Anda di halaman 1dari 20

DAMPAK EVIDENCE BASED PRACTICE PADA KEPERAWATAN

KRITIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi


Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis

Oleh :
Kelompok 4
Risky monika (P1337420921215)
Safira Diana (P13374209212
Sardiman Armi
Shidqi Fahmi (P1337420921230)
Sinta Zulmaidar (P1337420921240)

Dosen Pengajar:
Shobirun, MN dan Tim

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
SEMARANG
2022

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah serta
izin-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan makalah mengenai “Dampak Evidence Based
Practice Pada Keperawatan Kritis” Penyusunan makalah ini tidak dapat terselesaikan
dengan baik tanpa adanya kerjasama dalam kelompok kami serta bimbingan dari dosen.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam perbaikan
makalah ini. Walaupun demikian, kami berharap penulisan makalah ini bermanfaat bagi kami
khususnya dan para pembaca umumnya, sehingga dapat melengkapi khasanah ilmu
pengetahuan yang senantiasa berkembang dengan cepat.

Penulis

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................2
BAB II DASAR TEORI .......................................................................................3
A. Definisi Evidance Based Practiced (EBP).....................................................3
B. Tujuan Evidance Based Practiced (EBP).......................................................3
C. Manfaat Evidance Based Practiced (EBP).....................................................4
D. Persyaratan Evidance Based Practiced (EBP)................................................4
E. Model Implementasi Evidance Based Practiced (EBP).................................4
F. Langlah-langkah Evidance Based Practiced (EBP).......................................5
G. Penerapan Evidance Based Practiced (EBP)..................................................8
H. Hambatan Evidance Based Practiced (EBP)..................................................9
I. Meningkatkan Evidance Based Practiced (EBP)...........................................9
J. Analisis Jurnal Evidance Based Practiced (EBP)..........................................10
K. Pembahasan Evidance Based Practiced (EBP)..............................................11
BAB III PENUTUP................................................................................................16
A. Kesimpulan..................................................................................................16
B. Saran.............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah evidence dimulai pada tahun 1970 ketika Archie Cochrane
menegaskan perlunya mengevaluasi pelayanan kesehatan berdasarkan bukti-bukti
ilmiah (scientific evidence). Sejak itu berbagai istilah digunakan terkait dengan
evidence base, di antaranya evidence base medicine (EBM), evidence base nursing
(EBN), dan evidence base practice (EBP). Evidence Based Practice (EBP) merupakan
upaya untuk mengambil keputusan klinis berdasarkan sumber yang paling relevan dan
valid. Evidence Based Practice merupakan dekatan sistematis untuk meningkatkan
kualitas praktik keperawatan dengan mengumpulkan bukti terbaik, Almaskari (2017).
Evidence adalah kumpulan fakta yang diyakini kebenarannya. Ada dua bukti yang
dihasilkan oleh evidence yaitu bukti eksternal dan internal. Evidence-Based Practice
in Nursing adalah penggunaan bukti ekternal dan bukti internal (clinical expertise),
serta manfaat dan keinginan pasien untuk mendukung pengambilan keputusan di
pelayanan kesehatan, Chang, Jones, & Russell (2013). Hal ini menuntut perawat
untuk dapat menerapkan asuhan keperawatan yang berbasis bukti empiris atau dikenal
dengan Evidance Based Nursing Practice (EBNP).
Penggunaan evidence base dalam praktek akan menjadi dasar scientific dalam
pengambilan keputusan klinis sehingga intervensi yang diberikan dapat
dipertanggungjawabkan. Perawat sebagai salah satu komponen utama pemberi
pelayanan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran penting karena terkait
langsung dengan pemberi asuhan kepada pasien sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki. Perawat sebagai ujung tombak sangat menentukan pemberian asuhan
keperawatan yang aman. World Health Organization (WHO) merekomendasikan agar
asuhan keperawatan yang aman bisa diberikan pada pasien, maka upaya penelitian
dan penerapan hasil penelitian perlu dilakukan. Upaya penerapan hasil/penelitian ini
dikenal dengan asuhan keperawatan berbasis Evidence Based Practice (EBP). Tujuan
dari penerapan EBNP mengidentifikasisolusi dari pemecahan masalah dalam
perawatan serta membantu penurunan bahaya pada pasien.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi Evidance Based Practiced (EBP) dalam Keperawatan Kritis?
2. Bagaimana tujuan Evidance Based Practiced (EBP) dalam Keperawatan Kritis?
3. Bagaimana manfaat Evidance Based Practiced (EBP) dalam Keperawatan Kritis?

1
4. Bagaimana persyaratan dalam Penerapan EBP dalam Keperawatan Kritis?
5. Bagaimana model Implementasi Evidence Based Practice dalam Keperawatan
Kritis?
6. Bagaimana langkah – Langkah EBP dalam Keperawatan Kritis?
7. Bagaimana penerapan EBP dalam Proses Keperawatan Kritis?
8. Bagaimana hambatan Untuk Menggunakan EBP dalam Keperawatan Kritis?
9. Bagaimana usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan EBP dalam
Keperawatan Kritis?
10. Bagaimana Analisis Jurnal EBP dalam Keperawatan Kritis?
11. Bagaimana Pembahasan Jurnal EBP dalam Keperawatan Kritis?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan definisi Evidance Based Practiced (EBP) dalam Keperawatan Kritis
2. Menjelaskan tujuan Evidance Based Practiced (EBP) dalam Keperawatan Kritis
3. Menjelaskan manfaat Evidance Based Practiced (EBP) dalam Keperawatan Kritis
4. Menjelaskan persyaratan dalam Penerapan EBP dalam Keperawatan Kritis
5. Menjelaskan model Implementasi Evidence Based Practice dalam Keperawatan
Kritis
6. Menjelaskan langkah – Langkah EBP dalan Keperawatan Kritis
7. Menjelaskan penerapan EBN dalam Proses Keperawatan Kritis
8. Menjelaskan hambatan Untuk Menggunakan EBP dalam Keperawatan Kritis
9. Menjelaskan usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan EBP dalam
Keperawatan Kritis
10. Menjelaskan Analisis Jurnal EBP dalam Keperawatan Kritis
11. Menjelaskan Pembahasan Jurnal EBP dalam Keperawatan Kritis

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Evidence Based Practice (EBP) Dalam Keperawatan Kritis


1. Definisi Evidence Based Practice (EBP) dalam Keperawatan Kritis
Evidence Based Practice (EBP) merupakan salah satu teknik yang cepat untuk
perkembangan dalam praktik keperawatan karena EBP mampu memberikan
penanganan masalah-masalah klinis secara efektif yang mungkin terjadi disaat
pemberian pelayanan kesehatan serta pemberian perawatan berdasarkan hasil-
hasil penelitian yang tertera (Majid et al, 2011). Evidence based practice (EBP)
adalah sebuah proses yang akan membantu tenaga kesehatan agar mampu
uptodate atau cara agar mampu memperoleh informasi terbaru yang dapat menjadi
bahan untuk membuat keputusan klinis yang efektif dan efisien sehingga dapat
memberikan perawatan terbaik kepada pasien (Macnee, 2011). Sedangkan
menurut Carlon (2010) Evidence Based Practice merupakan suatu kerangka kerja
yang menguji, mengevaluasi dan menerapkan temuan-temuan penelitian dengan
tujuan untuk memperbaiki pelayanan keperawatan kepada pasien. Evidence Based
Nursing Practice (EBNP) digunakan oleh perawat sebagai pemberi pelayanan
asuhan keperawatan yang baik karena pengambilan keputusan klinis berdasarkan
pembuktian. EBNP juga merupakan suatu proses yang sistematik yang digunakan
dalam membuat keputusan tentang perawatan pasien, termasuk mengevaluasi
kualitas dan penggunaan hasil penelitian, preferensi pasien, pembiayaan, keahlian
dan pengaturan klinis (Ligita, 2012).
Evidence Based Nursing Practice (EBNP) digunakan oleh perawat sebagai
pemberi pelayanan asuhan keperawatan yang baik karena pengambilan keputusan
klinis berdasarkan pembuktian. EBNP juga merupakan suatu proses yang
sistematik yang digunakan dalam membuat keputusan tentang perawatan pasien,
termasuk mengevaluasi kualitas dan penggunaan hasil penelitian, preferensi
pasien, pembiayaan, keahlian dan pengaturan klinis (Ligita, 2012)
2. Tujuan Evidence Based Practice (EBP) dalam Keperawatan Kritis
Tujuan dari penerapan EBNP mengidentifikasi solusi dari pemecahan masalah
dalam perawatan serta membantu penurunan bahaya pada pasien (Almaskari,
2017). Tujuan utama di implementasikannya evidance based practice di dalam
praktek keperawatan adalah untuk meningkatkan kualitas perawatan dan
memberikan hasil yang terbaik dari asuhan keperawatan yang diberikan.

3
Grinspun, Vinari & Bajnok dalam Hapsari (2011) menyatakan tujuan EBP
memberikan data pada perawat praktisi berdasarkan bukti ilmiah agar dapat
memberikan perawatan secara efektif dengan menggunakan hasil penelitian yang
terbaik, menyelesaikan masalah yang ada di tempat pemberian pelayanan terhadap
pasien, mencapai kesempurnaan dalam pemberian asuhan keperawatan dan
jaminan standar kualitas dan memicu inovasi.
3. Manfaat Evidence Based Practice (EBP) dalam Keperawatan Kritis
Manfaat Evidence Based Practice menurut Trinder & Reynolds, 2006), yaitu:
1) Menjadi jembatan antara penelitian dan Praktik.
2) Mengeliminasi peneliti dengan kualitas penelitian yang buruk.
3) Mencegah terjadinya informasi yang overload terkait hasil-hasil penelitian.
4) Mengeliminasi budaya practice which is not evidence based.
4. Pesyaratan dalam penerapann Evidence Based Practice (EBP) dalam
Keperawatan Kritis
Dalam penerapan evidence based practiced, perawat harus memahami konsep
penelitian dan mengetahui bagaimana secara secara akurat mengevaluasi hasil
penelitian, konsep penelitian meliputi antara lain proses/ langkah langkah dalam
penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif, etika penelitian, desain antara lain
dapat ditingkatkan dengan menggunakan panduan yang sesuai dengan desain dan
jenis penelitian yang dilakukan, adapun penerapan evidence based practiced yang
berorientasi pada keperawatan meliputi:
1. Fakta terbaik yang dihasilkan berbagai sumber.
2. Penggunaan hasil study penelitian.
3. Fakta terbaik berdasarkan pengalaman dan keahlian terbaik.
4. Fakta berdasarkan data-data dari leader

5. Model Implementasi Evidence Based Practice (EBP) dalam Keperawatan


Kritis
1. Model Settler
Merupakan seperangkat perlengkapan/media penelitian untuk meningkatkan
penerapan evidence based 5 langkah dalam Model Settler:
Fase 1. Persiapan
Fase 2. Validasi
Fase 3. Perbandingan evaluasi dan pengambilan keputusan
Fase 4. Translasi dan aplikasi
Fase 5. Evaluasi

4
2. Model IOWA Model of Evidence Based Practice to Promote Quality Care
Model EBP IOWA dikembangkan oleh Marita G. Titler, PhD, RN, FAAN,
Model IOWA diawali dari pemicu/masalah. Pemicu/masalah ini sebagai fokus
ataupun fokus masalah. Jika masalah mengenai prioritas dari suatu organisasi, tim
segera dibentuk. Tim terdiri dari stakeholders, klinisian, staf perawat, dan tenaga
kesehatan lain yang dirasakan penting untuk dilibatkan dalam EBP. Langkah
selanjutnya adalah menyintesis EBP. Perubahan terjadi dan dilakukan jika
terdapat cukup bukti yang mendukung untuk terjadinya perubahan . kemudian
dilakukan evaluasi dan diikuti dengan diseminasi (Jones & Bartlett, 2004).
3. Model Konseptual Rosswurm & Larrabee
Model ini disebut juga dengan model evidence based practice change yang
terdiri dari 6 langkah yaitu.
Tahap 1. Mengkaji kebutuhan untuk perubahan praktis.
Tahap 2. Tentukan evidence terbaik.
Tahap 3. Kritikal analisis evidence.
Tahap 4. Desain perubahan dalam praktek.
Tahap 5. Implementasi dan evaluasi perubahan.
Tahap 6. Integrasikan dan maintenance perubahan dalam praktek.
Model ini menjelaskan bahwa penerapan evidence based nursing ke lahan paktek
harus memperhatikan latar belakang teori yang ada, kevalidan dan kereliabilitasan
metode yang digunakan, serta penggunaan nomenklatur yang standar.

6. Langkah-langkah Evidence Based Practice (EBP) dalam Keperawatan Kritis


1. Langkah 1 (Kembangkan Semangat Penelitian)
Sebelum memulai dalam tahapan yang sebenarnya di dalam EBP, harus
ditumbuhkan semangat dalam penelitian sehingga klinikan akan lebih nyaman dan
tertarik mengenai pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan perawatan pasien
2. Langkah 2 (Ajukan Pertanyaan Klinis dalam Format PICOT)
Pertanyaan klinis dalam format PICOT untuk menghasilkan evidence yang
lebih baik dan relevan.
a. Populasi pasien (P),
b. Intervensi (I),
c. Perbandingan intervensi atau kelompok (C),
d. Hasil / Outcome (O), dan

5
e. Waktu / Time (T).
Format PICOT menyediakan kerangka kerja yang efisien untuk mencari
database elektronik, yang dirancang untuk mengambil hanya artikel-artikel yang
relevan dengan pertanyaan klinis. Menggunakan skenario kasus pada waktu
respons cepat sebagai contoh, cara untuk membingkai pertanyaan tentang apakah
penggunaan waktu tersebut akan menghasilkan hasil yang positif akan menjadi:
“Di rumah sakit perawatan akut (populasi pasien), bagaimana memiliki time
respon cepat (intervensi) dibandingkan dengan tidak memiliki time respon cepat
(perbandingan) mempengaruhi jumlah serangan jantung (hasil) selama periode
tiga bulan (waktu)?”
3. Langkah 3 (Cari Bukti Terbaik)
Mencari bukti untuk menginformasikan praktek klinis adalah sangat efisien
ketika pertanyaan diminta dalam format PICOT. Jika perawat dalam skenario respons
cepat itu hanya mengetik “Apa dampak dari memiliki time respon cepat?” ke dalam
kolom pencarian dari database, hasilnya akan menjadi ratusan abstrak, sebagian besar
dari mereka tidak relevan. Menggunakan format PICOT membantu untuk
mengidentifikasi kata kunci atau frase yang ketika masuk berturut-turut dan kemudian
digabungkan, memperlancar lokasi artikel yang relevan dalam database penelitian
besar seperti MEDLINE atau CINAHL. Untuk pertanyaan PICOT pada time respons
cepat, frase kunci pertama untuk dimasukkan ke dalam database akan perawatan akut,
subjek umum yang kemungkinan besar akan mengakibatkan ribuan kutipan dan
abstrak.
Istilah kedua akan dicari akan rapid respon time, diikuti oleh serangan jantung
dan istilah yang tersisa dalam pertanyaan PICOT. Langkah terakhir dari pencarian
adalah untuk menggabungkan hasil pencarian untuk setiap istilah. Metode ini
mempersempit hasil untuk artikel yang berkaitan dengan pertanyaan klinis, sering
mengakibatkan kurang dari 20. Hal ini juga membantu untuk menetapkan batas akhir
pencarian, seperti “subyek manusia” atau “English,” untuk menghilangkan studi
hewan atau artikel di luar negeri bahasa.
4. Langkah 4 (Kritis Menilai Bukti)
Setelah artikel yang dipilih untuk review, mereka harus cepat dinilai untuk
menentukan yang paling relevan, valid, terpercaya, dan berlaku untuk pertanyaan
klinis. Studi-studi ini adalah “studi kiper.” Salah satu alasan perawat khawatir bahwa
mereka tidak punya waktu untuk menerapkan EBP adalah bahwa banyak telah
6
diajarkan proses mengkritisi melelahkan, termasuk penggunaan berbagai pertanyaan
yang dirancang untuk mengungkapkan setiap elemen dari sebuah penelitian. Penilaian
kritis yang cepat menggunakan tiga pertanyaan penting untuk mengevaluasi sebuah
studi.
a. Apakah hasil penelitian valid?
Ini pertanyaan validitas studi berpusat pada apakah metode penelitian yang
cukup ketat untuk membuat temuan sedekat mungkin dengan kebenaran. Sebagai
contoh, apakah para peneliti secara acak menetapkan mata pelajaran untuk pengobatan
atau kelompok kontrol dan memastikan bahwa mereka merupakan kunci karakteristik
sebelum perawatan? Apakah instrumen yang valid dan reliabel digunakan untuk
mengukur hasil kunci?
b. Apakah hasilnya bisa dikonfirmasi?
Untuk studi intervensi, pertanyaan ini keandalan studi membahas apakah
intervensi bekerja, dampaknya pada hasil, dan kemungkinan memperoleh hasil yang
sama dalam pengaturan praktek dokter sendiri. Untuk studi kualitatif, ini meliputi
penilaian apakah pendekatan penelitian sesuai dengan tujuan penelitian, bersama
dengan mengevaluasi aspek-aspek lain dari penelitian ini seperti apakah hasilnya bisa
dikonfirmasi.
c. Akankah hasil membantu saya merawat pasien saya?
Ini pertanyaan penelitian penerapan mencakup pertimbangan klinis seperti
apakah subyek dalam penelitian ini mirip dengan pasien sendiri, apakah manfaat lebih
besar daripada risiko, kelayakan dan efektivitas biaya, dan nilai-nilai dan preferensi
pasien. Setelah menilai studi masing-masing, langkah berikutnya adalah untuk
menyintesis studi untuk menentukan apakah mereka datang ke kesimpulan yang
sama, sehingga mendukung keputusan EBP atau perubahan.
5. Langkah 5 (Mengintegrasikan Bukti Dengan Keahlian Klinis dan Preferensi Pasien
dan Nilai-nilai)
Bukti penelitian saja tidak cukup untuk membenarkan perubahan dalam
praktek. Keahlian klinis, berdasarkan penilaian pasien, data laboratorium, dan data dari
program manajemen hasil, serta preferensi dan nilai-nilai pasien adalah komponen
penting dari EBP. Tidak ada formula ajaib untuk bagaimana untuk menimbang masing-
masing elemen; pelaksanaan EBP sangat dipengaruhi oleh variabel kelembagaan dan
klinis. Misalnya, ada tubuh yang kuat dari bukti yang menunjukkan penurunan
kejadian depresi pada pasien luka bakar jika mereka menerima delapan sesi terapi
7
kognitif-perilaku sebelum dikeluarkan dari rumah sakit. Anda ingin pasien Anda
memiliki terapi ini dan begitu mereka. Tapi keterbatasan anggaran di rumah sakit Anda
mencegah mempekerjakan terapis untuk menawarkan pengobatan. Defisit sumber daya
ini menghambat pelaksanaan EBP.
6. Langkah 6 (Evaluasi hasil Keputusan Praktek atau Perubahan Berdasarkan Bukti)
Setelah menerapkan EBP, penting untuk memantau dan mengevaluasi setiap
perubahan hasil sehingga efek positif dapat didukung dan yang negatif diperbaiki.
Hanya karena intervensi efektif dalam uji ketat dikendalikan tidak berarti ia akan
bekerja dengan cara yang sama dalam pengaturan klinis. Pemantauan efek perubahan
EBP pada kualitas perawatan kesehatan dan hasil dapat membantu dokter melihat
kekurangan dalam pelaksanaan dan mengidentifikasi lebih tepat pasien mana yang
paling mungkin untuk mendapatkan keuntungan. Ketika hasil berbeda dari yang
dilaporkan dalam literatur penelitian, pemantauan dapat membantu menentukan.
7. Langkah 7 (Menyebarluaskan Hasil EBP)
Perawat dapat mencapai hasil yang indah bagi pasien mereka melalui EBP,
tetapi mereka sering gagal untuk berbagi pengalaman dengan rekan-rekan dan
organisasi perawatan kesehatan mereka sendiri atau lainnya. Hal ini menyebabkan
perlu duplikasi usaha, dan melanggengkan pendekatan klinis yang tidak berdasarkan
bukti-bukti. Di antara cara untuk menyebarkan inisiatif sukses adalah putaran EBP di
institusi Anda, presentasi di konferensi lokal, regional, dan nasional, dan laporan dalam
jurnal peer-review, news letter profesional, dan publikasi untuk khalayak umum.
7. Penerapan Evidence Based Practice (EBP) dalam Keperawatan Kritis
1. Mengakui status atau arah praktek dan yakin bahwa pemberian perawatan
berdasarkan fakta terbaik akan meningkatkan hasil perawatan klien.
2. Implementasi hanya akan sukses bila perawat menggunakan dan mendukung
“pemberian perawatan berdasarkan fakta”.
3. Evaluasi penampilan klinik senantiasa dilakukan perawat dalam penggunaan EBP.
4. Praktek berdasarkan fakta berperan penting dalam perawatan kesehatan.
5. Praktek berdasarkan hasil temuan riset akan meningkatkan kualitas praktek,
penggunaan biaya yang efektif pada pelayanan kesehatan.
6. Penggunaan EBP meningkatkan profesionalisme dan diikuti dengan evaluasi yang
berkelanjutan.
7. Perawat membutuhkan peran dari fakta untuk meningkatkan intuisi, observasi
pada klien dan bagaimana respons terhadap intervensi yang diberikan. Dalam

8
tindakan diharapkan perawat memperhatikan etnik, sex, usia, kultur dan status
kesehatan.

8. Hambatan untuk menggunakan EBP dalam Keperawatan Kritis


1. Berkaitan dengan penggunaan waktu.
2. Akses terhadap jurnal dan artikel.
3. Keterampilan untuk mencari.
4. Keterampilan dalam melakukan kritik riset.
5. Kurang paham atau kurang mengerti.
6. Kurangnya kemampuan penguasaan bahasa untuk penggunaan hasil-hasil
riset.
7. Salah pengertian tentang proses.
8. Kualitas dari fakta yang ditemukan.
9. Pentingnya pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana untuk
menggunakan literatur hasil penemuan untuk intervensi praktek yang
terbaik untuk diterapkan pada klien.
9. Usaha yang dapat dilakukan untuk menggunakan EBP dalam Keperawatan
Kritis
1. Pengkajian
Pengkajian meliputi proses pengumpulan data, validasi data,
menginterpretasikan data dan memformulasikan masalah atau diagnosa
keperawatan sesuai hasil analisa data. Pengkajian airway, breathing, dan
circulation penting halnya untuk diperhatikan pada pasien kritis. Selain itu,
pengkajian tingkat kesadaran pasien juga penting adanya untuk dilakukan
secara berkala.
2. Diagnosa Keperawatan
Setelah melakukan pengkajian, data dikumpulkan dan diinterpretasikan
kemudian dianalisa lalu ditetapkan masalah/diagnosa keperawatan
berdasarkan data yang menyimpang dari keadaan fisiologis.
3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan tindakan mencakup 4(empat) umsur kegiatan yaitu
observasi/monitoring, terapi keperawatan, pendidikan dan Tindakan
kolaboratif.
4. Intervensi
Tindakan keperawatan dapat dalam bentuk observasi, Tindakan
prosedur terntentu, dan tindakan kolaboratif. Dalam tindakan perlu ada
pengawasan terus menerus terhadap kondisi klien karena kondisi klien
kritis sangat tidak stabil dan cepat berubah.
5. Evaluasi

9
Evaluasi dapat dilakukan setiap akhir tindakan pemberian asuhan yang
disebut sebagai evaluasi proses dan evaluasi hasil yang dilakukan untuk
menilai keadaan kesehatan klien selama dan pada akhir perawatan.
Keperawatan kritis harus menggunakan proses keperawatan dalam
memberikan asuhan keperawatan :
a. Data akan dikumpulkan secara terus – menerus pada semua pasien
yang sakit kritis dimanapun tempatnya.
b. Indentifikasi masalah/kebutuhan pasien dan prioritas harus
didasarkan pada data yang dikumpulkan.
c. Rencana asuhan keperawatan yang tepat harus diformulasikan.
d. Rencana asuhan keperawatan harus diimplementasikan menurut
prioritas dari identifikasimasalah atau kebutuhan.
e. Hasil dari asuhan keperawatan harus dievaluasi secara terus –
menurus.
6. Dokumentasi Keperawatan
Dokumentasi adalah catatan yang berisi data pelaksanaan tindakan
keperawatan sebagai pertanggungjawaban dan pertanggunggugatan
terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan perawat kepada pasien dari
kebijakan. Lembar alur merupakan dasar dokumentasi keperawatan kritis.
Lembar alur yang dibuat dengan baik dan komprehensif
mengkomunikasikan dan mencerminkan standar perawatan populasi pasien
utama yang dilayani oleh unit.
B. Evidence Based Practice (EBP) dalam Keperawatan Kritis
1. Analisis Jurnal
Judul jurnal : Penerapan Evidence-Based Nursing Pengaruh Earplug Dan Eye Mask Terhadap
Kualitas Tidur Pada Pasien di ICU

Nama, Tahun Judul Penelitian Metode Penelitian Ringkasan Hasil penelian


& Lokasi
Mutarobin , Penerapan 1 Desain yang digunakan Hasil penerapan EBN
Elly Evidence-Based randomized controlled trial penggunaan Earplug dan
Nurachmah, Nursing Pengaruh (RCT) crossover design. Eye Mask didapatkan rata-
Muhammad Earplug Dan Eye Peneliti membagi Group A rata skor tidur di Grup A
Adam , Rita Mask Terhadap dan Group B dengan simple ditemukan 82,83 ± 5,2
Sekarsari, Kualitas Tidur random sampling. dengan intervensi dan
Erwin. April Pada Pasien Di 2 Sampel Jumlah sampel 41,42 ± 10,4 tanpa
2019, di Icu 24 responden. intervensi. Dalam
Ruang 3 Tujuan penelitian ini kelompok B skor tidur
Intensive menerapkan dan ditemukan 39,42 ± 13,9
Medical dan membuktikan efektifitas tanpa intervensi dan (78,67
Surgical penggunaan Earplug dan ± 4,29) dengan intervensi
Rumah Sakit Eye Mask dalam di antara responden. Ada
Jantung dan meningkatkan kualitas peningkatan yang
Pembuluh tidur pada pasien di signifikan (p< 0,01) dalam
Darah ICU. kualitas tidur setelah
Harapan Kita 4 Instrumen kualitas tidur intervensi dibandingkan

10
(RSJPDHK) menggunakan Richard dengan lingkungan rutin
Jakarta Campbell Sleep (tidak ada intervensi).
Questionnaire (RCSQ). Temuan di atas sejalan
5 Data dianalisis dengan dengan penelitian yang
uji Independent Sample dilakukan oleh Wallace,
TTest. Hasil penelitian Robins, Alvord, dan
didapatkan p-value < Walker (1999)
0,05, berarti pada alpha mengevaluasi efek Earplug
5% terdapat perbedaan dan Eye Mask pada saat
yang signifikan kualitas tidur. Penelitian tersebut
tidur antara malam menggunakan cross over
pertama dan kedua pada design dengan usia ratarata
masing-masing group 25 +/- 3 tahun. Setelah
sehingga disarankan satu malam adaptasi,
dijadikan evidence peserta dibagi menjadi dua
based di rumah sakit kelompok: kelompok
sebagai salah satu terapi pertama mengenakan
komplementer yang Earplug dan Eye Mask dan
dapat dijadikan kelompok kedua tidak.
intervensi mandiri Untuk peserta yang
keperawatan untuk menggunakan Earplug dan
membantu mengatasi Eye Mask, REM latency
gangguan tidur. (waktu untuk memasuki
tidur REM) menurun
secara signifikan dan
penggunaan penutup
Earplug dan Eye Mask
secara signifikan dapat
meningkatkan persentase
tidur REM

1. Pembahasan

a. Abstrak
Pada penelitian jurnal tersebut sudah tersusun dengan rapid dan baik, disini juga
memiliki tujuan hasil, memiliki jumlah sampel, memiliki kesimpulan yang di susun
dengan rapi, dan di abstraknya memakai 2 bahasa yaitu bahasa inggris dan bahasa
indonesia dengan memakai kata kunci : earplug, eye mask, ICU, kualitas tidur
b. Latar belakang
Earplug dan Eye Mask adalah suatu cara yang relevan dan logis menutup
telinga dan masker penutup mata yang dapat digunakan untuk mencegah
terbangunnya saat tidur yang disebabkan oleh rangsangan eksternal. Earplug dan Eye
Mask merupakan intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi
gangguan tidur pasien untuk mempertahankan ritme sirkadian secara normal
(Demoule, et al., 2017). Hal ini didukung hasil penelitian pada 45 pasien (20 pada
kelompok intervensi, 25 pada kelompok kontrol) menunjukkan adanya peningkatan
signifikan diantara kelompok-kelompok yang tidur lelap, tertidur, terbangun, terjaga
dari tidur lagi. Kualitas tidur yang dirasakan lebih baik pada kelompok intervensi
11
dengan p< 0,05 (Huang & Zheng, 2015). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara kualitas tidur sebelum dan setelah diberikan
intervensi Earplug dan Eye Mask.
Penggunan Earplug dan Eye Mask aman dilakukan pada pasien jantung
koroner. Selain aman, Earplug dan Eye Mask juga terbukti efektif untuk menilai
kualitas tidur pasien, hemat biaya, mudah diterapkan pada kelompok besar, dan dapat
ditoleransi dengan baik oleh tubuh. Penggunaan Earplug dan Eye Mask juga
merupakan metode yang mudah dan murah untuk meningkatkan persepsi dan kualitas
tidur pada pasien yang dirawat di ICU.
Penanganan gangguan tidur pasien di ICU dapat diatasi dengan mengatur
sistem pencahayaan, dengan tingkat pencahayaan lingkungan yang tepat dalam
membantu pasien menimbulkan perasaan tenang dan nyaman (Engwall, Fridh,
Johansson, Bergbom & Lindhal, 2015). Cara lain yang digunakan adalah dengan
memodifikasi lingkungan yaitu menurunkan suara percakapan, menurunkan
pencahayaan, mengatur kegiatan rutin perawatan di malam hari.
Hasil penerapan EBN penggunaan Earplug dan Eye Mask didapatkan rata-rata
skor tidur di Grup A ditemukan 82,83 ± 5,2 dengan intervensi dan 41,42 ± 10,4 tanpa
intervensi. Dalam kelompok B skor tidur ditemukan 39,42 ± 13,9 tanpa intervensi dan
(78,67 ± 4,29) dengan intervensi di antara responden. Ada peningkatan yang
signifikan (p< 0,01) dalam kualitas tidur setelah intervensi dibandingkan dengan
lingkungan rutin (tidak ada intervensi). Temuan di atas sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wallace, Robins, Alvord, dan Walker (1999) mengevaluasi efek
Earplug dan Eye Mask pada saat tidur. Penelitian tersebut menggunakan cross over
design dengan usia ratarata 25 +/- 3 tahun. Setelah satu malam adaptasi, peserta
dibagi menjadi dua kelompok: kelompok pertama mengenakan Earplug dan Eye Mask
dan kelompok kedua tidak. Untuk peserta yang menggunakan Earplug dan Eye Mask,
REM latency (waktu untuk memasuki tidur REM) menurun secara signifikan dan
penggunaan penutup Earplug dan Eye Mask secara signifikan dapat meningkatkan
persentase tidur REM.
c. Tinjauan pustaka
Tinjaun pustaka terdapat 29 referensi yang di gunakan dari buku dan dari jurnal
penelitian, ada yang menggunakan, referensi yang sudah lama dan reverensi yang
baru. Ada baiknya kita kita menggunakan referensi 5 atau paling lama10 tahun ke
belakang di hitung dari tahun penulisan, untuk tinjauan pustakanya sudah tersusun
dengan rapi.
d. Metode penelitian
Desain yang digunakan randomized controlled trial (RCT) crossover design. Peneliti
membagi Group A dan Group B dengan simple random sampling. Sampel Jumlah
sampel 24 responden. Tujuan penelitian ini menerapkan dan membuktikan efektifitas
penggunaan Earplug dan Eye Mask dalam meningkatkan kualitas tidur pada pasien di
ICU. Instrumen kualitas tidur menggunakan Richard Campbell Sleep Questionnaire
(RCSQ). Data dianalisis dengan uji Independent Sample TTest. Hasil penelitian
didapatkan p-value < 0,05, berarti pada alpha 5% terdapat perbedaan yang signifikan
kualitas tidur antara malam pertama dan kedua pada masing-masing group sehingga

12
disarankan dijadikan evidence based di rumah sakit sebagai salah satu terapi
komplementer yang dapat dijadikan intervensi mandiri keperawatan untuk membantu
mengatasi gangguan tidur.
Desain penerapan EBN ini adalah randomized controlled trial (RCT) crossover
design. Peneliti membagi dua group yaitu Group A dan Group B dengan simple
random sampling. Pemilihan sampel dilakukan dengan mengambil data awal yang
sesuai dengan kriteria inklusi kemudian dilakukan skrining pengukuran kualitas tidur
dengan RCSQ. Hasil skrining pengukuran kualitas tidur pada Group A dari 24
responden, didapatkan 17 responden yang memiliki kualitas tidur < 25 mm.
Sedangkan hasil skrining pengukuran kualitas tidur pada Group B dari 21 responden,
didapatkan 15 responden yang memiliki kualitas tidur < 25 mm. Setelah itu dari hasil
skrining tersebut akan dipilih menjadi responden dengan menggunakan tabel acak
yang dihasilkan oleh komputer didapatkan 24 responden yang terbagi menjadi Group
A (n= 12) dan Group B (n= 12) pada 7–9 Mei 2018 di Ruang Intensive Medical dan
Surgical Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK)
Jakarta. Group A untuk malam pertama diberikan intervensi penggunaan Earplug dan
Eye Mask mulai pukul 21.00–06.00 WIB, kemudian malam kedua tidak diberikan
perlakuan (routine environment). Sedangkan Group B untuk malam pertama tidak
diberi perlakuan (routine environment), kemudian malam kedua diberikan intervensi
penggunaan Earplug dan Eye Mask mulai pukul 21.00–06.00 WIB. Setelah intervensi
diberikan, kemudian mengukur nyeri dan kualitas tidur pasien dengan menggunakan
alat ukur VAS (Visual Analg Scale) dan Richard Campbell Sleep Quationare (RCSQ)
FIK UI dan RS-JPDHK. Penelitian ini menggunakan analisis univariat dan bivariat
menggunakan uji Inde-pendent Sample T-Test
e. Hasil penelitian
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 12 responden pada Group A
sebagian besar berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 7 responden (58,3%). Pada
Group B diketahui bahwa dari 12 responden sebagian besar juga berjenis kelamin
laki-laki yaitu 8 responden (66, 7%). Berdasarkan kategori usia diketahui bahwa dari
12 responden pada Group A sebagian besar memiliki usia 41–65 tahun yaitu 7
responden (58,3%). Pada Group B diketahui bahwa dari 12 responden sebagian besar
yang memiliki usia 41–65 tahun yaitu sebanyak 7 responden (58,3%). Berdasarkan
status nyeri responden diketahui bahwa dari 12 responden pada Group A sebagian
besar nyeri ringan yaitu sebanyak 9 responden (75,0%) dan pada Group B diketahui
dari 12 responden sebagian besar nyeri sedang yaitu 10 responden (83,3 %).
Berdasarkan lama rawat responden diketahui bahwa dari 12 responden pada Group A
dan B sebagian besar < 3 hari yaitu sebanyak 8 responden (66,7%) dan 7 responden
(58,3%). Instrumen RCSQ (Richard Campbell Sleep Questionnaire) untuk menilai
tingkat kualitas tidur. Skala pengukuran terdiri dari 5 item pernyataan dimana setiap
item memiliki skala 0– 25 (mm) (kualitas tidur yang paling buruk), skala 26–75 (mm)
(kualitas tidur yang buruk), sedangkan skala 76–100 (mm) (kualitas tidur yang
terbaik).
Hasil penerapan EBN penggunaan Earplug dan Eye Mask didapatkan rata-rata skor
tidur di Grup A ditemukan 82,83 ± 5,2 dengan intervensi dan 41,42 ± 10,4 tanpa

13
intervensi. Dalam kelompok B skor tidur ditemukan 39,42 ± 13,9 tanpa intervensi dan
(78,67 ± 4,29) dengan intervensi di antara responden. Ada peningkatan yang
signifikan (p< 0,01) dalam kualitas tidur setelah intervensi dibandingkan dengan
lingkungan rutin (tidak ada intervensi)
f. Pembahasan
Tingkat Kebisingan, kebijakan tinjauan eksternal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
tentang kebisingan masyarakat telah menghasilkan panduan yang dapat dapat
digunakan untuk mengidentifikasi tingkat kebisingan tertentu di lingkungan rumah
sakit. Rekomendasi untuk tingkat kebisingan tidak melebihi 35 dB pada malam hari
dan 40 dB di siang hari. Ketika dibandingkan dengan lingkungan yang berbasis
lingkungan, intensitas kebisingan di dalam ICU jauh melebihi lingkungan rumah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kebisingan di Ruang ICU berkisar antara
59 sampai dengan 83 dB, cukup untuk merangsang sistem kardiovaskular dan
endokrin serta mengganggu tidur sebagai akibat dari modulasi stres yang disebabkan
oleh kebisingan. Tingkat kebisingan rerata di Ruang ICU adalah sekitar 55 sampai
dengan 66 dB, dengan puncak mencapai setinggi 85 dB
Sumber polusi suara yang berlebihan dalam ruang ICU adalah multifaktor, seperti
pada saat memberikan perawatan dan berbagai alatalat medis yang melekat pada
pasien. Mayoritas kebisingan di ICU diciptakan oleh alarm mekanis. Terlepas dari
peralatan medis, perawat dan staf perawatan kesehatan lainnya mempunyai tanggung
jawab sekitar 80% untuk mengatasi kebisingan yang di ICU. Staf perawat unit
perawatan intensif tampaknya memiliki apresiasi atau pengetahuan yang terbatas
tentang efek psikofisiologis dari paparan kebisingan; asuhan keperawatan tetap
konsisten selama periode 24 jam akan tetapi tingkat pencahayaan pada malam lebih
diredupkan. Selain itu, staf keperawatan berpikir bahwa karena mayoritas pasien sakit
kritis, dibius, dan ventilasi mekanik, kebutuhan untuk mengurangi kebisingan tidak
berlaku. , pengukuran tanda-tanda vital, dan pemberian obatobatan 8 kali/ jam tidur.
Sekitar 20% dari kegiatan perawatan pasien akan menyebabkan bangkitan saat tidur.
Oleh karena itu, kegiatan perawatan pasien, meskipun sering, bukan merupakan
sumber gangguan tidur yang dominan pada pasien ICU
g. Kesimpulan dan saran
Hasil penelitian ini telah menunjukkan penggunaan Earplug dan Eye Mask
berimplikasi terhadap kualitas tidur yang lebih baik hal ini dibuktikan hasil uji
statistik menunjukkan didapatkan p-value < 0,05, berarti pada alpha 5% terdapat
perbedaan yang signifikan kualitas tidur antara malam 1 dan 2 pada masingmasing
group. Aplikasi kombinasi Earplug dan Eye Mask merupakan intervensi yang relatif
murah dan berharga untuk peningkatan kualitas tidur pada pasien yang di rawat di
Ruang ICU. Serta dapat juga digunakan sebagai intervensi alternatif (pengganti obat
tidur) bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam mengawali proses tidur.
Penggunaan Earplug dan Eye mask ini dapat digunakan dalam penerapan standar
keperawatan pada pasien yang dirawat di Ruang ICU yang mengalami gangguan
tidur, dimana tindakan ini tidak menimbulkan efek samping, terjangkau dan mudah
untuk diaplikasikan. Selain itu, untuk lebih memaksimalkan hasil pada penerapan
terapi ini, maka peneliti menyarankan sebuah studi multisenter dengan ukuran sampel

14
yang lebih besar dapat dilakukan. Studi Earplug dan Eye Mask bisa dilakukan secara
terpisah. Earplug dan Eye Mask bisa juga digunakan lebih dari satu malam (From
admission to discharge). Efektivitas Earplug dan Eye Mask dapat dinilai dalam area
klinis lainnya di rumah sakit. Pengukuran obyektif bisa dilakukan seperti melatonin
dan kortisol nokturnal untuk mengevaluasi efektivitas Earplug dan Eye Mask pada
kualitas tidur.
h. Jurnal
Mutarobin, M., Nurachmah, E., Adam, M., Sekarsari, R., & Erwin, E. (2019).
Penerapan Evidence-based Nursing Pengaruh Earplug dan Eye Mask Terhadap
Kualitas Tidur pada Pasien di ICU. Jurnal Keperawatan Indonesia,.

BAB III
PENUTUP

15
A. Kesimpulan
Evidence Based Practice (EBP) merupakan salah satu teknik yang cepat untuk
perkembangan dalam praktik keperawatan karena EBP mampu memberikan
penanganan masalah-masalah klinis secara efektif yang mungkin terjadi disaat
pemberian pelayanan kesehatan serta pemberian perawatan berdasarkan hasil-hasil
penelitian yang tertera. Penggunaan evidence base dalam praktek akan menjadi dasar
scientific dalam pengambilan keputusan klinis sehingga intervensi yang diberikan
dapat dipertanggung jawabkan.
B. Saran
Penerapan EBP perlu ditingkatkan kembali dalam praktik keperawatan khususnya
dalam intervensi kepada pasien. Karena ketika EBP dilakukan dengan baik, maka
pasien yang dirawat akan menerima dampak yang baik pula. Maka dari itu,
pengetahuan mengenai EBP harus di perlu diperhatikan bagi para tenaga kesehatan
khususnya perawat yang dituntut untuk profesionalitas tinggi dengan berbagai
kompetensi dan skill.

16
DAFTAR PUSTAKA

Irmayanti, R., Malini, H., & Murni, D. (2019). Persepsi Perawat Tentang Evidence Based
Nursing Practice (EBNP) di Rumah Sakit. Jurnal Endurance: Kajian Ilmiah Problema
Kesehatan, 4(3), 516-529.

Mutarobin, M., Nurachmah, E., Adam, M., Sekarsari, R., & Erwin, E. (2019). Penerapan
Evidence-based Nursing Pengaruh Earplug dan Eye Mask Terhadap Kualitas Tidur
pada Pasien di ICU. Jurnal Keperawatan Indonesia, 22(2), 129-138.

Oktarisa, A., & Kristinawati, B. (2019). Penerapan Hiperoksigenasi Sebagai Evidence Based
Nursing Untuk Meningkatkan Saturasi Oksigen Pada Pasien Kritis Yang Terpasang
Endotracheal Tube. Jurnal Riset Media Keperawatan, 2(2), 10-14.
Mutarobin, M., Nurachmah, E., Adam, M., Sekarsari, R., & Erwin, E. (2019). Penerapan
Evidence-based Nursing Pengaruh Earplug dan Eye Mask Terhadap Kualitas Tidur
pada Pasien di ICU. Jurnal Keperawatan Indonesia

17

Anda mungkin juga menyukai