PENDAHULUAN
Dalam publikasi World Health Organization (WHO), satu dari empat orang
di dunia terjangkit gangguan mental atau neurologis dalam beberapa waktu di
dalam hidup mereka. Publikasi yang sama menyebutkan sekitar 450 juta orang
saat ini menderita gangguan mental, dan hampir 1 juta orang melakukan bunuh
diri tiap tahun.
4
Faktor lainnya adalah faktor sosial, meliputi kemiskinan, perang, dan
lingkungannya, dianggap cukup rumit untuk ditemukan hubungannya. Kehidupan
pedesaan juga penuh dengan masalah bagi banyak orang. Isolasi, keterbatasan
sarana transportasi dan komunikasi, kesempatan pendidikan, ekonomi, hingga
pelayanan kesehatan mental cenderung untuk memusatkan pada sumber daya
klinis dan keahlian di daerah metropolitan yang lebih besar, menyisakan pilihan
yang terbatas untuk penduduk pedesaan yang membutuhkan perawatan kesehatan
mental.
5
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara penanganan penyakit mental dengan pendekatan
berbasis arsitektural ?
2. Bagaimana menciptakan ruang yang mampu mempercepat pemulihan
pasien pengidap gangguan mental ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penanganan penyakit mental dengan pendekatan
berbasis arsitektural
2. Untuk mengetahuo bagaimana cara menciptakan ruang yang mampu
mempercepat pemulihan pasien pengidap gangguan mental
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Beberapa gangguan yang lebih umum, meliputi: depresi klinis (atau yang
biasa dikenal sebagai depresi), gangguan bipolar, kecemasan, gangguan stres
pasca-trauma (PTSD), gangguan obsesif kompulsif (OCD), dan psikosis. Beberapa
penyakit mental hanya terjadi pada jenis pasien tertentu; seperti post-partum
depression hanya menyerang ibu baru setelah melahirkan.
Penyebab gangguan jiwa bervariasi dan pada beberapa kasus tidak jelas, dan
teori terkadang menemukan penemuan yang rancu pada suatu ruang lingkup
lapangan. Layanan untuk penyakit ini terpusat di rumah sakit jiwa atau di
masyarakat sosial, dan penilaian diberikan oleh psikiater, psikolog klinis, dan
terkadang psikolog pekerja sukarela, menggunakan beberapa variasi metode tetapi
sering bergantung pada observasi dan tanya jawab. Perawatan klinik disediakan
oleh banyak profesi kesehatan jiwa. Psikoterapi dan pengobatan psikiatrik
merupakan dua pilihan pengobatan umum, seperti juga intervensi sosial, dukungan
lingkungan, dan pertolongan diri. Pada beberapa kasus terjadi penahanan paksa atau
pengobatan paksa di mana hukum membolehkan. Stigma atau diskriminasi dapat
menambah beban dan kecacatan yang berasosiasi dengan kelainan jiwa (atau
terdiagnosa kelainan jiwa atau dinilai memiliki kelainan jiwa) yang akan mengarh
ke berbagai gerakan sosial dalam rangka untuk meningkatkan pemahanan dan
mencegah pengucilan sosial.
7
Definisi dan klasifikasi kelainan jiwa adalah kunci untuk peneliti
sebagaimana juga penyedia layanan dan mereka yang mungkin terdiagnosa.
Sebagian besar dokumen klinik internasional menggunakan istilah "Kelainan jiwa".
Terdapat dua sistem yang mengklasifikasikan kelainan jiwa ICD-10 Chapter V:
Mental and behavioural disorders, bagian dari International Classification of
Diseases yang diterbitkan oleh World Health Organization (WHO), dan Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) diterbitkan oleh Psychiatric
Association (APA).
Kedua mendaftar kategori kelainan dan menyediakan standar kriteria untuk
diagosis. Kedua sistem ini telah mengubah kode mereka pada revisi terakhir
sehingga pedomannya dapat dibandingkan, walaupun masih terdapat perbedaan
signifikan. Skema klasifikasi lain mungkin digunakan di budaya non-barat, dan
panduan lain mungkin juga digunakan oleh mereka yang menggunakan teori
persuasi. Pada umumnya, kelainan jiwa diklasifikasikan terpisah menjadi kelainan
saraf, ketidakmampuan belajar, atau kelainan jiwa.
Tidak seperti sistem di atas, beberapa pendekatan klasifikasi tidak
menggunakan kategori yang jelas atau pemisahan dikotomi yang digunakan untuk
memisahkan antara yang tidak normal dengan yang normal. Terdapat debat sains
tentang beberapa kategori yang berbeda berhubungan dengan kasus yang
terkategori dengan kasus yang tidak terkategori, kemudian mencakup sistem
spektrum, dimensional, atau kontinyu.
2.2 Analisis Parameter
1. Kondisi Bangunan
8
3. Faktor keamanan
Sesuai dengan fungsi utama rumah sakit jiwa yaitu sebagai pengobatan dan
pemulihan mestinya harus menyediakan lingkungan yang sehat dan aman
apabila sewaktu-waktu pasien kambuh agar tidak membahayakan diri sendiri
maupun orang lain.
4. Penataan Ruang
Penataan ruang dalam lingkup kejiwaan harus mematuhi kriteria-kriteria
dasar . Point utama adalah penciptaan ruang inti untuk
penyembuhan/pemulihan pasien.Bukan hanya terkait perlindungan pasien
tetapi merujuk pada entitas suatu ruang yang kondusif.
5. Aksesibilitas
Faktor aksesibilas sangat penting dalam memudahkan penanganan pasien .
Akses yang buruk akan memperlambat laju penanganan dan berpengaruh
terhadap factor-faktor penyembuhan pasien.
9
BAB III
PEMBAHASAN
Lokasi penelitian berada di Jl. Lanto Dg. Pasewang No.55, Maricaya, Kec.
Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan yang dimasukkan ke dalam deliniasi
kawasan penelitian.
10
penduduk. Bila dibandingkan dengan perempuan, laki-laki cenderung lebih rentan
melakukan bunuh diri dengan rasio sebesar 15 orang per 100.000 penduduk.
Di ASEAN pada 2012, negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi adalah
Myanmar dengan rasio 13,1 orang per 100.000 penduduk diikuti oleh Thailand
sebesar 11,4 orang per 100.000 penduduk. Sementara tingkat bunuh diri terendah
berada di Filipina sebesar 2,9 orang per 100.000 penduduk dan Malaysia 3 orang
per 100.000 penduduk. Berdasarkan jenis kelamin, tingkat bunuh diri laki-laki
tertinggi berada di Thailand dengan rasio 19,1 orang per 100.000 penduduk dan
Myanmar dengan rasio 16,5 orang per 100.000 penduduk. Sedangkan negara
dengan tingkat bunuh diri perempuan tertinggi adalah Myanmar sebesar 10,3
orang per 100.000 penduduk dan Laos 6,6 orang per 100.000 penduduk.
Di Indonesia, tingkat rasio bunuh diri mencapai 1,6 sampai 1,8 orang untuk setiap
100.000 penduduk pada 2001. Di 2005 mengalami kenaikan, rasio bunuh diri di
Indonesia mencapai 11,4 orang per 100.000 penduduk. Sementara itu pada 2012,
rasio bunuh diri menurun menjadi 4,3 orang per 100.000 penduduk dan tergolong
rendah di antara negara ASEAN lainnya. Menariknya, Indonesia merupakan satu-
satunya negara di ASEAN yang tingkat bunuh diri tertingginya adalah perempuan,
dengan rincian laki-laki sebesar 3,7 orang per 100.000 penduduk dan perempuan
4,9 orang per 100.000 penduduk.
Beberapa laporan mengenai bunuh diri perempuan di Indonesia umumnya terjadi
pada kelompok ibu rumah tangga. Dari penelitian yang dilakukan oleh Chris
Girard “Age, Gender, and Suicide: A Cross-National Analysis” pada 1993, bunuh
diri pada perempuan disebabkan karena kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan
seksual, tekanan sosial, dan kesulitan ekonomi. Sedangkan pada laki-laki
diakibatkan oleh ketidakmampuan memenuhi peran-peran sosial yang secara
tradisional dibebankan pada laki-laki seperti peran sebagai kepala keluarga.
Keduanya memiliki persoalan serupa, lantaran dipicu oleh gejala depresi. Pada
titik tertentu, depresi dapat berujung pada bunuh diri.
Data yang dikeluarkan oleh WHO pada 2012 memperkirakan terdapat 350 juta
orang mengalami depresi, baik ringan maupun berat. Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) di Indonesia pada 2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan
mental emosional --yang ditunjukkan dengan gejala depresi dan kecemasan--
adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Selain
tingginya jumlah penduduk yang mengalami depresi, ketersediaan tenaga
profesional kesehatan jiwa, khususnya psikiater, juga merupakan salah satu hal
yang memengaruhi kesehatan mental masyarakat.
Data WHO di 2011 dan 2014 menunjukkan bahwa Indonesia kekurangan tenaga
psikiater. Bila dibandingkan dengan ASEAN, Indonesia termasuk berada pada
posisi terendah--setelah Laos dan Kamboja--dengan rasio sebesar 0,01 psikiater
per 100.000 penduduk pada 2011 dan 0,29 psikiater per 100.000 penduduk pada
11
2014. Data dari Kementerian Kesehatan pun menyatakan hanya ada 600-800
psikiater di seluruh Indonesia. Artinya satu orang psikiater terlatih harus
menangani 300.000-400.000 orang. Apabila dicermati, rasio psikiater memiliki
pengaruh terhadap kesehatan mental masyarakat. Merujuk pada data, Malaysia
dan Filipina --yang memiliki tingkat bunuh diri lebih rendah dibandingkan dengan
Indonesia-- memiliki rasio psikiater yang lebih tinggi dari Indonesia.
Rasio psikiater pada 2014 di Filipina adalah 0,46 psikiater per 100.000 penduduk
dan Malaysia 0,76 psikiater per 100.000 penduduk. Lebih tinggi jika
dibandingkan dengan Indonesia. Sebaliknya, Myanmar --yang memiliki tingkat
bunuh diri tertinggi-- memiliki rasio psikiater yang tergolong rendah, yaitu 0,29
psikiater per 100.000 penduduk. Masalah bunuh diri dan kesehatan jiwa di
Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting dan
harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dari seluruh jajaran lintas sektor
pemerintah baik di tingkat Pusat maupun daerah, serta perhatian dari seluruh
masyarakat. Kementerian Kesehatan mencatat kesenjangan pengobatan gangguan
jiwa di Indonesia mencapai lebih dari 90 persen. Ini artinya kurang dari 10 persen
penderita gangguan jiwa mendapatkan pelayanan terapi dari petugas kesehatan.
12