Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

Diagnosis dan Terapi Masalah Kesehatan Jiwa Di Masyarakat


(Skizoferenia, Fobia, Gangguan Psikotik dan Depresi)

Disusun Oleh :

Dhea Putri Azizah (1914201013)

Dosen Pengampu :
Ns. Amelia Susanti, M.Kep, Sp.Kep.J

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alifah Padang


Program Studi S1-Keperawatan
Tp.2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur pada Allah subhanahu wa taala yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada kami , sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Diagnosis Dan Terapi Masalah Kesehatan Jiwa Masyarakat
(Skizofrenia,Fobia,Gangguan Psikotik,Dan Depresi). Penulisan makalah ini untuk
memenuhi salah satu tugas kuliah Community Mental Health Nursing (CMHN).
Makalah ini disusun sesuai dengan pengetahuan yang kami miliki saat ini . .
Meskipun makalah ini masih jauh dari kesan sempurna karena keterbatasan
pengetahuan kami, mengenai Community Mental Health Nursing (CMHN) dengan
segenap kesadaran diri, kami sangat mengharapkan saran dan kritik untuk
membangun dan penyempurnaan makalah yang kami tulis .

Padang , 28 Mei 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................
DAFTAR ISI............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................

A. Latar Belakang..............................................................................................
B. Rumusan Masalah.........................................................................................
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................
1. Tujuan Umum.........................................................................................
2. Tujuan Khusus........................................................................................

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................
I. Skizofrenia....................................................................................................
II. Fobia.............................................................................................................
III. Gangguan Psikotik Akut...............................................................................
IV. Depresi.........................................................................................................
BAB III PENUTUP.................................................................................................
A. Kesimpulan...................................................................................................
B. Saran.............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan Jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan
fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan
perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain”. Makna
kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan
memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam
hubungannya dengan manusia lain.
Kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan merupakan
kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental dan sosial individu
secara optimal, dan yang selaras dengan perkembangan orang lain.
Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang
signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO (2016),
terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21
juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Di Indonesia, dengan
berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial dengan keanekaragaman
penduduk; maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak
pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk
jangka panjang.
Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi ganggunan mental
emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk
usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah
penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti
skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000
penduduk.
Skizofrenia adalah gangguan mental yang dapat memengaruhi tingkah
laku, emosi, dan komunikasi. Penderita skizofrenia dapat mengalami
halusinasi, delusi, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku.
Fobia adalah salah satu bentuk dari gangguan kecemasan. Sebagai bagian
dari gangguan kecemasan, akar berkembangnya gejala ini yaitu pengelolaan
yang kurang adaptif terhadap pengalaman-pengalaman rasa takut yang
menimbulkan rasa cemas, yang pernah dialami seseorang sepanjang
kehidupan, terhadap sesuatu hal atau objek tertentu.
Gangguan psikotik akut adalah suatu perubahan dari keadaan tanpa
gejala psikotik ke keadaan psikosis yang jelas abnormal dalam periode 2
minggu atau kurang tanpa diketahui untuk berapa lama gangguan ini akan
berlangsung. Pembatasan waktu, biasanya dalam waktu 1-3 bulan dapat terjadi
remisi sempurna dan hanya sebagian kecil yang berkembang menetap menjadi
gangguan lain.
Depresi sebagai suatu gangguan mood yang dicirikan tak ada harapan
dan patah hati, ketidakberdayaan yang berlebihan, tak mampu mengambil
keputusan memulai sautu kegiatan, tak mampu berkonsentrasi, tak punya
semangat hidup, selalu tegang, dan mencoba bunuh diri .

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka rumusan masalah pada makalah ini
yaitu apa diagnosis dan terapi masalah-masalah kesehatan jiwa di masyarakat.
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan informasi tentang diagnosa dan terapi masalah-
masalah kesehatan jiwa di masyarakat.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui diagnosa dan terapi masalah skizofrenia
b. Untuk mengetahui diagnosa dan terapi masalah Fobia
c. Untuk mengetahui diagnosa dan terapi masalah Gangguan Psikotik Akut
d. Untuk mengetahui diagnosa dan terapi masalah Depresi
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

I. Skizofrenia
A. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan otak kronis yang mempengaruhi sakitar
satu persen dari populasi. Ketika skizofrenia aktif, gejala dapat berupa delusi,
halusinasi, masalah dengan pemikiran dan konsentrasi, dan kurangnya
motivasi. Namun, ketika gejala ini diobati, kebanyaakan oraang dengan
skizofrenia akan sangat membaaik seiring waktu (American Psychiatric
Association, 2017)
Skizofrenia menyebabkan pikiran, persepsi, emosi dan perilaku
individu menjadi menyimpang. Seperti jenis kanker, skizofrenia dianggap
sebagai sindrom atau proses penyakit dengan variasi dan gejala yang berbeda
(Videbeck, 2020). Mengidentifikasi spektrum gangguan psikotik yang
terorganisir untuk mencerminkan gradien psikopatologi dari yang paling kecil
hingga yang paling parah (APA, 2013). Derajat keparahan ditentukan oleh
tingkat, jumlah, dan durasi tanda dan gejala psikotik.
B. Etiologi Skizofrenia
Videback (2020) menyatakan bahwa skizofrenia dapat disebabkan oleh 2
faktor, yaitu :
1. Faktor Predisposis
a. Faktor Biologis
1) Faktor Genetik
Faktor genetik adalah faktor utama pencetus dari skizofrenia.
Anak yang memiliki satu orang tua biologis penderita skizofrenia
tetapi diadopsi pada saat lahir oleh keluarga tanpa riwayat
skizofrenia masih memiliki resiko genetik dari orang tua biologis
mereka. Hal ini dibuktikan dengan penelitian bahwa anak yang
memiliki satu orang tua penderita skizofrenia memiliki resiko 15%;
angka ini meningkat sampai 35% jika kedua orang tua biologis
menderita skizofrenia (Videbeck, 2008).
2) Faktor Neuroanatomi
Penelitian menunjukkan bahwa individu penderita skizofrenia
memiliki jaringan otak yang relatif lebih sedikit. Hal ini dapat
memperlihatkan suatu kegagalan perembangan atau kehilangan
jaringan selanjutnya. Otak pada penderita skizofrenia terlihat
sedikit berbeda dengan orang normal, ventrikel terlihat melebar,
penurunan massa abu-abu dan beberapa area terjadi peningkatan
maupun penurunan aktivitas metabolik. Pemeriksaan mikroskopis
dan jaringan otak ditemukan sedikit perubahan dalam distribusi
sel otak yang timbul pada massa prenatal karena tidak
ditemukannya sel glia, biasa timbul pada trauma otak setelah lahir
(Prabowo, 2014).
3) Neurokimia
Penelitian neurokimia secara konsisten memperlihatkan adanya
perubahan sistem neurotransmitters otak pada individu penderita
skizofrenia.Pada orang normal, sistem switch pada otak bekerja
dengan normal. Sinyal-sinyal persepsi yang datang dikirim kembali
dengan sempurna tanpa ada gangguan sehingga menghasilkan
perasaan, pemikiran, dan akhirnya melakukan tindakan sesuai
kebutuhan saat itu. Pada otak penderita skizofrenia, sinyal-sinyal
yang dikirim mengalami gangguan sehingga tidak berhasil
mencapai sambungan sel yang dituju (Yosep, 2016).
b. Faktor Psikologis
Skizofrenia terjadi karena kegagalan dalam menyelesaikan
perkembangan awal psikososial sebagai contoh seorang anak yang
tidak mampu membentuk hubungan saling percaya yang dapat
mengakibatkan konflik intrapsikis seumur hidup. Skizofrenia yang
parah terlihat pada ketidakmampuan mengatasi masalah yang ada.
Gangguan identitas, ketidakmampuan untuk mengatasi masalah
pencitraan, ketidakmampuan untuk mengontrol diri sendiri juga
merupakan kunci dari teori ini (Stuart, 2013).
c. Faktor Sosiokultural dan Lingkungan
Faktor sosiokultural dan lingkungan menunjukkan bahwa jumlah
individu dari sosial ekonomi kelas rendah mengalami gejala
skizofrenia lebih besar dibandingkan dengan individu dari sosial
ekonomi yang lebih tinggi. Kejadian ini berhubungan dengan
kemiskinan, akomodasi perumahan padat, nutrisi tidak memadahi,
tidak ada perawatan prenatal, sumber daya untuk menghadapi stress
dan perasaan putus asa.

2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dari skizofrenia antara sebagai berikut :
a. Biologis
Stresssor biologis yang berbuhungan dengan respons
neurobiologis maladaptif meliputi : gangguan dalam komunikasi dan
putaran umpan balik otak yang mengatur mengatur proses balik
informasi, abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi.

C. Gejala
Gejala-gejala skizofrenia adalah sebagai berikut (Keliat Anna,et al., 2011):
1.Gejala positif
a) Waham Waham adalah keyakinan yang salah, tidak sesuai dengan
kenyataan, dipertahankan dan disampaikan berulang-ulang (waham
kejar, yaitu percaya bahwa dirinya selalu dikejar-kejar orang;
waham curiga, yaitu rasa curiga yang berlebihan; waham
kebesaran, yaitu kepercayaan bahwa dirinya adalah orang penting).
b) Halusinasi Halusinasi adalah gangguan penerimaan pancaindra
tanpa ada stimulus eksternal (halusinasi pendengaran, penglihatan,
pengecapan, penciuman, dan perabaan).
c) Perubahan arus pikir :
i. Arus pikir terputus: dalam pembicaraan tiba-tiba tidak dapat
melanjutkan isi pembicaraan.
ii. Inkoheren: berbicara tidak selaras dengan lawan bicara (bicara
kacau).
iii. Neologisme: menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti
oleh diri sendiri, tetapi tidak dimengerti oleh orang lain.
2. Gejala Negatif
a. Sikap merasa bodoh (apatis)
b. Pembicaraan terhenti tiba-tiba (blocking)
c. Menarik diri dari pergaulan sosial (isolasi sosial)
d. Menurunnya kinerja atau aktivitas sosial sehari-hari

D. Klasifikasi Skizofrenia
diklasifikasikan (Katona et al., 2012):
1) Skizofrenia Paranoid Merupakan skizofrenia paling umum, dimana
waham dan halusinasi auditorik jelas terlihat.
2) Skizofrenia Katatonik Gangguan psikomotor yang terlihat menonjol
sehingga seringkali muncul bergantian antara imobilitas motorik
(contohnya stupor) dan aktivitas berlebihan (kegembiraan), menirukan
pembicaraan, serta menirukan gerakan. Biasanya lebih jarang ditemui.
3) Skizofrenia Hebefrenik (Tak Terorganisasi) Onsetnya dini dan
memiliki progress yang buruk. Perilaku yang tidak bertanggung jawab
dan tidak dapat ditebak, mood yang tidak stabil, dan efek tidak wajar.
4) Skizofrenia Residual (Kronis) Akibat adanya penyakit skizofrenia
sebelumnya, namun ada penyakit sekarang yang didominasi gejala
negatif dan seringkali kognitif.

5) Skizofrenia Tak Terinci (Simpleks) Tidak umum dijumpai. Gejala


negatif berkembang tanpa didahului gejala psikotik yang jelas

E. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada pasien schizophrenia


adalah sebagai berikut.

1) Koping tidak efektif berhubungan dengan ketidakadekuatnya strategi


koping.

2) Harga diri rendah kronis berhubungan dengan Kurangnya pengakuan


dari orang lain, gangguan psikiatri.

3) Isolasi sosia l Ketidakmampuan menjalin hub. yang memuaskan,


perubahan status mental.

4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan


psikologis/psikotik.

5) Waham berhubungan dengan faktor biologis: kelainan genetik/


keturunan, kelainan neurologis.

6) Gangguan persepsi sensori: Halunisasi berhubungan dengan gangguan


penglihatan, pendengaran, penghiduan, perabaan.

7) Risiko perilaku kekerasan berhubungan dengan waham.


8) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan
pendengaran, hambatan psikologis (misal gangguan psikotik,
gangguan konsep psikotik, gangguan konsep diri, harga diri rendah,
gangguan emosi).
F. Terapi skizofrenia

a. Non farmakologi
1) Terapi psikososial

Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali


beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat
diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak
menjadi beban bagi keluarga atau masyarakat, pasien diupayakan untuk
tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan dan
banyak bergaul. Terapi psikososial dimaksutkan agar penderita mampu
kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu
merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga
tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Penderita ini
menjalani terapi psikososial hendaknya tetap mengkonsumsi obat
psikofarmaka sebagaimana juga hanya waktu menjalani psikoterapi

2) Terapi psikoreligius

Terapi keagaman terhadap penderita skizofrenia ternyata mempunyai


manfaat misalnya, gejala-gejala klinis gangguan jiwa skizofrenia lebih
cepat hilang. Terapi keagamaan yang dimaksudkan adalah berupa
kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan
puji-pujian kepada Tuhan, ceramah keagamaan dan kajian kitab suci.

3) Terapi fisik berupa olahraga.

4) Berbagai kegiatan seperti kursus atau les (Sinaga, 2007).


b. Terapi Farmakologis
Obat psikofarmaka ditujukan pada gangguan fungsi neurotrasmitter
sehingga gejala- gejala klinis dapat dihilangkan. Obat psikofarmaka lebih
berkhasiat menghasilan gejala negatif skizofrenia daripada gejala positif
skizofrenia atau sebaliknya, ada juga yang lebih cepat menimbulkan efek
samping dan lain sebagainya. Beberapa contoh obat psikofarmaka yang
beredar di Indonesia yang termasuk golongan generasi pertama yaitu
Chlorpromazine HCl, Trifluoperazine HCL, Thioridazine HCl, dan
Haloperidol. Yang termasuk golongan generasi kedua yaitu Risperidone,
Paliperidone, Clozapine, Quetiapine, Olanzapine, dan Aripiprazole.
Golongan obat anti skizofrenia baik generasi pertama (typical) maupun
generasi kedua (atypical) pada pemakaian jangka panjang umumnya
menyebabkan penambahan berat badan. Obat golongan typical khususnya
berkhasiat dalam mengattasi gejalagejala positif skizofrenia, sehingga
meninggalkan gejala-gejala negatif skizofrenia. Sementara itu pada
penderita skizofrenia dengan gejala negatif pemakaian golongan typical
kurang memberikan respon. Selain itu obat golongan typical tidak
memberikan efek yang baik pada pemulihan fungsi kognitif penderita. Obat
golongan typical sering menimbulkan efek samping berupa gejala ekstra
piramidal (EPS).
II. FOBIA

a. Definisi Fobia

Fobia adalah salah satu bentuk dari gangguan kecemasan. Sebagai


bagian dari gangguan kecemasan, akar berkembangnya gejala ini yaitu
pengelolaan yang kurang adaptif terhadap pengalaman-pengalaman rasa
takut yang menimbulkan rasa cemas, yang pernah dialami seseorang
sepanjang kehidupan, terhadap sesuatu hal atau objek tertentu.

Fobia termasuk di dalam gangguan psikologis, apabila fobia tersebut


secara signifikan memengaruhi gaya hidup atau keberfungsian seseorang,
atau menyebabkan distres yang signifikan (Nevid, 2005). Menurut Nevid
(2005), seseorang bisa saja apabila memiliki kecemasan terhadap suatu
objek tertentu, tetapi hanya apabila kecemasan itu mengganggu kehidupan
sehari-hari atau menyebabkan distres emosional yang signifikan maka
barulah dapat didiagnosis sebagai gangguan fobia.

b. Klasifikasi Fobia

i. Fobia spesifik

Rasa takut yang jelas dan menetap yang berlebihan atau tidak masuk
akal ditandai dengan adanya antisipasi terhadap objek atau situasi spesifik
(mis. Naik pesawat terbang, ketinggian, binatang, mendapat suntikan,
melihat darah) Pemaparan dengan stimulus fobia hampir selalu
mencetuskan kecemasan yang dapat berupa serangan panik yang
berkaitan dengan situasi atau dipredisposisikan oleh situasi. Catatan: Pada
anak-anak, kecemasan dapat diekspresikan dengan menangis, tantrum.
Orang tersebut menyadari bahwa rasa takutnya berlebihan atau tidak
beralasan Catatan: pada anak-anak, gambaran ini tidak harus ada . Situasi
fobik dihindari, atau jika tidak dapat dihindari, dihadapi dengan
kecemasan atau penderitaan yang kuat . Penghindaran, antisipasi cemas
atau penderitaan dalam situasi fobia secara bermakna mengganggu
rutinitas normal seseorang, fungsi pekerjaan, atau aktivitas sosial dan
hubungan dengan orang lain, atau terdapat penderitaan yang jelas akibat
menderita fobia. Pada individu di bawah usia 18 tahun, berlangsung
sekurangnya selama 6 bulan . Kecemasan, serangan panik, atau
penghindaran fobik tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan psikiatrik
lain, seperti gangguan obsesif kompulsif, gangguan strs pasca trauma,
gangguan cemas perpisahan, fobia sosial, gangguan panik dengan
agorafobia, atau agorafobia tanpa riwayat gangguan panik.

ii. Fobia sosial

Rasa takut yang jelas dan menetap terhadap satu atau lebih situasi sosial,
saat seseorang dihadapkan pada orang yang tidak dikenal/tidak akrab atau
pada situasi yang memungkinkan ia akan diperhatikan oleh orang lain.
Orang tersebut merasa takut akan berperilaku dengan cara yang
merendahkan atau memalukan dirinya. Pemaparan dengan situasi sosial
yang ditakuti hampir selalu mencetuskan kecemasan yang dapat berupa
serangan panik yang berkaitan dengan situasi atau dipredisposisikan oleh
situasi. Orang tersebut menyadari bahwa rasa takutnya berlebihan atau
tidak beralasan. Situasi sosial atau situasi yang ditakuti dihindari, atau jika
tidak dapat dihindari, dihadapi dengan kecemasan atau penderitaan yang
kuat. Penghindaran, antisipasi cemas atau penderitaan dalam situasi sosial
atau kinerja secara bermakna mengganggu rutinitas normal seseorang,
fungsi pekerjaan, atau aktivitas sosial dan hubungan dengan orang lain,
atau terdapat penderitaan yang jelas akibat menderita fobia. Pada individu
di bawah usia 18 tahun, berlangsung sekurangnya selama 6 bulan.Rasa
takut atau penghindaran adalah bukan karena obatobatan atau kondisi
medik umum. Bila terdapat gangguan kondisi medik umum atau gangguan
psikiatrik lain, rasa takut pada kriteria A tidak berkaitan dengan hal
tersebut.
iii. Agorafobia

Agorafobia merupakan salah satu dari macam-macam atau jenis-jenis fobia


yang ditandai dengan ketakutan berada di ruang publik di mana penderita
biasanya akan merasa kesulitan dan malu jika pergi atau meninggalkan
tempat secara mendadak. Seseorang dengan kondisi ini mungkin akan
menghindari bioskop, konser, atau bepergian dengan bus atau kereta.
Banyak orang dengan agorafobia juga mengalami gejala gangguan panik.
Gejala gangguan panik ini antara lain ketakutan terus-menerus dan gejala
fisik tidak nyaman, seperti gemetar, jantung berdebar, dan berkeringat.

c. Terapi Fobia
Fobia dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan dengan berbagai cara, di
antaranya dengan terapi obat-obatan dan psikoterapi (Satriana, 2012). Fobia
ketinggian Dapat disembuhkan dengan cara bertahap atau dalam waktu yang
singkat. Penanganan dan terapi yang tepat penderita fobia ketinggian bisa
hidup nyaman dan terbebas dari kecemasan dan ketakutan akan ketinggian.
Terapi obat-obatan yang dilakukan untuk mengurangi fobia pada umumnya
hampir sama dengan terapi obat-obatan untuk kecemasan. Pada umumnya
dokter menyarankan penggunaan obat psikoleptik, yaitu benzodiazepines
dalam dosis rendah. Jenis obat-obat ini adalah Diazepam, Klordiazepoksid,
Lorazepam, Klobazam, Bromazepam, Oksazolam, Klorazepat, Alprazolam
atau Prazepam. Rational emotive behavior therapy (REBT), hypnotherapy,
talk therapy dan neuro linguistic programming (NLP) merupakan
psikoterapi yang dapat digunakan untuk mengurangi fobia.
Penelitian ini menggunakan Cognitive Behavioural Therapy (CBT) untuk
mengidentifikasi pola negatif dan distorsi cara pandang individu dalam
melihat dirinya. CBT telah banyak berperan dalam menolong orang dari
masalah non klinis hingga klinis. Salah satunya adalah pada fobia spesifik.
Sudah banyak pakar psikologi yang menggunakan tehnik CBT untuk
kesembuhan pasien fobia. Pemberian terapi CBT merupakan teknik
gabungan antara teknik kognitif untuk mengendalikan distorsi kognitif dan
teknik behavioristik untuk mengendalikan kecemasannya. Pendekatan teknik
kognitif dalam CBT dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk
memperbaiki proses pengolahan informasi dan memodifikasi keyakinan atau
pola pikir yang adaptif (Beck dalam Spigler & Guevremont, 2003).

III. GANGGUAN PSIKOTIK AKUT


A. Definisi
Gangguan psikotik akut adalah suatu perubahan dari keadaan tanpa
gejala psikotik ke keadaan psikosis yang jelas abnormal dalam periode 2
minggu atau kurang tanpa diketahui untuk berapa lama gangguan ini akan
berlangsung. Pembatasan waktu, biasanya dalam waktu 1-3 bulan dapat
terjadi remisi sempurna dan hanya sebagian kecil yang berkembang
menetap menjadi gangguan lain (Merrin, 2000).
Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidakmampuan
individu menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi,
waham atau perilaku kacau atau aneh. Psikotik akut adalah sekelompok
gangguan jiwa yang berlangsung kurang dari satu bulan dan tidak disertai
gangguan mood, gangguan berhubungan dengan zat, atau suatu suatu
gangguan psikotik karena kondisi medis umum.

B. Etiologi
Pasien dengan gangguan psikotik akut yang pernah memiliki
gangguan kepribadian mungkin memiliki kerentanan biologis atau
psikologis kearah perkembangan gejala psikotik. Walaupun pasien dengan
perkembangan psikotik akut sebagai suatu kelompok mungkin tidak
memiliki peninggian insidensi skizofren didalam keluarganya, beberapa
data menyatakan bahwa adanya suatu peninggian insidensi gangguan
mood. Perumusan psikodinamika telah menyadari adanya mekanisme
menghadapi (coping mechanism) yang tidak adekuat dan kemungkinan
adanya tujuan sekunder pada pasien dengan gejala psikotik. Teori
psikodinamik tambahan menyatakan bahwa gejala psikotik adalah suatu
pertahanan terhadap fantasi yang dilarang, pemenuhan harapan yang tidak
tercapai, atau suatu pelepasan dari situasi psikososial tertentu
(Kaplan&Sadock, 2010).
Penyebabnya belum diketahui secara pasti, tapi sebagian besar di
jumpai pada pasien dengan gangguan kepribadian mungkin memiliki
kerentanan biologis atau psikologis terhadap perkembangan gejala
psikotik. Satu atau lebih faktor stres berat, seperti peristiwa traumatis,
konflik keluarga, masalah pekerjaan, kecelakaan, sakit parah, kematian
orang yang dicintai, dan status imigrasi tidak pasti, dapat memicu psikosis
reaktif singkat. Beberapa studi mendukung kerentanan genetik untuk
gangguan psikotik akut (Nevid et al, 2005).

C. Gejala Klinis (Merrin, 2000)

• Gejala polimorfik yaitu gejala yang beraneka ragam dan berubah


cepat seperti waham, halusinasi, gejala emosi yang bervariasi dan
berubah-ubah dari hari ke hari atau dari jam ke jam.
• Gejala skizofrenik yang khas.

D. Diagnosis
Diagnosis untuk gangguan psikotik, didasarkan terutama atas lama gejala.
Untuk gejala psikotik yang berlangsung sekurangnya satu hari tetapi
kurang dari satu bulan dan yang tidak disertai dengan satu gangguan
mood, gangguan yang berhubungan dengan zat, atau suatu gangguan
psikotik karena kondisi medis umum, diagnosis gangguan psikotik akut
kemungkinan merupakan diagnosis yang tepat. Untuk gejala psikotik yang
lebih dari satu hari diagnosis sesuai yang harus dipertimbangkan adalah
gangguan delusional (jika waham merupakan gejala psikotik utama),
gangguan skizofreniform (jika gejala berlangsung kurang dari 6 bulan)
dan skizofrenia (jika gejala telah berlangsung lebih dari 6 bulan)
(Kaplan&Sadock, 2010).

E. Terapi dan Penatalaksanaan


Perawatan di Rumah Sakit Jika seorang pasien psikotik secara akut,
perawatan singkat di rumah sakit mungkin diperlukan untuk
pemeriksaan dan perlindungan pasien. Pemeriksaan pasien membutuhkan
monitoring ketat terhadap gejala dan pemeriksaan tingkat bahaya pasien
terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Disamping itu, lingkungan rumah
sakit yang tenang dan terstruktur dapat membantu pasien memperoleh
kembali rasa realitasnya. Sambil klinisi menunggu lingkungan dan obat
menunjukkan efeknya, pengurunan, pengikatan fisik, atau monitoring
berhadap-hadapan dengan pasien mungkin diperlukan (Kaplan&Sadock,
2010).
1) Farmakoterapi (Merrin, 2000)
Dua golongan utama obat yang dipertimbangkan diberikan dalam
pengobatan gangguan psikotik singkat adalah obat-obat antipsikotik
dan ansiolitik. Klinisi harus menghindari penggunaan jangka panjang
setiap obat pada pengobatan gangguan tersebut. Jika diperlukan obat
rumatan, seorang klinisi dapat memikirkan ulang diagnosis
(Kaplan&Sadock, 2010).
a. Pengobatan dengan neuroleptika sama halnya dengan skizofrenia.
Dipertimbangkan apakah memang diperlukan terapi lanjutan
(maintenance therapy) atau tidak. Pengobatan dihentikan apabila
pasien sembuh kembali premorbid.
b. Tambahan benzodiazepine seperti lorazepam dapat mengurangi
jumlah dosis neuroleptik dan mengurangi risiko efek samping obat
neuroleptika seperti parkinsonisme dan diskinesia tarda. Pemakaian
benzodiazepine dianjurkan selama 2-3 minggu. Tidak dianjurkan
pemakaian jangka lama.

2) Psikoterapi
Walaupun perawatan dirumah sakit dan farmakoterapi merupakan
kemungkinan untuk mengendalikan situasi jangka pendek, bagian
yang sulit dari terapi adalah integrasi psikologis dari pengalaman
kedalam kehidupan pasien dan keluarganya. Psikoterapi individual,
keluarga dan kelompok mungkin diperlukan. Diskusi tentang stressor,
episode psikotik, dan perkembangan strategi untuk mengatasinya
adalah topik utama bagi terapi tersebut. Eksplorasi dan
perkembangan strategi koping adalah topik utama psikoterapi. Setiap
strategi pengobatan didasarkan pada peningkatakn keterampilan
menyelesaikan masalah, sementara memperkuat struktur ego melalui
psikoterapi tampaknya merupakan cara yang paling efektif.
Keterlibatan keluarga dalam proses pengobatan mungkin penting
untuk mendapatkan keberhasilan (Wenzel, 2017). Masalah yang
berhubungan adalah membantu pasien mengatasi kehilangan harga
diri, kepercayaan dan krisis/konfliknya (Merrin, 2000).
IV. DEPRESI
A. Definis Depresi
Depresi sebagai suatu gangguan mood yang dicirikan tak ada harapan
dan patah hati, ketidakberdayaan yang berlebihan, tak mampu
mengambil keputusan memulai sautu kegiatan, tak mampu
berkonsentrasi, tak punya semangat hidup, selalu tegang, dan mencoba
bunuh diri (Atkinson, 1991) dalam (Lubis, 2016).
Depresi adalah salah satu bentuk gangguan jiwa pada alam perasaan
(afektif, mood) yang ditandai kemurungan, kesedihan, kelesuan,
kehilangan gairah hidup, tidak ada semangat, dan merasa tidak berdaya,
perasaan bersalah atau berdosa, tidak berguna dan putus asa (Iyus Yosep
2007) dalam (Miftahudin, 2016).
Depresi pada dua keadaan, yaitu pada orang normal dan pada kasus
patologis. Pada orang normal, depresi merupakan keadaan kemurungan
(kesedihan, kepatahan semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak pas,
menurunnya kegiatan, dan pesimisme menghadapi masa yang akan datang
. Sedangkan pada kasus patologis, depresi merupakan ketidakmauan
ekstrim untuk mereaksi terhadap perangsang, disertai menurunnya nilai
diri, delusi ketidakpasan, tidak mampu dan putus asa (Chaplin, 2002)
dalam (Miftahudin, 2016).

B. Etiologi
Penyebab depresi sangat kompleks, yaitu penyebab eksternal dan
penyebab internal, tetapi lebih sering merupakan hasil kombinasi dari
keduanya. Berat ringannya depresi tergantung pada kepribadian mental,
kematangan individu, progresifitas penyakit fisik, dan tingkat
pendidikan.Hingga saat ini etiologi depresi yang pasti belum diketahui.
Terdapat beberapa faktor predisposisi yang telah diketahui berkaitan
dengan terjadinya depresi, yaitu antara lain faktor genetik.
C. Terapi Depresi

1. Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi merupakan terapi tanpa menggunakan obat-


obatan. Terapi ini kerap diberikan karena pemberian obat antidepresi
kadangkala tidak langsung memberikan hasil yang optimal atau
bahkan tidak memberikan hasil. Yang termasuk ke dalam terapi ini
adalah cognitive behavioral therapy, electro convulsive therapy, bright
light therapy, serta repetitive transcranial magnetic stimulation.

a) Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Terapi ini memperbaiki cara pandang pasien terhadap kehidupan


ke arah yang lebih positif. Cara ini merupakan first line terapi
untuk depresi ringan. Biasanya terapi ini tetap dilakukan dan
merupakan upaya untuk mencegah tidak berulangnya kembali
kejadian depresi. Electro Convulsive Therapy (ECT)Terapi ini
disebut juga terapi listrik atau terapi kejut dan lebih diutamakan
untuk pasien depresi kronik sedang atau berat yang tidak memberi
respon pada penggunaan antidepressan. Dengan pemberian muatan
listrik akan terjadi peningkatan pelepasan neurotransmitter pada
celah sinaps sehingga diharapkan terjadi perbaikan gejala depresi.
Cara penggunaan ECT adalah dengan meletakkan elektroda yang
bermuatan listrik pada bagian otak. Terapi ini nantinya akan
menyebabkan kejang, namun memberi respon cepat, yaitu sekitar
10-14 hari. Metode ECT ini ada 2, yaitu bilateral dan unilateral.
Pada metode bilateral setiap elektrode diletakkan pada setiap
bagian hemisfer otak. Efek samping ECT, seperti kehilangan
ingatan, lebih sering terjadi pada metode ini. Pada metode
unilateral kedua elektrode diletakkan pada hemisfer nondominan,
yaitu pada bagian kiri hemisfer. Bright Light Therapy Metode ini
diperuntukkan bagi penderita SAD (Seasonal Affective
Disorder)yaitu orang yang depresi akibat kegelapan terutama pada
musim dingin. Caranya dengan memandang lampu/cahaya sekitar
2 jam pada pagi dan sore hari.

b) Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (RTMS)

Metode ini diperuntukkan bagi pasien depressi yang resisten


terhadap pengobatan yang standar dan terapi kejut.Terapi ini
merupakan metode non invasif untuk membangkitkan sel-sel saraf
pada otak dengan cepat melalui gelombang elektromagnetik yang
lemah. RTMS juga merupakan alat untuk meneliti fungsi otak.
Metode ini mempengaruhi aktivitas listrik di otak dengan
memberikan impuls melalui medan magnet pada korteks prefrontal
otak kiri atau bagian depan kiri otak. Wilayah otak ini terkait
dengan emosi positif dan pengendalian diri. Artinya stimulasi
bagian ini akan mengurangi depresi. Alat ini berupa kumparan
berbentuk kupu-kupu yang diletakkan pada kepala pasien, dan
setiap 30 detik pasien merasakan serangkaian impuls selama 2
detik. Prosedur ini dilakukan selama 30 menit.

2. Terapi Farmakologi

Obat-obat antidepressi mempengaruhi sistem cortical, limbic,


hipotalamus dan brainstem yang merupakan hal mendasar pada
pengaturan kesadaran, mood dan fungsi otonom. Keputusan
menggunakan antidepressan didasarkan pada riwayat pasien terhadap
respon obat, riwayat keluarga terhadap respon obat, sub tipe depresi,
keadaan klinis pada saat tersebut, derajat keparahan, potensi
terjadinya interaksi obat, efek samping serta biaya obat. Obat-obat
antidepresi diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu
golongan selective serotonin reuptake inhibitor, tricyclic
antidepresants, monoamine oxidase inhibitors, serta golongan lainnya.

a) SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)

Mekanisme kerja SSRI adalah menghambat pengambilan kembali


5-HT (dengan kemampuan tinggi) di pre sinaps sehingga
meningkatkan jumlah 5-HT yang akan berikatan dengan reseptor
di pasca sinaps. Obat golongan ini memiliki efek antikolinergik
yang minimal, sehingga lebih disukai dan menjadi pilihan pertama
dalam terapi depresi untuk pasien-pasien tanpa adanya komplikasi
atau kontra indikasi terhadap obat tersebut. Contoh SSRI adalah
fluoksetin, sertralin, fluvoksamin, paroksetin, sitalopram dan
escitalopram.

b) TCA (Tricyclic Antidepresants)

Mekanisme kerja TCA adalah menghambat pengambilan kembali


5-HT (dengan kemampuan rendah sampai tinggi) dan NE (dengan
kemampuan rendah sampai sedang). Potensi dan selektivitas
sangat bervariasi, tergantung jenis obatnya. TCA mempengaruhi
sistem reseptor lain, yaitu : kolinergik (sebagai antikolinergik),
neurologik dan sistem kardiovaskular. Amin tersier bekerja pada
sistem serotonergik. Amin sekunder bekerja mengaktifkan sistem
norepinefrin. Karena banyak mempengaruhi sistem reseptor lain,
obat-obat golongan ini perlu dipertimbangkan pemberiannya
terutama pada pasienpasien manula dan keadaan klinis tertentu.
Contoh amin tersier adalah amitriptilin, klomipramin, doksepin,
imipramin, trimipramin. Amin sekunder contohnya adalah
amoksapin, maprotilin, desipramin, nortriptilin serta protriptilin.

c) MAOI (Monoamine Oxidase Inhibitors)

Mekanisme kerja MAOI adalah meningkatkan konsentrasi NE, 5-


HT dan DA dalam sinaps neuronal melalui inhibisi enzim MAO.
Enzim MAO ini berfungsi untuk memetabolisme neurotransmitter
monoamin. Penggunaan kronik dapat menyebabkan
downregulation reseptor β-adrenergik, αadrenergik dan
serotonergik. Terdapat inhibitor MAO A dan MAO B. Inhibitor
MAO A lebih efektif dalam menyembuhkan depresi mayor
dibandingkan inhibitor MAO B. Selegiline sebagai inhibitor MAO
B digunakan untuk pengobatan penyakit parkinson. Selegiline juga
mempunyai efek anti depresi, khususnya pada dosis > 10 mg yang
juga menghambat MAO A Contoh obat golongan MAOI adalah
fenelzin, tranilsipromin, moklobemid.

d) Golongan Lain

Golongan lain adalah kelompok obat yang mekanisme kerjanya


tidak termasuk ke dalam golongan obat SSRI, TCA dan MAOI,
melainkan memiliki mekanisme kerja tersendiri.- Serotonin-
Norepinefrin Reuptake Inhibitor, contohnya venlafaksin. -
Atypical Antidepressants, contohnya bupropion, nefazodon, dll. -
Dopamine Reuptake Inhibitor, contohnya amineptin.- Selective
Serotonin Reuptake Enhancer, contohnya tianeptin.- Ekstrak St
John’s wort (Hypericum perforatum).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Skizofrenia adalah gangguan mental yang dapat memengaruhi tingkah
laku, emosi, dan komunikasi. Penderita skizofrenia dapat mengalami
halusinasi, delusi, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku.
Fobia adalah salah satu bentuk dari gangguan kecemasan. Sebagai bagian
dari gangguan kecemasan, akar berkembangnya gejala ini yaitu pengelolaan
yang kurang adaptif terhadap pengalaman-pengalaman rasa takut yang
menimbulkan rasa cemas, yang pernah dialami seseorang sepanjang
kehidupan, terhadap sesuatu hal atau objek tertentu.
Gangguan psikotik akut adalah suatu perubahan dari keadaan tanpa gejala
psikotik ke keadaan psikosis yang jelas abnormal dalam periode 2 minggu
atau kurang tanpa diketahui untuk berapa lama gangguan ini akan
berlangsung. Pembatasan waktu, biasanya dalam waktu 1-3 bulan dapat
terjadi remisi sempurna dan hanya sebagian kecil yang berkembang menetap
menjadi gangguan lain.
Depresi sebagai suatu gangguan mood yang dicirikan tak ada harapan dan
patah hati, ketidakberdayaan yang berlebihan, tak mampu mengambil
keputusan memulai sautu kegiatan, tak mampu berkonsentrasi, tak punya
semangat hidup, selalu tegang, dan mencoba bunuh diri .

B. Saran
Kesadaran akan masalah-masalah kesehatan jiwa merupakan tanggung
jawab kita bersama. Pada dasarnya kesehatan jiwa sangat penting untuk kita.
Oleh sebab itu kita harus memulai kesadaran ini mulai dari diri kita sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

APA. (2013).Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.).


American Psychiatric Publishing.

PPNI. 2016.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, Definisi Dan Indikator


Diagnostik, Edisi I Cetakan III. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat PPNI.
PPNI. 2019.

Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Definisi Dan Kriteria Hasil Keperawatan,


Edisi I Cetakan II. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat PPNI.

PPNI.2019.Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Definisi Dan


TindakanKeperawatan, Edisi I Cetakan II. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus
Pusat PPNI. Videbeck, S. (2020). Psyciatric Mental Health Nursing (Leo
Gray(ed.); 8th editio). Wolters K

Epigee. (2009). CBT for post traumatic stress disorder.

Anda mungkin juga menyukai