatkan
pola komunikasi.Dapat juga digunakan papan abjad,mesin tik,dan
program computer untuk membantu pemahaman klien tentang

25
lingkungannya. Mengevaluasi penglihatan dan pendengaran dapat juga
membantu mengatasi masalah yang,sekali dapat diperbaiki, secara drastic
akan meningkatkan komunikasi.
c. Dukungan psikologis
Klien lanjut usia mengalami berbagai kehilangan berdasar dengan
terjadinya stroke, mencakup perubahan citra tubuh, fungsi tubuh, dan
perubahan peran. Dukungan psikologis diarahkan agar dalam
menghadapi kehilangan ini dapat mendorong keberhasilan adaptasi dan
penyesuaian. Tujuan yang realistis dapat ditetapkan hanya setelah
perawat mengkaji gaya hidup klien sebelumnya, tipe kepribadian,
perilaku koping, dan aktivitas pekerjaan. Dengan menyediakan situasi
untuk penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan, perawat
member klien suatu kesempatan untuk memperoleh kendali atas
lingkungannya. Keadaan seperti itu dapat sederhana seperti membiarkan
klien untuk memilih di antara dua aktivitas, untuk memutuskan waktu
terapi, untuk memilih pakaian, dan untuk membuat pilihan makanan.
Memfokuskan pada kekuatan dan kemampuan klien daripada terhadap
deficit dapat mendorong harapan klien tersebut.
Depresi sering terjadi dengan terjadinya kehilangan fungsi tubuh dan
perubahan peran dan citra tubuh. Konsultasikan kepada seorang perawat
kesehatan mental untuk membantu mengatasi masalah ini. Klienn lansia
mungkin mengalami suatu perasaan isolasi dan pengasingan. Keluarga
mungkin memerlukan dukungan emosional dan psikologis ketika
berusaha untuk memahami apa arti kehilangan bagi klien. Jika kebutuhan
untuk mendapatkan dukungan keluarga ini tidak diperhatikan, klien
mungkin mempertimbangkan untuk bunuh diri.Ajarkan anggota keluarga
tentang depresi dan peringatkan mereka terhadap tanda dan gejala yang
penting dalam memberikan dukungan psikososial.
Kelabilan emosional dan ledakan-ledakan mungkin terjadi setelah stroke.
Anggota keluarga yang telah diajarkan tentang strategi komunikasi dan

26
bagaimana cara bermain peran dalam situasi yang potensial akan menjadi
lebih percaya diri.dalam merawat klien. merujuk keluarga dan klien pada
pelayanan pendukung seperti pelayanan kesehatan di rumah, Kelompok
pendukung, dan respite care dapat mengurangi beban ketergantungan
yang mungkin mengikuti stroke melibatkan manajemen factor-faktor
yang pada akhirnya dapat membuat perbedaan dalam memelihara
kemandirian maksimum dan menurunkan komplikasi sekunder yang
dapat berkembang dari penyakit kronis yang melumpuhkan. (Mickey
Stanley, Buku Ajar Keperawatan gerontik edisi 2. 2006)
Gangguan emosional, terutama ansietas, frustasi dan depresi merupakan
masalah umum yang dijumpai pada penderita pasca stroke. Korban stroke
dapat memperlihatkan masalah-masalah emosional dan perilakunya
mungkin berbeda dari keadaan sebelum mengalami stroke. Emosinya
dapat labil, misalnya pasien mungkin akan menangis namun pada saat
berikutnya tertawa, tanpa sebab yang jelas. Untuk itu, peran perawat
adalah untuk memberikan pemahaman kepada keluarga tentang
perubahan tersebut.
 Hal-hal yang bisa dilakukan perawat antara lain memodifikasi perilaku
pasien seperti seperti mengendalikan simulasi di lingkungan,
memberikan waktu istirahat sepanjang siang hari untuk mencegah pasien
dari kelelahan yang berlebihan, memberikan umpan balik positif untuk
perilaku yang dapat diterima atau perilaku yang positif, serta memberikan
pengulangan ketika pasien sedang berusaha untuk belajar kembali satu
ketrampilan.

27
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
a. Aktivitas / istirahat
Gejala: Kesulitan untuk melakukan aktivitas/kelemahan, kehilangan
sensasi atau paralysis (hemiplagea)
Tanda: Gangguan tonus otot (flaksid,spastis),paralitik (hemiplagia) dan
terjadi kelemahan umum, gangguan pengelihatan, gangguan tingkat
kesadaran.
b. Sirkulasi
Gejala: Adanya penyakit jantung (MI, reumatik/penyakit jantung
vaskuler, GJK, endokarditis bakterial), polisitemia, riwayat hipotensi
postural
Tanda:
Hipertensi arterial (dapat ditemukan/terjadi pada CSV) sehubungan
dengan adanya embolisme/malformasi vaskuler.
Nadi : frekuensi dapat bervariasi (karena ketidakstabilan fungsi jantung/
kondisi jantung, obat-obatan, efek stroke pada pusat vasomotor)
Disritmia, perubahan EKG
c. Integritas ego
Gejala: Perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa
Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih
dan gembira. Kesulitan untuk mengekspresikan diri.
d. Eliminasi
Gejala: Perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urine,anuria
Tanda: Distensi abdomen (distensi kandung kemih berlebihan), bising
usus negative (ileus paralitik)
e. Makanan / cairan
Gejala: Nafsu makan hilang, mual muntah selama fase akut (peningkatan
TIK), disfagia, adanya riwayat diabetes, peningkatan lemak dalam darah.

28
Tanda: Kesulitan menelan (gangguan pada refleks palatum dan
faringeal). Obesitas factor risiko
f. Neurosensori
Gejala: 
 Sinkope/pusing (sebelum serangan CVS/selama TIA), Sakit kepala;
akan sangat berat dengan adanya perdarahan intraserebral atau
subarakhnoid.
 Kelemahan/kesemutan/kebas (biasanya terjadi selama serangan TIA,
yang ditemukan dalam berbagai derajat pada stroke jenis yang lain);
sisi yang terkenaterlihat seperti “mati/lumpuh”
 Penglihatan menurun, seperti buta total, kehilangan daya lihat
sebagian (kebutaan monokuler),penglihatan ganda (diplopia) atau
gangguan yang lain
 Sentuhan: hilangnya rangsangan sensorik kontralateral (pada sisi
tubuh yang berlawanan)pada ekstremitas dan kadang-kadang pada
ipsilateral (yang satu sisi) pada wajah.
Tanda: 
 Status mental tingkat kesadaran: biasanya terjadi koma pada tahap
awal hemoragis; ketidaksadaran biasanya akan tetap sadar jika
penyebabnya adalah trombosis yang bersifat alami; gangguan
tingkah laku (seperti letargi, apatis, menyerang); gangguan fungsi
kognitif (seperti penuruna memori, pemecahan masalah).
Ekstremitas: kelemahan/paralysis (kontralateral pada semus jenis
stroke), genggaman tidak sama, refleks tendon melemah secara
kolateral
 Pada wajah terjadi paralysis atau parese (ipsilateral)
 Afasia: gangguan atau kehilangan fungsi  bahasa mungkin afasia
motorik (kesulitan untuk mengungkapkan kata),reseptif (afisia
sensorik) yaitu kesulitan untuk memahami kata-kata secara
bermakna atau afasia global yaitu gabungan dari kedua hal di atas

29
 Kehilangan kemampuan untuk mengenali masuknya rangsangan
visual, pendengaran,taktil(agnosia), seperti gangguan kesadaran
terhadap citra tubuh, kewaspadaan, kelalaian terhadap bagian tubuh
yang terkena, gangguan persepsi
 Ukuran/ reaksi pupil tidak sama, dilatasi atau miosis pupil ipsilateral
(perdarahan/herniasi)
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala: Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda ( karena arteri
karotis terkena)
Tanda: Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada
otot/fasia
h. Pernapasan
Tanda: Ketidakmampuan menelan/batuk/hambatan jalan nafas
i. Keamanan
Tanda:
 Perubahan persepsi terhadap orientasi tempat tubuh (stroke kanan).
Kesulitan untuk melihat objek dari sisi kiri ( pada stroke
kanan). Hilang kewaspadaan pada bagian tubuh yang sakit.
 Tidak mampu mengenali objek, kata, dan wajah yang pernah
dikenalnya dengan baik.
 Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan,
tidak sabar/kurang kesadaran diri ( stroke kanan)
j. Interaksi social
Tanda: Masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi

30

Anda mungkin juga menyukai