Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Seiring dengan meningkatnya umur harapan hidup (UHH) sebagai hasil


dari pembangunan kesehatan, maka pada tahun 2020 diperkirakan akan terjadi
peningkatan jumlah dan proporsi penduduk perempuan yang berusia di atas 50
tahun dengan jumlah 29.872.900 jiwa atau 11,42 % dari total  penduduk
Indonesia1 . Pada kelompok usia ini, perempuan mengalami menopause yang
dapat mengganggu aktivitas dan dapat menurunkan kualitas hidup. Bahkan ketika
memasuki usia 40 tahun, perempuan kerap mengalami menstruasi anovulatoar
yang berkaitan dengan fungsi ovarium. Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian
khusus agar perempuan pada kelompok usia ini tetap dapat produktif.

Menopause adalah suatu titik waktu dimana haid seorang wanita terhenti
sama sekali yang kemudian diikuti dengan adanya amenorea sekurang-kurangnya
12 bulan berturut-turut2 . Rata-rata umur wanita mengalami menopause adalah
51,5 tahun3 , dan memasuki masa  perimenopause (±6 tahun sebelum
menopause)2,3  di awal usia 40 tahun4 . Menurut Badan Pusat Statistika pada tahun
2005 terdapat penduduk wanita usia 40-54 tahun dengan jumlah 18.388.905 jiwa
di Indonesia 5 . Di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2005 terdapat 2.997.091 jiwa
penduduk wanita usia 40-54 tahun6 , dan 78.751 jiwa diantaranya berada di
Kabupaten Banjarnegara dengan rasio 9,212% dari total penduduk kabupaten7 .

Sebuah penelitian tentang kualitas hidup (quality of life/QOL) menemukan


bahwa status kesehatan wanita di masa perimenopause dan  postmenopause lebih
8
buruk jika dibandingkan dengan wanita premenopause. Pada masa
perimenopause, mulai terjadi penurunan hormon estrogen yang diiringi dengan
naiknya hormon gonadotropin secara perlahan dan dapat disertai adanya gejala
klinik 2 . Hal ini mengakibatkan terjadinya sekumpulan keluhan dan gejala di
masa perimenopause yang disebut sindroma perimenopause. Penurunan estrogen
akan mengakibatkan beberapa keluhan yang kerap terjadi selama masa
perimenopause antara lain adanya kelainan menstruasi, penurunan kesuburan,
gangguan psikologis, gangguan vegetatif, gangguan seksualitas, gangguan tidur,
1
inkontinensia urine, prolaps organ  pelvis, dan inkontinensia alvi4 . Empat gejala
yang paling sering ditemukan antara lain hot flushes (68,9%), gangguan tidur
(68,4%), depresi (55,2%), dan iritabilitas (51,6%).9 Adanya sindroma
perimenopause tersebut akan dapat memperburuk Quality of Life (QOL) wanita di
masa perimenopause.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Istilah menopause mengacu pada waktu setelah 1 tahun terhentinya
menstruasi. Postmenopause menggambarkan tahun-tahun berikutnya setelah
menopause. Rata-rata wanita mengalami periode akhir menstruasi pada usia
51,5 tahun, tapi terhentinya haid karena kegagalan ovarium dapat terjadi pada
usia berapapun. Kegagalan ovarium prematur mengacu pada terhentinya haid
sebelum usia 40 tahun dan dikaitkan dengan peningkatan kadar FSH (Follicle
Stimulating Hormone). Sedangkan perimenopause atau klimakterik mengacu
pada waktu akhir tahun reproduksi, biasanya dimulai pada akhir usia 40 tahun
hingga awal 50 tahun. Secara khas, dimulai dengan ketidakteraturan siklus
haid hingga 1 tahun setelah terhentinya haid permanen.1 Menopause didahului
oleh suatu periode kegagalan ovarium progresif yang ditandai oleh
peningkatan daur irregular dan kemerosotan kadar estrogen.2

2.2 EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data, terjadi peningkatan jumlah wanita Indonesia yang
memasuki masa menopause tiap tahunnya. Sensus penduduk tahun 2000,
jumlah perempuan berusia di atas 50 tahun baru mencapai 15,5 juta jiwa atau
7,6 % dari total penduduk, sedangkan tahun 2020 jumlahnya diperkirakan
meningkat menjadi 30,0 juta jiwa atau 11,5 % dari total penduduk.3
Syndrome perimenopause banyak dialami oleh wanita hampir diseluruh
dunia, sekitar 70-80% wanita di Eropa, 60% wanita di Amerika, 57% wanita
di Malaysia, 18% wanita di Cina, dan 10% wanita di Jepang.Data dari World
Health Organization (WHO), setiap tahunnya sekitar 25 juta wanita di
seluruh dunia diperkirakan mengalami menopause. WHO juga mengatakan
pada tahun 1990, sekitar 467 juta wanita berusia 50 tahun keatas
menghabiskan hidupnya dalam keadaan pasca menopause, dan 40% dari
wanita pasca menopausetersebut tinggal di negara berkembang dengan usia

3
rata-rata mengalami menopausepada usia 51 tahun. Menurut WHO, di Asia
pada tahun 2025 jumlah wanita menopauseakan melonjak dari 107 juta jiwa.
Wanita Indonesia yang memasuki masa perimenopousetahun 2013 sebanyak
7,4 % dari populasi. Jumlah tersebut diperkirakan naik sebesar 14 % pada
tahun 2015.4

2.3. FISIOLOGI
Haid terjadi melalui hasil kerja sama dari sumbu Hipotalamus-
Hipofisis-Ovarium (H-H-O). Siklus haid dimulai dari Hipotalamus yang
menghasilkan GnRH (Gonadotropin Releasing Hormon) yang kemudian
akan ke Hipofisis anterior untuk merangsang pengeluaran FSH (Follicle
Stimulating Hormone) yang meningkat pada fase pematangan sel telur, dan
LH (Luteinizing Hormone) yang meningkat saat sel telur akan berovulasi.
Pada awal siklus, sekresi gonadotropin meningkat secara perlahan, dengan
sekresi FSH lebih dominan dibanding LH.Pada awal siklus didapatkan
beberapa folikel kecil, folikel pada tahap antral yang sedang tumbuh.Pada
folikel didapatkan dua macam sel, yaitu sel teka dan sel granulosa yang
mengelilingisel telur, oosit.2,5
Pada awal siklus (awal fase folikuler), reseptor LH hanya dijumpai pada
sel teka, sedangkan reseptor FSH hanya ada di sel granulosa.LH memicu sel
tekauntuk menghasilkan hormon androgen, selanjutnya hormon androgen
memasuki sel granulosa.FSH dengan bantuan enzim aromatase mengubah
androgen menjadi estrogen (estradiol) di sel granulosa.Pada awal fase
folikuler, FSH berperan dalam memicu sekresi inhibin B dan aktivin di sel
granulosa.Inhibin B memacu LH meningkatkansekresi androgen di sel teka
dan juga memberikan umpan baliknegatif terhadap sekresi FSH oleh
hipofisis.Sementara itu, aktivin membantu FSHmemicu sekresi estrogen di
sel granulosa.Androgen diubah menjadi estrogen di sel granulosa dengan
bantuan enzim aromatase. FSH akan memicu proliferasi sel granulosa,
sehingga folikel makin membesar.2,5

4
Pada hari ke 5-7 siklus, kadar estrogen dan inhibin B cukup tinggi,
sehingga secara bersama keduanya menekan sekresi FSH, yang
mengakibatkan hanya satu folikel yang paling “siap”. Folikel tersebut
memiliki penampang yang paling besar dan mempunyai sel granulosa paling
banyak, yang terus bertumbuh (folikel dominan). Sedangkan, folikel-folikel
yang lebih kecil dan “tidak siap” akan mengalami atresia. Folikel dominan
akan terus membesar dan menyebabkan kadar estrogen terus meningkat. Pada
kadar estrogen 200 pg/ml yang terjadi sekitar hari ke-12, akan memacu
sekresi LH, sehingga terjadi lonjakan sekresi LH.Pada akhir masa siklus
folikuler, sekresi LH lebih dominan dari FSH.2,5
Pada pertengahan siklus, reseptor LH juga mulai didapatkan di sel
granulosa.Lonjakan LH pada pertengahan siklus berperan dalam menghambat
sekresi Oocyte Maturation Inhibitor (OMI)yang dihasilkan oleh selgranulosa,
sehingga miosis II oosit dimulai (maturasi oosit). Selain itu, lonjakan LH
tersebut juga berperan dalam memicu sel granulosa untuk menghasilkan
prostaglandin intrafolikuler yang akan menyebabkan kontraksi dinding folikel
dan membantu dinding folikel untuk “pecah”, sehingga oosit dapat keluar saat
fase ovulasi. LH juga memicu luteinisasi tidak sempurna dari sel granulosa
yang akan menyebabkan sekresi progesteron sedikit meningkat.2,5
Kadar progesteron yang sedikit meningkat akan memacu sekresi LH
dan FSH, sehingga kadar FSH akan meningkat kembali (sekresi LH tetap
lebih dominan).Selain itu, berperan pula dalam mengaktifkan enzim
proteolitik, mengubah plasminogen menjadi plasmin yang membantu dalam
“menghancurkan” dinding folikel.Kadar FSH yang meningkat pada
pertengahan siklus juga membantu mengaktifkan enzim proteolitik dan
membantu dinding folikel "pecah". Selain itu, peningkatan kadar FSH
tersebut bersama estrogen membentuk reseptor LH di sel granulosa, sehingga
reseptor LH yang tadinya hanya berada di sel teka, pada pertengahan siklus
juga didapatkan di selgranulosa. Pada saat reseptor LH mulai terbentuk di sel
granulosa, inhibin A mulaiberperan menggantikan inhibin B, di mana inhibin
A berperan selama fase luteal.2,5

5
Dampak stimulus gonadotropin pada ovarium salah satunya adalah
folikulogenesis. Selama satu siklus pertumbuhan folikel secara berurutan
mulai dari awal siklus dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase folikuler, fase
ovulasi, dan fase luteal.5

a. Fase Folikuler
Panjang fase folikuler umumnyaberkisar antara 10 - 14 hari. Selama
fase folikuler, terjadi proses steroidogenesis, folikulogenesis dan
oogenesis/meiosis yang saling terkait. Oogenesis/meiosis terhenti selama fase
folikuler karena adanya OMI (Oocyte Maturation Inhibitor).Pada awal fase
folikuler didapatkan beberapa folikel antral yang tumbuh, tetapi pada hari ke
5 - 7 hanya satu folikel dominan yang tetap tumbuh akibat sekresi FSH yang
menurun.Folikulogenesis diawali dari pembentukan folikel primordial.2,5
Folikel Primordial. Folikel primordial dibentuk sejak pertengahan
kehamilan sampai beberapa saat pascapersalinan.Padausia kehamilan 16 –20
minggu, janin perempuan mempunyai oosit 6 - 7 juta, jumlah terbanyak yang
pernah dimilikinya sepanjang hidupnya. Seluruh folikelprimordial tersebut
disimpan sebagai cadangan ovarium (ovarian reserve).Sejak pertengahan
kehamilan, sekelompok folikel primordial tumbuh (initial recruitment), tetapi
pertumbuhan folikel segera terhenti, dan berakhirdengan atresia. Kelompok
folikelprimordial masuk ke fase pertumbuhan tersebut, terjadi secara terus-
menerus tanpa tergantung pada gonadotropin, sehingga folikel primordial
yang tersimpan dalam cadangan ovarium semakin sedikit, tinggal 1 - 2 juta
saat janin dilahirkan, 300 - 500 ribu saat menarke, dan sangat sedikit saat
menopause.2,5

6
Gambar 1. Tahapan pertumbuhan folikel5

Saat menarke, sumbu Hipotalamus-hipofisis-ovarium aktif kembali dan


tetap bekerja secara teratur dan siklik, sehingga gonadotropin secara teratur
pula mulai memacu ovarium.Kelompok folikel primordial yang keluar dari
cadangan ovarium, masuk ke masa pertumbuhan bertepatan dengan awal
siklus, akan dipacu oleh gonadotropin (FSH, LH), akan terus bertumbuh
masuk padatahapanpertumbuhan folikel berikutnya. Sedangkan, sekelompok
folikel primordial yang pada saat masuk ke masa pertumbuhan tidak
bertepatan dengan awal siklus, akan mengalami atresia.2,5
Folikel Preantral.Pada folikel preantral, oosit membesar, dikelilingi
oleh membran(zona pellucida).Sel granulosa mengalami proliferasi dan
menjadi berlapis-lapis, sel teka terbentuk dari jaringan di sekitarnya. Sel

7
granulosa folikel preantral sudah mampu menangkap stimulus gonadotropin,
menghasilkan tiga macam steroid seks, yaitu estrogen (yang paling banyak
dihasilkan), androgen, dan progesteron.2,5
Folikel Antral.Stimulus FSH dan estrogen secara bersama
menghasilkan sejumlah cairan yang semakin banyak, yang kemudian
terkumpul dalam ruangan antara sel granulosa dan membentuk
ruangan/rongga (antrum).Pada tahap ini, terbentuklah folikel antral.Ruangan
yang berisi cairan folikel tersebut memisahkan sel granulosa menjadi dua, sel
granulosa yang menempel pada dinding folikel dan sel granulosa yang
mengelilingi oosit (kumulus ooforus).Pada tahap ini, cairan folikel antral
berisi FSH, estrogen dalam jumlah banyak, sedikit androgen dan tidak/belum
ada LH.2,5
Folikel Preovulasi. Folikel dominan yang terus tumbuh membesar
menjadi folikel preovulasi.Sel granulosa membesar, terdapat perlemakan, sel
teka mengandung vakuol, dan banyak mengandung pembuluh darah,
sehingga folikel tampak hiperemi.Oosit mengalami maturasi, lonjakan LH
yang terjadi menghambat OMI dan memicu meiosis II.Reseptor LH mulai
terbentuk di sel granulosa, dan lonjakan LH juga menyebabkan androgen
intrafolikuler meningkat yang memacu apoptosis sel granulosa pada folikel
kecil, sehingga menjadi atresia.Androgen yang tinggi juga memacu
peningkatan libido.2,5
Fase haid adalah fase yang ditandai oleh pengeluaran darah dan sisa
endometrium dari vagina.Fase ini terjadi bersamaan dengan pengakhiran fase
luteal ovarium dan dimulainya fase folikular. Saat korpus luteum
berdegenerasi karena tidak terjadi fertilisasi dan implantasi ovum yang
dibebaskan selama siklus sebelumnya, kadar progesteron dan estrogen darah
turun tajam. Terhentinya sekresi kedua hormon ini menyebabkan lapisan
dalam uterus yang kaya vaskular dan nutrien kehilangan hormon-hormon
penunjangnya. Turunnya kadar hormon ovarium juga merangsang
pembebasan suatu prostaglandin uterus yang menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh-pembuluh endometrium, menghambat aliran darah ke

8
endometrium. Penurunan penyaluran O2 yang terjadi kemudian menyebabkan
kematian endometrium, termasuk pembuluh darahnya, sehingga terjadi
perdarahan yang membilas jaringan endometrium yang mati ke dalam lumen
uterus.Kontraksi ini membantu mengeluarkan darah dan sisa endometrium
dari rongga uterus keluar melalui vagina sebagai darah haid.Haid biasanya
berlangsung selama 5-7 hari setelah degenerasi korpus luteum, bersamaan
dengan bagian awal fase folikular ovarium.Penghentian efek progesteron dan
estrogen akibat degenerasi korpus luteum menyebabkan terkelupasnya
endometrium (haid) dan terbentuknya folikel-folikel baru di ovarium, di
bawah pengaruh hormon gonadotropik, yang kadarnya meningkat.Turunnya
sekresi hormon gonadotropik menghilangkan pengaruh inhibitorik dari
hipotalamus dan hipofisis anterior sehingga sekresi FSH dan LH meningkat
dan fase folikular baru dapat dimulai. Setelah lima sampai tujuh hari di bawah
pengaruh FSH dan LH, folikel-folikel yang baru berkembang telah
menghasilkan cukup estrogen untuk mendorong perbaikan dan pertumbuhan
endometrium.2,5

b. Fase Ovulasi
Lonjakan LH dipicu oleh kadar estrogen yang tinggi, yang dihasilkan
oleh folikel preovulasi. Ovulasi diperkirakan terjadi 24 - 36 jam pascapuncak
kadarestrogen (estradiol) dan 10 - 12 jam pascapuncak LH. Ovulasi terjadi
sekitar 34 - 36 jam pascaawal lonjakan LH.Lonjakan LH yang memacu
sekresi prostaglandin dan progesteron bersama dengan lonjakan FSH yang
mengaktivasi enzim proteolitik, menyebabkan dinding folikel "pecah" dan
membebaskan oosit yang kemudian ditangkap oleh fimbriae tuba dan siap
dibuahi. Kemudian, sel granulosa yang melekat pada seluruh dinding folikel
akanberubah menjadi sel luteal.5
Fase proliferatif siklus uterus dimulai bersamaan dengan bagian akhir
dari fase folikular ovarium saat endometrium mulai memperbaiki diri dan
berproliferasi di bawah pengaruh estrogen dari folikel-folikel yang baru
berkembang. Pasca haid, terdapat lapisan endometrium tipis dengan ketebalan

9
kurang dari 1 mm. Estrogen merangsang proliferasi sel epitel, kelenjar, dan
pembuluh darah di endometrium, meningkatkan ketebalan lapisan tersebut
menjadi 3 sampai 5 mm. Fase proliferatif didominasi oleh estrogen dan
berlangsung dari akhir haid hingga ovulasi. Kadar puncak estrogen memicu
lonjakan LH yang menjadi penyebab ovulasi.2,5

c. Fase Luteal
Setelah terjadinya ovulasi, maka akan terjadi penumpukan pigmen
kuning dan terjadi proses luteinisasi sehingga membentuk korpus luteum.3
hari pascaovulasi, sel granulosa terus membesar membentuk korpus luteum
bersama dengan sel teka dan jaringan stroma di sekitarnya.Korpus luteum
mampu menghasilkan baik progesteron, estrogen maupun androgen.Kadar
progesteron meningkat tajam segera pascaovulasi dan berguna untuk
mempertahankan ketebalan endometrium sehingga siap untuk diimplantasi
oleh blastula. Pada tahap ini, kadar FSH dan LH tetap rendah karena adanya
peningkatan kadar estrogen dan progesteron dalam darah. Kadar progesteron
dan estradiol mencapai puncaknya sekitar 8 hari pasca lonjakan LH,
kemudian menurun perlahan, bila tidak terjadi pembuahan. Bila terjadi
pembuahan, sekresi progesteron tidak menurun karena adanya stimulus dari
human Chorionic Gonadotrophin (hCG), yang dihasilkan oleh sel trofoblas
buah kehamilan.Korpus luteum akan mengalami regresi 9 - 11 hari
pascaovulasi dan juga terjadi penurunan sekresi progesteron sehingga tidak
ada lagi yang mempertahankan endometrium dan terjadilah menstruasi.2,5
Setelah ovulasi, ketika terbentuk korpus luteum baru, uterus masuk ke
fase sekretorik, atau progestasional, yang bersamaan waktunya dengan fase
luteal ovarium.Korpus luteum mengeluarkan sejumlah besar progesteron dan
estrogen.Progesteron mengubah endometrium tebal yang telah dipersiapkan
estrogen menjadi jaringan kaya vaskular dan glikogen, yang disebut fase
sekretorik, karena kelenjar endometrium aktif mengeluarkan glikogen, atau
fase progestasional (“sebelum kehamilan”), merujuk pada lapisan subur
endometrium yang mampu menopang kehidupan janin. Jika pembuahan dan

10
implantasi tidak terjadi, maka korpus luteum berdegenerasi dan fase folikular
dan fase haid baru dimulai kembali.2,5

Gambar 2. Perubahan hormon, siklus ovarium dan siklus endometrium2

2.4. PERUBAHAN FISIOLOGIS


Pada masa perimenopause, terjadi perubahan fisiologis yang meliputi
perubahan jumlah folikel ovarium, perubahan kadar steroid seks, dan
perubahan pada endometrium. Pada menopause terjadi penghabisan folikel
ovarium.Sejak lahir, folikel primordial berlanjut dalam pola yang tetap yang
terstimulasi secara mandiri. Penghabisan folikel ovarium mengalami
percepatan mulai pada usia 30-an akhir dan awal 40-an dan berlanjut hingga
titik di mana ovarium yang mengalami menopause hampir tidak memiliki

11
folikel. Rata-rata wanita dapat memiliki sekitar 400 peristiwa ovulasi selama
masa hidup reproduksinya. Proses atresia dari kelompok nondominan dari
folikel, merupakan peristiwa utama yang mengarahkan pada akhir aktivitas
ovarium dan menopause. Pada USG tranvaginal wanita dengan
perimenopause dan postmenopause ovum, nampak :

Gambar 3. Ovum perimenopause memiliki volume yang lebih besar dan


mengandung folikel, yang nampak multiple, kecil, kista anechoic berdinding
tipis.1

Gambar 4. Ovum postmenopause memiliki volume yang lebih kecil


tanpa struktur folikel.1

Selama masa reproduksi wanita, gonadotropin-releasing hormone


(GnRH) dilepaskan di media hipotalamus inferior, kemudian berikatan
dengan reseptor GnRH di pituitari gonadotropin untuk menstimulasi sekresi
luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH).
Gonadotropin tersebut menstimulasi produksi steroid ovarium, yaitu estrogen,
progesteron, dan inhibin. Kadar FSH sedikit meningkat dan memicu respon

12
peningkatan folikel ovarium diikuti peningkatan kadar estrogen. Pada masa
perimenopause, folikel ovarium mengalami percepatan penghabisan,
sehingga pada akhir perimenopause, persediaan folikel habis. Saat
ketidaksediaan folikel terus berlanjut, episode anovulasi menjadi lebih sering
terjadi, sehingga sekresi steroid seks ovarium berhenti.1,5
Perubahan pada endomerium wanita dengan perimenopause secara
langsung mencerminkan kadar estrogen dan progesteron sistemik dan dapat
berubah tergantung pada fase perimenopause. Selama perimenopause tahap
awal, endometrium dapat menunjukkan siklus ovulasi, yang umum
berlangsung pada masa tersebut. Pada perimenopause tahap akhir, anovulasi
merupakan hal yang biasa dan endometrium akanmengalami atrofi akibat
kekurangan stimulasi estrogen. 1,2,5

2.5. PERUBAHAN METABOLISME HORMONAL PADA MENOPAUSE


Pada wanita dengan siklus haid yang normal, estrogen terbesar adalah
estradiol yang berasal dari ovarium. Di samping estradiol terdapat pula estron
yang berasal dari konversi androstenedion di jaringan perifer. Selama siklus
haid pada masa reproduksi, kadar estradiol di dalam darah bervariasi. Pada
awal fase folikuler kadar estradiol berkisar 40-80 pg/ml. pada pertengahan
fase folikuler berkisar 60-100 pg/ml, pada akhir fase folikuler berkisar 100-
400 pg/ml dan pada fase luteal berkisar 100-200 pg/ml. Kadar rata-rata
estradiol selama siklus haid normal 80 pg/ml sedangkan kadar estron berkisar
antara 40-400 pg/ml.6
Memasuki masa perimenopause aktivitas folikel dalam ovarium mulai
berkurang. Ketika ovarium tidak menghasilkan ovum dan berhenti
memproduksi estradiol, kelenjar hipofise berusaha merangsang ovarium
untuk menghasilkan estrogen, sehingga terjadi peningkatan produksi FSH.
Meskipun perubahan ini mulai terjadi 3 tahun sebelum menopause,
penurunan produksi estrogen oleh ovarium baru tampak sekitar 6 bulan
sebelum menopause. Terdapat pula penurunan kadar hormon androgen seperti
androstenedion dan testosteron yang sulit dideteksi pada masa

13
perimenopause. Pada pascamenopause kadar LH dan FSH akan meningkat,
FSH biasanya akan lebih tinggi dari LH sehingga rasio FSH/ LH menjadi
lebih besar dari satu. Hal ini disebabkan oleh hilangnya mekanisme umpan
balik negatif dari steroid ovarium dan inhibin terhadap pelepasan
gonadotropin. Diagnosis menopause dapat ditegakkan bila kadar FSH lebih
dari 30 mlU/ml. 6
Kadar estradiol pada wanita pascamenopause lebih rendah
dibandingkan dengan wanita usia reproduksi pada setiap fase dari siklus
haidnya. Pada wanita pascamenopause estradiol dan estron berasal dari
konversi androgen adrenal di hati, ginjal, otak, kelenjar adrenal dan jaringan
adipose. Proses aromatisasi yang terjadi di perifer berhubungan dengan berat
badan wanita. Wanita yang gemuk mempunyai kadar estrogen yang lebih
tinggi dibandingkan wanita yang kurus karena meningkatnya aromatisasi di
perifer. Pada wanita pascamenopause kadar estradiol menjadi 13-18 pg/ml
dan kadar estron 30-35 pg/ml.6

2.6. DIAGNOSIS
a. MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala yang sering dijumpai berhubungan dengan penurunan
folikel ovarium, dan kemudian kehilangan estrogen adalah sebagai berikut :
Gejala Perubahan Pola Haid. Perubahan pola haid ini sering terjadi
pada masa perimenopause. Hanya 10% yang langsung tidak haid sama sekali.
Gejala perubahan pola haid ini berupa polimenorea, oligomenorea, amenore
dan metroragi. Bias bersifat fisiologis atau mungkin juga berasal dari keadaan
yang patologis.5
Pada saat ini sensitivitas ovarium terhadap gonadotropin berkurang
sehingga ovulasi mulai tak teratur. Estrogen akan lebih dominan, ditambah
lagi oleh pembentukan aromatisasi ekstraglanduler, menyebabkan
endometrium menerima rangsangan estrogen yang berkepanjangan, sehingga
terjadi proliferasi yang berlebihan dari kelenjar endometrium (hyperplasia).

14
Sebanyak 1-4% hyperplasia adenomatous dapat berkembang menjadi
karsinoma endometrium. 5
Gejala Vasomotor. Seseorang mengalami hot flash umumnya
berlangsung 1 sampai 5 menit, dan suhu kulit meningkat karena vasodilatasi
aliran darah perifer dan mencapai puncak biasanya pada menit ketiga dari
onset hot flash. Bersamaan dengan keluarnya keringat dan vasodilatasi
pembuluh perifer, metabolisme juga meningkat secara signifikan. Hot flash
juga dapat disertai dengan palpitasi, kecemasan, iritabilitas dan panik. Lima
sampai sembilan menit setelah hot flash dimulai, suhu inti menurun 0.1-0.9
o
C karena kehilangan panas panas akibat keringat dan vasodilatasi. Suhu kulit
bertahap kembali normal setelah 30 menit kemudian atau lebih.1
Penyebab pasti dari hot flash belum sepenuhnya dipahami. Teori yang
saat ini dipahami adalah adanya penyempitan sistem termoregulasi yang
dikaitkan dengan fluktuasi atau hilangnya produksi estrogen. Di masa lalu,
hot flashes dianggap terkait semata-mata karena penurunan estrogen; Namun,
tidak ada perubahan yang berarti pada pemberian estradiol selama hot flash.
Hot flash dikaitkan dengan variasi level estradiol dan FSH. Penurunan tingkat
estrogen dapat mengurangi kadar serotonin dan dengan demikian menaikkan
5-hydroxytryptamine (serotonin) (5-HT2A) reseptor di hipotalamus. Sebagai
respon, tambahan serotonin kemudian dilepaskan, yang dapat menyebabkan
aktivasi 5-HT2A reseptor itu sendiri. Aktivasi ini mengubah set point dan
berdampak pada hot flash. Terlepas dari penyebab, baik terapi hormone
maupun nonhormonal dapat membantu mengurangi gejala vasomotor.7
Atrofi Genitourinaria. Jaringan urogenital sensitif terhadap estrogen,
dan fluktuasi estrogen yang terjadi selama perimenopause, diikuti oleh kadar
rendah berkelanjutan setelah menopause, dapat membuat jaringan ini rapuh
dan menyebabkan gejala yang lebih berat. Berdasarkan beberapa studi
berbasis populasi dan masyarakat melaporkan bahwa sekitar 27-60% wanita
melaporkan gejala sedang hingga berat kekeringan vagina dan dyspareunia
yang dihubungkan dengan menopause. Selain atrofi vagina, penyempitan dan
pemendekan dari vagina dan prolaps rahim juga dapat terjadi, yang

15
menyebabkan tingginya tingkat dispareunia. Selain itu, saluran kemih
mengandung reseptor estrogen yang terdapat dalam uretra dan kandung
kemih, dan karena hilangnya estrogen pasien mungkin mengalami infeksi
saluran kemih. Tidak seperti gejala vasomotor, atrofi vulvovaginal tidak
membaik seiring waktu tanpa pengobatan.7
Kenaikan berat badan dan distribusi lemak. Kenaikan berat badan
adalah hal yang umum dikeluhkan wanita perimenopause. Seiring dengan
penuaan, metabolisme melambat dan kebutuhan kalori menurun. Jika pola
makan dan olahraga tidak diubah, maka akan terjadi kenaikan berat badan.
Kenaikan berat badan selama periode ini dikaitkan dengan deposisi lemak
pada perut, yang meningkatkan kemungkinan terjadinya resistensi insulin dan
selanjutnya meningkatkan resiko diabetes mellitus dan penyakit jantung
(Dallman, 2004; Sayap, 1991). Selain itu, studi dari Rosetta menunjukkan
bahwa semakin tua seseorang akan memiliki persentase lemak tubuh lebih
tinggi daripada dewasa muda pada usia berapa pun karena hilangnya massa
otot dengan penuaan.1
Perubahan kulit, gigi dan payudara. Perubahan kulit yang dapat
berkembang selama periode perimenopause termasuk hiperpigmentasi,
keriput, dan gatal. Ini disebabkan akibat penuaan kulit, yang merupakan efek
sinergis dari faktor intrinsik dan paparan lama sinar matahari (sinar UV).
Selain itu, perubahan hormon dianggap bertanggung jawab atas banyak
perubahan dermal. Diantaranya berkurangnya ketebalan kulit akibat
penurunan kolagen, penurunan sekresi kelenjar sebaceous, hilangnya
elastisitas, pasokan darah berkurang, dan perubahan epidermal.1
Masalah gigi juga dapat terjadi sebagai akibat berkurangnya kadar
estrogen pada akhir perimenopause. Epitel buccal mengalami atrofi karena
kekurangan estrogen, mengakibatkan penurunan air liur dan sensasi.
Hilangnya tulang alveolar oral sangat berkorelasi dengan osteoporosis dan
dapat menyebabkan hilangnya gigi. Hilangnya gigi juga sangat terkait dengan
penggunaan rokok dan efek yang mereka miliki pada kesehatan gigi.1

16
Payudara mengalami perubahan selama menopause terutama karena
perubahan hormon. Pada wanita pra-menopause, estrogen dan progesteron
menyebabkan pertumbuhan proliferatif pada struktur kelenjar dan duktus.
Pada menopause, penurunan estrogen dan progesteron menyebabkan
penurunan relatif dalam proliferasi payudara. Pengurangan signifikan kan
dalam volume dan diganti dengan jaringan adiposa.1
Gangguan Emosional. Seperlima dari penduduk AS akan memiliki
episode depresi dalam hidup mereka, dan perempuan dua kali lebih mungkin
terkena dampaknya. Meskipun depresi cenderung terjadi pada dewasa muda,
dengan puncak awal pada dekade keempat kehidupan, ada bukti bahwa
perimenopause merupakan periode lain dari kerentanan bagi perempuan.
Beberapa penelitian kelompok prospektif telah menunjukkan peningkatan
risiko depresi selama perimenopause dan risiko sekitar 3 kali lipat untuk
pengembangan episode depresi selama perimenopause dibandingkan dengan
premenopause. Meskipun episode depresi sebelumnya merupakan faktor
resiko terjadinya depresi kemudian, namun perempuan tanpa episode depresi
sebelumnya masih 2-4 kali cenderung mengalami episode depresi selama
perimenopause dibandingkan dengan premenopause. Gejala kecemasan telah
ditemukan mendahului depresi dalam beberapa kasus.1
Faktor risiko independen lainnya untuk terjadinya gangguan mood
selama perimenopause termasuk tidur yang buruk, stres atau peristiwa
kehidupan negatif, kurangnya pekerjaan, indeks massa tubuh yang lebih
tinggi, merokok, dan ras. Selain itu, ada bukti bahwa perubahan hormonal
yang terjadi selama menopause berperan, sebagaimana dibuktikan
peningkatan risiko depresi dalam hubungannya dengan variabilitas dalam
tingkat estradiol, peningkatan FSH, hot flashes, dan riwayat sindrom
pramenstruasi.1
Gangguan Tidur. Gangguan tidur adalah keluhan umum wanita
dengan hot flashes. Wanita mungkin terbangun beberapa kali pada malam
hari dan basah akibat keringat. Tidur yang terganggu dapat menyebabkan
kelelahan, iritabilitas, gejala depresi, disfungsi kognitif, dan gangguan

17
aktivitas harian. Hubungan antara hot flashes dengan gangguan tidur telah
dipelajari. Studi dari Hollander (2003) menemukan bahwa wanita dengan hot
flashes lebih banyak mengeluhkan tidur yang buruk dibandingkan dengan
mereka yang mengalami lebih sedikit gejala vasomotor.1
Osteoporosis. Osteoporosis primer mengacu pada hilangnya kepadatan
tulang akibat penuaan dan defisiensi estrogen pada wanita menopause.
Setelah kadar estrogen menurun, maka efek regulator pada resorpsi tulang
akan hilang. Akibatnya, resorpsi tulang dipercepat dan biasanya tidak
diimbangi dengan kompensasi pembentukan tulang. Jika osteoporosis
disebabkan oleh penyakit lain atau obat-obatan, maka digunakan istilah
osteoporosis sekunder.1
Jumlah tulang pada setiap masa kehidupan mencerminkan
keseimbangan dari osteoblast dan osteoklas, yang banyak dipengaruhi oleh
agen pembentuk dan juga inhibisi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya
penuaan dan berkurangnya estrogen menyebabkan peningkatan yang
signifikan dari aktivitas osteoklast. Selain itu, penurunan asupan kalsium atau
gangguan penyerapan kalsium dari usus menurunkan kadar kalsium
terionisasi dalam serum. Hal ini akan merangsang sekresi hormone paratiroid
(PTH) untuk meningkatkan jumlah kalsium melalui peningkatan resorpsi
tulang oleh osteoklas. Secara khusus, peningkatan PTH akan meningkatkan
produksi vitamin D. Pada gilirannya, vitamin D menyebabkan peningkatan
kadar kalsium serum melalui beberapa mekanisme: (1) merangsang osteoklas
untuk mengambil kalsium dari tulang, (2) meningkatkan penyerapan kalsium
usus, dan (3) merangsang reabsorpsi kalsium ginjal.1
Penyakit Kardiovaskular. Estrogen bersifat mempengaruhi
metabolism lemak dari hati dan usus untuk meningkatkan sintesi lipoprotein
dengan mempengaruhi lipoprotein lipase. Disamping itu, estrogen juga
bekerja langung pada pembuluh darah mencegah hipertrofi dan hyperplasia
endotel sehingga sulit terjadi perlekatan kolesterol. Estrogen juga dapat
meningkatkan produksi prostasiklin pada endotel pembuluh darah untuk
mempertahankan kelenturan dan mencegah agregasi trombosit.5

18
Pada menopause kadar estrogen berkurang sehingga produksi HDL
(alpha lipoprotein) berkurang dan LDL (beta lipoprotein), kolesterol
meningkat. HDL mempunyai sifat kardioprotektif, sedangkan LDL dan
kolesterol mengakibatkan kekakuan pembuluh darah sehingga resiko penyakit
jantung coroner meningkat. Pada usia 55 tahun, akan mulai tampak
peningkatan kadar LDL dan penurunan HDL. Kejadian penyakit jantung
koroner di bawah usia 40 tahun pada laki-laki ataupun perempuan hampir
sama. Akan tetapi, setelah usia 40 tahun ke atas kejadian PJK pada
perempuan meningkat. Pada usia 45-54 tahun kejadian PJK pada perempuan
meningkat 2 kali lipat.5

b. PEMERIKSAAN FISIK
Tinggi, berat badan, dan IMT perlu dicatat dan dapat digunakan sebagai
pertimbangan pada pasien tentang olahraga yang sebaiknya dilakukan dan
penurunan atau kenaikan berat badan. Penilaian distribusi berat dan lingkar
pinggang dapat mengidentifikasi obesitas, dimana mereka dengan obesitas
lebih beresiko untuk terkena penyakit komorbid lainnya. Kehilangan tinggi
badan dapat berhubungan dengan adanya osteoporosis dan fraktur kompresi
vertebra. Pemantauan tekanan darah efektif untuk skrining hipertensi.1
Pemeriksaan fisik secara menyeluruh dilakukan dengan teliti saat pasien
datang untuk memeriksa perubahan-perubahan yang berhubungan dengan
penuaan dan perimenopause.1
Kognitif. Penurunan kognitif merupakan keadaan yang tidak biasa pada
wanita selama masa perimenopause, namun keluhan umum seperti mudah
lupa atau pikiran yang sulit fokus merupakan hal normal pada proses
penuaan.1
Psikososial. Evaluasi keadaan psikososial perlu dilakukan pada
pemeriksaan perimenopause. Dokter perlu menanyakan tentang depresi,
kecemasan, dan fungsi seksual pasien, atau dapat menggunakan kuisioner
sederhana untuk menilai masalah psikososial.1

19
Dermatologis. Perubahan pada kulit berhubungan dengan defisiensi
estrogen termasuk penipisan dan kerutan pada kulit. Selain itu, berbagai lesi
kulit umumnya berhubungan dengan proses penuaan. Pemeriksaan secara
seksama pada nevi abnormal atau paparan sinar matahari berlebihan dapat
dilanjutkan dengan rujukan pada spesialis kulit untuk evaluasi lebih jauh
tentang adanya kemungkinan kanker kulit.1
Payudara.Selama masa perimenopause, kadar estrogen menurun dan
jaringan kelenjar payudara secara bertahap digantikan oleh jaringan lemak.
Jaringan payudara dan axilla diinspeksi dan dipalpasi secara cermat.Nipple
discharge, perubahan kulit, inversi nipple, dan massa harus dicatat dan
dievaluasi.1
Pemeriksaan Pelvis. Pemeriksaan pada vulva dapat menunjukkan
berkurangnya jaringan ikat yang mengakibatkan penyusutan pada labia
mayor.Labia minor dapat hilang secara total, serta biasa ditemukan adanya
penyempitan di introitus.Pada vulva harus diperiksa kemungkinan adanya
hiperemis, atrofi, bekas luka akibat trauma partus, atau bekas
operasi.Sentuhan dengan kapas dapat melokalisir atau menimbulkan nyeri
pada pasien.Pemeriksaan vagina dapat menunjukkan adanya penyempitan
pada canalis vagina dan penyempitan pada epitel vagina.Tampakan klasik
pada atrofi vagina termasuk hilangnya rugae dan tampakan pucat serta
kekeringan pada mukosa vagina.Jaringan epitel biasanya rapuh dan peteki
submukosa dapat terlihat. Tanda dari atrofi vagina adalah Ph vagina lebih dari
5,0 dan terdapat perubahan pada indeks maturitas dinding vagina menjadi
dominasi sel basal. Hasil kultur dari vagina dapat menunjukkan adanya
bakteri patogen yang tidak umum ditemukan di vagina.1
Pemeriksaan tambahan pada evaluasi standar ginekologi, yaitu
pemeriksaan bimanual dan spekulum, di mana pemeriksaan eksternal dan
internal dilakukan dengan fokus pada pelvis dan kekuatan serta volume otot
vagina, serta mobilitas dan integritas fasia dan jaringan ikat.Tentukan derajat
fleksibilitas introital, kekeringan mukosa, atau atrofi. Integritas pada organ
pelvis dan kemungkinan adanya prolaps pada vesica urinaria, uterus, atau

20
rektum, harus dievaluasi dengan melakukan manuver Valsalva dan amati bila
terdapat bulging dari cystocele, rectocele, atau adanya prolaps vagina atau
serviks.1

c. Pemeriksaan Tambahan
Kadar Gonadotropin. Terdapat perubahan biokimia, di mana seorang
wanita mungkin tidak menyadarinya, sebelum adanya gejala berupa siklus
haid yang tidak teratur. Contohnya, pada fase folikuler awal siklus menstruasi
pada wanita yang berusia lebih dari 35 tahun, kadar FSH dapat meningkat
tanpa disertai peningkatan luteinizing hormone (LH). Keadaan ini
berhubungan dengan prognosis yang buruk bagi kesuburan di masa depan.
Kadar FSH yang lebih besar dari 40 mIU/mL telah digunakan untuk
pendokumentasian kegagalan ovarium yang berhubungan dengan
menopause.1
Kadar Estrogen. Kadar estrogen dapat normal, meningkat, atau
menurun tergantung pada tahap perimenopause. Pada masa menopause, kadar
estrogen dapat menjadi sangat rendah atau tidak terdeteksi. Kadar estrogen
dapat digunakan untuk menilai respon pasien pada terapi hormon.1
pH Vagina. Beberapa peneliti mengatakan bahwa peningkatan pH
vagina (6,0-7,5) di mana tidak ditemukan bakteri patogen menjadi alasan
adanya penurunan kadar estradiol serum. Uji ini dilakukan secara langsung
dengan kertas pH pada dinding lateral vagina. Perubahan pH dapat
diakibatkan oleh berubahnya komposisi dari sekresi vagina.1
Indeks Maturasi Estrogen. Maturation index (MI) merupakan pilihan
yang murah untuk menilai pengaruh hormonal pada wanita.Prosedur ini
dilakukan dengan cara pengambilan sel pada batas atas dan sepertiga tengah
dinding samping vagina menggunakan sikat. Dibuat slide dan dilakukan
pengecatan dengan teknik Papanicolaou. Laporan indeks dibaca dari kiri ke
kanan dan mengacu pada persentase tampakan squamous cells di parabasal,
intermediate, dan superfisial pada hasil smear, dengan jumlah total dari
semua tiga nilai tersebut yang setara dengan 100 persen. Contohnya, hasil MI

21
0:40:60 menunjukkan 0 persen sel parabasal, 40 persen sel intermediate, dan
60 persen sel superfisial. Hasil MI ini mencerminkan estrogenisasi vagina
yang adekuat. Pergeseran ke kiri menunjukkan adanya peningkatan di sel
parabasal atau sel intermediate, yang menunjukkan kadar estrogen yang
rendah. Sebaliknya, pergeseran ke kanan menunjukkan adanya peningkatan
di sel intermediate atau sel superfisial, yang berhubungan dengan kadar
estrogen yang lebih tinggi.Umumnya, dominasi dari sel superfisial atau sel
superfisial dan intermediateterjadi pada wanita usia reproduksi, dominasi dari
sel intermediateterjadi pada fase luteal, kehamilan, disertai amenorrea, dan
pada bayi baru lahir, gadis premenarke, dan pada wanita dengan transisi
menopause awal. Sedangkan, dominasi dari sel parabasal terjadi pada pasien
menopause disertai atrofi.1

2.7. PENATALAKSANAAN

a. Modifikasi Gaya Hidup


Bila terdapat keluhan, maka perlu dinilai apakah pasien perlu
menggunakan terapi hormon atau tidak. Apabila tidak, maka pasien
disarankan untuk melakukan modifikasi gaya hidup. Edukasi pasien untuk
menjaga kesehatan dengan gaya hidup sehat, hindari merokok, rutin
berolahraga minimal 30 menit sebanyak 3x/minggu, dan diet sehat berupa
konsumsi makanan yang kaya akan serat, buah-buahan, sayuran, protein (ikan
2x/minggu), diet <1 sendok teh garam/hari, kolesterol <300 mg/hari, kalsium
1 gram/hari, vitamin D 800 IU/hari.8
b. Terapi Hormon
Terapi Estrogen
Pemberian hormone estrogen dalam klimakterium dapat mengobati
gejala neurovegetatif, mencegah osteoporosis dan fraktur, memperbaiki
kelenturan kulit dan memperlambat atrofi jaringan kandungan dan uretra.
Peningkatan kejadian jantung sesudah menopause dihubungkan dengan
penurunan estrogen. Oleh karena itu, diduga bahwa pemberian estrogen perlu

22
diberikan dalam jangka panjang.5

Indikasi
Estrogen adalah obat utama yang digunakan untuk meringankan hot
flushes . Penggunaannya juga mengurangi beberapa aspek gangguan tidur.
Pemberian estrogen dapat meningkatkan aktivitas opioid hipotalamus pada
wanita pascamenopause. Peningkatan opiat hipotalamus mungkin terlibat
dalam menghilangkan hot flushes.5

Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut terapi penggantian estrogen adalah: (a)
perdarahan vagina abnormal yang tidak terdiagnosis; (b) diketahui, dicurigai,
atau riwayat kanker payudara; (c) diketahui atau dicurigai neoplasia yang
dipengaruhi estrogen; (d) menderita atau memiliki riwayat deep vein
thrombosis aktif atau embolisme paru; (e) penyakit tromboemboli arteri
(infark miokardial, stroke); dan (f) disfungsi atau penyakit liver. Terapi
estrogen sebaiknya dihindari pada pasien dengan diagnosis kanker
endometrium karena dapat merangsang pertumbuhan sel-sel ganas yang
tersisa setelah pengobatan dan dengan demikian dapat mempercepat rekurensi
dari kanker. Apabila terdapat kontraindikasi absolut, maka dapat diberikan
terapi alternatif berupa antidepresan (SSRI dan non SSRI), fitoestrogen,
klonidin, gabapentin, vitamin, dan mineral. Kontraindikasi relatif, berupa
migraine, epilepsi, riwayat kanker payudara dalam keluarga, mastoplasia,
batu empedu, mioma uteri, endometriosis, dapat diberikan pengobatan selama
1-3 bulan atau lebih, sambil dilakukan pengawasan ketat.8

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi akibat penggunaan terapi penggantian
estrogen antara lain adalah :
Kanker Endometrium. Penggunaan terapi estrogen dalam

23
perkembangan kanker endometrium merupakan salah satu hal yang paling
sering diperdebatkan sehubungan dengan menopause. Cakupan penelitian
mengarahkan pada kesimpulan bahwa stimulasi estrogen pada endometrium,
tanpa perlawanan dari progesteron, menyebabkan proliferasi endometrium,
hiperplasia, dan pada akhirnya, menyebabkan neoplasia. Oleh karena itu,
direkomendasikan penambahan progestin pada terapi estrogen untuk
mengurangi risiko hiperplasia endometrium atau karsinoma. Dosis yang
tinggi dan terapi jangka panjang meningkatkan risiko.9,10
Kanker Payudara. Terdapat beberapa kecenderungan yang berhasil
diamati dalam beberapa penelitian yang dilakukan : (a) risiko keseluruhan
pada kanker payudara dengan penggunaan estrogen belum seluruhnya
terbukti mengalami peningkatan, (b) penggunaan jangka panjang (misalnya
dalam 4 hingga 10 tahun) memiliki hubungan dengan risiko peningkatan
ringan, (c) penambahan dengan progestin tidak menunjukkan penurunanan
risiko dan atau peningkatan risiko. Semua wanita memiliki faktor risiko untuk
menderita kanker payudara, sehingga pemeriksaan payudara secara mandiri
dan seksama, serta skrining rutin mammografi sebaiknya menjadi bagian
perawatan medis pada semua wanita lanjut usia.9,10
Penyakit Tromboemboli. Efek estrogen pada mekanisme pembekuan
dapat berkontribusi atau bertanggung jawab dalam keadaan hiperkoagulasi
secara umum. Estrogen oral mempengaruhi sintesis faktor koagulasi melalui
efek first-pass di liver, sebuah efek yang berhubungan dengan peningkatan
risiko penyakit tromboemboli. Penggunaan estrogen transdermal
berhubungan dengan menurunnya risiko kejadian tromboemboli jika
dibandingkan dengan penggunaan estrogen oral.9,10
Perdarahan Uterus. Jika pasien diberikan estrogen dan progestin
secara beruntun, sebagian besar akan mengalami perdarahan uterus, terutama
segera setelah pemberian terapi awal. Perdarahan ini dapat terjadi selama
interval bebas perawatan (perdarahan yang dijadwalkan) atau selama
pemberian pengobatan (perdarahan yang tidak terjadwal). Jika perdarahan
berat atau terjadi secara berkepanjangan, biopsi sebaiknya dilakukan. Jika

24
didapatkan hiperplasia endometrium, pengobatan dapat dihentikan, dosis
progestin dapat ditingkatkan atau progestin dapat diberikan setiap hari pada
pemberian estrogen. Biopsi ulang harus dilakukan. Penghentian estrogen atau
terapi kombinasi estrogen dan progesteron dapat digunakan untuk mengobati
hiperplasia. 9,10
Metabolisme Lipid. Kebanyakan lipid berikatan dengan protein di
dalam darah, dan konsentrasi dari beragam jenis lipoprotein berhubungan
dengan berbagai risiko penyakit hati. Rendahnya kadar kolesterol HDL dan
konsentrasi yang lebih tinggi dari kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol
VLDL, dan trigliserida berhubungan dengan peningkatan risiko aterosklerosis
dan coronary artery disease (CAD). Terapi penggantian estrogen
menurunkan kolesterol LDL dan meningkatkan kolesterol HDL dan
trigliserida. Estrogen transdermal lebih kecil kemungkinannya dalam
meningkatkan kadar trigliserida dan oleh karena itu lebih dipilih untuk wanita
dengan peningkatan kadar trigliserida.9,10
Lain-lain. Efek lainnya dari terapi estrogen adalah edema generalisata,
mastodinia dan pembesaran payudara, penggembungan abdomen, tanda dan
gejala yang menyerupai ketegangan pramenstruasi, nyeri kepala (khususnya
tipe menstrual migraine), dan lendir serviks berlebihan. Efek samping
tersebut dapat tergantung pada dosis, dan diatasi dengan menurunkan dosis,
penggunaan agen lain, atau dengan penghentian pengobatan.9,10

Panduan UmumTerapi Estrogen


Banyak formulasi estrogen dan estrogen plus progestin yang tersedia.
Indikasi terapi estrogen adalah untuk membantu mengatasi gejala-gejala
menopause dan untuk mencegah osteoporosis. Jika gejala tersebut bersifat
sedang hingga berat, terapi dapat digunakan untuk durasi terpendek yang
memungkinkan; minimal atau tidak adanya gejala dapat tidak membutuhkan
terapi hormon.Apabila pasien telah dilakukan histerektomi, maka dapat
diberikan terapi estrogen saja, tanpa progesteron. Saat pasien masih haid,
dapat diberikan terapi hormon sekuensial, sedangkan saat sudah tidak haid

25
lagi, dapat diberikan secara kontinyu. Terapi hormon awalnya dilakukan
dalam waktu 1-3 bulan, lalu dilakukan evaluasi untuk melihat efektivitas dan
efek samping dari terapi. Saat keluhan tidak berkurang, evaluasi dosis yang
diberikan.8,9

Sediaan Estrogen dan Progestin untuk Terapi Hormon

Agen Sediaan

Estrogen Oral

Conjugated equine estrogen 0.3 mg, 0.45 mg, 0.625 mg, 0.9 mg, 1.25 mg tablet

Estradiol 0.5 mg, 1 mg, 2 mg tablet

Estrogen konjugasi sintetis 0.3 mg, 0.45 mg, 0.625 mg, 0.9 mg, 1.25 mg tablet

Estrogen Transdermal

Estradiol patch (mg/hari) 0.014 mg, 0.025 mg, 0.0375 mg, 0.05 mg, 0.06 mg, 0.075
mg, 0.1 mg patch

Estradiol gel 0.06% gel

Estrogen Vagina

Krim

Conjugated equine estrogen 0.625 mg/g krim

Estradiol 0.1 mg/g krim

Tablet

Estradiol 0.025 mg tablet

Rings

Estradiol 0.05 mg/hari, 0.1 mg/hari

Progestogen Oral

Medroxyprogesteron asetat 2.5 mg, 5 mg, 10 mg tablet

Progesteron mikron 100 mg, 200 mg kapsul

Megestrol asetat 20 mg, 40 mg tablet

26
Norethindron 0.35 mg tablet

Norethindron asetat 5 mg tablet

Progestin Intrauterin

Levonorgestrel releasing 20 g/hari


IUD

Formula Kombinasi Estrogen/Progestogen

Oral

Conjugated equine estrogen 0.3 mg CEE/1.5 mg MPA; 0.45 mg CEE/1.5 mg MPA;


(CEE)/medroxyprogesteron 0.625 mg CEE/2.5 mg MPA; 0.625 mg CEE/5 mg MPA;
asetat (MPA) 0.625 mg CEE hari ke 1–14, kemudian 0.625 mg CEE/5
mg MPA hari ke 15–28

Estradiol/norethindron asetat 1 mg estradiol/0.5 mg norethindron

Estradiol/norgestimat 1 mg estradiol x 3 hari, bergantian dengan 1 mg


estradiol/0.09 mg norgestimat x 3 hari

Ethinyl estradiol/
norethindron asetat 2.5 g ethinyl estradiol/ 0.5 mg norethindron; 5 g
ethinyl estradiol/1 mg norethindron

Esterified estrogens/methyl 0.625 mg diesterifikasi estrogen/1.25 mg methyl


testosteron testosteron; 1.25 mg diesterifikasi estrogen/2.5 mg methyl
testosterone

Transdermal patches 

Estradiol/norethindron asetat 0.05 mg estradiol/0.14 mg norethindron per hari; 0.05 mg


estradiol/0.025 mg norethindron per hari

Estradiol/levonorgestrel 0.045 mg estradiol/0.015 mg levonorgestrel per hari

Terapi Progestogen-Estrogen

Salah satu masalah paling serius tentang penggantian estrogen adalah


terjadinya hiperplasia endometrium atau kanker. Progestin melawan aksi estrogen

27
di endometrium dan mengurangi kejadian kanker endometrium. Progestin
mengurangi jumlah reseptor estrogen di sel kelenjar dan stroma endometrium.
Agen tersebut juga memblokir sintesis DNA yang diinduksi oleh estrogen. Terjadi
pengurangan estradiol menjadi estrone yang kurang kuat, di mana kemudian
mengubah estrogen menjadi estrogen sulfat untuk eliminasi cepat dari sel
endometrium. Selain itu, transformasi sekresi penuh terjadi saat progestin
diberikan dalam dosis yang cukup banyak untuk waktu yang cukup lama.9,10

Salah satu pilihan adalah pemberian progestin seperti medroxyprogesteron


asetat dengan dosis 5-10 mg/hari selama 12-14 hari tiap bulannya. Salah satu
alternatif lainnya adalah dengan menetapkan dosis yang lebih rendah, 2,5 mg,
secara berkelanjutan. Pemberian estrogen plus progestin secara terus-menerus
merupakan cara pemberian paling umum saat ini. Regimen ini mendorong atrofi
endometrium dan mengakibatkan amenore pada 70-90% wanita yang
menggunakan terapi berkelanjutan selama lebih dari 1 tahun. Sisanya akan
berdarah sesekali, dengan perdarahan biasanya menjadi lebih jarang, lebih
pendek, dan lebih ringan dibandingkan dengan terapi sekuensial. 9,10

2.8. PROGNOSIS

Perubahan hormon yang terjadi selama periode perimenopause akan


menimbulkan kumpulan gejala yang dikenal sebagai perimenopausal syndrome
seperti gejala vasomotor, gangguan psikologis, gangguan tidur, atrofi urogenital
disertai disfungsi seksual dan osteoporosis. Hal tersebut akan menimbulkan
ketidaknyamanan dan menurunkan kualitas hidup. Terapi hormonal merupakan
pilihan yang paling efektif karena perimenopausal syndrome yang timbul adalah
akibat perubahan hormon.
Prognosis dari wanita dengan menopause yang tidak mengalami defisiensi
estrogen yang nyata secara klinisnya mencakup bahaya biasa dari penyakit dan
penuaan.Untuk wanita yang mengalami tanda-tanda dari defisiensi estrogen,
terapi hormon dapat memperbaiki tanda dan gejala klinis, serta mencegah

28
perkembangan osteoporosis. Namun, terapi hormon untuk wanita menopause
yang tidak membutuhkannya tidak memiliki manfaat dan dapat menyebabkan efek
samping serta berbagai risiko bagi kesehatan.9

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Perimenopause merupakan masa peralihan antara premenopause (mulai
40 tahun) dan menopause, di mana terdapat perubahan dari siklus-siklus
ovulatorik menjadi anovulatorik, ditandai dengan perubahan siklus haid
menjadi tidak teratur disertai dengan perubahan-perubahan fisiologik,
termasuk juga masa 12 bulan setelah menopause. Menopause merujuk
pada titik waktu setelah 1 tahun tidak terjadinya menstruasi. Menopause
didahului oleh suatu periode kegagalan ovarium progresif, ditandai oleh
peningkatan daur irregular dan kemerosotan kadar estrogen.
2. Pada tahun 2000 perempuan berusia di atas 50 tahun mencapai 15,5 juta
jiwa atau 7,6 % dari total penduduk, sedangkan tahun 2020 jumlahnya
diperkirakan meningkat menjadi 30,0 juta jiwa atau 11,5 % dari total
penduduk.

29
3. Syndrome perimenopause banyak dialami oleh wanita hampir diseluruh
dunia: Eropa = 70-80%, Amerika = 60%, Malaysia = 57%, Cina = 18%,
Jepang = 10%
4. Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah dari
manifestasi klinis, pemeriksaan umum, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang
5. Tatalaksana dilakukan dengan memperbaiki pola hidup atau terapi
hormone tetapi terapi ini harus dipertimbangkan.
6. Prognosis dari wanita dengan menopause yang tidak mengalami
defisiensi estrogen yang nyata secara klinisnya mencakup bahaya biasa
dari penyakit dan penuaan.Untuk wanita yang mengalami tanda-tanda
dari defisiensi estrogen, terapi hormon dapat memperbaiki tanda dan
gejala klinis, serta mencegah perkembangan osteoporosis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hoffman BL et al., 2016. Williams Gynecology, 3rd Edition, McGraw-Hill


Education, New York.
2. Sherwood, L.; et al. 2012 Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Edisi 6.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
3. Rosyada, Mujahidah Amrina; et al. Januari 2016. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, Volume 4 Nomor 1, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Usia Menopause (Studi di Puskesmas Bangetayu Tahun 2015). Semarang :
Universitas Dipenogoro
4. Hessy, Fiyya Anaqotul; et al. Maret 2018. Jurnal Kesehatan Al-Irsyad
(JKA), Volume XI Nomor 1, Hubungan Syndrome Pre Menopause dengan
Tingkat Stress Pada Wanita Usia 40-45 Tahun (Relation Pre Menopasual
with Stress Levels of Women 40-45 Years Old). Cilacap
5. Prawirohardjo, Sarwono; et al. 2014. Ilmu Kandungan Edisi Ketiga.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

30
6. Speroff L, Glass RH, Kase NG. 2020. Menopause and Postmenopausal
Hormon Therapy. In Clinical Gynaecology Endocrinology and Infertility.
Ninth Edition. William & Wilkins,
7. Santoro, Nanette et al. 2015. Menopausal Symptoms and Their
Management. Elsevier. University of Colorado School of Medicine:
Department of Obstetric and Ginecology.
8. Baizad, Ali et al. Consensus Statement of Menopause (Konsensus
Penatalaksanaan Menopause). 13 Maret 2010. Jakarta : Himpunan
Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia
9. DeCherney, Alan H.; et al. 2007. Current Diagnosis and Treatment
Obstetrics andGynecology, 10th Edition. New York : McGraw-Hill’s
Access Medicine
10. Gibbs, Ronald S.; et al. 2008. Danforth’s Obstetrics and Gynecology,
Tenth Edition. United State of America : Lippincott Williams & Wilkins
Publishers

31

Anda mungkin juga menyukai