Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

EBP (Evidence Based Practice) dalam K3 dan Keselamatan Pasien

Disusun oleh :

Kelompok 2

Meivi Pransisca Anggraini PO7120521026


Nurul Rizqi PO7120521035
Taufiq Wanurian Syah Pratama PO71205210

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES YOGYAKARTA
T.A 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkah dan Rahmat-Nya penulis telah menyelesaikan tugas mata kuliah Kesehatan
& Keselamatan Kerja tepat pada waktunya. Dalam penyusunan tugas atau materi
ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa
kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan
bimbingan rekan-rekan kami, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi bisa
teratasi. Dalam penyusunan makalah ini, penulis merasa masih banyak
kekurangan, untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini
penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada rekan-
rekan yang telah membantu dalam menyelesaikan pembuatan makalah ini. Besar
harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis dan profesi
perawat pada umumnya.

Yogyakarta, Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................................
B. Rumusan masalah..............................................................................................
C. Tujuan...............................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep efidance Based Practice ………...……………………………….....3
A. Definisi …………………………………....................…………………...3
B. Tujuan EBP……………………………...........…………………………...3
C. Langkah-langkah dalam proes EBP……………………………………….4
D. Pengkajian dan alat untuk EBP………………………………….....……..6
2. Evidance Based Practice dalam keperawatan …………………………..........7
A. Pelaksanaan EBP dalam keperawatan……………………………...……..7
B. Faktor yang mempengaruhi EBP………………………………...………..7
C. Hambatan pelaksanaan EBP dalam keperawatan……………………....…9
3. Budaya dan lingkup kerja perawat dalam peningkatan patient safety…..........9
A. Pengertian budaya dan lingkup kerja perawat dalam peningkatan patient
safety ……………………………………………............….....................9
B. Budaya dan lingkup kerja perawat dalam peningkatan patient safety…...10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………........17
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….....18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Evidance Based Practice (EBP) merupakan proses penggunaan bukti-
bukti terbaik yang jelas, tegas dan berkesinambungan guna pembuatan keputusan
klinik dalam merawat individu pasien (Nurhayati, 2015).
Evidence Based Practice (EBP) keperawatan adalah proses untuk
menentukan, menilai, dan mengaplikasikan bukti ilmiah terbaik dari literature
keperawatan maupun medis untuk meningkatkan kualitas pelayanan pasien.
Dengan kata lain,EBP merupakan salah satu langkah empiris untuk mengetahui
lebih lanjut apakah suatu penelitian dapat diimplementasikan pada lahan praktek
yang berfokus pada metode dengan critical thinking dan menggunakan data dan
penelitian yang tersedia secara maksimal.
Keselamatan pasien (safety patient) adalah suatu sistem dimana rumah
sakit membuat asuhan pasien lebih aman meliputi asesmen resiko, identifikasi
dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko dan mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Permenkes
No 1691, 2011).
Perawat sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan
kepada masyarakat memiliki peran penting karena terkait langsung dengan
pemberi asuhan kepada pasien sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Perawat
sebagai ujung tombak sangat menentukan pemberian asuhan keperawatan yang
aman. World Health Organization merekomendasikan agar asuhan keperawatan
yang aman bisa diberikan pada pasien, maka upaya penelitian dan penerapan
hasil penelitian perlu dilakukan. Upaya penerapan hasil/ penelitian ini dikenal
dengan asuhan keperawatan berbasis Evidence Based Practice (EBP). Tujuan

1
dari penerapan EBNP mengidentifikasi solusi dari pemecahan masalah dalam
perawatan serta membantu penurunan bahaya pada pasien (Almaskari, 2017).

B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk menjelaskan dan memahami
situasi tentang EBP (evidence based practice) untuk meningkatkan keselamatan
pasien.

C. Manfaat
1. Untuk Tim Kesehatan
Makalah ini berguna sebagai media informasi mengenai EBP (Evidence
Based Practice) dalam K3 dan keselamatan pasien.
2. Untuk Mahasiswa
Makalah ini berguna sebagai media informasi sekaligus pembelajaran
khususnya bagi mahasiswa kesehatan

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Evidence Based Practice


A. Definisi
Evidence Based Practice (EBP) adalah tindakan yang teliti dan
bertanggung jawab dengan menggunakan bukti (berbasis bukti) yang
berhubungan dengan keahlian klinis dan nilai-nilai pasien untuk menuntun
pengambilan keputusan dalam proses perawatan (Titler, 2008). EBP
merupakan salah satu perkembangan yang penting pada dekade ini untuk
membantu sebuah profesi, termasuk kedokteran, keperawatan, sosial,
psikologi, public health, konseling dan profesi kesehatan dan sosial lainnya
(Briggs & Rzepnicki, 2004; Brownson et al., 2002; Sackett et al., 2000).
Evidence Based Practice (EBP) keperawatan adalah proses untuk
menentukan, menilai, dan mengaplikasikan bukti ilmiah terbaik dari
literature keperawatan maupun medis untuk meningkatkan kualitas
pelayanan pasien. Dengan kata lain, EBP merupakan salah satu langkah
empiris untuk mengetahui lebih lanjut apakah suatu penelitian dapat
diimplementasikan pada lahan praktek yang berfokus pada metode dengan
critical thinking dan menggunakan data dan penelitian yang tersedia secara
maksimal.

B. Tujuan EBP
Tujuan utama di implementasikannya evidance based practice di dalam
praktek keperawatan adalah untuk meningkatkan kualitas perawatan dan
memberikan hasil yang terbaik dari asuhan keperawatan yang diberikan.
Selain itu juga, dengan dimaksimalkannya kualitas perawatan tingkat
kesembuhan pasien bisa lebih cepat dan lama perawatan bisa lebih pendek
serta biaya perawatan bisa ditekan (Madarshahian et al., 2012). Dalam
rutinititas sehari-hari para tenaga kesehatan profesional tidak hanya perawat
namun juga ahli farmasi, dokter, dan tenaga kesehatan profesional lainnya

3
sering kali mencari jawaban dari pertanyaan- pertanyaan yang muncul ketika
memilih atau membandingkan treatment terbaik yang akan diberikan kepada
pasien/klien, misalnya saja pada pasien post operasi bedah akan muncul
pertanyaan apakah teknik pernapasan relaksasi itu lebih baik untuk
menurunkan kecemasan dibandingkan dengan cognitive behaviour theraphy,
apakah teknik relaksasi lebih efektif jika dibandingkan dengan teknik
distraksi untuk mengurangi nyeri pasien ibu partum kala 1 (Mooney, 2012).
Pendekatan yang dilakukan berdasarkan pada evidance based bertujuan
untuk menemukan bukti-bukti terbaik sebagai jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan klinis yang muncul dan kemudian mengaplikasikan bukti tersebut
ke dalam praktek keperawatan guna meningkatkan kualitas perawatan pasien
tanpa menggunakan bukti-bukti terbaik, praktek keperawatan akan sangat
tertinggal dan seringkali berdampak kerugian untuk pasien. Contohnya saja
education kepada ibu untuk menempatkan bayinya pada saat tidur dengan
posisi pronasi dengan asumsi posisi tersebut merupakan posisi terbaik untuk
mencegah aspirasi pada bayi ketika tidur. Namun berdasarkan evidence based
menyatakan bahwa posisi pronasi pada bayi akan dapat mengakibatkan resiko
kematian bayi secara tiba-tiba SIDS (Melnyk & Fineout, 2011).
Oleh karena itu, pengintegrasian evidence based practice kedalam
kurikulum pendidikan keperawatan sangatlah penting. Tujuan utama
mengajarkan EBP dalam pendidikan keperawatan pada level undergraduate
student adalah menyiapkan perawat profesional yang mempunyai
kemampuan dalam memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas
berdasarkan evidence based (Ashktorab, 2015).

C. Langkah-Langkah dalam Proses EBP


Terdapat tujuh langkah yang harus dilewati ketika akan
mengimplementasikan suatu Evidence Based Practice yaitu (Melnyk &
Fineout-Overholt, 2011):
1. Menumbuhkan semangat terhadap penelitian
Sebelum memulai dalam tahapan yang sebenarnya didalam EBP,

4
harus ditumbuhkan semangat dalam penelitian sehingga klinikan
akan lebih nyaman dan tertarik mengenai pertanyaan-pertanyaan
berkaitan dengan perawatan pasien.
2. Merumuskan pertanyaan klinis dalam format
PICOTPertanyaan klinis dalam format PICOT untuk
menghasilkan evidence yang lebih baik dan relevan.
P : Patient Population (kelompok / populasi pasien)
I : Intervention or Issue of Interest (intervensi atau issue yang
menarik)
C :Comparison intervention of group (perbandingan intervensi
didalam populasi)
O : Outcome (tujuan)
T : Time frame (waktu)
3. Mencari dan mengumpulkan literatur evidence yang berhubungan
Mencari evidence yang baik adalah langkah pertama didalam
penelitian, untuk menjawab pertanyaan tindakan dengan
melakukan systematic reviews dengan mempertimbangkan level
kekuatan dari evidence yang digunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan (Guyatt & Rennie, 2002).
4. Melakukan telaah atau penilaian kritis terhadap evidence
Langkah ini merupakan langkah vital, didalamnya termasuk
penilaian kritis terhadap evidence. Kegiatannya meliputi evaluasi
kekuatan dari evidence tersebut, yaitu tentang kevalidan dan
kegeneralisasiannya.
5. Mengintegrasikan evidence terbaik dengan pengalaman klinis dan
rujukan serta nilai-nilai pasien didalam pengambilan keputusan
atau perubahan.
Konsumen dari jasa pelayanan kesehatan menginginkan turut serta
dalam proses pengambilan keputusan klinis dan hal tersebut
merupakan tanggung jawab etik dari pemberi pelayanan kesehatan
dengan melibatkan pasien didalam pengambilan keputusan

5
terhadap tindakan (Melnyk & Fineout-Overholt, 2005)
6. Mengevaluasi tujuan di dalam keputusan praktis berdasarkan
evidence.
Pada tahap ini dievaluasi EBP yang dipakai, bagaimana atau
sejauh mana perubahan yang dilakukan berefek terhadap tujuan
pasien atau apakah efektif pengambilan keputusan yang dilakukan.
7. Menyebarluaskan tujuan EBP atau perubahan
Sangat penting menyebarluaskan EBP baik yang sesuai ataupun
yang tidak sesuai, dengan cara melakukan oral atau poster
presentation diwilayah local, regional, nasional atau internasional

D. Pengkajian dan Alat untuk Evidence Based Practice


Penerapan konsep praktek klinis berbasis bukti menandai pergeseran
dari pelayanan tradisional menjadi pelayanan kesehatan professional yang
dalam pelaksanaannya berdasar pada pendapat dari otoritas, data, studi
klinis yang relevan, dan penelitian. Terdapat beberapa kemampuan dasar
yang harus dimiliki tenaga kesehatan professional untuk dapat menerapkan
praktek klinis berbasis bukti, yaitu :
1. Mengindentifikasi gap/kesenjangan antara teori dan praktek,

2. Memformulasikan pertanyaan klinis yang relevan,

3. Melakukan pencarian literature yang efisien,

4. Mengaplikasikan peran dari bukti, termasuk tingkatan/hierarki dari


bukti tersebut untuk menentukan tingkat validitasnya,
5. Mengaplikasikan temuan literature pada masalah pasien, dan

6. Mengerti dan memahami keterkaitan antara nilai dan budaya pasien


dapat mempengaruhi keseimbangan antara potensial keuntungan
dan kerugian dari pilihan manajemen/terapi (Jette et al., 2003).
Dalam penerapan praktek klinis berbasis bukti, perlu adanya
beberapa pengkajian awal, diantaranya kesiapan; kepercayaan; sikap;
pengetahuan; dan perilaku terhadap EBP, hingga implementasi dari EBP

6
sendiri.

2. Evidence Based Practice dalam Keperawatan


A. Pelaksanaan Evidence Based Practice dalam keperawatan
1. Mengakui status atau arah praktek dan yakin bahwa pemberian
perawatan
2. berdasarkan fakta terbaik akan meningkatkan hasil perawatan klien.
3. Implementasi hanya akan sukses bila perawat menggunakan dan
mendukung “pemberian perawatan berdasarkan fakta”.
4. Evaluasi penampilan klinik senantiasa dilakukan perawat dalam
penggunaan EBP.
5. Praktek berdasarkan fakta berperan penting dalam perawatan kesehatan.
6. Praktek berdasarkan hasil temuan riset akan meningkatkan kualitas
praktek, penggunaan biaya yang efektif pada pelayanan kesehatan.
7. Penggunaan EBP meningkatkan profesionalisme dan diikuti dengan
evaluasi yang berkelanjutan.
8. Perawat membutuhkan peran dari fakta untuk meningkatkan intuisi,
observasi pada klien dan bagaimana respon terhadap intervensi yang
diberikan. Dalam tindakan diharapkan perawat memperhatikan etnik,
sex, usia, kultur dan status kesehatan.

B. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi EBP


Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi implementasi
hasil temuan penelitian di tatanan praktek keperawatan, yaitu : karakteristik
dari cara adopsi (nilai penelitian keperawatan, kemampuan, dan kesadaran
perawat), karakteristik organisasi (setting, hambatan, dan keterbatasan),
karakteristik dari inovasi (kualitas penelitian), dan karakteristik dari pola
komunikasi (cara penyampaian dan akses ke penelitian) (Munten, Bogaard,
Cox, Garretsen, & Bongers, 2010).
Satu studi kualitatif dari Rapp, Doug, Callaghan, & Holter (2010)
menyatakan bahwa hambatan yang ada saat implementasi EBP di tatanan

7
klinis keperawatan adalah : sikap dari supervisor, sikap dari praktisioner,
sikap dari anggota lain dalam suatu organisasi, stakeholder, dan pendanaan.
Selain itu, suatu hasil penelitian dapat diimplementasi ketika memenuhi
hal-hal di bawah ini (Munten et al., 2010; Gerrish, McDonnell, et al., 2011;
Gerrish, Guillaume, et al., 2011; Wilkinson, Nurs, Nutley, &
Davies,2011) :
1. Evidence tersebut bersifat ilmiah dan sesuai dengan konsensus
pihak professional ahli dan sesuai dengan pilihan pasien.
2. Evidence tersebut memiliki konteks fitur pembelajaran yang dapat
memberikan tranformasi pemikiran para pemimpin organisasi dan
memiliki mekanisme pemantauan umpan balik yang dapat
disesuaikan dengan kebutuhan.
3. Evidence tersebut sesuai dengan strategi, ketersediaan sumber daya,
nilai dan konteks budaya, serta gaya kepemimpinan dalam
organisasi.
4. Evidence dapat dievaluasi.
5. Terdapat masukan dari para fasilitator ahli.
Salah satu fasilitator yang dapat digunalan adalah perawat senior
dengan pengalaman klinis dan jenjang pendidikan yang memadai.
memanajemen dan mempromosikan penyerapan pengetahuan baru.
Dalam hal memanajemen, fasilitator bertugas mengumpulkan /
menghasilkan berbagai temuan penelitian, bertindak sebagai sumber
informasi bagi perawat klinis, mensintesis temuan penelitian, dan
menyebarkan hasil tersebut naik secara formal dan informal. Dalam
hal mempromosikan, fasilitator mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan perawat klinis melalui peran modeling, pengajaran,
dan fasilitasi pemecahan masalah klinis. Selain itu, juga terdapat
beberapa tipe pertanyaan berbeda ketika membahas tentang
penelitian intervensi klinis, yaitu apakah intervensi tersebut bekerja
(efficacy), apakah intervensi tersebut sama jika digunakan di
beberapa populasi klinis (effectiveness), apakah intervensi ini baik

8
jika dibandingkan dengan terapi lain (equivalence), apakah
intervensi ini aman, dan apakah intervensi ini bersifat efektif dari
segi pembiayaan (costeffective) (Forbes, 2009; Bulechek et al.,
2013).

C. Hambatan Pelaksaan EBP Pada Keperawatan


1. Berkaitan dengan penggunaan waktu.
2. Akses terhadap jurnal dan artikel.
3. Keterampilan untuk mencari.
4. Keterampilan dalam melakukan kritik riset.
5. Kurang paham atau kurang mengerti.
6. Kurangnya kemampuan penguasaan bahasa untuk penggunaan hasil-
hasil riset.
7. Salah pengertian tentang proses.
8. Kualitas dari fakta yang ditemukan.
9. Pentingnya pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana untuk
menggunakan literatur hasil penemuan untuk intervensi praktek yang
terbaik untuk diterapkan pada klien.

3. Budaya dan Lingkup Kerja Perawat dalam Peningkatan Patient Safety


A. Pengertian Budaya dalam Lingkup Kerja Perawat dalam
Peningkatan Patient Safety
Budaya kerja didefinisikan sebagai kebiasaan orang bekerja dalam suatu
kelompok, nilai, filosofi dan aturan-aturan dalam kelompok yang membuat
mereka bisa bekerjasama. Budaya mendorong terciptanya komitmen
organisasi dan meningkatkan konsistensi sikap karyawan (Schein, 2012).
Budaya keselamatan pasien merupakan hal yang mendasar di dalam
pelaksanaan keselamatan di rumah sakit. Rumah sakit harus menjamin
penerapan keselamatan pasien pada pelayanan kesehatan yang diberikannya
kepada pasien (Fleming & Wentzel, 2010). Upaya dalam pelaksanaan
keselamatan pasien diawali dengan penerapan budaya keselamatan pasien

9
(KKP-RS, 2012). Hal tersebut dikarenakan berfokus pada budaya
keselamatan akan menghasilkan penerapan keselamatan pasien yang lebih
baik dibandingkan hanya berfokus pada program keselamatan pasien saja (El-
Jardali, Dimassi, Jamal, Jaafar, & Hemadeh, 2011). Budaya keselamatan
pasien merupakan pondasi dalam usaha penerapan keselamatan pasien yang
merupakan prioritas utama dalam pemberian layanan kesehatan (Disch,
Dreher, Davidson, Sinioris, & Wainio, 2011; NPSA, 2009).
Pondasi keselamatan pasien yang baik akan meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan khususnya asuhan keperawatan. Penerapan budaya
keselamatan pasien yang adekuat akan menghasilkan pelayanan keperawatan
yang bermutu. Pelayanan kesehatan yang bermutu tidak cukup dinilai dari
kelengkapan teknologi, sarana prasarana yang canggih dan petugas kesehatan
yang profesional, namun juga ditinjau dari proses dan hasil pelayanan yang
diberikan (Ilyas, 2012). Rumah sakit harus bisa memastikan penerima
pelayanan kesehatan terbebas dari resiko pada proses pemberian layanan
kesehatan (Cahyono, 2008; Fleming & Wentzel, 2010). Penerapan
keselamatan pasien di rumah sakit dapat mendeteksi resiko yang akan terjadi
dan meminimalkan dampaknya terhadap pasien dan petugas kesehatan
khususnya perawat.
Penerapan keselamatan pasien diharapkan dapat memungkinkan
perawat mencegah terjadinya kesalahan kepada pasien saat pemberian
layanan kesehatan di rumah sakit. Hal tersebut dapat meningkatkan rasa aman
dan nyaman pasien yang dirawat di rumah sakit (Armellino, Griffin, &
Fitzpatrick, 2010).

B. Budaya dalam Lingkup Kerja Perawat dalam Peningkatan Patient


Safety
Upaya yang telah dilakukan di Indonesia antara lain terdapat pada salah
satu pedoman yang dapat dilaksanakan oleh perawat berdasarkan
PERMENKES no. 1691/MENKES/PE/VIII/2011 tentang keselamatan pasien
di rumah sakit.

10
1. Sasaran I : Mengidentifikasi Pasien dengan Tepat
Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki atau
meningkatkan ketelitian dalam mengidentifikasi pasien. Kesalahan
dalam mengidentifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam
keadaan yang terbius, disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur
atau kamar atau lokasi di rumah sakit, adanya kelainan sensori, atau
akibat situasi yang lain. Adapun maksud dari sasaran ini adalah untuk
melakukan dua kali pengecekan dalam setiap kegiatan pelayanan ke
pasien. Pertama untuk identifikasi pasien sebagai individu yang akan
menerima pelayanan atau pengobatan dan kedua untuk kesesuaian
pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut. Kebijakan atau
prosedur yang dilakukan secara kolaboratif dikembangkan untuk
memperbaiki proses identifikasi khususnya pada proses
pengidentifikasian pasien ketika pemberian obat, darah, atau produk
dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis atau pemberian
pengobatan serta tindakan lain. Kebijakan atau prosedur tersebut
memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien
seperti nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang
identitas pasien dengan bar-code, dan lainlain. Suatu proses kolaboratif
digunakan untuk mengembangkan kebijakan atau prosedur agar dapat
memastikan semua kemungkinan situasi untuk dapat diidentifikasi
dengan tepat dan cepat.
Adapun peran perawat dalam peningkatan patient safety adalah :
1) Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan menggunakan gelang
identitas sedikitnya dua identitas pasien (nama, tanggal lahir atau
nomor rekam medik)
2) Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan warna gelang yang
ditentukan dengan ketentuan biru untuk laki-laki dan merah muda
untuk perempuan, merah untuk pasien yang mengalami alergi dan
kuning untuk pasien dengan risiko jatuh (risiko jatuh telah

11
diskoring dengan menggunakan protap penilaian skor jatuh yang
sudah ada)
3) Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah,
atau produk darah.
4) Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum mengambil darah dan
spesimen lain untuk pemeriksaan klinis.
5) Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan
dan tindakan/prosedur.

2. Sasaran II: Meningkatkan Komunikasi yang Efektif


Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan
komunikasi yang efektif antar para pemberi layanan. Komunikasi yang
dilakukan secara efektif, akurat, tepat waktu, lengkap, jelas, dan yang
mudah dipahami oleh pasien akan mengurangi kesalahan dan dapat
meningkatkan keselamatan pasien. Komunikasi yang mudah
menimbulkan kesalahan persepsi kebanyakan terjadi pada saat perintah
diberikan secara lisan atau melalui telepon.
Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan
kembali hasil pemeriksaan kritis. Rumah sakit secara kolaboratif
mengembangkan suatu kebijakan atau prosedur untuk perintah lisan dan
telepon termasuk mencatat perintah yang lengkap atau hasil
pemeriksaan oleh penerima perintah, kemudian penerima perintah
membacakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan dan
melakukan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan
dibaca ulang adalah akurat. Kebijakan atau prosedur pengidentifikasian
juga menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak melakukan pembacaan
kembali (read back) bila tidak memungkinkan seperti di kamar operasi
dan situasi gawat darurat.
Adapun peran perawat dalam peningkatan patient safety adalah :
1) Melakukan kegiatan, “read back” pada saat menerima permintaan
secara lisan atau menerima intruksi lewat telepon dan pasang

12
stiker ‟sign here‟ sebagai pengingat dokter harus tanda tangan.
2) Menggunakan metode komunikasi yang tepat yaitu SBAR saat
melaporkan keadaan pasien kritis, melaksanakan serah terima
pasien antara shift (hand off) dan melaksanakan serah terima
pasien antar ruangan dengan menggunakan singkatan yang telah
ditentukan oleh manajemen.

3. Sasaran III: Peningkatan Keamanan Obat yang Membutuhkan Perhatian


Rumah sakit perlu mengembangkan suatu pendekatan untuk
memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert).
Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien,
manajemen rumah sakit harus berperan secara kritis untuk memastikan
keselamatan pasien agar terhindar dari risiko kesalahan pemberian obat.
Obat-obatan yang perlu diwaspadai (highalert medications) adalah obat
yang sering menyebabkan terjadi kesalahan serius (sentinel event),
obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan
(adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan
kedengarannya mirip.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan atau
prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai
berdasarkan data yang ada di rumah sakit tersebut. Kebijakan atau
prosedur juga dapat mengidentifikasi area mana saja yang
membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di IGD atau kamar operasi,
serta pemberian label secara benar pada elektrolit dan bagaimana
penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi akses, untuk
mencegah pemberian yang tidak sengaja/kurang hati- hati.
Adapun peran perawat dalam peningkatan patient safety adalah :
1) Melakukan sosialisasi dan mewaspadai obat Look Like dan Sound
Alike (LASA) atau Nama Obat Rupa Mirip (NORUM)
2) Menerapkan kegiatan double check dan counter sign setiap
distribusi obat dan pemberian obat pada masing-masing instansi

13
pelayanan.
3) Menerapkan agar Obat yang tergolong high alert berada di tempat
yang aman dan diperlakukan dengan perlakuan khusus
4) Menjalankan Prinsip delapan Benar dalam pelaksanaan
pendelegasian Obat (Benar Instruksi Medikasi, Pasien, Obat, Masa
Berlaku Obat, Dosis, Waktu, Cara, dan Dokumentasi).

4. Sasaran IV: Mengurangi Risiko Salah Lokasi, Salah Pasien dan


Tindakan Operasi
Rumah sakit dapat mengembangkan suatu pendekatan untuk
memastikan pemberian pelayanan dilakukan dengan tepat lokasi, tepat
prosedur, dan tepat pasien. Salah lokasi, salah prosedur, dan salah psien
pada operasi adalah sesuatu yang mengkhawatirkan dan kemungkinan
terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini merupakan akibat dari komukasi
yang tidak efektif atau yang tidak adekuat antara anggota tim bedah,
kurangnya melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi operasi (site
marketing), dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operassi.
Di samping itu, pemerikasaan pasien yang tidak adekuat, penelaahan
ulang catatan medis yang kurang tepat, budaya yang tidak mendukung
komunikasi terbukaan antara anggota tim bedah atau operasi,
permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak
terbaca (illegible handwritting) dan pemakaian singkatan adalah faktor-
faktor yang dapat menyebabkan kesalahan. Rumah sakit perlu untuk
secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan atau prosedur yang
efektif di dalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini.
Digunakan juga keadaan yang berbasis bukti, seperti yang
digambarkan di Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety
(2009), juga di The Joint Commission’s Universal Protocol for
Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery.
Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas
satu pada tanda yang dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara

14
konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh operator yang akan
melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika
memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan disayat.
Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi
(laterality), multipel struktur (jari tangan, jari kaki, lesi) atau multipel
level (bagian tulang belakang). Proses verifikasi praoperatif ditujukan
untuk memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar,
memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan
yang relevan tersedia dan diberi label dengan baik serta dipampang dan
melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/atau implant -
implant yang dibutuhkan. Tahapan “Sebelum insisi” (Time out)
memungkinkan semua pertanyaan atau kekeliruan diselesaikan dengan
baik dan tepat. Time out dilakukan di tempat dimana tindakan akan
dilakukan, tepat sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim
operasi. Rumah sakit menetapkan bagaimana proses itu
didokumentasikan secara ringkas, misalnya menggunakan checklist dan
sebagainya.
Adapun peran perawat dalam peningkatan patient safety adalah
memberi tanda spidol skin marker pada sisi operasi (Surgical Site
Marking) yang tepat dengan cara yang jelas dimengerti dan melibatkan
pasien dalam hal ini (Informed Consent).

5. Sasaran V: Mengurangi Risiko Infeksi


Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi
risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan yang diberikan.
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar
dalam tatanan pelayanan kesehatan dan peningkatan biaya untuk
mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan
merupakan hal yang menjadi perhatian besar bagi pasien maupun para
profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam
semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih,

15
infeksi pada aliran darah dan pneumonia. Pusat dari eliminasi infeksi
ini
maupun infeksi-infeksi lain adalah kegiatan cuci tangan (hand
hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene bisa dibaca di kepustakaan
WHO, dan berbagai organisasi nasional dan internasional. Rumah sakit
mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan atau
prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand hygiene
yang diterima secara umum dan untuk implementasi petunjuk itu di
rumah sakit.
Adapun peran perawat dalam peningkatan patient safety adalah :
1) Mencuci tangan sebelum dan sesudah bersentuhan dengan pasien,
sebelum melakukan tindakan, sesudah bersentuhan dengan cairan
tubuh pasien, sesudah bersentuhan dengan lingkungan pasien (five
moment cuci tangan ).
2) Menggunakan Hand rub di ruang perawatan dan melakukan
pelatihan cuci tangan efektif.
3) Memberikan tanggal dengan menggunakan spidol atau tinta yang
jelas setiap melakukan prosedur invasif (infuse, dower cateter,
CVC, WSD, dan lain-lain)

6. Sasaran VI: Pengurangan Risiko Pasien Jatuh


Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi
risiko pasien dari cedera karena jatuh. Jumlah kasus jatuh cukup
bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien rawat inap. Dalam
konteks masyarakat yang dilayani, pelayanan yang disediakan, dan
fasilitasnya rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan
mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai
jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah pasien
yang bermkemungkinan mengkonsumsi alkohol, gaya jalan dan
keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien
Adapun peran perawat dalam peningkatan patient safety adalah :

16
1) Melakukan pengkajian risiko jatuh pada pasien yang dirawat di
rumah sakit.
2) Melakukan tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko
jatuh.
3) Memberikan tanda bila pasien berisiko jatuh dengan gelang warna
kuning dan kode jatuh yang telah ditetapkan oleh manajemen

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengembangan EBP (Evidence Based Practice) untuk
meningkatkan keselamatan psien di keperawatan bukan sesuatu hal yang
mudah dilakukan, selain perawat harus ahli dlam riset, perawat juga harus
mempunyai pengalaman klinik yang lama dan menpunyai kemampuan
berfikir kritis yang baik. Sehingga penerapan EBP dan riset klinis
merupakan tantangan bagi perawat agar dapat memberikan tindakan
keperawatan yang lebih tepat dan akuntabel demi peningkatan
keselamatan pasien.

18
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. 2013.


Nursing
Interventions Classification (NIC) (Sixth Edit.). St. Louis, Missouri: Elsevier.

Forbes, A. 2009. Clinical intervention research in nursing. International journal of


nursing studies, 46(4), 557–68. doi:10.1016/j.ijnurstu.2008.08.012

Gerrish, K., Guillaume, L., Kirshbaum, M., McDonnell, A., Tod, A., & Nolan, M.
2011. Factors influencing the contribution of advanced practice nurses to
promoting evidence-based practice among front-line nurses: findings
from a
cross-sectional survey. Journal of advanced nursing, 67(5), 1079–90.
doi:10.1111/j.1365-2648.2010.05560.x

Jette, D. U., Bacon, K., Batty, C., Ferland, A., Hemingway, R. D., Hill, J. C., …
Volk,
D. 2003. Research Report Evidence-Based Practice : Beliefs , Attitudes ,
Knowledge , and Behaviors. Journal of the American Physical Therapy
Association, 83, 786–805.

Kemenkes RI. (2011). Permenkes RI No.1691/Menkes/VIII/2011 tentang Keselamatan


Pasien Rumah Sakit. Retrieved 11 23, 2015, from
http://202.70.136.86/bprs/uploads/pdffiles/21%20PMK%20No.
%201691%20ttg
%20Keselamatan%20Pasien%20Rumah%20Sakit.pdf

KKP RS. (2011). Laporan Insiden Keselamatan Pasien. Jakarta: KKP RS.

Munten, G., Bogaard, J. Van Den, Cox, K., Garretsen, H., & Bongers, I. 2010.
Implementation of Evidence-Based Practice in Nursing Using Action
Research
: A Review, 135–158.

Rapp, C. A., Doug, Æ. D. E. Æ., Callaghan, J., & Holter, Æ. M. 2010. Barriers to
Evidence-Based Practice Implementation : Results of a Qualitative Study.
Community Mental Health Journal, 46, 112–118. doi:10.1007/s10597-009-
9238-z

Schein. 2012. Lessons for patient safety reporting systems: Defining and
classifying
medical error. Qual Saf Health Care.Volume 13 page 13-20

Wilkinson, J. E., Nurs, B. A., Nutley, S. M., & Davies, H. T. O. 2011. An Exploration
of the Roles of Nurse Managers in Evidence-Based Practice Implementation.
Worldviews on Evidence-Based Nursing, 4, 236–246. doi:10.1111/j.1741-

19
6787.2011.00225.x

20

Anda mungkin juga menyukai