Anda di halaman 1dari 25

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR

GANNGGUAN MENTAL

TUGAS KELOMPOK
Dosen Pengajar :
Dr. dr. Aaltje E. Manampiring, M.Kes

Disusun oleh :
Albert S. T. Teo - 19202111042
Dhanny. E. P. Lagarense - 19202111007
Inggried Claudia Muloke - 19202111036

PASCASARJANA
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Epidemiologi Penyakit Tidak Menular : Gangguan Mental” ini tepat pada waktu.
Sebagai rasa terimakasih atas bantuan dan bimbingan serta dorongan dari semua
pihak, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. dr.
Aaltje E. Manampiring, M.Kes selaku dosen pengampuh Mata Kuliah Metode
Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, serta kepada semua pihak yang telah
membantu terselesaikannya makalah ini.

Semoga Tuhan selau membalas segala kebaikan mereka dan selalu


memberikan berkat-Nya. Kami sebagai manusia biasa menyadari bahwa
penyusunan dari makalah ini msih belum sempurna dan pastinya ada kekurangan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi kebaikan
makalah ini kedepannya.

Akhir kata, kami seluruh penyusun berharap agar makalah ini mampu
memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya bagi para pembaca dan di
lingkungan akademis.

Manado, 04 April 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................i

Daftar Isi ................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................2

1.3 Tujuan.........................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................4

A. Konsep Kesehatan Mental...........................................................................4

B. Epidemiologi................................................................................................4

C. Penyebab Gangguan Jiwa.............................................................................5

D. Klasifikasi Gangguan Jiwa...........................................................................10

E. Upaya Penanganan Kesehatan Mental di Indonesia.....................................14

F. Strategi Penanggulangan Kesehatan Mental................................................17

BAB III Penutup.....................................................................................................20

3.1 Kesimpulan.................................................................................................20

3.2 Saran ..........................................................................................................20

Daftar Pustaka.........................................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan jiwa adalah suatu penyakit yang bisa terjadi pada semua orang dan tanpa
mengenal ras,budaya,anak-anak,dewasa miskin ataupun kaya,ganguan jiwa merupakan
salah satu gangguan mental yang di sebabkan oleh beragam faktor yang berasal dari
dalam maupun luar. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Pada
area kesehatan fisik, masyarakat memiliki pengetahuan serta praktik bagaimana menjaga
kesehatan fisik, seperti diet yang sehat, cara mencegah penyakit kanker, pemeriksaan
fisik rutin, keahlian untuk melakukan pertolongan pertama, caramencari informasi
kesehatan, baik melalui buku maupun media online. Kemampuan yang dimiliki oleh
masyarakat ini disebuthealth literacy, yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk
mendapatkan akses, kemampuan pemahaman dan menggunakan informasi sebagai upaya
promosi dan perawatan kesehatan yang baik (Nutbeam, 2000).
Pentingnya kesehatan fisik sudah mampu dimengerti dan dipahami oleh masyarakat
secara luas, sebaliknya area kesehatan mental masih belum atau kurang dipahami oleh
masyarakat (Jorm, 2000). Berdasarkan data Canadian Community Health Survey,
kelompok usia yang mengalami gangguan menta ladalah orang-orang yang berada pada
rentang dewasa muda, yaitu 18,4% dari seluruh populasi. Sebanyak 10% kasus
merupakan gangguan depresi dan 12% kasus merupakan gangguan kecemasan (Marcus
dan Westra, 2012).
Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta
orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Di
Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial dengan
keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang
berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk
jangka panjang. Data Riskesdas 2018 memunjukkan prevalensi ganggunan mental
emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15
tahun ke atas mencapai sekitar 6.1% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan
prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau
sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Menurut National Alliance of Mental Illness (NAMI)
berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika Serikat tahun 2013, di perkirakan 61.5 juta

1
penduduk yang berusia lebih dari 18 tahun mengalami gangguan jiwa, 13,6 juta
diantaranya mengalami gangguan jiwa berat seperti skizofrenia, gangguan bipolar.
Jumlah penderita gangguan jiwa dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Kondisi ini
tidak jauh berbeda dengan permasalahan kesehatan jiwa yang ada di negara-negara
berkembang. Tujuan dari pelaksanaan kegiatan pengabdian pada masyarakat ini adalah
untuk meningkatkan pengetahuan masyaraakat umumnya dan keluarga yang menjadi
binaan khususnya tentang bagaimana cara perawatan dan menjaga kesehatan jiwa setiap
masyarakat serta merawat anggota masyarakat yang mengalami gangguan jiwa.
Berdasarkan data Riskesdas (2018) diatas, diketahui data penderita gangguan jiwa
berat yang cukup banyak di wilayah Indonesia dan sebagian besar tersebar di masyarakat
dibandingkan yang menjalani perawatan di rumah sakit, sehingga diperlukan peran serta
masyarakat dalam penanggulangan gangguan jiwa. Peran masyarakat dalam
penanggulangan gangguan jiwa akan dapat terbangun jika masyarakat memahami
tentang peran dan tanggungjawabnya dalam penanggulangan gangguan jiwa di
masyarakat.
Survei masyarakat mengenai literasi kesehatan mental di Australia, Kanada,India,
Jepang, Swedia, United Kingdom dan Amerika menunjukkanbahwamasyarakat tidak
mampu mengenali gejala-gejala gangguan mental. Masyarakattidak mengetahui cara
yang dapat dilakukan sebagai usaha pencegahan. Pada umumnya masyarakat menunda
perawatan dan rekomendasi penanganan gangguan. Masyarakat juga tidak mengetahui
cara mendampingi individu yang mengalami gangguan mental (Jorm, 2011). Gejala yang
banyak dialami oleh masyarakat adalah perasaan cemas,tegang, dan khawatir. Semakin
banyak gejala yang dialami seperti depresi, cemas, gejala kognitif, somatik maupun
penurunan energi, maka semakin tinggi tingkatkecendrungan mengalami gangguan
mentalemosional. Gangguan emosional merupakan suatu kondisi perubahan emosi yang
dapat berkembang menjadi patologis jika terus berlanjut (Surjaningrum, 2012). Secara
umum makalah ini bertujuan untuk membahas mengenai salah satu penyakit tidak
menular yaitu gangguan mental.

1.2 Rumusan Masalah

1. Menjelaskan Riwayat Alamiah Penyakit Gangguan Mental


2. Menjelaskan Faktor Resiko Penyakit Gangguan Mental
3. Menjelaskan Strategi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Gangguan Mental

2
1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
menjawab masalah – masalah yang berkaitan dengan gangguan mental sesuai dengan
yang telah diuraikan di atas dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode
Epidemiologi Penyakit Tidak Menular.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Kesehatan Mental


Definisi kesehatan mental menurut WHO adalah kondisi kesejahteraan (well-being)
seorang individu yang menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan
kehidupan yang normal, dapat bekerja secara produktif dan mampu
memberikankontribusi kepada komunitasnya (WHO, 2013)
Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, kesehatan jiwa
didefinisikan sebagai kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik,
mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri,
dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan
kontribusi untuk komunitasnya.
Kesehatan mental jelas merupakan bagian integral dari definisi sehat sehingga tujuan
dan tradisi kesehatan masyarakat dan promosi kesehatan dapat diterapkan sama
bermanfaatnya dalam bidang kesehatan mental. Kesehatan mental membahas lebih
daripada tidak adanya penyakit mental, yang sangat penting bagi individu, keluarga dan
masyarakat. Kesehatan mental merupakan pendekatan multidisiplin yang mencakup
promosi kesejahteraan, kesehatan mental dan pencegahan penyakit (WHO, 2011).
Menurut (Videbeck dalam Prabowo, 2014) berpendapat bahwa gangguan Jiwa adalah
keadaan emosi, psikologis, dan sosial yang terpandang dari hubungan komunikasi antar
dua orang yang tidak terpenuhi tindakan dan pertahanan yang baik, sesuatu yang dapat
dipahami dalam diri yang baik dan keseimbangan emosi yang dalam.

B. Epidemiologi
Masalah kesehatan Jiwa menyangkut fisik mental dan sosial. Diperkirakan bahwa 2-3
permil dari jumlah penduduk mengalami gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa dapat
mengakibatkan kerugian ekonomis, materi, tenaga kerja dan penderitaan. Epidemiologi
berperan penting dalam penyelidikan tentang keadaan kesehatan jiwa yang dialami
masyarakat dan faktor-faktor yang berperan. Hal ini merupakan elemen yang sangat
penting untuk mengidentifikasi sebab sosial dari suatu gangguan jiwa dan juga untuk
merencanakan program pelayanan kesehatan jiwa masyarakat. Angka kejadian dalam
masyarakat umum Skizofrenia 0,2-0,8%, sedangkan retardasi mental 13%. Menurut

4
WHO 5-15% anak2 usia 3-15 tahun menderita gangguan jiwa persisten, hal ini
mengakibatkan hubungan sosial menjadi terganggu ( Irwan, 2018).
Menurut Irwan (2018) Perkiraan kasar jumlah penderita beberapa tipe gangguan jiwa
di Indonesia dalam satu tahun:
1. Psikosa fungsional 4 ‰ (520.000)
2. Sindroma otak organic akut 0,5 ‰ (65.000)
3. Sindroma otak organic 1 ‰ (130.000)
4. Retardasi mental 2 % (2,6 juta)
5. Nerosa 5 % (6,5 juta)
6. Psikosomatik 5 % (6,5 juta)
7. Gangguan kepribadian 1 % (1,3 juta)
8. Ketergantungan obat 13,5% (17,616 juta)

C. Penyebab Gangguan Jiwa


Pada umumnya orang awam beranggapan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh
santet atau diguna –guna atau kekuatan supra natural. Akan tetapi sesungguhnya
gangguan jiwa disebabkan oleh banyak faktor yang beriteraksi satu sama lain. Seperti
dapat kita lihat pada bagan dibawah ini (Suryani, 2013).

5
1. Pengalaman traumatis sebelumnya
Sebuah survey yang dilakukan oleh Whitfield, Dubeb, Felitti, and Anda (2005) di San
Diego, Amerika Serikatselama 4 tahun terhadap50,000 pasien psychosismenemukan
sebanyak 64% dari responden pernah mengalami trauma waktu mereka kecil(sexual
abuse, physicalabuse, emotional abuse, and substance abuse). Penelitian lain yang
dilakukan oleh Hardy et al. (2005) diUKterhadap75 pasien psychosismenemukan
bahwa ada hubungan antara kejadian halusinasi dengan pengalaman trauma. 30,6%
mereka yang mengalami halusinasi pernah mengalami trauma waktu masa kecil
mereka (Suryani, 2013).
2. Faktor biologi
a) Faktor Genetik
Hingga saat ini belum ditemukan adanya gen tertentu yang menyebabkan
terjadinya gangguan jiwa. Akan tetapi telah ditemukan adanya variasi dari
multiple gen yang telah berkontribusi pada terganggunya fungsi otak (Mohr,
2003). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Health di
Amerika serikat telah menemukan adanya variasi genetik pada 33000 pasien dgn
diagnosa skizofrenia, Autis, ADHD, bipolar disorder dan mayor deppressive
disorder. (NIH, USA, 2013). Penelitian tersebut menemukan bahwa Variasi
CACNA1C dan CACNB2 diketahui telah mempengaruhi circuitry yang meliputi
memori, perhatian, cara berpikir dan emosi (NIH, USA, 2013). Disamping itu
juga telah ditemukan bahwa dari orang tua dan anak dapat menurunkan sebesar
10%. Dari keponakan atau cucu sebesar 2 –4 % dan saudara kembar identik
sebesar 48 % (Suryani, 2013).
b) Gangguan sturktur dan fungsi otak
Menurut Frisch & Frisch (2011), Hipoaktifitas lobus frontal telah
menyebabkan afek menjadi tumpul, isolasi sosial dan apati. Sedangkan gangguan
pada lobus temporal telah ditemukan terkait dengan munculnya waham,
halusinasi dan ketidak mampuan mengenal objek atau wajah.
Gangguan prefrontal pada pasien skizofrenia berhubungan dengan terjadinya
gejala negatif seperti apati, afek tumpul serta miskin nya ide dan pembicaraan.
Sedangkan pada bipolar disorder, gangguan profrontal telah menyebabkan
munculnya episode depresi, perasaan tidak bertenaga dan sedih serta menurunnya
kemampuan kognitif dan konsentrasi. Disfungsi sistim limbik berkaitan erat
dengan terjadinya waham, halusinasi, serta gangguan emosi dan perilaku.

6
Penelitian terbaru menemukan penyebab AH adanya perubahan struktur dalam
sirkuit syaraf yaitu adanya kerusakan dalam auditory spatial perception (Hunter et
all,2010)
c) Neurotransmitter
Menurut Frisch & Frisch (2011), Neurotransmiter adalah senyawa organik
endogenus membawa sinyal di antara neuron. Neurotransmit terterdiri dari:
 Dopamin:berfungsi membantu otak mengatasi depresi, meningkatkan ingatan
dan meningkatkan kewaspadaan mental.
 Serotonin:pengaturan tidur, persepsi nyeri, mengatur status mood dan
temperatur tubuh serta berperan dalam perilaku aggresi atau marah dan libido
 Norepinefrin: Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan, pusat
perhatian dan orientasi; mengatur “fight-flight”dan proses pembelajaran dan
memory
 Asetilkolin: mempengaruhi kesiagaan, kewaspadaan, dan pemusatan
perhatian
 Glutamat: pengaturan kemampuan memori dan memelihara fungsi automatic
3. Faktor psikoedukasi
Faktor ini juga tidak kalah pentingnya dalam kontribusinya terhadap
terjadinya gangguan jiwa. Sebuah penelitian di Jawa yang dilakukan oleh Pebrianti,
Wijayanti, dan Munjiati (2009) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antaratipe pola asuh keluarga dengan kejadian Skizofrenia. Sekitar 69 % dari
responden (penderita skizofrenia) diasuh dengan pola otoriter, dan sekitar 16,7 %
diasuh dengan pola permissive.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Erlina, Soewadi dan Pramono si Sumatra
Barat tentang determinan faktor timbulnya skizofrenia menemukan bahwa pola asuh
keluarga patogenik mempunyai risiko 4,5 kali untuk mengalamigangguan jiwa
skizofrenia dibandingkan dengan pola asuh keluarga tidak patogenik. Adapun yang
mereka maksud dengan pola suh patogenik tersebut antara lain :
a. Melindungi anak secara berlebihan karena memanjakannya
b. Melindungi anak secara berlebihan karena sikap “berkuasa” dan “harus
tunduksaja”
c. Sikap penolakan terhadap kehadiran si anak (rejected child)
d. Menentukan norma-norma etika dan moral yang terlalu tinggi
e. Penanaman disiplin yang terlalu keras

7
f. Penetapan aturan yang tidak teratur atau yang bertentangan
g. Adanya perselisihan dan pertengkaran antara kedua orang tua
h. Perceraian
i. Persaingan dengan sibling yang tidak sehat
j. Nilai-nilai yang buruk (yang tidak bermoral)
k. Perfeksionisme dan ambisi (cita-cita yang terlalu tinggi bagi si anak)
l. Ayah dan atau ibu mengalami gangguan jiwa (psikotik atau non-psikotik)

Berkaitan dengan penelantaran anak, sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh
Schafer et al (2007) pada 30 pasien wanita dengan skizofrenia, menemukan adanya
korelasi yang bermakna antaraanak-anak yang ditelantarkan baik secara fisik maupun
mental dengan gangguan jiwa. Pada analisis multivariabel, Schafer menemukan
bahwa mereka yang mempunyai status ekonomi rendah berisiko 7,4 kali untuk
menderita ganguanjiwa skizofrenia dibanding dengan mereka yang mempunyai status
ekonomi tinggi. Artinya mereka dari kelompok ekonomirendah kemungkinan
mempunyai risiko 7,4 kali lebihbesar mengalami kejadian skizofrenia dibandingkan
mereka yang dari kelompok ekonomi tinggi.

4. Faktor koping
Menurut Lazarus (2006), Ketika individu mengalami masalah, secara umum ada
dua strategi koping yang biasanya digunakan oleh individu tersebut, yaitu:
a. Problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari
penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang
menimbulkan stres
b. Emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk
mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan
timbul akibat suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan.
Individu yang menggunakan problem–solving focused coping cenderung
berorientasi pada pemecahan masalah yang dialaminya sehingga bisa terhindar dari
stres yang berkepanjangan sebaliknya individu yang senantiasa menggunakan
emotion-focused coping cenderung berfokus pada ego mereka sehingga masalah yang
dihadapi tidak pernah ada pemecahannya yang membuat mereka mengalami stres
yang berkepanjangan bahkan akhirnya bisa jatuh kekeadaan gangguan jiwa berat.
5. Stressor psikososial

8
Faktor stressor psikososial juga turut berkontribusi terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Seberapa berat stressor yang dialami seseorang sangat mempengaruhi respon dan
koping mereka. Seseorang mengalami stressor yang berat seperti kehilangan suami
tentunya berbeda dengan seseorang yang hanya mengalami strssor ringan seperti
terkena macet dijalan. Banyaknya stressor dan seringnya mengalami sebuah stressor
juga mempengaruhi respon dan koping. Seseorang yang mengalami banyak masalah

tentu berbeda dengan seseorang yang tidak punya banyak masalah.


6. Pemahaman dan keyakinan agama
Pemahaman dan keyakinan agama ternyata juga berkontribusi terhadap kejadian
gangguan jiwa. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan ini. Sebuah
penelitianethnografi yang dilakukan oleh Saptandari (2001)di Jawa tengahmelaporkan
bahwa lemahnya iman dan kurangnyaibadah dalam kehidupan sehari –hari
berhubungan dengan kejadian gangguan jiwa.Penelitian saya di tahun 2011juga telah
menemukan adanyahubungan antara kekuatan iman dengan kejadian gangguan jiwa.
Pada pasien yang mengalami halusinasi pendengaran, halusinasinya tidak muncul
kalau kondisi keimanan merekakuat(Suryani, 2013).

Dalam Irwan (2017) Berdasarkan faktor penyebab, maka secara umum gangguan jiwa
disebabkan oleh 3 faktor yaitu ;
1. Faktor somatogenik (faktor somatogenik)
a) Neuroanatomi
b) Neurofisiologi
c) Neuro kimia
d) Level kematangan dan perkembangan organik penderita
e) Faktor-faktor pre dan perinatal
2. Faktor psikologik (psikologik)
a) Interaksi ibu anak normal /abnormal
b) Peranan ayah
c) Persaingan antar saudara kandung
d) Intelegensi
e) Hubungan dalam keluarga, pekerjaan permainan dan masyarakat
f) Kehilangan yang mengakibatkan kecemasan depresi rasa malu atau rasa salah
g) Konsep diri

9
h) Ketrampilan bakat dan kreativitas
i) Pola adatapsi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya
j) Tingkat perkembangan emosi
3. Faktor-Budaya (sosiogenik)
a) Kestabilan keluarga
b) Pola mengasuh anak
c) Tingkat ekonomi
d) Perumahan perkotaan vs pedesaan
e) Masalah dan hambatan pada kelompok minoritas, yakni prasangka dan
pelayanan berbeda dalam fasilitas kesehatan. Pendidikan dan kesejateraan
yang tidak memadai.
f) Pengaruh rasial dan keagamaan
g) Nilai-nilai

D. Klasifikasi Gangguan Jiwa


Berdasarkan penyebabnya penyakit Gangguan jiwa dibagi atas 3 macam yaitu penyakit
psikosa, neurosa dan retardasi mental. Adapun penjelasan ketiga jenis penyakit tersebut
adalah (Irwan, 2018):
1. Penyakit Psikosa
Psikosa adalah suatu gangguan jiwa dimana penderitanya mengalami
kehilangan rasa kenyataan (sense of reality). Hal ini diketahui dengan gangguan pada:
Perasaan (efek dan emosi), proses berfikir, psikomotorik dan kemauan. Lima
Sindroma Klasik (Menninger) yang dialami oleh seseorang yang mengalami penyakit
psikosa yaitu :
a. Perasaan sedih, bersalah, dan ketidakmampuan yang mendalam
b. Keadaan terangsang yang tidak menentu dan tidak terorganisir, disertai
pembicaraan dan motorik yang berlebihan
c. Regrasi ke autisme, dilihat dari pembicaraan dan perilaku, isi pikiran yang
berwaham, acuh tak acuh terhadap harapan sosial.
d. Kecenderungan membela diri, curiga, atau rasa kebesaran
e. Keadaan bingung delirium, dengan disorientasi dan halusinasi

Seseorang yang menderita penyakit psikosa mengalami disentegrasi


kepribadian yang sering diikuti oleh kekalutan organis, fungsional, dan pada fungsi-

10
fungsi kejiwaan pada intelegasi kemauan dan perasaannya. Penderita umumnya hidup
dalam dunia yang tidak nyata (hanya fantasi, cita-cita atau dunia imaginer belaka)
dikarenakan putusnya hubungan dirinya dengan dunia luar atau dunia realitas.
Selanjutnya, mereka jadi tidak kompeten secara sosial dan mengalami maladjustment
yang berat. Yang termasuk kedalam bentuk penyakit psikosa adalah Dementia Senilis
dan Skizofrenia, selengkapnya dijelaskan sebagai berikut:
a. Dementia Senilis
Penyakit Psikosa sebagai dampak dari Sindroma Otak Organik lebih lanjut dapat
menyebabkan demensia Senilis dan penyakit Skizofrenia sebagai akibat
kemunduran fungsi mental umum terutama intelegensi yang dipicu kerusakan
jaringan otak yang permanen dan tidak dapat kembali lagi (irreversible). Pada
umumnya mempunyai prognosa yang jelek.
Gejala Demeintia senilis :
1) Biasanya timbul pada penderita berusia lebih dari 60 tahun. Penyakit jasmani
yang ada sering membuat gangguan emosi hebat, hal ini dapat mempercepat
kemunduran mental
2) Gangguan jangka pendek yakni gejala dini akan lupa pada hal-hal yang baru
terjadi
3) Sulitnya mencari ide
4) Cenderung gosentrik, mudah tersinggung, dan marah-marah
5) Acuh tak acuh terhadap pakaian yang dikenakan dan penampilan
6) Menyimpan barang-barang yang tidak ada gunanya
7) Sering muncul waham
8) Penilaiannya cenderung keliru
9) Perasaan gelisah waktu malam
10) Disorientasi pada tempat gelap
11) Gejala Jasmaniah: Kulit menipis, atrofis, keriput, serta bau badan menurun,
otot-otot atropi, berjalan tidak stabil, suara yang kasar, serta mengalami
tremor tangan
12) Gejala Psikologik: terjadinya kemunduran mental, pemderita mudah dan
sering kebingungan, dilirium/depresi, serta agitasi
Pencegahan / Pengobatan Demeintia senilis
1) Pertahankan perasaan aman dan harga diri

11
2) Memberikan perhatian penuh dan mencoba memuaskan kebutuhan rasa kasih
sayang, rasa perlu dibenarkan, serta dihargai
3) Kamar yang terang
4) Obat-obatan : hipnotika ringan (chlorpromazine) dan vitamin
b. Skizofrenia
Skizofrenia adalah Gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense
of reality) yang disebakan oleh Psikosa fungsional yang merupakan salah satu
bentuk psikosa yang disebabkan kemunduran intelegensi sebelum waktunya.
(Demensia precox). Jenis-jenis Skizofrenia yaitu Skizofrenia simplex, Skizofrenia
hebelnenik, Skizofrenia katatonik dan Skizofrenia paranoid .
Etiologi:
1) Keturunan
2) Endokrin
3) Metabolisme
4) Susunan saraf pusat, dll

Gejala-Gejala Skizofrenia secara umum terdiri atas dua yaitu gejala primer
dan sekunder Gejala Primer dapat berdampak pada gangguan kepribadian
sedangkan gejala sekunder seseorang mengalami waham dan halusinasi. Jenis-
jenis gangguan sebagai bagian dari gejala primer yang dapat dialami oleh
seseorang yang mengalami Skizofrenia adalah :
1) Gangguan Proses Berfikir yang meliputi:
a) Gangguan asosiasi: keadaan dimana satu ide belum disampaikan lalu
tiba-tiba muncul ide lain yang tidak berhubungan
b) Inkoherensi: jalan pikiran mudah dialihkan
c) Blocking: terhentinya proses nalar dan dan hilangnya ide
d) Presenverasi: satu ide berulang-ulang disampaikan
e) Flight of ideas: Menyampaikan ide yang satu ke ide yang lain tidak
sampai selesai dan sangat cepat melompat dari satu ide ke ie lain
2) Gangguan Afek dan Emosi:
a) Afek dan emosi yang dangkal
b) Abai terhadap hal-hal penting untuk dirinya sendiri
c) Parathimi: marah-marah/emosi saat seharusnya senang
d) Para mimi: keadaan senang/gembira malah menangis

12
e) Emosi berlebih
f) Hilang kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik
g) Kepribadian terpecah
3) Gangguan Kemauan
a) Tidak dapat mengambil keputusan
b) Tidak dapat mengambil tindakan dalam suatu keadaan karena selalu ada
alasan
c) Sering melamun dalam durasi berhari-hari/berbulan-bulan
d) Negativisme: sikap yang justru berlawanan dengan permintaan
e) Ambivalen: menghendaki dua hal berbeda pada waktu sama

2. Penyakit Neurosa
Neurosa adalah penyakit kegagalan penyesuaian diri secara emosional
disebabkan oleh penderita tidak dapat menyelesaikan suatu konflik, sehingga secara
tak sadar timbul kegelisahan yang dirasakan penderita baik secara langsung atau tidak
langsung yang dialihkan menjadi berbagai mekanisme pembelaan psikologik dan
memicu gejala subyeksi lain yang mengganggu penderita. Istilah neurosis berasal dari
kata bahasa Yunani, yakni ‘neuron’ yang artinya ‘saraf’ dan ‘osis’ yang berarti
penyakit atau gangguan. Istilah neurosis dipopulerkan pertama kali oleh William
Cullen pada 1769. Cullen mendefinisikan neurosis sebagai gangguan pada perasaan
dan gerakan yang dikarenakan oleh kelainan saraf. Saat ini, neurosis diartikan sebagai
gangguan mental pada sebagian kecil aspek kepribadian, sehingga penderita masih
bisa melakukan aktivitas dan pekerjaan sehari-hari serta tidak membutuhkan
perawatan di rumah sakit.
Gejala Penyakit Neurosa
Gejala neurosis yang paling nampak ialah kegelisahan berlarut-larut dengan
intensitas yang cukup kuat. Gejala lain dapat berupa gejala psikis dan fisik. Gejala
psikis antara lain termasuk rasa takut berlebihan, depresi, apatisme pada lingkungan,
perasaan tidak aman, gangguan kepercayaan diri, perasaan tidak mampu, suasana hati
yang dapat berubah-ubah, mudah tersinggung atau marah, kesedihan mendalam,
bingung, sikap penghindaran, berpikiran negatif, cenderung suka menyendiri, dan
sebagainya. Sedangkan gejala fisik yang sering menyertai neurosis diantaranya rasa
lemah dan kurang fit, mudah letih, tidak bersemangat, suka bermalas-malasan, sesak
nafas, dada tertekan, gangguan pada pencernaan, berkeringat dingin, panik, tidak

13
nafsu makan, tangan gemetar, sering buang air kecil, serta sakit kepala, perut, atau
dada.

Penyebab Neurosa
Penyebab neurosa terutama pada bidang emosi yang meliputi konflik pada
masa anak-anak, perasaan depresi, Penyesuaian dalam perkawinan/rumah tangga,
Peralihan umur pertengahan, Penyakit jasmani dan wanita yang sudah melampaui
umur/menikah.
Klasifikasi Neurosa
Berdasarkan penyebabnya, maka penyakit neurosa dibagi atas:
a. Neurosa cemas
b. Neurosa histerik
c. Neurosa fobik
d. Neurosa obsesi kompulsif
e. Neurosa depresi
f. Neurosa neurogenik
g. Neurosa depersonalisasi
h. Neurosa hipokhondrik

Prognosa
a. Tergantung kepribadian sebelumnya, Bila kepribadian stabil maka prognosanya
baik.
b. Penyakit yang muncul pada permulaan akut maka prognosanya akan lebih baik
c. Adapun jika gejala neurosa menguntungkan penderita, maka akan memberikan
prognosa yang jelek
Pengobatan
a. Pesikoterapi suporsif
b. Sugesti
c. Bimbingan
d. Tranguilizer

E. Upaya Penanganan Kesehatan Mental di Indonesia

14
Temuan terhadap situasi kesehatan mental di Indonesia menunjukkan pencapaian dari
upaya implementasi kebijakan. Pelaksanaan upaya kesehatan mental perlu melibatkan
sektor yang lebih luas daripada sektor kesehatan. Seperti yang dikemukakan WHO bahwa
kesehatan mental ditentukan oleh banyak faktor dan interaksi sosial, psikologis dan faktor
biologis, serta ekonomi dan lingkungan, terkait dengan perilaku (WHO, 2011). Hal
tersebut mengindikasikan bukan hal yang sederhana untuk mencapai situasi kesehatan
jiwa yang diharapkan.
Konsep upaya kesehatan mental di Indonesia yaitu kegiatan untuk mewujudkan
derajat kesehatan mental yang optimal bagi setiap individu, keluarga dan masyarakat
dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan
secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan oleh pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat. Pelaksanaan upaya kesehatan jiwa berdasarkan asas keadilan,
perikemanusiaan, manfaat, transparansi, akuntabilitas, komprehensif, perlindungan, serta
non diskriminasi.
Upaya promotif kesehatan jiwa bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan
derajat kesehatan jiwa masyarakat, menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak
asasi ODGJ, serta meningkatkan pemahaman, keterlibatan, dan penerimaan masyarakat
terhadap kesehatan jiwa. Oleh karena itu penting untuk melaksanakan upaya promotif di
lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, tempat kerja, masyarakat, fasilitas pelayanan
kesehatan, media massa, lembaga keagamaan dan tempat ibadah, serta lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan.
Upaya preventif kesehatan jiwa bertujuan untuk mencegah terjadinya masalah
kejiwaan, mencegah timbul dan/atau kambuhnya gangguan jiwa, mengurangi faktor
risiko akibat gangguan jiwa pada masyarakat secara umum atau perorangan, serta
mencegah timbulnya dampak masalah psikososial yang dilaksanakan di lingkungan
keluarga, lembaga dan masyarakat.
Upaya kuratif dilaksanakan melalui kegiatan pemberian pelayanan kesehatan terhadap
ODGJ yang mencakup proses diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sehingga ODGJ
dapat berfungsi secara wajar di lingkungan keluarga, lembaga dan masyarakat. Tujuan
upaya kuratif adalah untuk penyembuhan dan pemulihan, pengurangan penderitaan,
pengendalian disabilitas, dan pengendalian gejala penyakit. Kegiatan penatalaksanaan
kondisi kejiwaan pada ODGJ dilaksanakan di fasilitas pelayanan bidang kesehatan jiwa.
Selanjutnya upaya rehabilitatif kesehatan jiwa bertujuan untuk mencegah dan
mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial, memulihkan fungsi okupasional,

15
mempersiapkan dan mempersiapkan dan memberi kemampuan ODGJ agar mandiri di
masyarakat. Upaya rehabilitatif ini meliputi rehabilitatif psikiatrik, psikososial, serta
rehabilitatif sosial (dapat dilaksanakan dalam keluarga, masyarakat, dan panti sosial)
(UU, 2014).
Saat ini, upaya kesehatan jiwa di Indonesia dikelola oleh Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA Kementerian Kesehatan. Visinya
yaitu meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa masyarakat yang optimal dan berkeadilan
yang akan dicapai dalam kurun 2015-2019 dengan fokus utama pada kemandirian dan
kemitraan masyarakat mewujudkan jiwa yang sehat, mutu, pemerataan dan
keterjangkauan pelayanan, perhatian pada kelompok risti dan pelayanan di rumah, serta
profesionalisme tenaga kesehatan jiwa.
Direktorat Keswa Kemenkes mencanangkan Program Indonesia Bebas Pasung.
Program tersebut telah memiliki pencapaian. Sebelum program bebas pasung dijalankan,
hingga tahun 2009, jumlah kasus ODGJ dipasung yang ditemukan berjumlah 213 orang
dan 170 orang diantaranya dibebaskan dan mendapat pelayanan medik. Namun sejak
2010 hingga bulan Desember 2014, jumlah kasus ODGJ dipasung yang ditemukan
menjadi 6.671 kasus dengan 5.937 kasus dibebaskan dan mendapat pengobatan medik
(Kemkes, 2015).
Direktorat Keswa Kemenkes juga menangani gangguan penyalahgunaan NAPZA
sebagaimana menurut WHO menyatakan gangguan penggunaan NAPZA merupakan
penyakit otak kronis kambuhan yang dapat ditanggulangi dengan berbagai program
pencegahan dan pemulihan. Gangguan ini dalam ICD-10 (WHO, 2010) disebut sebagai
gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif.
Penanganan dini bagi pengguna NAPZA diwujudkan dalam program Wajib Lapor.
Program ini mendorong pecandu agar datang mencari pertolongan secara sukarela
sehingga dapat menjalankan rehabilitasi sesuai hasil asesmen. Harapannya, program ini
dapat meningkatkan kesadaran keluarga sehingga mampu sedini mungkin mengenali
anggota keluarganya yang terlibat masalah penggunaan NAPZA dan membawanya
kepada layanan terapi rehabilitasi.
Kondisi pelayanan kesehatan mental di Indonesia yang dilaporkan pada tahun 2010
menggambarkan perkembangan selama lima tahun sebelumnya antara lain adanya
Undangundang kesehatan mental, pengembangan kebijakan kesehatan mental,
pengembangan program perawatan kesehatan mental komunitas, pembentukan kelompok

16
pengguna, memasukkan kesehatan mental dalam kegiatan di puskesmas, dan dukungan
politik yang baik
Kebijakan yang diterapkan dalam bentuk aksi pada masyarakat tidak hanya dilakukan
oleh pemerintah dalam bentuk program nasional. Beberapa komunitas memberi perhatian
dan menunjukkan kepedulian terhadap penanganan kesehatan. Gerakan berbasis
komunitas (misal Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia), ketersediaan psikolog di
Puskesmas (D.I. Yogyakarta), kader kesehatan jiwa dan Desa Siaga Sehat Jiwa,
pemanfaatan teknologi (misal aplikasi kesehatan jiwa di masyarakat oleh Dirkeswa
Kemenkes RI dan Pijar Psikologi).

F. Strategi Penanggulangan Kesehatan Mental


Saat ini telah terjadi pergeseran paradigma dalam gerakan kesehatan mental yang
lebih mengedepankan pada aspek pencegahan gangguan mental serta bagaimana peran
komunitas dalam membantu optimalisasi fungsi mental individu.6 Konsep dan
pandangan terhadap kesehatan jiwa serta permasalahannya mempengaruhi penanganan
mulai dari kebijakan hingga tindakan yang dilakukan (Siswanto, 2007).
Kesehatan mental, seperti aspek kesehatan lainnya, dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor sosioekonomi yang perlu ditangani melalui strategi komprehensif untuk promosi,
pencegahan, pengobatan, dan pemulihan dalam pendekatan keseluruhan pemerintah.
WHO mencanangkan visi dari rencana aksi kesehatan mental 2013–2020 yaitu dunia
dimana kesehatan mental dihargai, dipromosikan dan dilindungi, gangguan mental
dicegah dan orang yang terkena gangguan ini dapat melakukan berbagai hak asasi
manusia dan mendapat akses kualitas tinggi, kesehatan sesuai budaya dan pelayanan
sosial pada waktu yang tepat untuk mendorong pemulihan, yang memungkinkan untuk
mencapai kesehatan pada level tertinggi dan berpartisipasi sepenuhnya dalam
masyarakat dan di tempat kerja, bebas dari stigmatisasi dan diskriminasi (WHO, 2013).
Secara keseluruhan, tujuan (goal) rencana aksi kesehatan mental ini adalah untuk
mempromosikan kesehatan mental, mencegah gangguan mental, menyediakan
pelayanan, meningkatkan pemulihan, mempromosikan Hak Asasi Manusia dan
menurunkan kematian, kesakitan, dan kecacatan pada orang dengan gangguan mental.
Rencana aksi tersebut secara spesifik memiliki tujuan (objectives) berikut (WHO, 2014):
1. Untuk memperkuat kepemimpinan dan tata kelola yang efektif untuk
kesehatan mental.

17
2. Untuk memberikan layanan kesehatan mental dan sosial yang komprehensif,
terpadu dan responsif dalam pengaturan berbasis komunitas.
3. Untuk menerapkan strategi untuk promosi dan pencegahan dalam kesehatan
mental.
4. Untuk memperkuat sistem informasi, bukti dan penelitian untuk kesehatan
mental.

Target global yang ditetapkan untuk setiap tujuan memberikan dasar bagi tindakan
keseluruhan dan pencapaian yang terukur terhadap tujuan global. Rencana aksi
bergantung pada enam prinsip dan pendekatan lintas sektoral berikut:

1. Cakupan kesehatan universal (Universal Health Coverage): Tanpa


memandang usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, ras, etnis atau orientasi
seksual, dan mengikuti prinsip keadilan, orang dengan gangguan mental harus
dapat mengakses, tanpa risiko memiskinkan diri mereka sendiri, layanan sosial
dan kesehatan esensial yang memungkinkan mereka mencapai pemulihan dan
standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai.
2. Hak asasi manusia (Human Rights) : Strategi kesehatan mental, tindakan dan
intervensi untuk pengobatan, pencegahan dan promosi harus dilakukan sesuai
dengan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas dan instrumen hak asasi
manusia regional dan internasional lainnya.
3. Praktik berbasis bukti (Evidence-Based Practice): Strategi kesehatan mental
dan intervensi untuk pengobatan, pencegahan, dan promosi harus dilakukan
berdasarkan bukti ilmiah dan/atau praktik terbaik, dengan mempertimbangkan
budaya.
4. Pendekatan perjalanan kehidupan (Life Course Approach): Kebijakan,
rencana, dan layanan untuk kesehatan mental perlu mempertimbangkan
kebutuhan kesehatan dan sosial di semua tahapan perjalanan hidup, termasuk
masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dewasa dan usia yang lebih tua.
5. Pendekatan multisektoral (Multisectoral Approach): Respons yang
komprehensif dan terkoordinasi untuk kesehatan mental membutuhkan
kemitraan dengan berbagai sektor publik seperti kesehatan, pendidikan,
ketenagakerjaan, yudisial, perumahan, sosial dan sektor lain yang relevan
termasuk sektor swasta.

18
6. Pemberdayaan orang dengan gangguan mental dan cacat psikososial: Orang
dengan gangguan mental dan cacat psikososial harus diberdayakan dan
dilibatkan dalam advokasi kesehatan mental, kebijakan, perencanaan, legislasi,
penyediaan layanan, pemantauan, penelitian, dan evaluasi.

Setiap negara dituntut agar memiliki kepekaan dan memprioritaskan kesehatan


mental. Advokasi dengan pemerintah diperlukan pada pendekatan pengembangan
pelayanan kesehatan mental yang costeffective dan berdasarkan komunitas. Ada
berbagai program dan kebijakan pencegahan berbasis bukti yang tersedia yang dapat
diimplementasikan. Disebutkan bahwa pencegahan dapat cost-effective untuk
menurunkan risiko gangguan kesehatan mental, dan menunjukkan hasil jangka panjang
yang signifikan.

Selain itu, perlu adanya peraturan kesehatan mental yang dapat meningkatkan akses
melalui pendanaan layanan kesehatan mental yang setara dengan layanan kesehatan
fisik, atau dengan menetapkan bahwa layanan perlu disediakan melalui pusat perawatan
kesehatan primer (puskesmas) dan di rumah sakit umum (WHO, 2009).

19
BAB III

PENUTUP

1. Kesehatan jiwa didefinisikan sebagai kondisi dimana seorang individu dapat


berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut
menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara
produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.\
2. Gangguan Jiwa disebabkan oleh banyak faktor yang saling berinteraksi satu sama
lain:
a. Pengalaman traumatis sebelumnya
b. Faktor biologi
c. Faktor psikoedukasi
d. Faktor koping
e. Stressor psikososial
f. Pemahaman dan keyakinan agama
3. Beberapa Strategi Penanggulangan Gangguan Mental
a. Cakupan kesehatan universal (Universal Health Coverage)
b. Hak asasi manusia (Human Rights)
c. Praktik berbasis bukti (Evidence-Based Practice):
d. Pendekatan perjalanan kehidupan (Life Course Approach)
e. Pendekatan multisektoral (Multisectoral Approach)
f. Pemberdayaan orang dengan gangguan mental dan cacat psikososial

20
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA. Program
Bebas Pasung. Dalam http://sehat-jiwa.kemkes.go.id. Diakses Oktober 2017. 2015.

Irwan. 2018. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Yogyakarta : Deepublish CV. Budi
Utama.

Jorm, A. F. 2011. Mental Health Literacy: Empowering the Community to Take Action for
Better Mental Health. Journal American Psychologist October 31: 1-13.

Jorm, A.F. 2000. Mental Health Literacy. Public Knowledge and Belief About Mental
Disorder. Journal Psychiatry. Nov;177:396-401.

Marcus, M.,&Westra, H. 2012. Mental Health Literacy in Canadian YoungAdults : Results of


a National Survey.Canadian Journal of CommunityMental HealthVol. 31 no. 1, 1-1

Nutbeam, D. 2000. Health Literacy as a Public Health Goal: a Challenge forContemporary


Health Education and Communication Strategies into the 21stCentury.JournalHealth
Promotion InternationalVol. 15, No. 3: 259-267.

Prabowo, E. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha medika.
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2018. Badan penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Siswanto. Kesehatan Mental; Konsep, Cakupan, dan Perkembangan. Yogyakarta: Penerbit


Andi. 2007.

Surjaningrum, E.R. 2012. Gambaran Mental Health Literacy Kader Kesehatan. Journal
INSANVol. 14 No. 03: 197-202.

21
Suryani. 2013. Makalah : Mengenal gejala dan penyebab gangguan jiwa. Disampaikan pada :
Seminar Nasional “Stigma terhadap orang gangguan jiwa” BEM Psikologi UNJANI.

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Jakarta. Republik Indonesia.

WHO. Prevention of Mental Disorders, Effective Intervention and Policy Options (Summary
Report). Geneva: World Health Organization collaboration with the Prevention
Research Centre of the Universities of Nijmegen and Maastricht. 2004.

WHO. Promoting mental health: concepts, emerging evidence, practice. Geneva: World
Health Organization. 2004.

WHO. Improving Health Systems and Services for Mental Health (Mental Health Policy and
Service Guidance Package). Geneva: World Health Organization. 2009.

WHO. International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems, 10th
Revision, edition 2010. Geneva: World Health Organization. 2010.

WHO. 2011. Strengthening Mental Health Systems through Community-based Approaches,


Report of an Informal Consultation. New Delhi India: World Health Organization
Regional Officer for South-East Asia.

WHO. 2013. Mental Health Action Plan 2013–2020. Geneva:World Health Organization.

WHO. Global Mental Health Atlas Country Profile 2014. Geneva: World Health
Organization. 2014.

WHO. Global Mental Health 2015. Geneva: World Health Organization. 2015.

WHO. 2016. Improving health system and service for mental health : WHO Library
Cataloguing-in-Publication Data

22

Anda mungkin juga menyukai