Oleh :
ALRISTA MAWAR WIDANTI
NIM. P27820820004
A. Definisi
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue
haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan ditesis
hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan dirongga
tubuh. Sindrome renjatan dengue (dengue shock syndrome) adal demam
berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok (Nurarif & Hardhi, 2015).
Dengue Hemmorhagic Fever adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus dengue melalui gigitan nyamuk, penyakit ini telah dengan cepat
menyebar di seluruh wilayah WHO dalam beberapa tahun terakhir. Virus
dengue ditularkan oleh nyamuk betina terutama dari spesies Aedes aegypti
dan, pada tingkat lebih rendah, A. albopictus. Penyakit ini tersebar luas di
seluruh daerah tropis, dengan variasi lokal dalam risiko dipengaruhi oleh
curah hujan, suhu dan urbanisasi yang cepat tidak direncanakan (WHO,
2015).
B. Klasifikasi
Menurut T. Lestari (2016), DHF di klasifikasikan menjadi :
a. Derajat 1 : Demam disertai dengan gejala klinis lain atau perdarahan
spontan, uji torniquet positif, trombositopenia dan hemokonsentrasi
b. Derajat 2 : Derajat 1 disertai dengan perdarahan spontan di kulit ataupun
perdarahan lain
c. Derajat 3 : Kegagalan sirkulasi : nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit
teraba dingin lembab, gelisah
d. Derajat 4 : Renjatan berat denyut nadi dan tekanan darah tidak dapat
diukur. Yang disertai dengan dengue shock sindrom
C. Etiologi
Empat virus dengue yang berbeda diketahui menyebabkan demam
berdarah. Demamberdarah terjadi ketika seseorang digigit oleh nyamuk yang
terinfeksi virus.
Nyamuk Aedes aegypti adalah spesies utama yang menyebar penyakit ini. Ada lebih
dari 100 juta kasus baru demam berdarah setiap tahun di seluruh dunia. Sejumlah
kecil ini berkembang menjadi demam berdarah. Kebanyakan infeksi di Amerika
Serikat yang dibawa dari negara lain. Faktor risiko untuk demam berdarah termasuk
memiliki antibodi terhadap virus demam berdarah dari infeksi sebelumnya (Vyas, et
al, 2014).
Virus dengue termasuk genus Flavirus, keluarga flaviridae terdapat 4 serotipe
virus dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4, keempatnya ditemukan di
Indonesia dengan den-3 serotype terbanyak. Infeksi salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang
terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan
perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain. Seseorang yang tinggal di daerah
epidermis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat
serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia (Nurarif &
Hardhi, 2015).
D. Patofisiologi
Menurut Huda dan Kusuma (2015), Virus dengue masuk ke dalaam tubuh manusia
akan menyebabkn klien mengalami viremia. Beberpa tanda dan gejala yang muncul
seeperti demam, sakit kepala, mual nyeri otot, pegal seluruh tubuh, timbulnya ruam
dan kelainan yang mungkin terjadi pada sistem vaskuler. Pada penderita DBD,
terdapat kerusakan yang umum pada sistem vaskuler yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah. Plasma dapat menembus dinding
vaskuler selama proses perjalanan penyakit, dari mulai demam hingga klien
mengalami renjatan berat. Volume plasma dapat menurun hingga 30%. Hal inilah
yang dapat mengakibatkan seseorang mengalami kegagalan sirkulasi. Adanya
kebocoran plasma ini jika tidak segera di tangani dapat menyebabkan hipoksia
jaringan, asidosis metabolik yang pada akhirnya dapat berakibat fatal yaitu kematian.
Virmia juga menimbulkan agresi trombosit dalam darah sehingga menyebabkan
trombositopeni yang berpengaruh pada proses pembekuan darah. Perubahan
fungsioner pembuluh darah akibat kebocoran plasma yang berakhir pada perdarahan,
baik pada jaringan kulit maupun saluran cerna biasanya menimbulkan tanda seperti
munculnya purpura, ptekie, hematemesis, atapun melena.
E. Pathway
Menggigit manusia
Virus masuk
Kebocoran plasma
Aliran darah
Masuk ke pembuluh darah otak
Mekanisme tubuh melawan virus Viremia
Perdarahan melalui aliran darah sehingga
ekstraseluler mempengaruhi hipotalamus
Komplemen antigen
Peningkatan asam lambung
Antibodi meningkat
Suhu tubuh meningkat
Mual, muntah Pelepasan peptida
Hemoglobin menurun
Suplai O2 menurun
Penumpukan asam
laktat di sel otot
Nyeri Akut
(D.0077)
F. Manifestasi Klinis
Menurut Susilaningrum (2013) manifestasi klinis dari DHF adalah :
1) Demam.
Demam tinggi sampai 400C dan mendadak, Demam terjadi secara mendadak
berlangsung selama 2 – 7 hari kemudian turun menuju suhu normal atau lebih
rendah. Bersamaan dengan berlangsung demam, gejala – gejala klinik yang tidak
spesifik misalnya anoreksia. Nyeri punggung , nyeri tulang dan persediaan, nyeri
kepala dan rasa lemah dapat menyetainya.
2) Perdarahan.
Uji tourniquet ,dinyatakan positif jika terdapat bitnik- bintik kecil merah
dilengan dalam waktu 2 menit terdapat 10 bintik-bintik.
Perdarahan biasanya terjadi pada hari ke 2 dan 3 dari demam dan umumnya
terjadi pada kulit dan dapat berupa uji torniguet yang positif mudah terjadi
perdarahan pada tempat fungsi vena, petekia (bintik-bintik merah akibat
perdarahan intradermak / submukosa) purpura (perdarahan di kulit), epistaksis
(mimisan ), perdarahan gusi, Perdarahan ringan hingga sedang dapat terlihat
pada saluran cerna bagian atas hingga menyebabkan haematemesis, dan melena
(tinja berwarna hitam karena adanya perdarahan. Perdarahan gastrointestinal
biasanya di dahului dengan nyeri perut yang hebat.
3) Anoreksia
4) Mual muntah
5) Nyeri perut kanan atas atau seluruh bagian perut
6) Nyeri kepala
7) Nyeri otot dan sendi
8) Trombositopenia (< 100.000/ mm3 )
9) Hepatomegali.
Pada permulaan dari demam biasaanya hati sudah teraba, meskipun pada anak
yang kurang gizi hati juga sudah. Bila terjadi peningkatan dari hepatomgali dan
hati teraba kenyal harus di perhatikan kemungkinan akan tejadi renjatan pada
penderita.
10) Renjatan (Syok).
Permulaan syok biasanya terjadi pada hari ke 3 sejak sakitnya penderita, dimulai
dengan tanda – tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit lembab, dingin pada ujung
hidung, jari tangan, jari kaki serta sianosis disekitar mulut. Bila syok terjadi pada
masa demam maka biasanya menunjukan prognosis yang buruk.
G. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji torniquet
Hasil uji torniquet positif, yang artinya terdapat bintik-bintik merah pada
permukaan kulit penderita yang menandakan terinfeksi Dengue Hemorrhagic
Fever (DHF).
b. Darah Lengkap
1) Pada demam Dengue terdapat Leukopenia pada hari kedua atau hari ketiga
2) Pada demam berdarah terdapat trombositopenia dan hemokosentrasi atau
meningkatnya nilai hematocrit dan pemeriksaan tourniquet.
3) Pada pemeriksaan kimia darah : hipoproteinemia, hipokloremia, SGPT,
SGOT, ureum dan pH darah meningkat .
c. Urine
Mungkin ditemukan albuminuria ringan.( T. Lestari, 2016)
Nama Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 12,6 g/dL 13,2 – 17,3
Jumlah Eritrosit 4,72 10^6/uL 4,40 – 5,90
Hematokrit 53,0 % 40,0 – 52,0
Jumlah Leukosit 5.700 /uL 4.400 – 11.300
MCV 80,9 fL 80,0 – 100
MCH 30 pg 28,0 – 34,0
MCHC 34,3 g/L 32,0 – 36,0
RDW-CV 13,7 % 11,5 – 14,5
Neutrofil 71,1 % 50,0 – 70,0
Limfosit 20,9 % 25,0 – 40,0
Monosit 8,0 % 2,0 – 8,0
Jumlah Trombosit 138.000 /uL 150.0 – 440.000
H. Penatalaksanaan
Menurut Padila (2013), adapun penatalaksanaan pasien DHF adalah sebagai berikut :
a. Penatalaksanaan Medik DHF tanpa renjatan
1) Beri minum banyak (11/2-2 liter/hari).
2) Obat anti piretik untuk menurunkan panas.
3) Jika kejang, maka dapat diberi luminal (antionvulsan).
4) Berikan infus jika terus muntah dan hematokrit meningkat.
b. Penatalaksanaan Medik DHF dengan renjatan
1) Pasang infus RL.
2) Jika dengan infus tidak ada respon, maka berikan plasma expander (20-30
ml/kg BB).
3) Transfusi jika Hb dan Ht turun.
c. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Observasi intake output.
2) Pada pasien DHF derajat I : pasien diistirahatkan, observasi tanda vital tiap 3
jam, periksa Hb, Ht, trombosit tiap 4 jam, beri minum 11/2-2 liter/hari, beri
kompres.
3) Pada pasien DHF derajat II : pengawasan tanda vital, pemeriksaan Hb, Ht,
trombosit, perhatikan gejala seperti nadi lemah, kecil dan cepat, tekanan darah
menurun, anuria dan sakit perut, beri infus.
4) Pada pasien DHF derajat III : infus guyur, posisi semi fowler, beri O2,
pengawasan tanda vital tiap 15 menit, pasang cateter, observasi produksi urine
tiap jam, periksa Hb, Ht, trombosit.
5) Pada pasien DHF dengan resiko perdarahan : observasi perdarahan (pteckie,
epistaksis, hematemesis, dan melena), catat banyak dan warna dari perdarahan,
pasang NGT pada pasien dengan perdarahan tractus gastrointestinal.
6) Penatalaksanaan pada peningkatan suhu tubuh : observasi/ukur suhu tubuh
secara periodik, beri banyak minum dan berikan kompres.
I. Komplikasi
Menurut (Warsidi, E, 2009) Komplikasi dari penyakit demam berdarah diantaranya :
1. Ensepalopati : demam tinggi,gangguan kesadaran disertai atau tanpa kejang
2. Disorientasi dan penurunan kesadaran
3. Perdarahan luas
4. Shock atau renjatan dan dapat terjadi anoksia jaringan
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
DENGUE HEMORHAGIC FEVER (DHF)
A. PENGKAJIAN
Pengkajian dengan Penyakit infeksi Demam Berdarah Dengue menurut
(Nurarif & Hardhi, 2015) adalah :
1. Identitas pasien : Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, agama, tgl
MRS, no rekam medis, diagnosa medis.
DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia selama 47 tahun
terahir. Sejak tahun 1968 terjadi peningkatan jumlah provinsi dan kabupaten/kota
dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 34 provinsi dan 436 (85%) kabupaten/kota
pada tahun 2015. Terjadi juga peningkatan kasus DBD dari tahun 1968 yaitu 58
kasus menjadi 126.675 kasus pada tahun 2015. Peningkatan dan penyebaran
kasusu DBD tersebut disebabkan oleh mobilitas penduduk yang sangat tinggi,
perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, peruahan kepadatan dan
distribusi penduduk dan faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. (Pusdatin Kemenkes RI, 2016).
Distribusi kasus DBD berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2012-2015 yaitu
presentase penderita laki-laki dan perempuan cenderung sama. Hal ini
menggambarkan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kemungkinan yang
sama untuk terkena DBD, atau dapat dikatakan bahwa kejadian DBD tidak
dipengaruhi oleh jenis kelamin (Pusdatin Kemenkes RI, 2016).
2. Keluhan Utama
Alasan/keluhan yang menonjol pada pasien Demam Berdarah Dengue untuk
datang ke Rumah Sakit adalah panas tinggi dan terasa lemah.
3. Riwayat Sakit dan Kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang: Didapatkan adanya keluhan panas mendadak yang
disertai menggigil, dan saat demam kesadaran komposmentis. Turunnya panas
terjadi antara hari ke 3 dan ke 7 dan semakin lemah. Kadang-kadang disertai
dengan keluhan batuk pilek, nyeri telan, mual, muntah, anoreksia, diare atau
konstipasi, sakit kepala, nyeri otot dan persendian, nyeri uluh hati, dan
pergerakan bola mata terasa pegal, serta adanya manisfestasi perdarahan pada
kulit, gusi (grade 3 dan 4), melena, atau hematemesis.
2) Riwayat penyakit dahulu: pernah menderita Demam Berdarah Dengue,
penderita bisa mengalami serangan ulangan Demam Berdarah Dengue dengan
tipe virus yang lain.
3) Riwayat alergi: pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap beberapa obat,
makanan, udara, debu.
4) Riwayat Kehamilan dan Persalinan : Keadaan ibu sewaktu hamil per
trimester,apakah ibu t i d a k pernah mengalami infeksi atau sakit panas
sewaktu hamil.Riwayat trauma,perdarahan pervagina minum jamu selama
hamil.Riwayat persalinan spontan.
5) Riwayat Imunisasi Jenis imunisasi yang sudah didapatkan sesuai umur.
6) Riwayat Perkembangan Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi:
1) Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) :berhubungan dengan
kemampuan mandiri anak bisa melakukan segala sesuatu tanpa bantuan orang
lain , anak mampu bersosialisasi dengan baik ,dan berinteraksi dengan
lingkungannya dengan baik denan cara menhargai sesame dan menghormati
orang yang leih tua.
2) Gerakan motorik halus:berhubungan dengan kemampuan anak mampu
unuk mengamati sesuatu,dapat melakukan gerakan yang melibatkan bagian-
bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil memerlukan
koordinasi yang cermat misalnya menggambar, memegang suatu benda.
3) Gerakan motorik kasar:dapat melakukan Gerakan dengan aktif
4) Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara,mengikuti
perintah dan berbicara spontan.
7) Riwayat Kesehatan Keluarga
Terdapat anggota keluarga yang menderita penyakit seperti dhf.
8) Riwayat Sosial
Hubungan dengan orang tua dan teman sebayanya baik, anak
dikenal aktif dan mudah untuk bersosialisasi.
4. PENGKAJIAN POLA FUNGSIONAL
1 Persepsi kesehatan dan pola manajemen kesehatan
Anak lahir normal, tidak ada kelainan dengan BB 3000 gr, TB 50,8 cm. anak
mendapatkan imunisasi lengkap, anak tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya,
hanya sakit batuk pilek/demam. anak tidak pernah di rawat di RS, anak hanya pernah
mengkonsumsi obat-obatan yang dibeli di apotik untuk meredakan batuk pilek/demam.
anak tidak meiliki alergi pada makanan ataupun obat-obatan, anak pernah terjatuh saat
sedang belajar bersepeda, dan hanya mengalami luca lecet pada lutut kanan.
3. Pola Eliminasi
a. Pola Defekasi : Sebelum MRS, klien BAB 1x/hr.
Sebelum masuk MRS, klien memnuhi kebutuhan dengan mandiri. Setelah MRS, klien
dibantu ibu untuk memnuhi kebutuhannya.
Sebelum MRS, klien tidur malam ±8jam, dan tidur siang ±2jam. Setelah MRS,
istirahat klien tidak teratur, karena sering terbangun saat malam hari.
Klien dapat memberikan jawaban yang sesuai dengan pertanyaan yang diberikan,
klien dapat menyebutkan nama, umur, alama dan hobbi dengan benar, intonasi kien
saat berbicara terdengan cukup jelas dan dapat dimengerti.
7. Persepsi diri – pola konsep diri
Klien merasa tidak kesepian dalam hidupnya, karena klien dekat dengan keluarga
dan memiliki teman-teman yang dekat dengannya.
Klien biasanya merasa stress dan merasa Lelah disaat banyak tugas sekolah.
Disaat seperti itu, orang tua selalu memberikan pejelasan dan membantu klien untuk
menyelesaikan masalah.
Klien merasa ingin cepat sembuh dari sakitnya saat ini, dan bisa kembali
bersekolah dan bermain Bersama teman-temannya.
5. Data Obyektif
a. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Lemas
Tanda – tanda : Klien tampak lemas dan murung di tempat tidur
TB/BB : 128 cm / 26 kg
Lingkar kepala : 46 cm
Mata : Normal, konjungtiva berwarna putih, pupil mengecil saat
b. Dada :
a.Inspeksi :
Ictus cordis (+/-) , tidak ada pelebaran, tidak ada bendungan vena dinding dada
Pengembangan dada kanan dan kiri : simetris, tidak ada retraksi dada
b. Palpasi
Pengembangan dada : simetris
Fremitus raba : dada kanan sama dengan kiri
c.Perkusi :
Batas atas : Sonor (N= ICS II)
Batas bawah : Sonor (N=ICS V)
Batas Kiri : Sonor (N=ICS V Mid Clavikula Sinistra)
Batas Kanan : Sonor (N=ICS IV Mid Sternalis Dextra)
d. Auskultasi : Suara tambahan tidak ada ronki, krepitasi, friksi pleura, wheezing
c. Jantung :
Auskultasi :
BJ I terdengar (tunggal/ganda), (keras/lemah),, (regular,irregular)
BJ II terdengar (tunggal/ganda), (keras/lemah),, (regular,irregular)
Bunyi jantung tambahan : BJ III (-), Gallop Rhythm (-), Murmur(-)
Keluhan lain terkait dengan jantung : Tidak
d. Paru-paru:
e. Perut :
a. Inspeksi :
Massa/Benjolan (-)
Simetris(+)
b. Palpasi :,
Pembesaran : (-)
Perabaan (keras/lunak)
Adakah lesi (-), Jaringan parut (- ), Warna Kulit sawo matang, tidak ada luka bakar,adanya
bitnik bitnik merah
b. Palpasi
Ekstremitas atas : uji torniquet positif (terdapat bintik-bintik merah pada permukaan kulit),
akral teraba hangat, merah, kering, CRT < 2 detik, tidak ada edema, terpasang infus di
ekstremitas atas sinistra
Ekstremitas bawah : Atas : akral teraba hangat, merah, kering, CRT < 2 detik, tidak ada
edema, tidak ada bekas luka.
Tonus otot
4 4
4 4
b. Pertumbuhan gigi
1) Usia saat gigi tumbuh : ± 7-8 bulan
2) Jumlah : 1
3) Masalah dengan pertumbuhan gigi : Tidak ada masalah
c. Usia saat mulai menegakkan kepala : ±6 bulan
Duduk : ±4 bulan
Berjalan : ±9 bulan
B. DIAGNOSIS
Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan penyakit infeksi Demam
Berdarah Dengue tergantung pada data yang ditemukan, diagnosa keperawatan yang
muncul antara lain:
1) Hipertermia berhubungan dengan infeksi virus ditandai dengan suhu tubuh diatas
nilai normal, kulit merah, takipnea, kulit terasa hangat. (D.0130)
2) Nyeri akut berhubungan dengan gangguan metabolisme pembuluh darah perifer
ditandai dengan terjadi peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah,
tampak meringis, gelisah, frekuensi nadi meningkat (D.0077)
3) Risiko Hipovolemia berhubungan dengan kekuranan intake cairan(D.0034)
4) Resiko Defisit Nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorsi
nutrient (D.0032)
5) Intoleran akivitas berhubungan dengan kelemahan di tandai dengan merasa lemah
(D.0056)
C. INTERVENSI
Emy Mulyani dan Nur Eni Lestari. (2020). Efektifitas Tepid Water Sponge
Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Pada Anak Dengan Masalah Keperawatan
Hipertermia: Studi Kasus. Jurnal Keperawatan Terpadu Vol. 2
No. 1 April 2020.
Razani, Hans Farras (2019). Asuhan Keperawatan DHF Terhadap An. I dengan
Hipotermi di Ruang Anak RSD Mayjend. HM. Ryacudu Kotabumi Lampung
Utara Tanggal 15 – 17 Mei 2019. Daring (http://repository.poltekkes-
tjk.ac.id/id/eprint/986). Diakses pada tanggal 2 Desember 2020.
Riyadi, Sujono dan suharsono . (2010). Asuhan keperawatan pada anak Sakit .
Yogyakarta : Gosyen publishing.
Susilaningrum, R. (2013). Asuhan Keperawatan Bayi dan anak untuk Perawat
dan Bidan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika
Warsidi, E. (2009). Bahaya dan Pencegahan DBD. Bekasi: Mitra Utama. World
I. IDENTITAS DATA
Nama : An. A
Usia : 8 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SD
Alamat : Surabaya, Jl Ahmad Yani No 1
Agama : Islam
Nama Ayah/Ibu : Ny. S
Pekerjaan Ayah : Wiraswasta
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Ayah : SMA
Pendidikan Ibu : SMP
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/ Indonesia
= Perempuan = Meninggal
= Tinggal serumah
Sebelum MRS, klien tidur malam ±8jam, dan tidur siang ±2jam. Setelah
MRS, istirahat klien tidak teratur, karena sering terbangun saat malam hari.
Klien merasa tidak kesepian dalam hidupnya, karena klien dekat dengan
keluarga dan memiliki teman-teman yang dekat dengannya.
9. Sexualitas
Klien biasanya merasa stress dan merasa Lelah disaat banyak tugas
sekolah. Disaat seperti itu, orang tua selalu memberikan pejelasan dan
membantu klien untuk menyelesaikan masalah.
Klien merasa ingin cepat sembuh dari sakitnya saat ini, dan bisa kembali
bersekolah dan bermain Bersama teman-temannya.
X. PEMERIKSAAN FISIK
2. Keadaan umum : Lemas
3. Tanda – tanda : Klien tampak lemas dan murung di tempat tidur
4. TB/BB : 128 cm / 26 kg
5. Lingkar kepala : 46 cm
6. Mata : Normal, konjungtiva berwarna putih, pupil mengecil saat
bibir.
a.Inspeksi :
Ictus cordis (+/-) , tidak ada pelebaran, tidak ada bendungan vena dinding
dada
Pengembangan dada kanan dan kiri : simetris, tidak ada retraksi dada
a. Palpasi
Pengembangan dada : simetris
Fremitus raba : dada kanan sama dengan kiri
b. Perkusi :
Batas atas : Sonor (N= ICS II)
Batas bawah : Sonor (N=ICS V)
Batas Kiri : Sonor (N=ICS V Mid Clavikula Sinistra)
Batas Kanan : Sonor (N=ICS IV Mid Sternalis Dextra)
11. Jantung :
a.Auskultasi :
BJ I terdengar (tunggal/ganda), (keras/lemah),, (regular,irregular)
BJ II terdengar (tunggal/ganda), (keras/lemah),, (regular,irregular)
Bunyi jantung tambahan : BJ III (-), Gallop Rhythm (-), Murmur(-)
Keluhan lain terkait dengan jantung : Tidak
12. Paru-paru :
a.Auskultasi :
Tentukan suara dasar dan suara tambahan :
Suara dasar : vesikuler
Suara tambahan : tidak ada ronki, krepitasi, friksi pleura, wheezing
13. Perut :
f. Inspeksi :
Massa/Benjolan (-)
Simetris(+)
g. Palpasi :,
Pembesaran : (-)
Perabaan (keras/lunak)
c. Inspeksi :
d. Palpasi
Adakah lesi (-), Jaringan parut (- ), Warna Kulit sawo matang, tidak ada
luka bakar,adanya bitnik bitnik merah
d. Palpasi
h. Pertumbuhan gigi
4) Usia saat gigi tumbuh : ± 7-8 bulan
5) Jumlah : 1
6) Masalah dengan pertumbuhan gigi : Tidak ada masalah
i. Usia saat mulai menegakkan kepala : ±6 bulan
Duduk : ±4 bulan
Berjalan : ±9 bulan
Tanda Minor :
- Pola nafas
berubah =
25x/menit
- Proses
berpikir
terganggu
- Menarik diri
Pembebasan histamin
Peningkatan permeailitas
dinding pembuluh darah
Kebocoran plasma
Perdarahan ekstraseluler
Risiko Hipovolemia
XVI. EVALUASI
2
S : klien mengatakan nyeri sudah
berkurang sedikit
P : Infeksi
Virus
Dengue
Q : Seperti
tertimpa
beban
berat
R : Seluruh
badan
S : Skala
nyeri 3
T : Hilang
timbul
O: keadaan umum cukup
- Kesadaran composmentis
- Klien tampak tenang
- Tanda-tanda vital
TD : 100/70mmHg
Nadi : 62 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 37,90 C
SPO2 : 98%
- Klien sudah melaksanakan terapi
nafas dalam yang diajarkan oleh
perawat
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan Intervensi
XIV. PEMBAHASAN
1.5.1 Penkajian
Pada tahap pengkajian By.Ny.S dengan DHF yang masuk rumah sakit pada 12
desember 2018. klien datang ke RS dengan diantar oleh keluarga pada tanggal
13 desember dengan keluhan badan panas, sejak 2 hari yang lalu panas tidak
kunjung sembuh, klien sudah minum parasetamol yang sudah di beli di apotik
namun tidak kunjung sembuh, panasnya naik turun dan kepala terasa pusing,
lemas, terasa pegal-pegal seluruh tubuh, sebelum dibawa ke RS klien merasa
mual sehingga nafsu makannya menurun, sehari hanya makan 2 kali hanya
habis ¼ porsi, klien tampak semakin lemas sehingga ibunya membawa klien ke
RS untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Panas atau demam kondisi
dimana otak mematok suhu di atas setting normal yaitu di atas 38C. Namun
demikian, panas yang sesungguhnya adalah bila suhu>38.5C. Akibat tuntutan
peningkatan tersebut tubuh akan memproduksi panas. Demam dapat
didefinisikan dengan suatu keadaan suhu tubuh di atas normal sebagai akibat
peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus. Pada anak yang mengalami
peningkatan suhu ringan yaitu kisaran 37,5ºC-38°C (Sodikin, 2012). Demam
dapat membahayakan apabila timbul peningkatan suhu yang tinggi. Dampak
yang dapat ditimbulkan jika demam tidak ditangani bisa menyebabkan
kerusakan otak, hiperpireksia yang akan menyebabkan syok, epilepsi, retardasi
mental atau ketidakmampuan belajar (Marcdante dkk., 2014).
1.5.2 Dianosis Keperawatan
Pada konsep dasar teori yang akan muncul pada klien DHF ada beberapa
diagnosis keperawatan Indonesia 2016, yaitu:
1) Hipertermia berhubungan dengan infeksi virus ditandai dengan suhu tubuh
diatas nilai normal, kulit merah, takipnea, kulit terasa hangat. (D.0130),
Peningkatan suhu tubuh pada balita sangat berpengaruh terhadap fisiologis
organ tubuhnya. Hal tersebut terjadi karena luas permukaan tubuh relatif kecil
dibandingkan pada orang dewasa, menyebabkan ketidakseimbangan organ
tubuhnya. Selain itu pada balita belum terjadi kematangan mekanisme
pengaturan suhu sehingga dapat terjadi perubahan suhu yang cepat terhadap
lingkungan. Kegawatan yang dapat terjadi ketika demam tidak segera diatasi
dan suhu tubuh meningkat terlalu tinggi yaitu dapat menyebabkan dehidrasi,
latergi, penurunan nafsu makan sehingga asupan nutrisi berkurang, dan
kejang yang mengancam kelangsungan hidup anak (Marcdante dkk., 2014).
Sudah terbukti bahwa demam sengaja dibuat oleh tubuh kita sebagai upaya
membantu tubuh menyingkirkan infeksi. Pd saat terserang infeksi, maka
tentunya tubuh harus membasmi infeksitsb. Caranya, dengan mengerahkan
sistem imun. Pasukan komando untuk melawan infeksi adalah sel darah putih
dan dalam melaksanakan tugasnya agar efektif dan tepat sasaran, sel darah
putih tidak bisa sendirian, diperlukan dukungan banyak pihak termasuk
pirogen. Pirogen mempunyai peranan yang kompleks terhadap mekanisme
pengaturan yang ada dalam tubuh manusia
1.5.3 INTERVENSI
Dalam pembahasan berikut ini akan dijelaskan adanya kesesuaian intervensi
utama yang dilakukan pada An.A dengan masalah keperawatan Hipertermia
berhubungan dengan infeksi virus ditandai dengan suhu tubuh diatas nilai
normal, kulit merah, takipnea, kulit terasa hangat dan Nyeri akut berhubungan
dengan gangguan metabolisme pembuluh darah perifer ditandai dengan terjadi
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, tampak meringis, gelisah,
frekuensi nadi meningkat.
Hipertermi, intervensi Tepid Water Sponge
Intervensi Tepid Water Sponge ini terbukti dapat mengatasi hipertermi karena
dapat menurunkan suhu tubuh klien yang mengalami demam. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Emy Mulyani dan Nur Eni
Lestari pada tahun 2020 dengan judul Efektifitas Tepid Water Sponge
Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Pada Anak Dengan Masalah
Keperawatan Hipertermia: Studi Kasus. TWS diberikan 20-30 menit
setelah diberikan antipiretik. Evaluasi efek TWS terhadap masalah
keperawatan hipertemia pada anak dilakukan setelah dilakukan tindakan
tepid water sponge pada 20 – 30 menit setelah pemberian antpiretik. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian tindakan TWS (tepid water
sponge) dapat mempengaruhi penurunan suhu tubuh, hal ini mampu
mengatasi masalah hipertermia pada penderita DHF.
Selain itu terdapat penelitian yang dilakukan oleh Arie Kusumo Dewi pada tahun
2016 tentang Pebedaan Penurunan Suhu Tubuh Antara Pemberian
Kompres Air Hangat dengan Tepid Sponge Bath Pada Anak Demam.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian tepid
sponge bath lebih efektif dalam menurunkan suhu tubuh anak dengan
demam dibandingkan dengan kompres air hangat.
Terdapat penelitian yang dilakukan oleh Aryanti Wardiyah,
Setiawati, dan Dwi Setiawan pada tahun 2016 tentang Perbandingan
Efektifitas Pemberian Kompres Hangat dan Tepid Sponge Terhadap
Penurunan Suhu Tubuh Anak yang Mengalami Demam RSUD dr. H.
Abdul Moeloek Provinsi Lampung, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perbandingan efektifitas pemberian kompres hangat dan tepid
sponge terhadap penurunan suhu tubuh anak yang mengalami demam
diruang Alamanda. Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan
penurunan suhu tubuh antara kompres hangat dengan mean 0,5 °C dan
tepid sponge dengan mean 0,8°C (p value ˂ α, 0,003 ˂ 0,05). Dari hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian tindakan tepid sponge lebih
efektif daripada pemberian tindakan kompres hangat.
Berdasarkan pembahasan dari ketiga jurnal tersebut dapat
disimpulkan bahwa pemberian tindakan Tepid Water Sponge merupakan
salah satu intervensi atau implementasi yang efektif untuk mengatasi
hipertermia pada penderita DHF.
Hipertermi, Intervensi Kompres Hangat
Kompres yang lazim digunakan untuk membantu menurunkan suhu
tubuh anak yang mengalami demam adalah kompres hangat. Sebab dengan
suhu di luar terasa hangat maka tubuh akan menginterpretasikan bahwa suhu
di luar cukup panas. Dengan demikian tubuh akan menurunkan pengatur suhu
di otak supaya tidak meningkatkan pengatur suhu tubuh lagi. Disamping itu
lingkungan luar yang hangat akan membuat pembuluh darah tepi di kulit
melebar atau mengalami vasodilatasi, juga akan membuat pori-pori kulit
terbuka sehingga akan mempermudah pengeluaran panas dari tubuh.(dr.
Sinarty Hartanto,2013). Asuhan keperawatan penurunan suhu tubuh pada
anak dengan DHF adalah pemberian kompres hangat, dengan rasional
vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan yang mempercepat penurunan
suhu tubuh.
Selain itu terdapat penelitian yang dilakukan oleh Syamilatul Khariroh,
Dede Satia S, Apit Komar tahun 2013 tentang Efektivitas Pemberian
Kompres Hangat Dan Kompres Dingin Dalam Membantu Menurunkan Suhu
Tubuh Pasien Anak Dengan Dhf, Rata-rata suhu tubuh pasien sebelum
dilakukan kompres hangat adalah 38,710C, sedangkan rata-rata suhu tubuh
pasien sesudah dilakukan kompres hangat adalah 36,630C. Untuk suhu tubuh
pasien sebelum dilakukan kompres dingin adalah 38,160C, sedangkan rata-
rata suhu tubuh pasien sesudah dilakukan kompres dingin adalah 37,290C. ).
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian kompres hangat lebih
efektif dari pada kompres dingin
Penelitian Ahmad Syarif Aziz Susil tahun 2016 dengan judul
Upaya Penurunan Suhu Tubuh Dengan Kompres Hangat Pada Anak Dbd
Di Rspa Boyolali, hasil penelitian Setelah melakukan kompres hangat,
penulis mengukur tanda-tanda vital pasien data subjektif : pasien
mengatakan masih merasa panas pada badannya tapi tidak seperti tadi
siang sebelum di lakukan kompres hangat, data objektif : suhu pasien 37,1
OC, pernafasan 24 kali/menit, nadi 88 kali/menit, wajah pasien tampak
lesu dan lemas, badan pasien masih teraba panas, 3 jam setelah melakukan
kompres hangat penulis melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital yaitu
suhu tubuh pasien 37 OC, pernafasan 22 kali/menit, nadi 88 kali/menit. 2
jam setelah mengukur tanda-tanda vital penulis melakukan evaluasi
terhadap pasien, data subjektif : pasien mengatakan badannya sudah tidak
panas lagi, keluarga pasien mengatakan nafsu makan pasien sudah mulai
meningkat, data objektif : suhu tubuh pasien 36,7 OC, pernafasan 22
kali/menit, nadi 86 kali/menit, badan pasien teraba sudah tidak panas,
tindakan kompres hangat yang di lakukan penulis terhadap pasien di
anggap efektif karena suhu tubuh pasien sudah turun dan berada dalam
batas normal yaitu 36,7 OC sehingga masalah peningkatan suhu tubuh
pada pasien dapat teratasi.
Selain Itu Penelitian Nova Ari Pangesti Bayu Seto Rindi Atmojo
Kiki A Yang Berjudul Penerapan Kompres Hangat Dalam Menurunkan
Hipertermia Pada Anak Yang Mengalami Kejang Demam Sederhana, di
dapatkan hasil bahwa perbandingan implementasi antara partisipan I (An.
A) yang dilakukan kompres hangat dengan partisipan II (An. H) yang
tidak dilakukan kompres hangat adalah bahwa suhu tubuh cepat turun jika
dilakukan pemberian kompres hangat ditambah dengan obat antipiretik
daripada tidak diberikan kompres hangat. Didapatkan hasil pada An.A
suhu tubuh awal 38.2°C setelah dilakukan kompres hangat ditambah
dengan obat antipiretik selama tiga hari menjadi 36.3°C, telah terjadi
penurunan
±1.9°C. sedangkan pada An. H yang tidak dilakukan kompres hangat
tetapi hanya dengan obat antipiretik suhu awal 38.5°C selama tiga hari
menjadi 37.0°C, telah terjadi penurunan ±1.5°C.
Berdasarkan pembahasan dari ketiga jurnal tersebut dapat
disimpulkan bahwa pemberian tindakan kompres hangat merupakan
salah satu intervensi atau implementasi yang efektif untuk mengatasi
hipertermia pada penderita DHF.
Nyeri Akut, intervensi nafas dalam
Pada asuhan keperawatan yang dilakukan pada Sdr. A intervensi
utama yang digunakan untuk masalah keperawatan nyeri akut dengan
melakukan intervensi nafas dalam. Teknik relaksasi nafas dalam
merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat
mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas
lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana
menghembuskan nafas secara perlahan. Distraksi adalah strategi
pengalihan nyeri yang memfokuskan perhatian klien ke stimulus yang lain
daripada terhadap rasa nyeri dan emosi negative (Zakiyah, 2015).
Berdasarkan jurnal penelitian yang dilakukan oleh Susi Rohmawati dan
Joyo Minardo pada tahun 2019 tentang Pengelolaan Nyeri Akut Pada Sdr.
H dengan Dengue Hemorhagic Fever (DHF) di Ruang Cempaka RSUD
Ungaran, Hasil pengelolaan didapatkan nyeri akut sudah teratasi dengan
data nyeri sudah berkurang dan mampu menggunakan tindakan pengurang
nyeri dengan teknik non farmakologi nafas dalam.
Selain itu terdapat penelitian yang dilakukan oleh Lela Aini dan Reza
Reskita pada tahun 2018 tentang Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Terhadap Penurunan Nyeri Pada Pasien Fraktur pada tahun 2018. Analisis
data dalam penelitian ini menggunakan uji wilcoxon didapatkan (p-
value=0.001) yang artinya ada pengaruh teknik relaksasi nafas dalan
terhadap penurunan nyeri pada pasien fraktur di RSI Siti Khadijah
Palembang.
Berdasarkan jurnal penelitian yang dilakukan oleh Satriyo Agung,
dkk. Pada tahun 2013 tentang Pengaruh Pemberan Teknik Relaksasi Nafas
Dalam Terhadap Tingkat Nyeri Pada Pasien Post Operasi dengan Anestesi
Umum di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, penelitian ini bertujuan untuk
Mengetahui pengaruh pemberian teknik relaksasi nafas dalam terhadap
tingkat nyeri pada pasien post operasi dengan anestesi umum di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta, mendapatkan hasil penelitian yaitu ada pengaruh
signifikan pada pemberian teknik relaksasi nafas dalam terhadap tingkat
nyeri pada pasien post operasi dengan anestesi umum di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
Berdasarkan pembahasan dari ketiga jurnal tersebut dapat disimpulkan
bahwa pemberian tindakan terapi nafas dalam merupakan salah satu intervensi
atau implementasi yang efektif untuk mengatasi nyeri akut pada penderita DHF.
Nyeri Akut, Intervensi Metode Bercerita
Dari semua pasien yang mengalami nyeri, selain diberikan terapi medis
juga memungkinkan pasien untuk diberikan terapi nonfarmakologis. Selain tidak
mengandung efek samping, terapi nonfarmakologis juga dapat digunakan pasien
untuk mengatasi nyeri secara mandiri atau dengan bantuan keluarga atau orang
lain. Salah satu penatalaksanaan nyeri adalah dengan teknik distraksi (membaca
buku bercerita). Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan
menstimulasi sistem kontrol desenden yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli
nyeri yang ditransmisikan ke otak. Manfaat dari distraksi (bercerita) ini sendiri
adalah distraksi (bercerita) dapat mengalihkan perhatian klien dari rasa nyeri
yang dirasakan klien, distraksi (bercerita) sangat efektif karena tidak
memerlukan biaya mahal, selain itu metode distraksi (bercerita) juga dapat
dilakukan di tempat tidur, sehingga tidak mengganggu proses penyembuhan
klien, metode distraksi (bercerita) juga dapat dilakukan oleh klien sendiri, tidak
harus dengan tenaga kesehatan (Iswara dan Setiadi, 2014).
Menurut Fitriah Ramadani , Ratna Setiyaningsih berjudul
Penatalaksanaan Masalah Keperawatan Nyeri Akut: Distraksi (Membaca Buku
Cerita) Pada Anak Usia 3-6 Tahun Di RSUD Dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
bahwa teknik distraksi membaca buku cerita dapat menurunkan skala nyeri pada
anak. Dari hasil penelitian, kelima subjek menunjukkan bahwa setelah
dilakukannya 1x tindakan distraksi bercerita penurunan rata-rata skala nyeri
adalah 1-2. Sedangkan setelah dilakukannya 3x tindakan dalam 3 hari penurunan
rata-rata skala nyeri adalah 4 bahkan hilang. Berdasarkan hasil evaluasi yang
didapatkan dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Iswara dan Setiadi (2014). Penelitian ini menunjukkan bahwa setelah
dilaksanakan metode bercerita, 8 anak tidak merasa nyeri dengan persentase
25,0%, 11 anak sedikit nyeri dengan persentase 34,4%, 10 anak sedikit lebih
nyeri dengan persentase 31,2%, 3 anak lebih nyeri lagi dengan persentase 9,4%.
Uji ini menunjukkan adanya pengaruh metode bercerita untuk menurunkan skala
nyeri pada anak prasekolah dengan p= 0,000 (<0,05)
Selain itu menurut Ernawati, Sri Hartini tahun 2016 yang berjudul
Pengaruh Metode Bercerita (Story Telling) Terhadap Perubahan Tingkat Nyeri
Tindakan Skintest Pada Anak Usia Sekolah Di Rsud Ambarawa penelitian
menunjukkan bahwa responden yang tidak mengalami nyeri berjumlah 5 anak
(14.3%), yang mengalami nyeri ringan sebanyak 25 anak (72.4%) sedangkan
responden yang mengalami nyeri sedang sebanyak 5 anak (14.3%). Pada
penelitian ini didapatkan jumlah responden yang mengalami nyeri ringan lebih
banyak dibandingkan dengan responden yang mengalami nyeri sedang dan tidak
mengalami nyeri menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat nyeri yang dialami
anak sebelum dan sesudah tehnik bercerita dengan p signifikan = 0,0000 pada
α= 0,05. Kesimpulan ada perbedaan yang signifikan pada tingkat nyeri sebelum
dan sesudah bercerita. Bercerita mampu mengurangi tingkat nyeri anak usia
sekolah, dari nyeri ringan sampai nyeri sedang.
Menurut Rika Kartika , Yusi Sofiyah & Iyep Dede Supriyatna tahun
2019 berjudul Pengaruh Cerita Menggunakan Boneka Tangan terhadap Skala
Nyeri pada Anak Prasekolah saat dilakukan Tindakan Invasif di RSUD Al Ihsan
Provinsi Jawa Barat Terdapat perbedaan nyeri yang signifikan antara kelompok
intervensi dan kelompok kontrol. Berdasarkan nilai rata-rata nyeri dari kedua
kelompok penelitian menunjukan adanya penurunan nilai nyeri pada kelompok
intervensi. Hasil uji independent t-test non parametrik Mann-Whitney U tes
diperoleh nilai p-value = 0,002 < 0,005 hal ini berarti H0 ditolak dan Ha
diterima sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh metode cerita
menggunakan boneka tangan terhadap skala nyeri pada anak usia prasekolah (3-
6 tahun) saat dilakukan tindakan invasif Hasil penelitian menunjukan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara terapi bercerita terhadap skala nyeri
anak selama tindakan pengambilan sampel darah dengan p value = 0,003 = ; α =
0,005.
Berdasarkan pembahasan dari ketiga jurnal tersebut dapat disimpulkan
bahwa pemberian tindakan terapi bercerita merupakan salah satu intervensi atau
implementasi yang efektif untuk mengatasi nyeri akut pada penderita DHF.
1.5.4 Implementasi
Implementasi dilakukan 3 hari, semua perencanaan telah dilaksanakan sesuai
seagaimana mestinya. Namun pada masalah keperawatan : Hipertermia
berhubungan dengan infeksi virus ditandai dengan suhu tubuh diatas nilai normal,
kulit merah, takipnea, kulit terasa hangat masalah keperawaan teratasi.
Nyeri akut berhubungan dengan gangguan metabolisme pembuluh darah
perifer ditandai dengan terjadi peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah, tampak meringis, gelisah, frekuensi nadi meningkat masalah keperawaan
teratasi.
1.5.5 Evaluasi
Evaluasi dilakukan 3 hari, semua perencanaan telah dilaksanakan sesuai
seagaimana mestinya. Namun pada masalah keperawatan : Hipertermia
berhubungan dengan infeksi virus ditandai dengan suhu tubuh diatas nilai
normal, kulit merah, takipnea, kulit terasa hangat masalah keperawaan teratasi.
Nyeri akut berhubungan dengan gangguan metabolisme
pembuluh darah perifer ditandai dengan terjadi peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah, tampak meringis, gelisah, frekuensi nadi meningkat
masalah keperawaan teratasi