Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Data Riset


Kesehatan Dasar 2013 mencatat Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia
mencapai 1,7 per mil. Artinya, 1-2 orang dari 1.000 penduduk di Indonesia
mengalami gangguan jiwa berat. Hal ini diperburuk dengan minimnya pelayanan
dan fasilitas kesehatan jiwa di berbagai daerah Indonesia sehingga banyak penderita
gangguan kesehatan mental yang belum tertangani dengan baik. “Kesenjangan
pengobatan gangguan jiwa di Indonesia mencapai lebih dari 90 persen. Artinya,
kurang dari 10 persen penderita gangguan jiwa yang mendapatkan layanan terapi
oleh petugas kesehatan.
Di Indonesia, kesehatan jiwa belum menjadi prioritas. Keadaan tersebut
tercermin pada fasilitas penanganan gangguan jiwa di Indonesia yang kurang
memadai, pelayanan kesehatan jiwa yang tidak bisa menyentuh semua lapisan
masyarakat, dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung masih
mengesampingkan pentingnya kesehatan jiwa.

Dalam publikasi World Health Organization (WHO), satu dari empat orang
di dunia terjangkit gangguan mental atau neurologis dalam beberapa waktu di
dalam hidup mereka. Publikasi yang sama menyebutkan sekitar 450 juta orang
saat ini menderita gangguan mental, dan hampir 1 juta orang melakukan bunuh
diri tiap tahun.

Di Indonesia sendiri, dari data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)


2013, dikombinasi dengan Data Rutin dari Pusdatin dengan waktu yang
disesuaikan, prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukan dengan
gejala-gejala depresi dan kecemasan sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau
sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti
skizofrenia, adalah 1,7 per 1.000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.

Di RS Jiwa Prof. Dr. V.L. Ratumbusyang Manado, banyak anak muda


berusia antara 12-20 tahun ke atas mengalami skizofrenia. Kebanyakan dari
mereka didampingi anggota keluarga. Penyebabnya bermacam-macam, namun
kebanyakan adalah pengalaman traumatis, seperti bullying yang dialami di
sekolah dan lingkungannya, termasuk lingkungan keluarga.

4
Faktor lainnya adalah faktor sosial, meliputi kemiskinan, perang, dan
lingkungannya, dianggap cukup rumit untuk ditemukan hubungannya. Kehidupan
pedesaan juga penuh dengan masalah bagi banyak orang. Isolasi, keterbatasan
sarana transportasi dan komunikasi, kesempatan pendidikan, ekonomi, hingga
pelayanan kesehatan mental cenderung untuk memusatkan pada sumber daya
klinis dan keahlian di daerah metropolitan yang lebih besar, menyisakan pilihan
yang terbatas untuk penduduk pedesaan yang membutuhkan perawatan kesehatan
mental.

Pengobatan orang dengan gangguan mental dapat dilakukan dengan


berbagai cara, entah dari terapi dengan psikiater, pengobatan rawat jalan, hingga
program bantuan masyarakat. Pengobatan rawat jalan dengan tenaga ahli pun
terkadang sulit dilalui karena biayanya yang tidak murah, namun program bantuan
masyarakat dapat memberikan pelayanan berkualitas dengan biaya paling rendah
bagi mereka yang membutuhkannya.

WHO menyatakan bahwa pelayanan kesehatan mental masyarakat yang


lebih mudah diakses dan efektif, mengurangi pengucilan sosial, dan cenderung
memiliki kemungkinan yang lebih sedikit dalam memicu pelanggaran hak asasi
manusia yang sering dijumpai di rumah sakit jiwa.
Persoalan nyata adalah rumah sakit jiwa atau pusat penanganan mental yang
memadai dan aksesibilitasnya.Rumah sakit yang seharusnya dijadikan sebagai
media dalam penyembuhan malah dianggap sebagai tempat yang menakutkan .
Baik bagi pengidap maupun orang awam.Perlunya pendekatan-pendekatan design
arsitektural dalam ruangan rumah sakit jiwa diharapkan mampu menghancurkan
stigma buruk masyarakat dan membatu mempercepat pemulihan pasien .

5
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara penanganan penyakit mental dengan pendekatan
berbasis arsitektural ?
2. Bagaimana menciptakan ruang yang mampu mempercepat pemulihan
pasien pengidap gangguan mental ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penanganan penyakit mental dengan pendekatan
berbasis arsitektural
2. Untuk mengetahuo bagaimana cara menciptakan ruang yang mampu
mempercepat pemulihan pasien pengidap gangguan mental

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Kesehatan mental meliputi kondisi emosional, psikologis, dan


kesejahteraan sosial. Sama seperti kesehatan fisik, kesehatan mental juga dapat
terganggu oleh penyakit mental. Penyakit mental, juga dikenal sebagai gangguan
mental, merupakan penyakit yang mempengaruhi otak Anda dengan menggangu
keseimbangan kimiawi. Penyakit mental dapat menyebabkan gangguan ringan
sampai gangguan berat terhadap cara Anda berpikir, merasa, bertindak dan
bagaimana Anda memandang orang-orang dan peristiwa dalam hidup. Gangguan
mental bisa menjadi kondisi kronis, namun dapat ditangani dengan bantuan dokter
Anda.

Beberapa gangguan yang lebih umum, meliputi: depresi klinis (atau yang
biasa dikenal sebagai depresi), gangguan bipolar, kecemasan, gangguan stres
pasca-trauma (PTSD), gangguan obsesif kompulsif (OCD), dan psikosis. Beberapa
penyakit mental hanya terjadi pada jenis pasien tertentu; seperti post-partum
depression hanya menyerang ibu baru setelah melahirkan.

Kesehatan mental dapat dipengaruhi oleh peristiwa dalam kehidupan yang


meninggalkan dampak yang besar pada kepribadian dan perilaku seseorang.
Peristiwa-peristiwa tersebut dapat berupa kekerasan dalam rumah tangga,
pelecehan anak, atau stress berat jangka panjang. Penyakit mental bisa mengubah
cara seseorang dalam menangani stres, berhubungan dengan orang lain, dan
membuat pilihan. Hal ini dapat memicu hasrat untuk menyakiti diri sendiri. Untuk
alasan ini, kesehatan mental harus terus dijaga dari masa kanak-kanak, remaja,
hingga dewasa.

Penyebab gangguan jiwa bervariasi dan pada beberapa kasus tidak jelas, dan
teori terkadang menemukan penemuan yang rancu pada suatu ruang lingkup
lapangan. Layanan untuk penyakit ini terpusat di rumah sakit jiwa atau di
masyarakat sosial, dan penilaian diberikan oleh psikiater, psikolog klinis, dan
terkadang psikolog pekerja sukarela, menggunakan beberapa variasi metode tetapi
sering bergantung pada observasi dan tanya jawab. Perawatan klinik disediakan
oleh banyak profesi kesehatan jiwa. Psikoterapi dan pengobatan psikiatrik
merupakan dua pilihan pengobatan umum, seperti juga intervensi sosial, dukungan
lingkungan, dan pertolongan diri. Pada beberapa kasus terjadi penahanan paksa atau
pengobatan paksa di mana hukum membolehkan. Stigma atau diskriminasi dapat
menambah beban dan kecacatan yang berasosiasi dengan kelainan jiwa (atau
terdiagnosa kelainan jiwa atau dinilai memiliki kelainan jiwa) yang akan mengarh
ke berbagai gerakan sosial dalam rangka untuk meningkatkan pemahanan dan
mencegah pengucilan sosial.

7
Definisi dan klasifikasi kelainan jiwa adalah kunci untuk peneliti
sebagaimana juga penyedia layanan dan mereka yang mungkin terdiagnosa.
Sebagian besar dokumen klinik internasional menggunakan istilah "Kelainan jiwa".
Terdapat dua sistem yang mengklasifikasikan kelainan jiwa ICD-10 Chapter V:
Mental and behavioural disorders, bagian dari International Classification of
Diseases yang diterbitkan oleh World Health Organization (WHO), dan Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) diterbitkan oleh Psychiatric
Association (APA).
Kedua mendaftar kategori kelainan dan menyediakan standar kriteria untuk
diagosis. Kedua sistem ini telah mengubah kode mereka pada revisi terakhir
sehingga pedomannya dapat dibandingkan, walaupun masih terdapat perbedaan
signifikan. Skema klasifikasi lain mungkin digunakan di budaya non-barat, dan
panduan lain mungkin juga digunakan oleh mereka yang menggunakan teori
persuasi. Pada umumnya, kelainan jiwa diklasifikasikan terpisah menjadi kelainan
saraf, ketidakmampuan belajar, atau kelainan jiwa.
Tidak seperti sistem di atas, beberapa pendekatan klasifikasi tidak
menggunakan kategori yang jelas atau pemisahan dikotomi yang digunakan untuk
memisahkan antara yang tidak normal dengan yang normal. Terdapat debat sains
tentang beberapa kategori yang berbeda berhubungan dengan kasus yang
terkategori dengan kasus yang tidak terkategori, kemudian mencakup sistem
spektrum, dimensional, atau kontinyu.
2.2 Analisis Parameter

Dalam penelitian ini telah ditentukan beberapa parameter yang berpengaruh


pada penentuan lokasi penelitian adalah sebagai berikut:

1. Kondisi Bangunan

Faktor aksesibilas sangat penting dalam penentuan lahan untuk permukiman.


Kemudahan akses dalam mencapai lokasi permukiman menjadi daya tarik
bagi seseorang dalam membangun tempat tinggal. Analisis Aksesbilitas
dinilai dari jarak ke jalan utama.

2. Fasilitas pelayanan pasien


Kurangnya fasilitas kerap kali menjadi masalah inti dalam penanganan
pasien.Maka dari itu diperlukan adanya kiat-kiat dalam penyelesaian masalah
agar seluruh pasien mempunyai hak dan pelayanan yang sama/tidak ada yang
dirugikan

8
3. Faktor keamanan

Sesuai dengan fungsi utama rumah sakit jiwa yaitu sebagai pengobatan dan
pemulihan mestinya harus menyediakan lingkungan yang sehat dan aman
apabila sewaktu-waktu pasien kambuh agar tidak membahayakan diri sendiri
maupun orang lain.

4. Penataan Ruang
Penataan ruang dalam lingkup kejiwaan harus mematuhi kriteria-kriteria
dasar . Point utama adalah penciptaan ruang inti untuk
penyembuhan/pemulihan pasien.Bukan hanya terkait perlindungan pasien
tetapi merujuk pada entitas suatu ruang yang kondusif.
5. Aksesibilitas
Faktor aksesibilas sangat penting dalam memudahkan penanganan pasien .
Akses yang buruk akan memperlambat laju penanganan dan berpengaruh
terhadap factor-faktor penyembuhan pasien.

9
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Paradigma Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan kualitatif menggunakan


paradigma terapan yaitu dengan mengevaluasi kemampuan sebuah teori dalam
memecahkan masalah praktis dengan kerangka teoritik yang dibangun dari
pemaknaan hasil penelitian terhadulu, berasal dari buah pikiran para pakar yang
dikonstruksikan menjadi suatu problematic yang kemudian di teliti.

3.2 Data dan Statistik

Lokasi penelitian berada di Jl. Lanto Dg. Pasewang No.55, Maricaya, Kec.
Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan yang dimasukkan ke dalam deliniasi
kawasan penelitian.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut.

Berdasarkan data yang dikeluarkan World Health Organization (WHO) pada


2012, sebanyak 804.000 kematian di dunia disebabkan oleh bunuh diri setiap
tahunnya. Secara global, tingkat rasio bunuh diri adalah 11,4 orang per 100.000

10
penduduk. Bila dibandingkan dengan perempuan, laki-laki cenderung lebih rentan
melakukan bunuh diri dengan rasio sebesar 15 orang per 100.000 penduduk.
Di ASEAN pada 2012, negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi adalah
Myanmar dengan rasio 13,1 orang per 100.000 penduduk diikuti oleh Thailand
sebesar 11,4 orang per 100.000 penduduk. Sementara tingkat bunuh diri terendah
berada di Filipina sebesar 2,9 orang per 100.000 penduduk dan Malaysia 3 orang
per 100.000 penduduk. Berdasarkan jenis kelamin, tingkat bunuh diri laki-laki
tertinggi berada di Thailand dengan rasio 19,1 orang per 100.000 penduduk dan
Myanmar dengan rasio 16,5 orang per 100.000 penduduk. Sedangkan negara
dengan tingkat bunuh diri perempuan tertinggi adalah Myanmar sebesar 10,3
orang per 100.000 penduduk dan Laos 6,6 orang per 100.000 penduduk.
Di Indonesia, tingkat rasio bunuh diri mencapai 1,6 sampai 1,8 orang untuk setiap
100.000 penduduk pada 2001. Di 2005 mengalami kenaikan, rasio bunuh diri di
Indonesia mencapai 11,4 orang per 100.000 penduduk. Sementara itu pada 2012,
rasio bunuh diri menurun menjadi 4,3 orang per 100.000 penduduk dan tergolong
rendah di antara negara ASEAN lainnya. Menariknya, Indonesia merupakan satu-
satunya negara di ASEAN yang tingkat bunuh diri tertingginya adalah perempuan,
dengan rincian laki-laki sebesar 3,7 orang per 100.000 penduduk dan perempuan
4,9 orang per 100.000 penduduk.
Beberapa laporan mengenai bunuh diri perempuan di Indonesia umumnya terjadi
pada kelompok ibu rumah tangga. Dari penelitian yang dilakukan oleh Chris
Girard “Age, Gender, and Suicide: A Cross-National Analysis” pada 1993, bunuh
diri pada perempuan disebabkan karena kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan
seksual, tekanan sosial, dan kesulitan ekonomi. Sedangkan pada laki-laki
diakibatkan oleh ketidakmampuan memenuhi peran-peran sosial yang secara
tradisional dibebankan pada laki-laki seperti peran sebagai kepala keluarga.
Keduanya memiliki persoalan serupa, lantaran dipicu oleh gejala depresi. Pada
titik tertentu, depresi dapat berujung pada bunuh diri.
Data yang dikeluarkan oleh WHO pada 2012 memperkirakan terdapat 350 juta
orang mengalami depresi, baik ringan maupun berat. Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) di Indonesia pada 2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan
mental emosional --yang ditunjukkan dengan gejala depresi dan kecemasan--
adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Selain
tingginya jumlah penduduk yang mengalami depresi, ketersediaan tenaga
profesional kesehatan jiwa, khususnya psikiater, juga merupakan salah satu hal
yang memengaruhi kesehatan mental masyarakat.
Data WHO di 2011 dan 2014 menunjukkan bahwa Indonesia kekurangan tenaga
psikiater. Bila dibandingkan dengan ASEAN, Indonesia termasuk berada pada
posisi terendah--setelah Laos dan Kamboja--dengan rasio sebesar 0,01 psikiater
per 100.000 penduduk pada 2011 dan 0,29 psikiater per 100.000 penduduk pada

11
2014. Data dari Kementerian Kesehatan pun menyatakan hanya ada 600-800
psikiater di seluruh Indonesia. Artinya satu orang psikiater terlatih harus
menangani 300.000-400.000 orang. Apabila dicermati, rasio psikiater memiliki
pengaruh terhadap kesehatan mental masyarakat. Merujuk pada data, Malaysia
dan Filipina --yang memiliki tingkat bunuh diri lebih rendah dibandingkan dengan
Indonesia-- memiliki rasio psikiater yang lebih tinggi dari Indonesia.
Rasio psikiater pada 2014 di Filipina adalah 0,46 psikiater per 100.000 penduduk
dan Malaysia 0,76 psikiater per 100.000 penduduk. Lebih tinggi jika
dibandingkan dengan Indonesia. Sebaliknya, Myanmar --yang memiliki tingkat
bunuh diri tertinggi-- memiliki rasio psikiater yang tergolong rendah, yaitu 0,29
psikiater per 100.000 penduduk. Masalah bunuh diri dan kesehatan jiwa di
Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting dan
harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dari seluruh jajaran lintas sektor
pemerintah baik di tingkat Pusat maupun daerah, serta perhatian dari seluruh
masyarakat. Kementerian Kesehatan mencatat kesenjangan pengobatan gangguan
jiwa di Indonesia mencapai lebih dari 90 persen. Ini artinya kurang dari 10 persen
penderita gangguan jiwa mendapatkan pelayanan terapi dari petugas kesehatan.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ini didapatkan melalui survey lapangan dan


melakukan observasi lalu di analisis. Observasi yang dilakukan adalah menggambil
data juga merekam situasi dan kondisi yang ada di lapangan

3.4 Metode Pengumpulan Data


Terdapat dua sumber data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung di lapangan. Data sekunder
merupakan data yang diperoleh dari sumber lain.
3.5 Metode Analisis Data
Data yang diperoleh berupa catatan lapangan, foto, dokumen yang dikeluarkan
badan yang bertanggung jawab, serta jurnal.

12

Anda mungkin juga menyukai