Anda di halaman 1dari 22

Penyakit Lepra dan Penatalaksanaannya

Febby Farihindarto

10-2011-246

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510 Telp 021-56942061 Fax. 021-5631731

Email : febbyfarihindarto@yahoo.co.id

Abstrak
Lepra atau yang juga dikenal dengan sebutan Morbus Hansen merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Lepra merupakan penyakit kronik dan menular
yang sering terjadi pada masyarakat yang kurang menjaga kebersihan dengan baik. Lepra sering
ditemukan pada daerah yang beriklim panas. Penyakit ini terutama menyerang saraf dan kulit.
Gejala pertama yang timbul adalah lesi berupa makula hipopigmentasi (bercak putih) yang
bersifat anastetik (baal/mati rasa). Kusta/lepra dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe indeterminate dan
tipe determinate. Terdapat berbagai macam pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi
apakah seseorang terkena penyakit lepra atau tidak, yaitu melalui pemerikasaan fisik dan
pemeriksaan penunjang (pemeriksaan Ziehl-Neelsen, pemeriksaan histopatologi serta
pemeriksaan serologik). Pengobatan yang adekuat serta deteksi dini dapat mencegah prognosis
yang buruk yang timbul dari komplikasi penyakit kusta.
Kata kunci: lepra, morbus hansen, mycobacterium leprae

Abstracts
Leprosy, also known as Morbus Hansen is a disease caused by the bacterium
Mycobacterium leprae. Leprosy is a chronic and infectious diseases that often occurs in people
who lack good hygiene. Leprosy is often found in hot climates. This disease mainly attacks the
nerves and skin. The first symptoms are lesions that arise in the form of macular
hypopigmentation (white spots) which is an anesthetic (numbness / numbness). Leprosy / leprosy

1
is divided into two types: type indeterminate and determinate type. There are a variety of tests
that can be performed to detect whether a person has leprosy or not, that is through physical
examination and investigations (Ziehl-Neelsen examination, histopathological examination and
serological). Adequate treatment and early detection can prevent poor prognosis arising from
complications of leprosy.
Keywords: leprosy, morbus hansen, mycobacterium leprae

Pendahuluan

Dari skenario 2 yang saya dapat dimana, seorang laki-laki berusia 40 tahun datang ke
poliklinik dengan keluhan berupa bercak putih pada lengan kiri sejak 1 bulan. Tidak ada rasa
gatal. Penyakit lepra atau kusta merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium Leprae. Lepra juga dikenal dengan sebutan penyakit Morbus Hansen. Lepra
merupakan penyakit kronik dan menular yang sering terjadi pada masyarakat yang kurang
menjaga kebersihan dengan baik. Lepra sering ditemukan pada daerah yang beriklim panas.
Penyakit ini terutama menyerang saraf dan kulit. Meskipun infeksius, tetapi derajat
infektivitasnya rendah. Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di
daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang
tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain yang dapat menekan
sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
Anamnesis
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan yaitu : identitas, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan anamnesis pribadi (meliputi
keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan dan lingkungan).
Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua atau anggota keluarga
terdekat sebagai penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama.
Identitas perlu ditanyakan untuk memastikan bahwa pasien yang dimaksud dan sebagai data
penelitian.
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien ke dokter
atau mencari pertolongan. Dari hasil anamnesa didapatkan data bahwa pasien datang dengan
keluhan adanya bercak putih pada lengan kiri, sejak 1 bulan, dan tidak ada rasa gatal.

2
Riwayat penyakit sekarang merupakan cerita yang kronologis, terperinci dan jelas
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat.
Berdasarkan skenario kasus dalam melakukan anamnesis, harus diusahakan data sebagai berikut:
- Waktu dan lamanya keluhan berlangsung, pada kasus ini keluhan berupa bercak putih
dan berlangsung sejak 1 bulan yang lalu.
- Sifat dan berat serangan (warna bercak, adanya gatal, adanya baal pada bercak/lesi).
- Lokalisasi dan penyebarannya (menetap, menjalar, berpindah-pindah).
- Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali.
- Faktor resiko dan pencetus serangan, termasuk faktor yang memperberat atau
meringankan keluhan.
- Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang mengalami keluhan yang sama.
- Riwayat perjalanan ke daerah endemis untuk penyakit tertentu.
- Perkembangan penyakit ( kemungkinan telah terjadi komplikasi atau gejala sisa).
- Apakah sudah pernah berobat sebelumnya.
Riwayat penyakit dahulu untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya
hubungan penyakit yang pernah ia derita dengan penyakitnya sekarang seperti tb, diabetes
mellitus.
Riwayat penyakit keluarga penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter,
familial, atau penyakit infeksi.
Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Perlu
ditanyakan apakah pasien mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari-hari seperti masalah
keuangan, pekerjaan dan sebagainya. Kebiasaan pasien yang harus ditanyakan kebiasaan
merokok, minum alkohol dan obat-obatan termasuk obat terlarang. Pasien yang sering
melakukan perjalanan juga harus ditanyakan tujuan perjalanan yang telah ia lakukan untuk
mencari kemungkinan tertular penyakit infeksi tertentu di tempat tujuan perjalanannya. Lalu
terakhir menanyakan tentang lingkungan tempat tinggal, termasuk keadaan rumah, sanitasi,
sumber air minum, ventilasi, tempat pembuangan sampah dan sebagainya.1
Pemeriksaan Fisik
Pertama kita lihat keadaan umum, kesadaran umum, cek TTV lalu kita lakukan
pemeriksaan seperti :

3
a. Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga harus
diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit.
b. Pemeriksaan sensibilitas dengan menggunakan alat-alat sederhana yaitu jarum untuk rasa
nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan es. Tes
tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang
dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara menggoresnya mulai dari tengah
lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit
berambut sedikit, sangat sukar untuk menentukannya.1 Pemeriksaan saraf tepi Untuk
saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak. Hanya
beberapa saraf yang diperiksa yaitu N. Ulnaris, N. Peroneus Komunis, N. Tibialis
posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan,
adanya pembesaran atau tidak, pembesaran reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan
yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau tidak. Pada tipe lepromatous (LL) biasanya
kelainan sarafnya bilateral dan menyeluruh sedangkan tipe tuberkoloid (TT) terlokalisasi
mengikuti tempat lesinya.1

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penujang diagnosis atau penunjang pemeriksaan fisik yang dapat
dilakukan pada penderita kusta adalah pemeriksaan bakteriologi (menggunakan kerokan
jaringan kulit), pemeriksaan histopatologik, pemeriksaan serologik.2

4
- Pemeriksaan bakteriologi
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan
mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA Ziehl Neelson. Untuk riset dapat
diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat yaitu kedua cuping
telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa
dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi
di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak M.
Leprae.2
- Pemeriksaan histopatologik
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid (TT) adalah
tuberkel (giant cell, limfosit) dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau
hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa (LL) terdapat lini tenang subepidermal
(subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang
jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow/sel busa dengan banyak basil.
Pada tipe borderline (BB) terdapat campuran unsur–unsur tersebut. Sel virchow adalah
histiosit yang dijadikan M. Leprae sebagai tempat berkembang biak dan sebagai alat
pengangkut penyebarluasan.2
Working Diagnosis
Morbus Hansen atau lepra atau yang paling terkenal dengan kusta dapat disebut
sebagai penyakit imunologik karena pada penderita ketidakseimbangan antara derajat
infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda. Penyakit ini di
sebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan
tubuh lainnya. Penyakit ini sering kali menimbulkan masalah yang sangat kompleks.
Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah
sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.2
Diagnosa dari lepra pada umumnya berdasarkan pada gejala klinis dan symptom.
Lesi kulit dapat bersifat tunggal atau multiple yang biasanya dengan pigmentasi lebih
sedikit dibandingkan kulit normal yang mengelilingi. Kadang lesi tampak kemerahan
atau berwarna tembaga. Beberapa variasi lesi kulit mungkin terlihat, tapi umumnya
berupa makula (datar), papula (menonjol), atau nodul. Kehilangan sensasi merupakan

5
tipikal dari lepra. Lesi pada kulit mungkin menunjukkan kehilangan sensasi pada pin
prick atau sentuhan halus.2,3
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakteriologis dan
histopatologis. Dari ketiga diagnosis klinis merupakan yang terpenting dan paling
sederhana. Sebelum diagnosis klinis ditegakkan, harus dilakukan anamnesa, pemeriksaan
klinik (pemeriksaan kulit, pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya). Untuk menetapkan
diagnosis klinis penyakit kusta harus ada minimal satu tanda utama atau cardinal sign.
Tanda utama tersebut yaitu :
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa. Kelainan dapat berbentuk bercak keputihan
(hipopigmentasi) atau kemerah-merahan (eritematosa) yang mati rasa (anestesi)
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf akibat
peradangan saraf (neuritis perifer) , bisa berupa :
a. Gangguan fungsi sensoris (mati rasa)
b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot, kelumpuhan
c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak
3. Adanya kuman tahan asam di dalam pemeriksaan kerokan jaringan kulit (BTA
positif).

Lepra tipe Indeterminate (I)


Lepra tipe Indeterminate ditemukan pada anak yang kontak dan kemudian
menunjukkan 1 atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda ukurannya dari 20
sampai 50 mm dan dapat dijumpai di seluruh tubuh. Makula memperlihatkan hipoestesia
dan gangguan berkeringat. Hasil tes lepromin mungkin positif atau negatif. Sebagian

6
besar penderita sembuh spontan, namun jika tidak diobati, sekitar 25% berkembang
menjadi salah satu tipe determinate.3
Lepra tipe Determinate
a) Lepra tipe Tuberkuloid (TT)
Manifestasi klinis lepra tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan kulit. Kelainan kulit
tersebut dapat berupa bercak-bercak hipopigmentasi yang berbatas tegas, lebar, kering,
serta hipoestesi atau anestesi dan tidak berambut. Kadang kalau ditemukan penebalan
saraf kulit sensorik di dekat lesi, atau penebalan pada saraf predileksi seperti n.
auricularis magnus. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam negatif,
sedangkan tes lepromin memperlihatkan hasil positif kuat. Hal ini menunjukkan adanya
imunitas seluler terhadap Mycobacterium leprae yang baik.3
b) Lepra tipe Borderline-Tuberkuloid (BT)
Kelainan kulit pada lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun biasanya
lebih kecil dan banyak serta eritematosa dan batasnya kurang jelas. Dapat dijumpai lesi-
lesi satelit. Dapat mengenai satu saraf tepi atau Iebih, sehingga menyebabkan kecacatan
yang luas. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif pada penderita
lepra BT (very few sampai 1+). Tes lepromin positif.2
c) Lepra tipe Borderline-Borderline (BB)
Kelainan kulit berjumlah banyak tidak simetris dan polimorf. Kelainan kulit ini
dapat berupa makula, papula dan bercak dengan bagian tengah hipopigmentasi dan
hipoestesi serta berbentuk anuler dan mempunyai lekukan yang
curam (punchedout). Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif,
dengan indeks bakteriologis 2+ dan 3+. Tes lepromin biasanya negatif. Lepra tipe BB
sangat tidak stabil.2
d) Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL)
Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa makula atau bercak-
bercak eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan ukuran yang
berbeda-beda dan tepi yang tidak jelas, dan juga papula, nodul serta plakat Kelainan saraf
ringan. Hasil pemeriksaan apusan kulit untuk basil tahan asam positif kuat, dengan indeks
bakteriologis 4+ sampai 5+. Tes lepromin negatif.3
e) Lepra tipe Lepromatosa (IL)

7
Kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi atau eritematosa yang berjumlah
banyak, kecil-kecil, dan simetris dengan sensasi yang normal, permukaannya halus serta
batasnya tidak jelas, dan papula. Saraf tepi biasanya tidak menebal, karena baru terserang
pada stadium lanjut. Dapat terjadi neuropati perifer. Mukosa hidung menebal pada
stadium awal, menyebabkan sumbatan hidung dan keluarnya hidung yang bercampur
darah. Lama-kelamaan sel-sel lepra mengadakan infiltrasi, menyebabkan penebalan kulit
yang progresif, sehingga menimbulkan wajah singa, plakat, dan nodul. Nodul juga dapat
terjadi pada mukosa palatum, septum nasi dan sklera. Alis dan bulu mata menjadi tipis,
serta bibir, jari-jari lengan dan kaki membengkak. Dapat terjadi iritis dan keratitis.
Kartilago dan tulang hidung perlahan-lahan mengalami kerusakan, menyebabkan hidung
pelana. Jika laring terinfiltrasi oleh sel lepra, maka akan timbul suara serak. Akhirnya
testis mengalami atrofi, dan kadang kala mengakibatkan ginekomastia. Hasil
pemeriksaan asupan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks bakteriologis 5+
sampai 6+. Tes lepromin selalu negative.3
Differensial Diagnosis
Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena menyebabkan
deformitas atau cacat tubuh. Kelainan kulit lain yang dapat menjadi diagnosis banding
dari lepra atau morbus Hansen atau yang lebih dikenal sebagai kusta yaitu tinea
versikolor, psoriasis, pitiriasis alba.2

Vitiligo Pitiriasis versikolor Pitiriasis alba


Lokasi tangan, wajah, dada ketiak, lipat paha, Ektermitas dan
bagian atas, mata, tungkai atas, leher, badan, bokong,
cuping hidung, muka dan kulit paha atas,
mulut, puting, kepala. punggung,
pusar, dan organ ekstensor lengan.
kemaluan. Lipatan
tubuh seperti

8
ketiak, paha,
selangkangan.

Gejala - Lesi berupa bercak Bercak multiple,


klinis yang berbatas tegas eritema,
disertai dengan depigmentasi.
skuama halus, lesi
tersebut mempunyai
ukuran, bentuk dan
warna yang
bermacam-macam,
gatal bila
berkeringat
Tabel 1. Differensial Diagnosis1

Pitiriasis versikolor Pitiriasis alba

Etiologi
Penyebab kusta adalah Mycobacterium Leprae, yang ditemukan oleh warga negara
Norwegia, G.A Armauer Hansen pada tahun 1873 dan sampai sekarang belum dapat
dibiakkan dalam media buatan. Kuman Mycobacterium Leprae berbentuk basil dengan
ukuran 3-8 Um X 0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta bersifat gram positif.
Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf
(Schwan cell) dan sistem retikulo endothelial.2

9
Epidemiologi
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya.
Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir
hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:4
a) Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah
mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
b) Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun,
keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak
yang lama dan berulang-ulang. Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini
bukanlah merupakan faktor yang penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di
terangkan mengenai penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti
halnya penyakit-penyakit terinfeksi lainnya.
Menurut Cocrane, terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit
dengan kasus-kasus lepra terbuka. Menurut Ress dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan
dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau
keganasan M. Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang
berperan dalam penularan ini adalah :
− Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
− Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
− Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
− Kesadaran sosial : Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara
dengan tingkat sosial ekonomi rendah
− Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat.
Patofisiologi
Penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Karena disebut sebagai
penyakit imunologik maka perjalanan penyakit ini melibatkan antigen dan antibody.
Kuman yang menyebabkan penyakit ini adalah Mycobacterium Leprae. Masuknya
Mycobacterium Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting
Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah
tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh
molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan

10
ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan
ligan sel T melalui CD28.4
Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi
menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi
Th1. Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis
makrofag (fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari Mycobacterium leprae akan
berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan
difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu
CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran
oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara
kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus
dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama
kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag
sudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk
granuloma.4
Gejala Klinis
Bila kuman M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang dapat timbul gejala klinis
sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem
imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah
tuberkuloid, dan bila keadaan SIS nya rendah akan memberikan gambaran lepromatosa.1-
4
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar
yakni tuberkuloid 100% merupakan tipe yang stabil. Jadi berarti tidak mungkin berubah
tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar yakni lepromatosa 100%, juga
merupakan tipe yang stabil dan tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan
Li disebut sebagai tipe borderline, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa.
BB adalah tipe campuran yang terdiri dari 50% tubekuloid dan 50% lepromatosanya. BT
dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya sementara BL dan Li lebih banyak lepromatosanya.
Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik kearah
TT maupun ke arah LL. Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat
di tabel di bawah ini:
Klasifikasi Zona Spektrum Kusta

11
Ridley dan TT BT BB BL LL
Jopling
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)
Puskesmas PB MB
Tabel 2. Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi1
Multibasiler berarti mengadung banyak kuman yaitu tipe LL, BL dan BB. Sedangkan
pausibasiler berarti mengadung sedikit kuman, yakni TT, BT dan I. Beberapa perbandingan dari
berbagai tipe tersebut dapat di lihat di tabel di bawah ini.
Sifat Lepromatosa (LL) Bordeline Mid Borderline (BB)
Lepromatosa (BL)
Lesi:
 Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat difus Plakat Dome-shaped (kubah)
Papul Papul Punched-out
Nodus
 Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung, kulit
praktis tidak ada masih ada kulit sehat sehat jelas ada
kulit sehat
 Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

 Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak


berkilat

 Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas

 Anestesia Tidak ada sampai Tak jelas Lebih jelas


tidak jelas
BTA
 Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
 Sekret hidung Bannyak (ada Biasanya negatif Negatif
globus)
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

12
Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler (MB)1

Sifat Tuberkuloid (TT) Bordeline Indeterminate


Tuberculoid (BT) (I)
Lesi
 Bentuk Makula saja, makula Makula dibatasi Hanya makula
dibatasi infiltrat infiltrat: infiltrat saja
 Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu Satu atau beberapa
dengan satelit
 Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi

 Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat

 Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat


tidak jelas

 Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak


jelas
BTA
 Lesi kulit Hampir selalu Negatif atau hanya Biasanya negatif
negatif 1+
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau
negative
Tabel 4. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta pausibasiler (PB)1
Kusta Indeterminate merupakan kusta yang paling ringan dimana hanya sangat
kecil atau terbatas mempengaruhi saraf dan kulit. Hanya ada sedikit bakteri yang
ditemukan dan dengan tes lepromin sering kali hanya memberikan positif lemah. Di
bawah mikroskop, dapat dilihat peradangan hanya minimal dan tidak tipikal. Kusta
Indeteminate sering kali hanya pada satu bagian tubuh, asimptomatik, berupa makula
hipopigmentasi dengan diameter beberapa cm. Kusta indeterminate sering kali ditemukan
di wajah, punggung, permukaan ekstensor dari ekstremitas. Bila multipel lesi yang terjadi
penyebarannya tidak simetris. Sensasi kulit mungkin sedikit berkurang namun fungsi dari
kelenjar keringat masih normal. Penebalan saraf biasanya hanya ditemukan pada satu
saraf.5

13
Kusta Lepromatous merupakan kusta yang ditandai dengan adanya infeksi M.
leprae yang progresif dimana banyak bakteri yang ditemukan pada lesi kulit. Lesi kulit
umumnya asimetris, kecil, bersinar dan umunya konfluen. Plaq infiltrat memiliki batas
yang tidak tegas dengan warna merah kecoklatan, dimana sering kali berubah tergantung
warna kulit penderita. Tempat yang sering terkena adalah wajah dengan infiltrasi di
bagian depan kepala, dagu, hidung, dan telinga yang sering mengakibatkan deformitas
pada wajah yang disebut leonine facies (lion’s face). Tanda lain yang sering terjadi
adalah madarosis. Dengan berkembangnya penyakit anestesia dan kekeringan kulit juga
akan semakin parah. Daerah tubuh yang hangat akan terhindar seperti bagian axilla,
inguinal, perineum, dan scalp.
Mukosa hidung merupakan bagian yang hampir selalu terserang. Kelainan kronik
dari hidung seperi hemorrhagic sering kali ditemukan pada penderita kusta di daerah
endemis. Serangan M. leprae pada hidung akan menganggu proses pernafasan dan
merusak septum nasal dan mengakibatkan hidung kehilangan substansinya (clover leaf
nose). Mukosa lain seperti bibir, mulut dan laring juga dapat terkena infiltrasi dari M
leprae. Infiltrasi juga dapat mengenai mata dibagian konjungtiva, kornea dan badan
ciliary.5
Kerusakan saraf perifer umumnya muncul dalam waktu yang lama. Kerusakan
saraf tepi mulanya mengenai saraf sensoris dan umumnya simeteris di bagian ekstensor.
Kehilangan sensoris kemudian secara perlahan akan menyebar ke bagian tengah tubuh.
Rasa sakit jarang terjadi karna infeksi M. leprae pada saraf sensoris. Saraf otonom juga
terkena dengan ditandai adanya kehilangan fungsi dari kelenjar keringat dan kelainan
vasomotor pembuluh darah tepi. Pada lepromatous leprosi, terkenanya saraf motor yang
besar lebih sering terjadi dibandingkan lepra tipe tubekuloid. Pada keadaan lepra
lepromatosa yang lebih berat bisa mengakibatkan tangan dan kaki mengecil, karena
terjadinya osteoporosis dengan fraktur kompresi. Adanya trauma yang tidak disadari
penderita dan infeksi sekunder juga bisa mengakibatkan kecacatan. Beberapa pasien
memiliki limfeadenopathy. Infiltrat kadang-kadang dapat ditemukan pada testis yang bisa
mengakibatkan kemandulan dan gynecomastia.5
Lepra tuberkuloid merupakan lepra yang terjadi dengan jumlah lepra yang tidak
terlalu banyak di tubuh dan keadaan sistem imun seluler tubuh penderita yang masih

14
baik. Kerusakan saraf juga terjadi tetapi tidak sistemik. Lesi yang terjadi umumnya
asimetris, jumlahnya sedikit, dan menyebar dengan sangat pelan. Mulanya bewarna
merah atau merah keunguan, dan berupa makula atau papula. Kemudai secara perlahan
membesar, dengan batas yang tegas, dan memperlihatkan bagian tengah yang bersih
dengan atrofi yang halus, bersisik dan hipopigmentasi. Predileksi lesinya di bagian
gluteus, punggung, wajah dan ekstensor ekstremitas. Hilangnya sensasi, anhidrosis dan
hilangnya rambut juga terjadi.
Inflamasi granul akan mengakibatkan kerusakan pada saraf tepi yang
mengakibatkan hilangnya fungsi saraf tersebut. Gangguan fungsi sensoris merupakan
kelainan saraf yang awal, selanjutnya dapat mengakibatkan paralisis dan akhirnya
mengakibatkan atrofi otot. Kerusakan pada saraf wajah juga dapat terjadi dan
mengakibatkan kelainan ekpresi wajah dimana wajahnya menjadi tidak berekspresi atau
Antonine facies. Paralisis pada otot-otot vocal juga dapa terjadi.5
Masalah yang terberat daripada kusta tuberkuloid adalah bila kerusakan saraf
mencapai di bagian saraf yang menggerakan ekstremitar. Saraf yang terkenan umumny
adalah saraf yang lebih superficialis dan mudah terkena trauma. Kerusakan saraf bisa
mengenai N. ulnaris dan N medialis yang mengakibatkan terjadinya perubahan tangan
yang berbentuk clawing lateral maupun medial. Pada kaki, bila yang terkena adalah sara
peroneal akan mengakibatkan terjadinya foot drop dan bila mengenai saraf tibialis
posterior akan mengakibarkan terjadinya anestesia pada telapak kaki. Sebagai hasil
kerusakan saraf dapat mengakibatkan kulit yang kering, proses penyembuhan yang tidak
berfungsi sebagaimana mestinya, paralisis otot, respon terhadap trauma yang kecil.
Dalam keadaan ini bila ada trauma kecil seperti menginjak batu, atau bahkan karna
trauma panas pada kulit, penderita tidak akan merasakan apa-apa sehingga bisa
mengakibatkan terjadi kerusakan yang besar.
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasiler dan
pausibasiler. Yang termasuk tipe multibasiler adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi
Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasiler adalah
tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.1
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang
dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan

15
jaringan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada
tipe-tipe tersebut disertai dengan BTA positif, maka akan dimasukkan kedalam kusta
MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun
klasifikasi klinisnya dengan BTA positif harus diobati dengan rejimen MDT-MB.1
Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan, pada
tahun 1995. WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan hitung lesi
kulit dan saraf yang terkena. Hal ini dapat di lihat di tabel di bawah ini.

Sifat PB MB
1. Lesi kulit  1 – 5 lesi  Lebih dari 5 lesi
(makula datar, papul yang  Hipopigmentasi/erit  Distribusi lebih
meninggi, nodus) ema simetris
 Distribusi tidak  Hilangnya sensasi
simetris kurang jelas
 Hilangnya sensasi
yang jelas
2. Kerusakan saraf  Hanya satu cabang  Banyak cabang
(menyebabkan hilangnya saraf
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh saraf
yang terkena)
Tabel 5. Bagan klinis menurut WHO (1995)
Antara diagnosa secara klinis dan secara histopatologik, ada kemungkinan
terdapat persamaan maupun perbedaan tipe. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis
seseorang harus didasarkan kepada hasil pemeriksaan kelainan klinis seluruh tubuh orang
tersebut. Sebaiknya jangan hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab ada
kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai dan
sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan kulit) pun dapat berbeda tipenya. Begitu juga
dengan dasar diagnosis histopatologik, tergantung pada beberapa tempat dan dari tempat
mana biopsinya di ambil. Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klini, dimulai
dengan inspkesi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan dengan alat yang sederhana

16
misalnya jarum, kapas, tabung rekasi masing-masing air panas dan air dingin, pensil tinta
dan sebagainya.1
Kelainan kulit pada penyakti kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk
makula saja, infiltrat saja atau keduaya. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain ada
tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis, mesikpun tidak selalu
jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri,
kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut baruah
pengujian terhadap rasa suhu yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung
reaksi.
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom di daerah lesi yang
dapat jelas dan dapat pula tidak, yang dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda
Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada
gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian
tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-kadang
dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit sangat sukar
menentukannya. Gangguan fungsi motoris diperiksan dengan menggunakan Voluntary
Muscle Test (VMT).1
Kusta yang mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,
konsitensi, ada atau tidaknya nyeri spontan dan nyeri tekan. Hanya beberapa saraf
superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N.
radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis dan N. tibialis posterior. Bagi tipe
ke arah lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral atau menyeluruh, sedang bagi tipe
tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.1
Deformitas atau cacat yang disebabkan oleh kusta dapat dibedakang menjadi 2
yaitu deformitas primer dan deformitas sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung
oleh granuloma yang terbentuk sebagi reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan
merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-
tulang jari, dan wajah. Cacat sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer,
terutama kerusakan pada saraf baik saraf sensorik, motorik dan saraf autonom. Cacat
sekunder dapat berupa kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.1

17
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat
paralisis N. orbikularis palpebarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus
yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-
sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.
Infiltrat granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,
kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe
lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan hormonal dan oleh karena
infiltrasi granuloa pada tubulus seminiferus testis.1
Untuk dapat membuat diagnosis klinis dan tipenya, perlu diketahui terlebih
dahulu cara membuat diagnosis kedua bentuk polat TT dan LL yang telah diuraikan
secara sistematis pada tabel 1 diatas.
Kusta dapat dibedakan menjadi kusta histoid dan kusta tipe neural:
a. Kusta Histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepormatosa yang pertama
dikemukakan oleh WADE pada tahun 1963. Secara klinis berbentuk nodus yag
berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya
timbul sebagai kasus relaps sensitif atau relaps resisiten.
b. Kusta tipe neural
Kusta tipe neural murni mempunayi tanda sebagai berikut:
 Tidak ada dan tidak pernah ada lesi kulit
 Ada satu atau lebih pembesara saraf
 Ada anestesia dan atau paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang disarafinya
 Bakterioskopik negatif
 Tes Mitsuda umumnya positif
 Untuk menentukan tipe, biasanya tipe tuberkuloid, borderline atau tipe
nonspesifik, harus dilakukan pemeriksaan histopatologik saraf.
Penatalaksanaan
a. Obat Utama:6
1) DDS (Diamino Difenil Sulfon)

18
Merupakan obat pertama yang dipakai sebagai monoterapi. Seringkali
dapat menyebabkan resistensi (pertama kali dibuktikan tahun 1964). Resistensi
terhadap DDS ini yang memicu dilakukannya MDT (Multi Drugs Treatment).
2) Rifampisin
Dosis antikusta adalah 10 mg/kg BB. Dipakai sebulan sekali dalam MDT
karena efek sampingnya. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah
hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi kulit,
dan warna kemerahan pada keringat, air mata, dan urin.
3) Klofazimin (lamprene)
Pada kasus kusta yang dimonoterapi dengan DDS dapat terjadi
relaps/kambuh. Dosis yang dapat digunakan adalah 1x50 mg setiap hari, atau 100
mg selang sehari, atau 3 x 100 mg selama seminggu.
Efek sampingnya dapat berupa warna kecoklatan pada kulit, warna
kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal ini disebabkan klofazimin
merupakan zat warna dan dideposit dalam sel sistem retikuloendotelial.
• MDT PB dewasa: ( Pengobatan 6 bulan)
Hari pertama
- Rimpamfisin 2 kapsul (300 mg, 2 x 1)
- DSS 1 Kapsul (100mg, 1 x 1)
Hari Ke 2-28
- DSS 1 tablet/hari (100 mg)
• MDT MB dewasa : (Pengobatan 12 bulan)

Hari pertama
- Rimpamfisin 2 tablet (300 mg)
- Lampren 3 tablet (300mg)
- DSS 1 tablet (100mg)
Hari ke 2-28
- Lampren 1 tablet (50 mg)
- DSS 1 tablet (100 mg)
Komplikasi

19
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan
infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari-jari ataupun ekstremitas
bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis,
terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang
berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas.
Prognosis
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah
manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini
membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah,
prodratis,oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi.
Pencegahan
1) Pencegahan primer1
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :
a. Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum
terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau
dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu
dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan
petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan,
kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat
memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta.
Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita
dan masyarakat.
b. Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit
kusta seperti pemberian imunisasi. Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996
didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan
perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat
memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian
penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian
beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut.

20
2) Pencegahan sekunder1
Pengobatan pada penderita kusta pada penderita kusta untuk memutuskan mata
rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau
mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi
drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut
merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain.
3) Pencegahan tersier1
Pencegahan cacat kusta terdiri atas :
a. Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita
sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk
mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.
b. Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk
mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah
mengalami gangguan fungsi saraf.
Kesimpulan
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman micobakterium
leprae. Kusta dibagi dalam 2 bentuk, yaitu kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid) dan kusta
bentuk basah (tipe lepromatosa). Micobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA)
bersifat obligat intraseluller, menyerang saraf perifer, kulitdan organ lain seperti mukosa
saluran napas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Micobakterium
leprae masuk kedalam tubuh manusia, jika orang tersebut memiliki respon imunitas yang
tinggi maka kusta akan lebih mengarah pada tuberkuloid, namun jika respon imunitas dari
tubuh orang tersebut rendah maka kusta akan lebih mengarah pada lepromatosa. Manifestasi
klinik dari penderita kusta adalah adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Penularan penyakit kusta sampai saat ini hanya diketahui melalui pintu keluar kuman kusta
yaitu melalui sekret hidung dan kontak langsung dengan kulit penderita. Selain itu ada
faktor-faktor lain yang berperan dalam penularan ini diantaranya: usia, jenis kelamin, ras,
kesadaran sosial dan lingkungan. Untuk pencegahan penyakit kusta terbagi dalam 3 tahapan
yaitu : pencegahan secara primer, sekunder dan tersier.

21
Daftar Pustaka
1. Bickley, Lynn S. Buku saku pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan bates. Ed 5. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2008; hal.64-7.
2. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Edisi 6.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2010; hal. 73-83.
3. Legendre DP, Muzny CA, et al. Hansen’s disease (leprosy). Medscape reference: 2012;
hal. 27-37.
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Edisi VI. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC:
2006; hal. 1580-98.
5. Montoya D, Moddlin RL. Learning from leprosy : insight into the human innate immune
response. Vol. 105. Los Angeles: Elsevier: 2010; hal 1-24.
6. Sardjono OS. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 2007; hal. 633-37.

22

Anda mungkin juga menyukai