Anda di halaman 1dari 28

MODUL-5

GANGGUAN KESEHATAN MENTAL

Deskripsi Singkat
Seperti yang telah dibahas dalam bab penyesuaian diri, bahwa manusia akan selalu
berupaya untuk mencapai titik keseimbangan (equilibrium) terhadap kebutuhan-
kebutuhannya. Dalam konteks kesehatan mental, gangguan kesehatan pada mental individu
merupakan akibat dari tidak seimbangnya antara kebutuhan dan upaya pemenuhan kebutuhan
tersebut. Di samping itu, kondisi-kondisi lain seperti faktor lingkungan dan kerusakan pada
organ-organ fisik juga mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Bukan hanya gangguan
mental yang dapat dialami oleh seseorang, apabila gangguan mental tersebut tidak ditangani
dengan semestinya akan dapat mengakibatkan penyakit pada mental/jiwa yang berpengaruh
pula pada kemampuan seseorang untuk menjalani kehidupannya sehari-hari.
Pada bab ini akan dibahas terkait dengan apa yang dimaksud dengan gangguan mental,
jenis-jenis dan gejalanya, serta upaya yang dapat ditempuh untuk menangani gangguan atau
penyakit pada mental seseorang.

Relevansi
Setelah mengikuti perkuliahan ini, dharapkan mahasiswa dapat menjelaskan kembali
apa yang dimaksud dengan gangguan dan penyakit pada mental seseorang. Selain itu,
mahasiswa diharapkan dapat mengidentifikasi dan menjelaskan kembali jenis-jenis dan gejala
dari tiap gangguan/penyakit pada mental/jiwa beserta upaya penanganannya.
Capaian Mata Kuliah
Mahasiswa memahami bentuk-bentuk gangguan kesehatan mental:
• Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian gangguan kesehatan mental
• Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menjelaskan bentuk dan gejala neuoris dan
psikosis
• Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menjelaskan penanganan neurosis dan psikosis

A. Latar Belakang
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), gangguan mental dialami oleh
ratusan juta orang di dunia dan berdampak pada kehidupan orang-orang terdekat mereka.
Satu dari empat orang akan mengalami gangguan mental pada saat tertentu dalam hidup
mereka. Depresi adalah penyebab utama gangguan kesehatan di seluruh dunia.
Skizofrenia dan gangguan bipolar termasuk gangguan yang paling parah dan membatasi
kesanggupan penderitanya. Meskipun sangat banyak orang mengalaminya, gangguan
mental tetap sering ditutup-tutupi, tidak ditangani, dan dianggap remeh.
Lebih lanjut WHO melansir bahwa banyak penderita gangguan mental tidak mau
mencari bantuan karena malu dan takut dianggap aneh. Menurut sebuah organisasi
kesehatan mental di Amerika Serikat, walaupun kebanyakan gangguan mental bisa
diatasi dengan perawatan tertentu, sekitar 60 persen orang dewasa dan hampir 50 persen
anak muda berusia 8 sampai 15 yang mengalami gangguan mental di Amerika Serikat
tidak mendapat perawatan pada tahun 2016. Gangguan mental merupakan masalah yang
sangat umum. Pada tahun 2014 di Amerika Serikat, sekitar: 1 dari 5 orang dewasa
mengalami masalah pada kesehatan mentalnya, 1 dari 10 anak muda mengalami periode
gangguan mental yang bermasalah, 1 dari 25 orang hidup dengan kondisi penyakit
mental yang serius, seperti skizofrenia, bipolar, dan depresi berat. Kasus bunuh diri
merupakan penyebab nomor 10 teratas di Amerika Serikat.
Lebih dari 800.000 orang meninggal dikarenakan bunuh diri setiap tahun dan kasus
bunuh diri merupakan penyebab kematian yang korbannya memiliki rentang usia antara
15-29 tahun. Terdapat beberapa indikasi bahwa pada setiap orang dewasa yang
meninggal akibat bunuh diri telah melakukan percobaan bunuh diri lebih dari 20 kali.
75% diantara kasus bunuh diri terjadi di negara-negara dengan pendapatan perkapita
menengah ke bawah. Gangguan mental dan penyalahgunaan alkohol menjadi pemicu
terhadap berbagai kasus bunuh diri di berbagai belahan dunia, WHO.
Beberapa fakta di atas merupakan gambaran bahwa gangguan dan penyakit mental
merupakan hal yang serius yang apabila tidak ditangani dapat mengakibatkan kerugian
yang sangat besar bagi penderitanya dan orang-orang terdekatnya. Kerugian bukan hanya
bersifat personal, namun juga negara mengalami kerugian karena kehilangan orang-
orang dalam usia produktif yang sejatinya merupakan aset bagi kelangsungan suatu
negara. Oleh karena itu, penting untuk dibahas dalam buku ini terkait dengan apa yang
dimaksud dengan gangguan kesehatan mental, seperti apa bentuk dan gejalanya, serta
bagaimana penanganannya.
B. Jenis-jenis Gangguan Mental
Dalam dunia psikologi dan psikiatri, terdapat dua kategori gangguan kesehatan
mental, yang pertama disebut dengan istilah neurosis, biasa disebut juga dengan istilah
psikoneurosis (ganggaun mental/gangguan jiwa) dan yang kedua adalah psikosis
(penyakit mental/penyakit jiwa).
1. Neurosis
Secara bahasa, neurosis adalah kondisi gangguan fungsional yang melibatkan
perasaan seperti kecemasan, pikiran-pikran obsesi, perilaku kompulsif, dan gejala-
gejala gangguan mental tanpa adanya penyebab secara medis, dan dalam berbagai
tingakatan serta polanya neurosis terkait dengan kepribadian.
Para psikiater menggunakan istilah ini pada pertengahan abab ke-19 untuk
mengkategorikan gejala-gejala yang berkaitan dengan susunan syaraf. Sementara
penambahan kata “psiko” dalam istilah psikoneurosis pada beberapa dekade
selanjutnya ditetapkan setelah ditemukan bahwa mental dan emosi merupakan faktor
penting dalam segi etiologi dari bentuk gangguan jenis ini.
Pandangan yang berpengaruh dalam istilah ini adalah bahwa neurosis muncul
sebagai akibat adanya konflik intra-psikis (konflik antara bedanya dorongan, impuls,
dan motif di dalam berbagai komponen dari pikiran). Terpusat pada teori psikoanalisa
yang ditemukan oleh seorang neurologis asal Austria, Sigmund Freud, yang mana
menyebutkan bahwa neurosis merupakan kondisi keberadaan bagian ketidaksadaran
dalam pikiran diantara fungsi-fungsi mental lainnya yang berperang sebagai
penyimpanan akan pikiran, perasaan dan memori yang terganggu dan tidak dapat
diterima oleh pikiran sadar individu.
Seiring dengan perkembangan pandangan terhadap istilah neurosis, kaum
behavioralis memberikan sumbangan besar yang mengidentifikasi neurosis dengan
diterbitkannya DSM IV. Fokus DSM IV dalam mengidentifikasi bentuk dan gejala
neurosis didasarkan pada pola-pola perilaku yang ditunjukkan oleh individu
berdasarkan kategori-kategori penyimpangan perilaku. Diagnosis mutakhir ini
mencakup berbagai hal yang menyebabkan neurosis seperti gangguan kecemasan,
gangguan konversi, gangguan sakit psikogenik, amesia psikogenik, kepribadian ganda
dan lain-lain.
Dalam pandangan beberapa pakar kesehatan mental, seperti Dali Gulo (1982),
berpendapat bahwa neurosis merupakan suatu kelainan mental yang hanya
mengakibatkan pengaruh pada sebagian kepribadian, lebih ringan dari psikosis dan
seringkali ditandai dengan: keadaan cemas yang kronis, gangguan-gangguan pada
indera dan motorik, hambatan emosi, kurang perhatian terhadap lingkungan, dan
kurang memiliki energi fisik.
Pendapat sama halnya menurut Maramis (1980) yang mengemukakan bahwa
pengertian neurosis adalah suatu kesalahan penyesuaian diri secara emosional karena
tidak diselesaikan suatu konflik tidak sadar.
Orang yang mengalami neurosis ini mengalami gejala jiwa yang mempengaruhi
perilakunya, namun tidak sampai mengganggu kehidupan sehari-hari dan sosialnya,
mereka juga menyadari akan permasalahannya tersebut. Bentuk gangguan ini bersifat
lunak dan tidak terlalau berbahaya namun jangan sampai dibiarkan. Dengan demikian,
neurosis merupakan bentuk gangguan mental/jiwa yang termasuk pada taraf biasa
namun dapat mengganggu stabilitas kesehatan mental dan fisik. Konsep individu
dalam menghadapi kehidupan nampak sangat dominan dalam menciptakan konflik
batin yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan jiwa.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa neurosis atau
psikoneurosis merupakan bentuk dari gangguan mental/jiwa yang karakteristiknya
berupa konflik batin dan terganggunya hubungan sosial seseorang. Dua aspek utama
dari neurosis ini adalah melibatkan perasaan stress atau tertekan, konlfik dan frustrasi.
Penderita gangguan neurosis masih mampu menyesuaikan diri dan beraktivitas dalam
kehidupan sehari-harinya. Gangguan mental/jiwa ini dapat ditangani secara efektif
melalui teknik-teknik psikologis. Gangguan ini termasuk penyakit mental yang ringan
karena tidak mengharuskan penderitanya mendapatkan perawatan secara medis dan
belum dirasa cukup berat sehingga perlu ditangani oleh dokter ahli kejiwaan.

2. Psikosis
Psikosis merupakan taraf gangguan mental yang lebih berat dibandingkan dengan
neurosis. Terdapat beberapa definisi yang berlaku di dunia kedokteran, psikologi dan
psikiatri. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan psikosis, berikut adalah
penjelasannya.
Rumusan dari Medical Dictionary (2017) menggambarkan bahwa psikosis
merupakan gejala atau ciri dari penyakit mental (jiwa) yang karakteristik umumnya
berdasarkan perubahan drastis dalam kepribadian, kerusakan fungsi-fungsi psikologis,
dan adanya gangguan atau tidak adanya nilai tujuan atas kenyataan. Pasien yang
menderita psikosis mengalami gangguan dalam pengujian realitas dan fantasi yang
dibuatnya. Artinya, mereka tidak dapat membedakan pengalaman subyektif pribadi
dan realitanya. Mereka mengalami halusinasi dan/atau khayalan yang mereka yakini
nyata, dan cenderung berperilaku dan berkomunikasi dengan cara yang tidak tepat dan
tidak adaptif. Psikosis dapat muncul sebagai gejala dari suatu kondisi gangguan
mental, termasuk perasaan dan gangguan kepribadian. Kondisi tersebut juga
merupakan ciri dari skizofrenia, kelainan schizophreniform, gangguan schizoafektif,
gangguan delusional, dan kelainan psikotik.
Freudenreich, Oliver (2013) menjelaskan bahwa psikosisa adalah kondisi
abnormal dari pikiran yang melibatkan gejala kehilangan kontak dengan realita.
Orang dengan kondisi psikosis mungkin juga mengalami perubahan kepribadian dan
pikiran-pikiran yang kacau. Bergantung pada tingkatannya, kondisi tersebut dapat
juga disertai dengan perilaku-perilaku yang aneh atau tidak biasa, seperti kesulitan
berinteraksi sosial dan ketidakmampuan dalam menjalani aktivitas kehidupan sehari-
harinya.
Pandangan dari segi psikologis dalam kesehatan mental juga perlu dibahas untuk
memahami apa yang dimaksud dengan psikosis. Menurut Singgih D. Gunarsa (1998),
psikosis adalah gangguan jiwa yang meliputi keseluruhan kepribadian, sehingga
penderita tidak bisa menyesuaikan diri dalam norma-norma hidup yang wajar dan
berlaku umum.
Pendapat lain dari W.F. Maramis (2005), menyatakan bahwa psikosis adalah
suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense of reality). Kelainan
seperti ini dapat diketahui berdasarkan gangguan-gangguan pada perasaan, pikiran,
kemauan, motorik, dst. sedemikian berat sehingga perilaku penderita tidak sesuai lagi
dengan kenyataan. Perilaku penderita psikosis tidak dapat dimengerti oleh orang
normal, sehingga orang awam menyebut penderita sebagai orang gila.
Definisi lain dikemukakan oleh Zakiah Daradjat (1993), seorang yang diserang
penyakit jiwa (psychosis), kepribadiannya terganggu dan selanjutnya menyebabkan
kurang mampu menyesuaikan diri dengan wajar, dan tidak sanggup memahami
problemnya atau masalah atas kondisinya tersebut. Seringkali orang sakit jiwa tidak
merasa bahwa dirinya sakit, sebaliknya ia menganggap dirinya normal saja, bahkan
lebih baik, lebih unggul, dan lebih penting dari orang lain.
Definisi berikutnya tentang psikosis dari Medline Plus (2000) sebagai berikut:
“Psychosis is a loss of contact with reality, usually including false ideas about what is
taking place or who one is (delusions) and seeing or hearing things that aren’t there
(hallucinations)”. Psikosis, menurut Medline Plus merupakan kelainan jiwa yang
ditandai dengan hilangnya kontak dengan realitas, biasanya mencakup ide-ide yang
salah tentang apa yang sebenarnya terjadi, delusi, atau melihat atau mendengar
sesuatu yang sebenarnya tidak ada (halusinasi).
Berdasarkan pembahasan terkait dengan definisi psikosis, the Rethink Mental
Illness Advice Service (2016) membahas bahwa psikosis merupakan istilah medis
yang digunakan untuk menggambarkan kondisi seseorang yang mendengar atau
melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada (delusi dan halusinasi). Contoh umum dari
kondisi psikosis diantaranya adalah sering terjadinya waham atau mendengar suara-
suara yang tidak diketahui asalnya dan/atau meyakini bahwa ada seseorang yang
sedang mencoba untuk mencelakai dirinya. Orang yang mengalami kondisi psikosis
dapat diakibatkan oleh berbagai penyebab, contohnya dapat karena mengalami
penyakit jiwa seperti skizofrenia atau bipolar yang diakibatkan oleh kerusakan otak
atau stress yang berlebihan. Para peneliti bahwa genetik, biologis dan lingkungan
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap munculnya psikosis pada seseorang.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat disimpulkan psikosis merupakan
masalah mental/jiwa serius yang ditandai dengan kemunculan gejala utama berupa
delusi dan halusinasi. Penderita kondisi ini akan memandang kenyataan secara tidak
normal. Ketika gejala delusi menguasai diri penderita psikosis, dia akan sangat
meyakini sesuatu yang pada kenyataannya tidak benar. Misalnya penderita merasa
diikuti, merasa terancam oleh kehadiran orang-orang di sekitarnya, atau merasa
mendapat pesan rahasia. Sedangkan ketika gejala halusinasi menguasai, penderita
psikosis akan seolah-olah merasakan, melihat, atau mendengar sesuatu yang tidak
nyata.

C. Bentuk Gejala dan Penyebab Neurosis


Gangguan mental/jiwa dalam konteks neurosis ditandai dengan bermacam-macam
gejala. Nama macam-macam gejala pada neurosis diberi nama/istilah berdasarkan gejala
yang paling menonjol (seperti gangguan kecemasan), Maramis (1980). Dengan demikian
pada setiap jenis neurosis terdapat ciri-ciri dari jenis neurosis yang lain, bahkan kadang-
kadang ada pasien yang menunjukkan begitu banyak gejala sehingga gangguan jiwa
yang dideritanya sukar untuk dimasukkan pada jenis neurosis tertentu Bahwa nama atau
sebutan untuk neurosis diberikan berdasarkan gejala yang paling menjonjol atau paling
kuat. Atas dasar kriteria ini para ahli mengemukakan jenis-jenis neurosis sebagai berikut:
1. Gangguan kecemasan (anxiety)
Gangguan kecemasan adalah gangguan mental yang menyebabkan penderitanya
mengalami kecemasan yang berlebihan dan mempengaruhi penyesuaian diri mereka
dalam kehidupan sehari-hari terhadap lingkungannya. Dalam teori psikoanalisa oleh
Freud, gangguan kecemasan dijelaskan sebagai fungsi ego untuk memperingatkan
individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan
reaksi adaptif yang sesuai. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi
ego karena kecemasan memberi sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau tidak
dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai ego
dikalahkan.
Kecemasan, lanjut Freud adalah suatu keadaan perasaan efektif yang tidak
menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang
terhadap bahaya yang akan datang. Keadaan yang tidak menyenangkan itu sering
kabur dan sulit menunjuk dengan tepat, tetapi kecemasan itu sendiri selalu dirasakan.
Di lihat dari pendekatan belajar pengertian kecemasan adalah suatu respons ketakutan
yang terkondisi secara klasik dan gangguan-gangguan kecemasan terjadi bila respons
ketakutan itu diasosiasikan dengan suatu stimulus yang seharusnya tidak
menimbulkan kecemasan (Semiun, 2006).
Pandangan Semium (2006) dalam meninjau gangguan kecemasan berbeda
dengan pendapat Freud. Menurutnya, gangguan kecemasan merupakan suatu simtom
atau gejala yang mendasari gangguan lain dan juga sebagai gangguan utama dari
gangguan kecemasan. Simtom-simtom gangguan kecemasan menurut Semiun terdiri
dari:
a. Simtom Suasana Hati
Simtom-simtom suasana hati dalam gangguan kecemasan adalah, tegangan panik
dan kehawatiran. Individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan
adanya hukuman dan bencana yang mengancam dari sutu sumber tertentu yang
tidak diketahui, selain itu simtom suasana hati yang lain adalah depresi dan mudah
marah.
b. Simtom Kognitif
Simtom-simtom ini menunjukan kekhawatiran dan keprihatinan mengenai bencana
yang diantisipasi oleh individu. Seperti halnya khawatir akan hal-hal yang
mengerikan, merasa takut berada diantara keramaian dan tidak bisa fokus.
c. Simtom Somatik
Dibagi menjadi dua, yang pertama simtom langsung terdiri dri keringat, mulut
kering, nafas pendek, denyut nadi cepat, tekanan darah meningkat, kepala terasa
berdenyut-denyut, dan otot tersa tegang. Kedua, apabila kecemasan tersebut
berkepanjangan, simtom-simtom tambahan seperti tekanan meningkat secara
kronis, sakit kepala, otot melemah dan gangguan pencernaan.
d. Simtom motor
Orang-orang yang mengalami gangguan kecemasan sering merasa tidak tenang,
gugup, kegiatan motorik menjadi tanpa arti dan tujuan, misalnya jari-jari kaki
mengetuk-ngetuk, dan sangat kaget terhadap suara yang tiba-tiba. Simtom motorik
merupakan gambaran rangsangan kognitif dan somatis yang tinggi pada individu
dan merupakan usaha untuk melindungi dirinya dari apa saja yang dirasa
mengancam.
Menurut Maramis (1998), salah satu faktor yang menyebabkan gangguan
kecemasan secara psikodinamika yang berhubungan dengan emosi yang tidak dikelola
dengan baik, seperti kemarahan yang dipendam, rasa penyesalan akan masa lampau,
rasa bersalah di masa lampau. Ada dua gejala utama dari gangguan kecemasan, yaitu
gejala somatis yang manifestasinya dapat berupa sesak nafas, dada tertekan, kepala
ringan seperti mengambang, cepat lelah, keringat dingan. Sedangkan gejala yang
kedua bersifat psikologis yang mana manifestasinya dapat berupa kecemasan,
ketegangan, panik dan depresi.
Lain halnya menurut Sundari (2004) terkait gejala-gejala yang bersifat fisik dari
gangguan kecemasan diantaranya adalah jari tangan dingin, detak jantung mekin
cepat, berkeringat dingin, kepala pusing, nafsu makan berkurang, tidur tidak nyenyak,
dada sesak. Sedangkan gejala yang bersifat mental yaitu ketakukan merasa akan
ditimpa bahaya, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak tentram, serta keinginan
untuk lari dari kenyataan.
Menurut Kaplan (2007), kecemasan juga memiliki karakteristik berupa
munculnya perasaan takut dan kehati-hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas.
Gejala-gejala kecemasan yang muncul dapat berbeda pada masing-masing individu.
Takut dan cemas merupakan dua emosi yang berfungsi sebagai tanda adanya suatu
bahaya. Rasa takut muncul jika terdapat ancaman yang jelas atau nyata, berasal dari
lingkungan, dan tidak menimbulkan konflik bagi individu. Sedangkan kecemasan
muncul jika bahaya berasal dari dalam diri sendiri, tidak jelas, atau menyebabkan
konflik bagi individu.
Zakiah Daradjat mengemukakan beberapa penyebab dari kecemasan sebagai
berikut:
a. Adanya bahaya yang mengancam dirinya. Kecemasan ini lebih dekat dengan rasa
takut, karena sumbernya terlihat jelas didalam pikiran.
b. Cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan hal-hal yang
berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani.
c. Kecemasan yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk. Kecemasan
ini disebabkan oleh hal yang tidak jelas dan tidak berhubungan dengan apapun
yang terkadang disertai dengan perasaan takut yang mempengaruhi keseluruhan
kepribadian penderitanya.

Mustamir (2009) membagi kecemasan menjadi tiga jenis kecemasan yaitu:


a. Kecemasan rasional
Merupakan suatu ketakutan akibat adanya objek yang memang mengancam,
misalnya ketika menunggu hasil ujian.Ketakutan ini dianggap sebagai suatu unsur
pokok normal dari mekanisme pertahanan dasariah kita.
b. Kecemasan irasional
Tingkatan ini berarti bahwa mereka mengalami emosi ini dibawah keadaan-
keadaan spesifik yang biasanya tidak dipandang mengancam bagi individu.
c. Kecemasan fundamental
Kecemasan fundamental merupakan suatu pertanyaan tentang siapa dirinya, untuk
apa hidupnya, dan akan kemanakah kelak hidupnya berlanjut. Kecemasan ini
disebut sebagai kecemasan eksistensial yang mempunyai peran fundamental bagi
kehidupan manusia.
Sementara itu Kartono (2006) membagi kecemasan menjadi dua jenis kecemasan,
diantaranya:
a. Kecemasan ringan
Kecemasan ringan dibagi menjadi dua kategori yaitu ringan sebentar dan ringan
lama. Kecemasan ini sangat bermanfaat bagi perkembangan kepribadian seseorang,
karena kecemasan ini dapat menjadi suatu tantangan bagi seorang individu untuk
mengatasi tantangan tersebut. Kategori kedua adalah kecemasan ringan yang lama,
adalah kecemasan yang dapat diatasi tetapi karena individu tersebut tidak segera
mengatasi penyebab munculnya kecemasan, maka kecemasan tersebutakan
mengendap lama dalam diri individu.
b. Kecemasan berat
Kecemasan berat adalah kecemasan yang terlalu berat dan berakar secara
mendalam dalam diri seseorang. Apabila seseorang mengalami kecemasan
semacam ini maka biasanya ia tidak dapat mengatasinya. Kecemasan ini
mempunyai akibat menghambat atau merugikan perkembangan kepribadian
seseorang. Kecemasan ini dibagi menjadi dua yaitu kecemasan berat yang sebentar
dan lama. Kecemasan yang berat tetapi munculnya sebentar dapat menimbulkan
trauma pada individu jika menghadapi situasi yang sama dengan situasi penyebab
munculnya kecemasan. Sedangkan kecemasan yang berat tetapi munculnya lama
akan merusak kepribadian individu. Hal ini akan berlangsung terus menerus
bertahun-tahun dan dapat merusak proses kognisi individu. Kecemasan yang berat
dan lama akan menimbulkan berbagai macam penyakit seperti darah tinggi,
tachycardia (percepatan darah), excited (heboh, gempar).

2. Histeria
Histeria merupakan neurosis yang ditandai dengan reaksi-reaksi emosional yang
tidak terkendali sebagai cara untuk mempertahankan diri dari kepekaannya terhadap
rangsang-rangsang emosional. Pada neurosis jenis ini fungsi mental dan fisik dapat
hilang tanpa dapat dikendalikan oleh penderitanya. Gejala-gejala histeria sering
timbul dan hilang secara tiba-tiba, terutama apabila penderita menghadapi situasi yang
menimbulkan reaksi emosional yang hebat. Hal ini ditandai dengan kurangnya kontrol
atas tindakan dan emosi, dan dengan tiba-tiba kejang ketidaksadaran dengan ledakan
emosional. Hal ini sering kali merupakan akibat konflik yang ditekan dalam orang.
Penyakit ini tidak membedakan gender, namun lebih sering terjadi pada wanita muda
antara usia 14-25 tahun.
Histeria digolongkan menjadi dua katergori, yaitu reaksi konversi atau histeria
minor dan reaksi disosiasi atau histeria mayor.
a. Histeria minor atau reaksi konversi
Pada histeria minor kecemasan diubah atau dikonversikan (sehingga disebut reaksi
konversi) menjadi gangguan fungsional susunan saraf somatomotorik atau
somatosensorik, dengan gejala: lumpuh, kejang-kejang, mati raba, buta dan tuli.
b. Histeria mayor atau reaksi disosiasi
Histeria jenis ini dapat terjadi bila kecemasan yang yang alami penderita demikian
hebat, sehingga dapat memisahkan beberapa fungsi kepribadian satu dengan
lainnya sehingga bagian yang terpisah tersebut berfungsi secara otonom, sehingga
timbul gejala-gejala: amnesia, somnabulisme, fugue, dan kepribadian ganda.
Sigmund Freud mengutarakan bahwa histeria terjadi karena pengalaman
traumatis (pengalaman menyakitkan) yang kemudian berubah menjadi direpresi
atau ditekan ke dalam alam tidak sadar dengan maksud untuk melupakan atau
menghilangkan pengalaman tersebut, namun pengalaman traumatis tersebut tidak
dapat dihilangkan begitu saja, melainkan ada dalam alam tidak sadar
(uncociousness) dan suatu saat muncul kedalam sadar tetapi dalam bentuk
gangguan jiwa.

3. Neurosis fobik
Istilah fobik disebut juga dengan fobia/phobia. Kata “phobia” sendiri berasal dari
istilah Yunani “phobos” yang berarti lari (fight), takut dan panik (panic-fear), takut
hebat (terror). Istilah ini memang dipakai sejak zaman Hippocrates. Phobia adalah
ketakutan yang luar biasa dan tanpa alasan terhadap sebuah obyek atau situasi yang
tidak masuk akal. Pengidap phobia merasa tidak nyaman dan menghindari objek yang
ditakutinya. Terkadang juga bisa menghambat aktivitasnya.
Dalam kesehatan mental, neurosis fobik atau disebut dengan fobia, adalah
perasaan takut yang berlebihan dan tidak rasional terhadap suatu objek atau situasi.
Fobia termasuk ke dalam klasifikasi atau bentuk dari gejala neurosis. Fobia adalah
bentuk pikiran yang dipelajari berdasarkan respon emosi. Pada umumnya fobia terjadi
pada saat rasa takut terhadap sesuatu dibalik muncul akibat situasi yang mengancam
terhadap kestabilan emosi.
Defenisi fobia menurut kamus psikologi adalah sebagai suatu ketakutan yang
kuat, terus menerus dan irasional dengan ditimbulkan oleh suatu perangsang atau
situasi khusus, seperti ketakutan yang abnormal terhadap tempat atau situasi tertentu.
Sementara kartono (1989) mendefinisikan fobia sebagai ketakutan atau kecemasan
yang abnormal, tidak rasional tidak bisa dikontrol terhadap suatu situasi terhadap
objek tertentu. Semua fobia adalah ketajutan yang tak beralasan, yang bertalian
dengan perasaan bersalah atau pun malu, ditekan. Kemudian berubah takut pada suatu
yang lain, dengan begitu terpendamlah konflik atau frustasi yang dialaminya.
Terdapat 3 kategori atau jenis fobia, diantaranya adalah:
a. Fobia khusus
Merupakan bentuk ketakutan berlebihan oleh si pengidap phobia pada suatu objek
atau keadaan situasi tertentu. Misalnya ia merasa takut saat digigit anjing, kucing,
ruang sempit, ketinggian, bulu, gelap, tikus dan lain sebagainya.
b. Fobia sosial
Merupakan suatu fobia atau ketakutan ketika berada di suatu tempat. Biasanya si
pengidap phobia akan menghidari serta tidak mau berada di tempat keramaian. Hal
ini di sebabkan karna ia merasa takut menjadi pusat perhatian. Mereka juga takut
pada penilaian orang lain yang di tujukan kepadanya. Biasanya penderita fobia
sosial akan membutuhkan orang lain di sampingnya. Ketika terpaksa berada di
tempat ramai, ia akan mengajak orang lain berada di sampingnya.
c. Fobia kompleks
Merupakan jenis penyakit fobia yang terjadi pada seseorang, namun bukan hanya
ada satu jenis saja. Ini merupakan bentuk kompleksivitas fobia yang menyerang
pada dirinya. Seperti agoraphobia, yang merasa takut di tempat terbuka dan
keramaian. Pada fobia ini, penderita juga sekaligus merasa gangguan panik.
Berikut adalah contoh dari fobia yang dapat disajikan dalam buku ini, karena
memang jenis fobia khusus sangat banyak kategorinya:
 Acarophobia: ketakutan terhadap rasa gatal, termasuk serangga yang
menyebabkan gatal.
 Acerophobia: ketakutan pada rasa asam.
 Achluophobia: ketakutan pada suasana kegelapan.
 Acousticophobia: ketakutan pada suara.
 Acrophobia: ketakutan pada ketinggian suatu tempat.
 Bacillophobia: ketakutan pada mikroba.
 Bacteriophobia: ketakutan terhadap bacteria.
 Ballistophobia: ketakutan pada peluru.
 Bolshephobia: ketakutan terhadap Bolsheviks.
 Barophobia: ketakutan pada gaya tarik bumi.
 Basophobia/Basiphobia : ketidakmampuan untuk berdiri, karena takut ketika
berjalan akan terjatuh.
 Bathmophobia: ketakutan pada tangga, termasuk pada tempat sempit.
 Cacophobia: ketakutan pada keburukan.
 Cainophobia/Cainotophobia : ketakutan terhadap sesuatu yang baru, termasuk
pada kesenangan baru.
 Caligynephobia: ketakutan kepada wanita yang cantik.
 Cancerophobia/Carcinophobia : rasa takut pada penyakit kanker.
 Cardiophobia: rasa takut pada organ hati atau jantung.
 Carnophobia: rasa takut terhadap daging.
 Catagelophobia: ketakutan jika di tertawakan.
 Catapedaphobia: ketakutan untuk melompat dari tempat tinggi serta tempat
yang rendah.
 Cathisophobia: rasa takut untuk duduk.
 Catoptrophobia: rasa takut pada cermin.
 Cenophobia/Centophobia : ketakutan terhadap pemikiran atau ide baru.
 Ceraunophobia/Keraunophobia : ketakutan pada adanya guntur dan petir.
(Astraphobia, Astrapophobia)
 Chaetophobia: rasa takut terhadap rambut.
 Cheimaphobia/Cheimatophobia : rasa takut terhadap hawa atau suasana dingin.

4. Neruosis obsesif-kompulsif
Obsesif-kompulsif merupakan karakteristik dari masukan akan ide, pikiran
dan/atau perasaan ke dalam kesadaran seseorang. Atau dapat juga berupa suatu
tindakan yang bersifat ritual (berulang dengan spesifikasi waktu yang rutin) dari
penderitanya. Obsesif-kompulsif juga dapat mencakup pemikiran keras atau gigih
yang berulang. Perilaku kompulsif mencakup ritual seperti mencuci tangan berulang
atau penguncian pintu.
Penyakit Obsesif-kompulsif ditandai dengan adanya obsesi dan kompulsi. Obsesi
adalah peristiwa kognitif repetitif, tidak diinginkan, dan intrusive yang bisa berbentuk
pikiran atau bayangan dalam pikiran atau hasrat (dorongan). Pikiran atau hasrat
tersebut muncul secara tiba-tiba dalam kesadaran dan mengakibatkan peningkatan
dalam kecemasan subjektif (Oltmanns & Emery, 2013). Menurut de silva dan
Rachman, 2004 (dalam Oltmanns & Emery, 2013:195) Pikiran obsesif dapat
dibedakan dengan kekhawatiran dalam dua hal utama, yaitu:
a. Obsesi biasanya dialami oleh orang itu sebagai sesuatu yang dipicu oleh masalah
dalam kehidupan sehari-hari.
b. Isi obsesi paling sering melibatkan tema yang dipersepsikan tidak dapat diterima
atau mengerikan secara sosial, seperti seks, kekerasan, dan penyakit/kontaminasi.
DSM-IV mendefinisikan Obsesif-kompulsif dalam kaitannya dengan obsesi atau
kompulsi. Kebanyakan orang yang mempengaruhi kriteria untuk ganguan ini benar-
benar memperlihatkan kedua simtom ini. Orang itu harus mangakui bahwa obsesi atau
kompulsi itu eksesif atau tidak masuk akal. Definisi DSM-IV juga mensyaratkan
bahwa orang tersebut harus berusaha untuk mengabaikan, menekan, atau
menetralisasir pikiran atau impuls yang tidak diinginkan.
Dalam manifestasinya, setiap individu dapat berbeda-beda, sebagai contoh
perasaan cemas akan kebersihan dirinya, akan terwujud deengan perilaku mencuci
tangan yang berulang ulang, perasaan cemas akan keamanan rumah tempat
tinggalnya, terwujud dengan pengecekan pintu-pintu rumah secara berulang
(Maramis, 2005). Sedangkan gejala gangguan ini menurut PPDGJ-III, mencakup hal-
hal sebagai berikut:
a. Disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri.
b. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan.
c. Bukan merupakan hal yang memberi kesenangan melainkan sebagai pelepasan atau
perasaan lega dari kecemasan jika tidak melakukan tindakan tersebut.
d. Ada pengulangan-pengulangan baik itu pikiran maupun tindakan.
Gejala obsesif kompulsif ini juga termanifestasi sekunder pada penderita
skizofrenia, sindroma Tourette, nerosa fobik, depresi dan gangguan mental organik.
Penyebabnya tidak diketahui. Gangguan obsesif-kompulsif tidak ada kaitan dengan
bentuk karakteristik kepribadian seseorang, pada individu yang memiliki kepribadian
obsesif-kompulsif cenderung untuk bangga dengan ketelitian, kerapian dan perhatian
terhadap hal-hal kecil, sebaliknya pada gangguan obsesif-kompulsif, individu merasa
tertekan dengan kemunculan perilakunya yang tidak dapat dikontrol. Mereka merasa
malu bila perilaku-perilaku tersebut dipertanyakan oleh orang yang melihatnya karena
melakukan pekerjaan yang secara berulang-ulang. Mereka berusaha mati-matian
untuk menghilangkan kebiasaan tersebut.
Davison dan Neale (2012) menjelaskan bahwa secara biologis, salah satu
penjelasan yang mungkin tentang gangguan obsesif-kompulsif adalah keterlibatan
neurotransmitter pada otak, khususnya kurangnya jumlah serotonin. Keterlibatan
serotonin ini belum sebagai penyebab individu mengalami gangguan obsesif
kompulsif, melainkan sebagai pembentuk dari gangguan ini. Fungsi serotonin di otak
ditentukan oleh lokasi sistem proyeksinya. Proyeksi pada konteks frontal diperlukan
untuk pengaturan mood, proyeksi pada ganglia basalis bertanggung jawab pada
gangguan obsesi kompulsi.
Ditinjau dari segi psikologisnya, penderita OCD menyetarakan pikiran dengan
tindakan atau aktifitas tertentu yang dipresentasikan oleh pikiran tersebut. Ini disebut
“thought-action fusion” (fusi pikiran dan tindakan). Fusi antara pikiran dan tindakan
ini dapat disebabkan oleh sikap-sikap tanggung jawab yang berlebihan yang
menyebabkan timbulnya rasa bersalah seperti yang berkembang selama masa kanak-
kanak, dimana pikiran jahat diasosiasikan dengan niat jahat (Durand & Barlow,
2006).
Sementara itu dari segi psiko-sosialnya, menurut Freud, (1997) dalam Kaplan
(1997:43), gangguan obsesif-kompulsif dapat disebabkan karena regresi pada fase
anal dalam perkembangan seseorang. Mekanisme pertahanan psikologis mungkin
memegang peranan pada beberapa manifestasi pada gangguan obsesif-kompulsif.
Represi perasaan marah terhadap seseorang mungkin menjadi alasan timbulnya
pikiran berulang untuk menyakiti orang tersebut.
Berikut adalah penyebab gangguan Obsesif-kompusilf berdasarkan rumusan
Oltmanns & Emery (2012):
a. Genetik
Mereka yang mempunyai anggota keluarga yang mempunyai sejarah penyakit ini
kemungkinan beresiko mengalami OCD (Obsesif Compulsive Disorder).
b. Organik
Masalah organik seperti terjadi masalah neurologi dibagian-bagian tertentu otak
juga merupakan satu faktor bagi OCD. Kelainan saraf seperti yang disebabkan oleh
meningitis dan ensefalitis juga adalah salah satu penyebab OCD.
c. Kepribadian
Mereka yang mempunyai kepribadian obsesif lebih cenderung mendapat gangguan
OCD. Ciri-ciri mereka yang memiliki kepribadian ini ialah seperti keterlaluan
mementingkan aspek kebersihan, seseorang yang terlalu patuh pada peraturan,
cerewet, sulit bekerja sama dan tidak mudah mengalah.
d. Pengalaman masa lalu
Pengalaman masa lalu/lampau juga mudah mencorakkan cara seseorang
menangani masalah di antaranya dengan menunjukkan gejala OCD. Gangguan
obsesif-kompulsif erat kaitan dengan depresi atau riwayat kecemasan sebelumnya.
e. Konflik
Mereka yang mengalami gangguan ini biasanya menghadapi konflik jiwa yang
berasal dari masalah hidup. Misalnya hubungan antara suami-istri, di tempat kerja,
keyakinan diri.

5. Neurosis depresif
Gejala yang paling sering ditemukan pada pasien depresi adalah penurunan mood
yang berkepanjangan, walaupun dalam sistem klasifikasi terbaru hal ini bukanlah
sesuatu yang penting untuk menegakkan diagnosis. ICD-10 meng-klasifikasikan
gangguan depresi berdasarkan tingkat keparahan, dan mengidentifikasi tiga gejala
utama: mood yang buruk, anhedonia (kehilangan rasa senang pada kegiatan yang
sebelumnya terasa menyenangkan), dan penurunan energi (atau peningkatan rasa
mudah lelah). Diagnosis episode depresi ringan dapat ditegakkan bila terdapat
setidaknya dua dari tiga gejala utama dan dua di antara gejala berikut: penurunan
konsentrasi dan perhatian; penurunan rasa percaya diri dan harga diri; perasaan
bersalah dan tidak berharga; merasa putus asa mengenai masa depan-nya; pikiran
untuk melukai diri sendiri, gangguan tidur, dan peningkatan atau penurunan nafsu
makan. Untuk episode depresi sedang terdapat enam gejala, termasuk setidaknya dua
dari gejala utama, harus ada, di mana keseluruhan gejala ini harus mengakibatkan
gangguan aktivitas sehari-hari yang cukup bermakna. Episode depresi yang berat
ditetapkan ber-dasarkan setidaknya delapan gejala, termasuk seluruh tiga gejala
utama, yang mengakibatkan tekanan yang bermakna atau mengganggu kehidupan
sehari-hari. Depresi yang berhubungan dengan gambaran klinis psikotik selalu
diklasi-fikasikan sebagai depresi berat. Setiap tingkatan keparahan mengharuskan
adanya gejala yang muncul setiap hari selama minimal dua minggu. Sistem klasifikasi
DSM-IV serupa dengan sistem di atas.
Gangguan perasaan yang berulang berulang disebut sebagai unipolar bila hanya
terdiri dari episode depresif, atau bipolar bila terdapat riwayat setidaknya satu episode
manik atau hipomanik. Sistem klasifikasi terdahulu mengemukakan perbedaan antara
depresi endogen dan neurotik/reaktif. Depresi endogen lebih berat, jarang memiliki
faktor pencetus eksternal dan ditandai dengan gambaran biologis yang jelas, di mana
depresi neurotik lebih ringan, lebih dapat dimengerti dalam hal keadaan eksternal dan
dapat menunjukkan gejala yang tumpang-tindih dengan gangguan kecemasan.
Berbagai kondisi organik dapat muncul dengan gejala-gejala depresi dan
dipertimbangkan secara singkat di bawah ini. Depresi dapat sulit dibedakan dengan
kesedihan normal, terutama dalam konteks kehilangan atau penyakit fisik yang berat.
Diagnosis tergantung pada penemuan pola gambaran khas dan pada tingkat serta
durasi dari disabilitas terkait. Pikiran negatif, rasa bersalah, atau keinginan untuk
bunuh diri mendukung diagnosis depresi, tetapi gejala-gejala tersebut dapat sulit
ditemukan pada depresi berat. Demikian juga dengan retardasi depresi, dapat sulit
dibedakan dari afek datar (tanpa reaksi) yang kadang ditemukan pada skizofrenia
kronik. Penghentian obat atau alkohol secara mendadak dapat menyerupai depresi,
tetapi penggunaan zat-zat tertentu (terutama alkohol dan/atau obat sedatif) merupakan
faktor komorbid depresi. Depresi juga sering ditemukan bersamaan dengan gangguan
panik, agorafobia, gangguan obsesif kompulsif (obsessive compulsive disorder,
OCD), gangguan makan, dan gangguan kepribadian.
Kontribusi genetik tampak jelas, baik pada penelitian yang dilakukan pada anak
kembar maupun anak adopsi, namun kurang nyata pada depresi unipolar bila
dibandingkan dengan bipolar. Mekanisme neuroendokrin dan neurokimia telah coba
diusulkan. Teori neurokimia yang dominan adalah “hipotesis monoamin” berdasarkan
observasi (yang dilaku-kan pada tahun 1960-an) bahwa metabolit-metabolit
monoamin (terutama noradrenalin dan serotonin) yang terdapat pada cairan
serebrospinal dan urin berkurang pada pasien-pasien depresi dan bahwa obat
antidepresan mening-katkan availabilitas monoamin. Hal ini telah dimodifikasi untuk
menguatkan perubahan terhadap neuroreseptor monoamin (terutama β-adrenoreseptor
dan reseptor 5HT2) yang tampak pada depresi dan dapat normal kembali dengan
antidepresan. Stres kronis dapat meningkatkan kadar kortisol dan hal ini dapat
mengakibatkan penurunan mood melalui mekanisme penurunan ekspresi neurotropin,
yang berperan penting dalam pertumbuhan neuron. Obat antidepresan meningkatkan
availabilitas monoamin dan hal ini dapat menyebabkan perbaikan mood melalui
mekanisme pening-katan ekspresi neurotropin. Abnormalitas neuroendokrin yang
ditemukan pada beberapa pasien depresi termasuk hiperkortisolemia dan gangguan
pada aktivitas aksis tiroid. Depresi juga dihubungkan dengan perubahan khas pada
elektroensefalografi saat tidur (sleep-electroencephalograpic, EEG) serta penurunan
aliran darah di lobus frontal; tetapi saat ini tidak terdapat suatu penanda diagnosis
depresi yang dapat diandalkan.
Faktor psikososial terpenting yang terkait adalah keja-dian terkini dalam hidup
yang tidak menyenangkan (seperti kehilangan atau penurunan kesehatan fisik),
kehilangan orang tua dan tekanan yang berat atau penyiksaan masa kanak-kanak
(yang tampaknya meningkatkan kerentanan ter-hadap depresi sebagai respons pada
kejadian dalam hidup). Keadaan sosial terkini yang tidak menyenangkan, terutama
pengangguran dan kurangnya hubungan kepercayaan juga meningkatkan kerentanan.
Beberapa penyakit fisik (hampir semua gangguan endokrin, berbagai jenis kanker,
beberapa infeksi virus) dan beberapa jenis obat (termasuk steroid, obat antihipertensi,
dan kontrasepsi oral) secara spesifik berhu-bungan dengan depresi. Wanita biasanya
lebih rentan terkena episode depresi pada minggu-minggu setelah melahirkan.

6. Neurasthenia
Neurasthenia disebut juga penyakit payah. Gejala utama gangguan ini adalah
tidak bersemangat, cepat lelah meskipun hanya mengeluarkan tenaga yang sedikit,
emosi labil, dan kemampuan berpikir menurun. Di samping gejala-gejala utama
tersebut juga terdapat gejala-gejala tambahan seperti insomnia, kepala pusing, sering
merasa dihinggapi bermacam-macam penyakit.
Neurasthenia dapat terjadi karena beberapa faktor, Zakiah Daradjat (1983), yaitu
sebagai berikut: 1) Terlalu lama menekan perasaan, pertentangan batin, kecemasan. 2)
Terhalanginya keinginan-keinginan. 3) Sering gagal dalam menghadapi persaingan-
persaingan.
Neurasthenia saat ini dijadikan sebagai sebuah diagnosis di dalam klasifikasi
penyakit internasional dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan klasifikasi
penyakit mental tiongkok dari perhimpunan psikiatris Tiongkok. Namun, kata tersebut
tidak lagi menjadi sebuah diagnosis dalam DSM.

D. Bentuk Gejala dan Penyebab Psikosis


Psikosis dapat diakibatkan oleh interaksi faktor-faktor biologis dan psiko-sosial
tergantung pada jenis psikosis yang diderita oleh seseorang. Namun psikosis juga dapat
diakibatkan dari faktor psiko-sosial saja tanpa adanya interaksi dengan faktor biologis.
Faktor biologis yang dianggap berkontribusi terhadap perkembangan psikosis pada
seseorang meliputi kelainan genetik dan penggunaan zat-zat tertentu. Sehubungan
dengan faktor penyalahgunaan zat, beberapa kelompok penelitian yang berbeda
melaporkan pada tahun 2004 bahwa penggunaan ganja (marijuana) sebagai faktor
timbulnya psikosis pada seseorang.
Sementara dari segi faktor psiko-sosial, sebagai contoh adalah proses migrasi
disebut sebagai faktor sosial yang mempengaruhi kerentanan masyarakat terhadap
gangguan psikosis. Psikiater di Eropa telah mencatat peningkatan tingkat skizofrenia dan
gangguan psikosis lainnya di kalangan imigran ke hampir semua negara Eropa Barat.
Tekanan yang dialami dalam dan selama proses migrasi mencakup perpisahan keluarga,
kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan tinggal di daerah perkotaan yang luas, dan
ketidaksetaraan sosial di negara baru. Hal tersebut berpengaruh terhadap kesehatan
mentalnya.
Berdasarkan penyebabnya, psikosis dapat dibedakan menjadi dua kategori, berikut
adalah diantaranya:
a. Psikosis organis
a. Toxic psychosis
Merupakan psikosis yang dapat terjadi pada seseorang karena keracunan,
sebagai contoh adalah kasus alcoholic psychosis, terjadi sebagai akibat dari
keracunan alcohol. Penderita psikosis organis teridentifikasi mengalami gerakan
gemetar pada otot-otot khususnya pada wajah, lidah, jari-jari, atropi pada sel-sel
otak, hati dan lainnya. Gejala-gejala tersebut diikuti juga dengan halusinasi, sulit
untuk tertidur, dan apabila tertidur sering bermimpi yang menakutkan. Penderita
psikosis karena keracunan alkohol juga mengalami penurunan daya orientasi
terhadap lingkungan. Tidak jarang pula terdapat pula kecenderungan pikiran untuk
membunuh orang lain.
Contoh lain adalah drug psychosis, psikosis karena penyalahgunaan obat-
obatan/obat bius. Penderita psikosis akibat penyalahgunaan obat-obatan biasanya
mengkonsumsi ganja, morphine, heroin, candu, dan sejenisnya. Gejala fisik yang
terpengaruh diantaranya pada kulit, rambut, dan mulut menjadi kering ditambah
dengan berkurangnya nafsu makan secara signifikan dan drastis. Penderita
psikosis ini juga mengalami perubahan dalam sistem mental mereka dengan
manifestasi berkurangnya daya konsentrasi, berkurangnya daya ingat dan
berkurangnya kemauan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial disertai
ketidakmampuan untuk bertanggungjawab atas dirinya sendiri.
b. Dementia paralytica
Psikosis ini merupakan akibat dari infeksi bakteri syphilis. Gejala yang
biasanya muncul diantaranya adalah general paralysis, yaitu terjadinya
kelumpuhan pada anggota tubuh, degenerasi yang drastis pada sel-sel otak,
kerusakan persendian dan otot sehingga motoriknya sulit dikoordinasikan, gerak
reflek tidak terkontrol terganggu disertai kekejangan.
c. Senile psychosis
Psikosis ini berkaitan dengan usia lanjut dan paling banyak dialami oleh
individu pada usia sekitar 60 tahun dalam data Mitra Keluarga. Terjadi perubahan-
perubahan fisik dan mental yang bersifat generatif, sehingga terjadi kemunduran
pada fungsi mental dan fisik. Rasa sakit dan nyeri pada anggota badan, gelisah,
insomnia, mudah tersinggung, mudah marah. Kurang perhatian pada sekitar, iri,
cemas.

b. Psikosis fungsional
Psikosis fungsional merupakan penyakit jiwa secara fungsional yang bersifat non-
organis, yang ditandai dengan disintegrasi kepribadian dan ketidakmampuan dalam
melakukan penyesuaian sosial secara wajar. Psikosis jenis ini dibedakan menjadi
beberapa jenis yaitu: skizofrenia, psikosis mania-depresif, dan psikosis paranoid
(Kartini Kartono, 1993).
a. Skizofrenia
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
penyakit kejiwaan mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,
pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian (Sadock, 2003).
Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu
gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan
pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah
alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari
pergaulan, “miskin” kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis
atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak atau
inisiatif.
Masih terdapat paradigma bahwa skizofrenia diartikan sebagai kepribadian
terbelah (split personality) di mana seseorang dapat berperilaku normal namun
tiba-tiba dapat berubah menjadi aneh atau berbahaya. Pada kenyataannya,
skizofrenia (pikiran terbelah/split mind) ditandai oleh “terbelahnya” hubungan
normal antara persepsi, mood, pikiran, perilaku, dan kontak dengan kenyataan.
Emil Kraepelin (1893) berpendapat bahwa perbedaan antara gangguan afektif
bipolar (penyakit manik-depresif), dimana fungsi normal didapatkan kembali
setelah periode kambuhan dan demensia prekoks yang ditandai dengan penurunan
fungsi mental yang ireversibel. Demensia prekoks terkait dengan konsep saat ini
tentang skizofrenia.
Untuk lebih lengkap terkait diagnosa Skizofrenia, dapat ditinjau dari
Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) yaitu: DSM-III
(American Psychiatric Assosiation, 1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (American
Psychiatric Assosiation, 1994) dan DSM-IV-TR (American Psychiatric
Assosiation, 2000), yang terbaru yaitu pada DSM-V.

b. Manik-depresif
Gangguan bipolar dulunya dikenal sebagai gangguan manik-depresif, yaitu
gangguan kronik dari regulasi mood yang dihasilkan pada episode depresi dan
mania. Gejala psikosis mungkin muncul pada “kutub” depresi atau mania. Seperti
pada depresi mayor (unipolar), gangguan bipolar kemungkinan dipengaruhi oleh
penyakit medis atau penyalahgunaan zat. Tidak seperti depresi mayor, hampir
seluruh pasien dari kasus gangguan bipolar cenderung mengalami episode depresi
dan manik dalam kehidupannya.
Bipolar sendiri merupakan kondisi sakit pada otak yang serius. Orang yang
mengalami bipolar disorder telah merasakan perubahan mood yang tidak biasa dan
aneh, terkadang mereka merasa sangat-sangat bahagia, terlihat enerjik dan aktif
tidak seperti biasanya. Kondisi tersebut adalah apa yang dikenal dengan istilah
“episode manik”. Terkadang juga penderita bipolar akan terlihat sangat-sangat
murung dan merasa sedih, seperti kehilangan energi dan tidak banyak melakukan
aktivitas fisik. Kondisi demikian adalah yang dikenal dengan istilah “episode
depresif”.
Bipolar disorder atau manik-depresif tidak sama dengan kondisi “naik dan
turun” perasaan/mood seperti pada umumnya. Perubahan perasaan /suasana hati
pada penderita bipolar berada pada taraf sangat ekstrem jika dibandingkan dengan
gejala lain bipolar seperti: perubahan pola tidur, level energi, dan perubahan
kemampuan untuk berpikir jernih. Gejala-gejala bipolar sangat kuat pengaruhnya
terhadap seseorang sehingga dapat merusak hubungan penderitanya dengan
lingkungan, kesulitan dalam kehidupan sekolah dan mempertahankan kinerja
dalam pekerjaannya. Bahkan beberapa diantara penderita bipolar berusaha untuk
menyakiti dirinya atau membunuh dirinya sendiri.
Semua orang berpotensi dalam mengidap bipolar disorder. Seringkali terjadi
pada orang dengan usia remaja akhir dan dewasa awal. Namun kanak-kanak dan
orang dewasa pun dapat tidak terlepas dari resiko mengidap bipolar disorder.
Gejala episode manik diantaranya adalah: merasa “tinggi”, merasa “ringan”,
mengalami masalah tidur, menjadi lebih aktif dari biasanya, berbicara sangat cepat
tentang berbagai topik, menjadi sensitif, berpikir bahwa ia dapat mengerjakan
banyak hal sekaligus, melakukan tindakan-tindakan yang beresiko tinggi.
Gejala-gejala tersebut dapat seketika berubah dalam waktu yang relatif singkat
kepada gejala lain yang berlawanan dari gejala diatas, gejala depresif yang
dimaksud diantaranya adalah: merasa sangat murung atau sedih, tidur terlalu
banyak atau terlalu sedikit, merasa mereka tidak dapat menikmati apapun, merasa
gelisah dan hampa, bermasalah dalam konsentrasinya, sering lupa terhadap banyak
hal.
Kendala bagi orang-orang disekitar penderita bipolar salah telah mengalami
penyakit ini jauh setelah atau saat mereka didiagnosa. Hal ini dikarenakan gejala-
gejalanya mirip dengan berbagai permasalahan mental yang lainnya. Keluarga dan
teman-temannya mungkin dapat mengenali gejala-gejala tersebut tetapi tidak
menyadarinya sebagai masalah yang besar.

c. Paranoid
Paranoid atau paranoia adalah kondisi berpikir dan merasakan bahwa dirinya
sedang berada dalam ancaman bahkan tidak terdapat satu bukti kecilpun akan
adanya bahaya tersebut. Pikiran yang bersifat paranoid dapat pula dideskripsikan
sebagai delusi. Terdapat banyak jenis ancaman atau bahaya yang dikhawatirkan.
Pikiran paranoid juga dapat berupa kecurigaan atau waspada yang berlebihan.
Sebagai contoh, seseorang membicarakan hal yang negatif tentang diri anda, dan
anda berkeyakinan bahwa mereka sedang membenci anda dan bermaksud untuk
menentang anda.
Semua orang mungkin akan mengalami pengalaman yang berbeda terkait
paranoid. Namun berikut ini adalah diantaranya contoh umum dari pikiran-pikiran
paranoid:
 Ada yang membicarakan anda tanpa sepengetahuan anda atau merasa diawasi
baik secara online maupun offline.
 Orang lain mencoba untuk membuat anda terlihat jelek atau menyingkirkan
anda
 Anda merasa berada dalam resiko mengalami bahaya bahkan terbunuh
 Orang lain menggunakan kode atau sandi rahasia tertentu untuk mengancam
anda atau membuat anda merasa bersalah
 Orang lain dengan sengaja membuat anda marah atau kesal
 Orang lain mecoba mencuri uang anda atau jabatan anda
 Tindakan atau pikiran anda tercampur dengan memikirkan orang lain
 Anda berpikir bahwa pemerintah sedang mengincar anda
Pikiran paranoid berkaitan dengan ide-ide anda dan tentang orang lain serta
apa yang orang lain akan lakukan. Akan sangat sulit untuk menentukan batasan
apakah pikiran kewaspadaan tersebut termasuk paranoid atau tidak. Orang lain
mungkin tidak beranggapan bahwa pikiran anda termasuk paranoid saat anda
benar-benar merasa demikian. Namun orang lain juga dapat beranggapan bahwa
pikiran anda termasuk paranoid pada saat anda mengatakan tidak.
Pikiran paranoid juga dapat berpengaruh terhadap hubungan interpersonal
penderitanya. Karena rasa curiga dan waspada yang berlebihan terhadap orang-
orang di sekelilingnya. Orang dengan pikiran paranoid akan menganggap bahwa ia
lebih baik menghindari orang-orang di sekitarnya.
Pikiran paranoid juga berpengaruh terhadap isolasi diri terhadap lingkungan,
karena penderitanya akan merasa lebih aman apabila menyendiri dibandingkan
harus menghadapi interaksi sosial. Kondisi yang demikian apabila berlangsung
dalam waktu yang lama akan mengakibatkan gejala-gejala gangguan mental yang
lain seperti kecemasan dan manik-depresif.

E. Penanganan Neurosis dan Psikosis


1. Penanganan gangguan kecemasan
Selain penanganan secara medis melalui obat-obat penenang, penanganan
gangguan kecemasan dilakukan melalui terapi perilaku kognitif (CBT), merupakan
suatu pendekatan psikoterapi dengan bicara. CBT bertujuan untuk memecahkan
masalah tentang disfungsional emosi, perilaku dan kognisi melalui prosedur yang
berorientasi, dan sistematis untuk membantu pasien mengenali pikiran yang
menyebabkan kecemasan.
Emotional Freedom Technique (EFT). Sebuah terapi yang memanfaatkan energi
dalam tubuh dengan cara menstimulasi pada titik-titik meridian tubuh untuk
memperbaiki aliran energi tubuh. EFT termasuk dalam terapi psikologi praktis yang
dapat menangani banyak penyakit, baik itu penyakit fisik dan penyakit psikologis
(masalah pikiran dan perasaan). Selain itu, dapat dilakukan juga hypnotherapy, yakni
sebuah cara pengobatan yang menjangkau pikiran bawah sadar yang merupakan
sumber "program kecemasan" tersimpan. Hypnotherapy bisa membenarkan program
pikiran yang salah tersebut.

2. Penanganan histeria
Gangguan mental histeria tidak selalu memerlukan rawat inap. Dalam
kebanyakan kasus, pengobatan histeria dapat dilakukan dengan sukses di rumah, jika
memiliki situasi dan kondisi yang mendukung. Dalam neurosis histeria digunakan
pengobatan medis dan terapi okupasi apabila gejala-gejala yang dialami pasien
menunjukkan adanya kelumpuhan, sakit di tenggorokan, kram, mengurangi kejang
obat yang diresepkan.
Selain cara di atas, teknik hipnosis/hypnotherapy dapat juga diaplikasikan pada
penderita histeria. Terdapat pula teknik asosiasi bebas, Psikoterapi suportif dan
Farmakoterapi untuk menangani gejala-gejala histeria.

3. Penanganan fobik
Menurut Maramis, neurosis fobik sulit untuk dihilangkan sepenuhnya bila
gangguan tersebut telah lama diderita, misalnya sejak kanak-kanak. Namun apabila
gangguan tersebut relatif baru dialami, maka proses penyembuhannya akan lebih
mudah. Teknik terapi yang dapat dilakukan untuk penderita neurosis fobik adalah:
psikoterapi suportif, terapi perilaku dengan deconditioning, dan manipulasi
lingkungan.
4. Penanganan depresi
Untuk menangani depresi, terdapat teknik terapi dengan prinsip yang disebut
terapi kognitif, yang dilakukan dengan prinsip sebagai berikut:
1) Bahwa semua rasa murung disebabkan oleh kesadaran atau pemikiran yang
bersangkutan.
2) Jika depresi sedang terjadi maka berarti pemikiran telah dikuasai oleh
kekeliruan yang mendalam.
3) Bahwa pemikiran negatif menyebabkan kekacauan emosional.
Terapi kognitif dilakukan dengan memperbaiki pikiran yang keliru, yang mana
telah menyebabkan terjadinya kekacauan pada aspek emosional. Selain terapi
kognitif, bisa pula pendrita depresi dapat memanfaatkan farmakoterapi.

5. Penanganan obsesif-kompulsif
Orang dengan kondisi obsesif-kompulsif dapat ditolong dengan menggunakan
psikoterapi suporti, terapi perilaku dan melalui penyuluhan intensif.

6. Penanganan neurasthenia
Penderita neurasthenia biasanya mendapatkan pertolongan psikolog melalui
pendekatan psikoterapi supportif, terapi olahraga dan farmakoterapi.

7. Penanganan skizofrenia
Penderita skizofrenia dapat ditangani melalui terapi biologis. Pada
pelaksanaannya, terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi menggunakan obat
antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan pada bagian otak.
Emotional Freedom Technique (EFT) juga dapat diterapkan kepada penderita
skizofrenia. Selain itu, gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan
situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi
monoton dan menjemukan. Oleh karena itu, dapat dilakukan melalui terapi
psikososial. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi kelompok dan terapi
keluarga.
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini,
beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai
fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Pada terapi keluarga merupakan
suatu bentuk khusus dari terapi kelompok. Terapi ini digunakan untuk penderita yang
telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya.

8. Penanganan manik-depresif
Penanganan pertama dapat melalui obat-obatan. Ada beberapa jenis obat yang
dapat membantu penderita manik-depresif, jenis obat yang digunakan tergantung pada
persetujuan pasien dan kondisinya. Obat yang digunakan dapat menyebabkan efek
samping. Pasien harus selalu memberitahu dokter mereka tentang masalah yang
dialaminya. Selain itu, penderita manik-depresif sebaiknya tidak bergantung pada
obat-obatan karena dapat menimbulkan efek samping yang dikhawatirkan malah
memperparah kondisinya.
Berbagai jenis terapi psikoterapi, atau "terapi bicara" dapat membantu orang
dengan gangguan bipolar. Terapi dapat membantu mereka mengubah perilaku dan
mengatur hidup mereka. Ini juga bisa membantu mereka bergaul lebih baik dengan
keluarga dan teman.
Beberapa orang tidak mendapatkan akses terhadap pengobatan dan terapi yang
lebih baik. Orang-orang ini mungkin dapat mencoba terapi electroconvulsif atau ECT.
Ini kadang disebut terapi "shock". ECT menyediakan arus listrik cepat yang terkadang
bisa memperbaiki masalah di otak.

9. Penanganan paranoid
Terapi bicara dapat membantu penderita paranoid memahami pengalamannya dan
mengembangkan strategi penanggulangan untuk mengatasi pikiran-pikiran
paranoidnya. Bentuk paling umum penanganan untuk penderita paranoid adalah terapi
perilaku kognitif (CBT). Selama CBT, penderita akan memeriksa cara berpikir dan
bukti keyakinannya dan mencari kemungkinan yang berbeda dari setiap pikiran-
pikiran paranoidnya.

Latihan
Diskusikan dengan teman sekelas terkait dengan gejala-gejala neurosis dan psikosis dengan
contoh yang aktual.

Rangkuman
Gangguan mental atau penyakit mental dapat terjadi pada semua orang, baik taraf
ringan hingga taraf yang berat. Gangguan kesehatan mental terbagi menjadi dua kategori
besar, yaitu neurosis dan psikosis. Neurosis adalah kategori gangguan kesehatan mental yang
ringan dan tidak mengharuskan penderitanya untuk ditangani di rumah sakit jiwa. Sedangkan
psikosis merupakan gangguan lebih tepatnya disebut dengan penyakit mental/jiwa yang berat,
menyebabkan penderitanya tidak dapat membedakan realita dan fantasi yang dibuatnya.
Gangguan kesehatan pada mental dapat diakibatkan oleh tekanan dan ketegangan pada
fungsi-fungsi psikologis seseorang hingga trauma dan emosi yang tertekan di alam bawah
sadar. Namun terdapat pula gangguan kesehatan mental yang diakibatkan adanya kerusakan
pada organ-organ fisik (seperti trauma pada otak, keracunan). Gejala yang dialami penderita
gangguan kesehatan mental beragam, mulai dari tidak dapat menyesuaikan diri terhadap
lingkungan hingga terbelahnya kepribadian antara kenyataan dan fantasi seseorang.
Penanganan neurosis dan psikosis beragam tergantung pada gejala dan lamanya
pendertia mengalami gangguan tersebut. Terdapat beberapa pilihan terapi yang dapat
digunakan sebagai upaya penanganan bagi penderita gangguan dan penyakit kesehatan
mental seperti terapi kelompok, terapi perilaku, terapi biologis dan perawatan medis.

Tes Formatif
Jawablah pertanyaan berikut dengan tepat!
Pilihan ganda:
1. Berikut adalah bentuk dari neuorsis, kecuali
a. Gangguan kecemasan
b. Hiperaktivitas
c. Neurasthenia
d. Depresif
2. Salah satu gejala gangguan kecemasan adalah...
a. Merasa letih walau tidak melakukan aktivitas yang berat
b. Rasa sedih yang sangat dalam tanpa sebab
c. Kecemasan yang berlebih atas sesuatu hal
d. Kehilangan rasa senang terhadap hal yang sebelumya disenangi
3. Salah satu penyebab dari psikosis akibat keracunan adalah...
a. Kecanduan alkohol
b. Rasa marah yang direpresi
c. Halusinasi
d. Depresi
4. Berdasarkan penyebabnya, psikosis terbagi menjadi dua, yaitu...
a. Depresif dan neurasthenia
b. Psikosis fobik dan psikosis organis
c. Psikosis organis dan psikosis fungsional
d. Psikosis skizofrenia dan psikosis organis
5. Berikut adalah beberapa alternatif yang dapat diaplikasikan untuk menangani
penderita gangguan mental, kecuali...
a. Terapi perilaku
b. EFT
c. Hypnotherapy
d. Terapi ABA

Essai:
1. Jelaskan perbedaan antara neurosis dan psikosis!
2. Jelaskan masing-masing contoh gejala dari neurosis dan psikosis!

Anda mungkin juga menyukai