Anda di halaman 1dari 12

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/273866139

Mengenal gejala dan penyebab gangguan jiwa

Conference Paper · October 2013

CITATIONS READS

9 59,336

1 author:

Suryani Suryani
Universitas Padjadjaran
83 PUBLICATIONS 347 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Suryani Suryani on 22 March 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Makalah

Mengenal gejala dan penyebab gangguan jiwa

Oleh

Suryani SKp., MHSc., PhD.

Disampaikan pada Seminar Nasional


“Stigma terhadap orang gangguan jiwa”
BEM Psikologi UNJANI
Hotel Cemerlang, Bandung, Kamis, 10 Oktober, 2013
1. Pendahuluan

Secara global, diperkirakan sebanyak 24 juta orang telah menderita skizofrenia (WHO,
2009). Di Indonesia, menurut Riskesdas (2007) sebanyak 1 juta orang atau sekitar 0,46%
dari total pendududk Indonesia menderita skizofrenia. Sedangkan yang mengalami
gangguan mental emosiona (cemas dan depresi) adalah 11,6% atau sekitar 19 juta
penduduk.

Mengalami gangguan jiwa tidak hanya berdampak pada individu tetapi juga pada
keluarga dan negara. Kerugian ekonomi minimal akibat masalah kesehan jiwa mencapai 20
Triliun rupiah. Karena itu masalah gangguan jiwa ini perlu mendapatkan perhatioan yang
serius dari pemerintah agar pelayanan bagi penderita gangguan jiwa ini bisa lebih baik.

Pelayanan bagi penderita gangguan jiwa tidak terlepas dari peran para profesional
kesehatan seperti psikiater, psikolog, perawat psikiatri, occupational therapist dan pekerja
sosial. Sehingga diperlukan peningkatan pemahaman yang terus menerus tentang gangguan
jiwa ini. Pada seminar kali ini, yang juga dalam rangka hari kesehatan jiwa sedunia, saya
akan menyampaikan tentang tanda dan gejala serta penyebab gangguan jiwa. Diharapkan
dengan penyampaian materi ini terjadi peningkatan pemahaman para peserta seminar
tentang masalah gangguan jiwa.

2. Defenisi sehat jiwa

Menurut WHO (2011), yang dimaksud dengan sehat jiwa adalah “a state of well-being in
which every individual realizes his or her own potential, can cope with the normal stresses
of life, can work productively , and is able to make a contribution to her or his community”

Berdasarakan defenisi diatas jelaslah bahwa sehat jiwa itu bukan hanya sekedar bebas dari
gangguan jiwa akan tetapi, seseorang yang sehat jiwanya adalah seseorang yang mengerti
dan menyadari kemampuan yang dimilikinya, bisa mengatasi stres dalam kehidupan sehari –
hari, dapat bekerja secara produktif dan berkontribusi di masyarakat dimana dia berada.
Jadi, seandainya seseorang merasa bahwa dia tidak bisa apa – apa atau merasa
dirinya jelek atau bodoh, orang tersebut bisa dikatakan tidak sehat jiwanya. Demikian juga
orang yang senangnya bermalas – malasan, penggangguran bisa juga tidak sehat jiwanya.
Akan tetapi perlu dipahami bahwa produktig disini tidak selalu berkonotasi materi. Produktif
disini bisa juga menolong orang lain, beribadah (menghasilkan pahala) atau menulis
(menghasilkan ilmu).

Selanjutnya, orang yang sehat jiwanya mampu mengatasi stres yang dialaminya
sehari – hari. Orang yang sehat jiwanya biasanya tidak stres-an. Tenang dalam menghadapi
masalah dan tidak menyalahkan hal – hal diluar dirinya. Orang yang sehat jiwanya akan
mampu berkontribusi di masyarakat. Orang yang mempunyai harga diri rendah merasa malu
bergaul dengan orang lain, sebaliknya orang yang sombong merasa dirinya tidak pantas
berada disekitar orang kebanyakan sehingga biasanya dia hanya berteman dengan orang –
orang tertentu saja.

3. Penggolongan gangguan jiwa

Secara internasional, penggolongan gangguan jiwa mengacu pada DSM IV. DSM IV ini
dikembangkan oleh para expert dibidang psikistri di Amerika Serikat. DSM IV ini telah
dipakai secara luas terutama oleh para psikiater dalam menentukan diagnosa gangguan
jiwa. Di indonesia para ahli kesehatan jiwa menggunakan PPDGJ 3 sebagai acuan dalam
menentukan diagnosa gangguan jiwa. Secara umum gangguan jiwa dapat dibagi kedalam
dua kelompok yaitu gangguan jiwa ringan dan gangguan jiwa berat.

Yang termasuk kedalam gangguan jiwa ringan antara lain cemas, depresi,
psikosomatis dan kekerasan sedangkan yang termasuk kedalam gangguan jiwa berat seperti
skizofrenia, manik depresif dan psikotik lainnya. Menurut Hawari (2001), tanda dan gejala
gangguan jiwa ringan (cemas) adalah sebagai berikut:

 Perasan khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri dan mudah
tersinggung

 Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut


 Takut sendirian, takut pada keramaian, dan banyak orang

 Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan

 Gangguan konsentrasi dan daya ingat

 Keluhan-keluhan somatik seperti rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran
berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan
perkemihan dan sakit kepala.

Sedangkan tanda dan gejala depresi menurut NIMH USA antara lain:

 Rasa sedih yang terus-menerus

 Rasa putus asa dan pesimis

 Rasa bersalah, tidak berharga dan tidak berdaya

 Kehilangan minat

 Energi lemah, menjadi lamban

 Sulit tidur (insomnia) atau tidur berlebihan (hipersomnia)

 Sulit makan atau rakus makan (menjadi kurus atau kegemukan)

 Tidak tenang dan gampang tersinggung

 Berpikir ingin mati atau bunuh diri

Apa tanda dan gejala gangguan jiwa berat ? Secara cepat sebenarnya kita dapat
mengenali seseorang yang mengalami gangguan jiwa berat. Mereka yang mengalami
gangguan jiwa berat tidak bisa menjalankan kehidupannya sehari – hari, bicaranya tidak
nyambung, sering berperilaku menyimpang dan terkadang mengamuk. Orang gila yang kita
temukan dijalanan itu biasnya mengalami gangguan jiwa berat.

Adapun menurut DSM IV, tanda dan gejala skizofrenia adalah :

1. Gejala positif yaitu sekumpulan gejala perilaku tambahan yang menyimpang dari
perilaku normal seseorang termasuk distorsi persepsi (halusinasi), distorsi isi pikir
(waham), distorsi dalam proses berpikir dan bahasa dan distorsi perilaku dan
pengontrolan diri.
2. Gejala negatif yaitu sekumpulan gejala penyimpangan berupa hilangnya sebagian
fungsi normal dari individu termasuk keterbatasan dalam ekspresi emosi,
keterbatasan dalam produktifitas berfikir, keterbatasab dalam berbicara (alogia),
keterbatasan dalam maksud dan tujuan perilaku.

4. Penyebab gangguan jiwa

Pada umumnya orang awam beranggapan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh santet
atau diguna – guna atau kekuatan supra natural. Akan tetapi sesungguhnya gangguan jiwa
disebabkan oleh banyak faktor yang beriteraksi satu sama lain. Seperti dapat kita lihat pada
bagan dibawah ini.

Biologis

Pengalaman
Psikoedukasi
traumatis

gangguan
jiwa
Pemahaman
Stressor dan
psikososial keyakinana
agama kurang

Koping tidak
konstruktif

4.1. Pengalaman traumatis sebelumnya

Sebuah survey yang dilakukan oleh Whitfield, Dubeb, Felitti, and Anda (2005) di San
Diego, Amerika Serikat selama 4 tahun terhadap 50,000 pasien psychosis menemukan
sebanyak 64% dari responden pernah mengalami trauma waktu mereka kecil (sexual
abuse, physical abuse, emotional abuse, and substance abuse). Penelitian lain yang
dilakukan oleh Hardy et al. (2005) di UK terhadap 75 pasien psychosis menemukan
bahwa ada hubungan antara kejadian halusinasi dengan pengalaman trauma. 30,6%
mereka yang mengalami halusinasi pernah mengalami trauma waktu masa kecil mereka

4.2. Faktor biologi


4.2.1. Faktor Genetik

Hingga saat ini belum ditemukan adanya gen tertentu yang menyebabkan terjadinya
gangguan jiwa. Akan tetapi telah ditemukan adanya variasi dari multiple gen yang telah
berkontribusi pada terganggunya fungsi otak (Mohr, 2003). Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh National Institute of Health di Amerika serikat telah menemukan adanya
variasi genetik pada 33000 pasien dgn diagnosa skizofrenia, Autis, ADHD, bipolar disorder
dan mayor deppressive disorder. (NIH, USA, 2013). Penelitian tersebut menemukan bahwa
Variasi CACNA1C dan CACNB2 diketahui telah mempengaruhi circuitry yang meliputi
memori, perhatian, cara berpikir dan emosi (NIH, USA, 2013). Disamping itu juga telah
ditemukan bahwa dari orang tua dan anak dapat menurunkan sebesar 10%. Dari keponakan
atau cucu sebesar 2 – 4 % dan saudara kembar identik sebesar 48 %.

4.2.2. Gangguan sturktur dan fungsi otak

Menurut Frisch & Frisch (2011), Hipoaktifitas lobus frontal telah menyebabkan afek
menjadi tumpul, isolasi sosial dan apati. Sedangkan gangguan pada lobus temporal telah
ditemukan terkait dengan munculnya waham, halusinasi dan ketidak mampuan mengenal
objek atau wajah.

Gangguan prefrontal pada pasien skizofrenia berhubungan dengan terjadinya gejala


negatif seperti apati, afek tumpul serta miskin nya ide dan pembicaraan. Sedangkan pada
bipolar disorder, gangguan profrontal telah menyebabkan munculnya episode depresi,
perasaan tidak bertenaga dan sedih serta menurunnya kemampuan kognitif dan
konsentrasi. Dsifungsi sistim limbik berkaitan erat dengan terjadinya waham , halusinasi,
serta gangguan emosi dan perilaku. Penelitian terbaru menemukan penyebab AH adanya
perubahan struktur dalam sirkuit syaraf yaitu adanya kerusakan dalam auditory spatial
perception(Hunter et all,2010)
4.2.3. Neurotransmitter

Menurut Frisch & Frisch (2011), Neurotransmiter adalah senyawa organik endogenus
membawa sinyal di antara neuron. Neurotransmitter terdiri dari:

 Dopamin: berfungsi membantu otak mengatasi depresi, meningkatkan


ingatan dan meningkatkan kewaspadaan mental.

 Serotonin: pengaturan tidur, persepsi nyeri, mengatur status mood dan


temperatur tubuh serta berperan dalam perilaku aggresi atau marah dan
libido

 Norepinefrin: Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan, pusat


perhatian dan orientasi; mengatur “fight-flight”dan proses pembelajaran dan
memory

 Asetilkolin: mempengaruhi kesiagaan, kewaspadaan, dan pemusatan


perhatian

 Glutamat: pengaturan kemampuan memori dan memelihara fungsi


automatic

4.3. Faktor psikoedukasi

Faktor ini juga tidak kalah pentingnya dalam kontribusinya terhadap terjadinya gangguan
jiwa. Sebuah penelitian di Jawa yang dilakukan oleh Pebrianti, Wijayanti, dan Munjiati
(2009) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tipe pola asuh
keluarga dengan kejadian Skizofrenia. Sekitar 69 % dari responden (penderita skizofrenia)
diasuh dengan pola otoriter, dan sekitar 16,7 % diasuh dengan pola permissive.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Erlina, Soewadi dan Pramono si Sumatra Barat
tentang determinan faktor timbulnya skizofrenia menemukan bahwa pola asuh keluarga
patogenik mempunyai risiko 4,5 kali untuk mengalami gangguan jiwa skizofrenia
dibandingkan dengan pola asuh keluarga tidak patogenik. Adapun yang mereka maksud
dengan pola suh patogenik tersebut antara lain :
1. Melindungi anak secara berlebihan karena memanjakannya

2. Melindungi anak secara berlebihan karena sikap “berkuasa” dan “harus tunduk saja”

3.Sikap penolakan terhadap kehadiran si anak (rejected child)

4. Menentukan norma-norma etika dan moral yang terlalu tinggi

5. Penanaman disiplin yang terlalu keras

6. Penetapan aturan yang tidak teratur atau yang bertentangan

7. Adanya perselisihan dan pertengkaran antara kedua orang tua

8. Perceraian

9. Persaingan dengan sibling yang tidak sehat

10. Nilai-nilai yang buruk (yang tidak bermoral)

11. Perfeksionisme dan ambisi (cita-cita yang terlalu tinggi bagi si anak)

12. Ayah dan atau ibu mengalami gangguan jiwa (psikotik atau non-psikotik)

Berkaitan dengan penelantaran anak, sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh
Schafer et al (2007) pada 30 pasien wanita dengan skizofrenia, menemukan adanya korelasi
yang bermakna antara anak-anak yang ditelantarkan baik secara fisik maupun mental
dengan gangguan jiwa. Pada analisis multivariabel, Schafer menemukan bahwa mereka yang
mempunyai status ekonomi rendah berisiko 7,4 kali untuk menderita ganguan jiwa
skizofrenia dibanding dengan mereka yang mempunyai status ekonomi tinggi . Artinya
mereka dari kelompok ekonomi rendah kemungkinan mempunyai risiko 7,4 kali lebih besar
mengalami kejadian skizofrenia dibandingkan mereka yang dari kelompok ekonomi tinggi.

4.4. Faktor koping

Menurut Lazarus (2006), Ketika individu mengalami masalah, secara umum ada dua strategi
koping yang biasanya digunakan oleh individu tersebut, yaitu:
 Problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian
dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres

 Emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur


emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan timbul akibat
suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan.

Individu yang menggunakan problem –solving focused coping cenderung


berorientasi pada pemecahan masalah yang dialaminya sehingga bisa terhindar dari stres
yang berkepanjangan sebaliknya individu yang senantiasa menggunakan emotion-focused
coping cenderung berfokus pada ego mereka sehingga masalah yang dihadapi tidak pernah
ada pemecahannya yang membuat mereka mengalami stres yang berkepanjangan bahkan
akhirnya bisa jatuh kekeadaan gangguan jiwa berat.

4.5. Stressor psikososial

Faktor stressor psikososial juga turut berkontribusi terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Seberapa berat stressor yang dialami seseorang sangat mempengaruhi respon dan koping
mereka. Seseorang mengalami stressor yang berat seperti kehilangan suami tentunya
berbeda dengan seseorang yang hanya mengalami strssor ringan seperti terkena macet
dijalan. Banyaknya stressor dan seringnya mengalami sebuah stressor juga mempengaruhi
respon dan koping. Seseorang yang mengalami banyak masalah tentu berbeda dengan
seseorang yang tidak punya banyak masalah.

4.6. Pemahaman dan keyakinan agama

Pemahaman dan keyakinan agama ternyata juga berkontribusi terhadap kejadian gangguan
jiwa. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan ini. Sebuah penelitian
ethnografi yang dilakukan oleh Saptandari (2001) di Jawa tengah melaporkan bahwa
lemahnya iman dan kurangnya ibadah dalam kehidupan sehari – hari berhubungan dengan
kejadian gangguan jiwa. Penelitian saya di tahun 2011 juga telah menemukan adanya
hubungan antara kekuatan iman dengan kejadian gangguan jiwa. Pada pasien yang
mengalami halusinasi pendengaran, halusinasinya tidak muncul kalau kondisi keimanan
mereka kuat (Suryani, 2011).

5. Kesimpulan

Gangguan jiwa adalah penyakit kronis yang tidak terjadi begitu saja. Gangguan jiwa bukan
disebabkan oleh hal – hal yang bersifat supra natural seperti santet dan diguna – guna.
Hingga saat ini belum ditemukan penyebab spesifik dari gangguan jiwa. Akan tetapi,
beberapa penelitian telah menunjukkan adanya bebrapa faktor yang berhubungan dengan
kejadian gangguan jiwa seperti faktor pengalaman traumatis, faktor biologis, faktor
psikoedukasi. faktor koping, faktor stressor psikososial, dan faktor pemahaman dan
keyakinan agama seseorang.

6. Referensi
1. Erlina, Soewadi dan Pramono, D (2010). Determinan terhadap timbulnya
skizofrenia pada pasien rawat jalan di rumah sakit jiwa H.B Saanin, Padang
Sumbar. Jurnal berita kedokteran masyarakat. 26(2): 63 - 70

2. Frances, A., First, M.B., & Pincus, H.A. (2002). DSM-IV-TR. Handbook of
Differential Diagnois. USA: American Psychiatric Press.

3. Frisch N., & Frisch A. (2011). Psychiatric mental health nursing. 4 ed. Australia:
Delmar CENGAGE learning.Hawari, Dadang.2001. Manajemen Strees, Cemas, dan
Depresi. Jakarta : Gaya Baru.

4. Hunter, Eickhoff, Pheasant, Douglas, Watts , et al. (2010) The state of tranquility:
Subjective perception is shaped by contextual modulation of auditory
connectivity. Neuro Image 53: 611–618.

5. Hardy, A., Fowler, D., Freeman, D., Smith, B., Steel, S., Evans, J., Garety, … Dunn,
G. (2005). Trauma and Hallucinatory Experience in Psychosis. Journal of Nervous
& Mental Disease, 193, 501–507.

6. Mohr, W.K (2003). Psychiatric mental health nursing. 5ed. USA: Lippincott

7. National Institute of mental Health. Sign and Simptoms of depression. From


http://www.nimh.nih.gov/health/topics/depression/men-and-depression/signs-
and-symptoms-of-depression/index.shtml
8. Pebrianti, S., Wijayanti, R., dan Munjiati (2009). Hubungan tipe pola asuh
keluarga dengan kejadian skizofrenia. Jurnal Keperawatan Soedirman (The
Soedirman Journal of Nursing), Volume 4 (1).

9. O’Daly, frangoa, Chitnis & Shergill (2007). Brain structural changes in


schizophrenia patients with persistent hallucinations. Psychiatry research:
neuroimaging. 156, 15-21

10. National Institute of health (NIH), USA (2013) Common Genetic Factors Found in
5 Mental Disorders,
http://www.nih.gov/researchmatters/march2013/03182013mental.htm

11. Rabinowicz, Silipo, Goldman, Javitt (2000).Auditory Sensory Dysfunction in


Schizophrenia: Imprecision or Distractibility?. Arch Gen Psychiatry, 57:1149-1155

12. Stuart & Laraia (2001). Principle and practice of psychiatric nursing. 7ed. USA:
Mosby company

13. Suryani (2013). Salat and dhikr to dispell voices: The experience of indonesian
muslim with chronic mental illness. Malaysia journal of Psychiatry, 22(1)

14. WHO (2011). Mental health: A state of well being. From


http://www.who.int/features/factfiles/mental_health/en/

15. WHO (2011). Mental health: A state of well being. From


http://www.who.int/features/factfiles/mental_health/en/

16. Whitfield, C., Dubeb, S., Felitti, V. & Anda, R. (2005). Adverse childhood
experiences and hallucinations. Child Abuse & Neglect, 29, 797–810.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai