Anda di halaman 1dari 66

MAKALAH

PERAN TENAGA KEPERAWATAN DALAN EVIDENCE BASED NURSING


PRACTICE PADA ASUHAN KEPERAWATAN KASUS GAWAT DARURAT

OLEH :

ADINDA ALISABELLA P27820820 001


ALRISTA MAWAR WIDANDI P27820820 004
BELLA DAMA SHINTA P27820820 008
CINDY APRILIA PAMUJI P27820820 011
ELITA REZI SAFIRA P27820820 016
HISNI SUHAILA P27820820 024
MEISELA NUR FADILAH P27820820 030
NUR HARIROTUS SA’DIYAH P27820820 041
NOBIA ESA PARAMITA P27820820 038
REFI ARDIAN SYAH P. P27820820 045

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
karunia-Nya, sehingga tugas pembuatan makalah mata kuliah konsep dasar keperawatan
tentang “Peran Tenaga Keperawatan Dalan Evidence Based Nursing Practice Pada Asuhan
Keperawatan Kasus Gawat Darurat” dapat terselesaikan sesuai batas waktu yang telah
ditetapkan.

Pembuatan makalah ini disusun sebagai salah satu wujud tugas kami dalam
menempuh pembelajaran di semester ganjil ini. Didalam penyusunan makalah ini kami
mengucapkan banyak terimakasih atas dukungan moral maupun materi kepada pihak-pihak
yang terlibat terutama kepada :

Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan penulis khususnya. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena dalam penyusunan kami
masih memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman. Oleh
sebab itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk bisa
memperbaiki kekurangan di makalah ini.

Surabaya, 05 Oktober 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Halaman
Cover .........................................................................................................................................i
Kata Pengantar...........................................................................................................................ii
Daftar Isi ..................................................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan ....................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang .............................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan .........................................................................................................3
Bab II Pembahasan....................................................................................................................4
2.1. Pengertian EBP.............................................................................................................4
2.2. Model EBP ..................................................................................................................8
2.3. Komponen-Komponen Pendukung EBP.....................................................................10
2.4. Metode Konsep Analisis EBP.....................................................................................15
2.5. Perbedaan EBP dan Non-EBP.....................................................................................21
2.6. Tahapan-Tahapan Praktek Berbasis Bukti..................................................................25
2.7. Tahapan-Tahapan Penelitian Keperawatan Dalam EBP.............................................34
2.8. Program Peningkatan Kualitas Performa dalam EBP.................................................38
2.9. Faktor – Faktor Penghambat dalam Pengaplikasian EBP...........................................42
2.10.Pengimplementasian EBP di dalam Praktik Keperawatan.........................................44
2.11.ESI (Evidence Based Triage).....................................................................................46
2.12.Analisis Kasus............................................................................................................48
2.13.Pembahasan ...............................................................................................................54

Bab 3 Penutup ..........................................................................................................................60


3.1. Kesimpulan..................................................................................................................60
3.2. Saran ...........................................................................................................................61
Daftar Pustaka ..........................................................................................................................62

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Praktik keperawatan sangat berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang diberikan

kepada seorang klien. Praktik keperawatan didasarkan pada komponen – komponen

penting yang ada sehingga saat melakukan praktik keperawatan akan meminimalisir

resiko yang mungkin saja terjadi. Praktik keperawatan tentunya dilakukan oleh seorang

perawat yang telah lulus bersekolah di perguruan tinggi yang telah mendapatkan ilmu –

ilmu keperawatan sebagai dasar atau pedoman di dalam melakukan tindakan

keperawatan. Kualitas pengobatan atau kesembuhan seorang pasien bergantung kepada

perawat karena memegang peranan penting terhadap kesembuhan pasien. Perawat setiap

hari akan bertemu langsung dengan pasien sehingga ketika terjadi hal – hal yang aneh

atau masalah lainnya itu semua adalah tanggung jawab seorang perawat. Oleh karena itu,

perawat harus memberikan pelayanan yang bermutu, berkualitas, dan terbaik kepada

pasien. Namun demikian, tidak seperti yang kita bayangkan.

Kebanyakan perawat belum bisa melakukan hal itu dengan baik. Mereka

memberikan pelayanan terutama dalam asuhan keperawatan kepada klien tidak

didasarkan bukti – bukti atau mengikuti budaya saja yang diketahuinya tanpa ada sumber

– sumber bukti yang kuat dalam membuktikan pelayanannya yang ia berikan. Hal ini

mungkin akan beresiko terhadap pasien. Intervensi yang tidak didasarkan pada

pengalaman atau bukti – bukti yang mendukung dan relevan dengan pasien akan

membahayakan jiwa pasien karena perawat sendiri kurang aspek pengetahuan serta

keterampilan dalam menyelesaikan kondisi klinis pasien. Oleh sebab itu, pengumpulan

bukti – bukti, pengalaman dalam tindakan keperawatan, keterampilan serta pengetahuan

sangat penting dalam memberikan pelayanan yang bermutu dan berkualitas bagi seorang

pasien.

1
Keterkaitan antara masalah yang dilakukan oleh perawat dalam praktik

keperawatan disebabkan karena perawat kurang mengaplikasikan EBP dalam tugasnya

untuk memenuhi pelayanan kesehatan. EBP menekankan kepada perawat agar

profesional dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien. Profesional seorang

perawat akan memberikan keuntungan bagi pasien. Perawat harus menerapkan konsep

EBP di dalam praktik keperawatan karena EBP akan memberikan kefektivitasan dalam

menangani segala permasalahan yang ada berdasarkan bukti – bukti hasil riset penelitian

yang telah dilakukan berdasarkan penelitian.

Pengaplikasian EBP dalam praktik keperawatan tentunya akan menjadi dasar

scientific dalam pengambilan keputusan terutama dalam hal pemberian intervensi kepada

pasien sehingga intervensi yang telah diberikan dapat dipertanggungjawabkan dengan

bijak. Perlunya pengaplikasian EBP diterapkan di semua profesi kesehatan baik dokter,

apoteker maupun ners. Dengan pengaplikasian EBP di dalam pelayanan kesehatan akan

memberikan dampak positif bagi pasien, perawat, dan institusi kesehatan.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana pengertian, tujuan, keuntungan EBP ?

1.2.2 Bagaimana model EBP diterapkan ?

1.2.3 Bagaimana komponen – komponen pendukung EBP ?

1.2.4 Bagaimana metode konsep analisis EBP ?

1.2.5 Bagaimana perbedaan EBP dan Non-EBP ?

1.2.6 Bagaimana tahapan – tahapan praktik berbasis bukti ?

1.2.7 Bagaimana tahapan penelitian keperawatan dalam EBP ?

2
1.2.8 Bagaimana program peningkatan kualitas performa dalam EBP ?

1.2.9 Bagaimana faktor penghambat pengaplikasian EBP ?

1.2.10 Bagaimana pengimplementasian EBP dalam praktik keperawatan ?

1.2.11 Bagaimana EBP Emergency Nursing dalam praktik keperawatan?

1.3. Tujuan

1.3.1 Menjelaskan pengertian, tujuan serta keuntungan penerapan EBP;

1.3.2 Menjelaskan model EBP;

1.3.3 Menjelaskan komponen – komponen pendukung EBP;

1.3.4 Menjelaskan perbedaan antara EBP dan Non-EBP;

1.3.5 Menjelaskan tahapan – tahapan praktik berbasis bukti;

1.3.6 Menjelaskan tahapan penelitian keperawatan dalam EBP;

1.3.7 Menjelaskan program peningkatan kualitas performa dalam EBP;

1.3.8 Menjelaskan bentuk implementasi EBP dalam praktik keperawatan.

1.3.9 Menjelaskan faktor penghambat pengaplikasian EBP.

1.3.10 Menjelaskan implementasi EBP dalam praktik keperawatan

1.3.1 Menjelaskan EBP emergency nursing dalam praktek keperawatan

3
BAB II

PEMBAHASAN
2.
2.1. Pengertian EBP

Arti kata evidence dalam Bahasa Indonesia adalah bukti. Bukti dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Arti

based dalam Bahasa Indonesia adalah dasar atau berdasarkan. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia berdasarkan memiliki arti memakai sebagai dasar; beralaskan;

bersendikan. Sedangkan practice dalam Bahasa Indonesia mempunyai arti praktek atau

proses, dimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna pelaksanaan

secara nyata apa yang disebut dalam teori.

EBP is based on a comprehensive review of research findings that emphasizes

intervention, RCTs (the gold standard), integration of statistical findings, and critical

decision making about the findings based on the strength of the evidence, tools used in

the studies, and cost (Jennings, 2000; Jennings and Loan, 2001).

Secara umum, Evidence-Based Practice adalah sebuah pendekatan yang

bertujuan untuk meningkatkan proses melalui pertanyaan yang manakah bukti penelitian

ilmiah yang berkualitas tinggi yang dapat diperoleh dan diterjemahkan ke dalam

keputusan praktik terbaik untuk meningkatkan kesehatan (Steglitz, Warnick, Hoffman,

Johnston, & Spring, 2015). Sackett et al di dalam Gerrish et al (2006), EBP adalah segala

tindakan yang berbasis bukti, baik dalam pengobatan, eksplisit dan bijaksana dalam

penggunaan EBP untuk mengambil keputusan dalam perawatan pasien.

Menurut Carlon (2010) Evidence Based Practice merupakan suatu kerangka kerja

yang menguji, mengevaluasi dan menerapkan temuan-temuan penelitian dengan tujuan

4
untuk memperbaiki pelayanan keperawatan kepada pasien. Majid et al (2011)

mengatakan bahwa EBP merupakan salah satu teknik yang cepat untuk perkembangan

dalam praktik keperawatan karena EBP mampu memberikan penanganan masalah –

masalah klinis secara efektif yang mungkin terjadi disaat pemberian pelayanan kesehatan

serta pemberian perawatan berdasarkan hasil – hasil penelitian yang tertera. Sedangkan

menurut Muhal (1998) EBP adalah penggabungan dari seorang perawat mengenai hasil

penelitian yang didapatkannya dengan menerapkannya di praktik klinis kepada pasien

serta ditambah dengan pilihan dari pasien dalam keputusan klinis.

EBP pada masa ini sangat perlu dikembangkan dan diaplikasikan dalam

praktiknya untuk mendukung semua profesi dalam kesehatan baik dokter, perawat

ataupun farmasi untuk menuntun pengambilan keputusan atau tindakan yang harus

diberikan kepada klien dengan kualitas yang terjamin dan profesinal.

Dalam Evidence-Based Nursing Position Statement (2005), dinyatakan bahwa

EBP telah menjadi isu menonjol dalam keperawatan kesehatan internasional, biaya

kesehatan meningkat, prinsip manajemen dalam melakukan praktik keperawatan yang

tepat dan keinginan perbaikan kualitas EBP. Untuk itu keperawatan menjadi terlibat

dalam gerakan untuk mendefinisikan EBP dalam setiap praktik keperawatan, yang jelas

adalah tanggung jawab perawat untuk melaksanakan EBP dalam tindakan keperawatan,

dan mengevaluasi, mengintegrasikan dan menggunakan bukti terbaik yang telah tersedia

untuk meningkatkan praktik keperawatan (Rycroft-Malone, Bucknall, Melnyk, 2004)

dikutip oleh Tarihoran (2015) dalam jurnalnya.

Tujuan

5
Grinspun, Vinari & Bajnok dalam Hapsari (2011) menyatakan tujuan EBP

memberikan data pada perawat praktisi berdasarkan bukti ilmiah agar dapat memberikan

perawatan secara efektif dengan menggunakan hasil penelitian yang terbaik,

menyelesaikan masalah yang ada di tempat pemberian pelayanan terhadap pasien,

mencapai kesempurnaan dalam pemberian asuhan keperawatan dan jaminan standar

kualitas dan memicu inovasi.

Keuntungan EBP :

1 Metode untuk mengevaluasi sistem kerja perawat dalam melakukan praktik

keperawatan;

2 Mengintegrasikan komponen – komponen pendukung EBP dalam pelayanan

kesehatan;

3 Melakukan intervensi kepada pasien berdasarkan bukti – bukti hasil penelitian;

4 Meminimalisir resiko yang mungkin terjadi dalam proses pelayanan kesehatan;

5 Bersikap profesional dalam memberikan layanan kesehatan kepada pasien;

6 Menguntungkan perawat, pasien, serta institusi kesehatan.

6
Penyebab
timbulnya
masalah
Iowa Model
Trigger
Pengetahuan
kebijakan
penelitian

Pertimbangan
penerapan
dalam praktik

Settler Model Penyusunan masalah dari data


internal (quality improvement
dan operasional) dan data
eksternal dari penelitian

Ace Star Model Pengetahuan berdasarkan


Model EBP
research atau penelitian

Prioritas masalah ada 3 yaitu


praktik keperawatan,
penelitian, dan pendidikan

John Hopkins
Model

7
Tahapan model ini yaitu
penyusunan practice
questions (PICO), evidence,
translation yang sistematis

2.2. Model EBP

Langkah-langkah yang sistematis dibutuhkan dalam memindahkan evidence ke

dalam praktik guna meningkatkan kualitas kesehatan dan keselamatan (patient safety)

dan dalam mengembangkan konsep, perawat dapat dibantu dengan berbagai model EBP

melalui pendekatan yang sistematis dan jelas, alokasi waktu dan sumber yang jelas,

sumber daya yang terlibat, serta mencegah implementasi yang tidak runut dan lengkap

dalam sebuah organisasi (Gawlinski & Rutledge, 2008). Setiap institusi dapat memilih

model yang sesuai dengan kondisi organisasi karena beberapa model memiliki

keunggulannya masing-masing.

Model-model yang dapat digunakan dalam mengimplementasikan EBP adalah

Iowa Model (2001), Stetler Model (2001), ACE STAR Model (2004), John Hopkin’s

EBP Model (2007), Rosswurm dan Larrabee’s Model. Karakteristik model yang dapat

dijadikan landasan dalam menerapkan EBP yang sering digunakan yaitu IOWA Model

dimana model ini dalam EBP digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan,

digunakan dalam berbagai akademik dan setting klinis. Ciri khas dari model ini adalah

adanya konsep (triggers) dalam melaksanakan EBP. Triggers adalah informasi ataupun

masalah klinis yang berasal dari luar organisasi. Terdapat 3 kunci dalam membuat

keputusan, yaitu; adanya penyebab mendasar timbulnya masalah, pengetahuan terkait

dengan kebijakan institusi atau organisasi, penelitian yang cukup kuat, dan pertimbangan

8
mengenai kemungkinan diterapkannya perubahan ke dalam praktik sehingga dalam

model tidak semua jenis masalah dapat diangkat dan menjadi topik prioritas organisasi.

Model John Hopkins memiliki 3 domain prioritas masalah, yaitu praktik

keperawatan, penelitian, dan pendidikan. Terdapat beberapa tahapan dalam pelaksanaan

model ini, yaitu menyusun practice question yang menggunakan PICO approach,

menentukan evidence dengan penjelasan mengenai setiap level yang jelas dan

translation yang lebih sistematis dengan model lainnya serta memiliki lingkup yang

lebih luas.

ACE Star Model merupakan model transformasi pengetahuan berdasarkan

research atau penelitian. Model ini tidak menggunakan evidence non-research.

Sedangkan untuk Stetler’s Model tidak berorientasi pada perubahan formal tetapi pada

perubahan oleh individu perawat. Model ini dilaksanakan dengan menyusun masalah

berdasarkan data internal yang disebut juga quality improvement dan operasional dan

data eksternal yang berasal dari research atau penelitian (Schneider & Whitehead, 2013).

Penelitian
Keperawatan

Pengalaman Pendidikan

Komponen
EBP

Pelatihan Pengetahuan
9
2.3. Komponen – Komponen Pendukung EBP

1 Penelitian Keperawatan

Penelitian keperawatan sangat berpengaruh terhadap praktik keperawatan

berbasis bukti. Penelitian keperawatan memegang peranan penting terhadap suatu

hambatan atau masalah yang timbul di dalam praktik keperawatan sehingga dengan

adanya penelitian ini hambatan atau masalah yang terjadi di dalam praktik

keperawatan dapat diatasi dengan mudah secara efektif dan efisien serta tidak

merugikan klien atau pasien. Hambatan dalam suatu penilitian seringkali dikaitkan

dengan masalah yang ditimbulkan dari adanya suatu faktor yang menyebabkan

kegiatan penelitian terhambat. Hambatan tersebut dapat berupa kurangnya waktu

dalam melakukan pengkajian suatu masalah yang telah dijadikan sebagai pokok

permasalahan. Selain itu, manajemen waktu, lokasi yang geografis, ukuran sampel,

tingkat respons, dan organisasi dapat menghambat proses penelitian berlangsung.

Pelaksanaan EBP terhadap penilitian keperawatan sangat berhubungan satu

sama lainnya dimana di dalam pelaksanaan EBP terdapat sebuah hasil dari riset

penilitian ilmiah yang dilakukan. Hal ini akan membuat pelaksanaan EBP semakin

diperkuat dan dapat menunjukkan keprofesionalan seorang perawat dalam melakukan

intervensi terhadap kliennya. Selain itu, pelaksanaan penelitian keperawatan akan

menghasilkan suatu inovasi terbaru dan jaminan standar kualitas seorang perawat

dalam memberikan intervensi asuhan keperawatan kepada kilen atau pasien.

Intervensi dari seorang perawat harus disertai komponen – komponen EBP sehingga

dalam proses pelayanan kesehatan dapat memuaskan klien dan menguntungkan klien.

Dengan demikian, pentingnya penelitian keperawatan yang berdasarkan metode atau

analisa ilmiah yang berpengaruh terhadap EBP seorang perawat dalam memberikan

asuhan keperawatan untuk memenuhi proses pelayanan kesehatan.

10
2 Pengalaman

Praktik keperawatan merupakan salah satu kegiatan secara rutin yang

dilakukan oleh seorang perawat di dalam pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, perawat

akan bertugas sesuai dengan topoksinya masing – masing dalam memenuhi kebutuhan

seorang pasien atau klien. Pemenuhan kebutuhan seorang pasien atau klien yang

menjadi salah satu tugas pokok bagi seorang perawat dalam menjalankan tugasnya.

Hal tersebut dilakukan oleh setiap perawat berdasarkan tingkatan masalah – masalah

yang dialami oleh seorang pasien. Seperti yang kita ketahui bahwa pasien adalah

individu yang unik dan berbeda sehingga perawat harus mengerti akan hal ini.

Dengan masalah yang ditimbulkan dan pemecahan akan masalah tersebut

sudah menjadi kebiasaan yang melekat dari seorang perawat sehingga terciptanya

banyak pengalaman di dalam pelayanan kesehatan. Pengalaman seorang perawat

dapat menunjukan kualitas EBP nya dalam memberikan suatu asuhan keperawatan

atau pelayanan yang lainnya kepada klien. Ketika seorang perawat diberikan sebuah

pertanyaan yang berkaitan dengan suatu masalah yang terjadi, perawat akan

menjawab permasalahan tersebut dengan menggunakan bukti – bukti penelitiannya

yang pernah dia lakukan sesuai dengan kajian ilmiah. Jelas demikian bahwa penelitian

juga berkaitan terhadap pengalaman seorang perawat dalam memecahkan suatu

permasalahan yang ada. Pengalaman yang dimiliki oleh seorang perawat dapat

memberikan suatu keputusan yang jelas dan terarah. Selain itu, perawat yang

berpengalaman banyak dalam hal intervensi kepada klien atau pasien dapat

memberikan suatu pengajaran kepada perawat – perawat yang lain dalam

menindaklanjuti seorang pasien dengan diagnosis yang berbeda. Jadi, peran perawat

terhadap teman sejawatnya adalah sebagai fasilitator mengenai pengalaman yang

11
dimilikinya. Dengan demikian, pengalaman seorang perawat sangat diperlukan untuk

mendukung pratik berdasarkan EBP kepada seorang klien.

3 Pendidikan

Pendidikan sangat berpengaruh terhadap kompetensi atau pengetahuan bagi

seorang perawat dalam melakukan asuhan keperawatn berbasis bukti kepada klien

atau pasien. Seperti yang kita ketahui bahwa jenjang pendidikan yang diberlakukan di

Indonesia berbeda - beda yaitu vokasi dan sarjana. Setiap tingkatan jenjang memiliki

karakteristik atau penciri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tingkatan

vokasi lebih mengarah kepada hard skillnya dalam praktik kerja lapangan di institusi

kesehatan atau yang lainnya. Pendidikan ini mengarah pada aspek umum saja

sehingga ilmu – ilmu yang dimiliki hanya sebagian besar umum dan belum mendetail

secara spesifiknya. Sedangkan, tingkatan pendidikan akademik sarjana lebih

mengarah pada soft skillnya atau ilmu – ilmunya yang telah dipelajarinya. Pendidikan

ini lebih membahas menyeluruh dan mendetail dimana ilmu yang diajarkan pada

pendidikan ini tidak diajarkan di pendidikan sebelumnya. Cakupan bahasannya juga

luas dan dikhususkan pada bidang tertentu. Pendidikan seorang perawat sangat

berpengaruh terhadap kompetensi dan pengetahuannya di dalam memberikan

pelayanan kesehatan. Perawat yang lulus dari perguruan tinggi memiliki ilmu yang

berbeda – beda dalam dirinya masing – masing sehingga dalam memberikan asuhan

keperawatan juga berbeda antara perawat satu dengan lainnya. Perawat yang

bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi akan semakin kompeten dalam melakukan

tugasnya sebagai seorang perawat. Menurut Eizenberg (2010) hal ini menunjukkan

bahwa pendidikan mampu menuntun seseorang terampil dalam mencari sumber

penelitian, berorganisasi dan bersikap profesional dalam bekerja, meningkatkan

akses-akses untuk meningkatkan dan menerapkan praktik berdasarkan bukti

12
Pendidikan juga diperlukan bagi seorang perawat dalam menunjukan

keprofesionalitasannya dalam mengurus pasien tentunya keprofesionalitasan ini

sangat mendukung implementasi EBP dalam praktiknya. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seorang perawat maka semakin

tinggi pula tingkat pengetahuan yang dimilikinya sehingga dalam praktik keperawatan

perawat dapat kompeten dan profesional dalam praktik keperawatannya dengan

memberikan perawatan yang bermutu kepada klien atau pasien. Selain itu, hal ini juga

yang dapat mendukung dan meningkatkan kualitas EBP di dalam pelayanan

kesehatan.

4 Pengetahuan

Pengetahuan seorang perawat sangat berhubungan dengan kompetensi seorang

perawat dalam menjalankan tugasnya di bidang pelayanan kesehatan. Pengetahuan

seorang perawat didukung oleh pendidikannya dan kegiatannya selama proses

penempuan ilmu keperawatan. Kita sudah mempelajari bahwa pendidikan juga

berpengaruh terhadap pengetahuan seorang perawat. Pengetahuan yang dimiliki oleh

seorang perawat merupakan wujud dari profesional perawat dalam memberikan

asuhan keperawatan atau pelayanan kesehatan yang bermutu. Pengetahuan juga dapat

membuat perawat lebih berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah atau

hambatan – hambatan lain yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Berpikir kritis

juga termasuk salah satu komponen EBP dimana perawat akan berpikir secara

mendalam untuk menggali bukti – bukti yang mendukung di dalam praktiknya.

Seperti yang sudah saya jelaskan, pengetahuan berpengaruh terhadap kompetensi

seorang perawat. Menurut Gruendemann (2006), kompetensi merupakan suatu

keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan yang dimilikinya dalam melakukan

praktik keperawatan yang profesional di dalam tugas – tugasnya terhadap klien atau

13
pasien. Hal ini juga dijelaskan pada Undang – Undang RI No 20 pasal 35 ayat 1

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa kompetensi adalah kualifikasi

kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai

standard nasional yang telah disepakati. Dengan demikian, pengetahuan berpengaruh

terhadap praktik berbasis bukti seorang perawat kepada kliennya dengan memberikan

pelayanan yang bermutu, berkualitas, dan menguntungkan bagi pasien sehingga

pasien memiliki kesan terbaik dan percaya untuk ditindak lanjuti oleh perawat.

5 Pelatihan / Seminar

Pelatihan atau seminar sangat diperlukan bagi perawat dalam melakukan

kegiatannya di praktik keperawatan untuk memenuhi kebutuhan pasien. Perawat akan

memiliki banyak pengetahuan mengenai cara memenuhi kebutuhan pasien dalam

pelayanan kesehatan. Pelatihan ini diadakan bertujuan melatih dan mengembangkan

keterampilan, kreativitasan, serta pengetahuan perawat dalam menjalankan tugasnya

serta mengatasi segala kerumitan atau masalah yang didapat disaat praktik

keperawatan berlangsung. Selain itu, perawat akan memiliki banyak ilmu – ilmu

terbaru di dunia keperawatan yang diberikan oleh pemateri atau motivator lainnya.

Ilmu- ilmu tersebut tentunya berdasarkan ilmu – ilmu keperawatan yang terus

berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan adanya hal ini, perawat

akan memberikan pelayanan yang terbaik dan bermutu bagi pasien serta dapat

meningkatkan kualitas perawat terutama dalam pengaplikasian EBP. Pelatihan ini

juga akan membuat perawat bersikap profesional terhadap tugasnya. Dengan

demikian, pelatihan ini juga sangat diperlukan oleh perawat dalam mengembangkan

kompetensinya di pelayanan kesehatan terutama mengenai ilmu – ilmu terbaru seiring

perkembangan zaman. Hal tersebut berpengaruh terhadap pemberian asuhan

keperawatan kepada pasien.

14
6 Keterampilan

Keterampilan sangat diperlukan dalam pengimplementasian EBP.

Keterampilan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah keterampilan menggunakan

bukti –bukti yang telah ada yang dapat digali dari riset hasil penelitian. Keterampilan

seorang perawat akan diuji dengan tindakannya kepada seorang pasien. Apakah ia

terampil dalam menggunakan fasilitas yang ada di institusi kesehatan. Perawat yang

terampil dalam hal menangani seorang pasien, mereka akan melakukan pendekatan –

pendekatan yang membuat dirinya merasa lebih percaya diri dan profesional dalam

tindak pengurusan pasien. Menurut Hart et al (2008) keterampilan seorang profesi

kesehatan atau yang lainnya dapat dibuktikan dengan pengaplikasian atau penerapan

mengenai riset hasil penelitian tersebut. Pencarian atau penemuan mengenai hasil riset

penelitian yang relevan dengan kondisi klinis pasien, perawat dapat menggunakan

segala fasilitas yang ada serta mendukung untuk mencari artikel ilmiah, jurnal

ataupun sumber – sumber bukti ilmiah yang lainnya. Apabila mereka tidak dapat

memanfaatkan fasilitas yang ada maka mereka sama saja tidak menunjukkan soft

skillnya atau kompetensi dalam intervensi atau yang lainnya. Selain itu, menurut

(Thompson, McCaughan, Cullum, Sheldon, & Raynor, 2003). Keterampilan dapat

berbentuk evaluasi hasil penelitian sehingga perawat klinisi dapat menentukan mana

yang terbaik untuk pasiennya dari temuan-temuan tersebut.

2.4. Metode Konsep Analisis EBP

1. Definisi konsep analisis EBP

Definisi EBP menurut analisis, EBP adalah pemecahan suatu masalah yang

melibatkan tenaga medis terutama pada perawat untuk mengajukan pertanyaan klinis

15
yang relevan guna mengakses bukti dari penelitian dan faktor kontekstual,

menafsirkan bukti (menilai dan mensintesis), manggabungkan bukti dengan

pengalaman praktisi pasien atau kelompok sasaran, dan menerapkan apa yang sudah

ada belajar dari bukti dalam membuat keputusan untuk meningkatkan praktik asuhan

keperawatan. Sedangkan menurut Newhouse dan Dearholt et al. mendefinisikan EBP

sebagai "masalah- pemecahan pendekatan untuk pengambilan keputusan klinis yang

menggabungkan bukti penelitian dengan bukti pengalaman, praktisi dan pengalaman

pasien ”. Definisi ini terdiri dari lima komponen utama: pemecahan masalah; bukti;

praktisi pengalaman; pengalaman pasien dan pengambilan keputusan. Newhouse et al.

lebih lanjut mendefinisikan EBP sebagai "pemecahan masalah pendekatan untuk

pengambilan keputusan klinis dalam perawatan kesehatan organisasi yang

mengintegrasikan keilmuan terbaik yang tersedia bukti dengan pengalaman terbaik

yang tersedia (pasien dan praktisi) bukti, mempertimbangkan internal dan eksternal

pengaruh pada praktik, dan mendorong pemikiran kritis dalam aplikasi yang bijaksana

dari bukti tersebut untuk perawatan individu pasien, populasi pasien, atau sistem”.

Hmurovich juga, mendefinisikan EBP sebagai praktik membuat keputusan tentang

tindakan perawatan kesehatan, program, praktik, intervensi atau kebijakan

berdasarkan yang terbaik bukti penelitian, bukti pengalaman dari praktik klinis dan

bukti kontekstual . Definisi ini lebih jauh mengakui kontributor kontekstual untuk

implementasi EBP. Melnyk et al., Memberikan definisi luas tentang EBP; Itu

didefinisikan sebagai "sebuah paradigma dan pendekatan pemecahan masalah seumur

hidup untuk pengambilan keputusan klinis yang melibatkan penggunaan hati nurani

dengan bukti terbaik yang tersedia, termasuk pencarian sistematis dan penilaian kritis

terhadap bukti yang paling relevan untuk dijawab, dengan keahlian klinis sendiri dan

nilai serta preferensi pasien dengan tujuan meningkatkan hasil untuk individu,

16
kelompok, komunitas dan sistem ”. Selain komponen utama yang diidentifikasi oleh

Newhouse et al., Definisi ini menambahkan tiga elemen penting, seperti: pendekatan

seumur hidup, proses identifikasi bukti (menilai literatur), dan ketersediaan

pertanyaan klinis, juga menawarkan lebih banyak panduan tentang proses.

2. Konsep analisis EBP

Konsep EBP dipilih untuk analisis EBP karena EBP adalah berprioritas pada

pemberian asuhan keperawatan serta untuk mempertimbangkan strategi paling efektif

yang dapat mengarah pada peningkatan hasil klinis dan peningkatan kondisi pada

pasien agar lebih membaik. Contohnya metode konsep strategis yang dikembangakan

oleh Walker dan Avant yang digunakan untuk menganalisis konsep. Kerangka

kerjanya terdiri dari delapan langkah: memilih konsep; menentukan maksud atau

tujuan analisis; identifikasi semua kegunaan konsep; menentukan atribut; membangun

kasus model; membangun batas terkait kasus yang bertentangan; mengidentifikasi

anteseden dan konsekuensi; dan mendefinisikan referensi empiris.

Definisi
Konsep
Analisis EBP

Konsep
Membangun Analisis EBP
Kasus Model (Walker dan
Metode Avant)
Konsep
Analisis
EBP

Atribut-
Tujuan
Atribut
Konsep
Pendefinisian
Analisis
EBP

17
3. Tujuan konsep analisis

Kelebihan praktik berbasis bukti (EBP) dalam keperawatan praktik perawatan

memiliki potensial yang lebih untuk meningkatkan kualitas perawatan dan

menghasilkan apa yang bermanfaat bagi pasien, perawat dan bidan, dan sistem

perawatan kesehatan. Asuhan keperawatan juga disediakan dalam lingkungan yang

berubah setiap hari yang mengharuskan aplikasi bukti penelitian dalam praktik yang

efektif. Denga demikian,Tujuan dari analisis konsep ini sendiri adalah untuk

memperjelas konsep EBP untuk mencapai yang lebih baik dalam pemahaman konsep

antara perawat dalam kaitannya dengan pengiriman perawatan keperawatan dan

mendorong mereka untuk memulai EBP perjalanan yang bersifat meluas.

4. Atribut – atribut pendefinisian EBP

Atribut adalah komponen dan fitur utama yang membedakan dan memperjelas

arti dari satu konsep dari konsep serupa lainnya. Terdapat lima atribut yang

diidentifikasi untuk dikarakterisasi yaitu ketersediaan pertanyaan klinis; penggunaan

arus terbaik bukti penelitian; keahlian dan pengalaman praktisi; preferensi, nilai dan

masalah pasien serta penerapan bukti. Perlunya mengintegrasikan lima komponen

pendukung EBP guna meningkatkan keamanan pasien, kualitas hidup serta hasil

optimal pasien. Keahlian klinis mengacu pada integrasi akumulasi pengetahuan,

pengalaman perawatan, serta informasi pendidikan dan keterampilan klinis dalam

membuat keputusan keperawatan. Semua ini akan membantu perawat menghasilkan

rencana perawatan yang meminta komitmen dari praktisi dan hal itu yang terbaik

18
untuk kepentingan pasien dan keluarga. Selain itu, hal ini memfasilitasi kebutuhan

pasien untuk pemulihan optimal.

5. Membangun Kasus Model

Pengalaman dan keterampilan sangat dipentingkan dalam menunjukkan

kualitas performa di dalam asuhan keperawatan. Dalam sebuah institusi terdapat

pimpinan yang bertanggung jawab terhadap semua kegiatan yang dilakukannya. Para

pimpinan memimpin sebuah tim harus berdasarkan pertanyaan klinis yang mungkin

diajukan. Pertanyaan klinis harus mengandung unsur – unsure PICO. Setelah itu,

perencanaan mengenai sumber daya yang dibutuhkan serta peninjauan mengenai

literature yang digunakan sebagai bukti dalam pemberian asuhan keperawatan kepada

klien. Pendekatan yang berorientasi pada pasien bertujuan untuk memberikan holistic

dalam pemenuhan kebutuhan pasien. Perawat harus mampu mengintegrasikan antara

bukti yang telah didapatkannya dari beberapa artikel

penelitian yang berasal dari berbagai sumber dengan keahlian klinis seorang perawat

serta didukung dengan pengalaman yang telah dilakukannya. Dengan demikian,

kinerja perawat sangat berhubungan dengan kualitas kondisi pasien. Perawat perlu

meningkatkan hubungan interpersonal kepada pasien. Hubungan ini akan

menguntungkan seorang pasien karena dapat memenuhi dalam segi holistic nya.

6. Anteseden

Anteseden adalah proses atau kejadian sebelum konsep terjadi. Dalam analisis

ini, anteseden itu terjadi sebelum EBP terjadi dan memungkinkan EBP berlangsung

adalah: mengidentifikasi kesenjangan dalam praktik asuhan keperawatan;

19
ketersediaan bukti dan peralatan yang diperlukan (computer, internet Wi-Fi, alat

tulis); kehadiran perawat dengan kebutuhan pengetahuan, keterampilan, dan

kepercayaan diri pada EBP untuk dapat mengakses, menafsirkan dan menggunakan

bukti; ketersediaan pemimpin yang mendukung dan bimbingan. Ketersediaan

anteseden ini akan memungkinkan perawat untuk melanjutkan dengan langkah-

langkah selanjutnya secara efektif Proses EBP: mengajukan pertanyaan yang relevan;

mengumpulkan, menilai dan mensintesis bukti, mengintegrasikan penyedia dan pasien

pengalaman, menerapkan bukti terbaik serta mengevaluasi proses dan kinerja.

7. Konsekuensi

Saat perawat mengambil keputusan asuhan keperawatan yang di dasarkan

pada bukti, perawat akan memilih opsi terbaik dari semua pilihan yang tertera dan

akan menghasilkan praktik keperawatan yang mungkin akan terjadi lebih lama tetapi

akan lebih efektif, hemt biaya serta memproduksi pasien yang dituju. Akan tetapi

pasti terdapat konsekuensi EBP tersebut seperti keselamatan pasien, efektivitas biaya,

perawatan yang berkualitas karena intervensi didasarkan pada bukti nyata

8. Referensi empiris

Referensi empiris adalah cara terukur untuk menunjukkan terjadinya suatu

konsep. Dalam hal ini, referensi empiris memperagakan bagaimana EBP dapat diukur

dalam praktik. EBP. Oleh karena itu diukur menggunakan tahap EBP dalam

keperawatan. Tahapan meliputi: Mengajukan pertanyaan klinis yang relevan; mencari,

menilai, mensintesis dan memilih bukti terbaik; mengintegrasikan pengalaman

praktisi dan pasien; mengembangkan rencana, pedoman dan protokol;

mengimplementasikan rencana untuk diterapkan bukti dan hasil evaluasi. Ini bisa

ditunjukkan dalam laporan, notulen, dan dokumentasi.

20
EBP Non-EBP
Intervensi Intervensi
berdasarkan berdasarkan
paenelitian dan tradisi atau
riset budaya

Berbasis
Berbasis Bukti
Kebiasaan

Berdasarkan
literatur jurnal Berdasarkan
dan artikel mouth to mouth
penelitian

2.5. Perbedaan EBP dan Non-EBP


Saat ini para perawat berpraktik pada 'masa akuntabilitas' Dimana kualitas dan

Biaya menentukan arah pelayanan kesehatan (kizer,et al.,2000,new house et al.,2005)

masyarakat sudah mulai sangat memperhatikan kesehatan. Baik kesehatan dirinya

maupun kesehatan lingkungan, serta mereka juga sangat memperhatikan segala yang

terjadi di dalam institusi kesehatan. Perhatian khusus diberikan kepada pendekatan

pelayanan kesehatan yang dapat berhasil atau tidak. Hasilnya, praktik berbasis bukti atau

evidence based practice (EBP) Muncul sebagai jawaban dari pihak medis untuk

masyarakat (New house,et al.,2005). Perawat memegang peranan yang penting dalam

pelayanan rumah sakit, dimana perawat berada dengan pasien selama 24 jam. Perawat

tidak hanya berperan sebagai care giver namun juga sebagai client advocate, counsellor,

educator, collaborator, coordinator, change agentdan consultant (Doheny dalam

Kusnanto, 2003).

Bukan suatu hal Yang mudah untuk bagaimana menselaraskan penelitian-penelitian

yang digabungkan untuk pada akhirnya menjadi suatu hal yang dapat digunakan dalam

21
praktik keperawatan. Selama ini kita sering menemui banyak intervensi atau praktik-

praktik dari tenaga medis yang hanya berpedoman pada “biasanya juga begitu” sebagai

contoh, sewaktu di pendidikan, cairan yang digunakan dalam perawatan luka adalah

Povidone-iodine 10%. Praktik ini dipakai “over and over”meskipun yang bersangkutan

menjelang pensiun bila diberi masukan, kadang-kadang jawaban yang ucapkan adalah

“biasanya juga begitu, pasien juga sembuh kok, kok repot... “ padahal menurut

penelitian baru air matang juga bisa di gunakan untuk perawatan luka (Evidence-Based

Nursing, 2008).EBP ternyata dapat memberikan suatu manfaat dalam kegunaannya. Hal

ini buktikan pula oleh penelitian (Belden, et al, 2012) tentang dampak evidence-based

practice dalampemberdayaan RN menunjukkan hasil korelasi positif. Hal ini juga

diperkuat oleh penelitian dari (melnyk, et al, 2014) yang menyatakan bahwa penerapan

kompetensi EBP dalam praktek RN dapat meningkatkan kualitas kesehatan pasien,

menurunkan lama perawatan, jenis perawatan sehingga dapat menurunkan biaya

perawatan pasien. Selain itu juga, pembelajaran modul EBP atau EBN 1 pada

mahasiswa keperawatan undergraduate mempunyai dampak yang positif dalam

meningkatkan kepercayaan dan implementasi EBP sehingga integrasi EBP kedalam

kurikum mahasiswa undergraduate sangatlah penting (reid, et al,2017).

Evidence-Based practic memungkinkan adanya tindakan terbaik yang diberikan

seorang perawat terhadap klien bukan hanya dengan berpedoman pada kebiasaan ata

"tradisi" Lama yang belum terbukti kebenarannya, tetapi berdasarkan kepada adanya

penelitian atau bukti terhadap kebenaran suatu tindakan atau pelayanan. Saat merawat

klien, sering kali perawat menemukan suatu kasus yang membutuhkan banyak

keputusan klinis yang penting. Pada masa seperti inilah diperlukan adanya bukti terbaik

bagi pelayanan yang terbaik. Selama ini. Pada perawat Non Evidence-Based practic

sebagian besar perawat hanya menggunakan ilmu atau yang diajarkan pada saat

22
menempuh pendidikan seperti kuliah Keperawatan, berdasar pada pengalaman yang ada,

serta prosedur yang terdapat di instansi tempat perawat tersebut praktik. Seringkali

pendekatan seperti ini bukan berdasar pada informasi terbaru. Yang dapat disimpulkan

bahwa perawat tersebut hanya berdasarkan pada tradisi yang ada.

Informasi terbaik adalah suatu bukti yang didapat lewat sebuah penelitian dengan

desain baik dan sistematis. Sumber informasi tersebut salah satunya adalah dari jurnal-

jurnal Ilmiah yang terpercaya, Sayangnya para perawat terkadang enggan untuk

meluaskan literaturnya, para perawat tidak memilik akses literatur untuk selalu

memperbarui pemahaman dan praktiknya Kepada klien berdasarkan pada suara fakta

terbaru yang terdapat pada penelitian. Para perawat biasanya hanya mengandalkan pada

pengalaman, kenyamanan klien, dan kebiasaan yang ada saat ini untuk menangani suatu

masalah atau kasus maupun dalam pelayanan kepada klien.

23
P : Population

Pertanyaan I : Intervention
Klinis
C : Comparison

O : Outcome

Tempat
Medline dan penyimpanan
Pengumpulan Cinahel data yang
Bukti Relavan komperhensif

OVID Vendor yang


familiar karena
memiliki
simpanan data
dasar

Cocrane
Database Data gratis
Sistematik internet untuk
Tahapan – Refuse penyusunan
Tahapan bukti
Praktik EBP
National
Guideline Penyimpanan
Clearing data
house berpedoman
klinis

Sumber artikel harus memiliki


Menilai Bukti unsur abstrk, pendahuluan, latar
belakang, narasi makalah

Integrasi Bukti Penyatuan bukti yang


diaplikasikan dalam praktik.

Evaluasi Respons EBP yang sesuai dengan


Keputusan apa yang diharapkan
Praktik

24
2.6 Tahapan – Tahapan Praktik Berbasis Bukti
EBP sebagai proses penelitian yang teratur ketika menentukan suatu keputusan

rasional sehingga bisa memberikan hasil parktik yang terbaik (Newhouse, et al., 2005).

Proses penelitian yang teratur dan bertahap akan memberikan kepastian dalam

menerima bukti terbaik sehingga bisa diterapkan ketika memberikan asuhan keperawatan

klien. Ada lima tahapan dalam melakukan EBP (Eizenberg, 2010).

1. Merumuskan kerangka pertanyaan klinis

2. Mengumpulkan bukti terbaik dan paling relevan

3. Mengevaluasi bukti yang telah dikumpulkan secara kritis

4. Menggabungkan bukti penelitian dengan keahlian klinis

5. Mengevaluasi keputusan hasil praktik.

Penjelasan :

1. Merumuskan Pertanyaan Klinis

Selalu memperhatikan saat melakukan praktik kepada klien. Melakukan

identifikasi jenis pertanyaan yang membutuhkan penjelasan dan yang tidak rasional.

Pikirkan problem yang berkaitan dengan waktu, biaya, atau yang tidak logis (Callister

et al., 2005). Ketika melakukan praktik klinis perawat dapat menggunakan pemicu

yang berfokus pada masalah dan pengetahuan untuk berpikir kritis mengenai masalah

keperawatan klinis operasional. Pemicu yang berfokus pada masalah adalah pemicu

yang pasti akan dihadapi perawat saat memberikan asuhan keperawatan. Contohnya,

saat merawat pasien yang tidak sadar, perawat akan berpikir, apa penyelesaian terbaik

yang dapat di terapkan untuk memberikan perawatan mulut klien? Contoh dari

kecenderungan berfokus masalah adalah peningkatan jumlah klien yang mengalami

insiden infeksi saluran kandung kemih pada unit keperawatan. Hal ini akan

25
memuculkan pertanyaan, “Bagaimana saya bisa meminimalisir kuantitas pasien yang

mengalami insiden di unit saya?” atau “Apakah cara terbaik yang bisa saya lakukan

untuk mencegah infeksi saluran kandung kemih dalam klien pasca-operatif?”

(Titler,et al., 2001).

Dari insiden yang dialami maka akan memunculkan pertanyaan yang bisa

membimbing perawat ke bukti yang menjawab pertanyaan. Maka, akan menjadikan

perawat untuk menggali jawaban yang bersumber dari literatur sains yang mampu

membahas dan menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan yang relevan (Nggie, 2010).

Ada unsur-unsur pertanyaan yang bisa dibangun untuk menyusun kerangka

pertanyaan yang baik dan kritis. Keempat unsur pertanyaan tersebut adalah

pertanyaan PICO (Melnyk dan Fineout-Overholt (2005) yang lebih jelasnya terdapat

pada kotak di bawah ini.

Kompone Makna Penjelasan


n PICO
P Populasi klien yang dijadikan Identifikasi klien berdasarkan usia,
perhatian jenis kelamin, suku, budaya, dan
problem kesehatan yang
mempengaruhinya.
I Intervensi yang dijadikan Intervensi apakah yang sesuai
perhatian dalam memberikan praktik pada
klien (misalnya terapi, pemeriksaan
diagnostik dan faktor prognastik)?
C Intervensi pembanding Apakah standar pelayanan yang
rutin atau intervensi yang sedang
diberikan saat praktik?
O Outcome (hasil-hasil yang Bagaimana hasil yang didapatkan
diterapkan) dari intervensi yang dilakukan
(misalnya perubahan tingkah laku,
perubahan fisik dan tanggapan
klien?

26
Pertanyaan yang tidak dirumuskan dengan baik (seperti apakah solusi terbaik

untuk mengurangi insiden melindur? Apakah cara yang sesuai untuk mengukur

tekanan darah?) akan memunculkan sumber informasi yang tidak relevan sehingga

akan mengalami kendala dalam menemukan bukti. Format pertanyaan PICO akan

memudahkan perawat untuk bertanya sesuai fokus intervensinya. Untuk pertanyaan

yang tidak berfokus pada intervensi, arti dari huruf I dapat terdiri dari “area minat”

(Melnyk dan Finenout-Overholt, 2005). Contohnya, Apakah perbedaan dalam retensi

ingatan (O) lulusan keperawatan (P) dengan pengalaman asisten sebelumnya (I)?

Beberapa pertanyaan tidak semuanya mengandung unsur PICO. Sebagai contoh,

Bagaimana klien penderita fibrosis kistik (P) menilai kualitas hidupnya (O)?

Pertanyaan tersebut hanya mengandung komponen P dan O (Nggie, 2010).

Pertanyaan PICO akan membantu menentukan kesenjanagan pengetahuan

dalam kondisi klinis. Jika perawat merumuskan pertanyaan dengan baik, bukti yang

tidak dimiliki perawat untuk parktik klinis menjadi lebih jelas. Contoh kesenjangan

pengetahuan lainnya sebagai berikut (ONS, 2005).

1) Diagnosis: Pertanyaan yang bersangkutan dengan pemilihan dan interpretasi

pemeriksaan diagnostik. Contoh: Apakah menggunakan termometer oral sekali

pakai lebih valid dibandingkan dengan termometer oral elektronik untuk klien

dengan kondisi tube endotrakeal?

2) Prognosis (perkiraan): Pertanyaan terkait kemungkinan hasil klinis klien. Contoh:

Apakah terdapat perbedaan cedar pada trombosis vena dalam pada klien operasi

yang mendapatkan heparis subkutan dibandingkan klien yang mendapatkan hepain

berat-molekul-rendah subkutan?

27
3) Terapi: Pertanyaan tentang pemberian terapi yang terbaik. Contoh: Apakah yang

paling efektif dalam meminimalisir konstipasi akibat pemberian opioid pada klienn

dengan nyeri kronik?

4) Pencegahan: Pertanyaan tentang cara skrinning dan pencegahan untuk menurunkan

risiko penyakit. Contoh: Apakah pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) pada

lansia asimptomatik akan mengurangi risiko mortalitas akibat kanker prostat?

5) Edukasi: Pertanyaan terkait pengajaran terbaik untuk rekan kerja, klien dan

anggota keluarga. Contoh: Apakah penggunaan alat bantu visual lebih efektif

dibandingkan pamflet atau buku pengajaran buta huruf dalam memberikan

pengetahuan pada lansia buta huruf tentang diet terapetik?

6) Selalu kritis dan tidak egois dalam melakukan aktifitas klinis secara rutin dan

jangan merasa puas terhadap apa yang dilakukan. Selalu mengajukan pertanyaan

yang sesuai untuk bisa memberikan pelayanan yang baik kepada klien (Nggie,

2010).

2. Mengumpulkan Bukti Terbaik

Setalah mendapatkan hasil yang jelas dari pertanyaan sesuai PICO, maka perawat

bisa mencari sumber bukti dari pertanyaan tersebut. Perawat bisa mencari sumber dari

berbagai elemen misalnya kebijakan agensi dan manual prosedur, data peningkatan

kualitas, pedoman parktik klinis, atau data dasar yang sudah tersimpan dalam

komputer. Perawat bisa meminta bantuan kepada instansi fakultasnya dahulu untuk

emndapatkan sumber informasi yang tepat (Nggie, 2010).

Perawat juga bisa bisa mencari sumber informasi di petugas kepustakaan ilmiah

dengan meminta bantuan kepada pustakawan medis. Pustakawan bisa mngganti

pertanyaan PICO ke dalam bahasa atau kata kunci yang dapat memunculkan hasil

yang terbaik. Ketika menuliskan kata kunci hasil yang yang diperoleh bisa jadi akan

28
membingungkan karena kosa kata yang ditampilkan memiliki arti yang berbeda.

Pustakawan medis akan membantu untuk menyelesaikan pertnyaan PICO sehinga

memperoleh bukti yang tepat (Nggie, 2010).

MEDLINE dan CINAHL merupakan tempat penyimpanan data dasar yang

komprehensif dan mewakili dasar pengetahuan bagi pelayanan kesehatan (Melnyk

dan Fineout-Overholt, 2005). Data ini tersedia secara gratis maupun berbayar.

Informasi yang disediakan bisa diakses melalui langganan institusi yang dibayar oleh

sekolah. Langganan tersebut disediakan oleh vendor. OVID merupakan salah satu

vendor yang familiar karena memiliki beberapa simpanan data dasar (Nggie, 2010).

Cochrane Database of Systematic Reviews adalah salah satu data dasar gratis yang

ada di internet yang memiliki sumber utama untuk menyusun bukti (bukti yang belum

ditinjau). Data dasar Cochrane merupakan artikel penuh dari peninjauan yang tersusun

secara sitematis dan protokol bagi tinjauan yang sedang dikerjakan. Kelompok

peninjauan kolaboratif menyediakan dan mengamankan tinjauan tersebut. Protokol

menyiapakan latar belakang, objektif, dan metode untuk tinjauan yang sedang

dikerjakan (Melnyk dan Fineout-Overholt, 2005). National Guideline Clearinghouse

(NGC) merupakan simpanan data dasar yang disuport oleh AHRQ. NGC berisikan

pedoman klinis, ialah pernyataan yang di rangkai secara sistematis tentang strategi

perawatan untuk keadaan klinis spesifik yang melibatkan populasi klien spesifik juga.

Contoh pedoman klinis ialah asuhan keperawatan anak-anak dan remaja dengan

diabetes melitus tipe 1 dan pedoman praktik untuk perawatan orang dewasa dengan

nyeri punggung bawah.

3. Menilai Bukti

Menilai bukti merupakan mengevaluasi EBP untuk menciptakan perubahan

dengan menentukan nilai, prubahan praktikalisasi, dan kebermanfaatan bukti (ONS,

29
2015). Dalam melakukan penilaian bukti tersebut, evaluasi terlebih dahulu nilai

ilmiahnya dan penerapannya dalam setiap yang ditemukan. Kemudian, diskusikan

dengan orang yang ahli dalam bidangnya dan tentukan hasilnya yang paling sesuai

untuk diterapkan ketika praktik. Ketika sudah melakukan penilaian bukti, maka

perawat akan mampu menjawab pertanyaan, Apakah semu informasi yang telah

diperoleh mampu menjawab pertanyaan PICO perawat? Apakah informasi yang

perawat peroleh menunjukkan bukti yang benar dan terpercaya? Bisakah perawat

menerapkan bukti tersebut ketika praktik? (Nggie, 2010).

Infomasi yang diperoleh dari sumber artikel memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

a. Abstrak, merupakan kesimpulan artikel yang dapat memberikan informasi terkait

jenis artikel (berdasarkan penelitian atau klinis). Di dalam abstrak sendiri

membahas tujuan penelitian atau pertanyaan klinis, topik atau pembahasan yang

ditemukan, dan keterlibatannya dalam kegiatan praktik keperawatan.

b. Pendahuluan, merupakan artikel yang mengandung informasi terkait tujuan dan

kepentingan topik bagi pembacanya. Dan bisa terdapat bukti pendukung singkat

yang penting sesuai persepsi penulisnya.

c. Abstrak dan pendahuluan akan menentukan apakah perawat ketika membaca

artikel tersebut ingin meneruskan atau tidak. Dan perawat bisa mengidentifikasi

apakah topik dari artikel yang dibaca sudah sesuai dengan pertanyaan PICO atau

hanya cukup berkaitan sehingga masih bisa memberikan informasi yang berguna

(Nggie, 2010).

d. Tinjauan pustaka atau latar belakang.

Penulis bisa menyertakan latar belakang yang rinci terkait pembahasan topik

penelitiannya. Hal ini akan membuat sebuah argumen bagi penulis terhadap hasil

yang sudah diteliti. Jika artikel yang mengandung latar belakang tidak bisa

30
menjawab pertanyaan PICO dengan tepat, infomasi dari artikel yang telah dibaca

akan memberikan sumber pengetahuan yang berguna untuk menambah wawasan.

e. Narasi makalah, merupakan bagian inti dan berisi pembahasan dari topik yang

dibuat penulis. Dalam artikel klinis akan dibahas mengenai deskripsi populasi

klien, sifat penyakit klien, perubahan kesehatan, bagaimana klien terpengaruh, dan

terapi keperawatan ynag sesuai. Suatu artikel riset memiliki sub pembahasan yang

terdapat pada bagian narasi, diantaranya:

1. Pernyataan tujuan: menejelaskan maksud dari penelitian. Bagian ini berisi

konsep yang akan diteliti. Pembahasannya terkait pertanyaan penelitian atau

hipotesis. Contoh pertanyaan penelitian, “Karakteristik seperti apa yang biasa

ditemukan pada wanita yang melakukan skrinning payudara tiap tahun?”

2. Metode atau desain: pada bagian ini menjelaskan penulis dalam menjawab

pertanyaan penelitian. Pada bagian ini, akan diketahui jenis penelitian apa yang

telah digunakan (misalnya RCT, penelitian kasus-kontrol, kualitatif, dan

kuantitatif). Dalam pembahasannya terkadang penulis menyampaikan hasil

penelitiannya dengan bahasa yang sulit dipahami karena untuk mendapatkan

hasil yang akurat.

3. Hasil atau kesimpulan: setiap artikel klinis yang ditulis berisikan kesimpulan

dari topik yang sudah dibahas. Pada bagian artikel riset penulis akan

menjelaskan keterkaitan klinis dari topik yang sudah disajikan. Pada artikel riset

juga dijelaskan apakah hipotesis yang dibuat bisa diterima atau bahkan ditolak

atau bagaimana pertanyaan penelitian dijawab.

4. Implikasi klinis: artikel riset akan mencakup bagian yang membahas apakah

temuan penelitisn tersebut memiliki keterkaitan klinis. Setelah mencari sumber

dari artikel dan telah dinilai sesuai pertanyaan PICO, maka integrasikan hasil

31
temuan tersebut dari seluruh artikel yang telah dibaca guna menemukan status

bukti yang ada. Dan menggunakan pemikiran kritis ketika mempertimbangkan

sejauh mana artikel tersebut bisa menjawab pertanyaan perawat. Selain itu,

pertimbangkan pula apakah butki tersebut bisa diterapkan untuk satu klien saja

atau kelompok yang biasanya memiliki riwayat medis yang kompleks (Melnyk

dan Fineout-Overholt, 2005). Secara etika perawat juga haru memperhatikan

bukti yang ditemukan bisa menguntungkan klien dan tidak berbahaya.

4. Integrasikan Bukti

Setelah menumkan bukti yang dirasa sudah cukup kuat dan tepat ketika

diaplikasikan, perawat kemudian mengintegrasikan ke dalam praktik. Gunakan

bukti yang ditemukan sebagai langkah awal ketika melakukan intervensi pada

klien. Contohnya, perawat mempelajari cara melakukan pendekatan dalam

memandikan lansia yang cemas, maka perawat bisa menggunakan teknik yang

sudah didapatkan ketika memutuskan hasil bukti klinis dari artikel yang sudah

dibaca (Melnyk dan Fineout-Overholt, 2005; Trepepi-Bova, et al., 1997).

5. Evaluasi Keputusa Praktik atau Perubahan

Ketika bukti yang sudah ditemukan kemudian diterapkan, maka selanjutnya

adalah evaluasi efek. Bagaimana cara kerja intervensi tersebut? Apakah efektif

keputusan yang diambil dalam penerapannya pada klien dan lingkungan

praktik? Evaluasi yang diperoleh dapat berupa hasil yang sederhana misalnya

hasil yang diperoleh sudah sesuai dengan apa yang diharapkan.

32
Penelitian Penelitian menghasilkan
Manajemen Hasil pengetahuan yang objektif

Metode Penelitian menghasilkan


Penelitian
pengetahuan yang objektif
Keperawatan Ilmiah

Penelitian Historis

Penelitian Korelasi

Penelitian
Eksploratoris

Penelitian Evaluasi

Penelitian
Deskriptif

Penelitian
Eksperimental

Keperawatan dan Penelitian


Pendekatan Ilmiah Kualitatif

Penelitian
Kuantitatif

33
2.7 Tahapan – Tahapan Penelitian Keperawatan dalam EBP

Penelitian merupakan suatu proses yang dilakukan sesuai prosedur penelitian

untuk menyakan dan menjawab pertanyaan sehingga diperoleh pengetahuan.

Pengetahuan yang dihasilkan akan menjadi dasar ilmiah ketika praktik keperawatan dan

memutuskan efisiensi dari intervensi keperawatan (Metheny, el al., 1998, 1989, 1990,

1994, 2000). Penelitian keperawatan didukung oleh International Counsil of Nurses

(ICN) (1986) dan American Nurses Association (ANA). Dukungan yang ada merupakan

cara untuk meningkatakan mutu kesehatan dan kesejahteraan rakyat, memperbarui

pengetahuan, meningkatkan edukasi dan praktik profesional, dan menggunakan sumber

daya secara efisien dan efektif (Nggie, 2010). Terdapat 3 komponen dari penelitian

keperawatan yang bisa dilakukan, yaitu:

1. Penelitian Manajemen Hasil

Penelitian hasil merupakan penelitian yang dilakukan untuk memperoleh suatu

jawaban dan mendokumentasikan efektivitas pelayanan kesehatan dan intevensinya

(Polit dan Beck, 2004).

Suatu hasil penyampaian pelayanan berfokus pada penerima pelayanan (klien,

keluarga, atau komunitas) dan bukan pada yang memberikan pelyanan (perawat atau

dokter). Masalah pada penelitian hasil harus dapat diukur. Unsur-unsur hasil

mencakup hasil itu sendiri, cara pengamatan, karakteristik kritisnya, dan rentang

skalanya (Melnyk dan Fineout-Overholt, 2005).

2. Metode Ilmiah

Metode ilmiah merupakan cara yang digunakan untuk mendapatkan hasil

pengetahuan yang paling objektif ketika melakukan penelitian. Metode ilmiah

dijadikan acuan penelitian sehingga memiliki dapat terarah dan bisa mengahsilkan

bukti yang valid, reliable, dan dapat digeneralisasi (Nggie, 2010).

34
Peneliti menggunakan metode ilmiah untuk memahami, menjelaskan,

memperkirakan atau mengendalikan fenomena keperawatan (Polit dan Beck, 2004).

Langkah-langkah yang sistematik mampu menekan opini peneliti yang bisa

mempengaruhi hasil yang diperoleh sehingga kesalahan penelitian bisa diminimalisir

(Nggie, 2010). Polit dan Beck (2004) menjelaskan ada beberapa karakterisitik

penelitian ilmiah sebagai berikut:

a. Masalah yang perlu diidentifikasi.

b. Tahapan perencanaan dan penyelenggaraan penelitian dilakukan secara teratur

dan sitematik.

c. Peneliti mencoba mengendalikan faktor ekdternal yang tidak diteliti namun bisa

memengaruhi hasil penelitian.

d. Data yang diperoleh berdasarkan bukti empiris

e. Ditujukan secara general untuk kelompok klien atas pengetahuan yang telah

didapatkan dari memahami fenomena.

3. Keperawatan dan Pendekatan Ilmiah

Nggie (2010) membahas pendekatan ilmiah, dikaitkan dengan jenis-jenis penelitian

sebagai berikut:

a. Penelitian historis: penelitian untuk menegakkan fakta dan hubungan dengan

masalalu. Contoh: pengamatan pada faktor masayarakat yang membuat

diterimanya perawat praktik ahli oleh klien.

b. Penelitian eksploratoris: penelitian untuk menegakkan hipotesis yang berhubugan

dengan fenomena. Contoh: penelitian pilot yang menguji program olahraga baru

terhadap lansia yang menderita demensia.

c. Penelitian evaluasi: penelitian terkait seberapa jauh program, praktik, atau

kebijakan dapat terlaksana dengan baik. Contoh: penelitian yang mengukur hasil

35
promosi kepada orangtua dalam meningkatakan kemampuan dalam menaati

jadwal imunisasi anakanya.

d. Penelitian deskriptif: penelitian yang mnegukur karakteristik orang, situasi, atau

kelompok dan frekuensi kejadian suatu peristiwa. Contoh: penelitian yang

menghadapi persimpangan RN saat merawat klien obesitas.

e. Penelitian eksperimental: penelitian yang mengendalikan variable penelitian

secara acak untuk menguji variabel tersebut. Contoh: suatu RCT membandingkan

Chlorhexidine dengan Betadine dalam menurunkan kejadian flebitis IV.

f. Penelitian korelasi: penelitian yang membahas hubungan antar variabel tanpa

intevensi aktif oleh peneliti. Contoh: penelitian yang memperhatikan hubungan

strata pendidikan RN dan kepuasan mereka dalam peran keperawatan.

Terdapat 2 pendekatan besar untuk penelitian metode kuantitif dan kualitatif.

1. Penelitian kuantitatif

Penlitian ini yang berdasarkan pengukuran dan kuantitatif yang rinci. Contohya

mengukur tingkat keparahan nyeri, tingkat pemulihan luka, dan suhu tubuh.

Penelitian kuantitatif berdasarkan data numerik, analisis statistik, dan kontorl untuk

menghilankan bias (Polit dan Beck, 2004).

Survei merupakan penelitian kuantitatif yang sering dilakukan untuk

mendapatkan informasi dari populasi mengenai frekuensi, distribusi, dan hubungan

antar-variabel dalam subjek penelitian (Polit dan Beck, 2004). Misalnya survei yang

dilakukan untuk mengukur persepsi perawat terkait kesediaan dokter untuk bekerja

sama dalam praktik (Nggie, 2010)

Penelitian evaluasi merupakan pengukuran terhadap hasil penelitian yang

berdasarkan program, parktik, prosedur atau kebijakan yang sedang dijalankan (Polit

dan Beck, 2004). Contohnya penelitian manajemen hasil. Penelitian evaluasi akan

36
menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan program. Jika terjadi

kegagalan maka akan diidentifikasi masalah dalam program tersebut serta alasan

tidak berhasilnya program, atau hambatan yang mengahalanginya (Nggie, 2010).

2. Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang mendapatkan hasil dari

wawancara atau tidak dalam bentuk nomerik. Penelitian kualitatif didasarkan analisis

induktif untuk mengkontruksi teori dari pengamatan/wawancara spesifik (Polit dan

Beck, 2004).

Terdapat metode untuk penelitian kualitatif. Etongrafi merupakan penelitian yang

melibatkan pendeskripsian dan penafsiran dari tingkah laku kultural (Polit dan Beck,

2004). Contohnya, peneliti mengamati tingkah laku pada penderita Alzheimer yang

dihubungkan dengan antropologi, yang berfokus pada budaya suatu populasi (Nggie,

2010).

Fenomena merupakan metode penelitian yang bersumber dari pemikiran atau

filsafat (Polit dan Beck, 2004). Penelitian ini berfokus pada pengalaman manusia

dalam kegiatan sehari-hari dan bagaimana manusia itu bisa menginterpretasikannya

dan peneliti meminta untuk diceritakan kisahnya tentang fenomena yang diteliti

(Nggie, 2010). Contoh, Wongvantuyu dan Poter (2005) meneliti pengalaman

perempuan yang membantu penderita cedar otak traumatik yang berusia muda.

Peneliti mengamati tingkah laku wanita, tindakan, dan tujuan yang

berkesinambungan untuk membantu penderita tersebut.

Grounded theory merupakan metode penelitian kualitatif dengan mengumpulan

dan menganalisis data untuk membuat tori yang berdasarkan fenomena nyata (Polit

dan Beck, 2004). Contoh, ketika melakukan penelitian pada komunitas, sulit untuk

berinteraksi antara perawat dengan klien, Sheldon, et al. (2006) membuat kelompok

37
untuk membahas kesulitan dalam berkomunikasi sehingga bisa dibangun teori

komunikasi yang bermanfaat.

2.8 Program Peningkatan Kualitas Performa dalam EBP

Dalam program peningkatan QI hendaknya berfokus pada proses yang berpengaruh

pada hasil yang diharapkan. Proses tersebut harus didukung oleh pendekatan organisasi

dimana setiap individu turut berperan dalam upaya peningkatan QI secara kontinu. Hal

tersebut dapat dimulai dari budaya organisasi itu sendiri dimana setiap individu

menyadari dan memahami betul perannya masing-masing diorganisasi tersebut serta

mempertahankan bahkan meningkatkan kualitasnya. Seperti pada pelayanan kesehatan,

terdapat banyak proses pelayanan tunggal. Ambil saja seperti peran seorang perawat,

ahli farmasi, ahli gizi, dokter, maupun sekretaris dan pembawa obat yang semuanya

mempunyai peran masingmasing namun bekerjasama dalam upaya peningkatan kualitas

atau QI. Memang pada dasarnya proses peningkatan QI harus dimulai dari tingkat staf

terlebih dahulu, dimana suatu masalah diidentifikasi, setiap anggota wajib mengetahui

standar praktik yang sesuai dengan kualitas yang ada. quality improvement (QI) di

definisikan sebagai pendekatan penelitian atau upaya perbaikan dalam memberikan

pelayanan kepada pasien atau klien serta memenuhi segala kebutuhanya. Sedangkan

performance improvement (PI) yaitu suatu organisasi akan melakukan evaluasi serta

menganalisis performa saat ini untuk merumuskan tindakan atau upaya perbaikan

pelayanan yang ada.

Sementara itu terdapat peran Komite QI yang dimana tugasnya adalah untuk

meninjau aktivitas pelayanan kesehatan yang dilakukan terhadap klien serta mengenali

berbagai kesempatan terbesar dalam meningkatkan kualitas, komite memperhatikan

aktivitas dengan risiko tinggi ( berpotensi mengakibatkan terjadinya trauman bahkan

kematian), volume tinggi ( aktivitas unit risiko), dan bidang masalah ( bagi klien, staf,

38
maupun instansi). Terkadang masalah yang ditemukan adalah masalah yang tidak

diperkirakan sebelumnya yang menyebabkan cedera fisik maupun psikologis yang berat

atau bahkan kematian. Setelah masalah teridentifikasi. Badan komite selanjutnya akan

menerapkan model resmi dalam rangka untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ada

banyak model PI dan QI, salah satunya. Ada banyak model PI dan QI, salah satunya

adalah model PDSA. Yaitu :

Plan (rencanakan). Peninjauan dilakukan pada data yang didapat untuk dipahami

masalah apa yang sebenarnya terjadi guna mengidentifikasi kebutuhan perubahan.

Do (Lakukan). Penentuan tindakan atau intervensi yang dapat diterapkan dalam masalah

tersebut dan selanjutnya diterapkan perubahan tersebut.

Study (pelajari). Setelah diterapkan, kemudian hasil dari perubahan yang sudah

diterapkan harus dievaluasi kembali tentang bagaimana dampak atau perkembangan dari

penerapan perubahan tersebut.

Act (tindak). Jika perubahan tersebut dinilai efektif dan dapat memecahkan masalah

bahkan meminimalisir peluang terulang kasus tersebut. Maka perubahan tersebut dalam

diterapkan dalam performa untuk keseharian.

Setelah dilakukan perubahan praktik oleh komite QI, selanjutnya hasil perubahan

tersebut harus langsung disampaikan kepada staf di departemen yang berkepentingan

pada organisasi atau instansi tersebut. Penyampaian bisa dilakukan lewat diskusi rutin

yang diadakan dalam rangka membahas tentang peningkatan kualitas mengenai aktivitas

QI. Diskusi tersebut bisa berupa pertemuan staf, buletin, atau yang lainya. Pada intinya

komunikasi yang baik antar staf atau bagian harus terbangun guna meningkatkan

kualitas pelayanan yang baik kepada klien. Banyak hasil diskusi yang membawa tentang

39
Komite QI mengkaji tingkat
kualitas dan performa saat ini

Perubahan
QI yang pada akhirnya dapat menimbulkan kebijakan
perubahan besar atau
pada organisasi terbaru
sistem pelayanan
khusus dalam hal sistem yang berjalan serta standar prosedur yang ditetapkan Dalam

pemberian pelayanan dan peningkatan kualitas. Perubahan praktik yang ditentukan oleh
Penyampaian staf lewat
diskusi
komite QI tidak akan bertahan lama jika tidak adanya komunikasi dari komiet QI

dengan staf departemen penting yang ada di organisasi tersebut, selain itu organisasi

juga berkewajiban untuk memberikan Implementasi Kebijakan


respon terhadap suatu masalah dengan sumber
yang diberikan
daya yang sesuai pada bidangnya. Perubahan sistem atau kebijakan dan prosedur,

perubahan standar pelayanan, serta implementasi pendukung baru merupakan contoh

dari respon yang baik dari suatu organisasi.

40
Peningkatan
Kualitas Performa

QI (quality PI (perfomance
improvement) improvement)

Plan Do Study Act

(rencana) (lakukan) (pelajari) (tindakan)

Ketidakmerata
an EBP
Fasilitas Tidak
tidak terbiasa
memadai Meneliti

Tidak
diberi Kompone
pertanggun n belum
gjawaban Faktor memadai
Penghamb
at

Minim
Kurangny
Pengetahua
a
n Bahasa
Dukungan
Asing

Perbedaan
tingkat Waktu
pendidika
n

41
2.9 Faktor – Faktor Penghambat dalam Pengaplikasian EBP

1. Model konsep Evidance-based Practice hanya berfokus di kota-kota besar baik yang

berada di dalam maupun luar negeri sehingga pada daerah-daerah pelosok atau

pedesaan yang terdapat di Indonesia belum berkembang. Hal itu terjadi karena

kurangnya informasi yang masuk antara pihak eksternal dari kota besar menuju

pedasaan. Selain itu, perawat kurang terampil dalam memainkan perannya;

2. Pada perawat sendiri menyatakan tidak setuju bahwa pengetahuan mereka memadai

untuk mengimplementasi Evidance-based Practice tetapi sebaliknya, banyak dari

responden yang sudah memiliki keterampilan yang cukup untuk melaksanakan

Evidance-based Practice serta mereka mengatakan bahwa mereka terbiasa membaca

hasil penelitian akan tetapi dalam melakukan suatu penelitian mereka tidak terbiasa;

3. Belum cukup memadainya banyak komponen persiapan perawat dalam

mengimplementasikan konsep Evidance-based Practice. Kurangnya komponen yang

terdapat pada diri seorang perawat menyebabkan mereka tidak siap untuk

mengaplikasikan EBP dalam praktik keperawatan. Komponen – komponen tersebut

sangat mendukung untuk eksistensi seorang perawat di dalam pelayanan kesehatan.

Ketika komponen yang terdapat pada diri perawat terpenuhi baik dari segi internal

maupun eksternal. Mereka akan memberikan pelayanan profesional kepada pasien

atau klien sehingga memberikan kesan positif pada pasien serta membuat pasien

merasa termotivasi untuk sehat;

4. Faktor penghambat utama yaitu pemahaman bahasa asing yang minim dan

pengetahuan yang terbatas. Hal ini dapat terjadi kepada seorang perawat karena

kurang nya budaya literasi atau kurang keikutsertaannya dalam mengikuti kegiatan

pelatihan untuk pengembangan ilmu dan peningkatan keterampilan yang bisa didapat

dengan kegiatan seperti seminar, pengaplikasian riset hasil penelitian dsb;

42
5. Waktu dan pengetahuan merupakan hambatan utama yang di temukan dari berbagai

penelitian yang ada mengenai implementasi;

6. Dukungan yang kurang dari organisasi dapat juga menghambat pengembangan

Evidance-based Practice

7. Seorang perawat yang tidak diberi tanggung jawab untuk mengimplementasikan

Evidance-based Practice. Semua profesi yang bekerja di dalam pelayanan kesehatan

sangatlah perlu menerapkan EBP dalam praktik keperawatannya khususnya dalam

pemberian asuhan keperawatan. Dengan diberlakukannya EBP di setiap pekerjaan

atau tugas dari seorang yang memiliki profesi maka pelayanan yang dihasilkan akan

berkualitas dan selalu bertumpu pada bukti – bukti yang mendukung kita ketika kita

melakukan intervensi kepada seorang pasien.

8. Fasilitas yang kurang memadai apa lagi pada era 4.0 dimana majunya teknologi pada

saat ini sehingga ketersediaan komputer sangat penting. Seharusnya fasilitas harus

dikembangkan baik dalam institusi kesehatan atau pada saat proses penelitian. Dengan

adanya fasilitas seperti komputer yang tersambung internet akan memudahkan profesi

kesehatan untuk mencari sumber – sumber ilmiah yang mendukung dalam pemberian

asuhan keperawatan kepada klien. Sumber – sumber ilmiah yang terdapat di internet

seperti jurnal, artikel ilmiah, dan riset hasil penelitian dapat dijadikan bukti sebagai

dasar pengimplementasian EBP dalam pelayanan kesehatan;

9. Tingkat pendidikan yang berbeda setiap individu. Pendidikan sangat berpengaruh

terhadap pengetahuan serta kompetensi seorang perawat. Semakin lama pendidikan

yang ditempuh oleh individu maka semakin banyak pula pengetahuan yang

didapatkan oleh individu tersebut. Ketika pengetahuan yang didapat oleh seorang

individu sangat banyak atau meluas, kompetensi yang dimiliki oleh individu tersebut

43
akan mengikuti pengetahuan yang didapatkannya. Kompetensi ini akan melahirkan

keterampilan serta soft skill seorang perawat dalam praktik keperawatan.

2.10 Pengimplementasian EBP di dalam Praktik Keperawatan

1. Pendekatan buku resep keperawatan

Pendekatan buku resep keperawatan didasarkan pada suatu bukti – bukti yang

relevan terhadapa pasien mengenai suatu permasalah kondisi klinisnya. Dalam hal ini

perawatan tidak bersifat individualitas bergantung pada perawat saja. Akan tetapi,

pasien juga perlu dan berhak mengetahui suatu tindakan yang akan diberikan

kepadanya. Perawat akan menggali semua bukti – bukti yang mendukung pasien

dalam proses pelayanannya dibidang asuhan keperawatan. Kondisi klinis yang

dialami oleh pasien akan memberikan tantangan baru bagi perawat untuk

mengatasinya dengan ilmu, pengetahuan ataupun keahliannya di bidang klinis

tersebut. Penyelesaian ini tentunya didasarkan pada EBP dalam keperawatan. Dengan

diberlakukannya EBP di setiap tindakan keperawatan akan memberikan output yang

terbaik bagi pasien dan tidak merugikan pasien. Penggabungan keahlian klinis harus

seimbang dengan resiko dan manfaat dari tindakan klinis yang diberikan kepada

pasien. Resiko yang mungkin terjadi dapat teratasi dengan keprofesionalitasan serta

keahlian seorang perawat sehingga tidak menimbulkan masalah yang terjadi bagi

pasien di dalam pelayanan kesehatan. Keuntungan akan didapatkan seorang pasien.

Seperti yang kita ketahui bahwa pasien adalah manusia yang unik serta berbeda –

beda sifat dan karakteristiknya. Kita mengetahui bahwa di dalam diri pasien terdapat

banyak faktor pendukung atau sejahtera kondisi pasien, salah satunya adalah

kebudayaan. Kebudayaan sangat penting untuk diperhatikan terutama saat pemberian

asuhan keperawatan, perawat harus mengerti mengenai variasi budaya yang dimiliki

oleh seorang pasien karena bisa jadi kondisi klinis yang dialami pasien berkaitan

44
dengan variasi kebudayaan. Meskipun EBP mencegah perhatian mengenai masalah

kebudayaan, tetapi asuhan keperawatan perlu mempertimbangkan hal ini dalam

kondisi dan situasi apapun. Keunikan seorang pasien harus diperhitungkan oleh

perawat terutama keadaan klinisnya, kondisinya serta preferensi komorbiditasnya. Hal

tersebut yang telah saya jabarkan merupakan salah satu komponen terpenting dalam

pengaplikasian EBP.

2. Intervensi berdasarkan Hasil Peneletian

Perawat pastinya akan memberikan suatu intervensi kepada pasiennya.

Intervensi yang diberikan bukan sembarangan intervensi. Akan tetapi, intervensi yang

diberikan berdasarkan bukti – bukti yang mendukung suatu tindakan tersebut

diberikan kepada pasien. Bukti – bukti tersebut dapat digali dengan adanya suatu

kasus yang telah ditemukan solusinya sesuai dengan tahapan – tahapan berdasarkan

EBP baik dalam bentuk diskusi maupun kerja sama. Selain itu, peran perawat dalam

memberikan intervensi harus memusatkan kepada kenyamanan dan sepengetahuan

pasien sehingga terjadi suatu hubungan saling percaya yang dihasilkan di kedua belah

pihak. Dalam praktik EBP sangat menjunjung tinggi kompetensi, pengetahuan, serta

keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien. Dalam suatu

pelayanan khususnya pada praktik keperawatan tentunya dalam pemberian asuhan

keperawatan ataupun intervensi tidak hanya menganut terhadap hal – hal umum saja

melainkan sumber – sumber ilmiah yang relevan dan terpecaya yang dapat diakses

melaui internet mengenai kondisi klinis pasien sehingga pemberian intervensi

bermutu dan berkualitas dapat diberikan berdasarkan bukti – bukti yang tertera. Hasil

penelitian juga sangat diperlukan dalam intervensi kepada pasien. Selain itu, hasil

penelitian merupakan salah satu bentuk bukti terhadap pengimplementasian EBP. Hal

ini dapat dibuktikan dengan penerapan hasil penelitian terhadap kasus yang terjadi.

45
Namun demikian, hasil penelitian yang tertera harus mempunyai korelasi dengan

kondisi klinis pasien dalam proses penanganannya. Perawat perlu memerhatikan hasil

penelitian tersebut yang relevan dengan pasien sehingga dalam proses penanganannya

dapat diberikan yang terbaik dan bermutu.

2.11 ESI (Evidence Based Triage)


ESI merupakan triase berdasar bukti (evidence based triage) dengan derajad
evidens dan rekomendasi paling tepat,efisiensi danefektivitas sistem tersebut terbukti
banyak rumah sakit yang menggunakanya ( Tanabe et al, 2004). Sesuai Pedoman
Standar Akreditasi Rumah Sakit tahun 2012 terkait implementasi sistem triase
berbasis bukti maka pasien yang membutuhkan pelayanan di instalasi gawat darurat
akan diklasifikasikan dalam 5 level ESI. Triase merupakan ketrampilan keperawatan
mutlak dimiliki perawat instalasi gawat darurat, factor inilah yang tidak bisa
disamakan perawat instalasi gawat darurat dengan perawat unit lain. Hal ini
dikarenakan membutuhkan pengalaman sehingga pelayanan dilakukan cepat dan
akurat.Perawat harus memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup, terampil
dalam pengkajian, mampu mengatasi situasi dan kondisi yang penuh tekanan
sehingga kematangan profesional untuk mentoleransi stres yang terjadi dan berani
memberikan keputusan terkait dengan kondisi pasien dan mensikapi keluarga pasien
(Elliot et al, 2007). Terbukti bahwa tidak mudah bagi perawat untuk melaksanakan
triase. Pada prinsipnya triase menolong penderita yang mengalami cedera atau
keadaan berat namun memiliki harapan hidup.Sesuai Pedoman Standar Akreditasi
Rumah Sakit tahun 2012 pasien dengan kebutuhan darurat mendesak,diklasifikasikan
melalui triase berdasar bukti.Menurut Departemen Kesehatan dalam Pedoman
Pelayanan Kegawat Daruratan (2008), bila telah terklasifikasikan, pasien secepatnya
diperiksa dan mendapatkan asuhan. Pasientersebut segera mendapatkan pemeriksaan
sebelum pasien lain, mendapatkan pelayanan diagnostik, dan pengobatan sesuai
kebutuhan. Proses triase termasuk kriteriaberdasar kejadian alamiyah. Rumah sakit
mendidik petugas menentukan pasien yang membutuhkan asuhan segera dan dengan
tepat memberikan prioritas asuhan. Keberhasilan pelayanan instalasi gawat darurat
digambarkan pada keberhasilan pelayanan di triase. Semua pasien yang masuk ke
instalasi gawat darurat harus melalui triase, karena triase sangat penting untuk
penilaian kegawatan pasien dan memberikan pertolongan atau pengobatan sesuai

46
dengan derajatkegawat-daruratan yang dihadapi (Depkes, 2005). Uji &Sukraeny
tahun 2015 pada penelitianya di salah satu rumah sakit swasta Semarang
menyebutkan bahwa berdasarkan observasi dan penilaiandokumentasi triase pada file
pasien ketepatan penilaian triage padabulan Januari 2015 94,24% dan Februari 2015
95,95%.

Menurut Tanabe et al,(2004) bahwa triase yang bersifat mendunia, antara lain
Emergency Severity Index (ESI).Sistem ESI dikembangkan di negara Amerika dan
negara Kanada oleh perkumpulan perawat emergensi dan dokter spesialis emergensi.

ESI banyak diterapkan diAsia, Australia dan Eropa, termasuk rumah sakit di
Indonesia. ESI terdiri 5 skala prioritas, yaitu :

a. Prioritas 1 (label biru) adalah pasien dengan kondisi impending life/limb


threatening problem sehingga membutuhkanimmediate life-saving intervention
(cito tindakan). Parameter prioritas 1 adalah semua gangguan signifikan pada
ABCD. Contoh antara laincardiac arrest, status epileptic, hypoglycemic coma, dan
lain-lain.
b. Prioritas 2 (label merah) adalah pasien dengan kondisi potensial life,limb, or organ
threatening problem sehingga pertolongan pada pasien-pasien mendesak dan tidak
dapat ditunda. Parameter prioritas 2 adalah pasien-pasien hemodinamik atau
ABCD stabil dengan kesadaran turun tapi tidak koma (GCS 8- distress berat, dan
high risk. Antaralainasma attack, akutabdomen, elektrik injury.
c. Prioritas 3 (label kuning) adalah pasien dengan evaluasi mendalam pemeriksaan
klinis menyeluruh. Pasien label kuning memerlukan dua atau lebih sumber daya
dan fasilitass IGD. Logikanya makin banyak sumber daya dibutuhkan makin berat
kegawatdaruratan sehingga prioritas 3-5 berkaitan dengan kebutuhan perawatan.
Contoh : sepsis memerlukanpemeriksaan laboratorium, radiologis dan ECG. Sepsis
stabil mempunyai prioritas lebih tinggi daripada typhoid fever tanpa komplikasi,
akan tetapi sepsis berat tergolong prioritas 2 (merah) dan shock septic prioritas 1
(biru). d. Prioritas 4 (label hijau) adalah pasien yang memerlukan satu macam
sumber daya perawatan IGD. Contoh pasien BPH memerlukan pemasangan
kateter, vulnus laceratum membutuhkan heting sederhana, acute febrile
illnessmemerlukan pemeriksaan laboratorium, dan lain-lain.

47
d. Prioritas 5 (label putih) adalah pasientidak memerlukan sumber daya. Pasien hanya
dilakukananamnesis dan pemeriksaan fisik saja

2.12 Analisis Kasus

Jurnal Ke-1

1. Judul

International Emergency Nursing

2. Peneliti

Elina Koota Sebuah , Maria Kääriäinen b , Hanna-Leena Melender c

3. Ringkasan Jurnal

Karena sifat lingkungan klinis yang dinamis, perawat darurat diharapkan

mengikuti kemajuan dalam penelitian dan memastikan bahwa praktik mereka

berbasis bukti. Sedikit yang diketahui tentang bagaimana praktik berbasis bukti

(EBP) diintegrasikan dalam perawat darurat. Praktik berbasis bukti (EBP) diterima

secara luas sebagai komponen inti dari pendidikan profesional bagi para

profesional kesehatan. EBP adalah de fi diperlukan sebagai pendekatan untuk

memecahkan masalah dalam pengambilan keputusan klinis yang mengintegrasikan

bukti terbaik dari penelitian yang kuat, dokter ' keahlian, dan pasien ' nilai-nilai dan

preferensi. EBP telah mendapatkan mata uang global sebagai paradigma

pengambilan keputusan, dan semakin banyak studi telah mengeksplorasi intervensi

pendidikan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan tentang EBP dan

keterampilan terkait.

4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari tinjauan sistematis ini adalah untuk menggambarkan intervensi

pendidikan yang mempromosikan EBP dan hasil mereka di antara perawat darurat,

dibandingkan dengan tidak ada pendidikan, untuk menginformasikan kepada

48
dokter dan peneliti tentang e ff Intervensi pendidikan yang efektif cocok untuk

digunakan di bagian gawat darurat (ED).

5. Kelebihan & Kekurangan

 KELEBIHAN

Keandalan. Ulasan ini akan berguna untuk dokter dan peneliti keperawatan

darurat karena semua studi yang disertakan berhubungan langsung dengan

keperawatan darurat.

 KEKURANGAN

Tinjauan mungkin dibatasi oleh bias publikasi karena literatur abu-abu adalah

di ffi kultus untuk mendapatkan dan tidak dicari. Bias bahasa juga

dimungkinkan karena hanya makalah yang diterbitkan dalam bahasa Inggris

yang disertakan. Semua kecuali satu studi asli menggunakan desain studi

eksperimental semu yang tidak terkontrol. Ini bisa dianggap sebagai

kelemahan desain studi [25] . Oleh karena itu akan diinginkan untuk uji coba

terkontrol secara acak untuk digunakan dalam studi masa depan tentang

promosi EBP di UGD.

6. Metode Analisa Pico

1) Problem

Mengintegrasikan bukti ke dalam praktik klinis sehari-hari dan pengambilan

keputusan ternyata lebih menantang dari yang diperkirakan semula. Tantangan

untuk implementasi EBP termasuk batasan waktu, pengetahuan atau pendidikan

EBP yang tidak memadai, hambatan organisasi, beban kerja yang berat, hambatan

dari rekan perawat, ketidakpastian tentang ke mana harus fi menemukan

informasi dan bagaimana menilai bukti secara kritis, akses terbatas ke sumber

49
daya yang memfasilitasi EBP, dan kurangnya studi yang kuat di e ff efektivitas

intervensi EBP dalam praktik keperawatan

2) Intervensi

Intervensi pendidikan mempromosikan EBP di antara perawat darurat

3) Comparation

 PENELITI

Elina Koota Sebuah , Maria Kääriäinen b , Hanna-Leena Melender c

 HASIL

Hasil: Sepuluh studi yang relevan tentang sembilan di ff Intervensi

pendidikan yang dikembangkan sendiri saat ini diidentifikasi fi ed. Delapan

studi memiliki nilai yang sangat signifikan fi cant atau signi fi hasil tidak

bisa. Intervensi yang melibatkan kontak tatap muka menyebabkan signi fi

tidak bisa atau sangat signifikan fi tidak bisa e ff efek pada manfaat pasien fi

ts dan perawat darurat ' pengetahuan, keterampilan, dan perilaku. Intervensi

menggunakan materi pembelajaran mandiri tertulis mengarah pada signi fi

perbaikan tidak bisa pada perawat ' pengetahuan tentang EBP. Semua

deskripsi intervensi tidak lengkap, dan rincian yang dilaporkan sangat

bervariasi antara studi.

4) Outcome

Ada beberapa penelitian tentang intervensi pendidikan yang mempromosikan

EBP di antara perawat darurat, tetapi hasilnya menjanjikan. Namun, kekuatan

bukti untuk hasil ini sederhana. Ulasan ini menyarankan bahwa tutorial tatap

muka dan / atau paket pembelajaran mandiri adalah e ff strategi pendidikan yang

efektif untuk mengajar EBP di ED. Saat merancang dan melaporkan intervensi

pendidikan, peneliti harus menggunakan pedoman atau kerangka kerja pelaporan

50
untuk memberikan deskripsi transparan tentang apa yang telah dilakukan dan

ditemukan. Saat mengevaluasi hasil intervensi pendidikan, semua bidang

penilaian yang relevan harus ditangani. Akhirnya, di masa depan, uji coba

terkontrol secara acak diperlukan untuk menilai e ff efek dari intervensi

pendidikan.

Jurnal Ke-2

1. Judul

Using an evidence-based care bundle to improve intial emergency nursing

management of patient with severe traumatic brain injury.

2. Peneliti

Jintana Damkliang, Julie Considine, Bridie Kent dan Maryann Street

3. Ringkasan Jurnal

Pendekatan bundel perawatan adalah salah satu strategi yang digunakan untuk

meningkatkan konsistensi, kualitas dan keamanan perawatan gawat darurat untuk

kelompok pasien yang berbeda, namun, belum diuji pada pasien dengan cedera

otak traumatis yang parah. Perawat darurat memainkan peran penting dalam

perawatan awal pasien dengan Traumatic Brain Injury (TBI) parah dan sering

membuat keputusan independen terkait perawatan darurat pasien ini. Keputusan

keperawatan darurat termasuk posisi pasien, aplikasi kerah serviks, dan jenis dan

frekuensi pemantauan fisiologis. Praktik keperawatan yang berpusat pada standar

berbasis bukti mengharuskan perawat memiliki pengetahuan tentang temuan

penelitian yang mendukung bidang keahlian mereka. Paket perawatan merupakan

salah satu strategi untuk meningkatkan integrasi bukti penelitian ke dalam praktik

klinis dan memfasilitasi penyedia layanan kesehatan untuk memberikan perawatan

pasien yang optimal.

51
4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji dampak dari penerapan bundel

perawatan pada manajemen keperawatan darurat awal pasien dengan cedera otak

traumatis yang parah.

5. Kelebihan & Kekurangan

 Kelebihan

Pendekatan bundel perawatan dapat digunakan sebagai strategi untuk

meningkatkan asuhan keperawatan darurat pasien dengan TBI parah.

 Kekurangan

- Pertama, penelitian dilakukan di satu situs dengan sampel terbatas

sehingga generalisasi temuan untuk ED lain terbatas.

- Kedua, perawatan gawat darurat pasien TBI berat juga melibatkan tenaga

medis gawat darurat dan tenaga medis.

6. Metode Analisa Picos

1) Problem

TBI yang parah adalah masalah global dan merupakan masalah utama dan

terus meningkat di Thailand. Di Thailand, kejadian rawat inap akibat TBI

meningkat, sebagian besar disebabkan oleh parahnya dan dampak kecelakaan lalu

lintas jalan. Jadi, sejumlah besar orang yang menderita TBI, dan TBI yang sangat

parah, berarti bahwa penatalaksanaan pasien dengan TBI parah merupakan

tantangan berkelanjutan bagi penyedia layanan kesehatan Thailand. Tantangan

khusus juga dihadapi perawat darurat yang memainkan peran utama dalam

penyampaian asuhan keperawatan darurat kepada pasien dengan TBI parah,

karena mereka bertanggung jawab atas keputusan penting perawatan pasien, dan

52
bersama pasien selama keseluruhan episode Departemen Gawat Darurat (ED)

mereka. perawatan.

2) Intervention

Desain pretest / post-test dengan studi observasional digunakan. Intervensi

penelitian adalah paket perawatan berbasis bukti untuk manajemen perawatan

darurat awal pasien dengan TBI parah. Pasien yang memenuhi syarat untuk

dimasukkan dalam penelitian ini adalah pasien: Berumur ≥ 18 tahun, Datang ke

UGD dengan TBI parah, ditentukan dengan skor GCS 8 atau kurang pada saat

kedatangan di UGD, dan Hadir di UGD selama periode pengumpulan data.

3) Comparation

 Peneliti : Jintana Damkliang, Julie Considine, Bridie Kent dan Maryann

Street,

 judul : Using an evidence-based care bundle to improve intial emergency

nursing management of patient with severe traumatic brain injury.

 Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa Studi ini menunjukkan bahwa

implementasi bundel perawatan berbasis bukti meningkatkan elemen spesifik

dari manajemen klinis perawat darurat pada pasien dengan cedera otak

traumatis yang parah.

4) Outcome

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mempromosikan asuhan keperawatan

darurat berbasis bukti yang konsisten untuk pasien dengan TBI parah,

mengurangi variasi yang tidak perlu dalam asuhan keperawatan dan mengurangi

risiko cedera otak sekunder dari perawatan suboptimal. Strategi untuk

mendukung penerapan paket perawatan harus mempertimbangkan struktur, staf,

proses, dan sumber daya lokal untuk penggunaan maksimum dalam lingkungan

53
klinis yang sibuk. Pada manajemen perawatan darurat awal pasien dengan TBI

parah, namun, temuan dari penelitian ini dapat diterapkan pada berbagai konteks

sumber daya yang rendah dan kondisi klinis. Pendekatan bundel perawatan

tampaknya menjadi metodologi yang menjanjikan untuk meningkatkan

penggunaan bukti penelitian di lingkungan sumber daya rendah.

2.13 Pembahasan

1. Educational interventions promoting evidence-based practice among

emergency nurses: A systematic review

Berdasarkan hasil dari jurnal 2 disimpulkan saat merancang dan melaporkan

intervensi pendidikan, peneliti harus menggunakan pedoman atau kerangka kerja

pelaporan untuk memberikan deskripsi transparan tentang apa yang telah dilakukan

dan ditemukan. Hal tersebut sesuai dengan tahapan EBP merumuskan pertanyaan

klinis, Selalu memperhatikan saat melakukan praktik kepada klien. Melakukan

identifikasi jenis pertanyaan yang membutuhkan penjelasan dan yang tidak rasional.

Pikirkan problem yang berkaitan dengan waktu, biaya, atau yang tidak logis. Dengan

dilakukannnya intervensi pendidikan tersebut maka akan diketahui bagaimana

menilai bukti dalam mengevaluasi EBP untuk menciptakan perubahan dengan

menentukan nilai, prubahan praktikalisasi, dan kebermanfaatan bukti. Dengan

integritas bukti yakniintervensi pendidikan yang mempromosikan EBP di antara

perawat darurat ini hasilnya menjanjikan. Sehingga evaluasi keputusan praktik atau

perubahan dari penelitian ini menyarankan bahwa tutorial tatap muka dan / atau

paket pembelajaran mandiri adalah strategi pendidikan yang efektif untuk mengajar

EBP.

54
2. Pembahasan Jurnal

Berdasarkan review jurnal 1 dimana pendekatan bundel perawatan adalah

salah satu strategi yang digunakan untuk meningkatkan konsistensi, kualitas dan

keamanan perawatan gawat darurat untuk kelompok pasien. Perawat darurat

memainkan peran penting dalam perawatan awal pasien dengan Traumatic Brain

Injury (TBI) parah dan sering membuat keputusan independen terkait perawatan

darurat pasien ini. Keputusan keperawatan darurat termasuk posisi pasien, aplikasi

kerah serviks, dan jenis dan frekuensi pemantauan fisiologis.

Di dalam hasilnya menyebutkan bahwa pada karakteristik pasien dalam jenis

kelamin, usia, mekanisme cedera, dan sistem rujukan pasien dengan TBI parah tidak

terdapat perubahan yang signifikan. Hanya terdapat perbedaan yang signifikan

secara statistik dalam karakteristik klinis pasien dengan TBI parah dalam hal

tekanan darah sistolik minimum dengan pasien yang lebih hipotensi pada kelompok

pretest . Ada dua kematian pada kelompok pretest dibandingkan dengan tidak ada

kematian pada kelompok post-test dan lebih banyak pasien dari kelompok post-test

dipindahkan dari ED ke ICU. Pengaruh implementasi bundel perawatan pada

manajemen klinis perawat darurat pasien dengan TBI parah memberikan hasil Ada

perubahan positif yang signifikan dalam perawatan klinis pasien dengan TBI parah

di empat area utama:

(1) Penggunaan ETCO 2 pemantauan (0% vs. 56 0%)

(2) Frekuensi penilaian laju pernapasan (25 0% vs. 72 0%)

(3) Frekuensi denyut nadi dan penilaian tekanan darah (55 0% vs 88 0%)

(4) Dan posisi pasien dengan ketinggian kepala tempat tidur 30 derajat (6 3% vs. 75

0%)

55
Hal ini sesuai dengan analisis EBP adalah berprioritas pada pemberian

asuhan keperawatan serta untuk mempertimbangkan strategi paling efektif

yang dapat mengarah pada peningkatan hasil klinis dan peningkatan kondisi

pada pasien agar lebih membaik.

Komponen intervensi yang dilakukan agar menjadikan pengaruh implementasi

bundel perawatan positif yaitu Pertama, penggunaan kapnografi meningkat secara

signifikan setelah penerapan paket perawatan. Perbaikan ini termasuk

mempersiapkan kapnografi sebelum ETT, konfirmasi Penempatan ETT

menggunakan kapnografi dan ETCO berkelanjutan 2 pemantauan. Temuan ini

penting seperti ETCO 2 pemantauan jelas dianjurkan pada semua pasien yang

diintubasi (BTF 2007b) untuk memastikan penempatan tabung yang benar dan

memungkinkan ongosedang memantau ETCO 2 level.

Kapnografi merupakan elemen penting dalam perawatan pasien dengan TBI

parah (BTF 2007b) sebagai penderita harus dipertahankan dalam keadaan

normocapnia (ETCO 2 dari 35 - 40 mmHg), Hiperventilasi (ETCO 2 < 35 mmHg)

harus dihindari (BTF 2007b) karena penyebabnya vasokonstriksi yang menyebabkan

iskemia serebral.

Kedua, sesi pendidikan selama implementasi bundel perawatan meningkatkan

pemahaman perawat tentang pentingnya normocapnia di TBI parah dan bagaimana

menggunakan kapnografi. Selama implementasi, ditemukan bahwa perawat tidak

mengetahui bagaimana menghubungkan kapnografi ke ETT sehingga gambar yang

mendemonstrasikan bagaimana menghubungkan detektor kapnografi ke ETT

disediakan di area area resusitasi dewasa sebagai prompt visual. Dimana ada

peningkatan yang signifikan secara statistik dalam frekuensi observasi penilaian

keperawatan untuk tanda-tanda vital termasuk frekuensi pernapasan.

56
Ketiga, ada peningkatan yang signifikan secara statistik pada posisi pasien

dengan elevasi kepala tempat tidur hingga 30 derajat setelah implementasi bundel

perawatan. Posisi pasien yang tepat adalah tanggung jawab perawatan dasar dan

untuk pasien dengan TBI parah, peninggian kepala tempat tidur hingga 30 derajat

direkomendasikan untuk menurunkan TIK dengan memfasilitasi aliran keluar vena

serebral.

Keempat ada perbaikan positif dalam penggunaan kerah servikal yang

berukuran tepat dan diterapkan setelah penerapan bundel perawatan. Meskipun

perbedaan ini tidak mencapai signifikansi statistik, imobilisasi tulang belakang leher

pada pasien trauma merupakan tanggung jawab perawatan darurat inti, sehingga

dapat dikatakan bahwa hal itu memiliki signifikansi klinis yang tinggi.

Di dalam praktik evidence based setelah itu harus mencantumkan bukti

Setelah menumkan bukti yang dirasa sudah cukup kuat dan tepat ketika

diaplikasikan, perawat kemudian mengintegrasikan ke dalam praktik. Dan

gunakan bukti yang ditemukan sebagai langkah awal ketika melakukan

intervensi pada klien.

1. Terkait dengan Penempatan ETT menggunakan kapnografi dan ETCO

berkelanjutan pemantauan. Temuan ini penting seperti ETCO 2 pemantauan jelas

dianjurkan pada semua pasien yang diintubasi (BTF 2007b) untuk memastikan

penempatan tabung yang benar dan memungkinkan ongosedang memantau ETCO 2

level. Kapnografi merupakan elemen penting dalam perawatan pasien dengan TBI

parah (BTF 2007b) sebagai penderita harus dipertahankan dalam keadaan

normocapnia (ETCO 2 dari 35 - 40 mmHg). Hiperventilasi (ETCO 2 < 35 mmHg)

harus dihindari (BTF 2007b) karena penyebabnya vasokonstriksi yang menyebabkan

iskemia serebral (Price dkk. 2003, Mittal dkk. 2009). Deteksi perkembangan

57
hiperkapnia (ETCO 2> 40 mmHg) juga penting karena diketahui menyebabkan

vasodilatasi serebral, meningkatkan TIK, menurunkan tekanan perfusi otak (CPP)

dan menempatkan pasien pada risiko cedera otak sekunder (Winter dkk. 2005, Mittal

dkk. 2009, Sande & West 2010).

2. Terkait dengan posisi elevasi pada kepala Bahwa posisi pasien yang tepat

adalah tanggung jawab perawatan dasar dan untuk pasien dengan TBI

parah,peninggian kepala tempat tidur hingga 30 derajat direkomendasikan untuk

menurunkan TIK dengan memfasilitasi aliran keluar vena serebral (Harga dkk. 2003,

Reed 2011, Mittal dkk. 2009). Untuk setiap 10 derajat ketinggian kepala,

dilaporkan bahwa ICP rata-rata turun sebesar 1 mmHg (Wong 2000). Oleh

karena itu, disarankan agar pasien dengan TBI parah harus dirawat dengan posisi

kepala sekitar 30 derajat, jika cedera lain memungkinkan (Harga dkk. 2003,

Reed 2011,Mittal dkk. 2009). untuk mengangkat kepala tempat tidur kira-kira 30

derajat.

3. Penggunaan kalung serviks dengan ukuran yang sesuai dan aplikasi yang

sesuai (dipasang dengan benar) dari kalung serviks penting untuk pasien dengan TBI

parah. Rotasi kepala, flek atau ekstensi leher, atau kompresi karena aplikasi collar

serviks yang longgar atau terlalu ketat dapat menghalangi aliran vena serebral,

mengakibatkan peningkatan volume vaskuler serebral dan selanjutnya meningkatkan

ICP (Price dkk. 2003, McQuillan & Thurman 2009). Sesi edukasi yang berfokus

pada pentingnya penggunaan kalung serviks dengan ukuran yang sesuai dan

penerapan kalung serviks yang sesuai, terutama pada pasien dengan TBI parah,

diberikan kepada perawat darurat.

58
Sehingga pada tahap Evaluasi Keputusa Praktik atau Perubahan Ketika

bukti yang sudah ditemukan kemudian diterapkan, maka selanjutnya adalah

evaluasi efek.

Pengaruh implementasi bundel perawatan pada manajemen klinis perawat

darurat pasien dengan TBI parah memberikan hasil Ada perubahan positif yang

signifikan dalam perawatan klinis pasien dengan TBI parah di empat area utama:

1. Penggunaan ETCO 2 pemantauan (0% vs. 56 0%)

2. Frekuensi penilaian laju pernapasan (25 0% vs. 72 0%)

3. Frekuensi denyut nadi dan penilaian tekanan darah (55 0% vs 88 0%)

4. Dan posisi pasien dengan ketinggian kepala tempat tidur 30 derajat (63% vs

750%)

59
Bab III
PENUTUP

1.
3.1. Kesimpulan

EBP sangat perlu diaplikasikan di dalam praktik keperawatan terutama dalam

pemberian asuhan keperawatan kepada klien. Dengan mengaplikasikan EBP di dalam

tindak keperawatan akan memberikan pelayanan yang terbaik dan berkualitas dalam

kondisi klinis pasien. Keadaan sehat pasien sangat berkaitan dengan tindakan

keperawatan yang diberikan oleh perawat. Dalam pemberian keperawatan yang

didasarkan pada EBP menekankan pada bukti – bukti yang ada sekaligus relevansi

terhadap kondisi klinis pasien. Bukti – bukti yang dapat ditemukan dapat berasal dari

sumber – sumber riset hasil penelitian yang telah dilakukan. Selain itu, bukti – bukti juga

dapat ditemukan melalui internet dengan mencari jurnal penelitian atau artikel ilmiah

yang relevan dengan masalah atau kondisi klinis dari pasien. Perawat dalam

mengaplikasikan atau mengimplementasikan EBP dalam pelayanan kesehatan bergantung

kepada pengetahuan, keterampilan serta kompetensi nya. Hal tersebut sangat berpengaruh

terhadap pemberian pelayanan kesehatan berdasarkan EBP. Dengan adanya komponen –

komponen pendukung EBP dalam pelayanan kesehatan dapat diberikan secara

professional serta meminimalisir terjadinya insiden dalam praktik keperawatan sehingga

pasien tidak mengalami kerugian saat proses perawatan di rumah sakit.

Komponen - komponen juga berpengaruh terhadap pengaplikasian EBP karena

EBP terbentuk dari adanya komponen – komponen tersebut yang mendukungnya untuk

diterapkan dalam praktik keperawatan. EBP diberlakukan pada praktik keperawatn

khususnya pada asuhan keperawatan. EBP mempunyai fungsi tersendiri selain ditekankan

60
pada praktik berbasis bukti. Fungsi – fungsinya yaitu sebagai metode untuk mengevaluasi

sistem kerja perawat dalam melakukan praktik keperawatan serta mengintegrasikan

komponen – komponen pendukung EBP dalam pelayanan kesehatan. Disamping itu, saat

melakukan proses penelitian berdasarkan EBP harus memperhatikan 5 tahapan penting

yaitu merumuskan pertanyaan klinis, mengumpulkan bukti, mengevaluasi bukti,

menggabungkan unsure – unsur dalam penelitian, mengevaluasi keputusan hasil praktek.

3.2. Saran

Penerapan EBP perlu ditingkatkan kembali dalam praktik keperawatan khususnya

dalam intervensi kepada pasien. Karena ketika EBP dilakukan dengan baik, maka pasien

yang dirawat akan menerima dampak yang baik pula. Maka dari itu, pengetahuan

mengenai EBP harus di perlu diperhatikan bagi para tenaga kesehatan khususnya perawat

yang dituntut untuk profesionalitas tinggi dengan berbagai kompetensi dan skill.

61
DAFTAR PUSTAKA

Melnyk B, Fineout0overholt E. 2005. Evidence-Based Practice in Nursing and Health Care:


A Guide to Best Practice. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Polit D.F., Beck C.T 2004. Nursing Reasearch: Principles and Methods. ED 7. Philadelpihia:
JB Lippincott.
Newhouse R, et al. 2005. “Evidance-Based Practice: A Practical Appoarch to
Implementation.” J Nurs Adm, 35 (1): 35.
Callister L.C., et al . 2005. “Inquiry in Baccalaureate Nursing Education: Fostering Evidence-
Based Practice”. J Nurs Educ 44 (2): 59.
Sheldon L.K., et al. 2006. “DifficultCommunication in Nursing”. J Nurs Scholarsh 38 (2):
141.
International Council of Nurses. 1986. Nuring research: ICN Position statement. Geneva:
The Council.
Oncology Nursing Society. “Evidence-Based Practice Resource Area”.
https://onsopcontent.ons.org/toolkish/evidence/Definition/index.shtml. November
2005.
Potter,Perry. 2010. Fundamental of Nursing. Singapore:Elsevier Pte Ltd
Siska, dkk. 2015. Hubungan Tingkat Pendidikan Perawat dengan Kompetensi Aplikasi
Evidence Based Practice vol 1 no 1. Tangerang:Fakultas Keperawatan Universitas
Pelita Harapan. Jurnal Skolastik Keperawatan;
Ligita Titan. 2012. Pengetahuan, Sikap dan Kesiapan Perawat Klinisi Dalam Implementasi
Evidence-Base Practice vol 8 no1. Tanjungpura:Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura. Ners Jurnal Keperawatan;
Jeremy Steglitz, dkk. 2015. Evidence-Based Practice.Chicago USA Northwestern
University:Elseiver Ltd;
 Stevens, K., (May 31, 2013) "The Impact of Evidence-Based Practice in Nursing and the
Next Big Ideas" OJIN: The Online Journal of Issues in Nursing Vol. 18, No. 2,
Manuscript 4.

62
Setyawati,Anita,dkk, 2017. Peningkatan Pengetahuan Perawat dan Bidan Tentang Evidence-
Based Practice Melalui Pelatihan Penerapan Evidence-Based Practice. Bandung. :
Jurnal Aplikasi Ipteks untuk Masyarakat Vol. 6, No. 1, Maret 2017: 53 – 56.
Chiwaula, C.H., dkk. 2018. Evidence Based Practice: A Concept Analysis. Zimbabwe,
Malawi. Imedpub journal. Vol. 5 No. 5:73.
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/25247/6.%20BAB%20II.pdf?
sequence=4&isAllowed=y

63

Anda mungkin juga menyukai