Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Herbal Medicine dan Farmakoterapi Evidence Base Clinical


Practice Guideline pada Gangguan Psikosis

Mata Kuliah Psikiatri


Dosen Pengampu: DR. dr. Akrom.,M.Kes

Disusun Oleh:
Siti Julaicha
1707045001

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2017

i
KATA PENGHANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah Herbal Medicine dan Farmakoterapi Evidence Base
Clinical Practice Guideline pada Gangguan Psikosis.
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar saya dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata saya berharap
semoga makalah Herbal Medicine dan Farmakoterapi Evidence Base Clinical
Practice Guideline pada Gangguan Psikosis ini dapat memberikan manfaat bagi
pembacanya.

Yogyakarta, 8 Oktober 2017

Penyusun

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Epidemiologi Gangguan Psikosis


Psikosis adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan
(sense of reality). Kelainan seperti ini dapat diketahui berdasarkan gangguan-
gangguan pada perasaan, pikiran, kemauan, dan motorik, sehingga perilaku
penderita tidak sesuai lagi dengan kenyataan. Perilaku penderita Psikosis tidak
dapat di mengerti oleh orang normal, sehingga orang awam menyebut penderita
sebagai orang gila (W.F.Maramis, 2012).
Menurut data dari WHO masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia
memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. Pada tahun 2001 kira-kira
450 juta orang dewasa dari populasi dunia mengalami gangguan jiwa Psikosis.
Bahkan setiap orang mempunyai kemungkinan pernah mengalami episode
Psikosis pada beberapa tahap dalam kehidupannya. Data American Psychiatric
Association (APA) tahun 2000 menyebutkan di Amerika Serikat satu dari seratus
orang penduduk beresiko untuk menderita Psikosis (Suliswati, 2005).
Keadaan di Indonesia orang yang mengalami gangguan jiwa Psikosis
diperlakukan secara tidak pantas karena masyarakat melakukan diskriminasi
terhadap penderita gangguan jiwa. Pandangan masyarakat masih adanya stigma
bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa cenderung berbahaya bagi
masyarakat sekitar. Mereka sering melakukan tindakan kekerasan terhadap
lingkungan sekitar yang dapat merepotkan ataupun membahayakan bagi
masyarakat dan mereka merupakan aib bagi keluarga sehingga tidak jarang
mereka dipasung (Dadang Hawari, 2001).
Untuk kasus gangguan jiwa penderita Psikosis, jumlah penderita Psikosis di
Indonesia adalah 3 sampai 5 per 1000 penduduk. Mayoritas penderita berada di
kota besar. Ini terkait dengan tingginya stres yang muncul di daerah perkotaan
(Fransiska Irma, 2013). Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, memperlihatkan prevalensi nasional penderita gangguan jiwa Psikosis

1
0,46% atau sekitar 1 juta jiwa. Jika jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 250
juta, maka penderita gangguan jiwa Psikosis yang harus ditemukan adalah sekitar
(3-5/1000250 juta) 750.000 sampai 1.250.000 penderita.
Survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang belum lama ini
dilakukan pada bulan Desember 2013 didiseminasi oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kementerian Kesehatan (Kemenkes),
mengungkap fakta menarik mengenai prevalensi gangguan jiwa di Tanah Air.
Prevalensi gangguan jiwa berat paling tinggi ternyata terjadi di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY). Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, sekitar 3
dari setiap 1.000 orang penduduk DIY mengalami gangguan jiwa berat.
Fakta ini barangkali membuat sebagian orang akan terkesiap. Mengingat
penduduk DIY umumnya hidup dalam balutan nilai-nilai budaya Jawa yang kuat.
Yang mengajarkan setiap orang untuk bersikap nrimo, berlapang hati atas
segala kesulitan hidup yang dialami. Barangkali, fakta ini erat kaitannya dengan
kondisi kemiskinan yang terjadi di DIY. Data BPS menunjukkan, proporsi
penduduk miskin di DIY pada bulan September 2013 mencapai 15,03 persen.
Angka ini merupakan paling tinggi se-Jawa. Selain itu, kondisi kemiskinan yang
dialami penduduk miskin di DIY juga salah satu yang terburuk di pulau Jawa.
Tingginya prevalensi gangguan jiwa berat di DIY sebetulnya lebih
merupakan fenomena kantong-kantong kemiskinan di daerah tandus dan kering
seperti di Gunungkidul, bukan potret DIY secara umum. Seperti diketahui selama
ini, kasus bunuh diri akibat impitan kesulitan ekonomi juga banyak terjadi di
wilayah Gunungkidul.

B. Tujuan Aplikasi Clinical Practice Guideline pada Gangguan Psikosis


1. Memberikan informasi-informasi yang bermanfaat bagi tenaga medis lain
untuk menghasilkan informasi yang berkualitas dalam membuat keputusan
bagi pasien dengan gangguan psikosis.
2. Sebagai salah satu pedoman klinik yang dapat dijadikan sebuah alat untuk
membantu para tenaga kesehatan dalam mencegah, mendiagnosa, dan

2
memberi terapi pada gangguan psikosis dengan cara memberikan pedoman
tentang praktek klinik yang terbaik berdasarkan pada evidence base.
3. Mendorong agar tenaga kesehatan dapat melakukan praktek dalam
penanganan terbaik pada ganguan psikosis yang terjadi di masyarakat
sehingga mendapatkan outcome yang terbaik pula.
4. Mengurangi variasi dalam pelayanan medis pada penanganan gangguan
psikosis
5. Mengurangi penggunaan sumber daya atau finansial yang berlebihan pada
penanganan gangguan psikosis (kendali biaya)

C. Pengaturan Aplikasi Clinical Practice Guideline pada Gangguan


Psikosis
1. Seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan harus secara terpadu atau
terintegrasi dan berorientasi fokus terhadap pasien (Patient Focused Care)
serta berkesinambungan (Continuous of Care).
2. Melibatkan seluruh profesi kesehatan yang ada di Puskesmas sebagai
layanan primer pertama (dokter, perawat/bidan dan apoteker).
3. Dalam batasan waktu yang telah ditentukan sesuai dengan keadaan pasien
yang mengalami gangguan psikosis dan dicatat dalam bentuk catatan
perkembangan pengobatan pasien.
4. Pencatatan Clinical Practice seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan
kepada pasien secara terpadu dan berkesinambungan tersebut dalam bentuk
dokumen yang merupakan bagian dari Rekam Medis.
5. Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan Clinical Practice dicatat
sebagai varians dan dilakukan kajian analisis dalam bentuk audit.
6. Varians tersebut dapat karena kondisi perjalanan penyakit gangguan
psikosis, penyakit penyerta atau komplikasi maupun kesalahan medis
(medical errors)
7. Varians tersebut dipergunakan sebagai salah satu parameter dalam rangka
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan.

3
BAB II
PENATALAKSANAAN

A. Manifestasi Klinik
Adanya Reality Testing Ability (RTA) atau kemampuan daya menilai
realitas dapat menjadi dasar dalam penggalian dalam peninggakan diagnosis.
Dengan adanya ganguan RTA tersebut, maka akan bermanifestasi berupa
kesadaran diri (awareness) terganggu, daya nilai norma sosial (judgement)
terganggu, dan daya tilikan (insight) terganggu.
Masalah berat dalam fungsi-fungsi mental, yang akan bermanifestasi pada
gangguan psikosis adalah adanya gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif
berupa: gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikiran yang tidak wajar
(waham), gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak sesuai dengan
situasi), perilaku yang aneh atau tidak terkendali. Gejala negatif berupa: gangguan
perasaan (afek tumpul, respon minimal), gangguan hubungan sosial (menarik diri,
pasif, apatis), gannguan proses pikir (lambat, terhambat), isi pikiran yang stereotip
dan tidak ada inisiatif, perilaku yang sangat terbatas dan cenderung menyendiri
(abulia).
Masalah berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi seperti
tidak mau bekerja, menjalin hubungan sosial, dan melakukan kegiatan rutin.
Sindrom Psikosis terbagi menjadi dua bagian, yaitu sindrom psikosis
fungsional antara lain adalah skizofrenia, psikosis paranoid, psikosis afektif, dan
psikosis reaktif singkat. Kemudian Sindrom Psikosis Organik antara lain adalah
Sindrom delirium, Dementia dan Intoksikasi Alkohol.
Harus ada sedikitnya satu gejala yang bisa diamati dengan jelas (biasanya
dua atau lebih gejala bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas). Jenis
prilaku gangguan psikosis yang sering di tunjukan oleh pasien antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Mendengar suara-suara yang tidak ada sumbernya
2. Keyakinan atau ketakutan yang aneh dan tidak masuk akal
3. Kebingungan atau disorientasi

4
4. Perubahan perilaku; menjadi aneh atau menakutkan seperti menyendiri,
kecurigaan berlebihan, mengancam diri sendiri, orang lain atau lingkungan,
bicara dan tertawa serta marah-marah atau memukul tanpa alasan.
Gejala gangguan psikosis singkat selalu termasuk sekurang kurangnya satu
gejala psikosis utama, biasanya dengan onset yang tiba-tiba, tetapi tidak selalu
memasukkan keseluruhan pola gejala yang ditemukan pada kasus gangguan
psikosis. Beberapa klinisi telah mengamati bahwa gejala afektif, konfusi dan
gangguan pemusatan perhatian mungkin lebih sering ditemukan pada gangguan
psikosis singkat daripada gangguan psikosis kronis. Gejala karakteristik untuk
gangguan psikosis singkat adalah perubahan emosional, pakaian atau perilaku
yang aneh, berteriak teriak atau diam membisu dan gangguan daya ingat untuk
peristiwa yang belum lama terjadi. Beberapa gejala tersebut ditemukan pada
gangguan yang mengarahkan diagnosis delirium dan jelas memerlukan
pemeriksaan lanjutan yang lengkap.
Pemeriksaan status mental biasanya hadir dengan agitasi psikosis parah
yang mungkin terkait dengan perilaku aneh, tidak kooperatif, agresif fisik atau
verbal, tidak teratur berbicara, berteriak atau kebisuan, suasana hati labil atau
depresi, ingin melakukan bunuh diri, membunuh pikiran atau perilaku,
kegelisahan, halusinasi, delusi, disorientasi, perhatian terganggu, konsentrasi
terganggu dan gangguan memori.
Seperti pada pasien psikosis akut, riwayat yang diperlukan untuk membuat
diagnosis mungkin tidak dapat diperoleh hanya dari pasien. Walaupun adanya
gejala gangguan psikosis mungkin jelas, informasi mengenai gejala prodromal,
episode suatu gangguan mood atau perasaan sebelumnya, dan riwayat ingesti zat
psikotomimetik yang belum lama mungkin tidak dapat diperoleh dari wawancara
klinis saja.

5
B. Terapi Farmakologi
Pada dasarnya obat anti-psikosis ini dibagi ke dalam dua golongan besar,
yaitu anti-psikosis tipikal dan anti-psikosis atipikal. Obat anti psikosis ini
dibedakan menjadi dua golongan, karena terjadi perbedaan mekanisme kerja yang
terjadi pada kedua obat ini. Obat tipikal hanya bekerja sebagai Dopamine D2
receptor antagonis yaitu mem-blokade Dopamine pada reseptor pasca-sinaptik
neuron di Otak, khususnya di sistem limbik dan sistem Ekstrapiramidal.
Sedanglan Obat yang atipikal, pada Dopamine D2 Receptor dan Serotonin 5 HT2
Receptor.
Perbedaan yang terjadi tersebut menyebabkan jika obat Anti-Psikosis
Tipikal lebih efektif untuk mengobati Gejala Positif saja dan Anti-Psikosis
Atipikal efektif mengobati Gejala Positif dan Negatif, karena pada atipikal selain
bekerja pada Dopamin D2 Receptor juga bekerja pada Serotonin 5 HT Receptor.
Anti Psikosis Tipikal dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Golongan Phenothiazine antara lain yaitu: Clorpomazine, Perphenazine,
Trifluophenazine dan Thioridazine.
2. Golongan Butyrophenone yaitu: Haloperidol
3. Golongan Diphenyl butyl piperidine yaitu: Pimozide
Anti Psikosis Atipikal dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Golongan Benzamide yaitu: Supiride
2. Golongan Dibenzodiazepine antara lain yaitu: Clozapine, Olanzapine,
Quentiapine dan Zotepine.
3. Golongna Benzioxazole antara lain yaitu: Risperidone dan Apiprazole.

6
C. Terapi Non Farmakologi
1. Terapi Kognitif
Terapi kognitif merupakan terapi aktif, langsung, dan time limited yang
berfokus pada penanganan struktur mental seorang pasien. Struktur mental
tersebut terdiri: cognitive triad, cognitive schemas, dan cognitive error.
2. Terapi Perilaku
Terapi perilaku adalah terapi yang digunakan pada pasien dengan gangguan
psikosis dengan cara membantu pasien untuk mengubah cara pikir dalam
berinteraksi denga lingkungan sekitar dan orang-orang sekitar. Terapi
perilaku dilakukan dalam jangka waktu yang singkat, sekitar 12 minggu.
3. Terapi Interpersonal
Terapi ini didasari oleh hal-hal yang mempengaruhi hubungan interpersonal
seorang individu, yang dapat memicu terjadinya gangguan mood. Terapi ini
berfungsi untuk mengetahui stressor pada pasien yang mengalami
gangguan, dan para terapis dan pasien saling bekerja sama untuk menangani
masalah interpersonal tersebut.

7
BAB III
EVIDENCE BASED MEDICINE HERBAL CLINICAL PRATICE
GUIDELINE

A. Penggunaan Herbal pada Pengobatan Gangguan Psikosis


Di Amerika Serikat, penggunaan herbal masih di luar standar praktik
pengobatan. Namun, di dunia internasional justru penggunaan pengobatan herbal
semakin berkembang, banyak dokter mulai menggunakan jamu atau herbal
berbagai terapi pengobatan, termasuk dalam pengobatan pada pasien dengan
gangguan psikosis (Kasper and Dienel 2002; Kasper et al., 2010; Kasper 2015),
obat-obatan herbal tersebut antara lain seperti Bacopa monnieri, Panix gingseng,
Valeriana officinalis, Lavandula angustifolia, Gingko biloba dan Matricaria
chamomilla (Kasper et al., 2017), akar Maca dan banyak tanaman obat tradisional
China yang umum digunakan, yang mungkin masih belum dikenal orang banyak.
Hal ini karena Informasi klinis mengenai ramuan herbal yang populer jarang
dipublikasikan di jurnal psikofarmasis klinis atau jurnal psikiatris klinis. Namun,
berbagai sekarang obat herbal mudah didapat di sarana kesehatan atau bisa
diperoleh melalui pembelian secara online.
Banyak pasien menggunakan ramuan semacam itu bersama obat psikiatri
yang diresepkan oleh dokter, yang dapat menyebabkan interaksi yang berbahaya
(Tang et al., 2016). Seperti yang dilaporan oleh American Psychiatric Association
Task pada obat-obatan herbal. Inisiatif dari para klinisi, penelitian, dan pendidik
yang dirancang untuk fokus pada perkembangan pengobatan alternatif (CAM)
pada psikiatri jelas diperlukan karena adanya penggunaan terapi CAM secara luas
(Freeman et al., 2010).
Perkembangan pengobatan alternatif (CAM) ini salah satunya dapat
diwujudkan dengan menggunakan Clinical Pratice Guideline (CPG) yang
berdasarkan pada Evidence Based Medicine Herbal yang telah teruji. CPG ini
akan membantu praktisi kesehatan dalam pengobatan pasien-pasien dengan
gangguan psikosis.

8
B. Efek Korektif Kerusakan pada Mitokondria dan Stres Oksidatif Pada
Gangguan Psikosis
Sudah banyak penelitian dan perdebatan mengenai peran stres oksidatif
pada neuroinflammasi kronis (Mossakowski et al., 2016), yang pada akhirnya
telah dibuktikan sebagai penyebab beberapa gangguan psikosis pada umumnya,
depresi khususnya dan demensia (Leonard 2014, 2015).
Herbal seperti Bacopa monnieri atau yang lebih dikenal dengan nama
rumput india mengandung glikosida, flavonoid, polisakarida dan lainnya yang
terkenal sebagai senyawa antioksidan, yang juga bersifat neuroprotektif terhadap
stres oksidatif pada uji yang telah di lakukan pada hewan. (Lee et al., 2017).
Peran sebagai neuroprotektif mungkin juga terkait dengan mekanisme anti-
oksidatif (Oliveira et al., 2016).
Analisis kimia Rhodiola lagi mengungkapkan adanya flavonoid,
fenilpropanoid, feniletanol atau turunan benzil alkohol, glikosida sianogenik dan
terpenoid, yang semuanya efektif untuk mengikat spesies oksigen reaktif (ROS)
(Li et al., 2016). Bacopa monnieri bahkan efektif melawan rotenone yang
menginduksi stres oksidatif dan neurotoksisitas (Hosamani dan Muralidhara 2009;
Hosamani et al., 2010).
Klasifikasi Tanaman dari Bacopa monnieri
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Asteridae
Ordo : Scrophulariales
Famili : Scrophulariaceae
Genus : Bacopa
Spesies : Bacopa monnieri (L.) Pennell
(Plantamore, 2017)

9
C. Penelitian Bacopa monnieri dalam Pengobatan Gangguan Psikosis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Calabrese dan kawan-kawan,
ditemukan bahwa ekstrak standar dari tanaman ini dapat memberikan efek yang
baik dalam meningkatkan performa kognitif memori, perbaikan perasaan (mood)
dan mengurangi kecemasan. Penelitian ini dilakukan dengan desain acak, tersamar
ganda, dengan kontrol plasebo, dengan diawali pemberian plasebo terlebih dahulu
selama 6 minggu untuk mendapatkan nilai dasar/basal, kemudian diikuti oleh 12
minggu waktu terapi.
Penelitian ini melibatkan 54 peserta, dengan usia 65 tahun atau lebih tua
(rata-rata 73,5 tahun), dengan adanya gejala klinis demensia. Sebanyak 48 peserta
menyelesaikan penelitian ini. Peserta terbagi dalam dua kelompok, masing-
masing kelompok 24 orang. Satu kelompok mendapatkan ekstrak standar Bacopa
300 mg/hari, sedangkan kelompok lainnya hanya mendapatkan plasebo.
Adapun penilaian keefektivitasan dari tanaman ini dilakukan dengan
menggunakan beberapa alat bantu. Variabel keluaran primer menggunakan
delayed recall score dari Rey Auditory Verbal Learning Test (AVLT).
Pengukuran kognitif lainnya dengan menggunakan Stroop Task untuk menilai
kemampuan dalam mengabaikan informasi yang irrelevan, Divided Attention Task
(DAT), dan Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS) letter-digit test untuk
memori kerja seketika.
Pengukuran afektif dilakukan dengan the State-Trait Anxiety Inventory,
Center for Epidemiologic Studies Depression scale (CESD)- 10 depression scale,
dan the Profi le of Mood States. Selain itu, tanda-tanda vital juga tetap dimonitor.
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa peserta yang mendapatkan
Bacopa mengalami perbaikan relatif dari AVLT delayed word recall memory
scores dibandingkan plasebo. Stroop results juga mengalami perbaikan yang
signifikan, dengan kelompok Bacopa mengalami perbaikan dan kelompok plasebo
tetap sama. CESD-10 depression score, kondisi campuran ditambah trait anxiety
score, dan penurunan denyut jantung sebagai tanda penuruanan kecemasan seiring
waktu ditemukan pada kelompok Bacopa, tetapi ditemui peningkatan untuk
kelompok plasebo. Tidak ada efek yang ditemukan pada DAT, WAIS digit task,

10
mood, atau tekanan darah. Dosis dalam penelitian ini dapat ditoleransi dengan
baik, dengan sedikit efek samping (Bacopa n = 9, plasebo n = 10), terutama sakit
perut.

11
BAB IV
KASUS

A. Keluhan Pasien Dementia


Tn. X berumur 68 tahun datang ke puskesmas mengeluh sering lupa dan
merasa tertekan, namun mungkin tidak sadar akan ingatan yang tidak
menyenangkan sebelumnya. Keluarga menjelaskan sebelum Tn. X mengalami
keluhan tersebut, istrinya sebulan yang lalu baru saja meninggal dunia. Kemudian
setelahnya keluarga pasien mengeluhkan kehilangan ingatan pasien yang semakin
menurun. Keluarga meminta pertolongan pada awal gejala karena pasien gagal
dalam mengingat, perubahan kepribadian atau perilaku. Pada stadium lanjut
penyakit, keluarga pasien mengeluhkan terjadi kebingungan, berkeliaran atau
inkontinensia pada pasien. Serta terjadi penurunanan tingkat kebersihan pasien
yang menjadi sangat buruk.
B. Fitur diagnostik
1. Menurun dalam memori mengingat, pemikiran dan penilaian, orientasi,
bahasa baru-baru.
2. Penderita sering tampil apatis atau tidak tertarik, tapi mungkin tampak
waspada dan tepat sekalipun memori buruk.
3. Penurunan dalam fungsi aktivitas sehari-hari (dressing, washing, cooking)
4. Hilangnya kontrol emosional seperti pasien mudah marah dan mudah
tersinggung.
5. Umum pada pasien yang lebih tua, sangat jarang terjadi pada usia muda atau
usia pertengahan.
Pengujian memori dan pemikiran meliputi:
1. Kemampuan untuk mengingat kembali nama dari tiga benda biasa secara
langsung dan diulangi lagi setelah tiga menit.
2. kemampuan untuk menghafal nama hari dalam seminggu dalam urutan
terbalik.

12
C. Informasi penting untuk pasien dan keluarga
1. Demensia sering terjadi pada usia tua.
2. Kehilangan memori serta kebingungan dapat menyebabkan masalah
perubahan perilaku (seperti agitasi, kecurigaan dan ledakan emosi).
3. Kehilangan memori biasanya berlangsung perlahan, tapi tentu saja hal ini
cukup bervariasi antar individu yng mengalami gangguan.
4. Penyakit fisik atau stres mental bisa meningkatkan terjadinya kebingungan.
5. Menyediakan informasi yang tersedia dan meminta bantuan pada keluarga
serta orang-orang terdekat.
D. Konseling untuk Pasien dan Keluarga
1. Pantau kemampuan pasien untuk melakukan tugas sehari-hari dengan aman.
2. Jika kehilangan memori ringan, pertimbangkan penggunaan alat bantu
memori atau pengingat.
3. Hindari menempatkan pasien di tempat atau situasi yang tidak biasa dalam
keseharian pasien sebelumnya.
4. Pertimbangkan cara untuk mengurangi stres pada mereka yang merawat
pasien (contohnya: kelompok swadaya atau asisten rumah tangga).
5. Mendukung anggota keluarga lain yang merawat kerabat dengan demensia
mungkin bisa membantu.
6. Diskusikan perencanaan urusan hukum dan keuangan dalam perawatan
pasien.
7. Diskusikan pengaturan untuk dukungan di rumah, masyarakat atau program
penitipan. Agitasi yang tidak terkendali mungkin memerlukan solusi untuk
memasukan ke rumah sakit atau panti jompo.
D. Terapi Pengobatan
1. Gunakan obat penenang atau hipnotikum (seperti: benzodiazepin) dengan
hati-hati.
2. Obat antipsikotik dalam dosis rendah (seperti: haloperidol 0.5 - 1.0 mg satu
atau dua kali sehari) Kadang-kadang diperlukan untuk mengendalikan
agitasi, gejala psikotik atau agresi. Awasi selalu efek samping obat yang
mungkin terjadi (Parkinsonian, efek antikolinergik) dan interaksi obat.

13
E. Konsultasi Spesialis
Pertimbangkan konsultasi untuk:
1. Agitasi yang tidak terkendali
2. Onset tiba-tiba atau memburuknya kehilangan ingatan
3. Penyebab demensia fisik yang memerlukan perawatan khusus (seperti:
sifilis dan hematoma subdural)
4. Pertimbangkan penempatan di rumah sakit atau panti jompo jika perawatan
intensif memang dibutuhkan.

14
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penelitian diatas disimpulkan bahwa Bacopa monnieri memiliki
potensi sebagai pengobatan herbal yang digunakan secara efektif dan aman dalam
meningkatkan performa kognitif memori, perbaikan perasaan (mood) dan
mengurangi kecemasan pada pasien dengan gangguan psikosis.

15
DAFTAR PUSTAKA

Calabrese C, Gregory WL, Leo M, Kraemer D, Bone K, Oken B. Eff ects of a


standardized Bacopa monnieri extract on cognitive performance, anxiety,
and depression in the elderly: A randomized, double-blind, placebo-
controlled trial. J Altern Complement Med N Y N. 2008; 14(6): 707-13.
Grady CL. Cognitive neuroscience of aging. Ann N Y Acad Sci. 2008; 1124: 127-
44.
Fransiska, Irma. Kecemasan Bagaimana Mengatasi Penyebabnya. Jakarta: Pustaka
Populer Obor. 2013.
Freeman MP, Fava M, Lake J, Trivedi MH, Wisner KL, Mischoulon D. 2010.
Complementary and alternative medicine in major depressive disorder: the
American Psychiatric Association Task Force report. J Clin Psychiatry.
71:669-681
Hawari, Dadang. Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2001.
Hosamani R, Muralidhara. 2009. Neuroprotective efficacy of Bacopa monnieri
against rotenone induced oxidative stress and neurotoxicity in Drosophila
melanogaster. Neurotoxicology. 30:977985.
Hosamani R, Ramesh SR, Muralidhara. 2010. Attenuation of rotenone-induced
mitochondrialoxidative damage and neurotoxicty in Drosophila
melanogaster supplemented with creatine. Neurochem Res. 35:14021412.
Kasper S, Dienel A. 2002. Cluster analysis of symptoms during antidepressant
treatment with Hypericum extract in mildly to moderately depressed out-
patients. A meta-analysis of data from three randomized, placebo-
controlled trials. Psychopharmacology (Berl). 164:301308.
Kasper S, Gastpar M, Mller HJ, Mller WE, Volz HP, Dienel A, Kieser M.
2010. Better tolerability of St. John's wort extract WS 5570 compared to
treatment with SSRIs: a reanalysis of data from controlled clinical trials in
acute major depression. Int Clin Psychopharmacol 25:204213.

16
Kasper S. 2015. Phytopharmaceutical treatment of anxiety, depression, and
dementia in the elderly: evidence from randomized, controlled clinical
trials. Wien Med Wochenschr 165:217228.
Kasper S, Mller HJ, Volz HP, Schlfke S, Dienel A. 2017. Silexan in generalized
anxiety disorder: investigation of the therapeutic dosage range in a pooled
data set. Int Clin Psychopharmacol.
Kirkwood TBL. Understanding the odd science of aging. Cell. 2005; 120(4): 437-
47.
Lee SY, Ahn SM, Wang Z, Choi YW, Shin HK, Choi BT. 2017. Neuroprotective
effects of 2, 3, 5, 4' tetrahydoxystilbene 2 O D - glucoside from
Polygonum multiflorum against glutamateinduced oxidative toxicity in
HT22 cells. J Ethnopharmacol. 195:6470.
Leonard BE. 2014. Impact of inflammation on neurotransmitter changes in major
depression: an insight into the action of antidepressants. Prog
Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry. 48:261267.
Li Y, Wu J, Shi R, Li N, Xu Z, Sun M. 2016. Antioxidative Effects of Rhodiola
genus: Phytochemistry and Pharmacological Mechanisms against the
Diseases. Curr Top Med Chem.
Leonard BE. 2015. Pain, Depression and Inflammation: Are Interconnected
Causative Factors Involved? Mod Trends Pharmacopsychiatry. 30:2235
Lpez-Otn C, Blasco MA, Partridge L, Serrano M, Kroemer G. The hallmarks of
aging. Cell. 2013; 153(6): 1194-217.
Mossakowski AA, Pohlan J, Bremer D, Lindquist R, Millward JM, Bock M,
Pollok K, Mothes R, Viohl L, Radbruch M, et al. 2016. Tracking CNS and
systemic sources of oxidative stress during the course of chronic
neuroinflammation. Acta Neuropathol. 130:799814.
Oliveira AI, Pinho C, Sarmento B and Dias AC. 2016. Neuroprotective Activity
of Hypericum perforatum and Its Major Components. Front Plant Sci.
7:1004.

17
Shineman DW, Salthouse TA, Launer LJ, Hof PR, Bartzokis G, Kleiman R, et al.
Therapeutics for cognitive aging. Ann N Y Acad Sci. 2010; 1191(Suppl
1): 1-15.
Suliswati. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta. EGC. 2005
Tang SW, Tang W, Leonard BE. 2016. Patients on psychotropic medications and
herbal supplement combinations: clinical considerations. Int Clin
Psychopharmacol.
WF.Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya. Airlangga University
Press. 2012.

18

Anda mungkin juga menyukai