Anda di halaman 1dari 28

COMMUNITY MENTAL HEALTH NURSING

“DIAGNOSIS DAN TERAPI MASALAH KESEHATAN JIWA

MASYARAKAT SKIZOFRENIA,FOBIA,GANGGUAN PSIKOTIK AKUT


DAN DEPRESI”

DISUSUN OLEH:

DELLA SEPNITA

1914201012

DOSEN PEMBIMBING

Ns.Amelia Susanti ,M.Kep,Sp.Kep.J

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

STIKES ALIFAH PADANG

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmatNya
sehingga dapat menyelesaikan karya tulis dengan topik ” diagnosis dan terapi masalah
kesehatan jiwamasyarakat skizofrenia,fobia,gangguan psikotik akut dan depresi”. Penyusunan
karya tulis ini mendapat bantuan dari berbagai pihak dan berbagai sumber yang tidak dapat kami
sebutkan satu persatu, untuk itu disampaikan ucapan terima kasih.

Harapan kami semoga karya tulis ini dapat menambah pengetahuan dan sebagai bahan
pendidikan terbaru dalam bidang Community Health Nursing . Karya tulis ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan karya tulis ini
sangat diharapkan.

Padang,29 mei 2022


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………….

A. Latar Belakang……………………………………………………………………………..
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………….
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………………………………

BAB II TINJAUAN TEORITIS………………………………………………………………….

A. konsep skizofrenia………………………………………………………………………….
B. konsep fobia………………………………………………………………………………..
C. konsep psikotik akut……………………………………………………………………….
D. konsep depresi…………………………………………………………………………….

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………………..

A. Kesimpulan…………………………………………………………………………………
B. Saran ……………………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………...
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Keperawatan jiwa yaitu pelayanan kesehatan profesional yang didasarkan pada ilmu
perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respons
psiko-sosial yang maladaftif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan
menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa melalui pendekatan proses keperawatan
untuk meningkatkan, mencegah, mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa
individu, keluarga dan masyarakat (Riyadi & Purwanto,2009). Untuk dikatakan sehat, seseorang
harus berada pada suatu kondisi fisik, mental, dan sosial yang bebas dari gangguan, seperti
penyakit atau perasaan tertekan yang memungkinkan orang tersebut untuk hidup produktif dan
mengendalikan stres yang terjadi sehari-hari serta berhubungan sosial secara nyaman dan
berkualitas (Poltekkes Depkes,2010).

Fobia, yang ditandai oleh ketakutan yang mencekam dan tidak masuk akal, sering
didapati dalam kehidupan di masyarakat. Meskipun pada sebagian besar kasus orang dapat
menghindari atau bertahan dalam situasi fobik, tetapi pada sebagian lagi anxietas yang timbul
dapat membuat tidak berdaya.

Berdasarkan mitologi, fobia berasal dari dewa Phobos sebagai dewa yang bertugas
memunculkan pikiran-pikiran menakutkan serta menciptakan teror bagi para musuh Yunani
(Davey, 1997). Fobia adalah rasa ketakutan yang berlebihan pada sesuatu hal atau fenomena
yang terjadi karena adanya keterbatasan manusia untuk dapat mengetahui hal-hal yang akan
datang atau yang belum terjadi serta karena adanya suatu harapan atau ancaman. Manusia gelisah
karena takut terhadap dosa-dosa dan pelanggaran yang telah dilakukan, takut terhadap hasil kerja
yang tidak memenuhi kepuasan, takut kehilangan milik (harta dan jabatan), atau takut
menghadapi keadaan masa depan, dan berbagai penyebab lainnya.

Menurut WHO (2009), prevalensi masalah kesehatan jiwa mencapai 13% dari penyakit
secara keseluruhan dan kemungkinan akan berkembang menjadi 25% ditahun 2030, gangguan
jiwa juga berhubungan dengan bunuh diri, lebih dari 90% dari satu juta kasus bunuh diri setiap
tahunnya akibat gangguan jiwa. Gangguan jiwa ditemukan disemua negara, terjadi pada semua
tahap kehidupan, termasuk orang dewasa dan cenderung terjadi peningkatan gangguan jiwa.
Prevalensi terjadinya gangguan jiwa berat di indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa seluruh responden dengan gangguan jiwa berat
adalah sebanyak 1,7‰. Gangguan jiwa berat terbanyak tertinggi di DI Yogyakarta dan Aceh
(masing-masing 2,7%), sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat (0,7%), dan dijawa tengah
sendiri sebesar (2,3%). Prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional secara
nasional adalah 6,0%. Provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi adalah
Sulawesi Tengah 2 (11,6%), sedangkan yang terendah di Lampung (1,2%). Dan di Jawa Tengah
sebesar 4,7%).

B. RUMUSAN MASALAH

a. Apa faktor faktor penyebab skizsofrenia dan upaya penyembuhan gangguan


skizofrenia ,fobia,gangguan psikotik akut dan depresi.?
b. Bagaimana terapi pada gangguan skizofrenia,fobia,gangguan psikotik akut dan depresi.?

C.TUJUAN PENULISAN

Penulisan ini bertujuan untuk memahami faktor-faktor penyebab


skizofrenia ,fobia,gangguan psikotik akut dan depresi dan upaya penyembuhan gangguan
skizofrenia fobia,gangguan psikotik akut dan depresi
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. SKIZOFRENIA
1. Defenisi

Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan & kondisi medis yang mempengaruhi otak
manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif, mempengaruhi emosional dan tingkah laku
(Depkes RI, 2015). Skizofrenia termasuk masalah kesehatan masyarakat yang menjadi
perhatian karena dampak dari Skizofrenia bukan hanya dirasakan oleh penderita dan keluarga
namun juga masyarakat dan pemerintah(WHO,2019). Gangguan jiwa skizofrenia paling
banyak terjadi sehingga membuat individu yang mengalaminya merasa diorganisasi
kepribadian yang parah bahkan ketidakmampuan individu berinteraksi dengan kehidupan
sehari-hari menarik diri.

2. Tanda Gejala Skizofrenia

Videbeck (2012) mengatakan bahwa secara general gejala serangan skizofrenia dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu gejala positif dan negatif.

a. Gejala Positif atau Gejala Nyata Gejala positif skizofrenia antara lain:
1) Halusinasi: Persepsi sensori yang salah atau pengalaman yang tidak terjadi dalam realitas.
2) Waham: Keyakinan yang salah dan dipertahankan yang tidak memiliki dasar dalam
realitas.
3) Ekopraksia: Peniruan gerakan dan gestur orang lain yang diamati klien.
4) Flight of ideas: Aliran verbalitasi yang terus-menerus saat individu melompat dari suatu
topik ke topik laindengan cepat.
5) Perseverasi: Terus menerus membicarakan satu topik atau gagasan; pengulangan kalimat,
kata, atau frasa secara verbal,dan menolak untuk mengubah topik tersebut.
6) Asosiasi longgar: Pikiran atau gagasan yang terpecah-pecah atau buruk.
7) Gagasan rujukan: Kesan yang salah bahwa peristiwa eksternal memiliki makna khusus
bagi individu.
8) Ambivalensi: Mempertahankan keyakinan atau perasaan yang tampak kontradiktif
tentang individu, peristiwa, situasi yang sama.
b. Gejala Negatif atau Gejala Samar
1) Apati: Perasaan tidak peduli terhadap individu, aktivitas, peristiwa.
2) Alogia: Kecendrungan berbicara sedikit atau menyampaikan sedikit substansi makna
(miskin isi).
3) Afek datar: Tidak adanya ekspresi wajah yang akan menunjukkan emosi atau mood.
4) Afek tumpul: Rentang keadaan perasaan emosional atau mood yang terbatas.
5) Anhedonia: Merasa tidak senang atau tidak gembira dalam menjalani hidup, aktivitas,
atau hubungan.
6) Katatonia: imobilitas karena faktor psikologis, kadang kala ditandai oleh periode agitasi
atau gembira, klien tampak tidak bergerak, seolah-olah dalam keadaan setengah sadar.
7) Tidak memiliki kemauan: Tidak adanya keinginan, ambisi, atau dorongan untuk
bertindak atau melakukan tugas-tugas.
3. Faktor Resiko

Menurut Hawari (2010) Skizofenia bukan merupakan penyakit melainkan sebuah syndrom
sehingga faktor resiko skizofrenia hingga sekarang belum jelas. Teori tentang faktor resiko
skizofrenia dianut oleh faktor organobiologik (genetika, virus, dan malnutrisi janin),
psikoreligius, dan psikososial termasuk diantaranya adalah psikologis, sosiodemografi, sosio-
ekonomi, sosio-budaya, migrasi penduduk, dan kepadatan penduduk di lingkungan pedesaan
dan perkotaan. Damabrata (2003) mengatakan bahwa semua faktor tersebut saling berkaitan
satu sama lain yang mengakibatkan kondisi psikologi yang rentan. Pada fase berikutnya
apabila dikenai stress sosio-ekonomi dan psikososial seperti status ekonomi yang rendah,
gagal dalam mencapai cita-cita, konflik yang berlarut, kematian keluarga yang dicintai dan
sebagainya dapat menjadi faktor pencetus berkembangnya skizofrenia (Wahyudi A dan
Fibriana AI, 2016).
4. Tipe Skizofrenia

Menurut Videbeck (2012:349) Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari DSM-IV-TR 2000.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan:

1) Skizofrenia, tipe paranoid: ditandai dengan waham kejar (rasa menjadi korban atau
dimata-matai) atau waham kebesaran, halusinasi, dan kadang-kadang keagamaan yang
berlebihan (fokus waham agama), atau perilaku agresif dan bermusuhan.
2) Skizofrenia, tipe tidak terorganisasi: ditandai dengan afek datar atau afek yang tidak
sesuai secara nyata, inkoherensi, asosiasi longgar, dan diorganisasi perilaku yang ekstern.
3) Skizofrenia, tipe katatonik: ditandai dengan gangguan psikomotor yang nyata, baik dalam
bentuk tanpa gerakan atau aktivitas motorik yang berlebihan, negativisme yang ekstrem,
mutisme, gerakan volunter yang aneh, ekolalia, atau ekopraksia. Imobilitas motorik dapat
terlihat berupa katalepsi (flexibilitas cerea) atau stupor. Aktivitas motorik yang
berlebihan terlihat tanpa tujuan dan tidak dipengaruhi oleh stimulus eksternal.
4) Skizofrenia, tipe tidak dapat dibedakan: ditandai dengan gejalagejala skizofrenia
campuran (atau tipe lain) disertai gangguan pikiran, afek, dan perilaku.
5) Skizofrenia, tipe residual: ditandai dengan setidaknya satu episode skizofrenia
sebelumnya, tetapi saat ini tidak psikotik, menarik diri dari masyarakat, afek datar, serta
asosiasi longgar.
5. Kekambuhan Pasien Skizofrenia

Pengertian Kekambuhan Andri (2008) mengatakan bahwa kekambuhan merupakan


keadaan pasien dimana muncul gejala seperti sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus
dirawat kembali. Menurut Wulansih 14 (2008) perawatan pasien skizofrenia cenderung
berulang (Recurrent), apapun bentuk subtipe penyakitnya hampir separuh pasien yang diobati
dengan pelayanan standar akan kambuh dan membutuhkan perawatn kembali dalam dua
tahun pertama. Tingkat kekambuhan lebih tinggi pada pasien skizofrenia yang hidup bersama
anggota keluarga yang penuh ketegangan, bermusuhan dan keluarga memperlihatkan
kecemasan yang berlebihan. Tingkat kekambuhan juga dipengaruhi oleh stress dalam
kehidupan seperti hal berkaitan dengan keuangan dan pekerjaan.
6. Terapi skizofrenia

a. Jenis obat

Terapi medis utama untuk skizofrenia ialah psikofarmakologi. Antipsikotik yang juga
dikenal sebagai neuroleptik, diprogramkan utama karena keefektifannya dalam
mengurangi gejala psikotik. Obat-obatan ini tidak dapat menyembuhkan skizofrenia,
tetapi digunakan untuk mengatasi gejala-gejala tersebut (Videbeck, 2012). Menurut
Maslim (2001) terapi psikofarmakologi pada skizofrenia dengan antipsikotik dua
kategori, yaitu: obat atipikal (clozapin, risperidon, olanzapine, quetiapin) dan obat tipikal
(thiothixene, haloperidol, chlorpromazine dan trifluoperazine) (Iswanti DI, 2012).
Antipsikotik tipikal mengatasi tanda-tanda positif skizofrenia, seperti waham, halusinasi,
gangguan pikiran, dan gejala psikotik lain, tetapi tidak memiliki efek yang tampak pada
tanda-tanda negatif. Antipsikotik atipikal tidak hanya mengurangi gejala psikotik , tetapi
untuk banyak klien, obat-obatan ini juga mengurangi tanda-tanda negatif seperti tidak
memiliki kemauan dan motivasi, menarik diri dari masyarakat, dan anhedonia (Videbeck,
2012).

b. Terapi Menurut Hawari (2001) ada berbagai macam terapi yang bisa diberikan pada
pasien skizofrenia. Hal ini diberikan dengan kombinasi satu sama lain dan dengan jangka
waktu yang relatif lama. Terapi skizofrenia terdiri dari pemberian obat-obatan,
psikoterapi, dan rehabilitasi. Terapi psikososial pada skizofrenia meliputi: terapi individu,
terapi kelompok, terapi keluarga, 19 rehabilitasi psikiatri, latihan keterampilan sosial dan
manajemen kasus (Iswanti DI, 2012).

c. Efek samping

Efek terapeutik obat pada klien skizofrenia memiliki respon yang berbeda pada
tiap individu dan membutuhkan waktu lama untuk merasakan manfaat dari obat tersebut.
Sampai saat ini dari obat yang telah ditemukan belum ada obat yang sangat ideal untuk
skizofrenia, karena masing-masing jenis obat memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Menurut Maslim (2001), efek samping yang sering terjadi adalah gejala ekstrapiramidal
seperti: kedua tangan gemetar (tremor), kekakuan alat gerak (bila berjalan seperti robot),
otot leher kaku sehingga kepala klien eolah-olah “terpelintir” atau “tertarik”. Efek
samping ini menimbulkan rasa tidak nyaman buat klien dan menimbulkan asumsi negatif
terkait ada dan tidak adanya manfaat dari obat tersebut bagi kesembuhan klien
skizofrenia. Hal ini akan berdampak pada perilaku klien dalam menjalankan regimen
terapeutik yang disarankan dari petugas kesehatan. Benhard (2007) mengatakan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi efek terapeutik obat antipsikotik ini meliputi: usia,
genetik, perilaku penyalahgunaan zat, kondisi medis, obat penginduksi enzim, obat yang
menghambat clearance dan perubahan dalam ikatan protein. Seharusnya klien skizofrenia
mendapatkan manajemen medikasi berupa informasi mengenai manfaat pengobatan
antispikotik, mengetahui cara pemakaian antipsikotik yang tepat, mengetahui efek
samping yang tidak 20 menguntungkan dari pengobatan dan membicarakan masalah
pengobatan dengan tenaga medis (Iswanti DI, 2012).

Terapi yang dapat diberikan pada klien Skizofrenia yakni Assertiveness Training,
Terapi Perilaku Token Ekonomi, Cognitive Behaviour Therapy, Latihan Keterampilan
Sosial (Social Skill Training, Terapi Thougth Stopping, Cognitive Behavioral Social
Skills Training (CBSST), Rational Emotive Behaviour Therapy, Terapi Perilaku:
Modeling Partisipan, Terapi Kelompok Logoterapi Paradoxical Intension, Acceptance
And Commitment Therapy (ACT), Terapi Aktivitas Kelompok, serta Terapi Kognitif,
terapi tersebut bertujuan untuk meningkatkan aktivitas, mengurangi perilaku yang tidak
diinginkan serta meningkatkan keterampilan sosial. Green & Harvey (2014) dalam Rini
& Hadjam (2016) mengungkapkan bahwa penanganan skizofrenia saat ini masih
menitikberatkan pada pengendalian gejala dan cenderung mengesampingkan aspek
kognitif. Jika dibandingkan gejala psikotik, defisit kognitif dapat lebih memprediksi
kemampuan fungsi sosial penderita skizofrenia. Pemberian obat antipsikotika dapat
mengurangi gejala psikotik pada sebagian besar penderita skizofrenia namun tidak
banyak membantu pemulihan fungsi sosial (Rini & Hadjam, 2016).

7. Diagnosis Keperawatan Menurut Yosep, (2011)

Diagnosis Skizofrenia menurut PPDGJ III

1) “thought echo”, “thought insertion or withdrawal”, “thought broadcasting”


2) waham dikendalikan, waham dipengaruhi  gerakan tubuh, pikiran, perbuatan, perasaan
3) halusinasi yang membicarakan atau mengomentari perbuatan penderita, halusinasi yang
berasal dari salah satu bagian tubuh
4) waham-waham menetap lain tema keagamaan, politik, “kemampuan istimewa” yang
tidak sesuai dengan latar belakang budaya penderita
5) halusinasi yang menetap
6) alur pikir yang terputus, tersisip inkoherensi, irelevansi, neologisme
7) perilaku katatonik gaduh gelisah, “posturing”, fleksibilitas serea, negativisme, mutisme,
stupor
8) gejala-gejala “negatif” apatis, hilangnya minat, respon emosional tumpul, penarikan diri
secara sosial, malas, “self-absorbed attitude”
B. FOBIA
1. defenisi fobia

Kata “fobia” berasal dari istilah Yunani “phobos” yang berarti lari (fight), takut dan panik
(panic-fear), takut hebat (terror). Istilah ini memang dipakai sejak zaman Hippocrates. Fobia
adalah ketakutan yang luar biasa dan tanpa alasan terhadap sebuah obyek atau situasi yang
tidak masuk akal. Pengidap fobia merasa tidak nyaman dan menghindari objek yang
ditakutinya,bahkanterkadang juga bisa menghambat aktivitas (http://bchymera.blogspot.com.
diakses tanggal 15 april 2018).

2. Jenis fobia
Berikut ini adalah tiga tipe fobia berdasarkan sistem DSM, yaitu fobia spesifik, fobia
sosial, dan agorafobia.
a) Fobia Spesifik adalah ketakutan yang berlebihan dan persisten terhadap objek atau situasi
spesifik, seperti:
1) Acrophobia: takut terhadap ketinggian, bahkan hanya setinggi 2 (dua) meter sudah cukup
menakutkan bagi penderita fobia.
2) Claustrophobia: takut terhadap tempat tertutup/terkunci sehingga orang dengan fobia
jenis ini sering berada di taman atau di lapangan olahraga bersama teman-temannya
3) Fobia binatang: takut terhadap binatang tertentu seperti tikus, ular, atau binatang-binatang
menjijikkan. Seseorang bisa saja mempunyai ketakutan terhadap hewan-hewan, namun
bila ketakutan itu mengganggu kehidupan sehari-hari atau menyebabkan distress
emosional yang signifikan di dalam diri (bahkan ketika hanya membayangkan hewan itu)
maka orang tersebut mengalami fobia.
4) Fobia benda-benda tertentu: seperti jarum suntik (bukan sakit ditusuk jarum sunti), pisau,
benda-benda elektronik, atau benda-benda lain.
b) Fobia Sosial Fobia sosial adalah ketakutan yang intens terhadap situasi sosial atau ramai
sehingga mereka mungkin sama sekali menghindarinya atau menghadapinya tapi dengan
distress emosi yang amat berkecamuk. Penderita fobia sosial mengalami ketakutan
terhadap situasi sosial seperti berkencan, datang ke pesta, pertemuanpertemuan sosial,
bahkan presentasi untuk ujian. Fobia sosial yang mendasar adalah ketakutan berlebihan
terhadap evaluasi negatif dari orang lain, dalam arti mereka takut dinilai jelek oleh orang
lain. Mereka merasa seakan-akan ribuan pasang mata sedang memperhatikan dengan
teliti setiap gerak yang mereka lakukan.Contoh fobia jenis ini adalah:
1) Demam panggung yang berlebihan
2) Kecemasan yang berlebihan saat berbicara di forum, bahkan di hadapan orang-orang
terdekat sekalipun.
3) Kecemasan meminta sesuatu, seperti memesan makanan di rumah makan karena takut
pelayan atau teman menertawai makanan yang mereka pesan.
4) Ketakutan bertemu dengan orang baru, hal ini menyebabkan penderita tidak berkembang
dalam hal sosial.
Fobia jenis ini menyebabkan penurunan kualitas hidup penderitanya, seperti kualitas
untuk mencapai sasaran pendidikan, maju dalam karir, atau bertahan dalam pekerjaan
yang membutuhkan interaksi dengan orang lain secara langsung. Sekali fobia sosial
tercipta, maka akan berlanjut secara kronis sepanjang hidup.
c) Agrofobia

Agrofobia secara harfiah diartikan sebagai “takut kepada pasar”, yang sugestif untuk
ketakutan berada di tempat-tempat terbuka dan ramai. Berbeda dengan fobia sosial,
agorafobia tidak “mati sosial” bila berinteraksi dengan orangorang di tempat yang sepi.
Agrofobia melibatkan ketakutan terhadap tempattempat atau situasi-situasi yang memberi
kesulitan bagi mereka untuk meminta bantuan ketika ada suatu problem yang menimpa
mereka atau orang lain. 12 Seseorang dengan agorafobia takut untuk pergi berbelanja di
toko-toko yang penuh sesak, bersempit-sempitan di bus, dan lain-lain yang kira-kira
membuat mereka sulit meminta pertolongan ( http://www. kaskus .co.id.2011. diakses
tanggal 15 April 2018).

Berdasarkan jenis ketakutannya, fobia dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Fobia spesifik: Fobia ini biasanya mulai berkembang sejak masa kanakkanak, misalnya
takut pada ketinggian, takut hewan tertentu, takut jarum suntik, dan lain sebagainya.
2) Fobia kompleks: Fobia yang biasanya berkembang di masa dewasa, misalnya fobia sosial
seperti perasaan cemas berlebih ketika berada di lingkungan tertentu yang akan sangat
mengganggu keseharian dan menghambat pengembangan dirinya.
3. Gejala fobia
Gejala fobia pada diri seseorang dapat mudah dikenali dari reaksi takut berlebihan yang
diperlihatkannya ketika melihat objek atau menghadapi situasi tertentu. Selain rasa takut
yang berlebihan, fobia juga bisa disertai dengan serangan panik yang ditandai dengan:
1) Disorientasi atau bingung.
2) Pusing dan sakit kepala.
3) Mual.
4) Dada terasa sesak dan nyeri.
5) Sesak napas.
6) Detak jantung meningkat.
7) Tubuh gemetar dan berkeringat.
8) Telinga berdenging.
9) Sensasi ingin selalu buang air kecil.
10) Mulut terasa kering.
11) Menangis terus-menerus dan takut ditinggal sendirian (terutama pada anakanak).
4. Diagnosis dan pengobatan fobia
Mage (1996) dalam Psikologi Abnormal (2006) menyebutkan bahwa tanpa
diketahui orang lain sebagian besar orang mengalami penderitaan karena fobia yang
meraka alami dan tidak mencari pertolongan. Pada kenyataanya, banyak orang yang
didiagnosis mengidap fobia oleh seorang ahli klinis tidak merasa dirinya mempunyai
masalah yang perlu perhatian khusus (elib.unicom.ac.id. Diakses tanggal 15 April 2018).
Fobia biasanya dapat mudah terdiagnosis oleh dokter dari gejala-gejala yang
mengarah pada kondisi tersebut, dengan diperkuat oleh riwayat penyakit (termasuk
kejiwaan), riwayat penggunaan obat, dan riwayat kehidupan sosial pasien. Penanganan
terhadap fobia dapat dilakukan melalui terapi psikologi, salah satunya yang efektif adalah
terapi perilaku kognitif.
Dalam kasus fobia, ahli terapi akan membantu pasien mengatasi rasa takut
melalui teknik pemaparan atau desentisasi. Dengan teknik pemaparan terhadap benda
atau suasana yang ditakuti, rasa takut diharapkan dapat berkurang secara bertahap
sehingga akhirnya pasien dapat mengendalikan fobia yang dialami. Contohnya, adalah
pada pasien yang mengalami fobia terhadap ular. Awalnya pasien diminta untuk
membaca tulisan tentang ular, lalu diperlihatkan gambar hewan tersebut, dan tahapan
berikutnya dengan mengunjungi kanda ng ular, yang dilanjutkan dengan memegang reptil
tersebut secara langsung.
1) Terapi Pada Agoraphobia.
a. Farmakoterapi
Obat Trisklik dan Tetrasiklik, Inhibitor Monoamine Oksidasi, SSRI, benzodiazepine
adalah efektif untuk pengobatan gangguan panic. Diantara obat Trisklik data yang paling
kuat menyatakan bahwa Clomipramine dan Imipramine adalah efektif didalam gangguan
panic. Tetapi pengalaman klinis menyatakan bahwa Climipramine dan Imipramine harus
dimulai pada dosis rendah 10 mg sehari, dan ditritasi perlahan-lahan pada awalnya
dengan 10 mg sehari tiap 2-3 hari. Selanjutnya lebih cepat dengan 25 mg sehari tiap 2-3
hari, jika dosis rendah ditoleransi dengan baik.
b. Terapi Kognitif dan Perilaku
Yaitu terapi yang efektif untuk gangguan panic, menghasilkan remisi gejala yang
berlangsung lama. Dua pusat utama terapi kognitif untuk gangguan panic adalah instruksi
tentang kepercayaan salah dari pasien dan informasi tentang serangan 10 panic. Instruksi
tentang kepercayaan yang salah berpusat pada kecenderungan pasien untuk keliru
menginterpretasikan sensasi tubuh yang ringan sebagai tanda untuk ancaman serangan
panic, kiamat atau kematian. Penerapan relaksasi dengan tujuan untuk memasukkan suatu
rasa pengendalian pada pasien tentang tin gkat kecemasan dan relaksasinya. Melalui
penggunaan tehnik yang dibakukan untuk relaksasi otot dan membayangkan situasi yang
menimbulkan relaksasi. Pasien belajar tehnik yang dapat membantu mereka melewati
serangan panic. Latihan Pernafasan. Tujuan dari latihan pernafasan ini untuk membantu
mengendalikan hiperventilasi selama suatu serangan panic. Pemaparan In Vivo
Digunakan sebagai terapi perilaku primer untuk gangguan panic. Tehnik meliputi
pemaparan yang semakin besar terhadap stimulus yang ditakuti dengan berjalan waktu
pasien mengalami desentisisasi terhadap pengalaman.
c. Terapi Psikososial Terapi keluarga yang digunakan untuk mendidik, mrndukung
seringkali bermanfaat. Psikoterapi berorientasi tilikan. Terapi ini bermanfaat dalam
pengobatan agoraphobia. Pengobatan memusatkan pada membantu pasien mengerti arti
bawah sadar dari kecemasan, simbolisme situasiyang dihindari, kebutuhan untuk
merepresi impuls dan tujuan sekunder dari gejala.
2) Terapi Pada Fobia Spesifik Terapi pada fobia spesifik yang paling sering adalah terapi
pemaparan, suatu tipe terapi perilaku dengan menggunakan pemaparan stimulus fobic
yangserial, bertahap dan dipacu diri sendiri. Ahli terapi mengajari pasien tentang
berbagai tehnik menghadapi kecemasan, termasuk 11 relaksasi, control ernafasan dan
pendekatan kognitif terhadap gangguan. Aspek kunci dari terapi perilaku yang berhasil
adalah komitmen pasien terhadap pengobatan, masalah dan tujuan yang diidentifikasi
dengan jelas dan strategi alternative yang tersedia untuk mengatasi perasaan pasien.
3) Terapi Pada Fobia Sosial Pengobatan pada fobia social menggunakan psikoterapi dan
farmakoterapi. Obat yang dilaporkan efektif dalam pengobatan adalah apralzolam,
clonazepam dan SSRI. Psikoterapi untuk fobia social melibatkan suatu kombinasi metode
perilaku dan kognitif termasuk terapi ulang kognitif, desentisisasi, session selama latihan
dan berbagai tugas pekerjaan rumah.

C. PSIKOTIK AKUT

1. Defenisi

Gangguan psikotik akut merupakan penyakit psikiatri yang ditandai dengan onset tiba-
tiba dari 1 atau lebih gejala berikut ini: delusi, halusinasi, postur dan perilaku yang bizarre,
serta bicara yang kacau. Gangguan psikotik akut dapat menjadi gejala awal dari penyakit
psikotik lainnya, seperti schizophrenia. Perbedaan antara penyakit ini dengan gangguan
psikotik lainnya adalah dalam hal jenis dan intensitas gejala, durasi waktu, serta perjalanan
gangguan psikotik yang dapat kembali penuh pada fungsi premorbid.
2. Diagnosis gangguan psikotik akut
Ditegakkan berdasarkan kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
5 (DSM-5). Perbedaan dengan schizophrenia pada kriteria waktu (terjadi dalam 1 hari namun
kurang dari 1 bulan) dan tidak disebabkan gangguan medis umum. Tidak adanya fase
prodromal pada gangguan psikotik akut menjadikan klasifikasi diagnosis ini tampak seperti
perubahan fungsi mental mendadak yang akhirnya kembali pada kondisi seperti sebelum
mengalami gangguan (tampak pulih sempurna).
Gangguan psikotik akut dapat disebabkan oleh adanya stresor yang jelas. Stresor berupa
stresor berat dari masalah interpersonal, pekerjaan dan pola relasi harian yang menimbulkan
kecenderungan perilaku membahayakan diri sendiri atau orang lain. Sebuah analisis
multivariat mengemukakan bahwa stres akut dan substance use disorder berhubungan
dengan perilaku bunuh diri pada pasien gangguan psikotik akut.
Penatalaksanaan gangguan psikotik akut mencakup pemberian antipsikotik, rawat inap
jika ada peningkatan psikomotor atau adanya tendensi membahayakan diri sendiri atau
lingkungan, serta pemberian psikoterapi dan edukasi terkait gangguan tersebut.
Pasien dengan gangguan psikotik akut cenderung dapat kembali pulih seperti semula, tetapi
dapat juga berkembang menjadi schizophrenia. Komplikasi gangguan psikotik akut meliputi
komplikasi terkait obat antipsikotik, psikiatrik, sosial dan mortalitas akibat tindakan bunuh
diri.
3. Anamnesis
Autoanamnesis dan observasi perilaku pasien gangguan psikotik akut menunjukkan
gangguan pada status mental:

1) Gangguan proses pikir: pikiran tidak realistik, waham yang disertai arus pikir kacau
2) Gangguan persepsi: halusinasi, ilusi, depersonalisasi dan derealisasi
3) Gangguan pembicaraan dan gangguan psikomotor: gaduh gelisah, mondar-mandir,
tindakan yang membahayakan diri sendiri dan lingkungan..
4. Diagnosis Banding
Diagnosis banding gangguan psikotik akut didasarkan pada beberapa kemungkinan
penyebab lain yang mendasari seperti keterlibatan faktor organik, gangguan medis serta
riwayat penggunaan zat atau obat. Penelusuran data melalui anamnesis akan mengarah pada
beberapa diagnosis banding, di antaranya:

a) Gangguan Mental Organik


Gejala psikotik pada gangguan mental organik dengan dasar gangguan metabolik seperti
pada gangguan delirium, tumor otak, epilepsi (post ictal psychosis), sindrom
Cushing, cerebral anoxia, trauma kepala. Seperti gangguan psikiatri lainnya, penyebab
organik harus lebih dahulu disingkirkan dan ditangani sesuai etiologi.Substance Use
Disorder Substance use disorder dapat menyebabkan gejala delirium dan intoksikasi yang
mengarah pada gejala psikotik. Anamnesis akan didapatkan keterangan penggunaan zat
atau obat tertentu hingga muncul gejala psikotik. Tes laboratorium dapat bermanfaat
untuk skrining adanya substance use disorder, misalnya kadar alkohol dalam darah atau
skrining obat melalui urine.
b) Gangguan Depresi dan Bipolar
Diagnosis gangguan psikotik akut tidak boleh ditegakkan apabila gejala psikotik yang
muncul pada diri pasien merupakan bagian dari episode mood. Hal ini akan tampak
selama observasi perilaku dan keterangan perubahan pola mood sebagai bagian
dari depresi manik atau episode campuran.
c) Gangguan Psikotik Lain
Dokter perlu memikirkan kondisi gangguan psikotik lain ketika durasi gejala psikotik
menetap selama 1 bulan atau lebih, di antaranya gangguan skizofreniform, gangguan
waham, gangguan depresi dengan gejala psikotik, gangguan bipolar dengan gejala
psikotik, tergantung pada gejala yang muncul ketika dilakukan pemeriksaan. Dokter
harus mengevaluasi kemungkinan episode kekambuhan gejala psikotik.
d) Malingering and Factitious Disorder
Pasien malingering seolah mengalami gejala psikotik, namun hal ini didasarkan pada
sikap berpura-pura serta didapatkan bukti bahwa perilaku tersebut muncul dengan tujuan
yang jelas, misalnya untuk menghindari penangkapan atau tuduhan kriminal. Sebaliknya,
pada factitious disorder, perilaku pura-pura pasien tidak memiliki tujuan yang jelas selain
kesenangan pribadi atau mencari perhatian. Dokter perlu melakukan observasi perilaku
harian terhadap kondisi tersebut untuk membedakan dengan gangguan psikotik akut.
e) Gangguan Kepribadian
Pada beberapa orang dengan gangguan kepribadian, munculnya stresor psikososial dapat
mencetuskan kejadian gangguan psikotik akut. Gejala yang muncul bersifat sementara
dan tidak memerlukan diagnosis terpisah (tetap menjadi bagian dari gangguan
kepribadian). Namun, apabila gejala psikotik bertahan setidaknya 1 hari, maka diagnosis
gangguan psikotik akut perlu ditambahkan (selain gangguan kepribadian).
5. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang sepenuhnya menegakkan gangguan
psikotik akut. Pemeriksaan penunjang sesuai indikasi apabila ada kecenderungan
gangguan fisik atau gangguan mental organik yang mendasari. Apabila dokter curiga
adanya kejang yang mendasari kejadian psikotik maka disarankan pemeriksaan EEG,
demikian halnya pada penyalahgunaan zat maka tes urine dapat dilakukan.
6. Kriteria Diagnosis DSM-5
Penegakan diagnosis gangguan psikotik akut berdasarkan Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders 5 (DSM-5), harus memenuhi tiga aspek kriteria diagnosis
berikut ini:
1) Munculnya satu (atau lebih) gejala berikut ini:
a. Waham
b. Halusinasi
c. Pembicaraan yang kacau (sering keliru atau inkoheren)
d. Tingkah laku yang kacau atau katatonik
2) Durasi munculnya gangguan setidaknya 1 hari namun kurang dari 1 bulan, disertai
kembalinya fungsi premorbid (fungsi kembali penuh seperti sebelum mengalami
gangguan)
3) Gangguan yang muncul tidak dijelaskan lebih baik melalui kondisi gangguan depresi
mayor atau gangguan bipolar dengan gejala psikotik atau gangguan psikotik lain seperti
schizophrenia atau katatonia, dan tidak disebabkan efek penyalahgunaan zat
(penyalahgunaan obat, dalam masa pengobatan) atau kondisi medis lain
7. Kriteria Diagnosis ICD-11
Diagnosis gangguan psikotik akut dalam International Classification Of Diseases
11th Revision (ICD-11) dijelaskan bahwa gangguan ditandai oleh onset gejala psikotik akut
yang muncul tanpa fase prodromal dan mencapai tingkat keparahan maksimal dalam dua
minggu. Gejala terdiri dari waham, halusinasi, kekacauan proses pikir, kebingungan, serta
gangguan afek dan mood. Gangguan psikomotor yang menyerupai kondisi katatonia dapat
muncul.
Gejala akan berubah secara cepat, dalam perjalanan dan intensitasnya, dari hari ke hari,
atau dalam satu hari. Durasi episode tidak lebih dari 3 bulan, dan sering berakhir dalam
beberapa hari hingga 1 bulan. Gejala tidak merupakan manifestasi dari gangguan kondisi
kesehatan lain (contoh: tumor otak) dan efek penggunaan zat atau pengobatan yang
berhubungan dengan sistem saraf pusat (contoh: kortikosteroid) termasuk efek lepas zat
(contoh: gejala withdrawal alcohol use disorder).
8. terapi Psikotik akut
Kondisi kegawat daruratan psikiatri yang menyertai gangguan psikotik akut diantaranya
adalah gaduh gelisah,perilaku menyakiti diri sendiri dan/atau lingkungan, serta percobaan
bunuh diri. Dokter harus mengidentifikasi kondisi kegawatdaruratan ini dan memberikan
penanganan yang sesuai, misalnya deeskalasi verbal atau pemberian terapi farmakologis
untuk pasien agitasi dengan obat oral sebagai pilihan lini pertama diikuti dengan terapi
parenteral jika pasien tidak mau mengonsumsi obat oral. Terapi farmakologis yang umum
digunakan untuk penanganan awal adalah antipsikotik atau benzodiazepine. Selain itu,
ketamin juga dapat diberikan, khususnya pada pasien yang membutuhkan sedasi secara cepat.
Panduan Injeksi pada Fase Akut sesuai Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
Ilmu Kedokteran Jiwa

Nama Obat Dosis Rute Pemberian

Intramuskular

10 Dapat diulang setiap 2 jam, dosis maksimal 30 mg/hari.


Olanzapine mg/injeksi
Intramuskular

9.75 Dosis maksimal 29,25 mg/ hari


Aripriprazole mg/injeksi

Intramuskular

5 Dapat diulang setiap setengah jam, dosis maksimal 20 mg/hari


Haloperidol mg/injeksi

Intramuskular

10 Dosis maksimal 30 mg/hari


Diazepam mg/injeksi

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2015

9. Pemberian Antipsikotik
Apabila kondisi kegawatdaruratan psikiatri teratasi, terapi dilanjutkan dengan pemberian
obat oral antipsikotik yang kemudian dilakukan evaluasi dalam 1-3 minggu pertama sampai
dosis optimal. Pemberian antipsikotik pada gangguan psikotik akut serupa dengan pemberian
untuk schizophrenia.

Antipsikotik atipikal (generasi kedua) bekerja lebih selektif dan berpengaruh pada
reseptor serotonin sehingga memperbaiki fungsi suasana perasaan. Golongan obat ini juga
memiliki risiko efek samping yang lebih rendah dibandingkan antipsikotik tipikal sehingga
menjadi pilihan terapi untuk gangguan psikotik akut.

Daftar Obat Antipsikotik, Dosis dan Sediaan sesuai Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) Ilmu Kedokteran Jiwa

Obat Antipsikotik Rentang dosis anjuran Sediaan

Antipsikotik Generasi I

Chlorpromazine 300-1000 mg/hari Tablet (25 mg; 100 mg)


Perfenazin 16-64 mg/hari Tablet (4 mg)

Trifluoperazin 15-50 mg/hari Tablet (1 mg; 5 mg)

Tablet (0.5 mg; 1 mg; 1.5 mg; 2 mg; 5


g), injeksi short acting (5 mg/ml),
tetes (2 mg/5 ml), injeksi long
Haloperidol 5-20 mg/hari acting (50 mg/ml)

Antipsikotik Generasi II

Tablet (5 mg; 10 mg; 15 mg), tetes (1


mg/ml), discmelt (10 mg; 15 mg),
Aripiprazole 10-30 mg/hari injeksi (9.75 mg/ml)

Clozapine 150-600 mg/hari Tablet (25 mg; 100 mg)

Tablet (5 mg; 10 mg), injeksi (10


Olanzapine 10-30 mg/hari mg/ml)

Tablet immediate release (IR) (25 mg;


100 mg; 200 mg; 300 mg),
tablet extended release (XR) (50 mg;
Quetiapine 300-800 mg/hari 300 mg; 400 mg)

Tablet (1 mg; 2 mg; 3 mg), tetes (1


mg/ml), injeksi long acting (25 mg;
Risperidone 2-8 mg/hari 37.5 mg; 50 mg)

Paliperidone 3-9 mg/hari Tablet (3 mg; 6 mg; 9 mg)

Zotepin 75-150 mg/hari Tablet (25 mg; 50 mg)

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2015.


D. Depresi
1) Defenisi depresi
Depresi atau dalam istilah medis disebut sebagai gangguan depresi mayor adalah
gangguan mental yang mempengaruhi perasaan, cara berpikir dan cara bertindak
seseorang. Individu yang mengalami depresi cenderung merasa sedih dan kehilangan
minat untuk melakukan aktivitas yang biasa dilakukan. Kondisi ini kemudian dapat
menyebabkan berbagai masalah emosional dan fisik hingga menurunkan kinerja
pengidapnya.Efek depresi dapat berlangsung lama atau bahkan berulang dan mampu
memengaruhi kemampuan seseorang menjalani aktivitas sehari-hari. Depresi dapat
memburuk dan bertahan lebih lama bila tak ditangani dengan tepat. Dalam kasus yang
parah depresi memicu pengidapnya untuk melukai diri sendiri hingga menimbulkan
pikiran bunuh diri. 
2) Faktor Risiko Depresi
Depresi umumnya terjadi pada remaja di rentang usia 20 hingga 30-an, meski semua
rentang usia juga memiliki risiko tersendiri. Lebih banyak wanita dibandingkan pria yang
didiagnosis mengidap gangguan mental ini, tetapi wanita lebih cenderung segera mencari
pengobatan. Depresi yang dialami oleh usia paruh baya atau orang dewasa yang lebih tua
dapat terjadi bersamaan dengan penyakit medis serius lainnya. Contohnya seperti
diabetes, kanker, penyakit jantung, dan penyakit Parkinson. Beberapa faktor yang dapat
memicu terjadinya depresi, antara lain:
a. Memiliki riwayat gangguan kesehatan mental pada keluarga.
b. Menyalahgunakan alkohol atau obat terlarang.
c. Memiliki ciri kepribadian tertentu, seperti rendah diri, terlalu keras dalam menilai diri
sendiri, pesimis, atau terlalu bergantung kepada orang lain.
d. Mengidap penyakit kronis atau serius, seperti gangguan hormon tiroid, cedera kepala,
HIV/AIDS, diabetes, kanker, stroke, nyeri kronis, atau penyakit jantung.
e. Mengonsumsi obat-obatan tertentu, seperti beberapa obat tekanan darah tinggi atau obat
tidur.
f. Mengalami kejadian traumatik, seperti kekerasan seksual, kematian, kehilangan orang
yang dicintai, atau masalah keuangan.
3) Penyebab Depresi

Belum diketahui secara pasti sesuatu yang dapat menyebabkan depresi. Beberapa risiko
yang dapat meningkatkan risiko dari gangguan ini adalah:

a. Masalah biologis: Seseorang yang mengidap depresi kemungkinan mengalami perubahan


fisik di otak. Meski begitu, tingkat signifikan dari perubahan ini belum diketahui secara
pasti, meski akhirnya dapat membantu untuk menentukan sesuatu yang menyebabkannya.
b. Gangguan kimia pada otak: Neurotransmitter adalah bahan kimia pada otak yang
terbentuk secara alami dan disebut-sebut dapat berperan dalam depresi. Sebuah penelitian
menyebut jika perubahan dalam fungsi dan efek neurotransmitter ini dapat memengaruhi
stabilitas suasana hati sehingga memengaruhi tingkat depresi pada seseorang.
c. Gangguan hormon: Perubahan atau gangguan pada keseimbangan hormon dapat memicu
terjadinya depresi. Hal ini kerap terjadi selama kehamilan dan beberapa minggu atau
bulan setelahnya (pascapartum). Selain itu, seseorang yang mengalami masalah tiroid,
menopause, serta beberapa kondisi lainnya juga memiliki risiko tinggi pada depresi.
d. Penyakit keturunan: Masalah depresi lebih berisiko terjadi pada seseorang dengan
keluarga inti yang pernah mengidapnya. Disebutkan jika gen dapat memengaruhi risiko
dari penyebab depresi.
e. Peristiwa kehidupan: Stres, kematian orang yang dicintai, peristiwa yang mengecewakan
(trauma), isolasi dan kurangnya dukungan dapat menyebabkan depresi.
f. Kondisi medis: Rasa sakit dan penyakit fisik yang berkelanjutan dapat menyebabkan
depresi. Pengidap penyakit kronis seperti diabetes, kanker, dan penyakit Parkinson lebih
rentan mengalami depresi.
g. Obat: Beberapa obat memiliki efek samping depresi. Narkoba dan alkohol juga dapat
menyebabkan depresi atau memperburuknya.
h. Kepribadian: Orang yang mudah kewalahan atau mengalami kesulitan mengatasi situasi
tertentu lebih rentan terhadap depresi.

4) Gejala Depresi

Depresi bisa lebih dari sekadar keadaan sedih atau tertekan. Seseorang yang mengidap
gangguan dalam tahap berat dapat menimbulkan berbagai gejala yang berbeda-beda.
Beberapa gejala dapat memengaruhi suasana hati, tetapi juga dapat terjadi pada beberapa
bagian tubuh. 

Gejalanya juga mungkin saja menjadi akut atau hilang dan tumbuh. Seseorang dikatakan
depresi apabila mengalami gejala di bawah ini hampir sepanjang hari setidaknya selama dua
minggu. Berikut ini beberapa gejala yang dapat timbul saat mengidap depresi:

a. selalu merasa bersalah.


b. Merasa putus asa, rendah diri, dan tidak berharga.
c. Selalu merasa cemas dan khawatir yang berlebihan.
d. Suasana hati buruk atau sedih berkelanjutan.
e. Mudah marah atau sensitif.
f. Mudah menangis.
g. Sulit berkonsentrasi, berpikir, dan mengambil keputusan.
h. Tidak tertarik dan tidak memiliki motivasi terhadap segala hal.
i. Timbul pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau bunuh diri.
j. Selalu merasa kelelahan dan hilang tenaga.
k. Perubahan siklus menstruasi pada wanita.
l. Konstipasi.
m. Gerakan tubuh dan bicara yang lebih lambat dari biasanya.
n. Hilang gairah seksual.
o. Gangguan tidur.
p. Perubahan berat badan dan selera makan.. 

5) Diagnosis Depresi

Dokter akan mendiagnosis depresi dengan melakukan wawancara medis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan psikologis, serta pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah jika diperlukan.
Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengetahui penyebab depresi. Cara pemeriksaannya
yaitu:
a. Pemeriksaan fisik: Dokter mungkin akan melakukan pemeriksaan fisik dan mengajukan
pertanyaan yang berhubungan dengan kesehatan. Dalam beberapa kasus, depresi yang
terjadi dihubungkan dengan masalah kesehatan fisik yang menjadi penyebabnya.
b. Tes laboratorium: Dilakukan untuk memastikan gangguan kelenjar tiroid yang
merupakan salah satu pemicu depresi adalah dengan hitung darah lengkap. Ahli medis
dapat menilai jika terdapat gangguan pada organ tersebut sehingga langsung melakukan
penanganan.
c. Pemeriksaan mental: Ahli kesehatan mental akan bertanya tentang gejala yang dirasakan,
pikiran, perasaan, serta pola perilaku yang dirasakan. Selain itu, pasien mungkin diminta
untuk mengisi kuisioner untuk menjawab beberapa pertanyaan untuk menilai kesehatan
mental.
6) Terapi
a. Psikoterapi Pengobatan
populasi depresi pada umumnya tidak hanya terpusat pada anak, pengobatan
termasuk anak, orangtua, dan sekolah untuk memperpendek episode depresi. Pada anak
terdepresi, pengembangan kognitif dan emosi merupakan intervensi psikoterapetik yang
harus dibangun. Beberapa pendekatan psikoterapi berbeda yang digunakan telah
menunjukkan hasil, seperti:
a) Psikoterapi perorangan (individual psychotherapy)
b) Terapi bermain (play therapy)
c) Terapi berorientasi kesadaran (insight-oriented therapy)
d) Terapi tingkah laku (behavioral therapy)
e) Model stres hidup (life stress model)
f) Psikoterapi kognitif (cognitive psychotherapy).
g) Lain-lain, seperti terapi kelompok (group therapy), latihan orangtua (parent
training),terapi keluarga (family 9 training), pendidikan remedial (remedial education),
dan penempatan di luar rumah (out of homeplacement).
b. Farmakoterapi Saat ini, belum ada obat yang direkomendasikan oleh Food and
Drug Administration (FDA). Pengobatan secara farmakoterapi masih kontroversial pada
anak dan remaja. Farmakoterapi yang sering digunakan:
1) Golongan antidepresi trisiklik: amitriptilin, imipramin, dan desipramin. Berbeda dengan
orang dewasa, pada anak tidak menunjukkan perbedaan yang berarti antara antidepresi
golongan trisiklik dengan plasebo. Obat ini bersifat kardiotoksik dan cenderung berakibat
fatal bila melampaui dosis.
2) Golongan obat yang bekerja spesifik menghambat ambilan serotinin: fluoksetin dan
sertralin. Obat ini memberikan harapan yang cerah dalam pengobatan depresi pada anak
dan remaja. Merupakan obat pilihan pertama pada anak dan remaja karena dapat
ditoleransi dengan baik dan efek yang merugikan lebih sedikit dibandingkan dengan
antidepresi golongan trisiklik. Sayangnya, sedikit sekali penelitian tentang pengobatan
rumatan (maintenance) pada anak dan remaja. Dibandingkan dengan usia dewasa, pada
masa remaja cenderung berkembang untuk agitasi atau menjadi mania bila meraka
mendapat SSRIs (Selective serotinine reuptake inhibitors). Obat ini juga dapat
menurunkan libido.
3) Litium karbonat. Obat ini telah digunakan untuk pengobatan anak dan remaja yang
mengalami agresi, mania, depresi, dan masalah tingkah laku, tetapi lebih berguna pada
kasus yang berisiko menjadi bipolar.

BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN
Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan & kondisi medis yang mempengaruhi otak
manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif, mempengaruhi emosional dan tingkah laku
(Depkes RI, 2015). Skizofrenia termasuk masalah kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian
karena dampak dari Skizofrenia bukan hanya dirasakan oleh penderita dan keluarga namun juga
masyarakat dan pemerintah(WHO,2019).

Tipe fobia dibedakan atas: fobia spesifik yaitu takut berlebihan terhadap objek atau
situasi tertentu; fobia sosial yaitu ketakutan yang intens terhadap situasi sosial; dan agrofobia
yaitu ketakutan terhadap tempat atau situasi yang sulit untuk meminta bantuan ketika ada suatu
problem. 4. Gejala fobia mudah dikenali dari reaksi yang terlihat seperti: bingung, pusing; mual;
dada sesak dan nyeri; sesak napas; detak jantung meningkat; gemetar dan berkeringat; telinga
berdenging; sensasi buang air kecil, dan lain-lain

2. SARAN

Agar perawat mampu mengenali pengertian tanda dan gejala,jenis-jenis,terapi pengobatan


skizofrenia,fobia,psikotik akut dan depresi.

DAFTAR PUSTAKA

Friedman, Edward S.; Anderson, Ian M, 2014. Handbook of Depression, second Edition.
London : Springer Healthcare, a part of Springer Science+Business Media.pp:1-29

Ellenbroek, Bart; Youn, Jiun, 2016. Affective Disorders in Gene-Environment


Interactions in Psychiatry, Nature, Nurture, Neuroscience. London : Elsevier Inc. pp:173-183
Isometsa, Erkki. 2014. Suicidal Behaviour in Mood Disorders-Who, When, and Why?
CanJPsychiatry. 59(3). pp:120–130

Marwick,K; Birrel,M., 2013. The Mood (Affective) Disorders in Crash Course


Psychiatry, 4 th Edition. Edinburgh : Elsevier Ltd. Pp:133-137

Stahl, Stephen M.; Muntner, Nancy, 2013. Mood Disorders in Stahl‘s Essential
Psychopharmacology, Neuroscientific Basis and Practical Application, 4th edition. New York :
Cambridge University Press. Pp:237-282

Sadock, Benjamin J.; Sadock, Virginia A.; et al, 2017. Mood Disorders in
Comprehensive Textbook of Psychiatry, Volume I/II, 10th edition. Philadelphia : Wolters
Kluwer. pp: 4099-4403

APA, 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition. Washington DC
: American Psychiatric Association. pp: 160-161

B.Mansur, Rodrigo; Brietzke, Elisa; McIntyre, Roger S., 2015. ―Is there Metabolic-Mood
Syndrome? A review of the Relationship between obesity and mood disorders. Neuroscience and
Biobehavioral Reviews. J.neubiorev.12.017. pp:5

Anda mungkin juga menyukai